Sunlie Thomas Alexander
suaramerdeka.com
BAGAIMANA mesti aku rawikan riwayat Sam Po Thai Kam yang serupa dongeng ini? Oh, kisah-kisah liar yang tak mungkin kautemukan dalam catatan sejarah. Tapi begitulah, cerita-cerita tak jelas asal muasal ini telah kudengar di masa kanak-kanak dan lama mengendap dalam ingatan yang mirip belukar semak…
(1) TENTU kau tahu banyak cerita tentang pelaut besar itu. Bagaimana pelayarannya yang luar biasa, –ah, 114 tahun sebelum Magellan merintis penjelajahan samudera mengelilingi bumi– mengubah peta navigasi dunia sampai abad kelima belas.
Atau, bagaimana selama 28 tahun, tak urung lebih dari 30 negeri di Asia, Timur Tengah, dan Afrika telah disinggahi dalam tujuh kali ekspedisi yang kesohor itu demi memperluas pengaruh Kaisar Ming sebagai Putra Langit dan menjalin hubungan perniagaan dengan banyak negeri.
Kendati armadanya membentang hampir seribu meter di garis cakrawala, memanjang 1,5 kilometer di lautan, toh berbeda dari penjelajah Eropa yang rakus, tak dibawanya semangat penaklukan dan keserakahan. Bahkan, syahdan kapal-kapal itu lebih banyak membawa ragam cinderamata yang akan dipersembahkan kepada raja-raja berbagai negeri ketimbang senjata.
Ai, demikianlah sejarah lebih suka mencatat jasa, misi mulia, dan kepahlawanannya di sepanjang jalur pelayaran. Karena itu, tak kau sangsikan lagi riwayat yang mengisahkan kemurahan hati orang kasim itu. Tengoklah, katamu, tatkala merapat di Tuban dan Gresik misalnya, kepada penduduk pribumi tak segan ia ajarkan beragam teknik pertanian dan peternakan, juga tata cara pertukangan dan perikanan.
Oh, tentu tak hendak kuremehkan kebesaran Sam Po Thai Kam, Kawan! Tapi percayakah dirimu, kalau kukatakan bahwa dalam pelayarannya yang panjang itu, beberapa kali sempat terlintas niat jahat di kepalanya untuk mencelakai para penduduk Nanyang 1) yang ia sambangi?
Tahukah dirimu, atau pernahkah kaumendengar bahwa mulut pelaut ulung itu sesungguhnya mengandung tuah? Tak pelak apa pun yang diucapkan kerap dengan segera menjelma jadi kenyataan; hal yang tak benar pun menjadi benar. Ya, sebab itulah niat buruknya tak pernah kesampaian, Kawan.
Kau heran, kau menyangka ku berkelakar? Ai, anggap saja Tuhan selalu memberkati perjalanan muhibahnya, senantiasa menjaga keagungan namanya, karena itu tak pernah membiarkannya melakukan keculasan.
“Itu tak mungkin! Cheng Ho…,“ bantahmu dengan nada tak senang, “adalah pelaut budiman.
Bahkan ia lebih suka tuntaskan masalah dengan diplomasi daripada kekerasan.“
Lantas kau menunjukkan lagi padaku kisah ketika ia mengirim para utusan kehormatan kaisar ke Kerajaan Blambangan saat berlabuh di Samo Lung.
2) Lebih dari separuh utusan tak bersenjata ini tewas dibantai Majapahit yang mengira Blambangan sedang meminta bantuan Kaisar Ming.
Terkejut oleh serangan, ia pun mengerahkan seluruh armada ke Majapahit dan arahkan semua meriam kapal perangnya ke daratan. Sebelum bola-bola mesiu itu dimuntahkan, ia melakukan tindakan mengejutkan. Dengan menggunakan kapal kecil dan hanya ditemani beberapa pengawal, ia malah memutuskan menghadap Raja Majapahit untuk menanyakan kenapa utusannya diserang. Tak pelak sang raja pun menyadari kesalahpahaman dan perkara dapat diselesaikan dengan damai.
“Sungguh menakjubkan apa yang ia lakukan,” pujimu kagum. Karena itu, wajar apabila kau bersikeras menyangkal habis-habisan sejumlah kisah yang kudengar dari kakekku di masa kecil ini.
Ah, baiklah, anggap saja aku memang keliru dan hanya ngelantur. Toh, aku pun tak bisa menunjukkan kebenarannya padamu. Tak ada sepotong pun catatan sahih yang bisa kurujuk sebagai pegangan kecuali kisah-kisah ini kudengar dari mulut kakekku puluhan tahun silam. Membelukar dalam ingatan. Tak ada bukti bisa diuji layaknya lonceng raksasa Cakrado yang dihadiahkannya kepada Sultan Aceh, atau piring bertuliskan Ayat Kursi yang saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon.
Namun tak ada salahnya bukan, jika cerita-cerita kecil ini aku ungkapkan kepada pembaca? Sebab bagiku, di sini persoalannya bukanlah sejauh mana kebenaran kisah-kisah itu, tapi bagaimana sesekali kita mencoba melihat sisi lain dari versi sejarah yang resmi…
Hm, beginilah cerita yang kautuduh sebagai fitnah keji itu. Cerita-cerita yang kau anggap musykil.
(2) AH kukatakan kepadamu, sesungguhnya rumah panggung yang tegak dari Semenanjung Malaya hingga bumi Betawi tak lepas dari riwayat pelayaran laksamana agung itu. Bahwa, sejarah tiang-tiang penopang rumah itu berpangkal dari sebuah niat buruk yang tebersit di benak Cheng Ho tatkala armada rayanya –ya, sebagaimana dicatat Ma Huan dalam kitab Ying-yai Sheng-lan, terdiri atas 27.000 awak dan 307 kapal besar-kecil-menyusuri pesisir timur Sumatera.
“Dirikanlah rumah di atas pancang tiang, niscaya kalian bakal terhindar dari ancaman binatang buas,“ katanya kepada orang-orang Melayu di Riau dan Malaka. “Tinggikanlah rumah agar kalian tak disapu ombak dan sungai yang meluap,“ sarannya kepada penduduk yang berdiam di pesisir Jambi, bantalan Batanghari dan Musi.
Ai, kendati tak mampu kutunjukkan tanda betapa rumah-rumah panggung itu adalah jejak kepicikannya yang nyata, toh terang dapat kautangkap maksud dan tujuan nasihat itu bukan? Bahwa tak lain supaya orang-orang Melayu mengalami celaka, mati ketimpa rumah panggung mereka yang roboh apabila tiang-tiang penyanggah merapuh dan patah.
Ya, bisa saja sebaliknya kau asal bentuk arsitektur tua itu sebagai salah satu tanda kemurahan hatinya berbagi ilmu, sebab para penduduk pribumi dengan lugunya telah bertanya, “Tak robohkah rumah kami, Tuan Nahkoda?“ “Oh, Tidak. Tidak akan roboh. Percayalah!“ Mulut bertuah, sakti ucapannya, manjur kata-katanya. Sekali bilang tidak, berarti memang tidak. Akibatnya para penduduk pun selamat dari malapetaka. Karena itu sampai sekarang, masih dapat kautemukan rumah panggung tegak di mana-mana selama belum hilang Melayu di bumi…
Kau menganggapku mengarang-ngarang cerita? Silakan saja. Tapi dengarkanlah dulu ceritaku perihal pohon kelapa.
Kautahu kenapa para penduduk di pesisir suka membakar daun-daun, pelepah dan reranting kering di bawah batang-batang kelapa? Termasuk di kampungku, bahkan saban sore kakekku dulu selalu melakukan. Biasanya dengan sapu lidi dia kumpulkan sampah daun dan ranting yang berserakan di pekarangan rumah kami yang tak jauh dari pantai, juga pelepah kelapa kering atau rumput yang habis ditebas. Lalu dia tumpukkan di bawah beberapa batang kelapa kami sebelum kemudian beliau bakar.
“Kenapa membakar di bawah batang nyiur, Kek?” tanyaku penasaran waktu itu.
“Ya tentu saja biar batangnya subur dan nanti berbuah lebat,” beliau tertawa, “Sesuai yang dianjurkan Cheng Ho. Mau kau mendengar ceritanya?”
Nah, kisah ini ada kaitannya dengan hikayat Sunda Kelapa, bagaimana pelabuhan yang pernah jaya tersebut bernama demikian syahdu. Begini kakekku dulu bercerita: Konon ketika pertama menginjakkan kaki di sana, pelaut besar itu bertanya apa nama tempat yang disinggahi kepada seorang penduduk yang kebetulan sedang memetik kelapa di pantai. Entahlah kebetulan semata atau sudah takdir, telunjuk Cheng Ho yang menunjuk tanah ternyata tepat mengarah pada sebutir kelapa. Karena mengira orang bertanya apa nama buah, penduduk itu pun serta merta menjawab: “Kelapa!” Maka jadilah Sunda Kelapa, yang di kemudian hari kesohor sebagai pelabuhan besar nan hibuk tempat berlabuh kapal-kapal dari penjuru negeri.
Bahkan sampai sekarang orang-orang Tionghoa masih sering menyebut Jakarta sebagai Pa Sang, Pa dari kata kelapa. Atau Jai Sang, yang berarti Bandar Kelapa. Begitulah.
Namun lantaran iri melihat indahnya pantai dengan nyiur hijau melambai-lambai, selanjutnya sang laksamana menganjurkan para penduduk di sana menyalakan api di bawah batang-batang kelapa mereka. Supaya terhindar dari hama dan tanahnya kian subur, demikian alasan orang kebiri itu. Padahal niat di hati sebetulnya agar batang-batang menjulang tinggi itu hangus terbakar.
Toh, lagi-lagi para penduduk dengan lugasnya bertanya, tak matikah pohon kelapa? Ya, kau pastinya sudah tahu apa jawaban Cheng Ho, sehingga tradisi ini kemudian terpelihara dari generasi ke generasi dan tersebar luas ke seantero tempat berkat para pelaut…
Apakah kau percaya jika buah duku dulunya beracun?
(3) MUNGKIN kakekku memang cuma ngelantur karena iseng. Tak pernah kutahu dari mana ia pungut semua kisah liar ini. Apakah karangannya sendiri saat tenggelam dalam lamunan? Atau bualan yang didengarnya dari seseorang di kedai-kedai kopi? Entahlah.
Tapi ambillah sebutir duku, kupaslah kulitnya dan amati baik-baik isinya. Pasti kau mendapatkan sebekas goresan kuku di setiap keping dagingnya yang putih, bukan? Tak perlu kaget, tak perlu bertanya, aku beritahu saja padamu rahasia ini.
Sesungguhnya itulah bekas kuku jempol Sam Po Thai Kam tatkala ia menghasut para penduduk sebuah desa kecil di Jawa Barat makan buah duku yang beracun! Ah, waktu itu -ketika ia bersama serombongan kecil prajuritnya mampir ke desa tersebut dengan maksud membeli damar- memang sedang musim buah. Melihat lebatnya buah-buahan berkulit kuning yang tampak menggiurkan di hutan pinggir desa dan banyaknya buah-buah jatuh yang dibiarkan berserakan di bawah batang, Cheng Ho dengan spontan pun bertanya, “Kenapa tak ada yang memetik buah-buah ini, Kisanak?” Dan dijawab, “Buah ini tak bisa dimakan, Tuan.” Penasaran, ia lalu memetik sebutir duku yang bergelantungan di dahan rendah dan membuka kulitnya. Dia teliti isi buah yang baru kali pertama ditemui itu, ditekan daging buah dengan kuku jempolnya hingga tergores dan berair. Saat itulah, tiba-tiba timbul lagi niat jahat dalam kepalanya.
“Siapa bilang buah ini tak boleh dimakan? Boleh kok!” katanya kepada para penduduk yang mengerumuni.
“Tidakkah beracun, Tuan?” tanya seorang lelaki separuh baya yang tampak bingung di sampingnya, “Apa tidak mati kalau dimakan?”
“Oh, tidak, tidak. Makanlah!” tersenyum diulurkannya daging duku yang terkupas di tangannya kepada penduduk itu.
Mungkin terpukau oleh sosoknya yang berkharisma, mungkin juga suaranya yang lembut, ramah dan berwibawa, tanpa ragu-ragu lagi si penduduk kemudian memakan duku yang diberikan. Dan seketika, lenyaplah racun buah-buahan itu oleh kata-katanya yang bertuah. Ketika dikunyah, ternyata memang begitu manis rasa daging buah itu.
Sejak itulah, kau tahu, duku bukan lagi buah-buahan hutan yang tumbuh liar, tetapi para penduduk beramai-ramai suka menanam pohonnya yang besar dan rimbun di kebun maupun pekarangan rumah.
Sejak itu pulalah, goresan kuku jempol Cheng Ho tertinggal di dagingnya yang putih, membekas untuk selamanya. Kau suka buah duku? Beruntunglah! Ah, masih ada beberapa kisah semacam ini yang kudengar dari kakekku pada masa kanakkanak. Tapi akan kuceritakan satu lagi untukmu. Kali ini tentang buah durian.
Kau gemar makan durian juga kan? Aku suka. Apalagi kalau dagingnya berwarna kuning dan tebal-tebal. Harum dan lezat sekali.
Enak pula jika dibuat ketan durian. Pada musim buah, belum lagi bila harganya murah, setiap hari bisa lima durian besar aku habiskan sendirian. Jika orang lain tak berani makan terlalu banyak karena takut panas dalam, aku tidak. Aku punya cara mujarab menawar panas dalamnya. Waktu kecil, setiap paman dan bibiku membawa banyak durian hasil kebunnya di dusun, ibuku selalu menyuruhku minum air yang ditampung pada kulit durian sehabis kami ludes menyikat oleh-oleh itu.
“Sam Po Thai Kam-lah yang telah mengajari orang-orang di sini,” tukas ibuku. Semua orang di kampung halamanku juga melakukan hal yang sama, turun-temurun.
“Lalu apa yang salah dengan itu? Bukankah ia telah menularkan pengetahuannya yang baik tentang durian pada penduduk?” gugatmu.
Ya, tentunya kau benar jika saja memang demikian adanya. Tapi pada Ramadan bertarikh 1407 Masehi itu tatkala singgah di pantai Tanjung Ketapang, Bau Bo Li 3), Cheng Ho sama sekali tidak bermaksud mengajari penduduk di ujung selatan Pulau Bangka cara makan durian yang masih dipraktikkan hingga kini tersebut. Saat berbuka puasa di bukit yang kelak akan disebut Liu Lian Liang atau Bukit Durian, ia justru berniat mempermainkan orang-orang kampung yang lugu.
Karena tahu, kulit durian sebetulnya malah lebih panas daripada isi buah berduri itu. Kau kaget lagi? Begitu pula halnya diriku waktu kecil saat mendengar cerita kakekku ini.
Namun seperti yang sudah bisa kau duga, orang-orang pribumi selalu saja dengan polosnya bertanya: “Buat apa minum air kulit durian, Laksamana?”
Tak pelak dengan santai, Cheng Ho pun menjawab bahwa kulit durian berkhasiat menghilangkan panas dalam. Jawabannya itulah, kata kakekku, yang sebenarnya menjadi obat mujarab untuk mengatasi panas dalam.
Berkat mulutnya yang bertuahlah, kulit durian pun akhirnya benar-benar menjadi penawar manjur seperti yang ia katakan. Ya, sampai sekarang, Kawan.
(4) AI, tentu saja aku berharap kisah-kisah liar ini tidaklah mengurangi kekagumanmu pada pelaut suku Hui itu. Sebagaimana tak sedikit pun, riwayat yang sulit ditelusuri sanad-nya ini bakal mengubah rasa hormatku padanya. Demikian halnya orang-orang Tionghoa di Gedong Batu ini —terutama mereka yang masih keturunan Wang Jinghong alias Kiai Jurumudi Dampo Awang— tak sedikit pun meragukan kepahlawanan sang laksamana dan begitu setia memuja patungnya yang keramat di kelenteng Sam Po Kong.
Semua catatan sejarah yang kaubeberkan kembali itu tidaklah pernah aku ragukan, Kawan. Sama sekali tidak. Selain nakhoda yang baik, barangkali ia memang seorang muslim yang tak pernah melalaikan kemakmuran masjid sebagaimana katamu.
Ingatlah, bagaimana pada 1413 ia memugar Masjid Qinging di timur laut Kabupaten Zian, juga Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar pada 1430. Tak segan pula ia menyampaikan khotbah Jumat tatkala berlabuh di Surabaya. Tapi adakah ia memang semulia yang digambarkan sejarah? Tentu kau mafhum kalau pelaut besar itu tak sekudus Nabi bukan? Aku tahu kau memikirkan hal ini, meskipun tetap tak bakal berkenan menerima ceritaku yang mirip dongeng. Akh…
Jadi, lupakanlah!
Catatan:
1) Nanyang: Samudera Selatan, Nusantara.
2) Samo Lung: Semarang.
3) Bau Bo Li: Toboali, sekarang ibukota kabupaten Bangka Selatan. Berasal dari kata Tobo = tebu, kepunyaan Ali. Kota penghasil nanas dan terasi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar