Kamis, 19 Mei 2011

Keris Tameng Sari

Agus Sri Danardana
Riau Pos, 17 April 2011

Pendahuluan

Secara arkeologis dan historis, keris telah dikenal masyarakat Indonesia (Nusantara) sejak zaman kuno, sekitar abad ke-5. Prasasti Tukmas di lereng barat Gunung Merapi (Grabag, Magelang, Jawa Tengah) menjadi petunjuk awal keberadaan keris di Indonesia. Meskipun demikian, secara sosiologis, keris baru menjadi bahan perbincangan setelah tersebar laporan-laporan perjalanan laut lintas negeri, seperti Yin Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di seberang Samudera) karya Ma Huan dan Xing Cha Sheng Lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Rakit Sakti) karya Fei Xin, di zaman kerajaan Majapahit (lihat Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, 2000:100-101).

Secara umum, keris dimaknai sebagai “senjata tajam yang bersarung, berujung tajam, dan bermata dua (bilahnya ada yang lurus, ada yang berkeluk-keluk)” (KBBI, 2008:681). Dalam perkembangannya, pengertian/makna keris sering mengalami perubahan seiring dengan perkembangan rasa bahasa dan sistem simbol dalam masyarakat penggunanya. Di Jawa, misalnya, keris dianggap sebagai istilah yang tumbuh dari jarwadhosok “akronim”: ke dan ris. Ke akronim dari kekeran “pagar, penghalang, peringatan, pengendalian”, sedangkan ris akronim dari aris “tenang, lambat, halus”. Keris, dengan demikian, dipahami sebagai alat defensif dengan konsekuensi akan pentingnya penekanan tentang kesadaran etis yang mengesampingkan performan keris sebagai senjata tajam yang keras dan agresif. Pengertian seperti itu biasanya berbarengan dengan pemolesan makna simbolis tentang kesejahteraan hidup melalui konsepsi angsar, yakni kepercayaan akan adanya kekuatan dalam karya estetik yang akan dapat mendatangkan keberuntungan. Dalam proses regenerasi, “pesan moral” seperti itu dianggap sebagai wasiat (nasihat peninggalan nenek moyang) yang wajib dijalankan. Di satu sisi, keris ditempatkan sebagai senjata untuk perlindungan diri, di sisi lain keris menjadi simbol kedewasaan, kepercayaan, kebebasan, serta tanggung jawab sosial dalam masyarakat.

Dalam keluarga masyarakat Jawa, seorang ayah biasanya akan memberikan bilah keris kepada anak perempuannya yang akan menikah. Keris itu kemudian diserahkan kepada (calon) suami (untuk disimpan), di samping sebagai tanda adanya ikatan berdasarkan persetujuan keluarga terhadap (calon) menantu, juga sebagai tanda penyerahan tanggung jawab atas anak perempuan dari seorang ayah kepada menantu (dan besan) untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan kesejahteraan. Jika keluarga baru itu kandas (bercerai), keris akan diserahkan kembali ke mertua (disimpan oleh perempuan yang menjanda). Keris akan dikeluarkan kembali jika si janda menikah lagi.

Pewarisan keris dapat pula dilakukan atas dasar kepercayaan kepada pihak lain, bukan atas dasar keturunan (proses regenerasi). Dalam kasus-kasus tertentu, pewarisan keris bahkan terkait dengan simbol garis penerus yang berhubungan dengan kapasitas khusus tertentu dalam tradisi, seperti pewarisan otoritas yang dimiliki seorang tokoh/kerajaan kepada tokoh/kerajaan lain yang dipercaya dapat memegang amanat.

Tulisan ini sebenarnya hendak melihat makna keris tameng sari dalam salah satu sajak Taufik Ikram Jamil, “tameng sari kuserahkan kembali” (Fragmen Waktu, 2010:106-107). Sajak 9 bait itu akan didekati secara mitologis (“kisah masa lalu”) dengan mengaitkannya dengan kepercayaan / pemahaman masyarakat (Riau, melalui Taufik Ikram Jamil) atas keberadaan keris tameng sari.

Sastra dan Mitologi

Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma (2004:130) berpendapat bahwa sastra adalah kepanjangan dari mitologi. Seperti halnya dalam sastra, di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiwaan/masalah psikologis sehingga antara sastra, mitologi, dan psikologi sesungguhnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Untuk mendukung pendapatnya itu, Budi Darma mencontohkan asal-usul istilah histeria dan narsisme. Konon, kedua istilah itu diambil dari dua nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang mengalami masalah psikologi: Histeria dan Narcissus. Histeria adalah tokoh wanita yang mengalami ketidakberesan pada rahimnya. Setiap kali ketidakberesan itu muncul, Histeria selalu berteriak-teriak, kadang menangis, kadang tertawa, dan kadang marah-marah tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Sementara itu, Narcissus adalah tokoh pria (?) yang mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Kini, keduanya: histeria dan narsisme digunakan untuk setiap orang (baik pria maupun wanita) yang mengalami gangguan kejiwaan seperti itu.

Sebagai produk budaya, idealnya, mitos akan selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Mitos bukan sekadar sebuah konsep/gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Mitos, dengan demikian, selalu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu: ide, ingatan, kenangan, dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakatnya (Barthes, 1981:193). Oleh karena itu, dalam kondisi yang benar, mitos dapat mengembangkan integritas masyarakat: memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah serta dapat membentuk solidaritas, identitas kelompok, dan harmonisasi komunal.

Keris Tameng Sari

Pada mulanya, Tameng Sari adalah nama seorang hulubalang (pendekar) kerajaan Majapahit. Ia memiliki sebilah keris yang sangat sakti. Dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan bahwa Tameng Sari, karena mengamuk dan hendak membunuh raja Majapahit saat menerima kunjungan hulubalang kerajaan Melaka, mati di tangan Hang Tuah. Atas kejadian itu, keris Tameng Sari dihadiahkan oleh raja Majapahit kepada Hang Tuah. Sejak saat itu keris itu pun disebut keris tameng sari. Konon, keris tameng sari itu pula yang digunakan Hang Tuah untuk membunuh Hang Jebat.

Penghadiahan keris tameng sari dari raja Majapahit kepada Hang Tuah, setidaknya, memiliki dua makna. Di samping merupakan sebuah pengakuan (atas ketangguhan Hang Tuah) dan tanda ikatan persahabatan (antara Raja dan Hang Tuah, Majapahit dan Melaka, bahkan Jawa dan Sumatera), penghadiahan itu juga merupakan simbolisasi dari sebuah prosesi pewarisan otoritas kerajaan Majapahit kepada kerajaan Melaka yang dianggap mampu memegang amanat.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah pemahaman seperti itu terlihat pada sajak Taufik Ikram Jamil, “tameng sari kuserahkan kembali”? Lalu, mengapa keris tameng sari dikembalikan? Untuk menjawabnya, mari kita simak terlebih dulu penggalan sajaknya (bait 1) berikut ini:

sumpah itu tak akan pernah terlupakan
makanya keris tameng sari ini sempat lama kusimpan
jadi semerbak kuntum-kuntum bunga
berucap pada negeri-negeri jauh
dengan kefasihan mantera tanpa keluh

Rupanya, bagi si aku lirik, menyimpan keris tameng sari bukan sekadar karena adanya kewajiban pemenuhan atas sumpah/janji, melainkan juga karena adanya pengakuan: dengan kefasihan mantera tanpa keluh atas keberadaan keris tameng sari (dengan segala makna simbolisnya) yang telah mengharum ke negeri-negeri jauh sekalipun. Meskipun demikian, pada bait 2, si aku lirik mencoba menampik hal itu dengan mengatakan, “tapi aku memang bukan yang dulu/sementara itu engkau begitu lembut untuk diri sendiri/hingga aku menduda dari catatan-catatan laku/yang tak panjangkan sua kita/pada tali persaudaraan yang kian pendek”. Oleh karena itu, si aku lirik pun membuat keputusan (bait 3) seperti berikut ini:

lalu kuserahkan kembali keris tameng sari ini
bersama kisah pilu di hulunya
tempat kita sama-sama pernah bergenggam
ketika berbagai mimpi diandam
di tengah jaga yang menjelang
tetapi dalam tidur pun tiada bertemu
nasib baik terpuruk ke dalam angan-angan

Begitulah, setelah membeberkan berbagai kekecewaannya (dengan menyodorkan keironisan-keironisan yang dinyatakan pada bait 4, 5, 6, 7, dan 8), aku lirik menutup sajaknya dengan mengulang keputusannya (bait 9) seperti berikut ini:

kuserahkan kembali keris tameng sari ini
sebelum tikamnya menjadi makin runcing
di tanganku kehilangan kendali
karena jarak yang kian tersarung
untuk kesalahan yang terus terasah
dalam catatan-catatan berbatu
yang telah mencalarkan diri sendiri
demi marwah yang makin basah oleh air mata

Penutup

Melalui pembacaan sederhana seperti itu, dua pertanyaan yang diajukan dapat dijawab. Pertama, keris tameng sari (oleh si aku lirik) tidak hanya dipahami sebagai senjata untuk perlindungan diri, tetapi juga dipahami sebagai simbol ikatan persaudaraan antarkita: aku dan engkau, Melaka dan Majapahit, dan/atau daerah (Riau/Sumatera) dan pusat (Jakarta/Jawa). Kedua, keris tameng sari dikembalikan karena si aku lirik kecewa, merasa telah dikhianati oleh engkau: pemberi keris tameng sari.

Atas dua jawaban itu, patut diduga Taufik Ikram Jamil (melalui sajaknya, “tameng sari kuserahkan kembali” ini) ingin melakukan demitefikasi keris tameng sari.

Lihatan ini, bisa jadi, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun demikian, dengan segala kelemahannya, (diharapkan) lihatan ini mampu menggoda pembaca untuk melakukan analisis/penelitian lebih lanjut. n

Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai di berbagai media, dan telah menerbitkan beberapa buku kritik/esai sastra. Sekarang sedang mempersiapkan salah satu buku kumpulan esai sastranya.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/keris-tameng-sari.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar