Kirana Kejora
http://sastra-indonesia.com/
Mengalir Saja
Aku sungguh, benar-benar nggak bisa menyambut pagi ini dengan sunggingan senyum. Jengah dengan diriku yang terus mengkultuskan Raja. Aku jengkel sekali dengan cinta yang terus tumbuh, merambati nadiku, menghela bayangnya sepanjang saat. Aku benci dengan semua kebodohan ini Tuhan. Dia selalu tak pernah mengerti, aku mencintainya lebih dari yang dia tahu. Hanya karena ruang, jarak, dan waktu yang sering tak bersahabat menemui kami, maka aku ingin bunuh rasa itu. Kalau sudah begini, aku jadi ingat lagi kata-kata sok taunya Rindu beberapa hari yang lalu.
”Jangan bodoh banget jadi sephia Key. Jelas dia udah nggak pernah lagi telpon, kamu sudah tiga kali ke Jakarta, dia cuek-cuek aja. Meeting, sibuk, bla-bla, klise banget alasannya.”
Aku saat itu dongkol sekali mendengar kalimat apriori Rindu tentang keraguan cinta Raja padaku.
”Emang dia sibuk banget kok, nyiapin international oil and gas conference and exhibition kemarin. Anak buahnya yang kasih tahu aku…”
”Eh Key, sebagai sahabat, aku hanya bisa kasih saran…kamu mau ulangi lagi kebodohan dengan begitu mengkultuskannya? Nggak inget cerita kamu ama Rio? Lelaki tuh semua buaya sayangku.”
Di-jawil dengan gemes daguku dengan tangan usilnya.
Aku memang merasa dungu banget karena kisah-kisah romanku yang selalu carut marut. Kata orang-orang aku jago banget menulis fiksi roman, namun hingga usiaku dua puluh sembilan tahun ini, romanku selalu berantakan. Penulis memang hanya penghayal cinta pemimpi surga. Begitu jawabku tiap kali ada temen-temen yang meledekku. Sebuah alasan yang sebenarnya juga berat banget buat aku jadikan pembelaan atasku, tapi mau bagaimana lagi.
Jemariku tak tergerak buat menulisi monitor notebook-ku, sakit otakku kambuh lagi, error lagi. Mimikku mungkin begitu nampak bodoh jika aku bercermin saat itu. Mata kosong tak bernyawa, dan acak-acakan habis rambut panjang ikalku, belum lagi, bau banget nih badan karena, tubuhku belum tersentuh air sejak aku bangun jam sembilan tadi, tiga jam yang lalu. Males parah! Minggu kelabu, Sabtu kelam, dasar bego abis. Ngerasa nggak jomblo, punya pacar, tetapi jauh dan milik orang pula.
Kulihat lagi inbox di telpon genggamku, SMS terakhir Raja seminggu lalu.
”Key, hati-hati kalau SMS, aku lagi di rumah.”
Nasib-nasib, jadi sephia memang selalu siap buat dinomorduakan. Cukup pendek, singkat, padat SMS-nya. Jauh, jauh banget dengan SMS-SMS dia sembilan bulan yang lalu, saat berjuang keras meluluhlantakkan tembok kengerianku akan sebuah cinta.
”Huuuh! Setelah aku larut…dia begitu saja mengecilkan masalah-masalahku. Namanya pacar, ya pinginlah share dan sayang-sayangan…geblek-geblek aku nih. Tapi masih sulit juga pindah ke lain hati…mbuh wis!”
Rutukku dalam hati, sambil nggak terasa jariku mengklik program mIRC, tiba-tiba aku chating!
Bodo ah! Aku pusing banget, bukuku tinggal 10% aja, tiba-tiba bad mood, otakku masih mentok buat berimajinasi, padahal minggu depan aku harus ke Jakarta buat presentasi buku kedua ini ke penerbit, major label, Graha. Dasar bengal dan dodol kali, aku nekad aja iseng chating. Ngawur, ku pakai nickname Sephia_cantik, biarin ah narsis.
”Hay.”
Aku masih datar aja menyambut sapaan nickname 33_handsome.
”Hay juga, eh sesama narsis dilarang saling bercinta.”
Cuek aja aku menjawab chating iseng ini.
”Lagi di mana? nggak keluar minggu gini?”
”Suka-suka gue dong, mau tahu aja. Eh elo narsis banget ya, ngaku-ngaku handsome.”
”Kamu juga, ngaku-ngaku cantik.”
”Yeee emang gue cantik…liat tuh di Friendster gue!”
Dongkol hatiku lihat kalimat-kalimat dia yang ngeledek banget. Enak aja, sembarangan ngomong. Padahal gue juga ngeledek dia, ah biarin aja.
”Ah di Friendster bisa juga bohong, belum tentu tuh pic kamu.”
Nggak tahu kenapa. Dadaku jadi sesek banget, nih orang nambah gue suntuk aja.
”Heh denger ya, gue nggak pernah bohong, fair ama sapapun. Nggak kayak banyakan orang yang nggak pede banget penampakan walau cuman lewat pic, dunia cyber emang banyak semunya, tapi gue nggak!”
”Lho? Marah? Mau ngebuktiin?”
Tambah bengal nih orang ya, aku makin keras menekan tuts keyboard notebook.
”Ok! Gue terima tantangan elo! Sore ini kita ketemu! Gue juga pingin tau elo!”
”Sapa takut sayang? Kita ketemu dimana? Aku nggak tahu Surabaya, maklum aku tim dari pusat yang ditugaskan buat riset lumpur say. Ini lagi bete banget, gimana kalau kamu ke Sunrise apartement aja?”
”Ih, enak aja, emang gue paan pake nyamperin-nyemperin, nggak lah yao!”
”Duh say… Karena aku harus pantau lapangan, setiap saat aku nggak bisa ninggalin Sunrise, kantorku di sana juga, please.”
Karena sudah muncul keinginanku buat ngebuktikan gimana dia, ngalir aja aku menjawab dan mengiyakan pertemuan kami. Nggak tahu juga kenapa, aku merasa harus ketemu dia. Melupakan SMS Pasha dari Graha tadi pagi tentang bukuku. Ah sebodo amat, kalo lagi bad mood ya tetep aja kosong nih otak, batinku protes.
”Ok gue kesana! Awas bohong! Kalau bohong, elo harus beli novel gue 10 kali lipat! Nih HP gue?! Ntar elo miss call.”
”Hey…jadi kamu penulis? hmm great! Ok say aku tunggu kamu sekarang.”
Setelah dia miss call, aku save nomor telpon genggamnya. Dasar kali lagi mabok nih otak, segera aku matiin notebook dan mandi setelah sebelumnya aku telpon taxi.
***
Terduduk Terkesiap
”Udah nyampe mana sephia cute?”
Huuh, tambah kesal nih ati, ngejek bener nih orang.
”Dah masuk lobby.”
”Wait five minutes ok.”
Aku memasuki lobby dan duduk di sofa sudut. Sengaja kupilih tempat yang agak tertutup, aku pingin tahu dulu gimana dia.
Lima menit, sepuluh menit aku menunggu, dasar buaya, aku memilih cabut. Saat aku berdiri ada sapaan di belakangku. Shit! Dia ternyata lebih canggih menjebakku duluan.
”Sephia cantik…”
Aku segera menengok ke arah suaranya, dengan mataku yang siap melahap habis wajahnya. Tetapi, sunggingan senyum dari bibirnya yang membelah, membuat tenggorokanku tercekat, bagai ada ribuan duri tajam yang tertanam di dalamnya, saat wajahku yang sangat kecut tertatap mata elangnya. Duh, ternyata dia handsome habis!
”Lho kok diem ya, jabat salam dulu dong.”
Aku sadar akan kegoblokanku kali ini, aku segera menjabat tangannya. Lalu dia mengajakku duduk kembali.
”Mana novelnya?”
Dengan wajah yang sangat cukup blingsatan, memalukan banget, aku membuka tas dan mengeluarkan novelku.
”Lumayan juga buku kamu, bagus covernya, keren, eksotik. Kalau isinya sama nggak kayak penulisnya?”
Tiba-tiba ada keberanianku menatap matanya. Aku merasa dia terus mengejekku.
”Ya udah, aku balik, dah cukup pembuktian kita kahn?!”
Lalu tiba-tiba dipegangnya dengan kuat jemari tangan kananku yang berlenggang di depannya.
”Hey, jangan gitu ah, maafin aku ya. Kamu kan tamuku, minum teh di cafe dan ngobrol-ngobrol dulu ok?”
Tahu kenapa, aku nurut aja saat tanganku digandeng dan diajaknya masuk The Candle cafe. Kemudian kami duduk di sudut belakang cafe.
”Aku lagi jenuh aja, maaf ya jadi ngerjain kamu. Maklum setiap hari aku harus stand by buat memantau perkembangan lumpur. Satu bulan ini, setiap hari kerjaanku baru selesai jam tiga pagi. Capek aja pikiran dan hati, makanya tadi iseng aja aku chating di mIRC pake nickname itu say…”
Hmmm… jadi curhat nih ceritanya? Batinku, egp, emang gue pikiran apa. Duh tapi matanya dan bibirnya itu rek, napa aku jadi nggak punya daya buat bicara ya?
”Lagi nulis apa sekarang? Eh namamu say? aku Byan.”
”Panggil aja Key.”
Jawabku datar dan pendek. Tapi dia memang begitu pintar, melarutkan keangkuhanku dengan obrolan-obrolan ringan tapi menarik buat terus kusimak. Tapi napa aku mesti kagumi dia ya, duh ditambah lagu yang diputer di cafe ”Akhirnya Kumenemukanmu” punya Naff. Entah mengapa aku tiba-tiba suka dengan lagu itu. Aura Byan telah merasuki tulang sumsumku di senja yang kian merubung itu.
Tiba-tiba telpon genggamku berbunyi, duh Pasha…
”Iya nih tinggal 10% lagi. Pasti minggu depan, hmm pastinya, besok aku telpon kamu. Jangan sore ini, aku lagi di luar. Iya, iya deh aku usahain…”
Lalu aku matikan telpon genggamku.
”Ada apa Key? Kok muram gitu?”
Aku hanya meliriknya, buat apa seh tanya-tanya batinku masih dengan keangkuhan hati mengakui bahwa dia memang tampan sekali. Macho habis dengan t-shirt Polo hitam, celana jeans donker dan sepatu lars Caterpillar.
”Eh mengapa diam say?”
Say-say, ih resek bener seh, rutuk hatiku.
”Aku balik dulu deh, harus kirim email sekarang ke Graha, penting banget, dah ditunggu.”
Aku berdiri. Dan eh, sekali lagi dengan lancangnya, tangannya memegangi jemari kananku.
”Kalo mau ngenet bisa kok di kamarku, kasian kan mereka harus nunggu lama, diminum dulu tehnya, habis ini kita ke kamar aja ok?”
”Nggak ah…”
Napa jawabanku mulai melunak ya, heran juga aku.
”Nggak usah takut, aku nggak akan sentuh kamu Key, yuk!”
Kemudian dia memanggil waitress, setelah menyelesaikan bill, kami berjalan menuju lift, dan anehnya aku kok ya nurut aja kali ini, karena rasa nggak enakku ingkar janji terus dengan Pasha. Aku mangkir, harusnya seminggu yang lalu aku sudah ke Jakarta buat presentasi bukuku yang kedua.
Jadi inget kata-kata mas Sasongko dedengkot komunitas inde Surabaya, melalui telpon dua hari lalu, saat aku curhat tentang kisahku dengan Raja yang mulai kusadari, bahwa dia benar-benar bukan dan sulit aku miliki.
”Udahlah Key, bangun mood kamu lagi. Jangan kamu sia-siakan kesempatan dengan major label. Sapa seh yang nggak tahu Graha? Prestige-mu sebagai penulis daerah bisa naik. Kapan lagi obsesimu akan terwujud? Udah buruan diselesein, nggak inget kamu dengan susah payah menerbitkan buku inde-mu kemarin? Cinta nggak harus ditangisi. Hari gini ngomong cinta? Wis yo, aku mau ngurusi recording anak-anak.”
”Eit, dah nyampe nona, lady first…”
Lamunanku terhenti dengan terbukanya pintu lift dan kalimat Byan, ah menyebalkan sekali seh, aku harus terjebak gini, dan aku sadar sesadar-sadarnya. Ya Tuhan, kondisi nggak memungkinkan aku buat punya daya menolak ajakan Byan ke kamarnya, duh!
Tak lama setelah aku masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi dengan canggung, telpon genggam Byan berbunyi.
”Kok bisa sih mereka nimbun material di area racing? Coba kamu cari tahu kerjaan sapa itu! Shiit! Trus tadi siang ada demo di kantor bupati, cari tahu apa yang mereka demokan. Hubungi Aman! Kerja sendiri belum diberesi udah nyampuri kerjaan orang lain!”
Gerutunya dengan mimik serius. Dan aku mencoba mencerna siapa dia sesungguhnya, sambil kuberanikan diri untuk meliriknya. Dan degh, aku begitu blingsatan saat mata elangnya menatap tajam mataku, mata kami beradu. Dan entah kenapa mataku tak bisa terkedip dan sulit banget buat lari dari tatapannya.
”Sorry Key, ya gini kerjaanku tiap hari, underpresser. Maklum aku ke sini sebagai salah satu jarum dari goverment. Ah udahlah, lagi pusing ngomongin kerjaan, eh jadi kan ngenet-nya?”
Tiba-tiba mataku melemah dan nada bicaraku mulai lembut, kayaknya hatiku mulai sedikit-sedikit luluh. Dan aku mulai tahu siapa dia.
”Tapi kamu kan juga harus online terus…”
”Nggak juga, bisa lewat hand phone kok.”
Segera aku ambil flashdisc yang memang selalu kubawa kemana-mana. Karena flashdisc bagiku adalah separuh nyawaku. Kembali telpon genggamnya berbunyi.
”Ya, saya segera ke kantor sekarang…”
Tiba-tiba pundakku dipegang, dan terasa dingin sekali darah yang mengaliri tubuhku, aku begitu merinding. Duh, napa jadi begini Tuhaaan!
”Say, aku ke kantor dulu ya. Kantorku di apartement sebelah. Kalo kamu udah selesai call aku, atau kalo kamu mau makan call aja service room, kamu tanda tangani aja bill-nya, masukkan dalam bill my room, dan kalo kamu mau. Tidur aja di sini, kali aja kemaleman. Ntar aku balik ke kamar shubuh kali. Jangan khawatir, aku jinak kok, hahaha… kamu aman. Aku nggak akan sentuh kamu say, ok aku pergi dulu ya.”
Mengalir begitu lugas dan cepat kalimat-kalimat Byan, tanpa memberiku kesempatan berpikir atau menjawab, seakan-akan kami sudah lama bertemu dan berteman dekat. Moderat banget sih ni orang, begitu percayanya ama aku yang ditinggal begitu saja di kamarnya.
Belum selesai otakku berpikir dengan ucapan-ucapan dia barusan, tiba-tiba telpon kamar berdering. Keraguan menyelimutiku. Kuangkat nggak ya? kuangkat nggak? Dan tiba-tiba saja gagang telpon sudah menempel di telinga kananku.
”Maaf dengan ibu Byan?”
Aku bingung harus menjawab apa, namun tiba-tiba dari bibirku keluar jawaban.
”Iya…”
”Kami mau kirim baju-baju bapak dari laundry ke kamar bisa?”
Sekali lagi aku kok ya menjawab.
”Bisa…”
Lalu aku letakkan gagang telpon. Dan aku kembali terduduk di kursi dengan mimik bego… melongo.
”Hah? Aku jadi bu Byan?” batinku geli merasakan fragmen barusan.
Tak berapa lama terdengar bunyi bel, dan segera kubuka pintu kamar.
”Ini bajunya bu. Dan tolong tanda tangani bill-nya.”
Setelah aku tanda tangani bill-nya, aku terima baju Byan, lalu aku menutup pintu kamar. Namun sebelum baju-bajunya aku masukkan ke dalam lemari, iseng aku melihat nama yang tertera di bungkusan plastik bajunya, Byan Dewangkara. Dan dia ternyata? Haaah? Seorang doctor! Minder juga aku yang hanya lulusan strata satu, mbuh wis!
Aku harus selesaikan bukuku malam ini, biarin kemaleman. Dan segera aku harus kirim ke Pasha malam ini juga, nggak boleh ketunda lagi. Karena tiba-tiba saja mood-ku nulis terbangun bagus di kamar Byan, entah kenapa. Ada apa lagi dengan hatiku? Masak aku bisa pindah ke lain hati hanya dalam hitungan jam? Misteri Illahi kata Ari Lasoo. Mudah aja jawabannya, kali ini aku nggak mau pusing lagi karena cinta.
Seperti biasanya, kalo aku nulis harus teriring lagu apa saja. Kuambil remote TV dan nggak sengaja terdengar lagu itu lagi. Naff kenapa kamu hadir kembali, dan syair-syairnya begitu rekat lekat di hatiku malam itu.
”Akhirnya kumenemukanmu, saat hati ini mulai merapuh… akhirnya kumenemukanmu saat raga ini ingin berlabuh.. kuberharap engkaulah jawaban sgala risauku hatiku… dan biarkan diriku mencintaimu hingga ujung usiaku…”
Aaah, jadi aku mencintainya? Memang aku bertemu dia hari ini, saat aku risau akan cintaku dengan Raja, yang tak berujung karena aku hanya kekasih bayangannya, entah sampai kapan. Tapi kalau aku jatuh cinta pada Byan? Aaah kok, begitu mudahnya, aku tak yakin hatiku telah pindah. Tetapi aku nggak mau munafik, ternyata aku mulai tertarik pada sosoknya. Gentle, cuek, selengekan, tapi juga serius dan jenius.
Aku mulai merasakan kebodohanku kembali, karena menjadi pemuja rahasia baginya! Nggak! Nggak ah! Tuhan, jangan sampai aku menjatuhkan cintaku pada dia. Karena aku masih mengharap, cintaku dengan Raja bisa berujung pada suatu saat dan bermuara pada sebuah tempat.***
Pemilik Pilihan
Mataku mulai terasa berat sekali buat memelototi monitor notebook. Tapi bisa menarik nafas bahagia lega, karena akhirnya aku bisa menyelesaikan bukuku malam itu, dan menepati janjiku pada Pasha.
Tanpa kusadari aku tertidur pulas di kasur kamar, dan terhenyak bangun karena bel kamar berbunyi. Ternyata Byan sudah di depan pintu kamar. Dengan langkah berat aku bukakan pintu.
”Udah tidur say? Maaf ya ngganggu kamu. Ya udah tidur lagi aja.”
Tanpa menghiraukan kalimat Byan, aku langsung menjatuhkan tubuhku yang terasa begitu penat dan lelah nggak punya daya ke kasur.
Berlalunya saat tak begitu terasa. Aku terbangun karena suara SMS yang berturutan masak dalam telpon genggamku. Saat mataku mulai terbuka, aku begitu kaget karena tangan kananku telah merangkul paha kanan Byan yang masih tebungkus celana jeans-nya. Nampaknya dia tidak tidur, duduk bersandar di tembok sambil mengisap rokok putihnya dalam-dalam. Seperti terasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatinya. Lalu tangan kanannya begitu saja mengelus rambutku.
”Mau bangun sayang? Baru jam enam, bobok aja lagi kalo masih ngantuk.”
Terasa dibuai desahan lekuk gemulai sang angin, ucapan lembut Byan pagi itu melenakan lelap tidurku kembali.
Tak berapa lama kemudian aku terbangun lagi, karena SMS di telpon genggamku. Dan ternyata tanganku masih tetap dalam posisi memeluk paha kanan Byan.
Aku melirik ke atas, ke arahnya, dia masih seperti semula. Menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap putihnya ke langit-langit kamar dengan kuat. Serasa melepas beban berat yang bersemayam dalam hatinya.
Namun kali ini matanya yang mulai memerah, begitu tajam menatapku, dan tangan kanannya terus membelai lembut rambutku. Merasa nggak enak dengan kondisi itu, aku bangun. Tetapi matanya nampak tak lepas memandangi seluruh lekuk tubuhku. Karena merasa risau dengan perlakuannya, aku segera ganti menatap matanya.
Kemudian ditariknya tubuhku mendekat pada tubuhnya. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja bibir kami sudah saling bersentuhan, saling melumat, seolah memuntahkan hasrat yang terus membanjiri keringnya hati kami selama ini. Detak dadaku begitu hebat mengguncangkan tubuhku yang telah tertindih tubuhnya. Begitu sejuk sapa pagi itu melumuri kulit kami yang bersentuhan dengan desahan roman.
Satu demi satu lilitan benang yang menyetubuhiku mulai terlepas. Begitupun dengan Byan, tinggal jeans donker-nya yang masih melekat. Aku tak kuasa menolak semua persentuhan hatiku padanya.
Namun tiba-tiba Byan bangkit, terdiam. Dan menutupi sebagian tubuhku dengan selimut. Tatap liar matanya menelusup dalam kutub-kutub esku, melelehkan dinding salju yang melingkari jiwa sunyiku.
”Maafkan aku say, aku menyentuhmu.”
”Nggak, nggak say… Kamu nggak sentuh aku. Janjimu telah terpenuhi, meskipun hatiku telah kamu sentuh.”
Tiba-tiba mengalir saja kata ”say” dari bibirku tanpa bisa kubendung. Lalu Byan datar berucap…
”Everybody got a void in his soul. We are just two lost souls in a fish bowl”
Kemudian dibukanya tirai jendela kamar, pandangannya melesat jauh ke bumi Surabaya yang telah hiruk pikuk dengan geliat hidup manusianya. Sorot sang bintang raksasa semakin menguatkan pengakuanku akan keberadaan Byan di hatiku.
Dia menyalakan rokok putihnya, kembali dihisapnya dalam-dalam. Mata kami bertemu, bersentuhan dengan aroma bidak-bidak roman dalam relung dan relief jiwa yang kuat, tegas, bersenyawa dan berada pada satu garis, bertanya. Mengapa dan sedang ada apa dengan hati kami.
Tiba-tiba aku teringat Raja. Kembali aku terusik dengan ketololan. Aku merasa mengkhianatinya. Merasa salah dan berdosa padanya. Padahal aku juga sadar, aku bukan istrinya, dia bukan suamiku, dia milik orang… Sebuah kebingungan tak berdasar sama sekali yang kurasakan saat itu.
Kemudian aku berusaha, mencoba meyakinkan hatiku, bahwa cintaku pada Raja mulai terkikis. Semakin terkikis setelah ada pikat persentuhan hatiku dengan Byan, bukan pikat persetubuhanku dengannya, yang baru saja kukenal delapan belas jam yang lalu. Padahal, sungguh, benar-benar aku belum tahu lagu apa yang berkecamuk dalam hatinya tentangku, semoga cintaku kali ini tak salah lagi tempatnya. Sesungguhnya, cinta itu tak pernah salah. Namun, cinta bagiku, adalah sebilah belati tajam bertahta emas berlian, yang kan siap membunuh kita setiap saat, meskipun kita tak harus mati terbunuh karenanya. Dan aku harus siap terluka, karena aku jatuh cinta… Semoga aku bisa menjadi miliknya yang terpilih, dan dia bukan milik siapapun, meski Sang Pemilik Sejati tetaplah Dia…
Rumah Putih Sby, 6906
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar