Putu Satria Kusuma
http://www.balipost.co.id/
Dalam siluet pagi yang indah, di Hari Raya Penampahan Galungan itu, seorang wanita berdiri di depan pintu, melepaskan senyum. Men Bukit gugup membalasnya. Lalu tangan wanita yang sangat dikenalnya menyodorkan sepiring lawar. Men Bukit ragu. Dulu membawakan makanan atau ngejot kepada tetangga dan saudara pada hari raya merupakan peristiwa yang penting untuk menegaskan tali kekeluargaan.
SEKARANG suami mereka saling bermusuhan, apakah kebiasaan ngejot dilanjutkan. Sesaat ia menimbang, kemudian menerima jotan itu dan membalas dengan tape ketan. Men Kojong gembira, mencicipinya. ”Enak,” pujinya. Dua wanita itu tertawa, mendapatkan keakrabannya kembali. Terakhir mereka bersalaman. Meski tak terucapkan, mejotan dan balasannya itu menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hubungan suami mereka. Tetapi ketika men Bukit menaruh lawar itu di meja makan, seseorang memegang bahunya. Tangan itu kekar dan akrab, tangan suaminya.
”Buang lawar itu!” perintahnya.
”Kenapa?”
”Lawar jotan men Kojong itu berisi racun!”
”Men Kojong baik, tak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu!
”Men Kojong mungkin tidak, tapi suaminya Mangku Kojong pasti, pasti melakukannya! Sekarang buang lawar itu, buang!” bentak Mangku Bukit.
Men Bukit menyahut dengan tatapan. Ingin sekali ia menuruti perintah lelakinya sebagai bakti, seperti yang sudah-sudah. Namun kali ini ia menolak. Lawar yang terbuat dari campuran cingcangan daging, darah, parutan kelapa dengan aneka bumbu komplit itu dicomotnya sejumput, dimakannya. Melihat itu, Mangku Bukit geram, bola matanya bertambah besar dibakar marah. Tangan lelaki itu menampar. Plak!
Kecemasan suaminya memang beralasan. Biasanya musuh akan memanfaatkan segala celah untuk membunuh atau pun menyakiti lawannya beserta keluarganya. Tapi Men Bukit tetap pendiriannya. Sambil mengunyah lawar itu, ia berkata, ”Biarlah wanita menjadi tumbal dari permusuhan yang dibuat lelaki. Kalau lawar ini berisi racun, biar tiang mati melanggengkan permusuhan bli dengan Mangku Kojong turun temurun. Kalau tidak, mari akhiri permusuhan sampai di sini!”
Mangku Bukit mencegah. Men Bukit bersikukuh. Mereka bergumul. Mangku Bukit berhasil memasukkan jemari tangannya pada mulut istrinya, untuk mengeluarkan makanan itu. ”Racun yang dipasang pada makanan tak selamanya bereaksi cepat. Hanya racun kasar yang bekerja demikian. Kalau racunnya halus, beberapa bulan lagi nyai baru kesakitan dan mati!” pekik Mangku Bukit.
Men Bukit tak membantah. Memang banyak jenis racun yang pernah ia dengar, ada yang dibuat dari logam, zat binatang dan tumbuhan. Cara bekerjanya pun berbeda, cepat dan lambat. Konon, seseorang yang terkena racun makanan, sebelum mati dengan tubuh menghitam akan memuntahkan segumpal darah berisi ulat hidup. Ia tak takut mengalami itu, hanya batinnya berharap yang ia muntahkan kelak bukan segumpal ulat darah tapi puluhan bunga dengan keharuman mengabadi memasuki rumah-rumah dan hati manusia.
Sejam berlalu, Men Bukit merasakan lidah dan langit-langit mulutnya memanas bagai menelan api. Lawar itu telah menimbun pada ususnya yang halus. Lemak dagingnya melelehkan minyak dalam campuran darah binatang. Ribuan parutan kelapa, menggumpal menjadi serat, mengoyak-ngoyak sebuah rongga yang berhubungan dengan segenap saraf-sarafnya. Kepalanya pusing. Denyut jantungnya menggelombang. Ia merasa dihempas angin dan ombak laut. Lalu oleng, menggigil memegang perutnya.
Melihat itu, Mangku Bukit panik, berlari mencari air kelapa gading lalu meneteskan penawar racun, minyak cukli lungsir simpananya. Tapi Men Bukit menghempasnya. Penawar racun tradisional itu tumpah terhisap pori lantai. ”Tiang tidak keracunan! Tiang tidak keracunan!” elak Men Bukit berulang-ulang, merebahkan diri ke kasur. ”Bengkung nyai!,” umpat Mangku Bukit setengah menangis.
***
Permusuhan Mangku Bukit dengan Mangku Kojong berawal dari sepucuk surat yang ditemukan di dalam ruang meru ketika bangunan suci itu akan direhab. Surat itu mengatasnamakan surat dari Betara. Hal itu diucapkan Mangku Kojong secara spontan usai menerjemahkan leretan pertama aksara Bali yang tertera di lembaran kertas kusam itu. Tentu saja penemuan surat itu mengejutkan, apalagi penulisnya mengatasnamakan Ida Betara. Maka di sore hari yang tenang di pelataran pura itu sontak berubah. Asap dupa tak lagi mampu menenangkan jiwa. Lalu di bawah sisa-sisa sinar matahari sore semuanya bangkit dari duduk persembahyangannya, mengerumuni surat itu, mencermatinya.
Hasilnya, sepintas seperti surat tua yang sakral, apalagi baunya harum seperti bau cendana. Memang terasa mustahil hal itu merupakan ulah manusia jahil sebab ruangan meru tersegel gembok yang cukup besar dan kuncinya dibawa oleh Mangku Kojong yang menjadi pemangku utama di Pura Desa kami. Meski demikian, keabsahan surat dari Betara itu sangat diragukan. Semua pemangku termasuk para sutri yang berkumpul usai menghaturkan permakluman ke hadapan Ida Betara Betari sehubungan akan dimulainya merehab bangunan-bangunan suci di Pura Desa, mencemooh surat itu. Namun Mangku Kojong tetap membaca isinya. Katanya dalam surat itu tertulis Ida Betara berpesan agar segenap warga desa hidup rukun, hormat menghormati, serta bantu membantu sebagaimana kehidupan para pendiri desa yang kini menjadi leluhur kami. Disarankan juga hendaknya judi tajen, minum-minuman keras yang memabukkan, dihindarkan. Lalu, kepada para pengurus adat diperintahkan membuang segala adat yang kolot.
Akan tetapi sebelum surat itu berakhir dibaca, Mangku Bukit meneroboskan tangannya merampas surat itu. ”Ini bukan surat dari Betara!” bentaknya histeris.
Diam-diam aku keberatan dengan tindakan Mangku Bukit yang mudah kerasukan dalam setiap upacara. Bagiku, meskipun surat itu meragukan, tapi pesannya sangat bagus dan perlu dipertimbangkan bahkan dilaksanakan oleh segenap warga desa. Bukan rahasia lagi, adat istiadat yang selama ini diterapkan di desa kami sebagian besar cukup memberatkan. Misalnya, aturan adat bagi kepala keluarga yang dinasibkan melahirkan bayi kembar buncing. Sanksinya berat. Beberapa warga desa pernah mengalami.
Yang sempat menghiasai koran adalah Gede Bengkel. Istrinya melahirkan bayi kembar buncing, beda kelamin. Baru berusia seminggu, bayi-bayi itu bersama kedua orangtuanya harus menanggung adat pengucilan selama tiga bulan ke suatu lokasi terpencil di pinggiran desa dalam sebuah gubug darurat, di mana dinding dan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa kering. Selama pengucilan, mereka tidak boleh pergi ke mana-mana. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka dibantu oleh keluarga dan warga desa lainnya. Sanksi lainnya, mereka diharuskannya membuat suatu upacara tertentu untuk membersihkan desa.
Menurut kepercayaan, kehadiran bayi kembar buncing membuat wilayah desa dan semua warga desa secara batin menjadi kotor, keharmonisan alam terganggu dan kekuatan-kekuatan jahat bangkit dari alamnya menganggu mahluk hidup, terutama di lingkungan desa kami. Sebelum pengucilan terjadi, sebenarnya sebagian warga desa sempat prihatin, mereka sadar adat itu melanggar hak asasi manusia dan kelahiran kembar buncing bisa dijelaskan secara ilmiah. Namun eksekusi adat itu dilakukan juga. Hal ini pun konon atas permintaan sukarela dari Gede Bengkel sendiri. Alasannya, ia takut jika aturan adat itu tak dilaksanakannya, kedua bayinya akan mengalami musibah yang memilukan akibat teror dari mahluk-mahluk halus, sebagaimana yang pernah dialami warga desa terdahulu yang mengabaikan aturan adat itu. Tetapi ketika pengucilan berjalan sebulan, bayi-bayinya tak kuat. Mereka jatuh sakit dengan panas badan membahayakan. Terpaksa larangan meninggalkan gubug dilabrak. Gede Bengkel melarikan bayi-bayinya ke rumah sakit. Dalam perawatan rumah sakit, bayi kembar buncing itu dinyatakan terserang paru-paru basah. Selepas dari rumah sakit, Gede Bengkel tak mau membawa kembali bayi-bayinya ke gubug pengucilan. Mereka memilih tinggal di kota, di sebuah kamar kost sumbangan seorang yang bersimpati. Ini berarti melanggar adat. Sanksinya, mereka tak diperbolehkan pulang ke desa.
”Kalau Ida Betara berkenan menasihati kita, menegur kita, tentunya melalui proses kerasukan dalam suatu upacara! Bukan menulis surat, apalagi surat itu ditulis di atas kertas kusam, bukannya di atas lontar!” ujar Mangku Bukit berapi-api. Semua manggut-manggut, kecuali aku hanya menatapnya seperti patung singa yang menyangga pilar kayu Bale Paruman. ”Surat ini bukan surat dari Betara, tapi surat bikinan manusia yang mengatasnamakan Betara!” tambahnya dengan lantang hingga air ludahnya muncrat.
Seperti yang sudah kuduga, Mangku Bukit kerasukan. Mulutnya mula-mula mengocehkan gumam dengan lidah menjulur, hitam matanya tertelan ke balik kelopak atas. Tubuhnya bergetar, menarikan gerakan-gerakan aneh. Tangannya secepat kilat menyambar seikat dupa menyala, mengunyahnya bagai mengunyah kacang goreng. Angin pun serasa diam, terpana seperti diri kami menyaksikan peristiwa itu. Dengan mulut menghembuskan api dan asap dupa, Mangku Bukit mengaku sebagai utusan Ida Betara. Tujuan kedatangannya, untuk melakukan klarifikasi bahwa kertas kusam yang ditemukan di dalam ruangan meru itu bukan surat dari Betara. Masalahnya kemudian, siapa yang menulis surat itu? Pertanyaan inilah yang kemudian berkembang setelah Mangku Bukit sadar.
”Penipuan ini harus diusut! Pelakunya harus ditangkap, diarak keliling desa karena berani menghina Betara dan berani mencoba-coba menipu kita!” kembali Mangku Bukit garang. Mereka setuju. Ada yang mengusulkan agar masalah itu dilaporkan ke polisi guna dilakukan penyelidikan. Ada juga yang menyarankan agar meminta bantuan balian tenung. Yang pertama-tama dicurigai membuat surat itu adalah Mangku Kojong, dialah yang membawa kunci gembok ruangan meru itu. Sementara pengelihatan mata batin dari beberapa balian tenung mengarah pada Mangku Kojong. Selain itu, kepentingan menulis surat itu, dihubung-hubungkan sebagai upaya sistematis yang dilakukan Mangku Kojong untuk menyelamatkan posisi salah seorang anaknya yang aktif menjadi ketua ranting salah satu partai politik di desa. Partai politik yang dipimpin anaknya berbeda dengan partai politik yang mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat desa. Karena demokrasi belum dihayati, perbedaan partai itu diam-diam menimbulkan permusuhan meskipun belum sampai meledak. Sementara anak-anak Mangku Kojong yang lainnya semua berada di Jakarta dan jarang pulang ke desa melaksanakan kewajiban adat yang seharusnya dipikul bagi seorang warga desa yang sudah berkeluarga, di mana pun mereka tinggal.
Tuduhan lainnya, surat itu dibuat juga untuk meredam kasak-kusuk warga desa yang memasalahkan status sebidang tanah di pinggir pantai yang dikuasai Mangku Kojong. Beberapa pengurus desa adat mengklaim tanah itu milik pura. Dengan alasan itulah Mangku Kojong dituduh menulis surat itu.
Mendengar ini, Mangku Kojong hanya bisa geram. Yang marah justru beberapa warga desa yang dikenal dekat dengan Mangku Kojong. Mereka mengambil berbagai jenis pedang, turun ke jalan, manakala rumah Mangku Kojong terkena lemparan batu dari seseorang yang diduga suruhan Mangku Bukit. Namun berkat kesigapan polisi, kejadian itu dapat dipadamkan.
Persitiwa itu terjadi setahun lalu. Belum terpecahkan siapa penulis surat itu. Kami melupakannya. Membiarkan aturan adat diterapkan secara ketat dan tertutup. Peristiwa lalu pun terulang di tahun berbeda dan menjadi leretan berita dingin. Seorang warga melahirkan kembar buncing. Dalam pengasingan, bayi-bayi itu meninggal dan ibunya menjadi gila. Kemudian surat serupa yang mengatasnamakan Ida Betara ditemukan Mangku Kojong di pelataran pura. Nasib surat itu tak berbeda, Mangku Bukit kerasukan utusan Ida Betara dan membantah kebenaran penulis surat itu. Para pengurus adat dan polisi dibuat sibuk mencari penulis surat itu. Hasilnya, satu dengan yang lainnya saling mencurigai. Yang kuherankan, mereka lebih tertarik pada pembuat surat itu daripada mempertimbangkan kebenaran isinya.
***
Tiba-tiba men Bukit bangkit. Memuntahkan sebagian lawar yang dimakannya tadi. Dalam balutan lendir, lawar itu berserakan di lantai. Baunya amis. Lalat-lalat merubung. Mangku Bukit mengamatinya, tak ada gumpalan darah atau ulat-ulat hidup sebagaimana ciri muntahan dari orang yang terkena racun gaib. Tapi lelaki itu tetap yakin istrinya terkena racun gaib — racun yang ditanam pada lawar jotan.
”Apa kubilang, nyai keracunan! Kalau tidak, mana mungkin perutmu memuntahkannya!” kata Mangku Bukit. ”Tidak bli, lawar itu tidak beracun! Tiang muntah karena tidak biasa makan lawar. Tiang vegetarian, mana bisa makan daging apalagi bercampur darah!” bantah Men Bukit, meskipun hatinya ragu pada ucapannya. Bukan tak mungkin suaminya benar, lawar itu beracun. Sekarang perutnya terasa seperti ditikam ribuan jarum. Ia meronta menahan sakit. Setengah putus asa wanita itu masih berharap, kenekatannya akan mengakhiri permusuhan yang bisa saja berlangsung turun temurun itu. Naluri keibuannya ingin melihat anak-anak mereka dapat hidup tanpa warisan permusuhan. Apalagi permusuhan itu terjadi di tingkat desa, di mana wajah yang sama akan selalu bersua.
Mangku Bukit memuncak. Sekali lagi tangan kekarnya memegang kepala wanita itu dan membuka mulutnya lebar-lebar. Tak peduli jerit, lelaki itu memaksa mempercayai bahwa Men Bukit keracunan makanan. Kemudian memaksanya meminum penawar racun. Beberapa gelas, setiap hari. Entah sampai kapan. Kalau tahu begini, aku tak mau menuruti perintah-Nya menulis surat itu.***
Banyuning-Singaraja, Juli 2004.
Catatan:
Lawar = makanan khas Bali.
Betara/Betari = sebutan bagi sinar-Nya.
Meru = nama salah satu bangunan beratap tumpang di pura.
Pemangku = pemimpin sebuah upacara di pura.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 25 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar