Jumat, 25 Februari 2011

Surat dari Betara

Putu Satria Kusuma
http://www.balipost.co.id/

Dalam siluet pagi yang indah, di Hari Raya Penampahan Galungan itu, seorang wanita berdiri di depan pintu, melepaskan senyum. Men Bukit gugup membalasnya. Lalu tangan wanita yang sangat dikenalnya menyodorkan sepiring lawar. Men Bukit ragu. Dulu membawakan makanan atau ngejot kepada tetangga dan saudara pada hari raya merupakan peristiwa yang penting untuk menegaskan tali kekeluargaan.

SEKARANG suami mereka saling bermusuhan, apakah kebiasaan ngejot dilanjutkan. Sesaat ia menimbang, kemudian menerima jotan itu dan membalas dengan tape ketan. Men Kojong gembira, mencicipinya. ”Enak,” pujinya. Dua wanita itu tertawa, mendapatkan keakrabannya kembali. Terakhir mereka bersalaman. Meski tak terucapkan, mejotan dan balasannya itu menjadi awal yang baik untuk memperbaiki hubungan suami mereka. Tetapi ketika men Bukit menaruh lawar itu di meja makan, seseorang memegang bahunya. Tangan itu kekar dan akrab, tangan suaminya.

”Buang lawar itu!” perintahnya.
”Kenapa?”
”Lawar jotan men Kojong itu berisi racun!”
”Men Kojong baik, tak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu!
”Men Kojong mungkin tidak, tapi suaminya Mangku Kojong pasti, pasti melakukannya! Sekarang buang lawar itu, buang!” bentak Mangku Bukit.
Men Bukit menyahut dengan tatapan. Ingin sekali ia menuruti perintah lelakinya sebagai bakti, seperti yang sudah-sudah. Namun kali ini ia menolak. Lawar yang terbuat dari campuran cingcangan daging, darah, parutan kelapa dengan aneka bumbu komplit itu dicomotnya sejumput, dimakannya. Melihat itu, Mangku Bukit geram, bola matanya bertambah besar dibakar marah. Tangan lelaki itu menampar. Plak!

Kecemasan suaminya memang beralasan. Biasanya musuh akan memanfaatkan segala celah untuk membunuh atau pun menyakiti lawannya beserta keluarganya. Tapi Men Bukit tetap pendiriannya. Sambil mengunyah lawar itu, ia berkata, ”Biarlah wanita menjadi tumbal dari permusuhan yang dibuat lelaki. Kalau lawar ini berisi racun, biar tiang mati melanggengkan permusuhan bli dengan Mangku Kojong turun temurun. Kalau tidak, mari akhiri permusuhan sampai di sini!”

Mangku Bukit mencegah. Men Bukit bersikukuh. Mereka bergumul. Mangku Bukit berhasil memasukkan jemari tangannya pada mulut istrinya, untuk mengeluarkan makanan itu. ”Racun yang dipasang pada makanan tak selamanya bereaksi cepat. Hanya racun kasar yang bekerja demikian. Kalau racunnya halus, beberapa bulan lagi nyai baru kesakitan dan mati!” pekik Mangku Bukit.

Men Bukit tak membantah. Memang banyak jenis racun yang pernah ia dengar, ada yang dibuat dari logam, zat binatang dan tumbuhan. Cara bekerjanya pun berbeda, cepat dan lambat. Konon, seseorang yang terkena racun makanan, sebelum mati dengan tubuh menghitam akan memuntahkan segumpal darah berisi ulat hidup. Ia tak takut mengalami itu, hanya batinnya berharap yang ia muntahkan kelak bukan segumpal ulat darah tapi puluhan bunga dengan keharuman mengabadi memasuki rumah-rumah dan hati manusia.

Sejam berlalu, Men Bukit merasakan lidah dan langit-langit mulutnya memanas bagai menelan api. Lawar itu telah menimbun pada ususnya yang halus. Lemak dagingnya melelehkan minyak dalam campuran darah binatang. Ribuan parutan kelapa, menggumpal menjadi serat, mengoyak-ngoyak sebuah rongga yang berhubungan dengan segenap saraf-sarafnya. Kepalanya pusing. Denyut jantungnya menggelombang. Ia merasa dihempas angin dan ombak laut. Lalu oleng, menggigil memegang perutnya.

Melihat itu, Mangku Bukit panik, berlari mencari air kelapa gading lalu meneteskan penawar racun, minyak cukli lungsir simpananya. Tapi Men Bukit menghempasnya. Penawar racun tradisional itu tumpah terhisap pori lantai. ”Tiang tidak keracunan! Tiang tidak keracunan!” elak Men Bukit berulang-ulang, merebahkan diri ke kasur. ”Bengkung nyai!,” umpat Mangku Bukit setengah menangis.

***

Permusuhan Mangku Bukit dengan Mangku Kojong berawal dari sepucuk surat yang ditemukan di dalam ruang meru ketika bangunan suci itu akan direhab. Surat itu mengatasnamakan surat dari Betara. Hal itu diucapkan Mangku Kojong secara spontan usai menerjemahkan leretan pertama aksara Bali yang tertera di lembaran kertas kusam itu. Tentu saja penemuan surat itu mengejutkan, apalagi penulisnya mengatasnamakan Ida Betara. Maka di sore hari yang tenang di pelataran pura itu sontak berubah. Asap dupa tak lagi mampu menenangkan jiwa. Lalu di bawah sisa-sisa sinar matahari sore semuanya bangkit dari duduk persembahyangannya, mengerumuni surat itu, mencermatinya.

Hasilnya, sepintas seperti surat tua yang sakral, apalagi baunya harum seperti bau cendana. Memang terasa mustahil hal itu merupakan ulah manusia jahil sebab ruangan meru tersegel gembok yang cukup besar dan kuncinya dibawa oleh Mangku Kojong yang menjadi pemangku utama di Pura Desa kami. Meski demikian, keabsahan surat dari Betara itu sangat diragukan. Semua pemangku termasuk para sutri yang berkumpul usai menghaturkan permakluman ke hadapan Ida Betara Betari sehubungan akan dimulainya merehab bangunan-bangunan suci di Pura Desa, mencemooh surat itu. Namun Mangku Kojong tetap membaca isinya. Katanya dalam surat itu tertulis Ida Betara berpesan agar segenap warga desa hidup rukun, hormat menghormati, serta bantu membantu sebagaimana kehidupan para pendiri desa yang kini menjadi leluhur kami. Disarankan juga hendaknya judi tajen, minum-minuman keras yang memabukkan, dihindarkan. Lalu, kepada para pengurus adat diperintahkan membuang segala adat yang kolot.

Akan tetapi sebelum surat itu berakhir dibaca, Mangku Bukit meneroboskan tangannya merampas surat itu. ”Ini bukan surat dari Betara!” bentaknya histeris.

Diam-diam aku keberatan dengan tindakan Mangku Bukit yang mudah kerasukan dalam setiap upacara. Bagiku, meskipun surat itu meragukan, tapi pesannya sangat bagus dan perlu dipertimbangkan bahkan dilaksanakan oleh segenap warga desa. Bukan rahasia lagi, adat istiadat yang selama ini diterapkan di desa kami sebagian besar cukup memberatkan. Misalnya, aturan adat bagi kepala keluarga yang dinasibkan melahirkan bayi kembar buncing. Sanksinya berat. Beberapa warga desa pernah mengalami.

Yang sempat menghiasai koran adalah Gede Bengkel. Istrinya melahirkan bayi kembar buncing, beda kelamin. Baru berusia seminggu, bayi-bayi itu bersama kedua orangtuanya harus menanggung adat pengucilan selama tiga bulan ke suatu lokasi terpencil di pinggiran desa dalam sebuah gubug darurat, di mana dinding dan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa kering. Selama pengucilan, mereka tidak boleh pergi ke mana-mana. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka dibantu oleh keluarga dan warga desa lainnya. Sanksi lainnya, mereka diharuskannya membuat suatu upacara tertentu untuk membersihkan desa.

Menurut kepercayaan, kehadiran bayi kembar buncing membuat wilayah desa dan semua warga desa secara batin menjadi kotor, keharmonisan alam terganggu dan kekuatan-kekuatan jahat bangkit dari alamnya menganggu mahluk hidup, terutama di lingkungan desa kami. Sebelum pengucilan terjadi, sebenarnya sebagian warga desa sempat prihatin, mereka sadar adat itu melanggar hak asasi manusia dan kelahiran kembar buncing bisa dijelaskan secara ilmiah. Namun eksekusi adat itu dilakukan juga. Hal ini pun konon atas permintaan sukarela dari Gede Bengkel sendiri. Alasannya, ia takut jika aturan adat itu tak dilaksanakannya, kedua bayinya akan mengalami musibah yang memilukan akibat teror dari mahluk-mahluk halus, sebagaimana yang pernah dialami warga desa terdahulu yang mengabaikan aturan adat itu. Tetapi ketika pengucilan berjalan sebulan, bayi-bayinya tak kuat. Mereka jatuh sakit dengan panas badan membahayakan. Terpaksa larangan meninggalkan gubug dilabrak. Gede Bengkel melarikan bayi-bayinya ke rumah sakit. Dalam perawatan rumah sakit, bayi kembar buncing itu dinyatakan terserang paru-paru basah. Selepas dari rumah sakit, Gede Bengkel tak mau membawa kembali bayi-bayinya ke gubug pengucilan. Mereka memilih tinggal di kota, di sebuah kamar kost sumbangan seorang yang bersimpati. Ini berarti melanggar adat. Sanksinya, mereka tak diperbolehkan pulang ke desa.

”Kalau Ida Betara berkenan menasihati kita, menegur kita, tentunya melalui proses kerasukan dalam suatu upacara! Bukan menulis surat, apalagi surat itu ditulis di atas kertas kusam, bukannya di atas lontar!” ujar Mangku Bukit berapi-api. Semua manggut-manggut, kecuali aku hanya menatapnya seperti patung singa yang menyangga pilar kayu Bale Paruman. ”Surat ini bukan surat dari Betara, tapi surat bikinan manusia yang mengatasnamakan Betara!” tambahnya dengan lantang hingga air ludahnya muncrat.

Seperti yang sudah kuduga, Mangku Bukit kerasukan. Mulutnya mula-mula mengocehkan gumam dengan lidah menjulur, hitam matanya tertelan ke balik kelopak atas. Tubuhnya bergetar, menarikan gerakan-gerakan aneh. Tangannya secepat kilat menyambar seikat dupa menyala, mengunyahnya bagai mengunyah kacang goreng. Angin pun serasa diam, terpana seperti diri kami menyaksikan peristiwa itu. Dengan mulut menghembuskan api dan asap dupa, Mangku Bukit mengaku sebagai utusan Ida Betara. Tujuan kedatangannya, untuk melakukan klarifikasi bahwa kertas kusam yang ditemukan di dalam ruangan meru itu bukan surat dari Betara. Masalahnya kemudian, siapa yang menulis surat itu? Pertanyaan inilah yang kemudian berkembang setelah Mangku Bukit sadar.

”Penipuan ini harus diusut! Pelakunya harus ditangkap, diarak keliling desa karena berani menghina Betara dan berani mencoba-coba menipu kita!” kembali Mangku Bukit garang. Mereka setuju. Ada yang mengusulkan agar masalah itu dilaporkan ke polisi guna dilakukan penyelidikan. Ada juga yang menyarankan agar meminta bantuan balian tenung. Yang pertama-tama dicurigai membuat surat itu adalah Mangku Kojong, dialah yang membawa kunci gembok ruangan meru itu. Sementara pengelihatan mata batin dari beberapa balian tenung mengarah pada Mangku Kojong. Selain itu, kepentingan menulis surat itu, dihubung-hubungkan sebagai upaya sistematis yang dilakukan Mangku Kojong untuk menyelamatkan posisi salah seorang anaknya yang aktif menjadi ketua ranting salah satu partai politik di desa. Partai politik yang dipimpin anaknya berbeda dengan partai politik yang mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat desa. Karena demokrasi belum dihayati, perbedaan partai itu diam-diam menimbulkan permusuhan meskipun belum sampai meledak. Sementara anak-anak Mangku Kojong yang lainnya semua berada di Jakarta dan jarang pulang ke desa melaksanakan kewajiban adat yang seharusnya dipikul bagi seorang warga desa yang sudah berkeluarga, di mana pun mereka tinggal.

Tuduhan lainnya, surat itu dibuat juga untuk meredam kasak-kusuk warga desa yang memasalahkan status sebidang tanah di pinggir pantai yang dikuasai Mangku Kojong. Beberapa pengurus desa adat mengklaim tanah itu milik pura. Dengan alasan itulah Mangku Kojong dituduh menulis surat itu.

Mendengar ini, Mangku Kojong hanya bisa geram. Yang marah justru beberapa warga desa yang dikenal dekat dengan Mangku Kojong. Mereka mengambil berbagai jenis pedang, turun ke jalan, manakala rumah Mangku Kojong terkena lemparan batu dari seseorang yang diduga suruhan Mangku Bukit. Namun berkat kesigapan polisi, kejadian itu dapat dipadamkan.

Persitiwa itu terjadi setahun lalu. Belum terpecahkan siapa penulis surat itu. Kami melupakannya. Membiarkan aturan adat diterapkan secara ketat dan tertutup. Peristiwa lalu pun terulang di tahun berbeda dan menjadi leretan berita dingin. Seorang warga melahirkan kembar buncing. Dalam pengasingan, bayi-bayi itu meninggal dan ibunya menjadi gila. Kemudian surat serupa yang mengatasnamakan Ida Betara ditemukan Mangku Kojong di pelataran pura. Nasib surat itu tak berbeda, Mangku Bukit kerasukan utusan Ida Betara dan membantah kebenaran penulis surat itu. Para pengurus adat dan polisi dibuat sibuk mencari penulis surat itu. Hasilnya, satu dengan yang lainnya saling mencurigai. Yang kuherankan, mereka lebih tertarik pada pembuat surat itu daripada mempertimbangkan kebenaran isinya.

***

Tiba-tiba men Bukit bangkit. Memuntahkan sebagian lawar yang dimakannya tadi. Dalam balutan lendir, lawar itu berserakan di lantai. Baunya amis. Lalat-lalat merubung. Mangku Bukit mengamatinya, tak ada gumpalan darah atau ulat-ulat hidup sebagaimana ciri muntahan dari orang yang terkena racun gaib. Tapi lelaki itu tetap yakin istrinya terkena racun gaib — racun yang ditanam pada lawar jotan.

”Apa kubilang, nyai keracunan! Kalau tidak, mana mungkin perutmu memuntahkannya!” kata Mangku Bukit. ”Tidak bli, lawar itu tidak beracun! Tiang muntah karena tidak biasa makan lawar. Tiang vegetarian, mana bisa makan daging apalagi bercampur darah!” bantah Men Bukit, meskipun hatinya ragu pada ucapannya. Bukan tak mungkin suaminya benar, lawar itu beracun. Sekarang perutnya terasa seperti ditikam ribuan jarum. Ia meronta menahan sakit. Setengah putus asa wanita itu masih berharap, kenekatannya akan mengakhiri permusuhan yang bisa saja berlangsung turun temurun itu. Naluri keibuannya ingin melihat anak-anak mereka dapat hidup tanpa warisan permusuhan. Apalagi permusuhan itu terjadi di tingkat desa, di mana wajah yang sama akan selalu bersua.

Mangku Bukit memuncak. Sekali lagi tangan kekarnya memegang kepala wanita itu dan membuka mulutnya lebar-lebar. Tak peduli jerit, lelaki itu memaksa mempercayai bahwa Men Bukit keracunan makanan. Kemudian memaksanya meminum penawar racun. Beberapa gelas, setiap hari. Entah sampai kapan. Kalau tahu begini, aku tak mau menuruti perintah-Nya menulis surat itu.***

Banyuning-Singaraja, Juli 2004.

Catatan:
Lawar = makanan khas Bali.
Betara/Betari = sebutan bagi sinar-Nya.
Meru = nama salah satu bangunan beratap tumpang di pura.
Pemangku = pemimpin sebuah upacara di pura.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar