Udo Z. Karzi
http://cabiklunik.blogspot.com/
Kilu mahap nihan, kutulis esai inji. Dengan segala maaf, saya tulis esai ini.Saya sebenarnya telah “kena marah” oleh ulun tuha yang tentu lebih paham dengan apa yang mereka sebut sebagai sastra tradisi (dan karena itu biasanya dalam bentuk lisan) Lampung. Saya mungkin salah karena telah menulis kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia Momentum (2002).
Sayangnya mereka yang memarahi saya tidak menuliskan kemarahan mereka dalam bentuk tulisan. Tapi, hanya lewat lisan yang langsung atau tidak langsung saya dengar, baik di situasi formal maupun informal.
Ada beberapa sebab mengapa mereka memarahi saya. Pertama, saya secara sadar memakai huruf “r” untuk huruf “gh” atau “kh” yang selama ini diributkan masing-masing penganutnya. Padahal, menurut mereka, dalam bahasa Lampung tidak dikenal huruf r, tetapi gh atau kh.
Kedua, para tuha-tuha adat adat juga menganggap saya telah semau-mau menulis sajak. “Kamu itu benar-benar ngawur!” kata mereka. Sebab, sastra Lampung itu tidak begitu. Ada sanjak abab atau aaaa atau …, coba lihat contoh konkrit berbagai jenis puisi Lampung lainnya (dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, dan lain-lain).
Ketiga, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa Lampung “tinggi” yang biasa dituturkan jelma Lappung dalam acara ghasan buhimpun (musyawarah adat) atau upacara adat lain. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Lampung sehari-hari yang sering saya pakai di Liwa, Lampung Barat. Ini, bisa jadi, mereka anggap merusak bahasa Lampung.
Keempat, sajak-sajak Lampung yang saya tulis hampir sama sekali tidak memuat nilai-nilai tradisi Lampung seperti pi’il pesenggiri (pi’il pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan). Saya malah menuliskan masalah-masalah kekinian (kontemporer) dalam bentuk puisi dengan bahasa sehari-hari dan seperti diucapkan sambil lalu saja. Bahkan, dalam beberapa sajak saya justru bersikap kritis terhadap apa yang “sudah dianggap tradisi” itu.
Saya memang sama sekali tak hendak mengindah-indahkan bahasa puisi saya, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia.Sayangnya, kritik atau “kemarahan” tuha-tuha adat ini tak pernah dituangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, sekian bulan saya berharap buku kumpulan sajak saya itu mendapatkan apresiasi yang memadai dari mereka yang katanya ingin mengembangkan seni-budaya Lampung. Tapi, saya pun harus segera maklum. Sebab, budaya tulis masih belum melekat dalam diri kita. Kita masih lebih suka dengan segala bentuk kelisanan, termasuk dalam sastra (berbahasa) Lampung yang sering disimpelkan dengan menyebutkan sastra tradisi Lampung.
* * *
Lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sebuah acara bertajuk “Pertemuan Dua Arus”, sebuah acara pembacaan karya oleh sastrawan tradisi dan sastrawan modern, 21 Juli 2004. Saat Direktur Jung Foundation Christian Heru Cahyo Saputro mengontak saya dan bertanya, “Anda memilih arus tradisi atau arus modern?” saya sempat berpikir, saya ini tergolong sastrawan tradisi atau modern. Tapi, agar tak terlalu berlarut-larut, saya segera menjawab saja, “Tradisi.”
Malam itu bertemulah dua jenis karya sastra yang disebut tradisi dan modern. Dari arus modern berderet nama Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, Budi P. Hatees, Dyah Indramertawirana, Panji Utama, Eddy Samudra Kertagama, Sugandhi Putra, Ahmad Julden Erwin, Iswadi Pratama, Dyah Indra Mertawirana, Arie Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, AM. Zulqornain, dan Inggit Putria Marga membacakan puisi atau cerpen modern (sastra berbahasa Indonesia).Sedang dari arus tradisi, ada Masnuna, Havisi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Dermawan Sutan, Sutan Purnama, Sutan Punyimbang Sutan, A. Roni Angguan, Johan Ratu Bahagia, Paksi Marga, Ria Gusria, Solihan, Rosila, Abas Sutan Oelangan, Andi, Yusnawati, Indra Bangsawan, Heri Junaidi, dan Nurdin Darsan melantunkan dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, termasuk lagu klasik Lampung.
Dua arus: tradisi dan modern bertemu saat itu. Sastra tradisi — secara kebetulan — hampir semua berbahasa Lampung. Sebaliknya, sastra modern — secara kebetulan — hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia.
Bagaimana dengan saya? Kebetulan saya membacakan sajak hampir di penghujung acara ketika para apresiasian seni satu per satu meninggalkan pertunjukkan. Dalam bahasa Lampung, saya katakan, saya ingin membacakan sajak yang sebetulnya menurut saya modern. Cuma saya memilih menggunakan bahasa Lampung. Maka, saya bacakan dua sajak berbahasa Lampung: “Repa Nyak Dapok Lupa” (Bagaimana Mungkin Aku Lupa) dan “Kik Cawa Mak Tiregai Lagi” (Bila Kata Tak Dihargai Lagi) sebagaimana orang biasa membaca puisi. Sebabnya, saya memang tidak bisa membacakan puisi Lampung itu seperti para seniman Lampung lainnya melantunkan dadi, wayak, pisaan, dan berbagai bentuk puisi tradisi Lampung itu.
Terus terang sejak awal saya memang bingung, mau ditempatkan dimana puisi-puisi (berbahasa) Lampung saya. Tradisi atau modern? Kalau saya berkeras sajak saya modern, pendengarnya boleh dibilang mayoritas tidak mengerti apa yang saya katakan dalam bahasa Lampung. Terus kalau puisi saya tradisi — toh akhirnya malam itu saya digolongkan sastrawan tradisi — rasanya saya tidak meneruskan tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Saya “kayak” mengada-ada dan menyalahi “pakem” sastra (berbahasa) Lampung.
* * *
Belajar dari sastra (berbahasa) Indonesia, sampai kini toh masih ada pertanyaan, bahkan polemik tentang kapankah sastra (modern) Indonesia lahir. Ada pakar sastra Indonesia yang bilang, sastra Indonesia dimulai pada 1920. Tapi, ada juga yang mengatakan, sejak tahun 1870-an dengan ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim)” yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
Maka, berdebatlah A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana.Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga.
Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7–19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia. Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.” (lihat: Asep S. Sambodja, 2004).
Dengan acuan di atas, kita juga berhak bertanya, adakah sastra modern Lampung atau atau kapankah sastra modern Lampung lahir? Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang aneh karena kita telah menyaksikan sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang ada sekarang telah menjadi sastra modern.Ukuran modern memang relatif, tetapi dalam esai ini “sastra modern” lebih mengacu pada struktur atau bentuk karya sastra. Kalau dari segi isi atau tema, sastra modern bisa saja berisi nilai-nilai tradisi. Atau sebaliknya, sastra tradisi (biasanya lisan) berisi nilai-nilai modern.
* * *
Kalau orang bicara sastra (berbahasa) Lampung, maka yang segera disodorkan adalah bentuk-bentuk sastra tradisi Lampung yang karena masih tradisi, biasanya dituturkan secara lisan secara turun-temurun. Sastra tradisi lisan Lampung dengan begitu menjadi milik kolektif sebuah komunitas, katakanlah masyarakat adat Lampung di tempat-tempat tertentu. Biasanya juga sastra tradisi ini sering melekat dalam berbagai upacara adat Lampung.
Sastra tradisi lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung dan sebagai penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.
Menurut pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi, sastra lisan Lampung dapat mendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik, memupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama, menunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung, dan menunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Dalam keterbatasan ruang tentu tidak pada tempatnya jenis-jenis sastra tradisi lisan Lampung ini dibahas satu per satu dan diberikan contohnya di sini. Tapi, dalam berbagai diskusi jenis-jenis sastra tradisi inilah dikhawatirkan punah. Penyebabnya, antara lain regenerasi penutur atau pembaca sastra sebut saja dadi yang sering dilantunkan Masnuna, seniman sepuh Lampung terlampau lambat kalau bukan hampir macet. Pertanyaannya kan, masih adakah yang bisa membawakan dadi selain Masnuna dan sedikit seniman lainnya?
Di sinilah, letak kegelisahan itu. Sastra tradisi lisan sebagaimana sebutannya, diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas adat, tidak pernah dituliskan, dan sering anonim. Kalau pun sekarang ada yang menuliskan, tentu yang menuliskan sastra tradisi itu tidak berhak mencantumkan namanya sebagai penulis atau pencipta karya itu. Sebab, itu bukan karya pribadinya. Soalnya, ia hanya menuliskan sastra lisan yang ia ingat dan pernah popular dalam masyarakat adat. Sastra tradisi milik kolektif dan tidak diketahui siapa penciptanya.
* * *
Dengan latar seperti itulah, saya kemudian mencoba menulis sajak-sajak modern (berbahasa) Lampung, yang kemudian antara lain terkumpul dalam buku: Momentum (2002). Sebetulnya, penerbitan buku itu memang ingin saya jadikan momentum bagi kebangkitan sastra modern Lampung. Maka, saya perlu mengucapkan terima kasih banyak kepada sahabat Kuswinarto, orang Metro yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur dan Binhad Nurrohmat, penyair Lampung Timur yang bermukim di Jakarta; yang telah mengapresiasi buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia tersebut.
Sajak-sajak saya dalam buku itu memang sama sekali tidak lagi patuh pada tata aturan atau kaedah perpuisian (berbahasa) Lampung yang selama ini dikenal masyarakat (ulun) Lampung. Ya, saya ngawur seperti yang dituduhkan tuha-tuha adat. Dalam sajak-sajak, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia, saya mencoba lebih “bebas” (lengkapnya lihat Kuswinarto, 2003 dan Binhad Nurrohmat, 2003).
Dalam pengantar buku kumpulan sajak saya itu, saya tuliskan: inji ampai muwak ni. Artinya, saya masih berharap banyak pada perkembangan dan kemajuan sastra Lampung. Tradisi dan modern berjalan seiring. Lagi pula, tradisi atau modern dalam karya sastra terkadang sulit dipisahkan. Saya hanya mau menekankan bagaimana agar kehidupan sastra Lampung (dengan tekanan menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku) tetap berkembang dinamis dengan segala kreatifitas para pendukung sastra Lampung; sastrawan Lampung sendiri. Tegasnya, sastrawan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahan baku bagi proses kreatifnya. Mengapa tidak?
Meski agak basi karena terlalu sering diucapkan pejabat, terpaksa saya gunakan juga kalimat klise berbunyi: mak tanno kapan lagi, mak gham sapa lagi.Tabik.
BACAAN:
1. Asep S. Sambodja. Dua ‘Kiblat’ dalam Sastra Indonesia”. Cybersastra, 03 September 20042.
2. Binhad Nurrohmat. “Kebangkitan Sastra Lokal”. Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003.
3. Kuswinarto. “Sastra Lampung Merindukan Hujan Sastrawan”. Cybersastra, 8 Januari 2002.
4. Kuswinarto. “Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung”. Cybersastra, 28 Mei 2003.5.
5. Udo Z. Karzi. “Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tak Merata”. Cybersastra, 9 Januari 2002.
6. Udo Z. Karzi. “Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan”. Teknokra, November 2003.
Sumber: Koran Festival, Edisi Istimewa, Oktober 2004
Asal link: http://cabiklunik.blogspot.com/2004/10/esai-sastra-modern-berbahasa-lampung.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar