Jumat, 25 Februari 2011

Sastra Modern (Berbahasa) Lampung

Udo Z. Karzi
http://cabiklunik.blogspot.com/

Kilu mahap nihan, kutulis esai inji. Dengan segala maaf, saya tulis esai ini.Saya sebenarnya telah “kena marah” oleh ulun tuha yang tentu lebih paham dengan apa yang mereka sebut sebagai sastra tradisi (dan karena itu biasanya dalam bentuk lisan) Lampung. Saya mungkin salah karena telah menulis kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia Momentum (2002).

Sayangnya mereka yang memarahi saya tidak menuliskan kemarahan mereka dalam bentuk tulisan. Tapi, hanya lewat lisan yang langsung atau tidak langsung saya dengar, baik di situasi formal maupun informal.

Ada beberapa sebab mengapa mereka memarahi saya. Pertama, saya secara sadar memakai huruf “r” untuk huruf “gh” atau “kh” yang selama ini diributkan masing-masing penganutnya. Padahal, menurut mereka, dalam bahasa Lampung tidak dikenal huruf r, tetapi gh atau kh.

Kedua, para tuha-tuha adat adat juga menganggap saya telah semau-mau menulis sajak. “Kamu itu benar-benar ngawur!” kata mereka. Sebab, sastra Lampung itu tidak begitu. Ada sanjak abab atau aaaa atau …, coba lihat contoh konkrit berbagai jenis puisi Lampung lainnya (dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, dan lain-lain).

Ketiga, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa Lampung “tinggi” yang biasa dituturkan jelma Lappung dalam acara ghasan buhimpun (musyawarah adat) atau upacara adat lain. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Lampung sehari-hari yang sering saya pakai di Liwa, Lampung Barat. Ini, bisa jadi, mereka anggap merusak bahasa Lampung.

Keempat, sajak-sajak Lampung yang saya tulis hampir sama sekali tidak memuat nilai-nilai tradisi Lampung seperti pi’il pesenggiri (pi’il pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan). Saya malah menuliskan masalah-masalah kekinian (kontemporer) dalam bentuk puisi dengan bahasa sehari-hari dan seperti diucapkan sambil lalu saja. Bahkan, dalam beberapa sajak saya justru bersikap kritis terhadap apa yang “sudah dianggap tradisi” itu.

Saya memang sama sekali tak hendak mengindah-indahkan bahasa puisi saya, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia.Sayangnya, kritik atau “kemarahan” tuha-tuha adat ini tak pernah dituangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, sekian bulan saya berharap buku kumpulan sajak saya itu mendapatkan apresiasi yang memadai dari mereka yang katanya ingin mengembangkan seni-budaya Lampung. Tapi, saya pun harus segera maklum. Sebab, budaya tulis masih belum melekat dalam diri kita. Kita masih lebih suka dengan segala bentuk kelisanan, termasuk dalam sastra (berbahasa) Lampung yang sering disimpelkan dengan menyebutkan sastra tradisi Lampung.

* * *

Lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sebuah acara bertajuk “Pertemuan Dua Arus”, sebuah acara pembacaan karya oleh sastrawan tradisi dan sastrawan modern, 21 Juli 2004. Saat Direktur Jung Foundation Christian Heru Cahyo Saputro mengontak saya dan bertanya, “Anda memilih arus tradisi atau arus modern?” saya sempat berpikir, saya ini tergolong sastrawan tradisi atau modern. Tapi, agar tak terlalu berlarut-larut, saya segera menjawab saja, “Tradisi.”

Malam itu bertemulah dua jenis karya sastra yang disebut tradisi dan modern. Dari arus modern berderet nama Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, Budi P. Hatees, Dyah Indramertawirana, Panji Utama, Eddy Samudra Kertagama, Sugandhi Putra, Ahmad Julden Erwin, Iswadi Pratama, Dyah Indra Mertawirana, Arie Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, AM. Zulqornain, dan Inggit Putria Marga membacakan puisi atau cerpen modern (sastra berbahasa Indonesia).Sedang dari arus tradisi, ada Masnuna, Havisi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Dermawan Sutan, Sutan Purnama, Sutan Punyimbang Sutan, A. Roni Angguan, Johan Ratu Bahagia, Paksi Marga, Ria Gusria, Solihan, Rosila, Abas Sutan Oelangan, Andi, Yusnawati, Indra Bangsawan, Heri Junaidi, dan Nurdin Darsan melantunkan dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, termasuk lagu klasik Lampung.

Dua arus: tradisi dan modern bertemu saat itu. Sastra tradisi — secara kebetulan — hampir semua berbahasa Lampung. Sebaliknya, sastra modern — secara kebetulan — hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan saya? Kebetulan saya membacakan sajak hampir di penghujung acara ketika para apresiasian seni satu per satu meninggalkan pertunjukkan. Dalam bahasa Lampung, saya katakan, saya ingin membacakan sajak yang sebetulnya menurut saya modern. Cuma saya memilih menggunakan bahasa Lampung. Maka, saya bacakan dua sajak berbahasa Lampung: “Repa Nyak Dapok Lupa” (Bagaimana Mungkin Aku Lupa) dan “Kik Cawa Mak Tiregai Lagi” (Bila Kata Tak Dihargai Lagi) sebagaimana orang biasa membaca puisi. Sebabnya, saya memang tidak bisa membacakan puisi Lampung itu seperti para seniman Lampung lainnya melantunkan dadi, wayak, pisaan, dan berbagai bentuk puisi tradisi Lampung itu.

Terus terang sejak awal saya memang bingung, mau ditempatkan dimana puisi-puisi (berbahasa) Lampung saya. Tradisi atau modern? Kalau saya berkeras sajak saya modern, pendengarnya boleh dibilang mayoritas tidak mengerti apa yang saya katakan dalam bahasa Lampung. Terus kalau puisi saya tradisi — toh akhirnya malam itu saya digolongkan sastrawan tradisi — rasanya saya tidak meneruskan tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Saya “kayak” mengada-ada dan menyalahi “pakem” sastra (berbahasa) Lampung.

* * *

Belajar dari sastra (berbahasa) Indonesia, sampai kini toh masih ada pertanyaan, bahkan polemik tentang kapankah sastra (modern) Indonesia lahir. Ada pakar sastra Indonesia yang bilang, sastra Indonesia dimulai pada 1920. Tapi, ada juga yang mengatakan, sejak tahun 1870-an dengan ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim)” yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Maka, berdebatlah A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana.Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga.

Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7–19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia. Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.” (lihat: Asep S. Sambodja, 2004).

Dengan acuan di atas, kita juga berhak bertanya, adakah sastra modern Lampung atau atau kapankah sastra modern Lampung lahir? Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang aneh karena kita telah menyaksikan sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang ada sekarang telah menjadi sastra modern.Ukuran modern memang relatif, tetapi dalam esai ini “sastra modern” lebih mengacu pada struktur atau bentuk karya sastra. Kalau dari segi isi atau tema, sastra modern bisa saja berisi nilai-nilai tradisi. Atau sebaliknya, sastra tradisi (biasanya lisan) berisi nilai-nilai modern.

* * *

Kalau orang bicara sastra (berbahasa) Lampung, maka yang segera disodorkan adalah bentuk-bentuk sastra tradisi Lampung yang karena masih tradisi, biasanya dituturkan secara lisan secara turun-temurun. Sastra tradisi lisan Lampung dengan begitu menjadi milik kolektif sebuah komunitas, katakanlah masyarakat adat Lampung di tempat-tempat tertentu. Biasanya juga sastra tradisi ini sering melekat dalam berbagai upacara adat Lampung.

Sastra tradisi lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung dan sebagai penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.

Menurut pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi, sastra lisan Lampung dapat mendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik, memupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama, menunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung, dan menunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.

Dalam keterbatasan ruang tentu tidak pada tempatnya jenis-jenis sastra tradisi lisan Lampung ini dibahas satu per satu dan diberikan contohnya di sini. Tapi, dalam berbagai diskusi jenis-jenis sastra tradisi inilah dikhawatirkan punah. Penyebabnya, antara lain regenerasi penutur atau pembaca sastra sebut saja dadi yang sering dilantunkan Masnuna, seniman sepuh Lampung terlampau lambat kalau bukan hampir macet. Pertanyaannya kan, masih adakah yang bisa membawakan dadi selain Masnuna dan sedikit seniman lainnya?

Di sinilah, letak kegelisahan itu. Sastra tradisi lisan sebagaimana sebutannya, diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas adat, tidak pernah dituliskan, dan sering anonim. Kalau pun sekarang ada yang menuliskan, tentu yang menuliskan sastra tradisi itu tidak berhak mencantumkan namanya sebagai penulis atau pencipta karya itu. Sebab, itu bukan karya pribadinya. Soalnya, ia hanya menuliskan sastra lisan yang ia ingat dan pernah popular dalam masyarakat adat. Sastra tradisi milik kolektif dan tidak diketahui siapa penciptanya.

* * *

Dengan latar seperti itulah, saya kemudian mencoba menulis sajak-sajak modern (berbahasa) Lampung, yang kemudian antara lain terkumpul dalam buku: Momentum (2002). Sebetulnya, penerbitan buku itu memang ingin saya jadikan momentum bagi kebangkitan sastra modern Lampung. Maka, saya perlu mengucapkan terima kasih banyak kepada sahabat Kuswinarto, orang Metro yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur dan Binhad Nurrohmat, penyair Lampung Timur yang bermukim di Jakarta; yang telah mengapresiasi buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia tersebut.

Sajak-sajak saya dalam buku itu memang sama sekali tidak lagi patuh pada tata aturan atau kaedah perpuisian (berbahasa) Lampung yang selama ini dikenal masyarakat (ulun) Lampung. Ya, saya ngawur seperti yang dituduhkan tuha-tuha adat. Dalam sajak-sajak, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia, saya mencoba lebih “bebas” (lengkapnya lihat Kuswinarto, 2003 dan Binhad Nurrohmat, 2003).

Dalam pengantar buku kumpulan sajak saya itu, saya tuliskan: inji ampai muwak ni. Artinya, saya masih berharap banyak pada perkembangan dan kemajuan sastra Lampung. Tradisi dan modern berjalan seiring. Lagi pula, tradisi atau modern dalam karya sastra terkadang sulit dipisahkan. Saya hanya mau menekankan bagaimana agar kehidupan sastra Lampung (dengan tekanan menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku) tetap berkembang dinamis dengan segala kreatifitas para pendukung sastra Lampung; sastrawan Lampung sendiri. Tegasnya, sastrawan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahan baku bagi proses kreatifnya. Mengapa tidak?

Meski agak basi karena terlalu sering diucapkan pejabat, terpaksa saya gunakan juga kalimat klise berbunyi: mak tanno kapan lagi, mak gham sapa lagi.Tabik.

BACAAN:
1. Asep S. Sambodja. Dua ‘Kiblat’ dalam Sastra Indonesia”. Cybersastra, 03 September 20042.
2. Binhad Nurrohmat. “Kebangkitan Sastra Lokal”. Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003.
3. Kuswinarto. “Sastra Lampung Merindukan Hujan Sastrawan”. Cybersastra, 8 Januari 2002.
4. Kuswinarto. “Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung”. Cybersastra, 28 Mei 2003.5.
5. Udo Z. Karzi. “Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tak Merata”. Cybersastra, 9 Januari 2002.
6. Udo Z. Karzi. “Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan”. Teknokra, November 2003.

Sumber: Koran Festival, Edisi Istimewa, Oktober 2004
Asal link: http://cabiklunik.blogspot.com/2004/10/esai-sastra-modern-berbahasa-lampung.html

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar