Selasa, 01 Februari 2011

Perlawanan Sastra yang Ambivalen

Ragdi F. Daye *
http://www.padang-today.com/

Sastra Indonesia pascakolonial adalah sastra yang gamang dan mengambang.

Sesungguhnya, kondisi dunia sastra Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini tampak begitu gamang. Di satu sisi, produksi teks yang berlimpah ruah dengan terus lahirnya penulis-penulis muda berbakat sangat menggembirakan. Di sisi lain, kuantitatif produksi teks tersebut justru melahirkan persoalan serius, seperti kualitas teks, keseragaman pengayaan, miskinnya penggalian tema eksplorasi teknik ungkap, hingga tren tematik sastra yang merayakan ketubuhan-seksualitas.

Bila hendak dicari penyebabnya, ada kemungkinan semua persoalan berkait dengan sejarah sastra modern Indonesia yang masih sangat muda. Di samping itu juga disebabkan oleh kuasa-selera redaktur koran yang berlebihan karena sastra modern Indonesia tidak bisa lepas dari surat-kabar. Selain itu juga lantaran kian pudarnya batas antara karya pop dan sastra serius serta menjangkitnya mentalitas selebritis di dunia sastra. Persoalan kian rumit ketika kritik sastra Indonesia nyaris tidak berfungsi.

Sastra modern Indonesia dapat dikatakan sebagai sastra pascakolonial, mengingat Indonesia adalah sebuah negeri yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Secara ironis, sastra pascakolonial Indonesia tidak lepas dari tangan Kolonial itu sendiri. Boleh dibilang, sastra modern Indonesia merupakan perpanjangan dari sastra Barat. Namun berbeda dengan sastra pascakolonial negara-negara Dunia Ketiga lainnya seperti sastra Amerika Latin, sastra Afrika, atau sastra negara-negara Asia bekas jajahan Barat yang melawan hegemoni kulit putih (bekas penjajahnya) dalam kancah sastra berbahasa Inggris, sebagai bekas jajahan Belanda, sastra Indonesia tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai media ekspresi, namun bahasa Melayu yang telah dijadikan bahasa administratif semasa kolonialisasi.

Sastra Indonesia tumbuh berkembang di antara ‘authenticity’ dan ‘modernity’. Ketegangan antara ‘kem-bali ke akar’ dan ‘sejarah ke depan’ mengakibatnya nasionalisme dalam sastra pun semakin kabur untuk dirumuskan. Sastra Indonesia terjebak antara keinginan untuk menyejajarkan diri dengan bekas penjajah dengan cara membuka-lipat identitas, dan berupaya mempertahankan perbedaaan dengan melakukan pengukuhan ke dalam akar tradisi.

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2: Sastra Indonesia Pascakolonial

Melanjutkan agenda tahunan yang diawali di Provinsi Jambi pada tahun 2008, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2 dilaksanakan di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dari tanggal 30 Juli sampai dengan 2 Agustus 2009. TSI 2 yang dihadiri oleh sekitar 200 orang sastrawan dan pemerhati sastra dari seluruh daerah Indonesia (kecuali Papua dan Bengkulu), mengangkat tema sastra In-donesia pascakolonial.

Tema besar tersebut dipecah dalam empat subtema, yakni “Merumuskan kembali Sastra Indonesia: Definisi, Sejarah, Identitas”, “Kritik Sastra Indonesia Pascakolonial”, “Membaca Teks dan Gerakan Sastra Mutakhir: Mencari Subyek Pascakolonial”, dan “Penerjemahan Sastra: Keharusan, Pilihan, atau Sekadar Perkenalan?” Topik-topik tersebut dibahas oleh pembicara yang terdiri atas Agus R. Sarjono, Saut Situmorang, Yasraf Amir Piliang, Syafrina Noorman, Haryat-moko, Katrin Bandel, Zen Hae, Anton Kurnia, Nenden Lilis A, Nurhayat Arif Permana, Radhar Panca Dahana, Zurmailis, Arif Bagus Prasetyo, dan John McGlynn dengan moderator Joni Ariadinata, Tia Setiadi, Willy Siswanto, dan Triyanto Triwikromo.

Selain seminar dan dialog sastra, acara TSI 2 juga dilengkapi dengan penerbitan buku, malam apresiasi seni, peluncuran dan bedah buku, bazaar buku, dan wisata budaya. Dua buah buku antologi cerpen dan puisi yang diterbitkan adalah “Jalan Menikung ke Bukit Timah” dan “Pedas Lada Pasir Kuarsa”.

Definisi Sastra Pascakolonial

Indonesia adalah negara pascakolonial. Sebagai bekas jajahan Eropa, nasib Indonesia mirip dengan nasib negara-negara pascakolonial lain di berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, di dunia sastra Indonesia, istilah ‘sastra pasca-kolonial’ tidak begitu banyak dikenal dan digunakan. Masih jarang sas-trawan Indonesia yang dengan sadar mencoba mempersoalkan pascakolonialitas dalam karyanya, dan kritikus sastra yang mencoba menganalisis sastra Indonesia dengan pendekatan pascakolonial pun masih sedikit.

Pascakolonial pada awalnya adalah studi tentang interaksi antara bangsa-bangsa Eropa dan masyarakat-masyarakat yang mereka jajah secara modern. Dalam perkembangannya, ia beranjak ke isu-isu besar lain seperti gender, tradisi, dan seksualitas. Meski demikian, konsep pascakolonialisme mempunyai masalah secara terminologi dan aksiologi.

Di antaranya: Kolonialisme dapat disamakan dengan konsep hegemoni, baik melalui dominasi politik, maupun dominasi gagasan dan kebudayaan; karya-karya pascakolonial dapat saja dihasilkan pada masa penjajahan; negara pascakolonial masih banyak yang tersubordinasi secara kultural, ekonomi, dan politik walau secara teknis telah merdeka; pandangan pascakolonial yang eurosentris tidak sepenuhnya benar karena sejumlah negeri jajahan telah memiliki kekuatan literer sebelum dijajah; dan tidak semua sastrawan pascakolonial terlibat dalam isu-isu perlawanan atas dominasi dan pengaruh kolonial.

Katrin Bandel dalam makalahnya mengungkapkan bahwa pascako-lonialisme adalah usaha untuk memahami realitas masa kini, baik di negara pascakolonial, maupun di negara bekas penjajah dengan ber-fokus pada relasi kekuasaan global dan sejarahnya. Pascakolonialisme bukan sekadar deskripsi keadaan, namun sebentuk perlawanan. Perlawanan tersebut bukanlah sebuah upaya untuk menghancurkan atau ‘membuang’ segala sesuatu yang ‘Barat’ untuk kemudian ‘kembali’ kepada budaya lokal yang ‘asli’ karena telah terjadi hibridisasi antara budaya penjajah dengan yang dijajah.

Sastra pascakolonial dapat dipahami melalui dua definisi. Per-tama, sastra pascakolonial adalah sastra yang ditulis oleh pengarang negara pas-cakolonial (bekas ja-jahan); sastra Indonesia masuk ke dalamnya. Kedua, sastra pascakolonial adalah sastra yang mencerminkan kesadaran pascakolonial dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global/(neo)kolonialisme. Dari sekian banyak karya sastra In-donesia, hanya sedikit yang dapat digolongkan pada definisi kedua tersebut.

Liminalitas

Yasraf Amir Piliang mengungkapkan bahwa sastra Indonesia hidup dalam dunia ambilavensi dan kontradiski diri: ingin menjadi otentik dengan meniru, ingin berbeda dengan merepetisi, ingin menjadi diri sendiri dengan melakukan proses identifikasi. Sastra Indonesia terperangkap dalam ‘liminalitas’, yaitu kondisi ambivalensi dan kontradiksi diri tanpa solusi. Sastra hidup dalam ‘tegangan’ tak terselesaikan: tegangan Barat/ Timur, tradisional/ modern, global/ lokal, progresif/ reaktif, dan tak mampu mengambil sebuah ‘keputusan’, ‘solusi’, atau ‘pilihan’. Kesusastraan berada di dalam kondisi ‘ketiadaan-putusan’. Liminalitas sastra membawa pada kondisi kemenggantungan, tak ke sana tak ke sini, tak modern tak tradisional.

Dalam sastra Indonesia telah terjadi apa yang disebut dengan proses mimikri, yakni proses peniruan yang sepertinya sama, tetapi tidak benar-benar sama. Budaya kolonial mendorong pribumi untuk meniru dan merepetisi budaya mereka. Akan tetapi ada pelencengan makna dan pemahaman terhadap repetisi di dalamnya sebagai strategi kultural-tekstual melawan penjajah. Ketika wacana kolonial mendorong subyek terjajah untuk meniru-niru sang penjajah dengan mengadobsi kebiasaan, ideologi, kode budaya, dan kanon-kanon estetik mereka, hasilnya menjadi salinan kabur sang penjajah.

Sebagai alat perlawanan, mimikri secara terus menerus memproduksi penggelinciran, ekses, dan perbedaan-perbedaannya. Mimikri dapat terjadi melalui repetisi statis yang dicirikan dengan pengulangan, di mana antara yang mengulang dan yang diulang hanya ada relasi kesamaan dan identitas. Kedua, repetisi dinamis, yaitu repetisi yang juga menunjuk pada pengulangan, akan tetapi elemen-elemen di dalamnya mengalami pem-bedaan.

Dunia sastra Indonesia terombang-ambing antara repetisi statis dan repetisi dinamis, antara tradisi dan modernitas. Kolonialisme telah memutus sastra Indonesia dari indigenous knowledge, yaitu dari tradisi sastra lisan. Di sisi lain ketika hendak berkiblat pada jati dirinya sendiri (tradisi, lokal) sastra Indonesia mengalami dilema industria-lisasi media dan publikasi massa yang menuntut selera global yang seragam. Pihak-pihak yang memfasilitasi pengembangan sastra Indonesia justru lembaga asing yang notabene adalah dari negara (neo)kolonial.

Oportunisme

Dalam pandangan Radhar Panca Dahana, keberadaan kanon-kanon sastra pascakolonial di Indonesia tampak dalam sejumlah karya yang dalam isu dan perspektifnya tidak jauh bergeser dengan apa yang sudah dilakukan lebih dari setengah abad lalu, persoalan-persoalan dasar seperti seksualitas, gender, tradisi, relasi kuasa, minoritas, hingga perlawanan terhadap kekuatan asing, merupakan kelanjutan dari karya-karya Mochtar Lubis, Idrus, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Dengan kata lain, karya-karya sastra Indonesia masa kini sesungguhnya tidaklah membawa perubahan paradigmatik dibanding dengan berbagai eks-perimentasi literer yang dilakukan oleh para sastrawan akhir 60-an dan awal 70-an, seperti Iwan Simatupang, Budi Darma, Danarto, WS Rendra, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain.

Apabila hendak dicari sebuah nama, baru Afrizal Malnalah yang menawarkan cara pandang dan pe-nyikapan baru atas tema-tema pasca-kolonial. Dia menyikapi realitas mutakhir yang penuh benda dan materialisme dengan me-nyejajarkannya subyek-subyek klasik dalam perpuisian Indonesia, seperti aku, Tuhan, cinta dan lain-lain. Selain Afrizal—yang melahirkan sederet panjang epigon—para sastrawan masih terlihat kaku dan ragu dalam menentukan posisi dan orientasinya menghadapi realitas pascakolonialnya.

Sastra pascakolonial Indonesia mengalami semacam oportunisme. Sastra Indonesia menyerahkan dirinya pada kepentingan industri (kapitalis-me). Gerakan-gerakan sastra lokal tinggal pesta-pesta kecil sehingga pluralisme dan multikulturalisme tidak berkembang menjadi kedewasaan kultural, malah sebaliknya, menjadi chauvinisme lokal yang destruktif. Sastra sampai pada posisi minor dan tersubordinasi karena telah terlucuti dari kekuatan utama dan historisnya. Kehidupan yang pragmatik-materialis-tik telah menjadi antitesis dari ke-kuatan moral sastra sehingga pena menjadi majal.

Dengan kondisi seperti itu, menurut Radhar, sebaiknya sastra berhenti melakukan kesia-siaan dengan terus menerbitkan karya-karya yang hanya merayakan arogansi dan dunia sempit pengarangnya. Mutu karya perlu ditingkatkan beserta kekuatan sosial yang membangunnya. Para sastrawan harus berani meninggalkan individualisme yang menjeratnya secara kreatif, untuk secara sosial menyatukan diri dalam sebuah wacana dimana mereka mengenali, mengidentifikasi hidup dan diri mereka sendiri, kemudian menetapkan orientasi dan gagasan kolektif untuk bergerak ke muka.

Diskusi yang Tanggung

Tema yang diusung TSI 2 sama sekali tidak ringan. Namun durasi waktu yang pendek mengakibatkan pembahasan tentang sastra pascakolonial Indonesia terasa tanggung. Belum selesai suatu persoalan diperbincangkan, sudah dialihkan ke topik lain karena waktu diskusi sudah habis. Banyak masalah yang menggantung, terutama tentang identitas seperti apa yang diharapkan dari sastra Indonesia; apakah identitas hibrida yang kemari menanggung: Timur sekaligus Barat, tradisi sekaligus modern. Rumusan sastra pascakolonial Indonesia pun setelah diskusi berlangsung setengah jalan baru beroleh titik terang.
Memang, sepertinya sastra Indonesia mempunyai banyak problem dari berbagai segi.

Semuanya menjadi pekerjaan berat yang tak tertuntaskan dalam TSI, tentu saja. Radhar dan Saut Situmorang mempermasalahkan politisasi sastra, hegemoni kelompok tertentu yang pada dasarnya telah menjadi kolonialisme pula. Katrin Bandel dan Zurmailis menggoyahkan kredibilitas Saman karya Ayu Utami sebagai puncak karya sastra pasca-kolonial Indonesia mutakhir. Pemikiran Anton Kurnia yang menyarankan dibentuknya lembaga penerjemahan sastra yang dapat menjadi jembatan sastra Indonesia ke dunia internasional, dan sebaliknya, sastra dunia ke Indonesia, tinggal sebatas wacana yang entah bagaimana dapat diwujudkan.

Ironisnya, persoalan besar yang berada di pundak para penggiat sastra itu tak benar-benar mendapat perhatian utuh dari peserta. Hampir pada setiap sesi diskusi diisi oleh keasyikan para peserta ngerumpi di belakang. Ada yang berkomentar bahwa itu fenomena biasa dalam perhelatan sastrawan/ seniman, seolah waktu tidak cukup-cukup untuk ngobrol di luar topik. Beberapa kali moderator terpaksa mengeluarkan imbauan keras untuk menertibkan forum dan menyarankan kepada ‘sastrawan penggembira’ untuk memilih tempat di luar daripada cuma menggaduh. Barangkali hal itu disebabkan setting acara yang kurang memberi kesempatan kepada para sastrawan untuk berdiskusi ngalor ngidul dan temu kangen dengan rekan sepro-fesinya.

Dukungan pemerintah daerah dan TSI 3

Satu hal yang mengagumkan dari acara TSI 2 di Bangka Belitung adalah dukungan dan perhatian besar dari pemerintah daerahnya. Pada acara pembukaan, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali, M. Sc., menjamu langsung seluruh peserta di rumah dinasnya. Acara hiburan kesenian yang disuguhkan adalah kesenian tradisional berupa musik gambus Melayu dan atraksi berbalas pantun, bukan nyanyian pop dengan iringan orgen tunggal seperti di daerah ini. Tidak tanggung-tanggung, setelah membuka secara resmi, Gubernur Eko tampil membawakan Gurindam Abad 21 diiringi musik setempat.

Meski merupakan daerah yang masih belia dan pencapaian sastranya belum begitu bergema—kecuali tetralogi Laskar Pelangi, itupun ‘status kesastraannya’ masih diperdebatkan—Bangka Belitung sangat berani dengan mengajukan diri menjadi tuan rumah, kemudian semampu mungkin menjalankan tanggung jawabnya.

Kondisi miris terasa atas sastra Sumatra Barat. Meski menyumbang penulis cukup banyak dari kedua buah buku antologi yang diterbitkan (9 dari 99 orang, ditambah sejumlah un-dangan khusus), ternyata dari provinsi ini hanya satu orang sastrawan yang datang, yakni saya sendiri. Sastrawan-sastrawan lain tidak dapat hadir karena terkendala biaya transportasi. Saya sangat beruntung karena dibantu oleh Komite Sekolah SMP IT Adzkia (terima kasih kepada Bapak Uyung dan Ibu Rita) sehingga dapat berangkat meski harus lewat jalur darat menempuh jarak ratusan kilometer.

Kenyataan tersebut menunjukkan ironi lain bahwa di daerah yang telah melahirkan sastrawan-sastrawan besar seperti Marah Rusli, Idrus, Chairil Anwar, Hamka, AA Navis, dan lain-lain ini, sastra tak begitu berharga—setidak-tidaknya di mata pemerintah daerah. Sastra tak dapat dijadikan obyek andalan yang menghasilkan uang dan gengsi seperti pariwisata dan kesenian pop sehingga tidak diberi perhatian. Padahal bahasa Indonesia yang dipakai hari ini tidak lepas dari lekat tangan para sastrawan Sumatra Barat yang telah memberi warna kental atas sastra modern Indonesia.

Hati saya sangat getir ketika mengetahui bahwa Esha Tegar Putra (penyair muda; sekadar contoh) yang telah ‘mengemis’ dana ke Walikota Solok tak jadi datang karena dana tak turun, padahal dia telah diundang hadir dalam acara peluncuran buku kumpulan puisinya. Sementara, seorang peserta dari Pulau Belitung yang jaraknya sangat dekat dari Pangkalpinang diberi ongkos satu juta rupiah oleh bupatinya. Sastrawan dari Ternate, Maluku Utara, malah mendapat sokongan penuh dari gubernurnya sehingga dengan percaya diri mengajukan diri menjadi tuan rumah TSI 3.

Begitu pula dengan Nusa Tenggara Timur, Riau, Sulawesi Barat, Sumatra Utara, dan daerah-daerah lain yang kualitas kesastraannya (kalau boleh disebut) tidak terlalu istimewa dibanding perkembangan sastra Sumatra Barat, mereka tidak saja didukung secara moral dan material oleh pemerintahnya, namun juga diutus sebagai duta daerah.

Temu Sastrawan Indonesia ke-3 akan digelar tahun depan di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau dengan ketua panitia Abdul Kadir Ibrahim. Tema yang akan dibahas akan dirumuskan panitia, juga waktu pelaksanaannya. Para sastrawan Indonesia yang tinggal di Sumatra Barat barangkali perlu menabung dari sekarang agar dapat memenuhi undangan panitia, sekiranya nanti hati pemerintah daerah tidak kunjung terketuk.[]

*) Penulis adalah Sastrawan
Sumber: http://www.padang-today.com/index.php?today=article&j=3&id=921

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar