Jumat, 21 Januari 2011

Puisi itu…! Menerjang Pecundang

Sabrank Suparno
http://sastra-perlawanan.blogspot.com/

Detik detik penutupan serangkaian acara Gebyar Pesta Seni Rakyat Jombang yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jombang (DeKaJo) beserta lembaga terkait di gedung PSBR, dipungkasi dengan pertunjukan Teatrikalisasi-Puisi-Musik persembahan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jombang angkatan 2009. Pementasan sesi pertama digelar pukul 15:30 dan pementasan ulang pukul 19:00, dengan 4 judul puisi sekaligus: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, Menghisap Kelembak Menyan karya Emha Ainun Nadjib, dan terahir MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesi karya Taufik Ismail.

Seperti ada serabut di tempurung kepala penonton. Kalau pun tidak, pasti ada gumpalan di rongga dada yang pada saatnya akan meledak. Seminggu, semenjak acara berlangsung, saya kerap klitar kilter hingga larut menyaksikan seluruh pementasan di gedung itu. Dan ketika sekitar jam 2:00 siang, seluruh mahasiswa tampak melakukan persiapan di pelataran masjid dan area parkir, dengan memoles diri, memoles temannya sesuai peran masing-masing. Saya jadi ingat sebilik tobongan yang dipakai berias para pemain ludruk sebelum tampil. Sebilik ruang sederhana yang kerap saya masuki ketika meliput ludruk bersama rekan Fahrudin Nasrulloh. Itupun hanya di kerumuni hanya sekitar 60 awak seniman. Tetapi mahasiswa STKIP angkatan 2009 yang berjumlah sekitar 250 berjubel menyesaki pelataran PSBR.

Ada catatan tersendiri di sana. Canda canda kecil, wajah belepotan, over menor, menyiapkan alat adegan dll. Meski belum menyamai pementasan Sumpah Gajah Mada yang ditulis Sri Murtono pada tahun 1952 di depan musium Sonobudoyo (Keraton Yogyakarta) yang melibatkan 350 aktor termasuk 125 diantaranya aktris, 8 ekor kuda, sepuluh kereta yang ditarik 20 ekor sapi, di seluas panggung berukuran 50 kali 135 meter.*

Ah, ini buakan zaman perang. Sungguh. Pagi setelah malam penutupan itu, seperti desingan peluru berhamburan memberondong. Ledakan kanon, thank, pistol, bedil, bayonet, martil, koka, granat masih membekas di pendengaran saya. Seperti ada pertempuran semalam.

Macapat Sasana Gebyar Seni

Acara dibuka dengan penampilan Sasana Gebyar Seni pimpinan Bapak Suhartono yang berpadepokan di Perumahan Jombang Indah. Komunitas ini menampilkan paduan lantunan macapat dengan teatrikal dalang. Dimana salah satu anggota mereka berperan memegang kelir, bertempur dengan kelir itu, yang dalam pementasan wayang kulit dikenal dengan istilah ‘nyirep goro goro’menyingkirkan prahara.

Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta

Seiring pergantian musik setelah goro goro menyingkir, barulah keluar ratusan para pelacur. Orasi pembacaan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta pun berselang seling menyelinap diantara kerumunan para pelacur. Saya, sempat lupa kalau para pelacur itu hanyalah penampakan puisinya Rendra. Hingga saya sempat bertanya pada rekan Jabbar Abdulloh selaku networker yang sedang meliput, “ Jabbar, tarife pelacur iki piroan?” sambil tersenyum Jabbar menjawab “selawe nggeblak dewe”, haha.

Demikianlah ketika puisi diteatrikalisasikan. Adalah misi yang digagas seniman dengan harapan agar maksud isi puisi yang ditulis sastrawan efektif membekas di hati dan kesadaran penonton. Proses kerja teatrikalisasi itu sendiri mencoba menerjemahkan keterbatasan bahasa dalam menggambarkan sesuatu (visual). Jalan ini juga ditempuh Afrizal Malna dengan gagasan Puisi Art: Penyampaian puisi yang didesain dengan vidio. Untuk menggambarkan kilat misalnya, atau kecepatan pesawat super sonik, tak cukup hanya mengandalkan bahasa. Tetapi akan lebih paham jika ditampakkan ilustrasi visual.

Dalam proses teatrikalisasi puisi atau puisi musik, diperlukan garapan yang seimbang antar civitas: Penonton, pemain, penulis naskah, kritikus, bahkan peliput. Terutama hal yang menyangkut konseptual, termasuk memahami kondisi ruang. Sebab, pada kadar intonasi yang tidak reflektif terhadap ruang bisa menenggelamkan puisi itu sendiri. Disinilah letak kegagalan pementasan.

Pada pementasan Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta, sutradara seperti kurang memahami konsep ‘kesamaan derajat’ yang ditawarkan Rendra. Bukan kesamaan gaya, kostum, cara, bahkan predikat kesejatian pelacur itu sendiri. Nyaris tidak ditemukan pelacur yang bergaya-berpakaian kantoran, anak kuliah, bahkan cabutan usia SMA. Sehingga tidak sertamerta mewakili realitas yang ada. Pelacur disitu hanya dipahami sabagai PSK kelas rendahan yang dijajahkan di pinggir jalan. Kalaupun agak elit, taruhlah tempat tempat prostitusi seperti Padang Galak, Ketewel (Denpasar), Padyang Ulan (Banyuwangi), Tretes (Pasuruan), Gang Dolly dan Kremil (Surabaya), Balong Cangkring/BC (Mojokerto), Tunggorono, Klubuk (Jombang), Guyangan (Nganjuk), Lembah UGM (Yogyakarta), Jurang Songgoriti (Malang) dll.

Namun kekurangan akting itu dalam batas kewajaran. Seperti dikatakan Henri Nurcahyo Esais Surabaya saat diskusi teater di gedung PSBR tanggal 6 Januari 2011 pagi, bahwa dunia teater adalah dunia seolah-olah. Maka tak heran jika para pelacur di panggung PSBR adalah pelacur yang diragukan kepelacurannya. Artinya, meski pun mereka bergaya dan berpenampilan ala pelacur, tapi tidak sungguh sungguh berprofesi sebagai pelacur. Andai pun ada yang terlanjur (maaf), sehina hinanya pelacur yang dicolok Rendra dalam puisi ini, ialah orang yang sembodo, ksatria dalam hidupnya. Sebab mereka nyata dalam transaksi menjual dirinya secara total. Sementara para penguasa malah menjadi pelacur ter-hina yang menjual rakyat (tubuh lain) demi eksistensinya.

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Kejanggalan pada pementasan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo dapat kita lihat dari penuangan momentum sejarah. Apakah sesuai tahun terbunuhnya Atmo Karpo dengan interpretasi gaya konflik yang dibangun diatas panggung? Memang, dalam naskah itu, atas nama dendam kesumat, Joko Pandan menelikung kematian Atmo Karpo dari 4 penjuru mata angin. Armo Karpo terjungkal setelah bahu kirinya tertembus anak panah. Sepertinya zaman nomaden. Lantas, kenapa 4 wanita pemanahnya tidak memakai BeHa koteka sekalian?

Keadaan demikian akan menyulitkan format para penonton. Hendak dikemanakan konsep format yang demikian? Kesannya, tragedi itu hanya terjadi di masa lampau. Padahal sesungguhnya bahaya selalu mengancam siapa pun dalam berbagai bentuk. Termasuk kekejaman tekhnologi cyber yang lebih bahaya bagai busur angin.

Menghisap Kelembak Menyan

Pengemasan Edy Haryoso selaku sutradara tidak jauh melebar dari teks format aslinya ketika dibacakan Emha Ainun Nadjib sendiri bersama teater Dynasti. Seting backround pementasan Menghisap Kelembak Menyan formatnya tidak berubah. Naskah ini tergolong sublim. Perebutan eksistensi digambarkan dalam perang dialog antar dua teori yang bertabrakan akibat kondisi kekinian yang dialami generasi penerus bangsa. Orang tua dan kaum feodal menjadikan pitutur kuno sebagai bius demokratisasi, sedang kaum intelektual muda menemui kenyataan berbalik 180 derajat.

Benturan dua teori di atas diharapkan menjadi serbuk /glepung yang disebut ‘irama pembusukan’. Berawal dari teori medok, mogol, tanggung, entah gak entah-mateng gak mateng. Setelah mati, busuk, barulah muncul kehidupan baru, file file baru yang lebih tertata.

Karena pakem dengan format aslinya, menjadikan pementasan Menghisap Kelembak Menyan kurang menghenyak penonton. Meskipun dari alur teks penonton terpukau. Kentaranya, sutradara hanya menguasai intensitas teks, tetapi lemah intensitas ruang. Dengan hanya berdiri monoton di pojok, penonton yang paling belakang tidak terdengar. Apalagi para penonton yang belum pernah dikursus menjadi penonton yang baik, bisik kegaduhannya acapkali menenggelamkan suara orator. Saya sekedar membayangkan seandainya pembaca puisinya sambil berjalan menguasai panggung, mengacung-acungkan teks, mengibaskan atau bahkan membanting teks ke lantai. Dan sah juga sambil menghampiri kerumunan penonton. Setahu saya, Emha sering mengatakan “kalau anda meniru saya, Emhais, nyakNun, artinya aku gagal membangun kemandirian kalian. Anggaplah aku garam bagimu yang kau ramu untuk sekedar ngepyuri bumbu masakan sosial”*

MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)

Ada kreativitas ide pada pementasan MAJOI. Yaitu penuangan panggung yang bersifat elastis. Hanya dengan alat sederhana, sesi peralihan adegan yang bernuansa kehidupan modern efektif seperti menonton layar kaca. Sayangnya si tokoh yang pemalu (penyebab), yang kemudian bersedih (akibat malu) gagal mewakili kesedihan Taufik Ismail yang didera oleh kabar tentang keburukan negerinya yang disimbolkan dua orang samar (media). Tokoh tidak menggambarkan ekspresi wajah kesedihan yang sesekali mengernyitkan dahi. Bahkan tidak berani bertatapan mata dengan penonton. Seperti ada rasa kekurangan akting dalam dirinya. Si tokoh seperti orang yang tidak pernah putus cinta, yang mengajarkan hidup meratap-ratap serasa mati dalam kehidupan.

Disinilah pentingnya mencari aktor yang digali berdasarkan kondisi keseharian seseorang. Seperti dikatakan R. Giryadi (Ketua DKJT) saat nyambangi diskusi teater dan penutupan pentas seni tanggal 6 Januari di Jombang perihal konsep detail mengenal ruang. Ia mencontohkan soal latihan mengenal alam, tidak harus dilakukan di gunung, pantai, hutan seperti teori lawas. Bagi warga kota lebih baik di mall, dsb yang dekat dengan kesehariannya.

Awal pertempuran terbuka dalam pementasan Teatrikalisasi-Puisi-Musik oleh angkatan 2009 lalu dimulai keberaniannya memilih puisi ber-alur pemberontakan atas ketimpangan sosial. Selanjutnya gencar memberondong bertubi-tubi tembakan bait kata kata ke penonton. Kata Matori A Elwa:

Setiap pertempuran pasti ada yang terluka
Satu meninggal dunia
Dua luka parah
Selebihnya dirawat di rumah sendiri sendiri.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena DĂ© M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar