Budi P. Hatees
http://www.sinarharapan.co.id/
Jari-jemari Inang seperti punya mata, meniti di rentangan helai demi helai benang kain tenun berwarna hitam, lalu menyusup untuk mengaitkan benang warna-warni di antara benang-benang itu hingga terbentuk ornamen-ornamen indah. Jari-jemari itu seolah bisa membedakan warna setiap benang yang terserak di sekitarnya, yang diraih Inang tanpa melihatnya. Ada puluhan benang, digulung dalam kertas hingga membentuk bulatan-bulan sebesar kelereng, sehingga gampang keluar-masuk di antara benang-benang yang tipis. Silih berganti, setiap kali satu rajutan selebar setengah meter rentangan benang itu selesai, dengan kecekatan serupa jari-jemari Inang mengeluarkan balobas-balobas bambu yang semula di dalam rentangan benang sembari mengetuk-ngetukkannya. Semilimeter demi semilimeter, rentangan benang-benang itu berubah menjadi kain.
Begitu terus-menerus Inang mengerjakan ulos itu dengan ketekunan seorang pengrajin tradisional, yang mewarisi bakat itu secara turun-temurun dari almarhumah ompung. Inang cuma butuh tiga pekan untuk menyelesaikan ulos sepanjang tiga meter itu, dan itu waktu yang sangat cepat dibanding penenun lainnya yang membutuhkan empat sampai enam pekan untuk menyelesaikan tenunannya. Selama tiga pekan itu, tubuh Inang terikat dengan peralatan yang sederhana itu, seolah-olah mereka telah menyatu. Inang baru melepas ikatan alat-alat tenun itu dari tubuhnya jika ingin buang air, atau saat panggilan azan terdengar dari langgar yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Selama itu pula, aku yang menjaga Inang dan mengambilkan makanan atau minuman untuknya, serta menyuapinya.
Dua adikku, Tiurma (10) dan Sangap (5), untungnya, sangat mengerti dengan kondisi Inang sehingga mereka tidak berani bermanja-manja. Aku pun sering mengingatkan agar mereka belajar mengurus diri sendiri. Mereka menurut meskipun tidak jarang sikap anak-anak yang ingin mendapat perhatian lebih dari ibunya sering mereka perlihatkan di hadapan Inang, tetapi aku memakluminya asal tidak mengganggu pekerjaan Inang. Tapi, kalau mereka mulai mengganggu pekerjaan Inang, cepat-cepat aku bawa mereka keluar rumah, dan mengajak duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka. Mereka biasanya tanggap bahwa aku akan menceritakan suatu cerita seperti biasa selalu aku lakukan setiap kali mulai kewalahan meladeni kemanjaan-kemanjaan mereka.
Aku bukan tukang cerita yang bagus, karena aku sering mengulang-ulang cerita yang sudah pernah kuceritakan. Aku kewalahan mencari cerita karena semua cerita yang ada sudah kuceritakan, dan aku terpaksa mengarang sendiri cerita-cerita baru. Pernah aku menceritakan seekor ratu lebah yang terpaksa berdiam diri di dalam sarangnya sambil membangun sepotong demi sepotong sarang untuk meletakkan telur-telurnya. Pekerjaan itu dilakukan ratu lebah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa pernah melihat dunia luar, dan tanpa melakukan hal-hal lain yang dilakukan lebah-lebah lain seperti mengisap sari bunga-bunga. Ketika menceritakan itu, aku selalu teringat kepada Inang yang dalam bayanganku seperti ratu lebah itu, sembari kuandaikan alangkah tersiksanya kehidupan yang dijalani Inang dengan menutup diri terhadap dunia luar. Tapi, Amang, bukanlah lebah-lebah jantan yang pergi keluyuran mencari bunga-bunga mekar dan menghisap madunya untuk dibawa ke rumah. Amang malah sebaliknya, keluyuran ke luar rumah, lalu pulang untuk mengambil madu dari dalam rumah dan menghamburkannya di kedai Amani Husor dengan berjudi sambil meminum tuak.
***
Sejak pabrik bubuk kopi milik Amani Luhut bangkrut karena tidak ada lagi biji kopi yang bisa digilingnya, ditambah banyaknya kopi kemasan yang lebih bagus yang masuk ke kampung kami melalui pedagang-pedagang kamvaser dari Padangsidempuan, Amang dan sebagian besar laki-laki di kampung kami yang semula bekerja menjadi buruh di pabrik itu menjadi kehilangan pekerjaan. Amani Luhut sendiri terpaksa hidup dari hasil menjual satu per satu mesin penggiling kopinya yang masih sisa karena sebagian besar sudah disita bank, dan ia semakin sering terlihat berjalan-jalan sendirian mengelilingi kampung kami sembari menggerutu sepanjang jalan. Belakangan Amani Luhut ditangkap orang sekampung dan dipasung di gubuk kecil bekas gudang penimbunan biji kopi di belakang rumahnya, karena ia tidak cuma suka menggerutu tetapi mulai gemar membentak-bentak setiap orang yang berpapasan dengannya seperti kebiasaannya membentak-bentaki para pekerja ketika pabrik penggilingan kopinya masih aktif.
Hampir semua bekas buruh di pabrik Amani Luhut itu tidak siap kehilangan pekerjaan, karena mereka tidak tahu mau bekerja apapun untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan lama mereka sebagai petani tidak bisa lagi diandalkan karena mereka tidak punya sawah untuk digarap. Semua penduduk di kampung kami, yang semula memiliki lahan garapan warisan dari orangtuanya, kini tidak punya lahan lagi. Mereka menjual lahan-lahan itu beberapa tahun lalu ketika Amani Luhut baru membuka pabrik kopinya dan mengajak semua laki-laki di kampung kami yang biasa bersawah menjadi buruh di pabriknya. Dan, para laki-laki yang merasa sangat betah bekerja di pabrik itu, memutuskan menjual sawah mereka karena yakin gaji sebagai buruh pabrik cukup untuk menghidupi keluarganya.
Ketika sawah-sawah itu dijual, di kampung kami sedang demam orang memiliki parabola. Cuma dengan teknologi itulah orang-orang bisa mengikuti perkembangan zaman melalui pesawat televisi, karena antena biasa cuma bisa menangkap TVRI yang acaranya melulu propaganda politik pemerintah. Makanya, hampir semua rumah di kampung kami memiliki parabola, sekalipun kondisi rumah-rumah itu sangat memprihatinkan dengan dinding kayu tua lapuk dan atap seng buruk yang sudah karatan dan penuh tambalan. Namun, sejak pabrik kopi itu tutup dan banyak laki-laki yang menganggur, maka parabola tidak ada lagi di kampung kami. Para pemiliknya menjual parabolanya untuk membeli beras atau kebutuhan hidup lainnya. Satu-satunya parabola cuma ada di kedai milik Amani Husor, dan setiap orang di kampung kami senantiasa berada di dalam kedai itu menghabiskan waktu berhari-hari, sambil memesan kopi yang setiap jam selalu ditambah airnya.
Amang termasuk salah seorang yang gemar menghabiskan sehari penuh di kedai Amani Husor, dan baru pulang ke rumah dinihari ketika kami—ketiga anaknya—sudah terlelap. Biasanya, Amang pulang membawa aroma minuman keras di mulutnya, yang sering membuat aku tersentak bangun dan cepat-cepat membukakan pintu. Pagi harinya Amang bangun dengan sisa tuak yang masih mengendap di rongga kepalanya. Suaranya yang keras menggoyangkan tiang-tiang rumah seperti ingin merobohkannya ketika meminta dibuatkan secangkir kopi, lalu duduk di kursi rotan tua sambil menyedot rokok Union-nya. Berulangkali ia akan mendahak dan meludah keluar dari jendela. Akulah yang memenuhi semua kebutuhan Amang, membuatkannya secangkir kopi kalau kopi dan gula ada. Kalau tidak ada, aku akan diam-diam ke warung Amani Husor, membelinya dengan sisa uang belanja yang diberikan Inang kepadaku. Selesai ngopi, biasanya, Amang keluar. ”Ada kau simpan uang, Nurma,” katanya. Aku tak pernah bisa menolak, karena Amang tidak akan segan-segan memukuliku. Lalu, sisa uang belanja dari Inang kuberikan.
Sedangkan Inang yang sudah mulai mengikat tubuhnya ke peralatan tenun, biasanya tidak banyak bicara. Inang harus memburu menyelesaikan pekerjaannya untuk menenuhi pesanan pelanggan dari Padangsidempuan, yang membutuhkan Ulos Godang itu untuk menikahkan anak sulungnya.
Inang selalu berusaha menjaga pelanggannya agar tidak kecewa. Semua keinginan mereka dipenuhinya tanpa banyak menuntut, sekalipun tidak jarang pelanggan yang datang itu menjual kembali hasil tenunan Inang dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh Inang. Inang juga tahu soal itu tetapi ia tidak pernah mau meributkannya, karena Inang selalu bilang, ”Yang penting kita harus mensyukuri rezeki yang ada. Begitu kita mensyukurinya, rezeki itu akan berkah.”
Tapi, aku tak pernah bisa menerima perlakuan para pelanggan Inang itu. Sering kukatakan agar Inang menetapkan harga lebih tinggi karena cuma Inang satu-satunya penenun yang mampu menghasilkan kain bagus dan indah. Banyak penenun lain tetapi hasil karya mereka sering tidak memenuhi keinginan para pembeli, karena banyak dari ornamennya tidak sesuai dengan ornamen Ulos Godang. Ornamen-ornamen yang mereka buat tidak lagi mengandung falsafah warisan leluhur budaya Batak Angkola, karena penempatan ornamen di setiap lembar Ulos Godang mengandung ajaran-ajaran kehidupan yang bila diamalkan akan membuat hidup lebih tenang, dan orang bersangkutan selalu akan tawadu dan husnuzon. Begitulah Inang selalu menceritakan makna setiap motif dan ornamen Ulos Godang yang ditenunnya, lalu Inang mengatakan,
”Inang tidak cuma mencari nafkah dengan menenun Ulos Godang, juga melestarikan ajaran-ajaran leluhur kita agar orang-orang zaman sekarang bisa hidup tenang dengan rasa toleransi yang tinggi.”
***
Hampir tiga pekan, akhirnya, Inang menyelesaikan tenunannya. Bertepatan dengan itu, pemesan Ulos Godang datang dari Padangsidempuan. Kijang biru metalik yang dikendarainya diparkir di halaman rumah. Kulihat Tiurma dan Sangap mendekati mobil itu, mengaguminya, tetapi sopir orang itu menyuruh mereka menjauh. Aku keluar dan menyuruh mereka menjauh, lalu ke dalam lagi untuk menyiapkan minuman. Ketika aku datang sambil membawa minuman, kulihat pemesan itu sedang memeriksa Ulos Godang hasil tenunan Inang.
”Luar biasa!” Perempuan bertubuh gendut yang gemar tersenyum untuk memperlihatkan sebutir gigi emasnya itu memuji karya Inang. Berulang-ulang diselempangkannya Ulos Godang itu di pundaknya, dan setiap kali ulos itu sudah terselempangkan, perempuan gendut itu membuat gerakan-gerakan manortor. ”Maaf, aku selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak manortor kalau sudah kuselempangkan ulos.”
Kulihat Inang tersenyum. ”Eda pantas sekali memakainya. Kapan horjanya diadakan?” tanya Inang.
”Anu…rencananya besok,” perempuan gendut itu terlihat gugup.
Aku dan Inang tahu persis, Ulos Godang itu bukan untuk dirinya sendiri. Perempuan gendut itu pedagang dari Padangsidempuan, yang akan menjual Ulos Godang itu kepada pemesannya. Tapi, ia berpura-pura sebagai orang yang akan memakai Ulos Godang itu. Dengan begitu, ia akan mendapat Ulos Godang dengan harga lebih murah dari harga biasanya, karena para penenun Ulos Godang tidak boleh menaikkan harga bagi orang yang akan menggunakan kain adat itu untuk keperluan horja. Ada semacam toleransi yang tak tertulis dari para penenun Ulos Godang untuk mempermudah semua urusan orang-orang yang akan melaksanakan horja. Aku tahu persis soal itu dari Inang, makanya perempuan gendut itu membuat aku muak. Buru-buru aku ke dapur, meninggalkan Inang bersama tamunya.
”Berapa lagi sisa uangnya?” Perempuan gendut itu mengalihkan pembicaraan. ”Sebelumnya aku sudah kasih Rp50.000, tinggal Rp200.000 lagi kan?” katanya. ”Rp250.000 lagi, Eda.” Inang meralatnya. ”Kita sepakat harganya Rp350.000.”
”Eda! Ulos Godang ini mau kupakai sendiri. Persiapan horja perkawinan anak sulungku sudah banyak menghabiskan uang. Tolonglah aku, Eda, jangan sampai karena Ulos Godang ini horja itu jadi batal.”
Inang terdiam. Dari dapur aku menunggu reaksi Inang. Aku berharap kali ini mau bicara lugas dan mengatakan yang sebenarnya bahwa perempuan gendut itu berbohong. Tapi, ketika aku dengar Inang mengatakan ”baiklah”, aku terduduk di kursi rotan tua. Aku sudah menduga Inang pasti tidak sanggup bicara lugas karena ia selalu berusaha menjaga agar pelanggannya tidak pergi.
”Mauliate ma da, Eda,” kata Inang setelah menerima sisa uang Rp200.000. Ah, Inang, ia masih juga berterima kasih meskipun dibohongi.
”Mauliate.” Perempuan gendut itu tersenyum.
Aku melihat wajah perempuan gendut itu begitu puas. Aku tahu rasa puas itu bukan karena sudah memperoleh Ulos Godang dengan harga murah tetapi karena berhasil membohongi Inang. Begitu ia berada di dalam perjalanan ke Padangsidempuan, ia pasti akan bilang kepada sopirnya, ”Bodoh sekali orang itu mau aku bohongi. Ulos sebagus ini bisa aku jual Rp500.000.”
Setelah perempuan gendut itu pergi, Inang memberiku Rp100.000 dari uang itu, ”Kau bayar uang sekolah kau dan adikmu Tiurma, sisanya untuk belanja kita sehari-hari. Sekarang kau pergi beli beras dan minyak goreng! Inang mau membeli benang-benang baru karena benang tenun Inang sudah habis.”
Aku mengajak Tiurma dan Sangap ke kedai Amani Husor. Tapi, baru saja kami mau melangkah keluar rumah, tiba-tiba datang seseorang memberi tahu bahwa Amang ditangkap polisi di kedai Amani Husor. Amang bersama kawan-kawannya tertangkap basah sedang berjudi. ”Amani Husor juga ditahan,” kata tamu itu.
Aku lihat Inang tenang saja sambil meremas uang Rp100.000 di tangannya. ***
Sipirok, i—2002
Ulos Godang = Kain adat Batak Angkola. Biasa dipergunakan untuk acara-acara adat perkawinan dan kematian.
Inang = Ibu
Amang = Ayah
Amani Luhut = Panggilan, Ayah Luhut.
Eda = Panggilan kaum perempuan kepada perempuan lain yang kira-kira seumuran. Sama dengan panggilan ”lae” antara kaum laki-laki dengan laki-laki.
Horja = Pesta
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 01 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar