Rabu, 01 Desember 2010

Partonun

Budi P. Hatees
http://www.sinarharapan.co.id/

Jari-jemari Inang seperti punya mata, meniti di rentangan helai demi helai benang kain tenun berwarna hitam, lalu menyusup untuk mengaitkan benang warna-warni di antara benang-benang itu hingga terbentuk ornamen-ornamen indah. Jari-jemari itu seolah bisa membedakan warna setiap benang yang terserak di sekitarnya, yang diraih Inang tanpa melihatnya. Ada puluhan benang, digulung dalam kertas hingga membentuk bulatan-bulan sebesar kelereng, sehingga gampang keluar-masuk di antara benang-benang yang tipis. Silih berganti, setiap kali satu rajutan selebar setengah meter rentangan benang itu selesai, dengan kecekatan serupa jari-jemari Inang mengeluarkan balobas-balobas bambu yang semula di dalam rentangan benang sembari mengetuk-ngetukkannya. Semilimeter demi semilimeter, rentangan benang-benang itu berubah menjadi kain.

Begitu terus-menerus Inang mengerjakan ulos itu dengan ketekunan seorang pengrajin tradisional, yang mewarisi bakat itu secara turun-temurun dari almarhumah ompung. Inang cuma butuh tiga pekan untuk menyelesaikan ulos sepanjang tiga meter itu, dan itu waktu yang sangat cepat dibanding penenun lainnya yang membutuhkan empat sampai enam pekan untuk menyelesaikan tenunannya. Selama tiga pekan itu, tubuh Inang terikat dengan peralatan yang sederhana itu, seolah-olah mereka telah menyatu. Inang baru melepas ikatan alat-alat tenun itu dari tubuhnya jika ingin buang air, atau saat panggilan azan terdengar dari langgar yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Selama itu pula, aku yang menjaga Inang dan mengambilkan makanan atau minuman untuknya, serta menyuapinya.

Dua adikku, Tiurma (10) dan Sangap (5), untungnya, sangat mengerti dengan kondisi Inang sehingga mereka tidak berani bermanja-manja. Aku pun sering mengingatkan agar mereka belajar mengurus diri sendiri. Mereka menurut meskipun tidak jarang sikap anak-anak yang ingin mendapat perhatian lebih dari ibunya sering mereka perlihatkan di hadapan Inang, tetapi aku memakluminya asal tidak mengganggu pekerjaan Inang. Tapi, kalau mereka mulai mengganggu pekerjaan Inang, cepat-cepat aku bawa mereka keluar rumah, dan mengajak duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka. Mereka biasanya tanggap bahwa aku akan menceritakan suatu cerita seperti biasa selalu aku lakukan setiap kali mulai kewalahan meladeni kemanjaan-kemanjaan mereka.

Aku bukan tukang cerita yang bagus, karena aku sering mengulang-ulang cerita yang sudah pernah kuceritakan. Aku kewalahan mencari cerita karena semua cerita yang ada sudah kuceritakan, dan aku terpaksa mengarang sendiri cerita-cerita baru. Pernah aku menceritakan seekor ratu lebah yang terpaksa berdiam diri di dalam sarangnya sambil membangun sepotong demi sepotong sarang untuk meletakkan telur-telurnya. Pekerjaan itu dilakukan ratu lebah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa pernah melihat dunia luar, dan tanpa melakukan hal-hal lain yang dilakukan lebah-lebah lain seperti mengisap sari bunga-bunga. Ketika menceritakan itu, aku selalu teringat kepada Inang yang dalam bayanganku seperti ratu lebah itu, sembari kuandaikan alangkah tersiksanya kehidupan yang dijalani Inang dengan menutup diri terhadap dunia luar. Tapi, Amang, bukanlah lebah-lebah jantan yang pergi keluyuran mencari bunga-bunga mekar dan menghisap madunya untuk dibawa ke rumah. Amang malah sebaliknya, keluyuran ke luar rumah, lalu pulang untuk mengambil madu dari dalam rumah dan menghamburkannya di kedai Amani Husor dengan berjudi sambil meminum tuak.

***
Sejak pabrik bubuk kopi milik Amani Luhut bangkrut karena tidak ada lagi biji kopi yang bisa digilingnya, ditambah banyaknya kopi kemasan yang lebih bagus yang masuk ke kampung kami melalui pedagang-pedagang kamvaser dari Padangsidempuan, Amang dan sebagian besar laki-laki di kampung kami yang semula bekerja menjadi buruh di pabrik itu menjadi kehilangan pekerjaan. Amani Luhut sendiri terpaksa hidup dari hasil menjual satu per satu mesin penggiling kopinya yang masih sisa karena sebagian besar sudah disita bank, dan ia semakin sering terlihat berjalan-jalan sendirian mengelilingi kampung kami sembari menggerutu sepanjang jalan. Belakangan Amani Luhut ditangkap orang sekampung dan dipasung di gubuk kecil bekas gudang penimbunan biji kopi di belakang rumahnya, karena ia tidak cuma suka menggerutu tetapi mulai gemar membentak-bentak setiap orang yang berpapasan dengannya seperti kebiasaannya membentak-bentaki para pekerja ketika pabrik penggilingan kopinya masih aktif.

Hampir semua bekas buruh di pabrik Amani Luhut itu tidak siap kehilangan pekerjaan, karena mereka tidak tahu mau bekerja apapun untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan lama mereka sebagai petani tidak bisa lagi diandalkan karena mereka tidak punya sawah untuk digarap. Semua penduduk di kampung kami, yang semula memiliki lahan garapan warisan dari orangtuanya, kini tidak punya lahan lagi. Mereka menjual lahan-lahan itu beberapa tahun lalu ketika Amani Luhut baru membuka pabrik kopinya dan mengajak semua laki-laki di kampung kami yang biasa bersawah menjadi buruh di pabriknya. Dan, para laki-laki yang merasa sangat betah bekerja di pabrik itu, memutuskan menjual sawah mereka karena yakin gaji sebagai buruh pabrik cukup untuk menghidupi keluarganya.

Ketika sawah-sawah itu dijual, di kampung kami sedang demam orang memiliki parabola. Cuma dengan teknologi itulah orang-orang bisa mengikuti perkembangan zaman melalui pesawat televisi, karena antena biasa cuma bisa menangkap TVRI yang acaranya melulu propaganda politik pemerintah. Makanya, hampir semua rumah di kampung kami memiliki parabola, sekalipun kondisi rumah-rumah itu sangat memprihatinkan dengan dinding kayu tua lapuk dan atap seng buruk yang sudah karatan dan penuh tambalan. Namun, sejak pabrik kopi itu tutup dan banyak laki-laki yang menganggur, maka parabola tidak ada lagi di kampung kami. Para pemiliknya menjual parabolanya untuk membeli beras atau kebutuhan hidup lainnya. Satu-satunya parabola cuma ada di kedai milik Amani Husor, dan setiap orang di kampung kami senantiasa berada di dalam kedai itu menghabiskan waktu berhari-hari, sambil memesan kopi yang setiap jam selalu ditambah airnya.

Amang termasuk salah seorang yang gemar menghabiskan sehari penuh di kedai Amani Husor, dan baru pulang ke rumah dinihari ketika kami—ketiga anaknya—sudah terlelap. Biasanya, Amang pulang membawa aroma minuman keras di mulutnya, yang sering membuat aku tersentak bangun dan cepat-cepat membukakan pintu. Pagi harinya Amang bangun dengan sisa tuak yang masih mengendap di rongga kepalanya. Suaranya yang keras menggoyangkan tiang-tiang rumah seperti ingin merobohkannya ketika meminta dibuatkan secangkir kopi, lalu duduk di kursi rotan tua sambil menyedot rokok Union-nya. Berulangkali ia akan mendahak dan meludah keluar dari jendela. Akulah yang memenuhi semua kebutuhan Amang, membuatkannya secangkir kopi kalau kopi dan gula ada. Kalau tidak ada, aku akan diam-diam ke warung Amani Husor, membelinya dengan sisa uang belanja yang diberikan Inang kepadaku. Selesai ngopi, biasanya, Amang keluar. ”Ada kau simpan uang, Nurma,” katanya. Aku tak pernah bisa menolak, karena Amang tidak akan segan-segan memukuliku. Lalu, sisa uang belanja dari Inang kuberikan.

Sedangkan Inang yang sudah mulai mengikat tubuhnya ke peralatan tenun, biasanya tidak banyak bicara. Inang harus memburu menyelesaikan pekerjaannya untuk menenuhi pesanan pelanggan dari Padangsidempuan, yang membutuhkan Ulos Godang itu untuk menikahkan anak sulungnya.

Inang selalu berusaha menjaga pelanggannya agar tidak kecewa. Semua keinginan mereka dipenuhinya tanpa banyak menuntut, sekalipun tidak jarang pelanggan yang datang itu menjual kembali hasil tenunan Inang dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh Inang. Inang juga tahu soal itu tetapi ia tidak pernah mau meributkannya, karena Inang selalu bilang, ”Yang penting kita harus mensyukuri rezeki yang ada. Begitu kita mensyukurinya, rezeki itu akan berkah.”

Tapi, aku tak pernah bisa menerima perlakuan para pelanggan Inang itu. Sering kukatakan agar Inang menetapkan harga lebih tinggi karena cuma Inang satu-satunya penenun yang mampu menghasilkan kain bagus dan indah. Banyak penenun lain tetapi hasil karya mereka sering tidak memenuhi keinginan para pembeli, karena banyak dari ornamennya tidak sesuai dengan ornamen Ulos Godang. Ornamen-ornamen yang mereka buat tidak lagi mengandung falsafah warisan leluhur budaya Batak Angkola, karena penempatan ornamen di setiap lembar Ulos Godang mengandung ajaran-ajaran kehidupan yang bila diamalkan akan membuat hidup lebih tenang, dan orang bersangkutan selalu akan tawadu dan husnuzon. Begitulah Inang selalu menceritakan makna setiap motif dan ornamen Ulos Godang yang ditenunnya, lalu Inang mengatakan,

”Inang tidak cuma mencari nafkah dengan menenun Ulos Godang, juga melestarikan ajaran-ajaran leluhur kita agar orang-orang zaman sekarang bisa hidup tenang dengan rasa toleransi yang tinggi.”

***
Hampir tiga pekan, akhirnya, Inang menyelesaikan tenunannya. Bertepatan dengan itu, pemesan Ulos Godang datang dari Padangsidempuan. Kijang biru metalik yang dikendarainya diparkir di halaman rumah. Kulihat Tiurma dan Sangap mendekati mobil itu, mengaguminya, tetapi sopir orang itu menyuruh mereka menjauh. Aku keluar dan menyuruh mereka menjauh, lalu ke dalam lagi untuk menyiapkan minuman. Ketika aku datang sambil membawa minuman, kulihat pemesan itu sedang memeriksa Ulos Godang hasil tenunan Inang.

”Luar biasa!” Perempuan bertubuh gendut yang gemar tersenyum untuk memperlihatkan sebutir gigi emasnya itu memuji karya Inang. Berulang-ulang diselempangkannya Ulos Godang itu di pundaknya, dan setiap kali ulos itu sudah terselempangkan, perempuan gendut itu membuat gerakan-gerakan manortor. ”Maaf, aku selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak manortor kalau sudah kuselempangkan ulos.”

Kulihat Inang tersenyum. ”Eda pantas sekali memakainya. Kapan horjanya diadakan?” tanya Inang.
”Anu…rencananya besok,” perempuan gendut itu terlihat gugup.

Aku dan Inang tahu persis, Ulos Godang itu bukan untuk dirinya sendiri. Perempuan gendut itu pedagang dari Padangsidempuan, yang akan menjual Ulos Godang itu kepada pemesannya. Tapi, ia berpura-pura sebagai orang yang akan memakai Ulos Godang itu. Dengan begitu, ia akan mendapat Ulos Godang dengan harga lebih murah dari harga biasanya, karena para penenun Ulos Godang tidak boleh menaikkan harga bagi orang yang akan menggunakan kain adat itu untuk keperluan horja. Ada semacam toleransi yang tak tertulis dari para penenun Ulos Godang untuk mempermudah semua urusan orang-orang yang akan melaksanakan horja. Aku tahu persis soal itu dari Inang, makanya perempuan gendut itu membuat aku muak. Buru-buru aku ke dapur, meninggalkan Inang bersama tamunya.

”Berapa lagi sisa uangnya?” Perempuan gendut itu mengalihkan pembicaraan. ”Sebelumnya aku sudah kasih Rp50.000, tinggal Rp200.000 lagi kan?” katanya. ”Rp250.000 lagi, Eda.” Inang meralatnya. ”Kita sepakat harganya Rp350.000.”

”Eda! Ulos Godang ini mau kupakai sendiri. Persiapan horja perkawinan anak sulungku sudah banyak menghabiskan uang. Tolonglah aku, Eda, jangan sampai karena Ulos Godang ini horja itu jadi batal.”

Inang terdiam. Dari dapur aku menunggu reaksi Inang. Aku berharap kali ini mau bicara lugas dan mengatakan yang sebenarnya bahwa perempuan gendut itu berbohong. Tapi, ketika aku dengar Inang mengatakan ”baiklah”, aku terduduk di kursi rotan tua. Aku sudah menduga Inang pasti tidak sanggup bicara lugas karena ia selalu berusaha menjaga agar pelanggannya tidak pergi.

”Mauliate ma da, Eda,” kata Inang setelah menerima sisa uang Rp200.000. Ah, Inang, ia masih juga berterima kasih meskipun dibohongi.

”Mauliate.” Perempuan gendut itu tersenyum.

Aku melihat wajah perempuan gendut itu begitu puas. Aku tahu rasa puas itu bukan karena sudah memperoleh Ulos Godang dengan harga murah tetapi karena berhasil membohongi Inang. Begitu ia berada di dalam perjalanan ke Padangsidempuan, ia pasti akan bilang kepada sopirnya, ”Bodoh sekali orang itu mau aku bohongi. Ulos sebagus ini bisa aku jual Rp500.000.”

Setelah perempuan gendut itu pergi, Inang memberiku Rp100.000 dari uang itu, ”Kau bayar uang sekolah kau dan adikmu Tiurma, sisanya untuk belanja kita sehari-hari. Sekarang kau pergi beli beras dan minyak goreng! Inang mau membeli benang-benang baru karena benang tenun Inang sudah habis.”
Aku mengajak Tiurma dan Sangap ke kedai Amani Husor. Tapi, baru saja kami mau melangkah keluar rumah, tiba-tiba datang seseorang memberi tahu bahwa Amang ditangkap polisi di kedai Amani Husor. Amang bersama kawan-kawannya tertangkap basah sedang berjudi. ”Amani Husor juga ditahan,” kata tamu itu.

Aku lihat Inang tenang saja sambil meremas uang Rp100.000 di tangannya. ***

Sipirok, i—2002

Ulos Godang = Kain adat Batak Angkola. Biasa dipergunakan untuk acara-acara adat perkawinan dan kematian.
Inang = Ibu
Amang = Ayah
Amani Luhut = Panggilan, Ayah Luhut.
Eda = Panggilan kaum perempuan kepada perempuan lain yang kira-kira seumuran. Sama dengan panggilan ”lae” antara kaum laki-laki dengan laki-laki.
Horja = Pesta

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar