Sutan Iwan Soekri Munaf
http://www.sinarharapan.co.id/
Selingkuh. Ah, ini kata yang negatif, kata moralis. Atau, ini kata negatif, kata seorang munafik (namun diam-diam dia melakukan aktivitas selingkuh juga). Sedangkan yang berpikir bebas akan mengatakan selingkuh tak selalu negatif, dan tak selalu positif, tapi juga tak selalu netral. Argumentasinya, selingkuh itu mirip pisau. Jika pisau tajam itu dipegang seorang tukang jagal di rumah jagal, maka kita akan berharap dapat keratan tepat atas daging sapi yang dipotongnya.
Bagi seorang pembunuh, sebilah pisau akan menjadi alat untuk menghilangkan nyawa orang lain (Tentu saja, jika polisi secanggih mengungkap kasus Bom Legian Bali, maka si pembunuh akan ditangkap dan dijebloskan ke sel penjara setelah melewati meja hijau!). Malah sebilah pisau bisa jadi hanya sebuah pajangan di balik lemari kaca di sebuah rumah kolektor senjata tajam. Juga, di etalase sebuah toko, boleh jadi sebilah pisau itu komoditi dagangan. Lantas, bagaimana kita vonis pisau itu negatif, positif atau netral? Kira-kira begitu argumen sang pemikir bebas.
Lha, sang moralis akan mendebat, bukankah selingkuh itu adalah melakukan kegiatan tak sah, misalnya seorang suami yang mempunyai istri sah, tapi melakukan affair dengan perempuan lain secara tak sah tanpa diketahui istrinya. Apakah ini positif?
Sang pemikir bebas pun menjawab. Jika dari sudut pandang sang istri yang berprinsip perkawinan itu sakral dan suami hanya boleh beristri satu dan istri bersuami satu, maka selingkuh adalah negatif. Tapi apa semua istri berpikir begitu? Bagaimana jika seorang istri yang mencintai suaminya, tetapi kondisi istri itu mempunyai kelainan, bila melakukan coitus dengan suaminya akan mengganggu kesehatannya, lantas sang istri mendiamkan apa yang ”dilakukan” suaminya ”di luar” asal kehidupan rumah tangganya tetap berlangsung? Dari sudut pandang sang istri, suaminya melakukan selingkuh adalah positif, karena ”kebutuhan” sang suami dapat ”tersalurkan” dan keutuhan rumahtangga dapat terjaga. Atau sang istri mengistilahkan, isi boleh tumpah di luar, asal kembali botol.
Adakah seorang istri yang demikian? Tanya itu keluar begitu saja dari mulut sang munafik menukas perdebatan.
Mengapa tak ada?
*
Sastra. Ya, sastra itu punya pakem. Jika keluar pakemnya, pasti sebuah karya tulis itu bukan sastra. Demikian ungkap seorang yang mengagung-agungkan sastra.
Apa sih pakemnya itu? Tanyaku seketika dalam sebuah diskusi di sebuah warung di pinggir Jalan Margonda Raya, suatu malam menjelang dinihari.
”Sastra itu mempunyai tema-tema besar. Berangkat dari pemikiran-pemikiran besar. Dituliskan dengan semangat besar, sehingga diharapkan akan berdampak besar terhadap masyarakatnya, baik sekarang maupun mendatang,” tutur sang pengagung sastra sambil kemudian menyeruput kopi tubruk yang mulai dingin.
Kemudian dia melanjutkan. Contohnya, sajak Chairil Anwar yang berjudul ”Aku”. Semangat individualistis yang melawan romantisme. Juga sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri pada era awal, yang membebaskan kata dari segala macam atribut pada kata itu sendiri. Lantas puisi bebas yang digagas Group Apresiasi Sastra (GAS) Institut Teknologi Bandung pada tahun 1978-1979, dengan pendapat puisi bukan sekadar teks tertulis, di mana puisi boleh jadi berupa gambar. Atau puisi Danarto yang dibawakan dengan tariannya. Malah kini puisi, sebagaimana kemajuan zaman, dapat dikolaborasikan antara teks, cahaya, gerak, suara, waktu dan hal ini tampak pada puisi yang memanfaatkan multimedia sebagai medianya.
Aku menangkap lain, kataku. Chairil justru mendobrak dan keluar pakem romantisme zamannya. Juga Sutardji dia membebaskan kata, karena kata sudah dijajah oleh atribut pemaknaan bermacam ragam, sehingga kata yang terjajah itu sudah tak penting lagi. Hal ini tampak sekali di pengadilan atau meja hijau. Kata ”bersalah” atau ”tak bersalah” itu amat bergantung dari kemampuan pengacara maupun jaksa untuk meyakinkan hakim, sehingga perbuatan sang terdakwa tak menjadi terlalu penting lagi. Dan pada GAS ITB, Danarto maupun puisi kolaborasi multimedia hanya merupakan pendobrakan atas pakem yang sebelumnya ada. Jika sastra itu taat pakem, anehnya yang Anda katakan dan menjadi ilustrasi Anda adalah sudah keluar pakem pada kondisi sastra saat itu.
Sang pengagung sastra itu menyulut rokoknya. Kemudian, setelah menghisap dan menghembuskan asap rokoknya, dia pun berkata lagi. Sastra itu mempunyai tema-tema baru. Berangkat dari pemikiran-pemikiran baru. Dituliskan dengan semangat baru, sehingga diharapkan akan berdampak baru terhadap masyarakatnya, baik sekarang maupun mendatang. Jadi pakemnya bukan hanya yang besar tadi.
Bagaimana dengan puisi-puisi Wiji Thukul? tanyaku. Bukankah tema begitu sudah banyak sekali yang mengusungnya. Sejak revolusi industri di barat sana, sehingga melahirkan Marx maupun Engels. Di negeri kita, sastra yang mengusung tema perjuangan buruh sudah tampak sejak akhir tahun 1950-an. Lantas, Wowok Hesti Prabowo yang mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Penyair Buruh, apakah dia bukan sastrawan karena sajak-sajaknya juga mengusung ihwal buruh, selepas Wiji Thukul ”meradang” dengan puisi-puisinya. Lantas di mana baru dan kebaruannya?
*
Di suatu tempat. Di suatu hari.
Sastra tak boleh selingkuh. Sastra selingkuh adalah bukan sastra, kata seorang moralis yang pengagung sastra.
Maksud Anda? Tanyaku.
Sastra itu kegiatan teks. Manakala sastra keluar dari teks, ya sudah selingkuh. Ya, bukanlah sastra namanya. Sastra harus besar, manakala tak besar, maka bukanlah sastra namanya. Sastra itu harus baru, manakala tak baru, maka bukanlah sastra namanya. Sastra itu harus mencerahkan pembacanya, manakala tak ada pencerahan, maka itu bukanlah sastra. Jadi sastra itu kegiatan teks, yang besar dan baru, sekaligus mencerahkan.
Jadi menurut Anda puisi Danarto yang ditarikan, puisi gambar GAS ITB 1978-1979, sepotong daging yang dibiarkan Sutardji membusuk, dan karya sastra yang berada di media internet yang memanfaatkan multimedia, bukanlah sastra?
Ah, itu semua sampah, jawab sang moralis pengagung sastra dengan santai. ”Sastranya sastra selingkuh,” tambahnya lagi.
Aku terdiam. Keterdiamanku, karena pada lain waktu dan lain tempat, dan lain orang berpendapat karya Danarto yang ditarikan, puisi GAS ITB, sepotong daging membusuk yang dihadirkan Sutardji, maupun karya di media internet, dinyatakan sebagai karya sastra.
Aku tak paham maksud Anda, kataku. Mungkin hampir mirip perdebatan beberapa masa lalu antara sastra dan sastra pop serta sastra popular. Ketika itu yang disebut karya sastra diwakili dengan pemuatan di majalah Horison, sedangkan sastra pop diwakili dengan pemuatan di majalah Aktuil dan Stop, sedangkan sastra popular diwakili dengan pemuatan di majalah-malajah seperti Gadis, Femina, dan Kartini.
Boleh jadi ya, boleh jadi tak, kata sang pengagung sastra yang moralis itu. Pasalnya, pakem sastra ya sastra. Sedangkan sastra pop itu mengarah ke pop art, yaitu suatu era pemberontakan atas kemapanan. Hal ini sejalan dengan pemberontakan The Beatles terhadap kemapanan tahun 1960-an, yang dihadirkan secara komunikatif, namun sarat dengan pemikiran filosofi. Ujungnya melahirkan pencerahan pada pembaca sastranya. Sementara sastra popular hanya merupakan bacaan popular, yang cenderung menyajikan sesuai permintaan pembaca, seringkali tanpa ada pencerahan. Proses melahirkan karyanya pun tanpa melewati pengendapan. Sastra popular ini mirip kasusnya dengan era sebelumnya yang dikenal dengan Roman Picisan.
”Jadi, novel seperti Ali Topan Anak Jalanan buah tangan Teguh Esha yang banyak mempercikkan pencerahan dan dikenal sebagai sastra pop atau novel pop, dan juga Gita Cinta dari SMA buah tangan Eddy D Iskandar yang disebut sastra popular itu, menurut Anda bukan karya sastra?” tanyaku tiba-tiba tersentak.
Bukan. Karya sastra ya karya sastra. Tak ada embel-embel sastra pop atau popular, jawab sang pengagung sastra yang moralis itu.
”Lantas, bagaimana dengan puisi buruh, sebagaimana yang kita ketahui di mana tokohnya adalah Wiji Thukul dan pengikut setianya adalah Wowok Hesti Prabowo?” tanyaku lagi.
Ah, itu sampah, tegas sang pengagung sastra yang moralis itu. ”Itu kan hanya tumpukan kata-kata makian, penderitaan dan sebagainya. Apakah begitu sesaknya hidup seorang buruh? Tak pernahkah ada keceriaan dalam kehidupan buruh? Tak pernahkah ada pencerahan bagi buruh?” ujarnya mendudu.
Lagi-lagi aku terdiam mendengar celoteh sang pengagung sastra yang moralis itu.
Sang pengagung sastra yang moralis itu menenggak gelas birnya.
Setelah itu matanya berbinar-binar. ”Aku melihat sastra diselingkuhkan oleh orang menyebut dirinya sastrawan, padahal belum sastrawan,” katanya lagi.
Aku tak mengerti maksud Anda, Bung, kataku jujur.
Sederhana saja. Sastra sebagai istri sah sastrawan sudah tak mendapat tempat lagi. Orang yang mengaku sastrawan menjadikan sastra sebagai pijakan untuk mendapatkan selingkuhan barunya, seperti sastra pop-lah, sastra popular-lah, atau puisi buruh-lah…. Padahal sastra ya sastra. Puisi ya puisi. Ketika kita membaca karya sastra, tanpa harus diselingkuhkan dengan pop, atau popular, atau membaca puisi tanpa perlu diselingkuhkan dengan buruh, yang hadir adalah karya sastra dan karya puisi.
O, pendapat Anda ini mirip pernyataan Sutardji saat membebaskan kata lewat kredonya itu, kataku.
Maksudku sastra adalah sastra, puisi adalah puisi, tanpa perlu perselingkuhan, kata sang pengagung sastra yang moralis itu. ”Aku malah setuju dengan Saman-nya Ayu Utami atau Supernova-nya Dee sebagai karya sastra. Novelnya itu tak diselingkuhkan dengan istilah lainnya,” katanya lagi.
Tapi bukankah ada perselingkuhan lain dalam mencuatkan kedua novel itu menjadi best seller, tanyaku.
”Maksud Bung?” tanya sang pengagung sastra yang moralis.
Aku malah kaget, sejak tadi, baru kali ini dia tak bisa menangkap maksudku.
”Maksudku, perselingkuhan dalam memasarkannya. Penerbitnya melakukan promosi gencar, mirip yang dilakukan produk-produk sektor riil maupun perbankan. Diduga, akibat perselingkuhan dengan promosi inilah, masyarakat kita tertarik untuk membeli buku itu, sehingga best seller,” kataku menjelaskan.
”Ah, itu kan taktik dagang,” jawabnya pendek.
Sang pengagung sastra yang moralis itu kembali meneguk birnya.
Karya sastra itu mencapai titiknya menjadi sebuah karya pada saat sang sastrawan menyelesaikan tulisannya. Jika sudah masuk ke penerbit, tentu saja sebagai pedagang sang penerbit akan memanfaatkan benar prinsip ekonomi. Setiap sen uang yang keluar harus kembali lagi berlipat ganda. Masalah perselingkuhannya sudah lain. Malah hal ini merupakan kebaruan dalam memasarkan karya sastra, tak lagi menjadi hiasan atau pajangan di kaca etalase toko buku bertahun-tahun sehingga menjadi bulukan, kata sang pengagung sastra yang moralis itu.
”Aku setuju perselingkuhan sastra dengan aktivitas ekonomi saat diterbitkan. Pasalnya, masyarakat kita ini sudah lama terdidik untuk tak membaca sastra. Dan masyarakat kita sudah lama terdidik oleh serangan-serangan iklan atau promosi yang menerjang kehidupannya setiap waktu. Dan semua itu merupakan aktivitas ekonomi. Tanpa buku sastra laku, bagaimana sastrawan dapat honorarium tulisannya yang memadai? Kapan sastrawan bisa kaya? Kapan sastrawan bisa pakai mobil setara BMW? Sementara tanpa membaca, begitu mudahnya mendapatkan uang jutaan rupiah hanya menebak pertanyaan tolol dengan jawaban paling gampang yang disajikan media audio maupun audiovisual. Quiz-quiz dengan pertanyaan tolol itu merupakan serangan iklan atas produk-produk sang pengiklan terhadap masyarakat luas. Mengapa karya sastra tak boleh memanfaatkan taktik dagang model menyerang masyarakatnya dengan promosi dan iklan gencar?” kata sang pengagung sastra yang moralis itu berbusa-busa. Entah busa dari liurnya, entah pula busa sisa dari birnya tadi.
”Tunggu. Kata Anda sastrawan kapan bisa punya mobil BMW. Apa Anda pikir sastrawan itu berpaham kapitalis juga?” tukasku.
”Lha, menurut Anda sastrawan itu bagaimana? Apa harus kurus kerempeng karena kelaparan? Gondrong awut-awutan karena tak sanggup mencukur rambutnya? Bajunya koyak moyak, karena tak sanggup beli baju lagi? Yang begitu sastrawan? No. Seyogianya sastrawan tak begitu. Sastrawan adalah orang yang sudah mengambil keputusan dalam jalan hidupnya bahwa sastra menjadi profesinya. Namun profesi itu jika tak dihargai, kapan sastrawan akan makmur? Jika buku karya sastrawan itu tak laku-laku, niscaya sastrawan itu lebih melarat daripada buruh pabrik,” kata sang pengagung sastra yang moralis itu.
Aku menghirup rokokku yang hampir memuntung itu. Asapnya menerkam paru-paruku, dan kemudian kuembuskan lagi keluar.
”Ya, aku setuju karya sastra berselingkuh dengan aktivitas ekonomi manakala mengharapkan jaring pembaca yang luas, sehingga kuantitas penjualan meningkat, dan royalti sastrawan bertambah banyak. Dampaknya, sastrawan akan hidup layak sebagaimana manusia berprofesi lain. Dan, diharapkan akan melahirkan karya-karya sastra lainnya yang berkualitas,” kata sang pengagung sastra yang moralis itu.
Aku diam dan kemudian mematikan puntung rokokku.***
Jakarta, Desember 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar