serta esensinya terhadap pemaknaan karya secara utuh.
Imron Tohari
http://www.sastra-indonesia.com/
KULMINASI SEMU
Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa
Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha
Dimana kamu ??
Dimana aku??
Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri
_____________________________
@ Lina Kelana, Babat, Maret 2010
Secara kandungan makna, puisi di atas sudah bagus. Diawali dari rasa gamang, di sini pengkarya cipta melalui bahasa isyarat ingin menyampaikan tentang pencarian jati diri/identitas diri/sejatining insun…, yang betapa semakin tipisnya kesadaran akan nilai-nilai keimanan, terutama yang berkaitan dengan unsur transendental ( kerohanian, utamanya dengan Tuhan ), tersirat pada “Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha“ , karena adanya dorongan rasa yang teramat sangat ( bisa takut,cemas,gundahgulana ) akan kemenonjolan sifat-sifat ego serta hembusan goda dari bisikan-bisikan indah dunia yang tiada kekal.
“Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri“.
Begitulah pesan kuat yang saya tangkap dari larik-larik isyarat bahasa sajak “Kulminasi Semu”. Yang secara ensensial makna sangat dekat dengan nilai-nilai pencarian diri dan Tuhannya.
Walau dari sisi makna, seperti yang saya katakan sudah bagus, namun pada dasarnya karya ini masih bisa lebih dieksplore lagi, sehingga penikmat baca begitu selesai membacanya, tetap berada dalam nilai renung yang tak berkesudahan. Hal ini bisa saja dengan cara memanfaatkan tekhnik tipographipuitika (memetakan kata/kalimat), bisa juga dengan cara penambahan,penghilangan/pemadatan, penggantian kosakata yang dianggap lemah, dll.
Pada proses kreatifitas penciptaan karya sastra, tidak jarang pencipta karya, setelah melalui tahap pengendapan karya, merasa buah karya tersebut kurang maksimal dan atau dirasakan mempunyai kelemahan dalam menuangkan idea tema ( bisa saja pilihan diksi yang kurang tepat, permainan majas yang absurd, permainan perlambang/symbol bahasa yang rancu dalam kesatuan makna utuh baris/bait/batang tubuh karya secara keseluruhan, atau pemborosan kata/kalimat sehingga karya jadi kurang menarik, dll ).
Pemadatan , serta pemetaan kata, kalimat, baris, bait, larik, dan lain hal yang terkait, atau bahasa kerennya tipographipuitika, bila dilakukan pengkarya cipta dan atau oleh editor dengan tidak tepat, justru akan menyebabkan bangunan makna secara keseluruhan yang ingin diletupkan kepermukaan melalui tekstual bahasa, menjadi kabur pesan, sehingga hal-hal pokok secara intrinsik makna dari penyatuan beberapa kata/kalimat tersebut tidaklah relevan dengan maksud pesan tema pada karya terkait.
Sekarang mari bersama-sama kita pindai larik per larik “Kulminasi Semu” karya saudari Lina Kelana ini.
“Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa”
Pada bait awal ini, pemaknaannya jelas terbaca,sebagai bait pembuka untuk pijakan luncur pada bait selanjutnya, saya rasa bait ini sudah mewakili. Dengan pesan tersirat : dalam hal ini bukan siapa-siapa, termasuk kamu juga aku “Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,siapa “
(nah pada kata “siapa” setelah tanda (,) di baris akhir bait pertama, saya menangkap adanya isyarat pokok/ mendasar yang ingin disampaikan pada bait selanjutnya dan juga rasa gamang dari aku “lirik” ). Bait awal ini bisa lebih bunyi bila kita padatkan seperti ini :
“bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa”
Pada larik gubahan ini, “siapa” saya ganti dengan “sesiapa” yang saya tambah tautkan dengan “ataukah” sebagai bentuk Tanya, sekaligus untuk memberi efeck ellipsis (menggambarkan atau menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan; disembunyikan) pada “sesiapa” tanpa menggunakan symbol bahasa ellipsis (…). Dan pada puisi atau sajak, pemakian atau penghilangan simbolik tanda baca ( ?,!,:,;, …., dll) masih bisa dibenarkan untuk menyertakan atau tidak menyertakan, dengan suatu asumsi, ritme akan bisa dirasakan saat pembacaan, juga sifat karakteristik unik yang ada pada sajak atau puisi, menyebabkan simbolik tanda baca tadi bisa bermain secara fleksibel. Dan hal ini tidak bisa kita dapati pada prosa, dimana tanda baca mempunyai peran yang fital dalam penyampaian maksud.
Dari bait awal ini, khususnya baris terakhir ( baik sebelum atau sesudah nanti saya gubah), yang menyisakan lubang besar Tanya berselubung misteri, kita diajak masuk ke dunia symbol bahasa filsafat yang termaktup pada larik/bait ke dua :
“Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha”
Sebelum saya menyimpulkan makna apa yang terkandung pada bait ini, sebenarnya saya sempat bertanya-tanya dalam imaji piker selaku penghayat. Kenapa pengkarya cipta menyatukan kata “pelepah” dengan “raga”, sedangkan “pelepah” identik dengan alam tumbuhan, dan “raga” seperti yang sering kita dengar di kehidupan sehari-hari , identik dengan “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”. Lalu kenapa disatukan dalam satu baris tegas, dengan diawali kata “menyentuh” yang berkonotasi “ bersinggungan, gesekan yang menimbulkan efek tertentu?”.
Sepintas lalu, penyatuan tiga kalimat “menyentuh-pelepah-raga”, adalah penyatuan yang absurd, dan kalaupun berupa majas metaphora, sepertinya juga terkesan naïf ( lugu ).
Benar-benar bait yang menghisap penikmat baca, meletupkan rasa penasaran untuk menguak misteri symbol bahasa tadi. Dan layaknya seorang detektif yang dihadapkan pada jejak-jejak symbol bahasa yang ditemukan pada “teks”, muncul utak-utik nakal di imaji piker saya :
apa pelepah?
apa raga?
dan apa kaitannya dengan “aku” “kamu”, “jejak”, “bayangan”, “diri” yang ada pada bait sebelum dan sesudahnya?
Saya yakin, penyatuan itu ada maksudnya dengan keruntutan alur makna dengan bangunan kalimat lainya pada sajak ini secara utuh. ( atau bisa saja penyair tidak sadar dengan penyatuan kata tersebut pada satu baris, namun itu terjadi karena adanya proses alam bawah sadar yang mengalir begitu saja. dan kekuatan alam bawah sadar itu memang saya secara pribadi yakin ada. ).
untuk menguak misteri , maka saya mulai dari “pelepah”, definisi ; tulang daun yang terbesar (tentang daun pisang, daun pepaya, daun…, dsb); tangkai daun nyiur, tangkai rotan, dsb. Yang secara naïf saya filsafatkan sebagai sesuatu keadaan pada tanaman yang bila dimanfaatkan mempunyai suatu pengaruh yang maha (bisa sangat baik, bisa juga sangat buruk). Dari sini saya mulai kaitkan dengan kata “menyentuh”, yang sebenarnya punya makna ganda, “menyentuh” sebagai definisi gesekan, atau definisi dari “rasa” yang membangkitkan perasaan haru, sedih, takut … dsb, di hati.
Jadi kalau digabung “menyentuh pelepah”, saya terjemahkan seperti ini “ menyentuh tulang daun yang terbesar”. Dari sinilah saya menarik kesimpulan, “raga” yang dimaksud pada baris pertama bait kedua, bukan “raga” dalam pengertian yang selama ini sering kita dengar. Tapi “raga” yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan dari “keranjang yang kasar terbuat dari rotan” ( rujukan KBBI ).
Kalau analisa saya membaca sifat-sifat symbol bahasa tadi benar, maka secara imajinatip akan terangkai “menyentuh tulang daun yang terbesar untuk dijadikan keranjang dari rotan “. Yang secara otomatis rasa imaji piker saya dihisap ke ranah filsafat. Namun untuk mendapat makna yang relevan, tidak hanya sampai di situ, dalam arti, setelah kita ambil kesimpulan definisi “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang yang terbuat dari rotan dan biasanya dipakai sebagai tempat buah, maka kita juga harus tahu hal-hal yang berkaitan dengan anatomi tubuh rotan ( minimal yang berkaitan dengan pelepah daun ). Dan ternyata Pelepah daunnya membungkus batang ,dan pada permukaan pelepah dipenuhi oleh duri yang rapat dan tajam (berdasarkan referensi yang saya dapat), apa lagi bila kita kaitkan dengan baris dibawahnya “ memasuki ruang maha “, yang secara makna lesikal ( makna yang berkaitan dengan kata/kosa kata ) kurang lebih bermakna “ memasuki ruang antara yang teramat sangat “. Dan ruang makna akan semakin bertambah luas dan dalam, bila mana baris ke dua pada bait ke dua tersebut lebih dioptimalkan lagi dengan tekhnik tipographipuitika menjadi :
“masuki ruang
maha”
Sehingga akan kian merangsang daya jelajah penghayat/penikmat baca dalam menghayati isyarat bahasa symbol yang dia tangkap melalui imaji pikernya. Sehingga bila disatukan dengan baris sebelumnya, akan kian memperkokokh bangunan sajak, baik ditinjau dari segi konotasi (nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi) maupun secara detonasi bahasa (kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan, dll), :
“menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha”
Sehingga secara fisik teks kita dapatkan suatu makna : bilamana kita ingin membuat keranjang rotan agar bisa kita isi dengan buah, kita juga harus siap bersinggungan dengan pelepah daun rotan yang banyak duri-duri tajam nan runcing “menyentuh pelepah raga”, dan bimana itu tetap dilakukan, itu artinya masuk dunia antara … “memasuki ruang” yang dalam hal sesuatunya teramat sangat… “maha”.
Yang secara filsafat spiritual saya maknai, dalam pencarian hakikat iman, setiap insan harus siap dihadapkan pada suatu proses (ritus), yang tak jarang akan memasuki ruang sunyi, dan atau bahkan akan dihadapkan pada sesuatu hal yang teramat sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Jadi, bila ditilik secara konotasi maupun denotasi, justru penyatuan kosa kata “menyentuh-pelepah-raga” dalam satu baris utuh, saya rasa sangat relevansi. Dan hal itu yang melandasi saya untuk tetap mempertahankan keutuhan baris tersebut.
sebab kalau dirubah seperti ini :
missal alternatif pertama ;
“menyentuh pelepah
raga
masuki ruang maha”
atau dengan alternatife ke dua ;
“menyentuh pelepah
raga masuki ruang
maha”
Justru secara konotasi maupun denotasi akan menjadi lemah bila dikaitkan dengan bagunan awal baris yang ingin disampaikan pengkarya cipta melalui isarat simbolik bahasa pada baris awal bait dua “menyentuh pelepah raga” yang ternyata merupakan pokok paling mendasar dalam menjembatani serta membangun pesan-pesan pada bait sebelum dan sesudahnya di dalam batang tubuh puisi secara utuh.
Sebab pada alternative pertama “raga” berdiri sendiri jadi baris terpisah dan atau “raga masuki ruang maha”, akan sulit untuk membawa imaji penghayat kearah pengertian “raga” yang bukan bermakna “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”, bukan berarti hilang makna, tapi maknanya akan menjadi lain bilamana “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang buah yang terbuat dari rotan “.
Pada permisalan dua alternative tadi, bila kita ilustrasikan maknanya perbaris secara fisik teks akan seperti ini :
“menyentuh pelepah” ; menyentuh tulang daun yang terbesar (tentang batang/daun pisang, batang/daun pepaya, batang/daun…, dsb)
“raga masuki ruang” ; badan,tubuh,jasad,hayat,dll, masuk ruang ( sela-sela antara dua sisi )
“maha” ; sesuatu yang sangat
Dan bila kita gabung secara keseluruhan bait tersebut, akan bermakna “menyentuh batang pisang, tubuh atau jasad masuk kedalam ruang atau sela-sela diantara dua sisi yang teramat sangat” dan atau singkatnya apalagi kalau bukan bermakna “Kematian/proses pemakaman”sedang kalau meruntut ketertautan makna secara menyeluruh, aku, kamu dan atau sesiapa lirik , tidak digambarkan sudah mati, tapi masih hidup dan diatara dua sisi pencarian jati diri,dalam keadaan gamang seperti terlukis pada baris akhir bait pertama, dan ritus keimanan yang di ilustrasikan pada bait pertama bait dua “menyentuh pelepah raga”. Tapi dari segi makna sama-sama mempunyai nilai kemenonjolan pada unsure-unsur kerohanian ( transendental).
“Dimana kamu ??
Dimana aku??”
suatu tekstual bahasa yang sangat jelas pemaknaannya dua baris kalimat pada larik/bait ke tiga. Namun kalau diikat dengan bait sebelumnya terasa mengalir begitu saja, dalam pengertian kurang memberi nilai kejut yang bisa menambah artian yang serba “maha”, sekaligus tetap ada unsur Tanya sebagai bentuk rasa “gamang” yang telah disiratkan pada bait pertama baris akhir sebelumnya.
Atas pertimbangan tersebut, bait tiga saya sederhanakan menjadi :
“kamu
aku
dimana?”
Dengan suatu analisa, bila tersatukan utuh dalam keseluruhan batang tubuh puisi (bait 1,2,3,4), dimana bait empat juga saya gubah dengan dasar alasan yang sama, dengan tujuan menciptakan ruang kedalaman renung untuk pengkarya cipta dan penghayat, secara lengkap hasil editing tersebut akan seperti ini :
KULMINASI > judul akan lebih memberi ruang luas lagi di imaji penikmat baca.
bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa…
menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha
kamu
aku
dimana?
hilang; tenggelam
dalam jejak
bayangan
diri”
Untuk lebih memahami apa yang saya maksud, mari bait-bait di atas kita parafrasakan biar tujuan dari maksud tiphographipuitika tersebut tertampakan.
bukan kamu
bukan juga aku
(lalu siapa?) ataukah sesiapa…
(yang akan berpayah-payah )menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)masuki ruang (…)
maha (; sesuatu yang sangat)
(maha) kamu
(maha) aku
dimana (itu semua sekarang)?
(yang tiba-tiba )hilang; tenggelam
(tertelan) dalam jejak (…)
(dalam) bayangan (…)
diri (…)
Lalu untuk menganalisa, apakah karya yang sudah dipadatkan dan dipetakan kosakatanya tersebut sangat jauh menyimpang maknanya dengan yang aslinya?
Untuk itu mari coba kita parafrasakan dengan cara yang sama.
KULMINASI SEMU
Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,(lalu) siapa
(yang akan berpayah-payah ) Menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)Masuki ruang maha
Dimana kamu (itu semua sekarang)??
Dimana aku (itu semua sekarang)??
(yang tiba-tiba ) Hilang tenggelam
(tertelan) Dalam jejak bayangan diri
Akhir dari penulisan esai ringan sajak kaya makna spiritual dan kaya akan filsafat kehidupan pada setiap baris sajak saudari Lina Kelana ini, dengan segala rendah hati saya berharap ada yang bisa dipetik manfaatnya. Walau hanya setitik. Amin 3x.
Salam lifespirit!
21 Maret 20010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar