Kamis, 01 Juli 2010

Memetakan Kata atau Kalimat pada puisi/sajak,

serta esensinya terhadap pemaknaan karya secara utuh.
Imron Tohari
http://www.sastra-indonesia.com/

KULMINASI SEMU

Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa

Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha

Dimana kamu ??
Dimana aku??

Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri
_____________________________
@ Lina Kelana, Babat, Maret 2010

Secara kandungan makna, puisi di atas sudah bagus. Diawali dari rasa gamang, di sini pengkarya cipta melalui bahasa isyarat ingin menyampaikan tentang pencarian jati diri/identitas diri/sejatining insun…, yang betapa semakin tipisnya kesadaran akan nilai-nilai keimanan, terutama yang berkaitan dengan unsur transendental ( kerohanian, utamanya dengan Tuhan ), tersirat pada “Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha“ , karena adanya dorongan rasa yang teramat sangat ( bisa takut,cemas,gundahgulana ) akan kemenonjolan sifat-sifat ego serta hembusan goda dari bisikan-bisikan indah dunia yang tiada kekal.

“Hilang tenggelam
Dalam jejak bayangan diri“.

Begitulah pesan kuat yang saya tangkap dari larik-larik isyarat bahasa sajak “Kulminasi Semu”. Yang secara ensensial makna sangat dekat dengan nilai-nilai pencarian diri dan Tuhannya.

Walau dari sisi makna, seperti yang saya katakan sudah bagus, namun pada dasarnya karya ini masih bisa lebih dieksplore lagi, sehingga penikmat baca begitu selesai membacanya, tetap berada dalam nilai renung yang tak berkesudahan. Hal ini bisa saja dengan cara memanfaatkan tekhnik tipographipuitika (memetakan kata/kalimat), bisa juga dengan cara penambahan,penghilangan/pemadatan, penggantian kosakata yang dianggap lemah, dll.

Pada proses kreatifitas penciptaan karya sastra, tidak jarang pencipta karya, setelah melalui tahap pengendapan karya, merasa buah karya tersebut kurang maksimal dan atau dirasakan mempunyai kelemahan dalam menuangkan idea tema ( bisa saja pilihan diksi yang kurang tepat, permainan majas yang absurd, permainan perlambang/symbol bahasa yang rancu dalam kesatuan makna utuh baris/bait/batang tubuh karya secara keseluruhan, atau pemborosan kata/kalimat sehingga karya jadi kurang menarik, dll ).

Pemadatan , serta pemetaan kata, kalimat, baris, bait, larik, dan lain hal yang terkait, atau bahasa kerennya tipographipuitika, bila dilakukan pengkarya cipta dan atau oleh editor dengan tidak tepat, justru akan menyebabkan bangunan makna secara keseluruhan yang ingin diletupkan kepermukaan melalui tekstual bahasa, menjadi kabur pesan, sehingga hal-hal pokok secara intrinsik makna dari penyatuan beberapa kata/kalimat tersebut tidaklah relevan dengan maksud pesan tema pada karya terkait.

Sekarang mari bersama-sama kita pindai larik per larik “Kulminasi Semu” karya saudari Lina Kelana ini.

“Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku, siapa”

Pada bait awal ini, pemaknaannya jelas terbaca,sebagai bait pembuka untuk pijakan luncur pada bait selanjutnya, saya rasa bait ini sudah mewakili. Dengan pesan tersirat : dalam hal ini bukan siapa-siapa, termasuk kamu juga aku “Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,siapa “

(nah pada kata “siapa” setelah tanda (,) di baris akhir bait pertama, saya menangkap adanya isyarat pokok/ mendasar yang ingin disampaikan pada bait selanjutnya dan juga rasa gamang dari aku “lirik” ). Bait awal ini bisa lebih bunyi bila kita padatkan seperti ini :

“bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa”

Pada larik gubahan ini, “siapa” saya ganti dengan “sesiapa” yang saya tambah tautkan dengan “ataukah” sebagai bentuk Tanya, sekaligus untuk memberi efeck ellipsis (menggambarkan atau menunjukkan bahwa dalam suatu petikan ada bagian yang dihilangkan; disembunyikan) pada “sesiapa” tanpa menggunakan symbol bahasa ellipsis (…). Dan pada puisi atau sajak, pemakian atau penghilangan simbolik tanda baca ( ?,!,:,;, …., dll) masih bisa dibenarkan untuk menyertakan atau tidak menyertakan, dengan suatu asumsi, ritme akan bisa dirasakan saat pembacaan, juga sifat karakteristik unik yang ada pada sajak atau puisi, menyebabkan simbolik tanda baca tadi bisa bermain secara fleksibel. Dan hal ini tidak bisa kita dapati pada prosa, dimana tanda baca mempunyai peran yang fital dalam penyampaian maksud.

Dari bait awal ini, khususnya baris terakhir ( baik sebelum atau sesudah nanti saya gubah), yang menyisakan lubang besar Tanya berselubung misteri, kita diajak masuk ke dunia symbol bahasa filsafat yang termaktup pada larik/bait ke dua :

“Menyentuh pelepah raga
Masuki ruang maha”

Sebelum saya menyimpulkan makna apa yang terkandung pada bait ini, sebenarnya saya sempat bertanya-tanya dalam imaji piker selaku penghayat. Kenapa pengkarya cipta menyatukan kata “pelepah” dengan “raga”, sedangkan “pelepah” identik dengan alam tumbuhan, dan “raga” seperti yang sering kita dengar di kehidupan sehari-hari , identik dengan “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”. Lalu kenapa disatukan dalam satu baris tegas, dengan diawali kata “menyentuh” yang berkonotasi “ bersinggungan, gesekan yang menimbulkan efek tertentu?”.

Sepintas lalu, penyatuan tiga kalimat “menyentuh-pelepah-raga”, adalah penyatuan yang absurd, dan kalaupun berupa majas metaphora, sepertinya juga terkesan naïf ( lugu ).
Benar-benar bait yang menghisap penikmat baca, meletupkan rasa penasaran untuk menguak misteri symbol bahasa tadi. Dan layaknya seorang detektif yang dihadapkan pada jejak-jejak symbol bahasa yang ditemukan pada “teks”, muncul utak-utik nakal di imaji piker saya :

apa pelepah?
apa raga?

dan apa kaitannya dengan “aku” “kamu”, “jejak”, “bayangan”, “diri” yang ada pada bait sebelum dan sesudahnya?

Saya yakin, penyatuan itu ada maksudnya dengan keruntutan alur makna dengan bangunan kalimat lainya pada sajak ini secara utuh. ( atau bisa saja penyair tidak sadar dengan penyatuan kata tersebut pada satu baris, namun itu terjadi karena adanya proses alam bawah sadar yang mengalir begitu saja. dan kekuatan alam bawah sadar itu memang saya secara pribadi yakin ada. ).

untuk menguak misteri , maka saya mulai dari “pelepah”, definisi ; tulang daun yang terbesar (tentang daun pisang, daun pepaya, daun…, dsb); tangkai daun nyiur, tangkai rotan, dsb. Yang secara naïf saya filsafatkan sebagai sesuatu keadaan pada tanaman yang bila dimanfaatkan mempunyai suatu pengaruh yang maha (bisa sangat baik, bisa juga sangat buruk). Dari sini saya mulai kaitkan dengan kata “menyentuh”, yang sebenarnya punya makna ganda, “menyentuh” sebagai definisi gesekan, atau definisi dari “rasa” yang membangkitkan perasaan haru, sedih, takut … dsb, di hati.

Jadi kalau digabung “menyentuh pelepah”, saya terjemahkan seperti ini “ menyentuh tulang daun yang terbesar”. Dari sinilah saya menarik kesimpulan, “raga” yang dimaksud pada baris pertama bait kedua, bukan “raga” dalam pengertian yang selama ini sering kita dengar. Tapi “raga” yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan dari “keranjang yang kasar terbuat dari rotan” ( rujukan KBBI ).

Kalau analisa saya membaca sifat-sifat symbol bahasa tadi benar, maka secara imajinatip akan terangkai “menyentuh tulang daun yang terbesar untuk dijadikan keranjang dari rotan “. Yang secara otomatis rasa imaji piker saya dihisap ke ranah filsafat. Namun untuk mendapat makna yang relevan, tidak hanya sampai di situ, dalam arti, setelah kita ambil kesimpulan definisi “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang yang terbuat dari rotan dan biasanya dipakai sebagai tempat buah, maka kita juga harus tahu hal-hal yang berkaitan dengan anatomi tubuh rotan ( minimal yang berkaitan dengan pelepah daun ). Dan ternyata Pelepah daunnya membungkus batang ,dan pada permukaan pelepah dipenuhi oleh duri yang rapat dan tajam (berdasarkan referensi yang saya dapat), apa lagi bila kita kaitkan dengan baris dibawahnya “ memasuki ruang maha “, yang secara makna lesikal ( makna yang berkaitan dengan kata/kosa kata ) kurang lebih bermakna “ memasuki ruang antara yang teramat sangat “. Dan ruang makna akan semakin bertambah luas dan dalam, bila mana baris ke dua pada bait ke dua tersebut lebih dioptimalkan lagi dengan tekhnik tipographipuitika menjadi :

“masuki ruang
maha”

Sehingga akan kian merangsang daya jelajah penghayat/penikmat baca dalam menghayati isyarat bahasa symbol yang dia tangkap melalui imaji pikernya. Sehingga bila disatukan dengan baris sebelumnya, akan kian memperkokokh bangunan sajak, baik ditinjau dari segi konotasi (nilai rasa yang timbul karena adanya tautan pikiran antara denotasi dan pengalaman pribadi) maupun secara detonasi bahasa (kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses, kegiatan, dll), :

“menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha”

Sehingga secara fisik teks kita dapatkan suatu makna : bilamana kita ingin membuat keranjang rotan agar bisa kita isi dengan buah, kita juga harus siap bersinggungan dengan pelepah daun rotan yang banyak duri-duri tajam nan runcing “menyentuh pelepah raga”, dan bimana itu tetap dilakukan, itu artinya masuk dunia antara … “memasuki ruang” yang dalam hal sesuatunya teramat sangat… “maha”.

Yang secara filsafat spiritual saya maknai, dalam pencarian hakikat iman, setiap insan harus siap dihadapkan pada suatu proses (ritus), yang tak jarang akan memasuki ruang sunyi, dan atau bahkan akan dihadapkan pada sesuatu hal yang teramat sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Jadi, bila ditilik secara konotasi maupun denotasi, justru penyatuan kosa kata “menyentuh-pelepah-raga” dalam satu baris utuh, saya rasa sangat relevansi. Dan hal itu yang melandasi saya untuk tetap mempertahankan keutuhan baris tersebut.

sebab kalau dirubah seperti ini :

missal alternatif pertama ;

“menyentuh pelepah
raga
masuki ruang maha”

atau dengan alternatife ke dua ;

“menyentuh pelepah
raga masuki ruang
maha”

Justru secara konotasi maupun denotasi akan menjadi lemah bila dikaitkan dengan bagunan awal baris yang ingin disampaikan pengkarya cipta melalui isarat simbolik bahasa pada baris awal bait dua “menyentuh pelepah raga” yang ternyata merupakan pokok paling mendasar dalam menjembatani serta membangun pesan-pesan pada bait sebelum dan sesudahnya di dalam batang tubuh puisi secara utuh.
Sebab pada alternative pertama “raga” berdiri sendiri jadi baris terpisah dan atau “raga masuki ruang maha”, akan sulit untuk membawa imaji penghayat kearah pengertian “raga” yang bukan bermakna “badan; tubuh ; hayat ; awak ; fisik; jasad”, bukan berarti hilang makna, tapi maknanya akan menjadi lain bilamana “raga” yang dimaksud adalah “ keranjang buah yang terbuat dari rotan “.

Pada permisalan dua alternative tadi, bila kita ilustrasikan maknanya perbaris secara fisik teks akan seperti ini :

“menyentuh pelepah” ; menyentuh tulang daun yang terbesar (tentang batang/daun pisang, batang/daun pepaya, batang/daun…, dsb)
“raga masuki ruang” ; badan,tubuh,jasad,hayat,dll, masuk ruang ( sela-sela antara dua sisi )
“maha” ; sesuatu yang sangat

Dan bila kita gabung secara keseluruhan bait tersebut, akan bermakna “menyentuh batang pisang, tubuh atau jasad masuk kedalam ruang atau sela-sela diantara dua sisi yang teramat sangat” dan atau singkatnya apalagi kalau bukan bermakna “Kematian/proses pemakaman”sedang kalau meruntut ketertautan makna secara menyeluruh, aku, kamu dan atau sesiapa lirik , tidak digambarkan sudah mati, tapi masih hidup dan diatara dua sisi pencarian jati diri,dalam keadaan gamang seperti terlukis pada baris akhir bait pertama, dan ritus keimanan yang di ilustrasikan pada bait pertama bait dua “menyentuh pelepah raga”. Tapi dari segi makna sama-sama mempunyai nilai kemenonjolan pada unsure-unsur kerohanian ( transendental).

“Dimana kamu ??
Dimana aku??”

suatu tekstual bahasa yang sangat jelas pemaknaannya dua baris kalimat pada larik/bait ke tiga. Namun kalau diikat dengan bait sebelumnya terasa mengalir begitu saja, dalam pengertian kurang memberi nilai kejut yang bisa menambah artian yang serba “maha”, sekaligus tetap ada unsur Tanya sebagai bentuk rasa “gamang” yang telah disiratkan pada bait pertama baris akhir sebelumnya.

Atas pertimbangan tersebut, bait tiga saya sederhanakan menjadi :

“kamu
aku
dimana?”

Dengan suatu analisa, bila tersatukan utuh dalam keseluruhan batang tubuh puisi (bait 1,2,3,4), dimana bait empat juga saya gubah dengan dasar alasan yang sama, dengan tujuan menciptakan ruang kedalaman renung untuk pengkarya cipta dan penghayat, secara lengkap hasil editing tersebut akan seperti ini :

KULMINASI > judul akan lebih memberi ruang luas lagi di imaji penikmat baca.

bukan kamu
bukan juga aku
ataukah sesiapa…
menyentuh pelepah raga
masuki ruang
maha

kamu
aku
dimana?

hilang; tenggelam
dalam jejak
bayangan
diri”

Untuk lebih memahami apa yang saya maksud, mari bait-bait di atas kita parafrasakan biar tujuan dari maksud tiphographipuitika tersebut tertampakan.

bukan kamu
bukan juga aku
(lalu siapa?) ataukah sesiapa…
(yang akan berpayah-payah )menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)masuki ruang (…)
maha (; sesuatu yang sangat)

(maha) kamu
(maha) aku
dimana (itu semua sekarang)?

(yang tiba-tiba )hilang; tenggelam
(tertelan) dalam jejak (…)
(dalam) bayangan (…)
diri (…)

Lalu untuk menganalisa, apakah karya yang sudah dipadatkan dan dipetakan kosakatanya tersebut sangat jauh menyimpang maknanya dengan yang aslinya?
Untuk itu mari coba kita parafrasakan dengan cara yang sama.

KULMINASI SEMU

Bukan kamu, atau siapa
Bukan juga aku,(lalu) siapa

(yang akan berpayah-payah ) Menyentuh pelepah raga
(dan kemudian) (me)Masuki ruang maha

Dimana kamu (itu semua sekarang)??
Dimana aku (itu semua sekarang)??

(yang tiba-tiba ) Hilang tenggelam
(tertelan) Dalam jejak bayangan diri

Akhir dari penulisan esai ringan sajak kaya makna spiritual dan kaya akan filsafat kehidupan pada setiap baris sajak saudari Lina Kelana ini, dengan segala rendah hati saya berharap ada yang bisa dipetik manfaatnya. Walau hanya setitik. Amin 3x.

Salam lifespirit!
21 Maret 20010.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar