Rabu, 02 Juni 2010

Dunia Puisi dan Iman

Mashuri*
http://mashurii.blogspot.com/

“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”

Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa
Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.

Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.

Puisi Subversif Terhadap Iman?
Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.

Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.

Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.

Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.

Pertemuan Puisi dan Iman
Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.

Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.

Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).

Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.

Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.

Bertumpu pada Spirit
Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.

Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!

*) Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.

1 komentar:

Cicero mengatakan...

Jadikan aku sahabatmu didunia ini dan lainnya..

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar