Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/
Ketika sedang suntuk mempelajari kembali puisi Chairil Anwar, saya tiba-tiba teringat Hugh Trevor-Roper, sejarawan yang membahas historiografi abad ke delapan belas. ”Prestasi yang dicapai oleh sejarawan abad ke delapan belas sangat luar biasa”, tulisnya dalam buku The Listener (1977). Abad ke-18 telah semena-mena terhadap data dan peristiwa sejarah. Segala yang terjadi di masa silam dinilai dan ditafsirkan dengan norma dan realitas masa sekarang. Seolah-olah nilai masa sekarang bersifat mutlak dan masa silam bersifat relatif.
Semena-mena, sejarawan abad ke-18 tidak akan pernah sampai pada ”apakah yang sesungguhnya terjadi di masa silam”. Mengapa seseorang, di masa silam, melakukan tindakan perang, bertobat, atau bunuh diri. Sejarawan abad tersebut tidak sedang berbicara untuk masa silam. Tujuan penelitian sejarah ada pada masa kini. Masa silam hanya kambing hitam untuk gagasan masa kini. Masa silam telah diperkosa. Tetapi begitulah, setiap perkosaan senantiasa menimbulkan kejutan, kenikmatan, pembisuan, dan ketegangan. Tergelar berbagai konsekuensi berkat pemerkosaan. Kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya terkunci rapat, dan tidak terperkirakan, bisa terbuka lebar, bahkan setiap orang dapat memasukinya. Aku, kita, dan mereka menjadi asing karena perkosaan.
Kesuntukan tiba-tiba menipis, saya mengalami pergeseran cara berpikir. Chairil Anwar, penyair yang semula saya posisikan sebagai artefak, data sejarah, berubah menjadi penyair yang berproses di kekinian. Puisi-puisi Chairil Anwar, saya anggapkan ditulis di masa sekarang, ditulis bukannya di masa silam. Saya akan semena-mena, seperti juga sejarawan abad ke delapan belas, terhadap puisi Chairil Anwar, agar saya memperoleh sesuatu yang tidak terkirakan. Konkretnya, saya akan membandingkan puisi Chairil Anwar dengan puisi yang benar-benar ditulis di masa sekarang. Pilihan jatuh pada puisi Arief B. Prasetyo, seorang penyair yang dikenal dengan antologi Mahasukka (terbitan Indonesia Tera, 2000).
***
Mempersandingkan puisi Chairil Anwar dengan Arief B. Prasetyo, saya menemukan adanya greget personalitas dalam merakit kata. Kedua penyair seakan saling berlomba menciptakan situasi garang dalam puisi. Kata-kata berkesan tegang, liar, kuat berotot, dan diliputi semangat individual. Ekspresi yang menekankan konflik kejiwaan manusia. Puisi seperti di tempatkan sebagai sarana mempertunjukkan kedirian berlumur persoalan pelik. Keindahan puisi diraih melalui problem, sejauh mana puisi mampu memberi gambaran amat personal atas pengalaman ”kebrutalan” hidup manusia. Arief B. Prasetyo dan Chairil Anwar sama-sama menebarkan kebrutalan teks puisi.
Pembukaan puisi ”Aku” dari Chairil Anwar: Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu, Tidak juga kau. Arief B. Prasetyo membuka puisi ”Mahasukka” dengan kalimat: Di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, menikung, mengiang, membandang, terus, terus, cepat, ringkus, remas, hempas, keras-keras, jadi jerit bianglala yang terkulai di telaga, yang terberai, terkapar mengagapai-gapai akar darah. Kedua puisi sama-sama merepresentasikan kegalauan kejiwaan manusia di tengah kehidupan, sungguh ironis, yang juga galau.
Chairil Anwar memberi gambaran keinginan untuk tidak mau terganggu oleh siapa pun. Kedirian mutlak, tanpa tekanan dan keterlibatan lain-lain pihak. Chairil Anwar, besar kemungkinan, memilih masuk ke wilayah eksistensialisme. Manusia melakukan tindakan karena ia ingin melakukannya, bukan karena ada orang lain menyuruh atau mengkondisikan. Kemerdekaan pribadi ”aku”.
Gambaran puisi Arief B. Prasetyo terbalik dari puisi Chairil Anwar, kedirian tokoh dalam puisi menyebabkan berbagai pengaruh terhadap lingkungan. Manusia membuat segala makhluk ingin mendekat, terlibat aktif, dan berguna. Pesona manusia menciptakan ketergantungan gejolak adegan. Manusia menjadi pusat dari gerak lingkungan. Antroposentrisme, manusia sebagai pusat alam semesta. Tokoh dalam puisi Arief B. Prasetyo ”terlibat” dalam lingkungan dan menentukan arah ”nasib” lingkungan.
Keakanan puisi dalam terjadi dalam Chairil Anwar. Kalau sampai waktuku, ku mau, kalimat ini menandakan peristiwa masih belum terealisasi. Angan baru hendak menciptakan peristiwa. Berlainan dengan puisi Arief B. Prasetyo, peristiwa terjadi dalam keakanan bercampur kekinian. Selusin sayap ingin mengerjap, kunang-kunang terbang, kalimat ini memiliki dua tingkat waktu. Tahap pertama adalah keakanan dan tahap kedua adalah kenyataan sekarang. Batas tegas antara keakanan dan kekinian mungkin dihindari oleh Arief B. Prasetyo. Keduanya menggelibat bersamaan. Teks puisi yang berupa adonan keakanan dan aktualitas.
Perbedaan konsepsi waktu dalam teks puisi dari kedua penyair membuat puisi Arief B. Prasetyo tampak lebih kompleks di dalam menyajikan peristiwa. Chairil Anwar mengisyaratkan, ”saya adalah personal tertentu dan saya ingin menciptakan kondisi tertentu”. Arief B. Prasetyo mengisyaratkan, ”saya adalah personal tertentu, ingin menciptakan kondisi tertentu, dan saya sedang terlibat dalam peristiwa tertentu”. Lebih jauh lagi, Arief B. Prasetyo menandaskan kurang adanya perbedaan antara keinginan dan kenyataan.
Pilihan waktu konvergentif atau campuran pada puisi Arief B. Prasetyo didukung oleh campuran diksi (pilihan kata) yang variatif. Bermacam kata dengan lingkungan yang berbeda dipadukan dalam membentuk pernyataan kenyataan. Misalnya kata ”pinggul”, barang dari tubuh manusia yang berbentuk bulat simetris dan bernuansa sensual, dipertautkan dengan ”kunang-kunang”, barang dengan lingkungan hewani yang keluar saat malam dan ”sebagai orang Jawa, saya percaya” kunang-kunang bernuansa kematian. Saya kelelahan ketika membayangkan kerumitan penciptaan puisi Arief B. Prasetyo. Konsentrasi tema dan perspektif yang kuat dibutuhkan agar campuran kata tidak mengalami keterpecahan atau non-kesinambungan.
Chairil Anwar juga melakukan keberanian dalam memilih kata. Hanya saja, keberanian Chairil Anwar terasa bersahaja bila dibandingkan dengan kerumitan puisi Arief B. Prasetyo. Hanya saja lagi, kebersahajaan Chairil Anwar didukung oleh strategi fonologis. Penghilangan satu-dua abjad di dalam kata. Misalnya kata ”aku” cukup ditulis dengan ”ku”, kata ”akan” ditulis ”’kan”, dan kata ”tidak” cukup ditulis ”tak”. Kekentalan peristiwa mendapat dukungan fonologis.
Dua bentuk keberanian proses perakitan kata, Chairil Anwar yang berani menyingkat kata dan Arief B. Prasetyo yang berani mencampurkan kata, bukannya tidak berpengaruh terhadap ilustrasi kenyataan. Masing-masing kenyataan dalam puisi Arief B. Prasetyo mengandung beberapa kenyataan bawahan. Kenyataan terdiri dari serangkaian, memang lebih tepatnya jalinan, kenyataan-kenyataan lain. Tercipta sebuah kenyataan pluralis. Kenyataan mewakili dirinya sendiri sebagai identitas khusus, dan bersama-sama dengan kenyataan lain, kesemuanya membentuk kenyataan baru. Ini produksi jalinan kenyataan yang berbeda dengan produksi kenyataan dalam puisi Chairil Anwar.
Penyingkatan fonologis oleh Chairil Anwar, menciptakan satu kenyataan yang padat, menggumpal, ketat ekspresi, serta tatanan utuh. Chairil Anwar seakan tidak ingin kenyataan puitik hasil ciptaannya terkontaminasi oleh identitas kenyataan bawahan. Chairil Anwar percaya terhadap kenyataan tunggal, tempat terwujud kegalauan jiwa manusia. Artinya, penafsiran atas kejiwaan manusia terfokus dalam satu kenyataan. Kepadatan kenyataan. Mungkin inilah keinginan Chairil Anwar, membuka penafsiran dari ketunggalan kenyataan. Ibarat sebuah kilatan petir, peristiwa sekilas yang memacu berbagai macam penafsiran justru karena ketidak-lengkapan peristiwanya. Apa latar peristiwa, terjadi pada siapa, berdomisili di mana; bergantung kepada isian pengalaman jiwa manusia yang tentu saja berbeda-beda. Ambiguitas, rangkap-rangkap penafsiran yang dimungkinkan oleh kekhususan teks puisi Chairil Anwar.
Ambiguitas juga, saya percaya Arief B. Prasetyo menyadari dan sengaja melakukan, yang terjadi pada puisi ”Mahasukka”. Satu kenyataan dalam puisi Chairil Anwar adalah ambigu. Setiap kenyataan dalam puisi Arief B. Prasetyo juga ambigu. Kalimat, di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap, memustahilkan penafsiran laten. Sejumlah makna dapat dimasukkan dalam kenyataan yang dibentuk oleh kalimat tersebut. Penafsiran menjadi bertingkat-tingkat ketika satu kenyataan dijalin dengan kenyataan lain yang juga bermuatan ambigu. Tingkatkan penafsiran makin semakin ambigu ketika jalinan kenyataan membentuk sebuah kenyataan besar. Jalinan kenyataan. Jalinan makna, berbagai penafsiran dimungkinkan oleh teks puisi Arief B. Prasetyo.
Kecuali perbedaan pola kenyataan, Chairil Anwar dan Arief B. Prasetyo memiliki cara berbeda untuk menarik minat pembaca dalam memproduksi penafsiran. Puisi menyediakan perangkap yang mengikat pembaca untuk betah, bahkan mengulang-ulang pembacaan, dan melakukan apresiasi teks. Semacam perawan yang mendandani badan dengan beragam aksesoris dan aneka kosmetik, ada satu tujuan terselip, agar lawan jenis betah atau bergairah memandang sembari melakukan tindakan-tindakan apresiatif. Membaca puisi, seseorang seperti memasuki wilayah privasi penuh rambu-rambu dan tanda seru. Kesadaran tersedot dan kegairahan tafsir bangkit.
Arief B. Prasetyo merajuk pembaca melalui rentetan gelora ilustrasi. Bermula dari pinggul, semua orang tahu ”pinggul” merupakan bagian tubuh berdaya sensual tinggi, pembaca diajak berkeliling ke tempat-tempat teatrikal. Di situ ada selusin sayap ingin mengerjap, ada kunang-kunang terbang, menikung, dan membandang. Di situ, di pinggul itu, ada gerak remasan, hempasan, ada ringkusan, dan ada yang terkapar menggapai-gapai akar darah. Dari tempat yang semula akrab, adakah orang yang tidak mempunyai pinggul, pembaca ditarik ke tampat-tempat asing dengan kejadian-kejadian asing. Dimensi pengalaman pembaca tersentak. Pengalaman yang melampaui kenyataan konkret, tetapi terjadi dan bermula dari bagian tubuh yang sangat akrab dengan setiap laju kehidupan.
Melalui kepadatan kata-kata, Chairil Anwar membetot keangkuhan jiwa pembaca. Keinginan menikmati kesendirian. Kebebasan mutlak; tanpa seorang pun mengganggu, terlibat, dan merayu pun tidak. Penajaman ilustrasi jiwa dalam puisi Chairil Anwar potensial merangsang pembaca menimbang-nimbang langkah tempuh, menjadikannya sebagai bahan renungan mengambil sikap hidup. Setiap orang menginginkan kebebasan, sama besarnya dengan keinginan mendapat pelayanan orang lain. Chairil Anwar berhasil menajamkan salah satu keinginan tersebut sehingga menutup antitesis keinginan pertama. Reduksi terjadi, maksimalitas sekaligus, atas kenyataan. Pembaca pun terprovokasi untuk melakukan penafsiran teks.
Bila diperbandingkan dengan puisi ciptaan Arief B. Prasetyo, pola perangsangan makna dalam puisi Chairil Anwar tampak bersahaja. Puisi Arief B. Prasetyo pun dapat dibaca dengan cara memahami puisi Chairil Anwar. Beberapa peristiwa dalam ”Mahasukka” merupakan hasil redukasi, sekaligus maksimalisasi, terhadap kenyataan jiwa manusia. Misalnya, jiwa yang menjerit serupa bianglala di telaga, atau jiwa yang terkapar menggapai-gapai akar darah. Chairil Anwar hanya menggunakan satu ekspresi jiwa. Sedangkan Arief B. Prasetyo, beberapa ekspresi jiwa dipertontonkan.
Pengalaman yang lebih luas digelar oleh puisi Arief B. Prasetyo. Sebaliknya, pola tamasya peristiwa dalam puisi Arief B. Prasetyo tidak dapat diperlakukan terhadap puisi Chairil Anwar. Kapasitas puisi Chairil Anwar terlalu bersahaja, atau tidak tersediakan tempat bagi pusaran makna.
Motivasi ”kata” dalam puisi Arief B. Prasetyo dan puisi pun berbeda. Chairil Anwar menggunakan kata secara langsung merujuk pada penciptaan pikiran. Pembaca dihadapkan pada kondisi tusukan kejiwaan. Misalnya, ku mau tak seorang kan merayu. Puisi Chairil Anwar tidak menyisakan kesempatan bagi basa-basi. Puisi Arief B. Prasetyo, pada akhirnya, memang ditujukan pada pikiran. Hanya saja arah jalan yang ditempuh sedikit melingkar. Kata dipergunakan sebesar-besarnya untuk mencipta gambar atau adegan. Misalnya, di pinggulmu selusin sayap ingin mengerjap. Hasil dari gambar atau adegan itulah yang menjadi referensi menuju pikiran. Melalui kelangsungan motivasi kata, tanpa penundaan seperti puisi Arief B. Prasetyo, kebersahajaan puisi Chairil Anwar makin kentara.
***
Apakah dengan perbedaan karakter puitik, Chairil Anwar yang bersahaja dan Arief B. Prasetyo yang berlimpahan, menjadikan satu dari keduanya lebih indah atau muatan estetikanya lebih tinggi? Saya hanya memastikan, kedua penyair memiliki perbedaan gaya pengucapan.
Penggunaan perangkat puitik yang berlimpahan, bisa jadi, sumber penting pengalaman jiwa. Kebersahajaan pengucapan, bisa jadi, cara tepat pengungkapan jiwa. Keduanya berbeda seperti perbedaan karya sastra bentuk haiku dengan karya sastra bentuk novel. Karya pertama terdiri hanya tujuh belas suku kata. Karya kedua terdiri dari puluhan ribu bahkan ratusan ribu suku kata. Sulit dipastikan, manakah lebih indah dari keduanya.
Tulisan ini hanya berpretensi pada cara wajar memandang penyair dan ciptaannya. Puisi bisa bebas untuk ditafsirkan. Puisi bebas juga diproduksi ulang. Saya kurang bersepakat dengan perhatian berlebihan terhadap penyair. Tindakan tersebut hanya akan memposisikan penyair dan karyanya sebagai mitos.
Saya bergembira, tulisan ini meyakini ”puisi Chairil Anwar tidak lebih bagus atau lebih buruk dari puisi Arief B. Prasetyo” dan dari penyair lain. Lebih bergembira lagi, tulisan ini meyakini adanya pergeseran, mungkinkah ini sebuah perkembangan, konsepsi estetika dalam kepenyairan pasca-Chairil Anwar.
Surabaya, 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar