Jumat, 26 Maret 2010

Estetika Sastra Pascamitos

:MENAMBANG TENAGA GAIB CERITA PANJI (Konsep Estetik dan Artistik Novel TANHA)

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

“MULA-MULA adalah kata. Jagad tersusun dari kata,” demikian tutur penyair Subagio Sastrowardoyo.

Kalimat itu boleh diungkap oleh yang memilih jalan hidup sebagai penyair. Namun orang lain, sah-sah saja manakala percaya dan menyakini bahwa nenek moyang segala ilmu—juga tentu saja kata—adalah mitos. Berpijak pada pendapat bahwa jauh sebelum kata-kata diperas, diperah sampai apuh beban artinya, mitos telah lebih dulu menyingkap makna sampai akarnya yang purba.

Sementara bagi pengarang, barangkali menjadi klasik kendati tak harus klise manakala percaya dan menyakini amanah pengarang itu terletak pada kemuliaannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu semulia kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta ini. Meski mungkin juga berbau mistik—sekaligus beraroma ilmiah—ketika menjangkau di luar diri seperti layaknya kepada partikel atau gelombang abstrak selaput jagad.

Jadi kata itu seperti manusia juga. Seperti juga manusia, ia tahu bagaimana harus hidup, “bercinta” dan menyusun pikiran besar melunasi hasratnya pada alam cita. Tentu saja laiknya pengalaman batin, hasrat yang demikian sangatlah subjektif. Bagai sajak dalam aku lirik.

Meneropong sedekat mungkin manusia dengan sudut pandang “aku” dengan bahasa mereka sendiri adalah sebuah pilihan: sekadar menghormati sebagaimana angkat topi pada kejujuran dan kemurnian kata. Selebihnya, tentang cinta, menyakini cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan apalagi kehilangan hak milik sebagai individu yang kreatif adalah suatu keyakinan. Bahwa cinta sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Tak lain hanya darah kreativitaslah, kini yang sanggup menangkap bayang keindahan cinta itu dari salah satu dari banyak versi mitos Cerita Panji—sebentuk foklor, cerita rakyat yang dihargai murah karena dinilai tidak bermutu dan rendah. Hanya kekuatan gaiblah, yang kemudian sanggup menuliskannya dalam sebentuk kisah atau hikayat menjadi karya yang tidak perlu diragukan lagi mutunya. Tentu saja tanpa harus meninggalkan watak aslinya, nuansa tradisi tutur di dalamnya juga tetap sebagaimana disebut Paul Recour sebagai “berhala dalam bentuk primitif.” Sama halnya mitos, menggali spirit, menafsirkan kembali adalah kegiatan bercerita, mendongeng ulang yang bersumber pada simbol utama.

Maka menjadi sahih bertutur kisah selama mengampu pada sumber keyakinan yang murni, suci, asali, dan tak terbantahkan. Mulanya berhumbalang pertanyaan yang ia percaya, namun juga diyakini mustahil dan sulit bagi pengarang untuk mendapat jawabannya—kendati amat penting untuk terus diburu. Yaitu, tentang ujung terjauh penderitaan, nasib, takdir, kemiskinan, trauma jiwa. Dipicu kegelisahan pada kisah Sidharta yang kejam meninggalkan istri dan anaknya, juga kekayaannya dan kemudian memilih pergi ke hutan. Bagaimana bila derita (dukkha) sang istri itu terjadi pada seorang lelaki? Lantas, alangkah dahsyatnya andaikata seorang perempuan, istri, ibu yang kemudian terpilih atas namanya sebagai ‘nabi’ yang menebar harum bagi jiwa-jiwa manusia di semesta ini? Lalu, menggapa perempuan digambarkan tukang tenung yang keji seperti Calon Arang di hadapan kekuasan Airlangga? Berikutnya, mengapa tokoh putri yang kampungan dengan kecantikan luar biasa seperti Dewi Anggraeni harus dibunuh? Bunuh diri ataukah memang harus segera diakhiri hidupnya di alam ini menuju alam yang maha luas lainnya? Manakah yang benar diantara mitos-mitos yang menguasai seluruh ruh dan tubuh?

Tak satupun tersedia jawaban, namun pertanyaan musti diteruskan, demi sebentuk “kehidupan” yang lain. Karena itu, sastra mengizinkan pengarang untuk membayangkan, mengisahkan penderitaan, kemiskinan, takdir itu betapa amat mencerahkan—kendati bukan berarti titik akhir dari suatu koma gebalau Tanya—yang dalam bayang imajinya kini terjadi pada keluarga Mak Kaji Idayu Kiyati. Tentu saja, sonder niatan menggempur hancur mitos, demi menjaga fungsinya yang diyakini Muhammed Arkoun mendirikan, mengukuhkan, bagi kesadaran kolektif kelompok yang mengukir suatu proyek tindakan bersejarah yang baru dalam suatu kisah pendirian.

Kurang lebih garis besar, kisah keluarga Mak Kaji Idayu Kiyati seperti ini:

Setelah jatuh miskin, jalan hidup Mak Kaji Idayu Kiyati berubah. Bahkan berputar arah. Janda tua yang pernah menikah empat kali dan telanjur memenggal masa lalunya itu sadar telah ngugemi spirit hidup yang sempit. Sejarah hidupnya yang getir telah ia gunting usai pengembaraan dalam kesendiriannya. Seorang putri satu-satunya, Lastri Srigati, tak tahu asal-usul darahnya, bapaknya. Tapi ia mewarisi kemiskinan yang telah membelit, berakar bahkan hingga anak turunnya. Ia dinikahkan paksa oleh Mak Kaji dengan Matjain, pria pemuja leluhur-leluhurnya karena masih keturunan Sunan Bonang dan mengaku punya hubungan khusus dengan trah raja Majapahit, Brawijaya VI. Belakangan Matjain jatuh cinta pada klenik.

Bersama dengan ketiga keturunannya, Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah, keluarga itu menempuh sebuah dinasti yang kosong karena tak mampu membangkitkan spirit hidup manusia di tengah zaman. Namun mereka harus menempuh jalan sejarah sendiri, menggempur mitos-mitos yang bersulur padanya, dan menanam mitos-mitos barunya. Bahkan harapan-harapannya di suatu masa depan, dicoba bangun kembali, berkat mengampu pada spirit Cerita Panji yang sanggup membebaskan diri dari belenggu ruang waktu.

Bagi Maya Durghata Karini, ahli Ilmu Jiwa dengan predikat suma cumlaude bukan suatu yang sulit. Asal punya kesanggupan dan nyali untuk mengambil satu jalan menuju alam cita di luar ruang dan waktu. Akan tetapi bagi yang lain, terkesan naif, kerdil dan tak manusiawi. Semacam frustasi menjalani hidup. Lastri Srigati mati karena ngenes. Matjain menjadi hilang akal alias gila dan pergi berkelana tanpa tujuan. Sementara Ujub Kajat mengebiri diri lantaran terlalu banyak membaca ajaran sufi tapi setengah-setengah, sementara birahi tak berkesudahan. Selebihnya, Mak Kaji Idayu yang tak juga mati, akhirnya mengulang pengembaraannya dan ia menemukan tempat barunya yang jahanam. Di situ Mak Kaji Idayu membangun Kerajaan Edan dan menyebarkan ayat-ayat atas nama dirinya sendiri.

Inilah referensi anarkhisme dari tokoh-tokoh novel Tanha. Sesat tapi hidup. Bebas tapi sulit dimaknai, meski bukan berarti kehilangan. Seorang individualis yang menawar pemberian Tuhan. Karena hanya dengan demikian ia bisa bercengkerama dengan dirinya juga dengan penguasa mitos dirinya.

Menguasai dan dikuasai tentu problem yang rumit untuk disoal, digali atau dibongkar untuk dibangun kembali. Sebagaimana kata-kata Carl Gustav Jung, bahwa sejak dulu hingga kini manusia terdiri dari tipe-tipe tertentu dan tipe-tipe itu terbentuk disebabkan pengalaman bersama di masa lampau. Tipe-tipe itu muncul dari sumbernya yang disebut collective consciousness atau ketaksadaran bersama. Ia hadir dalam sastra dalam bentuk archetypal images, termasuk di dalamnya image-image simbolik, mitos dan motif-motif tertentu dalam cerita. Dalam bahasa Foucault yang lebih canggih, rumit, menyadari pentingnya menyoal episteme (cara manusia menangkap, yaitu memandang dan memahami kenyataan) dan wacana (cara manusia membicarakan kenyataan). Secara tegas, menurut Foucault, bukan manusia yang menentukan episteme dan wacana tapi sebaliknya.

Manusia bukanlah sesuatu yang istimewa. Jargon make your life spectacular always, tampaknya sudah kadaluwarsa.

Cerita Panji, Mitos, Sejarah
CERITA Panji itu sejenis foklor atau cerita rakyat yang berkembang penyebarannya sampai ke pulau-pulau nusantara. Tumbuh subur utamanya di Jawa dan Bali, beberapa di pelosok-pelosok kepulauan Nusa Tenggara Barat. Sebagai cerita rakyat tentu ada muaranya, muasalnya. Diduga kuat oleh Prof Purbatjaraka, penulisan kisah Cerita Panji baru terjadi pada zaman kejayaan Kerajaan Majapahit karena cerita dengan latar sosial politik Kerajaan Jenggala dan Kediri itu dibuat setelah ingatan orang akan kerajaan itu sudah agak samar. Sementara mengenai penyebarannya, Prof CC Berg memperkirakan terjadi pada masa zaman Singasari melalui ekspedisi Pamalayu ke nusantara oleh Kertanegaratahun 1297.

Mula-mula kisah Panji ditulis para pujangga dalam bentuk tembang mocopat dalam bahasa Jawa Kuna. Namun dalam perkembangannya kisah percintaan dan perjodohan putera mahkota Kerajaan Jenggala dan putri Kerajaan Kediri banyak ditulis dalam bahasa dan huruf Jawa. Ada Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Panji. Lebih dari itu ternyata kisah Cerita Panji sangat berpengaruh dalam kepenulisan sastra sesudahnya. Pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito menulis Kitab Panji Jayeng Tilam dalam bahasa Jawa. Sumosentiko menulis Babat Kediri.

Kitab Babat Kediri mengisahkan, setelah Anggreini, istrinya Panji yang pertama meninggal, Panji Yudarawisrengga menolak untuk dikawinkan dengan saudara sepupunya, putri Prabu Lembu Merdhadu di Kediri. Kemudian Panji meninggalkan Jenggala dan pergi ke Ngurawan, tempat Prabu Lembu Pangarang, pamannya bertahta. Di sini Panji kawin dengan putri pamannya, Dewi Surengrana. Ketika pecah perang antara Kediri dan Hindustan, karena lamaran raja Hindustan, Kelana Suwandana kepada Dewi Candra Kirana ditolak. Akhir cerita, Prabu Kelana tewas dan Panji kawin dengan Candra Kirana. Tapi Surenrana tidak suka dimadu. Ia pencemburu dan giginya selalu dikerot-kerotkan karena menahan dendam dan benci pada Candra Kirana. Ia dijuluki Dewi Thothok Kerot.

Demikian banyak ragam Cerita Panji, sehingga membuat puyeng sejarawan-sejarawan yang telanjur percaya pada masyarakat Jawa bahwa Cerita Panji terkait dengan peristiwa sejarah, sebagaimana pada cerita Babat dianggap tradisi penulisan sejarah tradisional. Salah satunya, Prof Dr Purbatjaraka yang mengatakan bahwa raja Kameswara I atau Inu Kertapati (1115-1130) dari Kediri sebagai tokoh populer dalam Cerita Panji sedang permaisurinya Sri Kirana, diidentifikasi sebagai Dewi Candra Kirana.

Pendapat bahwa Cerita Panji bukan nukilan sejarah, tetapi mitos yang bersumber foklor Jawa tradisional dikemukakan sarjana Belanda Dr WH Rassers. Menurutnya Panji adalah sebuah mitos bulan, yang dalam perjalanannya memulai separuh menuju purnama. Lalu menyusut, kembali separuh dan sempurna lagi. Semua itu dilambangkan dengan perjalanan hidup Panji yang mendekati Candra Kirana untuk selanjutnya mendapatkan musuh yang merebut Candra Kirana dan Panji pun merana. Sesudah musuh ditaklukkan, Panji kembali menemukan kebahagiaannya berkumpul Candra Kirana. Mitos lainnya, terkait mitos air kali Brantas terungkap dalam Andhe-Andhe Lumut yang tak lain juga sang Panji, dikejar-kejar tiga wanita dari seberang sungai. Andhe-Andhe Lumut mau menjadikan salah satu diantara mereka sebagai kekasihnya, asal yang masih suci belum ternoda oleh Yuyu Kangkang. Dugaan Rassers mitos ini terkait kejayaan Prabu Airlangga yang memajukan perdagangan dan pertanian dengan pembuatan bendungan di kali Brantas.

Begitu kuat pengaruh sastranya, Cerita Panji tumbuh subur sebagai cerita rakyat tulisan maupun lisan. Tak terbatas sebagai karya sastra. Sejumlah kesenian juga mengadobsi cerita-cerita Panji, diantaranya wayang, kentrung, yang paling sering dijumpai di masyarakat. Wayang beber Pacitan menggunakan nama samaran Panji, Joko Kembang Kuning yang mengejar sayembara untuk mendapatkan Dewi Sekartaji. Di Yogyakarta, ada wayang beber dengan nama samaran Panji, Kyai Remeng Mangunwijaya yang harus berjalan dititian penjalin untuk mendapatkan Candra Kirana. Kentrung yang nyaris punah di Kediri, Nganjuk, Blora, Banyuwangi banyak mementaskan cerita-cerita Panji dalam pelbagai versi. Demikianlah Cerita Panji hidup di tengah masyarakat dan telah menjadi mitos yang bersumber foklor tradisional.

Boleh jadi, mitos Cerita Panji menjadi sangat populer karena kisahnya lebih gampang dicerna masyarakat dibanding kitab-kitab kebudayaan adiluhung karya pujangga-pujangga kraton. Kisah Cerita Panji lebih merakyat, jikapun tak perlu mengatakan buruk dalam seni sastra yang kurang bermutu pada zamannya tradisi Hindu masih kuat. Kedua-duanya, menurutku memiliki kesamaan memperkuat legitimasi kekuasaan kraton. Yang terakhir ini ada kecenderungan kuat dengan mempertimbangkan psikologi masa yang ampuh menyihir rakyat kecil untuk menjadi bagiannya, memilikinya, bahkan untuk menjadi tokoh di dalamnya.

Begitulah kiranya tokoh Dewi Anggreini misalnya menjadi tokoh penting dalam mitologi itu sebagai pembuka ke arah pemahaman yang lebih utuh. Sayang hingga kini tetap misteri. Mungkin ia cuma perempuan biasa, meski bukan mustahil ia “Bukan Perempuan Biasa.” Sebagian besar informasi di atas memang dikutip dari S Hariyanto dalam buku Pratiwimba Adiluhung, salah satu buku babon tentang sejarah wayang. Kemudian crosscheq ke sejumlah sumber diantaranya Zoetmulder, Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Manunggaling Kawula Gusti. Suripan Sadi Hutomo dalam Mitos Dewi Sri dalam Cerita Kentrung, Parakitri T Simbolon dalam Menjadi Indonesia. Lalu dari Ajib Rosidi, pengarang berdarah Sunda yang sebagai ilmuwan sudah barang tentu mendapat informasi banyak dalam Sastra dan Budaya, terlebih dalam gubahan kisah Candra Kirana yang disadur dari dari salah sebuah Cerita Panji. Dari karya-karyanya mulai didapat pemahaman yang utuh tentang Cerita Panji. Sebagai ilmuwan tentu sebelum menulis ia menelusuri secara mendalam perihal cerita rakyat ini, Cerita Panji gubahannya itu berlatar kekuasaan Prabu Jayawarsyatunggadewa di Kerajaan Kediri dan Prabu Jayantakatunggadewa di Jenggala.

Menurut catatan, Prabu Jayawarsya berkuasa pada 1042-1104. Dari gubahan Ajib Rosidi itu sangat mungkin Panji Kuda Waneng Pati identik dengan Prabu Kameswara I atau Inu Kertapati, yang berkuasa 1115-1130 dan Dewi Sekartaji adalah Ratu Kirana, permaisurinya. Sumber foklornya juga tak jauh dari masa-masa itu. Amat menarik adalah analisis Zoetmulder dalam Manunggaling Kawula Gusti, bahwa dalam diri Panji kita berjumpa dengan gambaran mengenai Tuhan yang menampilkan diri di dalam dunia. Ia seolah-olah meninggalkan kedudukannya yang asli selaku Dzat Mutlak lalu mengembara jauh diluar negeri-Nya, terlindung oleh samarannya sehingga hanya mereka yang terpilih dapat mengenal-Nya. Jenggalane nut tan adoh, Jenggala tan katilar (Megatruh Serat Centini). Dari teks Asmaradana, wayang topeng dengan kisah pernikahan Panji dan Kirana, Zoetmulder mengulas ada pesan bahwa manusia bisa tersesat oleh apa yang mereka anggap kenyataan. Hyang sukmalah yang menyembunyikan diri dalam badan manusia, sehingga manusia tidak melihat Dia dan hanya terserap oleh badan yang hanya berfungsi sebagai topeng.

Sangat mudah dipercaya dengan muasal Cerita Panji itu subur tatkala Prabu Kameswara I, karena sesudahnya Prabu Jayabaya yang berkuasa 1135-1157 melakukan hal serupa dengan menutup pertikaian dua kerajaan Jenggala dan Kediri sebagai kenang-kenangan belaka. Mpu Sedah dan Penuluh diperintahkannya menulis kitab Bharatyudha. Sebuah kitab yang mengakhiri cerita buram Jenggala dan Kediri. Tentu saja, sebagai alat legitimasi baru, kitab itu bertujuan membunuh mitos-mitos sebelumnya terkait raja-raja Jenggala maupun Kediri. Sayang, kitab itu terlampau agung dan berbahasa Jawa dengan kadar sastra yang tinggi. Cerita Panji kiranya luput dari pembunuhannya, bahkan mengilhami banyak kitab-kitab besar sesudahnya. Dengan kata lain, menjadi klasik.

Jelas itu semua berkat spiritnya yang “agung,” mengandung misteri bersifat mistis yang mengilhami setiap penafsir kritis untuk menyingkap pelindung samarannya (topeng, wadag) untuk agar mengenal-Nya. Dengan kata lain, menjadi klasik, menjadi tambang emas sastra pascamitos, untuk didekonstruksi atau ditafsir ulang. Kelak sangat mungkin menjadi tambang sastra dalam sebentuk kisah atau hikayat yang tidak perlu diragukan lagi mutunya. Tentu saja tanpa harus meninggalkan watak aslinya, nuansa tradisi tutur di dalamnya. Sastra yang kaya falsafi atas nama cinta pada yang Maha Tinggi—cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan apalagi kehilangan hak milik saya sebagai individu yang kreatif. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga karya sastra berlandas falsafi atas nama cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Begitulah, menyongsong masa depan adalah sesuatu yang biasa. Menjemput masa lalu justru hal yang luar biasa.

Dalam hal urusan bongkar-membongkar, Jacques Derrida memiliki cara yang ampuh meski terkadang berbahaya—ketika ia menolak adanya penanda transendental (tidak ada kebenaran ilahi, tidak ada Allah di belakang teks wahyu). Dikatakannya manusia berada di dalam suatu “kungkungan logosentris” dan memperhatikan pada “yang tak dipikirkan” dan “yang tak terpikir” Bagi Derrida, teks dapat menyembunyikan kekurangan, kelemahan, dan kebohongan, serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan konsep bahkan kontradiksi.

Bagaimana bila kacamata Derrida dihadapkan pada kenyatan sejarah, mitos, sastra, filsafat, bahkan agama? Dalam perspektif sejarah modern kita misalnya, banyak sejarawan yang mengkritisi perihal kuatnya mitos-mitos khususnya atas Jawa, yang ternyata dominan dalam perjalanan sejarah bangsa. Tak terkecuali Prof Dr Taufik Abdullah, sejarawan kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera dalam pelbagai tulisan dan pidato kebudayaannya menyingkap mitos yang menguasai pola pikir tokoh dan sejarawan-sejarawan kita.

Harus diakui, Tak terhingga banyaknya misteri bila dilihat dari prespektif sejarah, terkait dengan Jawa—kekuasaan, politik, maupun pemaknaan atas lintasan peristiwanya. Hal ini mengingat selain waktunya telah berabad, juga karena tradisi penulisan sejarah yang amat tipis perbedaannya dengan mitos-mitos bagi Jawa. Contoh yang mengemuka, sudah barangtentu adalah “Babad Tanah Jawa” sebagai babon penulisan sejarah Jawa. Di satu sisi tradisi yang ganjil terjadi dan berhumbalang pada Jawa ini barangkali sebagai harta karun kebudayaan, meski di lain sisi acapkali mempersulit ilmuwan-ilmuwan untuk menimba pengetahuan darinya. Dua hal yang pada kenyataannya sama-sama punya bukti dan alasan mendasar untuk ternyata memperkaya pelbagai interpretasi tentang Sejarah Jawa. Dua buku penting yang luar biasa justru keluar dari khazanah unik Jawa dengan gemilang dan kesohor, yaitu Sejarah Jawa (History of Java) Raffles dan Jawa : Silang Budaya Dennys Lombard.

Misteri tetaplah sebagai misteri. Namun usaha menyingkap setiap yang gelap menjadi daya pesona tersendiri bagi ilmu sejarah. Apalagi masa lalu bagi sejarah adalah tambang emas masa kini demi harapan kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang. Sejarah mennguliti masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa depan, serta melihat masa sekarang dalam perspektif masa lalu dan sebaliknya. Tentu saja dengan segala renik perilaku budaya masyarakat Jawa masa lalu yang lebih mistis ketimbang analitis tersebut yang tetap ditumbuhkembangkan, “mentradisi” bahkan amat mungkin hal itu menguat justru di luar kesadaran diri hingga memasuki ranah kepemimpinan, kekuasaan atau lembaga-lembaga politik kita. Kendati tentu saja, keragaman masa kini bukan tanpa terkecuali dari asumsi tersebut—yaitu tradisi baru yang berpegang pada moralitas dan kaidah-kaidah keilmuan mutakhir.

Diantara sebegitu banyak pesona dan misteri akan Jawa, adalah pola perlawanan atau pertentangan terselubung atas nilai-nilai budaya pedalaman (Mataram) dan pesisiran (Demak, Pajang dan sebagainya). Hampir bisa dipastikan, karena sudah demikian mengurat mengakar dalam kehidupan berbudaya kedua masyarakat tersebut, mengakibatkan perbedaan persepsi atas setiap perilaku bermasyarakat yang mempengaruhi tata kehidupan berbahasa, berbudaya, bahkan pada kecenderungan berpolitik bahkan bersastra mereka. Bukan mustahil lebih dari itu justru melahirkan tradisi-tradisi baru mereka yang kemudian mengakar, menjalar.

Dalam prespektif keilmuan mungkin bisa melihat panorama pengaruh kehidupan masa kini itu pada pertanyaan seputar kesamaaan derajat manusia, egalitarianisme, keterbukaan dialog, demokrasi dan kedaulatan rakyat yang dibawa oleh watak masyarakat pesisiran. Kemudian dipertentangkan dengan watak feodalisme, sentralistik, otoritarian, tertutup dan kepercayaan pada tahyul (bukan mistik) pada tradisi mataraman-pedalaman. Mempertentangkan keduanya dalam bahasa-bahasa yang demikian epistemologis boleh jadi bukan satu-satunya titik berat. Namun, mempertimbangkan atau menuntut kearifan pentingnya tradisi keilmuan yang baru yang sehat kiranya bakal lebih mencerahkan dari prespektif Sejarah Jawa masa kini untuk masa depan.

Sudah dapat diduga, lagi-lagi panorama ketegangan watak pedalaman dan pesisiran dalam masyarakat jawa ini amat jelas tergambar dalam pelbagai karya sastra klasik. Semisal terdapat pada karya babon Serat Centini yang (hebatnya) digubah atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yang kemudian bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V. Karya lainnya, sastra Serat Darmogandhul yang menentang masuknya Islam di Jawa mempertegas Islam masuk di Jawa Bukan dengan cara yang baik-baik. Kedatangan Islam di Jawa juga menghabisi seluruh tinggalan-tinggalan kebudayaan Jawa. Karya sastra lainnya, Serat Gatholocho, Serat Cebolek yang mungkin kelahirannya dalam prespektif yang sama persis dengan kemunculan sastra-sastra agung.

Kurang lebih begitulah, sejarah masa kini masih membaca adanya kebudayaan tinggi atau yang diagungkan. Di sisi lain, hadir dan hidup kebudayaan yang terpinggirkan dan dipinggirkan. Barangkali sejarah tak perlu mengikuti arus politik kekuasaan yang memenggal apalagi mempertentangkan keduanya. Ancaman Sabdo Palon yang membangkang dan menolak ajakan Prabu Brawijaya (dari Sunan Bonang) masuk Islam, boleh jadi amat inspiratif bagi penafsir-penafsir mitos. Apalagi Sabdo Palon sosok gaib yang memuja Jawa, itu menebar suara rahasia bahwa kelak 500 tahun lagi, agama Budha bakal kembali jaya, yang lain menafsir sebagai kejayaan kawruh budi. Memang segalanya bersifat rahasia atau Kalamwadi.

Berikutnya, fenomena lainnya, pada lukisan yang lain, dari balik sejarah yang kemudian dibaca, peristiwa di luar sejarah juga terus berlalu—sudah pasti mitos berperan banyak di dalamnya. Beberapa ilustrasi mungkin bisa disampaikan di sini. Ketika masa pergerakan, banyak yang tahu, mengapa Soekarno amat kharismatik, meski dari sisi konseptual perihal negara merdeka tidak sematang Hatta, Tan Malaka, atau Syahrir. Sebaliknya, tidak banyak yang tahu mengapa Soekarno (Jawa) kemudian dibayang-bayangi Tan Malaka (Sumatra) apabila ternyata gagal memimpin Indonesia Merdeka. Kendati sampai Tan Malaka menghilang, misteri ini tak terjawab dan memang tak terbukti. Kemudian, di era senja kekuasaan Soekarno dimunculkan kembali Nasution (Sumatra) yang “mengancam” kekuasaan pemimpin besar revolusi itu. Sebelum akhirnya, tampil Soeharto yang dalam proyek sejarah perlu legitimasi besar-besaran dari Gestok, melalui arsitektur sejarahnya Nugroho Notosusanto. Kata “legitimasi” menjadi amat ampuh dalam sejarah kita, sementara peristiwa di luar legitimasi itu terus berjalan dengan atau tanpa pengaruh dari kekuasaan yang menentukan arah sejarah.
Jauh sebelumnya, dalam perjalanan berbangsa, barangkali legitimasi itu serupa atau mirip dengan apa yang sekarang dikenal orang dengan Mitos. Ambillah contoh, sejarah masuknya Islam di Indonesia (Jawa) dalam sejarah kita disiarkan oleh walisongo yang kaya dengan mitos-mitos. Di sisi lain, kontroversi timbul atas mitos-mitos itu sebagai bagian dari sejarah yang kemudian berkembang pada kontroversi siapa sebenarnya walisongo. Ada yang bersikukuh bahwa walisongo adalah orang Jawa keturunan penguasa-penguasa setempat, yang lain menyingkap walisongo adalah keturunan peranakan Tionghoa.

Yang tak kalah hebohnya, dalam sebuah situs di internet dengan narasumber yang jelas, dikatakan walisongo sebetulnya fiktif belaka, karena sangat mungkin rahasianya dipegang kolonial belanda ketika sebuah kitab menyebut bahwa walisongo sebetulnya adalah sembilan ulama yang dikirim dari tanah Arab, Turki, Mesir, Iran, Palestina dan Persia, Maroko, Rusia Selatan sebagaimana tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah. Menurut sumber itu Walisongo dibentuk Sultan Muhammad I untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi. Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut: 1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara). 2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan. 3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir. 4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko. 5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara). 6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan. 7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina. Maulana Aliyudin, dari Palestina. 9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat (ahli ruqyah).

Sesungguhnya betapa menarik untuk menelisik lebih dalam tradisi penulisan sejarah-sejarah lampau, juga apalagi terkait kerajaan-kerajaan besar di nusantara ini. Karena sangat mungkin yang ditulis sebetulnya bukan sejarah melainkan hibrida, dan kebanyakan adalah mitos-mitos. Atau sebaliknya, bahwa Babad, Kitab, Cerita Panji, Tembang, dalam kesusastraan kita sebetulnya amat sarat dengan peristiwa sejarah. Beberapa peneliti Belanda seperti Prof CC Berg misalnya, telah mengambil jalan tengah bahwa sebagian mitos-mitos itu bisa sebagai bahan sejarah. Begitu juga dengan Prof Purbatjaraka, meski ditentang Dr WH Rassers yang menegaskan mitos adalah mitos. Atau tanggapan atas Babad Tanah Jawi dari HJ de Graaf, bahwa menurutnya Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, menurut de Graaf tidak terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi dan dongeng.

Sastra Hindu yang menjadi bulan-bulanan, juga Cerita Panji yang akhirnya terbukti ampuh tak terbunuh amat canggih dalam kekunoan sastra Jawa—dari himpitan masalah politik, kekuasaan, juga pengaruh kuat lainnya semisal serbuan dari nilai-nilai kebudayaan yang memang murni. Uniknya, Cerita Panji secara politis bersifat istana sentries, diantara sastra-sastra dari pujangga istana masa jaya Kediri atau Majapahit dengan puncak-puncak kakawinnya, Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Negarakertagama (Mpu Prapanca), dan lain-lain. Kekacauan politik akibat serbuan Islam dan menyusul menyingkirnya pengikut Majapahit ke Bali tentu berdampak pula pada nasib Cerita Panji—dengan segala keajaibannya. Kediri sebagai “rumah” Cerita Panji, memikat dan dalam titik balik tertentu menumbuhsuburkan mitos-mitos lingkaran kebudayaan Hindu (ditambah pengaruh pedalaman), Kebudayaan Pesisir dan eksodus ke pulau seberang, Bali. Tentu saja lingkaran itu meliputi segala pernik dan kompleksitas di dalamnya termasuk pengaruh politik kesenian maupun spirit atau sikap dan strategi kebudayaan masyarakatnya. Sungguh suatu keajaiban yang lain ketika Serat Gatholoco juga ditulis di Kediri, dan terbukti ampuh spirit perlawanan dan pemurnian tradisi baru sastranya. Lepas dari diakui sebagai sastra tinggi atau tidak, tercatat dalam sejarah sastra yang bersemangat pembaruan atau tidak, hingga kini itu menjadi soal yang lain. Kenyataan ini tentu menjadi hitungan tersendiri setidaknya secara artistik dalam sastra pascamitos.

Lalu, pertanyaan penting bagi kita adalah, mitos atau sejarah, atau gado-gado dari keduanya dari legitimasi peristiwa yang dibuat, dilalui, dan ditulis oleh “pujangga-pujangga” atas nama penguasa hingga saat ini?

Kredo: Penyair, Psikopat dan Pemabuk
DARI buku Atlas Budaya Islam, didapat penjelasan, bahwa pada agama transenden, alam itu profan, lawan dari suci. Bahwa alam tidak mempunyai kualitas ketuhanan. Alam tidak mengerikan, tidak misterius dan tidak pula mempesona. Alam itu sendiri adalah proses tumbuh dan hancur—suatu mesin jam yang kekuatannya melekat dalam dirinya—baik dalam totalitasnya, dalam unsur atau spesiesnya atau dalam obyek individualnya. Alam adalah dirinya sendiri. Alam bukan Tuhan. Alam tidak sakral dan bukan realitas puncak. Bila agama-agama transenden membagi antara ragam Teistik dan Nonteistik, maka alam dipandang abadi atau fana, baik atau jahat. Bagi Budhisme Theravida, alam itu abadi tetapi jahat. Di sini tanha adalah keinginan atau kecenderungan untuk senantiasa berubah, dan penderitaan (dukkha) membentuk esensinya.

Meski “pencerahan” sudah dirampok para pendahulu abad pertengahan, namun kurang lebih energi yang berdiam di ruang batinlah penghuni barunya—berdiri sendiri dan berkesinambungan, abadi tidak bergantung pada apapun. Pada tanha dalam kosakata budhisme, dipahami sebagai segala macam keinginan, kehausan. Ada Kama-Tanha (keinginan terhadap nafsu indra), tapi ada pula Bhava-Tanha (keinginan untuk tetap hidup/eksis, baik di alam dewata maupun alam brahma), ada pula Vibhava-Tanha (keinginan untuk tidak ada/pemusnahan diri).

Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama—segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan. Sampai kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya), tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan ini tergantung pada kontak (phassa) dan seterusnya terciptalah satu lingkaran Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada). Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan.

Berakar dari pemahaman itu—juga sudah barangtentu berikut kontroversinya—perihal estetika dan bentuk artistic teks, alahkah baiknya menyitir bahasa Gadamer. Bahwa menurutnya ada empat cakrawala tersembunyi dalam suatu teks filsafat atau sastra: bildung (pandangan keruhanian yang membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya pandangan hidup, way of life, sistem nilai weltanschauung), sensus communis (pertimbangan praktis, yang dalam sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan dengan mempertimbangkan perasaan komunitas di mana pengarang hidup), judgment (pertimbangan, berhubungan dengan apa yang harus disampaikan dan diajarkan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan baik buruknya), taste (selera, cara-cara menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera masyarakat sezaman).

Sampai di sini, barangkali bisa dimulai dengan pertanyaan kecil pada diri sendiri. Semisal, mengapa menulis sebagian besar karya sastra justru pada saat kehilangan pekerjaan? Tentu saja sulit dicari persis jawabannya. Barangkali hanya bisa merasakan dampaknya. Inilah kiranya persoalan pribadi pengarang, yang di luar dugaan, telah banyak menlahirkan karya-karya yang kemudian bukan lagi menjadi persoalan pribadi saja. Pendeknya telah berkembang jauh menjadi problem keilmuan dalam hal ini sastra.

Kurang lebih apa yang dirasakan kemudian, pengarang memilih dirinya sebagai kepanjangan tangan “kecintaan” pada diri sendiri. Tidak sulit baginya untuk menulis sejumlah kisah sepanjang menyakini diri telah mengetahui kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya, misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu teror-teror yang menghantuinya semisal salah satunya soal pekerjaan itu tadi.

Selebihnya, proses kreatif kepengarangan terdesak oleh usaha selama bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Semisal sekurang-kurangnya lima tahun berkecimpung di dunia jurnalistik. Atau sekitar tujuh tahun mendalami sastra di universitas. Sebab itu kepengarangan tentu saja tak luput dari pengalaman hidupnya.

Seperti ungkapan tadi, bahwa “cinta” pada diri sanggup menggerakkan kepengarangan hingga detik ini. Semisal dengan kesanggupan menulis dan mengumpulkan cerita-cerita dalam satu buku agar bisa meluaskan pandangan keilmuan ke khalayak lebih luas.
Sudah barangtentu, cinta yang dimaksud tanpa bermaksud mengurangi tabiatnya, meski telanjur diadopsi sebagai anak pungut yang sayang sekali sering diberi beban makna yang sangat klise. Suatu hal yang mustahil dilakukan seorang ilmuwan dan manusia yang mengerti akan kodratnya selaku individu yang kreatif.

Menulis sastra adalah suatu upaya menjaga diri, memahami diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan. Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata. Mungkin semacam molekul, partikel, atau gelombang abstrak yang bertukar tempat, silih berganti wujud, tarik-menarik tanpa henti.

Saat itulah tak sulit untuk merondai pikiran dengan menempatkan dirinya pada tirai puisi. Tidak terlalu susah membiarkan otaknya memutar balik pandangan tentang pikiran dalam semesta. Semesta telah dirangkumnya dalam satu gerak pikiran besar. Tidak bersusah payah berkat kata dalam puisi, yang menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata. Ya, ia membabtiskan kata itu seperti manusia juga. Seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji. Juga janji sebagai pengarang memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia. Begitu sebaliknya akan menghormati manusia seperti halnya angkat topi terhadap kata.

Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur. Pendek kata sebagai pribadi, sebagai pengarang, sebagai ilmuwan dan sebagai manusia, setiap mereka berjanji akan menemukan dan melahirkan kebersihan dan kejujuran kata dalam kepengarangannya kelak. Kata sendiri belum pernah diperlakukan semulia roh dasarnya.

Jadi satu-satunya amanah pengarang itu terletak pada kemuliaan dan kewajibannya untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi Tuhan meniupkan ruh hidup manusia di semesta ini. Seperti laiknya partikel, dan gelombang abstrak lainnya semacam kabut tipis di selaput jagad. Maafkan, bukan maksudnya ini menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia, partikel, atau gelombang abstrak. Melainkan karena tidak ada Bahasa yang paling mendekati artinya kecuali demikian.

Di sinilah lantas pengarang prosa mendapatkan bentuknya ke dalam “kisah” yang rasa katanya berbeda (apalagi) dengan “cerita pendek.” Cerita pendek kurang kesanggupannya memboyong segala kemungkinan kata karena tabiat kata yang sudah ditentukan padanya—kurang ajar, purba, tidak saja seperti anak yang lahir yatim piatu tanpa bapak dan ibu, tetapi juga sombong dan tak mengakui manusia. Ia hanya tahu manusia, pengarang, penyair itu ada. Tapi dia hidup di dunianya sendiri yang sama sekali asing dan barangkali punya kitab sendiri, nabi-nabi sendiri. Nenek moyang cerita pendek telanjur menangkap mereka dan memeliharanya dalam satu kandang peternakan. Mengurung mereka, membebani, mencuci otaknya dan kemudian menggiringnya satu-satu menuju pembantaian sebelum akhirnya dijadikan santapan lezat empat sehat lima sempurna oleh manusia. Sebab itu, sebagai bagian dari dirinya sendiri, “kisah” lebih mendekati takdirnya kendati dia sendiri masih diberi pilihan untuk menentukan dirinya sendiri. Dia bisa hidup serumpun dengan dongeng, serumah dengan hikayat. Atau bisa jadi mengajaknya kucing-kucingan dengan mencari resep-resep keagungannya.

Sebagaimana keduanya bisa menakjubkan makhluk manusia. Kisah menjadi dunia yang amat cerdas, liar, kreatif tapi di lain waktu bisa kolot, malas atau sumeleh sebagai bentuknya. Inilah takdir yang telah dilunasi setidaknya hingga saat ini. Ia seperti manusia juga, yang tak sanggup mengajar kesempurnaan kendati Tuhan telah menciptakannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Secara fisik ia bisa cacat bisa pula sehat jasmani, ciri ataukah berbadan perkasa. Bukankah lebih terhormat, lebih mulia, lebih arif bila kita memanusiakan mereka seperti kenyataan sesungguhnya? Manusia utuh sebagaimana wakil pencipta di bumi ini?

Sastra adalah sastra. Apabila kita terkurung pada penilaian wadag-nya, tentu kita jatuh sebagai pembaca yang memandang sebelah mata dan cenderung sebagai sosok bertabiat keji yang menganiaya sastra. Kisah-kisah bisa lahir dalam bentuknya serupa puisi bukan karena berpura-pura meminjam tabiat puisi. Atau persis sketsa karena garis-garis fisualnya dia curi dari seorang perupa. Bilapun mirip nukilan karya drama tak lantas berperan jadi karakter lain, wujud lain. Bukan. Jika pun terjadi, apologi semacam itu semua justru melepaskannya dari ruh sastra sebagaimana galibnya yang musti percaya diri, “kreatif,” berani, bebas, sadar diri tengah menarikan tarian semesta di lautan kata. Entah itu ia dalam keadaanya yang terkendali atau sedang dikendalikan oleh suatu kekuatan yang di luar dirinya, tapi ia yakini sebagai imamnya, penciptanya. Kadang-kadang ruh sastra itu tak peduli benar dirinya bermakna atau tidak. Tapi pertanyaan itu tak pernah diajukan padanya yang telah tahu tujuan hidupnya. Kedengarannya hanya serentetan bunyi. Kelihatannya cuma bayang-bayang.

Kesannya seperti tanpa pesan. Sebaliknya bukan mustahil di belakang itu malah tersimpan pikiran besar, arti yang gemilang dalam perjalanan hidupnya. Spirit hidup yang luar biasa di tengah lautan kata meskipun dalam kenyataannya di negeri ini dalam penggunaannya, kata-kata demikian keruhnya, tidak orisinil, kerdil dan kosong. Kendati entah di kedalaman lautan kata atau di pinggiran pesisir pantai perawan, saat ini terus diuji oleh sastrawan-sastrawan dengan jiwa besar.

Kebesaran jiwa sastrawan-sastrawan, pengarang-pengarang, seakan mutlak diperlukan dan terus diupayakan mendekati pemaknaannya, yang kurang lebih serupa takdirnya, nasibnya, spirit hidupnya, kegelisahannya: serupa dengan kata. Sebagai pengarang tentu ia harus sadar berada di sepanjang ruang dan waktu. Sebagai pengarang tentu tidak akan mencari jawab apalagi untuk menemukannya. Karena naluri kepengarangan mengungkapkan hal itu akan sia-sia. Pengarang hanyalah diberi hak untuk mengajukan pertanyaan, bujuk rayu, kebijakan filosofis, dalam bentuk seindah mungkin, sedahsyat mungkin agar seolah kelak mendapat jawaban pasti atas segala tanya dan mengakhiri kegelisahannya.

Mengarang lebih tepatnya adalah usaha menipu diri sendiri. Sampai di sini pengarang penting untuk percaya berkat pengorbanan—yang meski tak istimewa tapi perlu dengan jiwa besar seperti itu,—sanggup mempertahan diri, menahan diri dengan puasa agar senantiasa melakoni sebagai manusia yang kreatif semestinya atas nama Sang Pencipta. Pengarang perlu menipu diri untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan selanjutnya, kebingungan berikutnya. Kedengarannya memang naïf, dan gila. Pengarang harus gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang (apalagi kata). Dengan demikian segala kemungkinan bisa terjadi sekalipun ini paling tidak mungkin. Menjadi makhluk yang karena keterbatasannya sanggup menjangkau ketakterbatasannya. Menjadi sesuatu yang biasa demi menuju yang luar biasa. Berada di suatu peristiwa kecil tapi menjadi dahsyatnya. Sesuatu yang seringkali sia-sia, tak tersentuh tetapi sesungguhnya betapa luas maknanya. Atau sesuatu peristiwa besar yang semula percuma, kemudian disederhanakan agar selanjutnya enak dibaca dan perlu.

Pada Tanha, melalui monolog dengan sudut pandang “engkau,” menegasakan sesuatu pesan puncak pada tokoh Maya Durghata Karini: “Engkau janganlah ragu menjadi sumber inspirasi berkat kemurnian jiwa dari pertapaanmu, kesunyianmu, kesenderianmu. Perlihatkanlah, pertontonkan dan tunjukkan kini sebagai suatu pengetahuan mutakhir wahai sang psikopat, sang penyair dan sang pemabuk. Ah, ya Tuhan, rupanya engkau kini telah sampai pada puncak keilmuanmu, atau lebih tepatnya ilmu jiwa paling mutakhir zaman ini. Engkau kiranya telah meletakkan pencapaianmu secara konseptual dari ketiga alam cita sang psikopat, sang penyair, dan sang pemabuk. Juru tafsirmu tidaklah sulit untuk merangkai teori sembari melampaui segala referensi dalam satu simpul, tanpa harus takjub pada sihir kitab-kitab pendahulumu. Tiga pilar ilmu jiwa yang dibangun di atas reruntuhan gedung tua laboratorium manusia, dengan imajinasi yang kaya dari simbol, metafora, kata-kata puisi, serta ekstase alam cita bawah sadar sebagai spirit keilmuannya. Itu semua dikerjakan juru tafsir dalam suasana sunyi, sepi, kesendirian seorang pertapa yang hening. Tahap mitis, ketika sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasan dewa-dewa alam atau kekuatan kesuburan, yang dipentaskan dalam mitologi-mitologi bangasa-bangsa primitif.”

Mungkin ada benarnya, pernyataan van Peursen terkait tokoh-tokoh novel Tanha ini telah sampai (atau masih berkutat) sebagai alam pikiran berbakat, dalam arti primitif. Meskipun dia sendiri tak sepenuhnya setuju dengan kata primitif. Yang kurang menarik adalah, pada akhirnya Peursen melihat mitos dari sisi logika alias mitologi. Hal yang tidak berbeda jauh sebagai prespektif atau pemetaan mitos dari Levi Strauss. Bahwa mite adalah cerita, mite adalah anekdot. Yaitu berdasarkan struktur-struktur kebahasaan yang bisa diulang-ulang. Kata kuncinya primitif—bagi mahkluk primitif semua pengalaman adalah gaib. Yang disebut belakangan ini adalah pondasi dari akar kesadaran makluk tinggal di semesta ini untuk sejenak tinggal dalam ruang waktu tertentu melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Johan Huizinga, homo ludens, makluk bermain pada tubuh binatang dan manusia yang dalam masa kini cukup terwakili pada diri anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa. Yaitu, bermain dalam suasana keseriusan yang menghibur, ada tegangan-tegangan tubuh dan jiwa yang keluar dari stereotif keseharian, dan bahkan keluar dari stereotif nalar manusia.

Seperti inilah, kritik pada spirit Cerita Panji itu. Yakni ada pada ruh sastranya untuk menjadi tradisi baru: Menyusupkan semacam moralitas dalam tafsir ulangnya, memperkaya ruang bermainnya dalam kemungkinan menyusun “metarealitas” menjadi budaya, dan tentu saja usaha-usaha untuk senantiasa menjadi pembaharu berwatak kebaruan. Sudah barang tentu berpijak pada kontek masyarakat dengan tema kemiskinan, penderitaan, keterasingan. Inilah pilihan cerita yang memantik spirit untuk senantiasa melibatkan diri dalam ketegangan antara imanensi dan transendensi.

Sebagaimana kata Iqbal, sifat pengetahuan manusia ialah konseptual, dan dengan bersenjatakan pengetahuan konseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek Kebenaran yang dapat diselidiki. Apa yang terungkap dalam dunia sastra lebih sebagai masalah psikologi saja ketika mengurai seratserat perasaan, penginderaan dan bukan dalam rangka proyek pemindahan isi pengalaman religius yang mempribadi. Andai dalam jagad teater, “bermain” berarti menjajagi segala kemungkinan estetik dan artistik dalam teater, terbuka terhadap segala ruang bagi paradigma-paradigma paling mutakhir, konsepsi-konsepsi paling avant-garde, wilayah-wilayah garapan paling actual, juga bentuk-bentuk paling tidak mungkin. Asalkan, persyaratan kebebasan, bukan kehidupan biasa, dan tertutup sejak mula hingga berakhirnya, tak bisa ditawar.

Suasana penuh keriangan, sonder peduli apakah sifatnya sakral atau hiburan meski tetap disertai semangat luhur. Bermain sungguh perlu banyak eksperimentasi. Sudah barangtentu dengan mempertimbangkan banyak pola bermain. Pelbagai bentuk yang ditawarkan dengan terbuka banyak kemungkinan atas dasar karakteristik bermain: Tidak percaya sepenuhnya pada logika kata dan bahasa dengan menggugat; menyoal bahkan menjungkirbalikkan semisal pada aspek-aspek dramaturgi tragic comedy; lalu, serentetan kata dalam kalimat hanyalah pelor yang ditembakkan beruntun, tanpa makna tapi teror dari bunyinyalah yang mengejutkan; Juga memperlakukan kata bukanlah pada maknanya, tapi pada kehadirannya yang sedang show of force bermain drama alias acting saja—separti halnya aktor yang hadir di ruang waktu peristiwa drama. Bahkan mungkin juga mereka hanyalah sederetan huruf-huruf yang sabar menunggu untuk dihidupkan saja dari kehendak teater bermain ini.

Pendeknya ini adalah upaya seperti sebagian besar makluk bermain yang telah sadar butuh tenaga gaib demi untuk tujuan mengampu pada kekuasaaan yang lebih tinggi. Inilah teater, sastra, dongeng dalam dalam tradisi barunya, spirit barunya.[]

2008.

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).

Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.

Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.

Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.

Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.

Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.

Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.

Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.

Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.

Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.

Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.

Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Kamis, 18 Maret 2010

Tionghoa dan Subversi Sastra Melayu-Rendah

Rukardi
http://suaramerdeka.com/

SASTRA Melayu-Rendah yang juga disebut sastra Melayu-Tionghoa, Melayu-China, Melayu-Pasar, atau Melayu-Lingua Franca, pernah hidup di bumi Nusantara. Meski usianya tak terlampau lama, sejak medio abad ke-19 hingga tahun 1960-an, telah mencatatkan peran penting dalam sejarah literasi di Indonesia.

Memeringati 80 tahun Sumpah Pemuda, Fakultas Sastra Undip bersama Masyarakat Tjerita Silat menggelar bedah buku, sarasehan, dan diskusi yang mengangkat tema di seputar bahasa dan sastra Melayu-Rendah.

Acara yang berlangsung selama empat hari (25-28/10) itu, menghadirkan sejumlah pakar, akademisi, dan pemerhati sastra Melayu-Rendah, antara lain Jacob Sumardjo, Ajip Rosidi, Hendarto Supatra, Dwi Susanto, IM Hendrarti, Sutrisno Murtiyoso, Herudjati Purwoko, dan Stefanus. Mereka mengupas sastra Melayu-Rendah dari pelbagai sudut pandang.

Sebagai istilah, sastra Melayu-Rendah bermuatan politis. Ia dimunculkan oleh Balai Poestaka selaku pemegang otoritas kebahasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Lembaga yang didirikan pada 27 September 1917 itu, menganggap semua produk kesusastraan yang tak menggunakan varian linguistik Melayu-Riau sebagai tidak standar, rendah, cabul, dan liar.

IM Hendrarti menengarai, pemberian stigma buruk terhadap sastra Melayu-Rendah terkait dengan politik pembatasan penyebaran informasi yang dapat membahayakan stabilitas pemerintah kolonial. Pasalnya, Melayu-Rendah dianggap sebagai ragam bahasa yang biasa dipakai untuk kepentingan-kepentingan subversif, terutama oleh para jurnalis di era pergerakan.

Sastra Melayu-Rendah paling banyak dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim dan berdomisili di Jawa. Mereka yang tak lagi menguasai bahasa leluhur menggunakan bahasa Melayu-Rendah sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis.

Didukung Pers

Karya sastra Melayu-Rendah (Tionghoa), kata Jakob Sumardjo, lebih banyak muncul dan berkembang di daerah pesisir, laiknya Jakarta (termasuk Bogor dan Sukabumi), Surabaya, Semarang, Gresik, Tuban, Tegal, Pasuruan, Pekalongan, dan Indramayu. Ada juga di kota-kota pedalaman seperti Bandung, Malang, dan Solo, namun intensitasnya relatif lebih kecil.

Jika dirunut, warga Tionghoa yang tinggal di kota-kota pesisir didominasi keturunan Hokkian dan kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Namun, apakah mereka eksponen sastra Melayu-Rendah? Jakob tak berani memastikan.

Ada bermacam produk kesusastraan Melayu-Rendah, antara lain novel, drama, buku syair, dan cerita terjemahan. Mengutip Claudine Salmon, Jakob mengungkapkan, sampai tahun 1960-an, terdapat 3.005 judul karya sastra Melayu-Rendah dengan jumlah penulis 806 orang. Sebanyak 248 karya lainnya anonim.

Dari jumlah tersebut, 1.654 terdiri atas novel yang berkisah tentang masyarakat Tionghoa serta relasi dengan masyarakat Indonesia dan Belanda.
Sebagian besar karya terjemahan berasal dari cerita klasik China, sisanya karya sastra Eropa.

Kata Jakob, hal itu menunjukkan kebutuhan utama pembaca karya sastra Melayu-Rendah (Tionghoa) adalah nilai-nilai budaya luhur mereka. Karya sastra Eropa ditulis, karena masyarakat Tionghoa di Indonesia — yang sudah tak menguasai bahasa China— membutuhkan karya sastra yang penting dalam pembentukan peradaban China.

Perkembangan sastra Melayu-Rendah didukung oleh maraknya industri penerbitan pers partikelir. Penggunaan Melayu-Rendah sebagai bahasa pergaulan sehari-hari membuat media massa, terutama koran dan majalah, menaruh minat terhadap bahasa itu.

Bagi penerbit partikelir, pemakaian bahasa Melayu-Rendah menjanjikan keuntungan finansial lebih besar. Terbukti, koran atau majalah berbahasa Melayu-Rendah dapat hidup dengan oplah lumayan untuk ukuran saat itu. Pembaca mereka tak terbatas pada warga keturunan Tionghoa saja, melainkan juga etnis lain.

Sastra Diaspora

Dwi Susanto melihat sastra Melayu-Rendah, khususnya Tionghoa (tusheng huaren wenxue) sebagai satu varian sastra diaspora. Ia punya karakter khas yang mencuat melalui sifat identitas, orientasi diri, jati diri, dan strategi dalam menyiasati hidup di perantauan.

Cerita silat misalnya, merupakan obat kerinduan dan salah satu cara untuk mewujudkan impian tersebut. Selain menceritakan komunitas orang-orang Tionghoa sendiri, sastra jenis ini berkisah tentang hubungan antarras, relasi etnisitas, dan relasi gender antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan lokal, yang salah satu wujudnya adalah kawin campur dan sistem pernyaian.

Penilaian berbeda datang dari Ajip Rosidi. Menurutnya, karya sastra Melayu-Rendah (dia lebih suka menyebut sastra Melayu-Pasar) tak punya kualitas yang baik. Karya-karya di ranah tersebut lebih berfungsi sebagai hiburan belaka.

Dia mencoba membuktikan tesisnya dengan membedah Drama dari Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay— yang bersama Boenga Roos dari Tjikembang dan Drama dari Merapi tulisan Liang Liji disebut-sebut sebagai puncak pencapaian sastra Melayu-Rendah.

Menurut Ajip, Drama dari Boven Digoel tak beda dengan roman-roman Melayu-Rendah lain, yakni jalan ceritanya dibuat-buat, meski kompleks, tidak meyakinkan secara psikologis maupun sosial. Meski berseting pemberontakan komunis 1926, roman tersebut tak menggambarkan kondisi sosial masyarakat secara baik.

“Nama-nama tokoh yang digunakan saja menimbulkan tanda tanya, karena tak pernah terdengar sebagai nama orang Indonesia, seperti Bukarin dan Radeko. Tokoh-tokoh Raden Mustari, Nurani, dan Subaidah niscaya beragama Islam, tapi tak tergambar sedikit pun mereka tahu agamanya.”

Namun, terlepas dari kelemahannya, sastra Melayu-Rendah, ungkap Herudjati Purwoko, telah memberi manfaat besar bagi kemajuan literasi di Indonesia. Meski akibat kebijakan politik kolonial lewat Balai Poestaka dan prasangka politik pada era berikutnya, jejak-jejak sastra Melayu-Rendah telah diabaikan oleh banyak pengamat.

Kalau kebijakan politik itu dianggap benar, bahasa Melayu-Tinggi atau bahasa Indonesia (dan sastra Indonesia modern) saat ini seolah terbentuk, atau meminjam istilah CW Watson, arose ex-nihilo (muncul dari ruang hampa).

Dari kacamata sosiolinguistik, argumen semacam itu tak masuk akal. Pasalnya, tidak ada satu pun bahasa alamiah di dunia ini yang bersifat a-historis, tidak terkecuali bahasa Indonesia modern.

LORONG GELAP YANG MENGASYIKKAN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Hamparan semangat menggelegak. Manakala ia tak dapat ditahan dan pecah, seketika itu pula ekspresinya muncrat berhamburan, bercipratan, menerabas apa pun. Lalu hinggap di berbagai tempat yang dijawilnya sesuka hati. Mungkin sama sekali ia tak bermaksud melakukan tegur-sapa, say hello, atau bahkan juga gugatan. Ia sekadar hendak merepresentasikan gumpalan kegelisahan yang lama bersemayam dan mengeram dalam kerajaan gagasannya. Boleh jadi ia lahir atas kesadaran, bahwa gagasan yang sekian lama dipenjara, bakal berakibat buruk pada denyar pikiran dan denyut batinnya. Mungkin juga ada kesadaran lain, bahwa tuhan tidak melarang makhluknya berkisah tentang apa pun. Bukankah tidak ada undang-undangnya yang menyatakan bahwa tuhan kelak akan menghukum manusia yang mengumbar imajinasinya bergentayangan ke berbagai wilayah imajinasi yang lain? Bahkan, sebaliknya, tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain, justru lantaran faktor imajinasi itu.

Dalam konteks itu, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat seperti merepresentasikan kesadarannya tentang wilayah imajinasi. Cermati saja segenap larik yang dibangunnya dalam antologi puisinya ini. Ia begitu deras menghamburkan gelegak semangatnya. Ia laksana sengaja menikmati betul kebebasannya berekspresi. Maka, yang dapat kita tangkap dari larik-larik puisinya itu adalah kebebasan menguak serangkaian perkara (: tema) sesuka—semau nalarnya mengatakan itu. Ia bagai tak peduli konvensi. Yang dilakukannya adalah pembebasan imajinasi dari kerangkeng yang dianggapnya membelenggu. Maka, berhamburanlah model reduplikasi yang terasa lebih segar. Selain itu, muncul keriuhan atas sejumlah gagasan yang melompat-lompat, nemplok di sana-sini, dan bergentayangan ke belahan dunia lain yang tak terbayangkan. Itulah gerakan pembebasan imajinatif, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi yang sudah punya sejarahnya sendiri yang begitu panjang dan melelahkan.
***

Masih ingatkah Socrates yang memilih minum racun ketimbang mengkhianati keyakinannya berekspresi? Plato, Aristoteles dan sederet panjang pemikir masa lalu adalah manusia yang telah menyemarakkan sejarah panjang kebebasan berpikir, berekspresi, berimajinasi. Dari sanalah kebudayaan dan peradaban manusia menggelinding deras tak terbendung. Ingat pula Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup lantaran perjuangannya mengusung kebebasan berpikir. Galileo Galelei, Rene Descartes, Copernicus, dan sejumlah nama lain dalam deretan pemikir Barat adalah tokoh-tokoh yang bergerak dalam perjuangan pemikiran. Dari sanalah kemudian ilmu pengetahuan berkembang semarak hingga manusia mempunyai kemampuan mengejawantahkan jati dirinya secara paripurna. Hingga kini nama-nama itu terus bergentayangan, meskipun sejumlah tokoh lain, macam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, hingga para penganjur postmodernisme –poststrukturalisme— telah bertengger kokoh menggantikannya.

Dalam dunia Timur, deretan nama-nama itu tidak kalah panjangnya. Ibn Thufail, Ibn Arabi, Ibn Sina, Al-Hallaj, Al Ghazali, Muhammad Iqbal sampai ke belahan bumi kita –Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar— adalah tokoh-tokoh yang langsung atau tidak, telah ikut mengubah dan menanamkan tonggak pemikirannya dalam kebudayaan—peradaban dan kesusastraan Indonesia. Jadi, keliaran dan kehendak mengusung kebebasan kreasi sungguh bukan hal yang baru. Persoalannya tinggal, apakah ia hendak menghancurkan paradigma lama –menurut gagasan Thomas Khun—dan memancangkan paradigma baru atau sekadar melakukan pemberontakan.

Dalam dunia sastra, siklus empiris atau lingkaran paradigma itu dihembuskan dalam konsep ketegangan antara konvensi dan inovasi. Tarik-menarik antara konvensi dan inovasi sesungguhnya bersumber pada kehendak mengekspresikan kebebasan kreasi, melakukan eksplorasi kreatif, dan mengeksploitasi berbagai kemungkinan estetik. Dalam hal ini, licentia poetica didasarkan pada semangat menawarkan bentuk baru, kreativitas baru, dan memojokkan konvensi sebelumnya menjadi sesuatu yang dipandang sudah out of date, usang, kadaluwarsa. Maka, yang muncul kemudian adalah kebaruan yang dalam karya sastra (teks) diselusupkan pada sejumlah unsur intrinsiknya, meski dengan tidak menutup rapat-rapat pada aspek ekstrinsikalitasnya. Itulah dunia sastra, sebuah dunia yang di sana berbagai macam peristiwa kreatif dihadirkan dengan kesadaran estetik yang erat kaitannya dengan kegelisahan kultural.

Dalam peta perjalanan kepenyairan Indonesia, deretan nama penyair garda depan, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna dan nama-nama lain yang bertaburan dalam peta perpuisian Indonesia, pada hakikatnya juga bergulat dalam tarik-menarik antara konvensi dan inovasi.

Meski begitu, kita juga tidak menutup mata pada bermunculannya para penyair kontemporer kita yang juga mencoba melakukan pembelotan, pemberontakan atas nama inovasi, atas nama kreativitas, atas nama pembaruan. Kadangkala, ia mengusung semangat sekadar beda dan eksperimental. Tidak apa-apa. Tokh, tuhan pun tidak melarang umat manusia melakukan itu. Jadi, sah-sah saja jika kemudian muncul penyair Indonesia yang juga hendak melakukan gerakan kebebasan kreatif. Boleh jadi, ia tidak puas atas model-model estetika sebelumnya. Boleh jadi juga ia punya kesadaran estetik melakukan gugatan. Sangat mungkin pula ia mengusung semangat sekadar beda, seperti halnya juga kemungkinan ia tidak dapat menahan gelegak gagasannya yang bertumpuk-tumpuk.

Dengan kesadaran dan pemahaman itu, maka jika kini kita menghadapi antologi puisi Nurel Javissyarqi yang mengesankan muncratnya berbagai gagasan, berhamburannya ide-ide liar, dan rumitnya kita menemukan bentuk konvensional aturan berbahasa yang lazim, segalanya dibolehkan dan sah. Ia tidak melanggar hukum tuhan. Ia sekadar memberontak pada konvensi puitik, pada ekspresi berbahasa yang dalam sejarahnya memang senantiasa diserang pemberontakan. Lalu, bagaimana hasilnya? Bagaimana Nurel menggerakkan kreativitasnya.
***

Sebagai sebuah puisi yang sarat gagasan dan liar imajinasinya, kita memang seperti berhadapan dengan lorong panjang yang di sana bertebaran pula lorong lainnya yang bercabang-cabang. Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporadaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk. Yang juga menarik dilakukan Nurel adalah penciptaan bentuk-bentuk reduplikasi yang terasa segar, meski juga bukan hal yang baru. Sebutlah kata wewangi, pepintu, wewaktu, pepohon, bebayang, gegunung dan seterusnya untuk menunjukkan bentuk jamak sejumlah kata-kata itu.

Pencarian makna memang kadangkala menghadapi kegagalan. Tetapi, justru di situlah tantangannya. Ada semacam teror, tetapi tidak sampai pada tingkatan menciptakan huru-hara dalam pikiran kita. Bahkan, dalam beberapa hal, kita masih dapat menangkap model Khahlil Gibran atau Muhammad Iqbal. Periksa misalnya, beberapa larik berikut ini ketika Nurel berbicara tentang dunia perempuan:

Perempuan itu kembang di petamanan mimpi
…. (I: X).
dikaulah perempuan dari kerajaan-kerajaan misteri
(I: XIX).

Bukankah style itu mengingatkan kita pada model refleksi Khahlil Gibran? Dalam beberapa hal, kesan itu kadangkala menyentuh rasa estetik kita (aesthetic contaxt). Dan selepas itu, kita tiba-tiba saja disergap gagasan lainnya yang liar, tak terkendali, sehingga cenderung terasa menjadi teror. Perhatikan lagi larik berikut yang menggambarkan keindahan wajah perempuan:

Alis kerudung kedua bagimu, bilamana alis dicukur habis
hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
sementara lampu-lampu kota hanyalah hiasan (I: XXXVII).

Dua larik pertama menunjukkan, betapa alis bagi wanita adalah asesoris penting yang menjadi bagian dari keindahan, bahkan juga sensualitas perempuan. Tetapi, bagaimana hubungannya dengan lampu-lampu kota yang ditempatkannya sebagai hiasan? Di sinilah, cantelan sensualitas perempuan –alis lentik yang bagai bulan sabit itu— tiba-tiba diteror lampu-lampu kota. Bagaimana hubungannya, asosiasinya, dan cantelan imajinasinya? Itulah teror yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk menghancurkan imaji itu sendiri.

Dalam kasus lain, Nurel bertindak bagai sosok pertapa yang dalam hal tertentu, terkadang menyulap dirinya menjadi sosok Sisifus. Ia sekadar berkehendak, berbuat, dan bergerak membawa imajinasinya yang liar ke dalam lorong-lorong. Periksa lagi larik berikut ini:

Marilah hadir bersama keindahan, bimbing kesadaran alam terdalam
sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Saya membayangkan sosok Iqbal atau Gibran menyampaikan fatwanya tentang keindahan, tentang alam yang memercikkan keindahan (tuhan). Lalu, mengapa pula orang yang memperoleh hikmah, dianggap sia-sia. Lalu apa pula maknanya dengan malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga? Boleh jadi, doktrin, ajaran, atau hikmah, cukup sebagai pemberi cahaya pada hati, dan tidak perlu membuat seseorang jadi takabur, lupa diri. Apakah nur ilahi atau percik cahaya tuhan itu sebagai representasi dari hikmah, dari sebuah ajaran yang memberi pencerahan?

Model-model berfatwa itu, di sana-sini memang tampaknya sengaja dihadirkan sebagai pengejawantahan sosok aku liris yang memposisikan dirinya sebagai resi atau pertapa yang berkhotbah dari atas gunung. Sejumlah fatwanya terasa asyik, meskipun tidak jarang membawa kita pada lorong gelap atau gagasan yang berkeliaran di tengah hutan belantara.

Kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya kepada kalian/ Sebuah fatwa yang mengingatkan saya pada ajaran Konfusianisme. Tetapi apa yang terjadi pada larik berikutnya: kumpulan tersebut terselimuti kegelapan terjaga (IV: XCVIII) // Dalam konteks itu, tampak, ada semangat membangun paradoks. Lalu, apa maknanya fatwa itu jika kehendak memberi pencerahan, memasuki selimut kegelapan?
***

Secara keseluruhan, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat mengusung banyak hal, menyodorkan berbagai pemikiran filsolofis dan menyerap pengaruh dari begitu banyak filsuf. Tetapi, mengingat begitu saratnya gagasan menggayuti isi kepalanya, ia seperti ingin segera melakukan pembebasan. Ia hendak memuncratkan semuanya dalam sebuah tarikan nafas. Itulah problemnya. Sebuah hasrat membuncah, mengeram sekian lama, tiba-tiba membobol tanggul penghalangnya, maka muncratlah hasrat itu menerabasi apa pun, menggilas-melindas segala yang berada di hadapannya. Dengan begitu, kesan yang seketika muncul adalah serangkaian keasyikmasyukan, keterlenaan, dan ekstase yang memabukkan dirinya sendiri. Maka, gagasan-gagasan yang terlontar adalah suara pemikirannya sendiri yang seperti peluru mitraliur yang justru dapat mencederai banyak pesan yang hendak ditawarkannya.

Antologi Kitab Para Malaikat ini disusun ke dalam dua puluh bagian (ditambah Muqaddimah). Bagian terakhir seperti mewartakan serangkaian kesaksian atas berbagai pengalaman yang diperlakukannya sebagai pengayaan batin dan pemikiran sosok seorang Nurel Javissyarqi. Ia menikmati kegelandangannya sebagai perburuan gagasan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Nurel seperti tak kuasa menahan beban gagasannya sendiri yang bertumpuk-tumpuk.

Terlepas dari berbagai persoalan itu, saya menikmati antologi puisi ini sebagai sosok pengelana yang tersesat di belantara rimba raya. Ada hasrat untuk segera keluar dari ketersesatan itu, tetapi tokh asyik juga menikmati ketersesatannya. Seperti sosok Sisifus. Nikmati sajalah, maka kelak kita akan sampai juga di jalan yang benar!

Bojonggede, 30 April 2006.

MENYUSURI SERAT KALA TIDA MELALUI PUISI ATHAN

Nurel Javissyarqi
http://www.sastra-indonesia.com/

Dapat dikatakan hampir seluruh diriku, memulai mengeluarkan tulisan dari tubuh dengan sugesti. Di sinilah sebuah cara memunculkan nilai puitik yang bergelayutan dengan ringan. Kala melangkahkan segala kenangan, ingatan pun gejolak jiwa terus menggemuruh berharap dihaturkan melalui kalimah-kalimah. Pada lain tempat aku pernah mengatakan, sugesti suci ialah cinta.

Seolah kata-kataku, anak yang kulayarkan ingin selalu dimanja, apalagi saat perbaikan atau revisi. Berbondong dengan wajah riang memohon dimandikan dengan air kembang pengertian dalam bau-bauan harum wewarna di ruangan.

Di antara kata-kata bergandengan erat, kadang menjelma sepasukan tentara siap melabrak faham yang menghalangi. Segelombang laut berkelembutan hanyutkan pelena. Pun sesosok hantu hingga diriku ketakutan menyentuhnya, merinding bulu-bulu juga mengajak menangis dalam diam. Pula bermusuhan dengan kata-kata sendiri, seakan pesaing yang sulit ditundukkan.

Sebelum jauh kuucapkan terimaksih bung Athan, yang merelakan puisi indahnya kudedah dengan ngelanturing pesti, pestineng ngerti, titineng mongso. Ketika akan kusentuh puisi itu, kuambil buku sekenanya. Itulah cara jemariku berbicara, tanpa hasrat lebih dari dalam.

Terambillah Kitab Injil Barnabas untuk membongkar puisinya, tentu mencari kesesuai soal kematian. Namun saat membaca baru halaman pengantar berisi kesaksian, diriku tertidur lelap. Seakan Barnabas di sisiku dan kala terjaga berkata ia; kau sudah faham?

Lalu aku berfikir; bagaimana faham, membaca saja belum. Kitab itu masih di sampingku, diriku terus merasai ucapan Barnabas. Sampailah ke titik temu yang diterangkannya tidur itu saudara kematian. Ini sudah lumpah dalam filosofis Timur sampai merambahi dunia Barat. Lantas kita mengenali, ternyata Timur dan Barat dapat bersatu dalam kalimah hikmah.

Terjemahan Injil Barnabas kubeli ditahun-tahun lalu, kalau tak keliru aku pun terhanyut membacanya. Kitab-kitab Suci memang indah kalimahnya, disamping dalam maknanya. Tetapi bagiku yang menceritakan keadaan surga lebih mempesona, saat membaca Kitab Bhagawadgita, dimana angin pun berwarna.

Kitab Barnabas kubeli di kota Babat, termasuk wilayah kabupaten Lamongan. Kota tua yang mengedarkan buku-buku klasik, tiada di toko-toko umum, penyebarannya juga terbatas, pun dimasuki buku-buku dari kota. Terbitan buku-buku dari Mesir pula masuk ke sana, melewati lorong aneh bagi tidak faham jalurnya.

Semacam lorong rahasia melalui para kulir, seolah menebarkan misi tertentu. Itu bagi buku-buku khusus yang hanya pemesan dan penjual yang tahu. Dan jangan harap orang asing dapat buku langkah. Maka setiap kali aku membaca buku dari pembelian di kota Babat, diriku berusaha obyektif tidak terprofokasi kalimahnya.

Bagi pembaca sastra tidak fanatik, tentu sampai keliaran menerkan yang kujabarkan, setidaknya begitulah caraku membaca peristiwa di buku-buku. Memasuki kota-kota rahasia yang setiap gangnya menyimpan cerita, demikian juga menyimak puisi; penggalan kata menyerupai jalan pertigaan, perempatan dan jalan buntu. Kini marilah melihat puisi Athan:

MENGENANG MATI
Athan Wira Bangsa

disini.
ruang hampa
sebuah almanak usang didinding
terpajang sudah dua puluh enam ribu dua ratus delapan puluh jam
masih tetap seperti itu tak beranjak dari tempatnya
kutandai beberapa angka
hitam putih
untuk mengenang awal kematian ku.

Membaca puisi Athan di atas, ada tarikan nafas besar yang purna keluarnya. Ruh membuncah, hingga keringat tak terasa menetes menyempurnakan makna yang terbaca. Ada ruapan halus bersinambung meremajakan tubuh dalam sekali nafas.

Dan marilah menyimak Kala Tida (Sinom) karangan R. Ng. Ronggowarsito, di akhir seratnya menuturkan:

XII.
Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruhara, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badaring sapu denda, Antuk mayar sawetawis, Barong angga sawarga mesi martaya.

Terjemahan bebasnya:
XII.
Semoga kami bersabar sentausa. Seolah dapat mati di dalam hidup ini, lepas dari kerepotan dan jauhkan dari angkara murka. Biarkan kami hanya memohon kepada-Mu, agar mendapatkan ampunan sekadarnya. Kemudian kami serahkan jiwa raga ke tangan-Mu ya Tuhan yang di surga.

Sajian ini tidak kendak membandingkan puisi Athan dengan serat Ronggowarsito, tapi dapat ambil ruh catatan ini lewat tangga keduanya. Sejenis mencoba manaiki eskalator, dan melihat eskalator di sampingnya juga bergerak naik. Lalu berpindah ke terlihat pula melihat yang barusan dinaiki.

Di ruang hampa atau mati dalam hidup menyadarkan, betapa hayat cuman sak pecak selangkah dalam keheningan pencarian hakiki. Almanak ataupun lepas dari kerepotan membelenggu saat berfikir membathin, merasai diri di batas-batas sulit diterjemah. Namun betapa tergambar hati-nalar bening menerima bergulirnya masa. Kenangan kematian nilai-nilai hidup tak tersentuh, dipulangkan tapi juga tak beranjak.

Dedoa mampu menghantarkan suara-suara menjelma makhluk dengan memohon kejelasan hitam-putih demi mengenal awal kematian nilai. Berupa timbangan baik-buruk atas perjalanan lalu. Kematian berulang di hadapan, dan aku lirik keduanya bersaksi bersegenap harap menyerahkan jiwa-raga kepada-Nya. Yang menjanjikan kesucian lelaku dalam kehidupan.

Pula menginginkan makna el-maut terus bertengger di jasad. Menguliti perasaan memperjelas hakiki. Membeningkan kilauan cahaya dari puisi maupun serat yang terjabarkan, sebagai jalan dikehendaki. Terus mengenang kematian, mengenang hidup tak hidup. Seperti ditaburi kembang ketulusan kalbu, menyerupai sejuknya salju meresapi kulitan ruh perasaan terdalam.

Kritik Sastra dan Alienasi Kaum Akademisi

Fahrudin Nasrulloh*
http://www.surabayapost.co.id/

Seperti apakah perkembangan sastra mutakhir Jawa Timur? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab dalam satu penyoalan tapi justru dari sanalah kita bisa terus berupaya menggalinya dari berbagai perspektif. Perkembangan sastra di Indonesia boleh dikatakan sangat kuat dan menggembirakan. Munculnya berbagai jenis-bentuk dan genre sastra dalam dekade terakhir ini memperkaya khasanah sastra kita; melalui beragam perspektif dari hasil riset mereka di dalam kehidupan dan perkembangan persoalan di wilayah perkotaan yang memunculkan karya-karya yang dapat diandalkan dan mampu mengisi perbendaharaan rohani. Secara khusus misalnya, munculnya para penulis perempuan yang menguakkan diri mereka ke dalam masyarakat melalui novel, cerpen, dan puisi yang nampak seiring dengan tema-teman feminisme yang juga disorot dengan berbagai perspektif lain.

Begitu pula dengan para penulis lainnya yang berusaha untuk lebih memperkaya sastra melalui sejarah lokal melahirkan karya-karya yang bukan hanya dalam perspektif sastra saja, tapi bisa juga sebagai kontribusi di dalam perkembangan pemikiran sosial, antropologi, etnografi, keagamaan, dan lain-lain. Yang menarik, kini kita temukan suatu cara kerja dari kalangan penulis yang dengan intensif melakukan riset dan studi perbandingan melalui penelitian dari perspektif sosiologis, antropologi, etnografi, nilai-nilai religius, politik, etos kerja ekonomi. Semuanya itu dijadikan sebagai bahan dalam penciptaan karya.

Marilah kita ambil contoh puisi karya Mardi Luhung, salah satu penyair Jawa Timur yang kini sangat menonjol bukan hanya di wilayahnya saja, namun juga berpengaruh dalam kehidupan sastra di Indonesia. Puisi yang dihasilkan dari pengamatan yang intensif terhadap berbagai cerita lokal, legenda, mitos, fabel, dan celoteh humor warga serta cara pandang hidup dalam kehidupan seks dan sejarah leluhur keluarga menjadi bagian dari proses penciptaan penyair yang berdomisili di Gresik ini. Sama halnya dengan Nurel Javissyarqi, penyair Lamongan, melalui proses perjalanannya dalam studi keagamaan selama 8 tahun dan proses pencarian dasar-dasar pemikiran lokal yang dipadukan dengan keyakinannya serta sejumlah arus pemikiran global dari para pemikir pos moderen hingga membentuk keunikan dan kelebihan tersendiri pada puisi-puisinya.

Pada wilayah Novel, Mashuri yang dengan tekun dan nampak kuat menciptakan suatu kerangka dan muatan lokal membuat banyak kalangan pengamat sastra di Jakarta terperangah. Sementara itu Zoya Herawati yang kini sedang menyelesaikan suatu novel yang paling tebal di wilayah Jatim dan Indonesia, sekitar 7-8 ratus halaman, merupakan hasil penelitian sepanjang 10 tahun di Madura. Novel dengan latar belakang sejarah sosial pada tahun 1960-an dan ditarik hingga kini, serta ulang-alik pada masa lampau secara terus-menerus, membuktikan, bukan hanya secara teknik, kepiawaian Zoya. Tapi juga memberikan perspektif dan membongkar posisi kaum perempuan akibat sistem politik yang tidak adil.

Itulah kilasan singkat sebagai ilustrasi dari perkembangan mutakhir sastra di Jawa Timur, yang sesungguhnya masih terdapat bukan hanya satu atau dua namun belasan atau bahkan puluhan penulis yang bisa dihandalkan. Jawa Timur sangat mungkin bisa menjadi simpul sejarah sastra seperti juga sastra Jawa lama yang pada abad ke-16 sangat kuat mempengaruhi perkembangan di wilayah Jawa Tengah (baca: Mataram), seperti yang pernah didedahkan oleh de Graaf.

Namun, perkembangan sastra Jawa Timur yang menggembirakan itu, tidaklah didukung oleh atmosfir tradisi kritik yang baik. Misalnya kita bertanya-tanya, siapakah kalangan kampus atau akademisi yang menulis kritik sastra mutakhir di Jawa Timur? Kita dapat menoleh dan mempertanyakan hal ini pada kalangan akademisi, selain kita sudah bosan disesaki akan data jumlah peminat jurusan sastra Indonesia yang setiap tahunnya meluluskan ratusan orang yang rata-rata tidak jelas orientasi spiritnya. Sementara itu kita juga menyaksikan peningkatan strata pendidikan para pengajar yang kini rata-rata magister dan tak sedikit yang meraih doktor. Lalu, untuk apakah jenjang pendidikan yang tampak tinggi dan wah itu dan berada dalam posisi sebagai akademisi jika mereka tidak melecut diri untuk menggali dan mengembangkan khasanah sastra mutakhir? Adakah mereka menganggap sastra mutakhir Jawa Timur tak layak untuk dikupas dan dijadikan bahan studi yang sebenarnya melimpah itu?

Yang menyedihkan adalah dari kalangan akademisi kita, pada sisi lain mereka tidak juga melakukan penelusuran pada masa silam, tiadanya kupasan sastra di masa lampau, dan oleh sebab itu sastra mutakhir tak pula tersentuh. Ironi lainnya, justru kalangan penulis sangat intensif melakukan penelitian kembali dalam proses penciptaan karyanya. Jadi, apa sesungguhnya tugas akademisi, selain mengajar, bukankah melakukan penelitian? Ataukah mereka mengalami sejenis disorientasi atau aborsi intelektual? Bila memang demikian, boleh jadi para akademisi telah terkubang dalam kondisi alienasi, dan tak berbeda seperti kebanyakan pegawai negeri!

*) Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA.
sastra-indonesia.com

Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa.

Bersandar pada Mukjizat Berpikir Positif

Judul: The Secret Mukjizat Berpikir Positif
Penulis: Rhonda Byrne
Penerjemah: Suci Purwoko
Penerbit: PT Gramedia Pusaka Utama, Jakarta
Cetakan: Kedua, April 2007
Tebal: xviii+232 halaman
Peresensi: Ressa Sagitariana Putri
http://suaramerdeka.com/

KITA mungkin tidak menyadari ada rahasia besar di dalam kehidupan ini. Percik-percik rahasia besar telah ada dalam tradisi lisan, kesusastraan, agama dan filsafat. Rahasia ini telah diwariskan selama berabad-abad, didambakan banyak orang, disembunyikan, dihilangkan, dicuri dan dibeli dengan harga yang sangat mahal. Untuk kali pertama, semua percik rahasia ini disatukan dalam sebuah pesan yang akan mengubah hidup orang-orang yang mengalaminya.

Rhonda Byrne, seperti kita juga telah melakukan perjalanan penemuannya sendiri. Dalam perjalanannya, ia membangun sebuah tim yang terdiri atas para pengarang, pelayan umat, guru, pembuat film, perancang dan penerbit untuk melahirkan buku The Secret. Nilainya dalam menciptakan The Secret adalah menghadirkan kegembiraan bagi miliaran orang di dunia. Ketika kita

menjelajahi dan mempelajari rahasia ini, maka kita akan menyadari bagaimana kita bisa mendapatkan atau melakukan segala sesuatu yang kita inginkan. Ketika delapan bulan kemudian The Secret diluncurkan, kisah-kisah keajaiban mulai membanjir masuk, seperti orang-orang menulis tentang penyembuhan dari nyeri, depresi, dan sakit menahun; berjalan untuk kali pertama setelah kecelakaan; bahkan pemulihan dari ranjang kematian.

Kisah Ajaib

Orang-orang membagi pengetahuan ini dengan keluarga dan orang-orang yang dicintainya. Rahasia ini telah digunakan untuk mendapat segala hal.

Semua terjadi dalam beberapa bulan setelah peluncurannya, semua ini tidak terlepas dari campur tangan dua puluh empat guru yang ikut menyumbangkan kisah-kisah ajaib yang terjadi dalam diri mereka.

Buku ini berisi tentang pengetahuan rahasia "Berpikir positif, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang juga positif" untuk mencapai kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Terdapat juga kisah-kisah yang menarik tentang menyembuhkan penyakit, memperoleh kekayaan, mengatasi hambatan dan mencapai hal-hal yang dianggap mustahil. Apakah kita mengetahui tentang adanya hukum tarik-menarik dalam diri kita? Hukum ini adalah hukum alam yang sangatlah patuh, tidak memilih dan tidak memandang sesuatu sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk. Ketika kita memikirkan dan memfokuskan pada hal-hal yang kita inginkan, maka hukum tarik-menarik akan memberikan persis seperti apa yang kita inginkan. Begitu juga jika kita berfokus pada hal-hal yang tidak kita inginkan. Hukum ini tidak mendengar bahwa kita tidak menginginkannya atau tidak. Semua ini berpusat pada pikiran kita yang bersifat magnetis dan memiliki frekuensi. Jika kita ingin mengubah sesuatu di dalam hidup kita. Ubahlah frekuensi dengan mengubah pikiran kita.

Semua orang pasti menginginkan apa yang diinginkannya dapat terwujud. Selain kita memfokuskan pikiran kita. Kita juga harus melakukan tiga langkah sederhana yang dapat membantu kita menciptakan apa yang kita inginkan. Pertama meminta apa yang kita inginkan kepada semesta, ketika permintaan itu menjadi jelas di benak kita, tanpa kita sadari kita sudah memintanya. Cara kedua adalah percaya. Percaya melibatkan bertindak, berbicara dan berpikir seakan-akan kita sudah menerima apa yang kita minta. Kita percaya bahwa kita memilikinya, iman yang tidak pernah padam itulah kekuatan besar kita. Ketika kita percaya kita sedang menerimanya, bersiaplah, dan perhatikan keajaiban dimulai. Dan langkah terakhir di dalam proses adalah menerima. Kita tidak mungkin meminta satu kali kecuali jika hal itu akan membuat kita merasa baik ketika menerimanya, bukan? Jadi, tempatkan diri kita pada frekuensi perasaan baik, dan kita akan menerimanya. Berterima kasih dan bersyukurlah terlebih dahulu untuk apa yang Anda inginkan, karena bersyukur untuk apa yang sudah kita miliki, akan menarik lebih banyak kebaikan lagi kepada kita.

Ada banyak rahasia besar di dalam diri, kehidupan dan dunia kita. Salah satunya adalah tentang rahasia kesehatan. Tidakkah kita tahu bahwa tawa adalah obat terbaik untuk segala penyakit.

Berikut adalah kisah pribadi dari salah satu guru yang menuliskan kisah hidupnya, yaitu Cathy Goodman yang didiagnosis menderita kanker payudara, tetapi dengan iman yang kuat, dia sungguh percaya bahwa dia sudah sembuh. Yang dia lakukan setiap hari untuk menyembuhkan diri adalah menonton setiap film lucu. Dan itu akan membuatnya tertawa, tertawa dan tertawa. Dia tidak bisa menambah stres ke dalam hidupnya karena dia tahu stres adalah salah satu hal terburuk yang dapat dia lakukan ketika dia sedang berusaha menyembuhkan diri. Sekitar tiga bulan, keajaiban terjadi di hidupnya.

Sempurna

Dokter menyatakan dia sudah sembuh, dan itu sama sekali tanpa radiasi atau kemoterapi. Terbukti jika kita mempunyai penyakit dan terlalu memfokuskan diri padanya, maka kita akan menciptakan lebih banyak sel yang sakit. Berusahalah menganggap diri kita hidup dalam tubuh yang berkesehatan sempurna, karena penyakit tidak dapat hidup di dalam tubuh yang memiliki keadaan emosi yang sehat. Selain tentang rahasia di dalam kesehatan, ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang rahasia dunia. Kita tidak dapat menolong dunia dengan berfokus pada hal-hal negatif. Ketika kita berfokus pada peristiwa-peristiwa negatif dunia, kita bukan saja menambahnya, tetapi juga mendatangkan lebih banyak hal negatif ke dalam hidup kita sendiri. Maka dari itu, puji dan berkati segala sesuatu di dunia. Kita akan melarutkan semua negativitas dan ketidakselarasan.

Cobalah untuk memuji dan memberkati musuh kita, walaupun itu mungkin berat untuk kita, karena kita menyimpan sebuah kepahitan dalam hati kita untuk mereka. Jika kita mengutuk musuh kita, kutukan itu akan kembali untuk melukai kita. Tetapi jika kita memuji dan memberkati mereka, cinta dari pujian dan berkat akan kembali kepada kita. Dengan pengetahuan ini, kita menjadi sadar tentang kebenaran dunia dan diri sendiri.

Kebanyakan orang merumuskan dirinya sebagai tubuh yang terbatas, tetapi kita bukanlah sebuah tubuh yang terbatas, bukanlah sekedar "seonggok daging" yang berlarian kesana-kemari. Kita adalah makhluk spiritual dan kita adalah bidang energi yang beroperasi di sebuah ladang yang lebih besar. Kemampuan kita untuk berpikir juga tidaklah terbatas, begitu pula hal-hal yang dapat kita wujudkan melalui pikiran. Ketika kita sungguh-sungguh mengetahui ini, artinya kita berpikir dari sebuah akal yang menyadari sifat ketidakterbatasannya sendiri.

Ada kisah nyata dari tim minyak Belize adalah sebuah contoh yang mengilhami dari kekuatan akal manusia untuk mendatangkan sumber daya.

Inti dari buku yang telah menjadi New York Times Bestseller ini hanya meminta kita untuk mencoba selalu berpikir positif, karena segala sesuatu berawal dari pikiran kita.

Mengubah Dunia dengan Berderma

Judul: Leaving Microsoft to Change The Work, Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3.600 Perpustakaan di Asia
Penulis: John Wood
Penerjemah: Widi Nugroho
Penerbit: Bentang, Yogyakarta
Cetakan: Agustus 2007
Tebal: 367 halaman
Peresensi: Djoko Pitono
http://suaramerdeka.com/

"ORANG yang mati kaya akan mati dengan rasa malu," kata industrialis baja legendaris Amerika Andrew Carnegie.

Orang mengenal Carnegie sebagai seorang dermawan. Tetapi ia hanyalah satu di antara ribuan dermawan di Amerika, yang memang dikenal sebagai gudangnya kaum filantrop, termasuk yang punya pandangan aneh dan tingkah nyleneh. Sebagai superstar kaum dermawan, kita mengenal Bill Gates dan George Soros. Anda mungkin juga kenal nama Chuck Feeney, seorang dermawan yang memberikan bantuan secara diam-diam, misterius dan menjauhi publikasi. Miliaran dolar kekayaannya disumbangkan untuk kaum miskin, dan hanya disisakan 1,5 juta dolar untuk diri sendiri. Setelah hampir 20 tahun, rahasianya bocor dan kisahnya dibukukan tahun ini: The Billionaire Who Wasn't: How Chuck Feeney Secretly Made and Gave Away a Fortune.

Mengapa orang Amerika suka berderma? Dalam The Greater Good: How Philanthropy Drives the American Economy and Can Save Capitalism, Claire Gaudiasi menuturkan orang-orang Amerika bisa kaya raya karena banyak berderma. Bukan sebaliknya, mereka suka berderma karena kaya. Para penderma tersebut melakukan itu untuk tujuan hidup yang lebih baik bagi orang lain, tidak hanya untuk diri sendiri.

Membantu Orang Lain

Banyak kisah menarik tentang orang-orang dermawan. Tetapi kisah John Wood di buku ini jelas tergolong istimewa. Bagaimana tidak? Sebagai seorang eksekutif di Microsoft, perusahaan komputer ternama di dunia, gajinya besar. Usianya baru sekitar 30 tahun. Tetapi semua itu ditinggalkan setelah terguncang hatinya menyaksikan ratusan anak sekolah di Nepal yang belajar tanpa buku-buku memadai. Tidak hanya jabatan dan gaji besar yang ditinggalkan. Ia juga terpaksa berpisah dengan pacar karena perempuan yang menarik hatinya itu tidak sepakat dengan rencana "aneh": membantu mendirikan perpustakaan di sekolah-sekolah Nepal.

Perubahan kehidupan John Wood sungguh radikal. Selama tujuh tahun ia bekerja gila-gilaan di Microsoft, selalu mengejar karier dan gaji tinggi, praktis tidak pernah libur. Sampai pada satu saat ia berpikir: "Apakah cuma ini yang ada --jam-jam panjang dan gaji lebih besar? Saya telah menjalani gaya hidup komando seorang prajurit korporat. Liburan hanyalah bagi orang-orang yang lemah. Para pemain sejati bekerja pada akhir pekan, terbang ratusan ribu mil dan membangun kerajaan-kerajaan mini di dalam sebuah patung raksasa global yang disebut Microsoft. Para pengeluh adalah mereka yang tidak peduli dengan masa depan perusahaan."

Kehidupannya berubah total setelah akhirnya ia bisa mengambil cuti dan pergi ke Nepal, berjalan kaki menyusuri desa-desa terpencil di kawasan Himalaya. Saat mampir di sebuah SD di Desa Bahundanda, ia menyaksikan sekitar 450 siswa sekolah tanpa buku. Ia sedih luar biasa. "Empat ratus lima puluh murid tanpa buku. Bagaimana hal ini bisa terjadi di sebuah dunia dengan buku-buku yang melimpah?" tulisnya.

Ia membayangkan masa kecilnya di Amerika. Meskipun keluarganya tidak kaya, ia bisa menikmati buku-buku melimpah di perpustakaan. Apalagi ia termasuk rajin ke perpustakaan hingga diizinkan pinjam buku lebih dari ketentuan.

Hatinya makin galau ketika menerima tagihan untuk penginapannya, yang dinilainya sangat kecil. "Saya merasa bersalah karena jumlahnya. Saya mendapat tempat tidur, bir, makan malam, makan pagi, dan bercangkir-cangkir susu yang tak terbatas. Hanya lima dolar. Memberikan tip dianggap suatu penghinaan," katanya pula.

Memberi Bea Siswa

Dalam perjalanannnya ke Nepal itu, kebetulan ia sedang membaca buku karya Dalai Lama, The Art of Happiness. Pemimpin Tibet dalam pengasingan itu antara lain mengatakan bahwa salah satu kewajiban utama kita adalah mencari orang-orang yang tidak mampu dan mengeluarkan mereka dari siklus kemiskinan.

Keluar dari desa terpencil itu, John Wood tidak membuang waktu. Ia langsung mengirim pesan ke semua kenalannya yang namanya tertulis di laptop. Ia minta bantuan buku-buku untuk dikirimkan ke Nepal. Ia pun mendirikan lembaga Books for Nepal, kemudian berganti Room to Read, yang memberikan bantuan dana dan buku-buku untuk perpustakaan sekolah.

Tidak mudah memang, termasuk ketika ia akan pamit pada atasannya untuk keluar dari Microsoft, pacar, dan kawan-kawannya. Semua terkejut, tetapi John Wood sudah bulat tekadnya. Dengan dukungan kawan-kawan dan sahabatnya, Room to Read menjadi lembaga makin maju. Operasinya pun melebar di luar Nepal, ke Sri Lanka, India, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Ribuan perpustakaan telah dibangun, jutaan dolar disebarkan untuk mendirikan sekolah, laboratorium komputer dan bahasa, serta bea siswa di kawasan miskin.

Buku yang enak diikuti ini adalah kisah yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Buku tentang kekuatan jaringan persahabatan, orang-orang optimistis di tengah konflik dan perang, dan mereka yang tidak hanya mengeluh tetapi berbuat sesuatu untuk menjadikan dunia lebih baik. Banyak pandangan penulisnya yang sangat menggugah kesadaran kita.

"Tidaklah penting jika kita memiliki kekayaan materi. Apa yang sesungguhnya penting adalah --apa yang kita lakukan dengan kekayaan itu?" begitu ia menulis dalam catatan harian.

Ia pun melanjutkan: "Saya telah mencapai kesuksesan finansial pada usia muda, tetapi itu sebagian besar karena keberuntungan saya. Saya kebetulan bergabung dengan perusahaan yang tepat pada saat yang tepat. Fakta bahwa apa saya mempunyai uang tidak menjadikan saya orang yang lebih baik. Yang sungguh-sungguh penting adalah apa yang saya lakukan dengan uang itu."

Apa yang dirasakan sebagai kenikmatan bagi John Wood adalah ketika mendengar kemajuan anak-anak sekolah yang dibantu. Seperti Nguyen Thai Vu, anak cerdas dari Vietnam, murid pertama yang dibantunya. Diawali dengan beasiswa 20 dolar pada 1997, Vu dapat mengembangkan diri dalam studinya. Ia kemudian bisa lancar tiga bahasa asing, belajar di universitas, dan meraih gelar sarjana dalam piranti lunak. Istri Vu seorang perawat yang membantu kaum miskin pedesaan, dan anak perempuannya akan memperoleh manfaat karena orangtuanya yang berpendidikan baik.

Ia membayangkan, kalau Vu bisa membuat kemajuan dalam delapan tahun, apa yang mungkin terjadi pada hampir satu juta murid yang sekarang belajar di sekolah-sekolah yang dibantunya? Yang bersemangat melahap buku-buku di perpustakaannya?

Ia pun mengutip kata-kata John Wolfgang von Goethe yang menulis tentang Simponi Kelima Beethoven. "Seandainya semua pemusik di dunia memainkan gubahan ini secara serempak, planet bumi ini akan lepas dari porosnya."

Sebuah buku yang mengaduk-aduk perasaan. Saya membayangkan, satu persen saja kaum dermawan melakukan hal yang sama seperti John Wood, wajah negeri ini akan sangat lain dalam 10 atau 20 tahun mendatang.

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar