Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/
”Manusia memang dilahirkan bebas tapi secara keseluruhan sebenarnya ia terbelenggu” (Jean Jacques Rousseau)
TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah ”selesai”. Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.
Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah ”hidup” yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.
Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru—tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja— mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, ”… romantika yang gelap-gulita yang pesimistis… yang melemahkan semangat.”
Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai ”type yang tidak mengharukan saya”. S. Djojopoespito menulis: ”… sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)”.
Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: ”Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia.” M.R. Dayoh berpendapat, ”Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia.”
”Semangat baru” inilah tampaknya yang kemudian lebih mengemuka pada publik. Ini membuat Dian Rakyat, penerbit milik STA, mencetak ulang novel ini beberapa kali. Hingga Zaman Baru, penerbit dari Kota Petaling Jaya, Malaysia, menerbitkannya kembali (dan menjadi rujukan utama tulisan ini) pada 1965.
Mencari Manusia
SEBAGAI karya puncaknya, Armijn memang tampak mencurahkan dengan sungguh kemampuan literer hingga isi terdalam dari hatinya, pikirannya yang kuat dan cerdas, serta akhirnya keyakinannya dalam menghadapi kenyataan zaman yang galau oleh semangat perubahan. Caci maki? Ia tak peduli. Dalam pengantar di edisi Malaysia, ia menegaskan, ”Kalau Keyakinan (kapital dari pengarang-pen) sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.” Dan itu ia tunjukkan dengan sangat liat-memikat lewat tokoh-tokohnya—terutama (Sumar)Tini—dalam romannya itu.
Tini, istri (Kar)Tono, protagonis dalam Belenggu, menemukan dirinya sebagai istri –juga perempuan—yang problematis. Walau pada mulanya ia hanya berkeluh tentang perhatian suami yang habis untuk pekerjaan, cemburu pada perempuan-perempuan yang ”diraba-rabanya”, ia akhirnya juga menemukan konflik yang lebih dalam antara dirinya dan Tono. Tentang bagaimana seorang perempuan harus berperan sebagai perempuan, sebagai istri. Sebuah ide feminis yang sungguh sangat dini di negeri ini.
Ia menentang relasi perkawinan, sebagaimana pemahaman umum saat itu, yang menempatkan perempuan ”… sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian, bersih-bersih, sekali setahun dijemur di luar. Menanti suami sampai (ia) suka membawa keluar.” Dengan lidahnya yang tajam, ia menerjang pendapat semua orang, juga suaminya sendiri. Katanya, ”Aku berhak menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia yang juga berkemauan sendiri.”
Bahkan meminjam bibir temannya, dik Tati, ia melihat perkawinan sebagai paksaan kebudayaan yang tak seorang pun berani menyimpang darinya. ”Tetapi sekarang (mbak)Yu,” tulis dik Tati dalam sebuah suratnya, ”sudah tiba waktunya (menolak perkawinan). Kalau mesti, aku rela binasa.” Tini memang tidak sampai seekstrem dik Tati. Dalam pengertiannya yang baru, ia masih menghargai perkawinan. Bahkan membutuhkannya. Membutuhkan Tono. Begitupun suaminya. Tono pun membutuhkan perkawinan, butuh istri, membutuhkan Tini.
Namun justru dalam relasi dua kebutuhan itulah, tragik cerita ini kemudian terjadi. Tini dengan gagasan-gagasannya yang merdeka dan Tono dengan harapan-harapannya akan istri yang ”berlutut, membukakan tali sepatu” atau ”menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah”. Tono yang sebenarnya ragu pada pendiriannya itu, pada dirinya sendiri yang terikat oleh angan-angan yang semu. Yang terbelenggu.
Seperti katanya, ”… begitulah kita seperti di belenggu oleh angan-angan… oleh angan-angannya sendiri”. Belenggu itu bukan lagi semacam penjara sosial, namun terali yang ia ciptakan sendiri. Dan bahkan ketika ia mencoba melepaskan belenggu itu, dengan berpaling kepada tokoh utama ketiga, Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati), teman lama, seorang pelacur terpaksa, yang kemudian ia temukan sebagai pasien, Tono justru kian liat membuat dirinya terikat.
Dengan pembangunan cerita yang cukup dramatis, melalui gambar-gambar skenik yang filmis (di mana bagian-bagian cerita, seperti scene dapat berlompatan begitu saja, seketika, ke ruang dan waktu yang berbeda), Armijn Pane memperlihatkan konflik dalam diri seorang manusia yang mencoba menemukan kenyataan dirinya dalam satu situasi hidup yang sangat berbeda: zaman yang sangat kontemporer.
Bentuk monologue interieur dengan cakapan-cakapan yang cerdas –juga saat berhadapan dengan kedua tokoh utama lainnya—tidak hanya memperlihatkan satu pergolakan batin yang dalam dan sugestif, tapi juga berhasil menciptakan ruang yang lebih lapang pada keberadaan manusia hingga lapisan-lapisan psikologis, filosofis hingga spiritualistis.
Tak mengherankan jika R.H. Lomme, pengamat sastra Indonesia kala itu, memandang roman ini sebagai karya yang eksistensialistis. Di mana, misalnya ”… diulang-ulang pertanyaan ekstensial, seperti: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta… kehidupan neraka, kita tertumbuk pada tembok… suasana keragu-raguan dan putus asa…”, tulis Lomme dalam review-nya di majalah Mimbar Indonesia.
Tapi, lebih dari itu, ide Armijn tentang manusia yang mengalami krisis—karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya—bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang di negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Green), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai ”ahli waris kebudayaan dunia”, maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari ”humanisme universal”.
Belenggu Waktu
MAKA menyepakati S.K. Trimukti saat mengatakan, ”apa yang diperjuangkan (Armijn) ialah semangat peradaban”, saya melihat roman Belenggu menyodorkan pada kita realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang kita masih dapat dengan mudah menyaksikannya di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri, saat ini.
Yang membelenggu kita bukan kekuatan-kekuatan luar, entah itu negara agresor, industrialis global, kapitalis tamak, merek ternama atau Hollywood, tapi justru jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, dan imajinasi yang pandaklah yang memenjara kita. Jelas di situ tersirat, sebagai sebuah bangsa, waktu seolah berhenti dalam diri kita. Kita tidak mampu membuat waktu itu ”berjalan”. Karena kita tidak memiliki satu hal yang membuat roda waktu berderak: ide.
Bukannya ”kebudayaan dunia” atau ”humanisme universal” yang justru kita warisi. Namun justru belenggu ”Tono dan Tini”-lah yang membuat kita kehilangan daya cipta, kehilangan Jawa yang melahirkan wayang dan Borobudur, Bali dan kecaknya, Riau dengan zapinnya, Aceh dengan seudati, atau Betawi dengan Mandra, yang darinya kita melihat bianglala kultural dari seluruh penjuru bangsa, di nusantara, di dunia.
Sebagaimana roman Armijn dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia harus ditegakkan. Seperti Tono, yang akhirnya menerima wejangan Mangunsutjipto, tokoh pergerakan Budi Utomo—yang mbalelo karena membela kejawaannya—dan ia menemukan dirinya yang ”modern” tetaplah ”Jawa”, dunia baru itu adalah larutan baru dari ruang dan masa.
Adalah sebuah gagasan yang menemukan manusia, tidak hanya dalam koordinat yang jelas dalam peta dunia, tapi juga sosok yang tegas dalam identitas kelompoknya. Dan jika dapat kita ciptakan itu, maka dengarlah Armijn tatkala ia menyeru pada dirinya sendiri, ”Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, topan badai, ketempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru”.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar