Senin, 04 Mei 2009

Nasionalisme dalam Belenggu Waktu

Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

”Manusia memang dilahirkan bebas tapi secara keseluruhan sebenarnya ia terbelenggu” (Jean Jacques Rousseau)

TUJUH puluh tahun barangkali rata-rata harapan hidup manusia sekarang. Seumur demikian umumnya manusia sudah ”selesai”. Jikapun ia masih hidup, atau tetap ingin hidup, sebenarnya ia harus mendapatkan makna baru hidupnya.

Mungkin itulah yang berlaku pada Belenggu, roman karya Armijn Pane, yang selesai ditulis tepat 70 tahun lalu. Ketika kita membacanya, saat ini, kita akan menemukan sebuah ”hidup” yang baru, sebuah nilai baru, makna baru.

Lebih dari setengah abad lalu, roman karya sastrawan kelahiran Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1907 itu memancing bukan hanya decak kagum, melainkan juga caci maki. Tak kurang dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pemimpin Pujangga Baru—tempat buku itu diterbitkan pertama kali dan kantor tempat Armijn bekerja— mengeluhkan isi roman itu yang bukan hanya, ”… romantika yang gelap-gulita yang pesimistis… yang melemahkan semangat.”

Dalam sebuah edisinya, Desember 1940, majalah Pujangga Baru menurunkan pelbagai komentar tentang roman yang menggegerkan itu. STA meremukkan karya itu sebagai ”type yang tidak mengharukan saya”. S. Djojopoespito menulis: ”… sebab tidak terasa bagi saya akan kehalusan dan keindahan bahasa-(nya)”.

Tapi, di bagian lain, Ida Nasution mengatakan: ”Belenggu ialah perlambang pembaharuan bahasa ke arah bahasa Indonesia.” M.R. Dayoh berpendapat, ”Belenggu ini keuntungan mahabesar untuk literatur kita, untuk perjuangan semangat baru Indonesia.”

”Semangat baru” inilah tampaknya yang kemudian lebih mengemuka pada publik. Ini membuat Dian Rakyat, penerbit milik STA, mencetak ulang novel ini beberapa kali. Hingga Zaman Baru, penerbit dari Kota Petaling Jaya, Malaysia, menerbitkannya kembali (dan menjadi rujukan utama tulisan ini) pada 1965.

Mencari Manusia

SEBAGAI karya puncaknya, Armijn memang tampak mencurahkan dengan sungguh kemampuan literer hingga isi terdalam dari hatinya, pikirannya yang kuat dan cerdas, serta akhirnya keyakinannya dalam menghadapi kenyataan zaman yang galau oleh semangat perubahan. Caci maki? Ia tak peduli. Dalam pengantar di edisi Malaysia, ia menegaskan, ”Kalau Keyakinan (kapital dari pengarang-pen) sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.” Dan itu ia tunjukkan dengan sangat liat-memikat lewat tokoh-tokohnya—terutama (Sumar)Tini—dalam romannya itu.

Tini, istri (Kar)Tono, protagonis dalam Belenggu, menemukan dirinya sebagai istri –juga perempuan—yang problematis. Walau pada mulanya ia hanya berkeluh tentang perhatian suami yang habis untuk pekerjaan, cemburu pada perempuan-perempuan yang ”diraba-rabanya”, ia akhirnya juga menemukan konflik yang lebih dalam antara dirinya dan Tono. Tentang bagaimana seorang perempuan harus berperan sebagai perempuan, sebagai istri. Sebuah ide feminis yang sungguh sangat dini di negeri ini.

Ia menentang relasi perkawinan, sebagaimana pemahaman umum saat itu, yang menempatkan perempuan ”… sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian, bersih-bersih, sekali setahun dijemur di luar. Menanti suami sampai (ia) suka membawa keluar.” Dengan lidahnya yang tajam, ia menerjang pendapat semua orang, juga suaminya sendiri. Katanya, ”Aku berhak menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia yang juga berkemauan sendiri.”

Bahkan meminjam bibir temannya, dik Tati, ia melihat perkawinan sebagai paksaan kebudayaan yang tak seorang pun berani menyimpang darinya. ”Tetapi sekarang (mbak)Yu,” tulis dik Tati dalam sebuah suratnya, ”sudah tiba waktunya (menolak perkawinan). Kalau mesti, aku rela binasa.” Tini memang tidak sampai seekstrem dik Tati. Dalam pengertiannya yang baru, ia masih menghargai perkawinan. Bahkan membutuhkannya. Membutuhkan Tono. Begitupun suaminya. Tono pun membutuhkan perkawinan, butuh istri, membutuhkan Tini.

Namun justru dalam relasi dua kebutuhan itulah, tragik cerita ini kemudian terjadi. Tini dengan gagasan-gagasannya yang merdeka dan Tono dengan harapan-harapannya akan istri yang ”berlutut, membukakan tali sepatu” atau ”menunggu suami dengan senyum yang murah di rumah”. Tono yang sebenarnya ragu pada pendiriannya itu, pada dirinya sendiri yang terikat oleh angan-angan yang semu. Yang terbelenggu.

Seperti katanya, ”… begitulah kita seperti di belenggu oleh angan-angan… oleh angan-angannya sendiri”. Belenggu itu bukan lagi semacam penjara sosial, namun terali yang ia ciptakan sendiri. Dan bahkan ketika ia mencoba melepaskan belenggu itu, dengan berpaling kepada tokoh utama ketiga, Yah (Siti Rohayah, Ny. Eni, Siti Hayati), teman lama, seorang pelacur terpaksa, yang kemudian ia temukan sebagai pasien, Tono justru kian liat membuat dirinya terikat.

Dengan pembangunan cerita yang cukup dramatis, melalui gambar-gambar skenik yang filmis (di mana bagian-bagian cerita, seperti scene dapat berlompatan begitu saja, seketika, ke ruang dan waktu yang berbeda), Armijn Pane memperlihatkan konflik dalam diri seorang manusia yang mencoba menemukan kenyataan dirinya dalam satu situasi hidup yang sangat berbeda: zaman yang sangat kontemporer.

Bentuk monologue interieur dengan cakapan-cakapan yang cerdas –juga saat berhadapan dengan kedua tokoh utama lainnya—tidak hanya memperlihatkan satu pergolakan batin yang dalam dan sugestif, tapi juga berhasil menciptakan ruang yang lebih lapang pada keberadaan manusia hingga lapisan-lapisan psikologis, filosofis hingga spiritualistis.

Tak mengherankan jika R.H. Lomme, pengamat sastra Indonesia kala itu, memandang roman ini sebagai karya yang eksistensialistis. Di mana, misalnya ”… diulang-ulang pertanyaan ekstensial, seperti: apa perlunya hidup, apa yang kita ketahui, apa perlunya cinta… kehidupan neraka, kita tertumbuk pada tembok… suasana keragu-raguan dan putus asa…”, tulis Lomme dalam review-nya di majalah Mimbar Indonesia.

Tapi, lebih dari itu, ide Armijn tentang manusia yang mengalami krisis—karena dunia baru menyangsikan keberadaannya dan dunia lama tidak sepadan lagi dengan kebutuhannya—bukan hanya menjadi tema yang sejajar dengan apa yang diungkap oleh banyak pengarang di negeri lain (mulai dari Samuel Beckett sampai Albert Camus, dari George Orwell hingga Graham Green), tapi juga mendahului Chairil Anwar yang memposisikan dirinya sebagai ”ahli waris kebudayaan dunia”, maupun kaum Manifes Kebudayaan yang melihat dirinya sebagai organ dari ”humanisme universal”.

Belenggu Waktu

MAKA menyepakati S.K. Trimukti saat mengatakan, ”apa yang diperjuangkan (Armijn) ialah semangat peradaban”, saya melihat roman Belenggu menyodorkan pada kita realitas manusia Indonesia yang sebenarnya dibelenggu oleh dirinya sendiri. Sebuah kenyataan yang kita masih dapat dengan mudah menyaksikannya di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri, saat ini.

Yang membelenggu kita bukan kekuatan-kekuatan luar, entah itu negara agresor, industrialis global, kapitalis tamak, merek ternama atau Hollywood, tapi justru jiwa yang sempit, pikiran yang kerdil, dan imajinasi yang pandaklah yang memenjara kita. Jelas di situ tersirat, sebagai sebuah bangsa, waktu seolah berhenti dalam diri kita. Kita tidak mampu membuat waktu itu ”berjalan”. Karena kita tidak memiliki satu hal yang membuat roda waktu berderak: ide.

Bukannya ”kebudayaan dunia” atau ”humanisme universal” yang justru kita warisi. Namun justru belenggu ”Tono dan Tini”-lah yang membuat kita kehilangan daya cipta, kehilangan Jawa yang melahirkan wayang dan Borobudur, Bali dan kecaknya, Riau dengan zapinnya, Aceh dengan seudati, atau Betawi dengan Mandra, yang darinya kita melihat bianglala kultural dari seluruh penjuru bangsa, di nusantara, di dunia.

Sebagaimana roman Armijn dituntaskan, keadaan begini pun perlu diselesaikan. Dunia baru mesti dikonstitusikan, dunia lama jangan dilalaikan, dan manusia harus ditegakkan. Seperti Tono, yang akhirnya menerima wejangan Mangunsutjipto, tokoh pergerakan Budi Utomo—yang mbalelo karena membela kejawaannya—dan ia menemukan dirinya yang ”modern” tetaplah ”Jawa”, dunia baru itu adalah larutan baru dari ruang dan masa.

Adalah sebuah gagasan yang menemukan manusia, tidak hanya dalam koordinat yang jelas dalam peta dunia, tapi juga sosok yang tegas dalam identitas kelompoknya. Dan jika dapat kita ciptakan itu, maka dengarlah Armijn tatkala ia menyeru pada dirinya sendiri, ”Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, topan badai, ketempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru”.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar