Minggu, 05 April 2009

Mereka Para Pencipta

Wicaksono, Hermien Y. Kleden, Yusi A. Pareanom,
Ahmad Fuadi, Hani Pudjiarti, Raju Febrian
http://majalah.tempointeraktif.com/

Bukan hanya di dunia film, masyarakat komik pun punya sebutan The Big Five. Mereka adalah Jan Mintaraga, Ganes T.H., Sim, Zaldy, dan Hans Jaladara. Tentu saja mereka dikategorikan sebagai komikus besar karena perhitungan pasar. Tapi perhitungan lain, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang mengaku kolektor komik itu, adalah karena lima besar ini adalah para komikus yang karyanya mencantumkan harga dalam rupiah dan ringgit. Itu artinya, karya para komikus itu diekspor oleh pabrik komik Eres.

Ada lagi sebutan “The Big Seven”, yakni kelima komikus tadi plus dua nama lain, yaitu Djair Warni dan Jeffry. Ke mana saja mereka? Apakah mereka masih berprofesi sebagai komikus? Inilah wajah sebagian komikus Indonesia.

Hans Jaladara, 52 tahun, “Panji Tengkorak”

Dalam diam, pendekar itu menyeret peti mati yang berisi jenazah seorang perempuan. Ia membawanya ke pusat keramaian maupun ke sudut-sudut sepi. Pendekar berbadan kurus itu bernama Panji Tengkorak. Siapa perempuan dalam peti itu? Dia adalah Mesia, istri yang tak dicintainya. Panji menyeret peti itu karena sebuah ikatan janji. Naif? Absurd? Entah, tapi adegan tersebut mampu menggetarkan para pembaca komik Hans Jaladara.

Karakter Panji yang antihero tersebut, menurut Hans Jaladara—bernama asli Hans Riyanto—sebetulnya tampil justru “bukan dari segi keperkasaannya,” ujar Hans. Bahkan, menurut Seno Gumira Ajidarma, sastrawan yang mengaku penggemar berat Panji Tengkorak, ini bukanlah sebuah komik silat melainkan sebuah drama cinta yang tragis. Tak mengherankan bila dari satu jilid ke jilid yang lain, Panji digambarkan berhati lemah dan gampang jatuh ke dalam kendali tangan perempuan. Menurut Hans, yang lahir di Yogya 52 tahun lalu, petualangan dan filosofi hidup Panji lahir dari perbincangan dengan teman-temannya. Selain Panji Tengkorak, dari tangan Hans juga muncul komik Belibis Putih, Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian Boma, yang tak kalah populer.

Dunia komik memang sudah menarik minat Hans sejak kecil. Anak kedua dari tiga bersaudara putra Linggodito ini masih ingat dirinya melonjak kegirangan ketika diberi hadiah komik Jepang dan Amerika oleh sang ayah pada hari ulang tahunnya yang kedelapan. Sejak itu ia makin gemar corat-coret. Bahkan, satu hari ia pernah mengerjakan semua tugas menggambar temannya di sekolah sampai lupa menggambar untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, ketika dewasa, untuk mengasah bakat seninya, Hans belajar di Sekolah Seni Rupa Nasional.

Pilihan Hans untuk menggeluti komik tak sia-sia. Selain ia beroleh penghasilan yang lumayan—setara dengan gaji pegawai negeri menengah—karya komiknya juga diangkat ke layar lebar. Walaupun tidak menjadi kaya, dari hasil tabungannya Hans mampu membeli mobil dan rumah dengan kredit. Pada 1979, Panji Tengkorak dihargai Rp 500 ribu oleh produser.

Saat ini, Hans, yang menekuni dunia lukis, mengaku kembali menelan kekecewaan. Panji Tengkorak versi baru yang diterbitkan Elex Media Komputindo hanya menghasilkan Rp 3 juta untuk dia. Ironisnya, yang kecewa bukan hanya Hans. Seno Gumira Ajidarma merasa Panji versi baru kehilangan identitas karena sangat mirip dengan komik Jepang. “Panji Tengkorak jadi kehilangan seluruh wibawanya, mitologinya hilang,” ujar Seno. Namun Seno tetap mengakui bahwa cerita Panji tetap dahsyat.

Seyogianya, jika penerbitnya memiliki kreativitas dan kejelian, karya lama Hans, yang menurut Seno mampu menampilkan gambar yang puitis dengan kemampuan detail yang mengagumkan, perlu diterbitkan kembali sebagaimana aslinya. “Sebaiknya, jika memang ingin menampilkan keindonesiaan itu, Hans harus dibiarkan melukis sesuai dengan Panji Tengkorak gaya lama,” ujar Seno.

R.A. Kosasih, 80 tahun, “Mahabharata” dan “Ramayana”

Dari tangannya yang keriput, sejarah pewayangan bergerak dan menjadi gambar hidup. Hastinapura, Indraprasta, Dursasana yang durjana, Drupadi yang setia, Yudhistira yang sabar, Srikandi yang perkasa, dan nasib Bambang Ekalaya yang tragis. R.A. Kosasih, yang kini menginjak usianya yang ke-80 tahun, mungkin orang yang patut berbahagia di negeri ini. Sebab, melalui karya-karyanya ia bukan saja telah memperkenalkan wayang kepada masyarakat Indonesia—non-Jawa—tetapi ia juga telah memasyarakatkan tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Tapi Kosasih adalah sebuah kesederhanaan. Dia pasti tak tahu bahwa pengagumnya berderet, mulai dari Sardono W. Kusumo, Arswendo Atmowiloto, Umar Kayam, Marsilam Simanjuntak, hingga kartunis G.M. Sudarta, dan juga ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia (Tempo, 21 Desember 1991).

Lahir di Desa Bondongan, Bogor, Jawa Barat, Kosasih adalah putra bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Raden Wiradikusuma. Diawali dari mengamati bungkusan sayur yang berisi potongan kartun Tarzan, Kosasih yang gemar nonton wayang golek itu sering mencoba melukis kartun, yang kemudian diberikan kepada tetangganya.

Tahun 1939 ia mulai melukis ilustrasi untuk buku-buku keluaran Departemen Pertanian Bogor. Debutnya sebagai pengarang komik dimulai pada 1953. Lulusan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Pasundan itu memulai serial pertamanya Sri Asih, yang dicetak 3.000 eksemplar dan habis licin tandas. Setelah itu, Siti Gahara, Sri dewi, serial Mahabharata, Ramayana, dan… sejarah pun bergulir.

Kini, dalam usianya yang ke-80, jari-jarinya yang gemetar itu hanya sanggup memegang dan menikmati komik impor Jepang milik cucunya. Perjalanan usia—dan menurunnya produktivitas—membuat namanya meredup. Namun itu bukan satu-satunya sebab: komik Indonesia memang tidak terus-terusan berjaya. Kosasih mengaku, minat pembeli terhadap komik wayang mulai menurun selepas tahun 1980-an, bersamaan dengan banjirnya komik impor—Jepang terutama. Sejak 1993, Kosasih tak pernah lagi menyentuh pen dan tinta. Kini ia tinggal di kawasan Rempoa, Jakarta Selatan. Di lantai atas rumah itu, di sebuah ruang berukuran 5 x 20 meter, Kosasih dan istrinya menjalani hari-hari dengan tenang. Di sudut ruangan, ia menyimpan semua peralatan gambarnya dengan rapi untuk kenang-kenangan.

Untuk menunjang hidup, ia masih memperoleh royalti sekadarnya dari komik Mahabharata yang dicetak ulang penerbit Gramedia.

Jan Mintaraga, 57 tahun, “Rio Purbaya” (dalam “Sebuah Noda Hitam”)

Seorang pemuda mengenakan jins, sepatu kets, menggelantung jaket di pundaknya dengan wajah yang kumuh bak Kota Jakarta. Itulah ciri khas goretan Jan Mintaraga dalam komik-komik “roman Jakarta”—demikianlah julukan “genre” komik karya Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy. “Dia mampu menangkap semangat zaman,” tutur Seno Gumira Ajidarma.

Lahir di Yogyakarta pada 1942, Jan belajar di bawah bimbingan komikus R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dengan guru yang lebih dikenal sebagai komikus wayang, Jan malah lebih terkenal sebagai komikus roman remaja. Ia dianggap sebagai komikus yang agak kebarat-baratan, terutama karena gayanya sangat dipengaruhi komikus Amerika.

“Komik saya terilhami lagu-lagu Bob Dylan,” tutur Jan mengakui. Ia selalu mengambil seting Kota Jakarta, metropolitan, kehidupan anak-anak orang kaya dengan segala problema cintanya. Tapi ia juga sempat membuat beberapa komik laga seperti Indra Bayu, Runtuhnya Pualam Putih, Kelelawar, Puri Iblis, Runtuhnya Puri Iblis, Misteri Tertangkap Jin, Macan Putih, dan Sepasang Gelang Mustika. Tapi tokoh ciptaannya yang terkenal, Rio Purbaya, dalam Sebuah Noda Hitam, yang laris pada awal 1970-an. “Untuk Jakarta saja, menurut penerbitnya, terjual 20 ribu eksemplar dan menjadi box office,” ujar Jan, yang pernah mengenyam bangku Seni Rupa ITB dan Insitut Seni Indonesia di Yogyakarta. Saking populernya komik itu, aktor Roy Marten, yang pernah ngetop pada masa itu, mengaku terilhami tokoh Rio setelah melahap habis komik itu. Roy bahkan sampai berpenampilan sama dengan Rio, kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans belel.

Pada 1970-an, untuk komik setebal 48 halaman, honor Jan adalah Rp 200 ribu. Sebagai gambaran, harga emas waktu itu Rp 250 per gram, jadi bisa dibayangkan betapa jayanya kehidupan komikus yang sukses di zamannya.

Djair Warni, 49 tahun, “Jaka Sembung”

Dia adalah satu dari “The Big Seven”. Dan Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan-rekannya sesama “The Big Five”, Djair tergolong komikus otodidak. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita-cita sebagai insinyur. “Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan,” tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.

Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.

Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita—terdiri dari 7 sampai 10 jilid—ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, “Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri,” kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah, yang dibiayai Pemerintah DKI (1997).

Ahmad Thoriq, 29 tahun, “Caroq”

Inilah wakil generasi baru komikus Indonesia: Ahmad Thoriq. Bersama dengan Peong, yang tergabung dalam kelompok Qomiq Nasional, Thoriq menciptakan Caroq—sosok superhero modern dengan warna lokal. Dia bertopeng merah, berambut gondrong acak, berpakaian ketat, dan dia datang membela rakyat pada saat yang diperlukan dengan menggunakan senjata andalannya: sebuah celurit panjang.

Thoriq lahir di Kota Kembang, 20 November 1969. Berbeda dengan kebanyakan komikus Indonesia era sebelum 1990-an yang otodidak, Thoriq berlatar belakang akademik dan menyandang gelar kesarjaan dari Fakultas Seni Rupa ITB (1991-1996).

Sebagai komikus muda, karya Thoriq terhitung matang. Karakter ciptaannya kuat, garis lukisannya tegas. Salah satu karyanya yang menjadi sampul depan TEMPO edisi Januari lalu disambut oleh kalangan pembaca.

Dari karya-karyanya, terutama serial Caroq, Thoriq sangat terpengaruh gaya komikus Amerika. “Terus terang saya suka gaya (Amerika) itu karena lebih universal dan idealis,” ujar Thoriq. Mengapa tak mencari identitas?”Itu merupakan jalan saya berproses sampai menemukan gaya tersendiri,” jawab Thoriq mengemukakan alasan. Walau demikian, toh dia mengaku menyukai gaya komikus Indonesia Jan Mintaraga dan Djair, karena dramatisasi gambar komikus itu dianggapnya menarik. Thoriq mengisahkan bahwa gagasan sosok Caroq muncul pada 1991-1992 di kampus ITB. Sedangkan proses pematangannya memakan waktu sampai tiga tahun, termasuk penokohan dan cerita. Setiap anggota Qomiq Nasional punya jatah pekerjaan sendiri-sendiri untuk menyelesaikan komik itu. “Saya mengerjakan dengan pensil, Peong dengan tinta, Hilman kebagian pewarnaan, dan Pidi bagian penyuntingan,” tutur Thoriq. Kini ia sedang mempersiapkan komik lain yang membahas soal Indonesia, dari Gajah Mada sampai Zaman Reformasi. Tapi, namanya juga seniman, entah kapan komik itu beredar.***

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar