Minggu, 22 Februari 2009

CERPEN SEBAGAI POTRET SOSIAL ZAMANNYA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sastra –di dalamnya tentu saja termasuk juga cerpen— bukanlah sekadar karya fiksional –menyulap fakta menjadi fiksi—tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat dan zaman tertentu. Sebagai sebuah kesaksian, sastra boleh jadi sekadar mencatat segala peristiwa itu tanpa pretensi. Atau, mungkin juga ia mencoba melakukan pemaknaan atas hakikat di balik peristiwa itu. Bahkan, tidak jarang pula sastra menjadi alat bagi pengarang untuk menyelusupkan ideologinya, menawarkan misi budaya, memprovokasi untuk melakukan pemihakan, atau meledek hal atau pihak tertentu secara tersembunyi. Itulah sebabnya, dari karya sastra, kita (: pembaca) kerap menemukan berbagai hal yang baik atau buruk; yang tersirat atau tersurat; ledekan atau pengagungan. Jadi, sebagai catatan sebuah kesaksian, sastra menghasilkan rekaman situasi sosial pada zamannya. Ia menampilkan semacam potret sosial. Dari sana, terungkap situasi sosial, di dalamnya sekaligus tersembunyi semangat zaman.

Mengingat catatan dan rekaman itu kadangkala dihasilkan dari sebuah tafsir dan evaluasi tentang satu atau berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan sastrawan mencoba memberi makna terhadapnya, maka tidak sedikit pula karya sastra yang mengisyaratkan tanda-tanda, petunjuk, prakiraan, atau sekadar potret saja yang di masa-masa berikutnya, ia menjadi semacam catatan sejarah; menjadi fakta historis subjektivitas pengarangnya. Ia mencatat dan merekam situasi sosial pada zaman tertentu dan kemudian mencoba pula memaknainya bagi kehidupan ini, sekalian juga mengisyaratkan berbagai kemungkinan akibat-akibatnya sebagai buah dari peristiwa itu. Jika kondisi sosial pada zamannya dimaknai sebagai sebuah isyarat, lalu apa yang bakal terjadi di masa hadapan atas masyarakat yang bersangkutan: kebahagiaan atau kehancuran? Dalam hal ini, sastra sering juga diperlakukan sebagai ramalan tentang perkembangan zaman dan tanda-tanda yang akan dihadapi di masa depan. Apakah ramalannya itu benar-benar terjadi atau tidak, tidaklah penting. Ia hanya bertugas memberi tanda-tanda, mengisyaratkan tentang sebuah peristiwa yang (mungkin) akan terjadi dan melanda masyarakatnya kelak.

Cerpen “Gerombolan” karya Ayatrohaedi ini ternyata tidaklah berindikasi sebagai sebuah “ramalan atau isyarat.” Dan tampaknya, ia memang tidak berpretensi ke arah sana. Ayatrohaedi sekadar memotret apa yang dirasakan dan dilihatnya. Jika ia tidak memberi isyarat atau tanda-tanda zaman yang akan datang, lalu apa maknanya bagi kehidupan masyarakat sekarang? Apakah karya itu kemudian tak bermakna sama sekali dan kita (: pembaca) tega melemparkannya ke keranjang sampah. Jika begitu, percuma juga kita menempatkan karya sastra sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya. Inilah contoh kasus, bagaimana karya sastra yang ditulis hampir setengah abad yang lalu, masih memancarkan tidak hanya menyangkut pesona estetikanya, tetapi juga fakta-fakta masa lalu sebagai sebuah potret sosial. Mari kita periksa.
***

Cerita yang diangkat Ayatrohaedi dalam cerpen “Gerombolan” sesungguhnya bukanlah sebuah kisah yang mengungkapkan peristiwa besar. Terkesan ia sekadar bercerita begitu saja seperti seorang pendongeng dalam tradisi lisan. Maka, gaya bertuturnya terasa mengalir enteng, tanpa kelak-kelok, tanpa niat berfilsafat, dan tak berkehendak membawa pembacanya berkerut kening. Justru dari situlah pesona estetik cerpen ini memancar dan menampakkan dirinya.

Dikisahkan, seorang penduduk desa, Mang Kentang, berhasil menangkap seorang gerombolan. Tentu saja penangkapan itu sebagai prestasi luar biasa bagi pelakunya. Berita penangkapan itu pun menyebar. Belakangan diketahui, bahwa yang ditangkap itu bukanlah gerombolan, melainkan seorang gila. Maka, tak ada alasan untuk tidak membebaskannya. Itulah ikhtisar cerpen yang pernah dimuat majalah Tjerita, No. 3, Th. II, Maret 1958.

Lalu, di manakah estetika cerpen yang tampak begitu sederhana itu? Secara tematis, jelas bahwa cerpen itu mengangkat peristiwa aktual pada zamannya. Tentang situasi kacau akibat konflik tentara dengan lasykar DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Karena layskar DI/TII sering melakukan penyerbuan secara bergerombol, tidak dilakukan seorang diri, tentara kemudian menyebutnya sebagai gerombolan DI/TII. Akhirnya, melekatlah kata gerombolan sebagai identik dengan lasykar DI/TII. Itulah etimologinya. Maka, bagi masyarakat Jawa Barat, yang dimaksud gerombolan itu adalah lasykar DI/TII. Jadi, seorang gerombolan tidak lain adalah seorang lasykar DI/TII. Dalam hal ini, terjadi pergeseran makna: gerombolan sebagai kelompok orang yang lebih dari dua orang menjadi lasykar DI/TII.

Pada awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1950-an, kekacauan yang terjadi di wilayah Jawa Barat semata-mata disebabkan oleh konflik antara tentara dan pasukan DI/TII. Tentu saja yang menjadi korbannya adalah rakyat. Tentara kemudian membentuk apa yang disebut sebagai “Pagar Betis” yang artinya pertahanan dengan melibatkan kekuatan rakyat. Jika di dalam cerpen itu diceritakan perihal keterlibatan rakyat dalam menjaga keamanan wilayahnya, hal tersebut dilakukan dalam kerangka pembentukan “Pagar Betis” itu.

Selain itu, gambaran yang diperlihatkan tokoh aku tentang ketakutannya pada serbuan gerombolan, kecemasan beberapa penduduk yang ngukurung dan hendak pulang ke kampungnya, dan munculnya istilah main rebab, menunjukkan situasi yang sangat mencekam. Penyerbuan pihak gerombolan ke perkampungan penduduk yang sering diikuti dengan pembunuhan –penggorokan-penyembelihan— atau pihak tentara yang juga melakukan hal yang sama kepada pihak gerombolan, ketika itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Cerita penduduk tentang orang-orang yang direbab, juga sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari.

Perhatikan kutipan berikut:

“Mang, selama masih ada di dalam kampung kami, kami masih bertanggung jawab atas keselamatan Emang semua. Cuma keluar dari kampung kami, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini jika Emang memaksa juga mau pulang. Baiklah saya mintakan izin pada Pak Mayor nanti.”
Dan mereka terlihat sangat gembira aku sanggupi demikian. Mereka meneruskan perjalanan mereka setelah aku berkata-kata sebentar dengan Pak Mayor. Dan ucapan terima kasihnya pun keluar berderai-derai dari mulutnya, tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.

Tampak dalam kutipan itu, bahwa keselamatan diri merupakan barang yang amat berharga. Maka, ketika penduduk yang habis ngukurung itu diizinkan Pak Mayor (: tentara) untuk melanjutkan perjalanannya pulang, mereka berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada si tokoh aku. “…tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.” Buat penduduk yang habis ngukurung itu, izin seorang aparat keamanan boleh dikatakan merupakan tiket keselamatan untuk sampai tujuan. Jadi, jika penduduk itu berulang kali mengucapkan terima kasihnya, hal tersebut sebagai ekspresi yang wajar, karena ada jaminan keselamatan untuk jiwa dan raganya.

Demikianlah, di balik tema yang diangkatnya, cerpen ini sesungguhnya menyembunyikan tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Munculnya istilah-istilah direbab (disembelih; digorok seperti orang sedang menggesek biola atau rebab), didorhos (dijedor dan hos nyawanya melayang: ditembak) menunjukkan betapa nyawa manusia diperlakukan seperti alat permainan, tak punya harga.

Meskipun demikian, kita juga dapat melihat, betapa semangat berguyon dan berkelakar, kerap juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda. Di balik tragedi kemanusiaan itu, si tokoh aku dan teman-temannya, masih sempat mempermainkan mereka, penduduk yang ngukurung itu. Demikian juga, salah tangkap orang gila yang dikira gerombolan, meski banyak terjadi dalam situasi darurat perang masa itu, bisa menjadi bahan obrolan yang berakhir dengan gelak tawa. Begitu pula jawaban-jawaban kacau si Gila berikut tingkah lakunya ketika ditanya Mang Kentang, justru mendatangkan kelucuan, dan bukan ketegangan sebagaimana seorang tahanan diancam akan disiksa dan ditempak.

Cara bertutur yang diperlihat Ayatrohaedi dalam cerpennya itu boleh jadi merupakan representasi masyarakat Sunda dalam memandang dan menempatkan persoalan. Dalam beberapa hal, ia bisa menyikapi persoalan itu dengan sangat serius –seperti kabar tertangkapnya seorang gerombolan yang sangat mungkin malah mendatangkan bencana sebagaimana yang terjadi di beberapa desa di Jawa Barat. Pada waktu itu, jika ada perkampungan yang diserbu oleh pihak gerombolan atau oleh pihak tentara yang menganggap perkampungan itu sebagai sarang gerombolan, maka yang tersisa dari kampung itu ada puing-puing bekas pembakaran rumah. Dan cerita penduduk kemudian menyangkut nama-nama yang menjadi korban. Oleh karena itu, berita penangkapan seorang gerombolan, harus disikapi secara serius.

Meskipun demikian, dalam waktu yang sama, berita tentang penangkapan gerombolan itu juga bisa disikapi dengan kelakar, guyon. Jadi, di antara kisah-kisah pembumihangusan sebuah perkampungan, pembantaian penduduk tak berdosa, masyarakat masih menjadikan berita dan kisah-kisah itu sebagai bahan lelucon. Sebagai sebuah peristiwa yang tak perlu diperlakukan secara berlebihan, seolah-olah semuanya bisa mendatangkan kiamat. Atau setidak-tidaknya, peristiwa dan berita yang mengerikan itu bisa ditempatkan sebagai sebuah komedi.
***

Yang juga menarik dari cerpen ini adalah derasnya keinginan pengarang untuk memasukkan sejumlah kosakata bahasa Sunda. Sangat mungkin itu disebabkan oleh ketidakmampuan bahasa Indonesia mewakili ekspresi pengarangnya yang disadarinya sendiri tidak dapat melepaskan diri dari kultur masyarakatnya. Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan ketika kita melihat begitu banyak kosakata bahasa Sunda bertebaran di sana. Kata-kata ngukurung, keletos, babet, beser dan sejumlah kosakata Sunda lainnya, memang khas yang tak ada pandanannya dalam bahasa Indonesia. Sebutlah misalnya kata kaprot, yaitu menampar dengan punggung tangan. Ia berbeda dengan tampiling (menampar), yaitu menampar dengan telapan tangan.

Dalam konteks warna lokal, tentu saja Ayatrohaedi sudah mendahului apa yang dilakukan banyak pengarang Indonesia dalam memanfaatkan kosakata daerah dan kultur etnik. Dalam banyak cerpen Ayatrohaedi, seperti “Yang Terjepit” (Tjerita, No. 4, Th. II, April 1958), “Djarak Makin Djauh” (Tjerita, No. 8, Th. II, Agustus 1958), “Seorang Wartawan” (Mimbar Indonesia, No. 32, Th. XII, 9 Agustus 1958), “Kereta tak Djadi Lewat” (Mimbar Indonesia, No. 17, Th. XIIm 26 April 1958), dan beberapa cerpen lainnya, tampak benar kesadaran memanfaatkan kosakata bahasa Sunda, bukan sekadar hendak memaksakan masuknya kosakata daerah, melainkan untuk kepentingan yang lebih mewakili ekspresi kreatifnya.
***

Jika dikatakan –seperti disebutkan di awal tulisan ini—sastra merupakan potret sosial yang juga mengungkapkan semangat zamannya, cerpen “Gerombolan” jelas dapat dijadikan contoh kasus. Kata-kata gerombolan (DI/TII), SOB (Staat van Oorlog en Beleg: keadaan darurat perang), BODM (Bintara Order Distrik Militer. Kini, Koramil ‘Komando Rayon Militer’), ngukurung (buruh tani yang bekerja jauh dari rumah tempat tinggalnya, sehingga terpaksa harus menginap atau tinggal di tempat kerja selama beberapa hari atau beberapa minggu bergantung pada tuntutan pekerjaannya) adalah kosa kata yang muncul pada tahun 1950-an itu. Oleh karena itu, estetika cerpen ini tidak hanya menyangkut tema sederhana yang justru di sebaliknya tersembunyi tragedi kemanusiaan akibat perang saudara, tetapi juga usaha pengarang untuk menampilkan sebuah potret kehidupan pada masa itu. Dalam hal itulah, cerpen ini menjadi penting sebagai salah satu gambaran sebuah masyarakat (Sunda) masa lalu (dasawarsa tahun 1950-an) ketika bangsa ini masih dilanda huru-hara.

Demikianlah, cerpen yang tampaknya sederhana itu, ternyata menyimpan banyak hal. Sebuah kajian sosiologis terhadap cerpen ini, tentu akan mengungkapkan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya cerpen ini. Bagaimana misalnya, keadaan masyarakat (Sunda) pada masa itu; bagaimana pula harapan-harapannya, kegelisahannya, atau juga kecemasan dan penderitaannya. Terbukti pula kini, bahwa sastra dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar