Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Sastra –di dalamnya tentu saja termasuk juga cerpen— bukanlah sekadar karya fiksional –menyulap fakta menjadi fiksi—tetapi juga catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat dan zaman tertentu. Sebagai sebuah kesaksian, sastra boleh jadi sekadar mencatat segala peristiwa itu tanpa pretensi. Atau, mungkin juga ia mencoba melakukan pemaknaan atas hakikat di balik peristiwa itu. Bahkan, tidak jarang pula sastra menjadi alat bagi pengarang untuk menyelusupkan ideologinya, menawarkan misi budaya, memprovokasi untuk melakukan pemihakan, atau meledek hal atau pihak tertentu secara tersembunyi. Itulah sebabnya, dari karya sastra, kita (: pembaca) kerap menemukan berbagai hal yang baik atau buruk; yang tersirat atau tersurat; ledekan atau pengagungan. Jadi, sebagai catatan sebuah kesaksian, sastra menghasilkan rekaman situasi sosial pada zamannya. Ia menampilkan semacam potret sosial. Dari sana, terungkap situasi sosial, di dalamnya sekaligus tersembunyi semangat zaman.
Mengingat catatan dan rekaman itu kadangkala dihasilkan dari sebuah tafsir dan evaluasi tentang satu atau berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan sastrawan mencoba memberi makna terhadapnya, maka tidak sedikit pula karya sastra yang mengisyaratkan tanda-tanda, petunjuk, prakiraan, atau sekadar potret saja yang di masa-masa berikutnya, ia menjadi semacam catatan sejarah; menjadi fakta historis subjektivitas pengarangnya. Ia mencatat dan merekam situasi sosial pada zaman tertentu dan kemudian mencoba pula memaknainya bagi kehidupan ini, sekalian juga mengisyaratkan berbagai kemungkinan akibat-akibatnya sebagai buah dari peristiwa itu. Jika kondisi sosial pada zamannya dimaknai sebagai sebuah isyarat, lalu apa yang bakal terjadi di masa hadapan atas masyarakat yang bersangkutan: kebahagiaan atau kehancuran? Dalam hal ini, sastra sering juga diperlakukan sebagai ramalan tentang perkembangan zaman dan tanda-tanda yang akan dihadapi di masa depan. Apakah ramalannya itu benar-benar terjadi atau tidak, tidaklah penting. Ia hanya bertugas memberi tanda-tanda, mengisyaratkan tentang sebuah peristiwa yang (mungkin) akan terjadi dan melanda masyarakatnya kelak.
Cerpen “Gerombolan” karya Ayatrohaedi ini ternyata tidaklah berindikasi sebagai sebuah “ramalan atau isyarat.” Dan tampaknya, ia memang tidak berpretensi ke arah sana. Ayatrohaedi sekadar memotret apa yang dirasakan dan dilihatnya. Jika ia tidak memberi isyarat atau tanda-tanda zaman yang akan datang, lalu apa maknanya bagi kehidupan masyarakat sekarang? Apakah karya itu kemudian tak bermakna sama sekali dan kita (: pembaca) tega melemparkannya ke keranjang sampah. Jika begitu, percuma juga kita menempatkan karya sastra sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya. Inilah contoh kasus, bagaimana karya sastra yang ditulis hampir setengah abad yang lalu, masih memancarkan tidak hanya menyangkut pesona estetikanya, tetapi juga fakta-fakta masa lalu sebagai sebuah potret sosial. Mari kita periksa.
***
Cerita yang diangkat Ayatrohaedi dalam cerpen “Gerombolan” sesungguhnya bukanlah sebuah kisah yang mengungkapkan peristiwa besar. Terkesan ia sekadar bercerita begitu saja seperti seorang pendongeng dalam tradisi lisan. Maka, gaya bertuturnya terasa mengalir enteng, tanpa kelak-kelok, tanpa niat berfilsafat, dan tak berkehendak membawa pembacanya berkerut kening. Justru dari situlah pesona estetik cerpen ini memancar dan menampakkan dirinya.
Dikisahkan, seorang penduduk desa, Mang Kentang, berhasil menangkap seorang gerombolan. Tentu saja penangkapan itu sebagai prestasi luar biasa bagi pelakunya. Berita penangkapan itu pun menyebar. Belakangan diketahui, bahwa yang ditangkap itu bukanlah gerombolan, melainkan seorang gila. Maka, tak ada alasan untuk tidak membebaskannya. Itulah ikhtisar cerpen yang pernah dimuat majalah Tjerita, No. 3, Th. II, Maret 1958.
Lalu, di manakah estetika cerpen yang tampak begitu sederhana itu? Secara tematis, jelas bahwa cerpen itu mengangkat peristiwa aktual pada zamannya. Tentang situasi kacau akibat konflik tentara dengan lasykar DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Karena layskar DI/TII sering melakukan penyerbuan secara bergerombol, tidak dilakukan seorang diri, tentara kemudian menyebutnya sebagai gerombolan DI/TII. Akhirnya, melekatlah kata gerombolan sebagai identik dengan lasykar DI/TII. Itulah etimologinya. Maka, bagi masyarakat Jawa Barat, yang dimaksud gerombolan itu adalah lasykar DI/TII. Jadi, seorang gerombolan tidak lain adalah seorang lasykar DI/TII. Dalam hal ini, terjadi pergeseran makna: gerombolan sebagai kelompok orang yang lebih dari dua orang menjadi lasykar DI/TII.
Pada awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1950-an, kekacauan yang terjadi di wilayah Jawa Barat semata-mata disebabkan oleh konflik antara tentara dan pasukan DI/TII. Tentu saja yang menjadi korbannya adalah rakyat. Tentara kemudian membentuk apa yang disebut sebagai “Pagar Betis” yang artinya pertahanan dengan melibatkan kekuatan rakyat. Jika di dalam cerpen itu diceritakan perihal keterlibatan rakyat dalam menjaga keamanan wilayahnya, hal tersebut dilakukan dalam kerangka pembentukan “Pagar Betis” itu.
Selain itu, gambaran yang diperlihatkan tokoh aku tentang ketakutannya pada serbuan gerombolan, kecemasan beberapa penduduk yang ngukurung dan hendak pulang ke kampungnya, dan munculnya istilah main rebab, menunjukkan situasi yang sangat mencekam. Penyerbuan pihak gerombolan ke perkampungan penduduk yang sering diikuti dengan pembunuhan –penggorokan-penyembelihan— atau pihak tentara yang juga melakukan hal yang sama kepada pihak gerombolan, ketika itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Cerita penduduk tentang orang-orang yang direbab, juga sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari.
Perhatikan kutipan berikut:
“Mang, selama masih ada di dalam kampung kami, kami masih bertanggung jawab atas keselamatan Emang semua. Cuma keluar dari kampung kami, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini jika Emang memaksa juga mau pulang. Baiklah saya mintakan izin pada Pak Mayor nanti.”
Dan mereka terlihat sangat gembira aku sanggupi demikian. Mereka meneruskan perjalanan mereka setelah aku berkata-kata sebentar dengan Pak Mayor. Dan ucapan terima kasihnya pun keluar berderai-derai dari mulutnya, tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.
Tampak dalam kutipan itu, bahwa keselamatan diri merupakan barang yang amat berharga. Maka, ketika penduduk yang habis ngukurung itu diizinkan Pak Mayor (: tentara) untuk melanjutkan perjalanannya pulang, mereka berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada si tokoh aku. “…tak bisa kuhitung lagi berapa kali mereka ucapkan.” Buat penduduk yang habis ngukurung itu, izin seorang aparat keamanan boleh dikatakan merupakan tiket keselamatan untuk sampai tujuan. Jadi, jika penduduk itu berulang kali mengucapkan terima kasihnya, hal tersebut sebagai ekspresi yang wajar, karena ada jaminan keselamatan untuk jiwa dan raganya.
Demikianlah, di balik tema yang diangkatnya, cerpen ini sesungguhnya menyembunyikan tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Munculnya istilah-istilah direbab (disembelih; digorok seperti orang sedang menggesek biola atau rebab), didorhos (dijedor dan hos nyawanya melayang: ditembak) menunjukkan betapa nyawa manusia diperlakukan seperti alat permainan, tak punya harga.
Meskipun demikian, kita juga dapat melihat, betapa semangat berguyon dan berkelakar, kerap juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda. Di balik tragedi kemanusiaan itu, si tokoh aku dan teman-temannya, masih sempat mempermainkan mereka, penduduk yang ngukurung itu. Demikian juga, salah tangkap orang gila yang dikira gerombolan, meski banyak terjadi dalam situasi darurat perang masa itu, bisa menjadi bahan obrolan yang berakhir dengan gelak tawa. Begitu pula jawaban-jawaban kacau si Gila berikut tingkah lakunya ketika ditanya Mang Kentang, justru mendatangkan kelucuan, dan bukan ketegangan sebagaimana seorang tahanan diancam akan disiksa dan ditempak.
Cara bertutur yang diperlihat Ayatrohaedi dalam cerpennya itu boleh jadi merupakan representasi masyarakat Sunda dalam memandang dan menempatkan persoalan. Dalam beberapa hal, ia bisa menyikapi persoalan itu dengan sangat serius –seperti kabar tertangkapnya seorang gerombolan yang sangat mungkin malah mendatangkan bencana sebagaimana yang terjadi di beberapa desa di Jawa Barat. Pada waktu itu, jika ada perkampungan yang diserbu oleh pihak gerombolan atau oleh pihak tentara yang menganggap perkampungan itu sebagai sarang gerombolan, maka yang tersisa dari kampung itu ada puing-puing bekas pembakaran rumah. Dan cerita penduduk kemudian menyangkut nama-nama yang menjadi korban. Oleh karena itu, berita penangkapan seorang gerombolan, harus disikapi secara serius.
Meskipun demikian, dalam waktu yang sama, berita tentang penangkapan gerombolan itu juga bisa disikapi dengan kelakar, guyon. Jadi, di antara kisah-kisah pembumihangusan sebuah perkampungan, pembantaian penduduk tak berdosa, masyarakat masih menjadikan berita dan kisah-kisah itu sebagai bahan lelucon. Sebagai sebuah peristiwa yang tak perlu diperlakukan secara berlebihan, seolah-olah semuanya bisa mendatangkan kiamat. Atau setidak-tidaknya, peristiwa dan berita yang mengerikan itu bisa ditempatkan sebagai sebuah komedi.
***
Yang juga menarik dari cerpen ini adalah derasnya keinginan pengarang untuk memasukkan sejumlah kosakata bahasa Sunda. Sangat mungkin itu disebabkan oleh ketidakmampuan bahasa Indonesia mewakili ekspresi pengarangnya yang disadarinya sendiri tidak dapat melepaskan diri dari kultur masyarakatnya. Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan ketika kita melihat begitu banyak kosakata bahasa Sunda bertebaran di sana. Kata-kata ngukurung, keletos, babet, beser dan sejumlah kosakata Sunda lainnya, memang khas yang tak ada pandanannya dalam bahasa Indonesia. Sebutlah misalnya kata kaprot, yaitu menampar dengan punggung tangan. Ia berbeda dengan tampiling (menampar), yaitu menampar dengan telapan tangan.
Dalam konteks warna lokal, tentu saja Ayatrohaedi sudah mendahului apa yang dilakukan banyak pengarang Indonesia dalam memanfaatkan kosakata daerah dan kultur etnik. Dalam banyak cerpen Ayatrohaedi, seperti “Yang Terjepit” (Tjerita, No. 4, Th. II, April 1958), “Djarak Makin Djauh” (Tjerita, No. 8, Th. II, Agustus 1958), “Seorang Wartawan” (Mimbar Indonesia, No. 32, Th. XII, 9 Agustus 1958), “Kereta tak Djadi Lewat” (Mimbar Indonesia, No. 17, Th. XIIm 26 April 1958), dan beberapa cerpen lainnya, tampak benar kesadaran memanfaatkan kosakata bahasa Sunda, bukan sekadar hendak memaksakan masuknya kosakata daerah, melainkan untuk kepentingan yang lebih mewakili ekspresi kreatifnya.
***
Jika dikatakan –seperti disebutkan di awal tulisan ini—sastra merupakan potret sosial yang juga mengungkapkan semangat zamannya, cerpen “Gerombolan” jelas dapat dijadikan contoh kasus. Kata-kata gerombolan (DI/TII), SOB (Staat van Oorlog en Beleg: keadaan darurat perang), BODM (Bintara Order Distrik Militer. Kini, Koramil ‘Komando Rayon Militer’), ngukurung (buruh tani yang bekerja jauh dari rumah tempat tinggalnya, sehingga terpaksa harus menginap atau tinggal di tempat kerja selama beberapa hari atau beberapa minggu bergantung pada tuntutan pekerjaannya) adalah kosa kata yang muncul pada tahun 1950-an itu. Oleh karena itu, estetika cerpen ini tidak hanya menyangkut tema sederhana yang justru di sebaliknya tersembunyi tragedi kemanusiaan akibat perang saudara, tetapi juga usaha pengarang untuk menampilkan sebuah potret kehidupan pada masa itu. Dalam hal itulah, cerpen ini menjadi penting sebagai salah satu gambaran sebuah masyarakat (Sunda) masa lalu (dasawarsa tahun 1950-an) ketika bangsa ini masih dilanda huru-hara.
Demikianlah, cerpen yang tampaknya sederhana itu, ternyata menyimpan banyak hal. Sebuah kajian sosiologis terhadap cerpen ini, tentu akan mengungkapkan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya cerpen ini. Bagaimana misalnya, keadaan masyarakat (Sunda) pada masa itu; bagaimana pula harapan-harapannya, kegelisahannya, atau juga kecemasan dan penderitaannya. Terbukti pula kini, bahwa sastra dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar