Kamis, 01 Januari 2009

Zaman Keemasan Teater di Surabaya Sudah Berakhir

Rakhmat Giryadi
http://teaterapakah.blogspot.com/

Kalau boleh ekstrim, pada dasawarsa 90-an, Surabaya mengalami jaman keemasan teaternya. Pada zaman itu, semangat para pekerja teater begitu tinggi. Pada tahun-tahun itu terasa sekali denyut kehidupan teater. Bahkan ada puluhan teater yang aktif, menghidupkan iklim perteateran Surabaya.

Boleh diingat, pada waktu itu, ada teater Jaguar, Dua Lima, Pavita, Rajawali, Nol, Ragil, Sanggar Soeroboyo, Teater Api Indonesia, Bengkel Muda Surabaya, di tambah dengan aktivitas teater di beberapa kampus-kampus yang aktif berpentas.

Pada masa itu, kegitan teater di Surabaya begitu marak, apalagi ditambah dengan adanya festival-festival yang representatif. Demikian juga banyak kritikus yang menyumbangkan pikirannya hingga menjadikan iklim teater Surabaya tidak hanya sekedar ramai di panggung-panggung tetapi juga di media massa. Akhudiat, Max Arifin, H. Bambang Ginting, Autar Abddilah, Zeinuri, L. Makali, adalah orang-orang yang sering menulis berbagai hal tentang teater.

Hampir semua kelompok teater dan kritikus mendesakkan gagasan-gagasannya. Mereka memiliki spirit yang begitu kuat, seakan kehidupan teater di Surabaya memiliki masa depan yang cerah.

Sayang, realitas itu tiba-tiba menjadi berbalik. Pada akhir dasawarsa 90-an, iklim teater di Surabaya yang tadinya gegap gempita tiba-tiba bagai lampu kekurangan minyak. Para pekerja yang tadinya menyorongkan berbagai hal wacana teater, tiba-tiba tak berdaya, melihat ‘teater’ dengan darah berceceran di jalan. ‘Teater’ berarak-arakan di jalan, sambil meneriakan yel-yel, menyumpah serapahi, menjarah, membakar, membunuh, menyeret-nyeret tubuh tanpa kepala, dan menjadikan kepala sebagai bendera kemenangan. Teater Surabaya seperti kehabisan darah segarnya.

Barangkali kalau digambarkan, mereka yang memiliki spirit teater realis, terbengong-bengong melihat realitas di depan matanya yang mengharu-biru. Sementara itu, mereka yang memiliki spirit teater absurd, juga tak kalah bengongnya ketika melihat manusia tanpa kepala diseret-seret keliling kota. Memang, pada akhir dasawarsa itu, Surabaya tergagap-gagap menerima ‘arus deras’ pertikaian budaya (baca : politik, ekonomi, agama, dan ras), yang oleh Yasraf Amir Piliang (2003), digambarkan sebagai masyarakat yang mengalami hipersemiotika. Sebuah dunia, yang di dalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, keaslian silang-menyilang dengan kepalsuan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur di dalam kemuliaan, sehingga di antara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas.

Akhirnya apa yang terjadi? Sedikit demi sedikit, mereka yang tidak bisa melihat kenyataan, mengundurkan diri dari dunia teater. Intensitas pertunjukan menjadi berkurang. Bahkan, lebih ironis lagi, Surabaya lebih banyak dikunjungi oleh ‘tamu’ dari luar Surabaya dan Jawa Timur, dan tanpa bisa menyuguhi apapun, selalin rasa iri.

Dan rujukan untuk menyebut teater Surabaya, menjadi kesulitan. Karena tak ada kelompok yang benar-benar fenomenal, macam teater teater Kubur (Dindon WS) di Jakarta, teater Payung Hitam (Rahman Sabur) Bandung, Gandrik (Heru Kesawamurti dan Butet Kertarejasa) dan Garasi (Yudi Ahmad Tajudin), Jogjakarta, Gapit (Bambang Widoyo SP), Gidak-Gidik (Hanindawan), Ruang (Joko Bibit) Solo.

Mereka yang berada di balik nama-nama teater itu, telah menjadi ‘juru bicara’ bagi kelompoknya masing-masing, untuk menciptakan sejarah dan menciptakan ideologi, bagi perkembangan teater modern Indonesia. Sementara itu, Surabaya malah seperti kehilangan sejarah. Surabaya seperti tidak punya apa-apa dan siapa-siapa.
Gagah tapi Miskin

Meminjam istilah WS.Rendra, kegagahan dalam kemiskinan, tampaknya itulah yang sedang dihadapi teater Surabaya. Secara ringkas, wajah teater Surabaya, memiliki kendala yang sering diartikulasikan baik lewat tulisan, diskusi, dan pembicaraan sambil lalu adalah masalah miskin gedung yang representatif, stok aktor yang sedikit, sutradara yang langka, penata artistik yang langka, regenerasi yang terputus, masyarakat penonton yang semu.

Sebagaimana telah diramaikan di media massa beberpa waktu lalu, bahwa Surabaya butuh gedung yang representatif untuk pertunjukan teater. Sementara ini, teater Surabaya tidak memiliki gedung yang jadi rujukan untuk pentas. Kalau di Jakarta ada Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Teater Untan Kayu, paling tidak Surabaya harus memiliki satu atau dua gedung yang memiliki arti representatif tersebut. Memang Surabaya ‘tidak memiliki’ gedung yang representatif.

Belum lagi persoalan aktor yang konon tidak mudah ‘diciptakan’. Di Surabaya, meskipun antara tahun 70-90-an secara periodik dalam Lomba Drama Lima Kota (LDLK), telah memilih aktor dan aktris terbaik, juga tak memunculkan aktor yang kuat bertahan berteater. Kemanakah mereka yang pernah mendapat penghargaan aktor dan aktris terbaik LDLK?

Sutradara dalam arti yang sebenarnya, tampaknya Surabaya sangat miskin. Bahkan kalau boleh ekstrim, Surabaya tidak memiliki sutradara, pasca generasi Akhudiat –hanya sekedar menyebut nama. Sejak digulirkanya LDLK-pun juga tidak memunculkan sutradara yang mewakili zamannya. Di Surabaya, sutradara hanya berlaku sebagai pemimpin arstistik dan pelatih. Merekalah yang memberikan intruksi keseluruhan artistik dan bentuk-bentuk latihan yang akan dipentaskan. Sutradara yang memiliki kemampuan literer, boleh jadi Surabaya tidak memiliki.

Bahkan Surabaya dalam kasus perkembangan teaternya seperti a-historis. Dari generasi ke generasi seperti tidak memiliki benang merah. Apakah itu satu usaha kreatif, memberontak dari para suhunya, untuk tidak hanya sekadar perpanjangan tangan dari, Akhudiat, Bambang Sujiono, Wally Sardil, Hare Rumemper, Elyzabet Luther, Bambang Ginting, Meimura, dll? Belum ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini, bahwa generasi penerus teater di Surabaya sedang mengalami ketergagapan membaca sejarahnya?

Ketergagapan itu diikuti dengan semakin banyaknya penonton yang meninggalkan teater. Mereka lebih memilih gedung teater 21 dari pada berpanas-panas ria di Gallery DKS yang pertunjukkannya belum tentu memberikan mereka ‘katarsis’ (baca:kepuasan). Barangkali sedikitnya penonton, memang tidak bisa dijadikan tolok ukur sebuah tontonan teater. Tetapi kecenderungan teater semakin ditinggalkan penonton menjadi signifikan dengan kegairahan pekerja teaternya. Bagaimana tidak trenyuh bila telah berproses berbulan-bulan hanya ditonton oleh puluhan orang yang nota bone juga teman-temannya sendiri, yang sudah tahu prosesnya terlebih dahulu? Apakah ini bukan orgasme yang ironis. Sebuah kenikmatan yang menjemput kematian.

Surabaya butuh Teater

Namun demikian, Surabaya masih diuntungkan, ada Teater Api Indonesia (Luhur Kayungga dkk), Ragil (Meimura), Tobong (Dody Yan Masfa), dan beberapa teater kampus yang tidak ada lelah-lelahnya, mencoba menghidupkan teater di Surabaya. Kelompok itulah –disamping kelompok teater kampus, seperti Teater Kusuma (Untag), Teater Institut (Unesa), yang menurut ingatan saya secara periodik –tahunan- bisa mementaskan satu naskah drama, baik karya sendiri maupun naskah babon dari penulis lain.

Paling tidak, kedua arus itulah yang menjadi lampu kuning (baca : tanda-tanda) bahwa teater di Surabaya ‘masih ada’ namun masih membutuhkan eksistensi yang cukup kuat, agar teater tidak sekedar menjadi tontonan tetapi benar-benar menjadi sebuah wacana yang bisa menghadirkan dialetika antar masyarakat pendukungnya (penonton, kritikus, media massa). Bila semua ini terjadi, kehendak untuk berteater memiliki peluang yang melegakan. Teater menjadi memiliki masa depan yang diciptakan atas dasar pemikiran yang terus hidup. (*)

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar