Rama Dira J
http://www.kompas.com/
AKU mendengar sesuatu. Denting shamisenkah itu? Hmm, begitu cantik. Siapa yang memainkan? Pasti dia juga cantik. Langkah kakiku makin bersemangat menuju ke arah kaki bukit. Denting shamisen di pagi buta itu telah menghipnotisku.
Dulu aku pernah mendengar denting shamisen yang cantik. Tapi bukan di tempat ini. Aku mendengarnya di Kyoto. Gadis cantik di sebelah apartemenku yang memainkannya. Namanya Kiyoko. Ah, Kiyoko. Aku sudah terlanjur menjadikannya bagian dari masa laluku. Kami pernah menjalin hubungan, meski tak berumur lama. Aku memutuskan hubungan kami ketika tiba saatnya aku harus meninggalkan Kyoto, setelah studiku selesai.
Kini, aku kembali mendengar denting yang serupa. Aku berani memastikan, yang memainkan shamisen ini pasti cantik, sebab Kiyoko cantik. Meski Kiyoko pernah mengatakan padaku bahwa tak ada hubungan antara denting shamisen dengan kecantikan pemetiknya, aku sudah terlanjur yakin, jika yang memetik shamisen adalah perempuan cantik maka denting shamisen yang dihasilkan juga cantik.
Mulanya, denting yang kudengar kali ini malu-malu, hanya sayup-sayup saja, seperti petikan-petikan yang berasal dari mimpi. Tapi kini, ia begitu bening, mengalun lembut, membuai-buai, menyusup menembus kabut yang mengapung, bergulung-gulung dalam hembusan angin, menghantam dinding bukit, terpelanting hingga ke lembah.
Huhh….. hanya tangan putih gemulai dengan jari-jari lentik, yang bisa menghasilkan petikan secantik itu. Aku mempercepat langkah. Kabut di depanku berhamburan perlahan untuk kemudian lenyap seperti ada tangan raksasa yang menyibaknya, memberi restu jalanku kepada si pemetik shamisen.
Pagi belum sempurna sebenarnya. Matahari masih malu-malu di ufuk timur. Aku terus berjalan dengan tas ransel di pundak yang dipenuhi dengan peralatan fotografi. Denting-denting itu semakin jelas, seperti sengaja diperdengarkan khusus untukku supaya segera mendatangi si pemetiknya.
Kesenyapan kaki bukit yang dihiasi kecantikan denting shamisen itu tiba-tiba terganggu oleh deru iringan truk bermuatan penuh manusia yang dengan susah payah berjuang mendaki di jalan yang menanjak. Truk-truk itu kemudian menyalipku. Setelah berbelok pada jalan yang menikung di depan sana, truk-truk itu berhenti. Dari atasnya para gadis pemetik teh yang berasal dari lembah, berloncatan keluar. Mereka semua mengenakan caping bambu yang lebar di kepala dan sepatu karet tinggi di kaki serta keranjang bambu di pundak. Tanpa buang banyak waktu, mereka bergegas menuju ke kebun teh untuk segera memetik pucuk-pucuk dedaunan di sana.
Matahari sudah muncul sempurna. Semakin dekat saja denting shamisen itu. Aku bergegas, tak sabar bertemu dengan pemetiknya, khawatir kalau-kalau ia tiba-tiba berhenti dan aku pun kehilangan jejak. Jalan mendaki yang kulewati kini, lurus membentang. Di depan mataku, persis di kaki bukit, kulihat ada sebuah vila besar bergaya Renaisans, yang seolah-olah mendadak muncul dari balik kabut. Denting shamisen terdengar jelas dari arah vila itu, aku jadi tak ragu mengarah ke sana.
Tiba di depan vila itu, tak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat. Hanya denting shamisen yang membuatku yakin kalau vila itu dihuni. Aku memencet bel di depan pagar besi yang berdiri kokoh dengan ujung-ujung seperti tombak menghujam langit. Denting shamisen berhenti. Dari jalan kecil di samping vila itu muncul seorang perempuan berbusana tidur panjang. Dari jauh, ia sudah tersenyum ramah menyambutku. Di balik pagar, ia langsung menyapa, “Ada yang bisa saya bantu?”
“Ya. Dari tadi, saya mendengar petikan shamisen yang indah di sekitar sini. Saya ingin berkenalan dengan pemainnya. Apa benar berasal dari vila ini?” Ia tak segera menjawabku. Sebentar, ia memandang mataku. Mungkin, setelah yakin kalau aku orang baik-baik, ia akhirnya mengiyakan apa yang kutanyakan.
“Jadi, Anda pemetik shamisen itu?” tanyaku lagi setelah ia membukakan pintu pagar, mempersilahkan aku masuk.
“Ya…” jawabnya pelan dengan desahan.
Sekali lagi, apa yang menjadi keyakinanku bahwa denting shamisen yang cantik hanya bisa dihasilkan oleh pemetik yang cantik, mendapatkan pembenaran kali ini. Perempuan ini cantik, meski tak lagi masuk dalam kategori gadis muda. Perempuan itu mengajakku melintasi jalan kecil di samping vila untuk menuju ke taman belakang.
Taman itu adalah taman yang ditata sedemikian rupa, dimana tanaman-tanaman pangkasnya yang hijau seluruh, dibiarkan tumbuh setinggi tubuh orang dewasa, membentengi jalan kecil yang melingkar-lingkar yang tak kuketahui dimana ujungnya. Di bagian tengah taman itu ada sebuah ranjang spring bed yang besar dengan naungan fiberglass permanen yang terpasang di atasnya. Di atas ranjang itu terbaring sebuah shamisen. Perempuan itu duduk di tepi ranjang sementara aku duduk di hadapannya, pada bangku batu. Untuk memecahkan suasana asing aku kemudian memperkenalkan diri kepadanya. Kukatakan bahwa namaku Nino, fotografer dari sebuah majalah fotografi di Jakarta dan aku datang ke daerah Puncak ini untuk mengambil foto aktifitas pemetikan teh yang ada di kebun teh.
“Jadi, Anda wartawan?” Ia menanyaiku dengan ekspresi penuh kecurigaan sambil menuangkan teh dari teko ke gelas kecil yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Sempat kuperhatikan tangannya. Sekali lagi aku benar. Tangan itu adalah tangan putih gemulai dengan jari-jari lentik penghasil petikan yang cantik.
“Bukan, saya hanya fotografer. Saya bukan wartawan.” Mendengar itu, ia tersenyum lantas mulai bercerita kepadaku bahwa ia takut bertemu dengan wartawan. Ketika kutanya mengapa, ia bilang dirinya merupakan bagian dari rahasia seseorang yang mempunyai kedudukan politis yang penting di negeri ini. “Dia anggota dewan”. Katanya lagi, jika sampai ada wartawan yang mendatanginya dan kemudian mengendus rahasia ini, maka tamatlah karir yang dimiliki kekasihnya itu. Tanpa malu-malu ia memberikan pengakuan yang lebih jauh lagi kepadaku bahwa dia berstatus kekasih simpanan.
“Sudah tiga bulan ia tidak menandatangiku. Ia sibuk melawat ke luar negeri.”
Aku hanya mengangguk tak begitu peduli dengan pengakuan yang disodorkan oleh perempuan itu. Ia kembali duduk di ranjang. Ia ambil shamisennya untuk kemudian ia petik, mengiringi acara minum teh kami. Dalam iringan shamisen ia kembali bercerita, “Sebenarnya, aku tidak pernah mengira hidupku seperti ini. Tinggal di vila besar, penuh dengan kemewahan, tapi dibiarkan sendirian, bahkan tanpa pembantu” Ia melanjutkan bahwa kekasihnya meminta ia tetap tinggal di dalam vila itu seorang diri agar perselingkuhan sang kekasih tidak diketahui oleh keluarganya dan media. Jadilah ia kini sebagai perempuan yang selalu menunggu.
“Akhir-akhir ini aku mulai menyadari bahwa harta yang memang menjadi motivasi awalku untuk menjalin hubungan dengan kekasihku itu, tak bisa menghasilkan kebahagiaan sebagaimana yang kukira. Dan, ia tidak pernah menyadari bahwa aku juga membutuhkan perhatian dan kejelasan status.” Ia berhenti memetik shamisen untuk menyeruput tehnya. Ia kembali bercerita sambil memetik shamisen setelah cangkir di tangannya tandas.
“Sampai sekarang ini, ia tidak berhenti membanjiriku dengan uang dan hadiah. Padahal, aku tak begitu butuh semua itu. Aku menginginkan dirinya. Aku ingin dia segera menikahiku. Jika aku mengatakan itu padanya, ia tak pernah menanggapinya dengan serius.” Ia berhenti memetik shamisennya, membaringkannya.
“Shamisen ini ia beli di Kyoto dua tahun yang lalu waktu ia ikut lawatan ke Jepang. Ini adalah jenis shamisen yang langka. Harganya mahal. Hanya ini pemberiannya yang kusuka. Shamisen dari Kyoto..”
Kyoto? Aku jadi teringat dengan Kiyoko. Jangan-jangan itu shamisen milik Kiyoko. Kiyoko menjualnya setelah aku meninggalkannya. Mungkinkah itu? Ah, pikiranku terlalu jauh.
Aku mendekat, mengambil shamisen itu setelah ia menyodorkannya kepadaku. Kuperhatikan, memang ini adalah shamisen jenis yang langka, sudah jarang ada di pasaran. Tiga dawainya terbuat dari benang sutera. Bagian kepalanya tertutup kulit yang berasal dari kulit kucing. “Ya. Ini memang shamisen yang langka.” Aku kembali memberikan shamisen itu kepadanya dan ia mulai lagi memetiknya. Aku kembali duduk, mengambil cangkir tehku, menghirupnya sedikit demi sedikit sambil terus menikmati denting yang cantik dari shamisen itu.
Ia terus bercerita bahwa dulunya ia sempat kuliah di sekolah seni selama enam semester. Ia mengambil jurusan alat musik tradisional. Selama dua semester itulah ia sempat belajar memetik shamisen. Namun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti kuliah setelah berkenalan dengan kekasih yang menawarkan kehidupan yang penuh dengan janji kebahagiaan itu. Meski orang tuanya menentang keputusan itu, ia tidak peduli. Malahan ia melangkah lebih jauh lagi. Ia menerima saja untuk dijadikan sebagai kekasih simpanan lelaki yang sudah beristri itu. Orang tuanya menjadi semakin murka mendengar kabar tersebut hingga kemudian membuat mereka tak lagi menganggapnya sebagai anak.
“Akhir-akhir ini, aku kangen pada mereka semua. Aku kangen ibu, ayah dan adik-adikku.” Dari air matanya yang menitik, aku tahu ia sudah lama merasakan kesepian yang menyakitkan. Aku mencoba menenangkannya. Dengan berlagak agak sok tahu, aku bilang padanya bahwa konsekuensi yang diterima sebagai orang kedua memang selalu tidak enak. Aku kemudian mencoba memberinya usul, kalau memang ia ingin lepas dari kesepian dalam penjara kemewahan itu, ia harus meninggalkan vila dan semua kenangan bersama sang kekasih yang sejak mula sudah ia ketahui telah menjadi milik orang lain itu.
“Aku mencintainya dan katanya dia juga mencintaiku.”
“Oh, kalau begitu, lain soal. Ini masalah perasaan. Aku tidak bisa mengusulkan sesuatu yang bisa menjadi solusi.”
Aku kemudian diam, ia kemudian bercerita lagi bahwa taman labirin ini adalah salah satu bentuk realisasi rasa cinta sang kekasih kepadanya. Kekasihnya membuat taman labirin itu karena memang perempuan ini mengimpikan taman semacam itu semenjak ia kecil. Di taman itulah katanya mereka menghabiskan banyak waktu jika sang kekasih datang.
Ia terus menumpahkan segala macam rasa kesepiannya kepadaku. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Sementara itu, sinar matahari mulai bisa menembus masuk ke dalam taman labirin. Aku kemudian mempertimbangkan untuk pamit pada perempuan itu sebab dalam pikiranku, inilah saat terbaik untuk mengambil foto para gadis pemetik teh. Setelah kukatakan itu, ia tidak mengijikan aku pergi. Ia malah memohon padaku untuk di sana dulu beberapa saat.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu” katanya kemudian, sambil menarik tanganku, mengajakku menuju ke bagian dalam taman labirin itu. Aku pun menurut saja ke mana ia membawaku. Kami terus berlari masuk dan masuk. Membelok ke kiri, ke kanan, menemukan jalan buntu, kembali lagi ke arah semula, mencari jalan lagi, berjalan terus masuk, keluar, masuk, keluar, jalan buntu, kembali lagi, jalan lagi.
Katanya, ia sekedar ingin menunjukkan apa yang selama ini sering ia lakukan bersama sang kekasih. Untuk menenangkan nafasnya yang sudah satu-satu, ia mengajakku duduk pada sebuah bangku batu. Di tengah diam kami yang tiba-tiba, aku menagih janjinya, “Boleh saya pamit sekarang?”. Bukannya mengiyakan, ia malah tertawa dan dengan santainya berkata, “Aku tak tahu jalan keluar.” Aku panik, dia malah menarikku, memelukku, membawaku bergulung-gulung di atas rumput permadani yang ada dalam taman labirin itu.
***
DENGAN wajah yang dihiasi senyuman penuh kebahagiaan, ia berdiri di balik pagar untuk melepas kepergianku. Kami baru saja menemukan jalan keluar dari taman labirin itu ketika matahari sudah condong ke barat. Aku segera meninggalkannya, meninggalkan vila itu, meninggalkan taman labirin, meninggalkan sebuah peristiwa, menuju ke kebun teh untuk mengambil foto para gadis yang tengah memetik teh dalam lanskap senja.
Semakin menjauh dari vila itu, justru kudengar denting shamisen cantik yang makin mendekatiku. Mendadak, aku kembali teringat Kiyoko di Kyoto.
Jogja 2007 – Tarakan 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
1 komentar:
Bagus banget,,, romanis sekali....
Posting Komentar