Sanie B. Kuncoro
http://www.jawapos.com/
Pertanyaan pertama: apakah kau perempuan?
Pertanyaan kedua: apakah orientasi seksualmu hetero?
Bila kedua jawaban tersebut adalah ''ya'', maka inilah pertanyaan ketiga: pernahkah berpikir untuk menghitung berapa laki-laki yang berkelindan di dalam hidupmu?
Bila ada salah satu yang terjawab ''tidak'', maka tidak ada pertanyaan lanjutan. Pembacaan ini boleh saja dilanjutkan, atau bisa saya dihentikan. Terserah opsi mana yang terpilih.
Ini sama sekali bukan sebuah uji statistik, bukan pula sebuah pikiran iseng yang mendatangi ketika keadaan diri sedang atau kosong tanpa berkegiatan. Tiba-tiba saja pertanyaan itu menghampiriku suatu ketika --tanpa merasa perlu untuk menjelaskan alasan yang melatarinya-- dan menggandengku untuk menelusuri jalur perjalanan masa silam dengan sosok laki-laki di beberapa perhentiannya.
Banyak laki-laki kutemui di sepanjang perjalanan, tidak semuanya mampu membuatku untuk benar-benar berhenti dan singgah dalam kehidupan mereka.
Di antara yang menghentikanku itu, tidak setiap kali kumaksudkan perhentianku sebagai sekadar singgah. Ada beberapa di antaranya yang membuatku ingin menetap. Membuatku tidak ingin pergi lagi. Bukan karena aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan, melainkan lebih karena merasa telah menemukan sebuah ''rumah'' yang tepat, yang membuatku selalu merasa ingin berada di dalamnya.
Tapi agaknya dinamika kehidupan tidak selalu terwujud seperti yang kita inginkan. Banyak hal mengondisikanku untuk tidak menetap, melainkan hanya singgah untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Dengan atau tanpa keinginan. Meninggalkan luka atau sekaligus membawa kepahitan. Beberapa luka itu tersembuhkan dengan cepat, namun di antaranya ada yang memiliki sayatan begitu dalam sehingga meski di permukaan nampak pulih, namun sesungguhnya luka di dalamnya masih menyimpan kepedihan yang terbawa ke mana pun. Luka dalam ingatan yang tak beranjak pergi meski dihantam dengan antibiotik dosis tinggi sekalipun.
Persinggahan pertama itu tidak akan pernah kulupa.
Seorang berbeda iman, namun melakukan satu hal untukku yang melekat dalam ingatan hingga hari ini.
''Pukul berapa ibadahmu besok?'' tanyanya pada suatu akhir pekan
''Entahlah,'' jawabku ringan. ''Belum kutahu akan kupilih pagi atau sore hari.''
Namun ternyata aku bangun terlalu pagi hari itu hingga kusiapkan diri untuk mengikuti ibadah pertama.
Lalu kutemukan dirinya di depan pintu diam-diam menunggu untuk mengantarku beribadah. Pagi begitu muda ketika itu, bahkan kabut masih berserak di beberapa tempat dengan dingin yang menebar. Namun alangkah hangat perhatian yang disentuhkannya padaku.
Pagi itu aku merasa sangat dicintai, sekaligus sangat mencintainya. Ketika berada di boncengan motornya, alangkah ingin aku memeluknya. Namun aku terlalu rikuh untuk melakukannya, maka hanya kusandarkan diri pada punggungnya. Punggung yang hangat, yang menghadang angin menerpaku.
Sandaranku yang pertama.
Sampai suatu ketika dia absen beberapa lama dari kampus dan seorang teman tanpa prasangka memberitahu bahwa dia harus pulang kampung karena tunangannya sakit.
Tunangan?
Aku gemetar ketika itu, apalagi saat kudapati jawaban yang tanpa beban.
''Apa istimewanya pertunangan? Janur belum melengkung, aku masih punya hak untuk berganti pilihan, dan aku akan memilihmu,'' katanya tenang, meyakinkanku.
Namun tidak ada keyakinan di dalam diriku bahwa pilihannya padaku akan bertahan selama yang kuinginkan. Andai pun janur telah melengkung untukku, bisa terjadi akan dimilikinya dalih untuk menegakkan janur itu kembali demi mengesahkan hasrat untuk berganti pilihan.
Maka, aku memilih untuk tidak terpilih.
Aku berkemas dan beranjak pergi dari sandaran hangat itu, sembari membawa kepedihanku. Sayatan lukaku yang pertama.
***
Laki-laki yang kedua adalah seseorang yang pada mulanya menjadi sahabat.
Seorang dengan kecerdasan terbaik yang pernah kukenal, sekaligus memiliki nilai-nilai moral yang sedemikian lurus. Sedemikian rupa kelurusan itu teguh mengakar di dalam dirinya sehingga membuatnya terlalu keras pada diri sendiri dan orang lain.
Digariskannya satu keyakinan bahwa perempuan selayaknya tidak hanya mengoleksi indeks prestasi tinggi pada rapor hidupnya, melainkan juga keahlian meracik bumbu di dapur sekaligus melahap banyak literatur.
Sementara kutemukan di dalam diriku bahwa aktivitasku di dapur hanyalah merebus air atau telur. Indeks prestasi kumulatifku selalu tidak lebih dari 3 (dengan skala 4). Dan literatur yang kulahap hanyalah fiksi roman.
Maka, aku merasa menyusuri lorong labirin. Teduh lorong itu dengan dinding yang kuat. Mengamankan aku dari ancaman cuaca atau sergapan bahaya apa pun. Aku tak akan terhantam oleh angin, hujan, panas apalagi dingin. Setiap jengkal dinding bisa kusandari dengan rasa aman yang meyakinkan.
Namun sekaligus itu adalah labirin yang melelahkan, yang memberikan tekanan pada setiap langkah untuk menjadi sebagai seseorang dengan kualitas yang memenuhi standar-standar terpancang, sementara tidak kumiliki cukup daya untuk mencapai standar itu.
Maka aku menyerah.
Lalu dibukanya pintu dan dilepasnya aku pergi. Tanpa saling melukai atau menyimpan sakit hati. Kesepakatan bersama lebih karena terlalu banyak hal yang mesti dipertimbangkan demi keselarasan.
Namun ternyata kami tak pernah benar-benar saling pergi. Selalu ada kesempatan untuk saling mengunjungi beranda masing-masing, mengunyah remah-remah kedekatan yang tersisa. Meneguk minuman pertemanan yang tidak selalu manis dan hangat, melainkan terkadang pahit dan bahkan membuat tersedak. Namun keping persahabatan selalu tersedia dan tersimpan rapi di dalam stoples benak kami masing-masing. Jalinan persahabatan yang tak usai hingga kini.
***
Laki-laki ketiga adalah seorang anak bungsu yang mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian penuh dari seluruh keluarga, terutama ibunya. Sedemikian rupa perhatian itu menguasainya sehingga dia mengira akan mendapatkan hal yang sama dari semua orang. Bahkan merasa berhak untuk menuntut apa yang diinginkannya.
Ketika itu aku sedang dalam masa awal meniti karir, sehingga sedemikian bergairah mengerjakan tugas-tugas kantor, bahkan membawa pulang kertas-kertas kerja untuk lembur di rumah. Suatu ketika kertas kerja itu membuatku tidak terlalu mempedulikan kedatangannya. Maka, begitu saja direbutnya kertas kerjaku dan dihamburkannya berserak.
Kemarahan yang sama sekali tak terduga. Sangat mengejutkanku. Namun, kemarahan itu ternyata segera mereda dengan belaian dan kecupan yang kuberikan. Sama persis dengan seorang anak yang mereda tangis dan rengekannya ketika mendapatkan permen atau mainan yang diinginkannya.
Tidak sulit sebetulnya mengendalikan tipikal laki-laki semacam itu, yang diperlukan hanya kesabaran. Tapi, masalahnya tidak kumiliki persediaan kesabaran yang memadai.
Suatu kali aku dikejar oleh deadline sebuah tugas yang sangat mendesak. Kukerjakan tugas itu di dalam mobil sementara dia mengemudi. Kupikir tugas itu bisa selesai sebelum kami sampai di tujuan sehingga acara kami tidak akan terganggu, sekaligus tugasku selesai dengan rapi tepat waktu.
Tapi, mendadak kemudian direnggutnya kertas-kertasku, dirobek, dibuang, dan diusirnya aku dari mobilnya. Aku turun dengan segera, tanpa sempat terkejut dan mengejar lembaran kertasku yang terbuang. Aku tidak ingin kehilangan kertas-kertas itu karena tidak ada waktu lagi untuk mengulang mengerjakannya. Lalu kucari angkutan umum, meski dia memohon padaku untuk kembali ke mobilnya.
Tidak. Aku tidak hanya tidak kembali masuk dalam mobilnya, melainkan pergi dari seluruh kehidupannya. Kuyakinkan pada diri sendiri bahwa tidak kumiliki kesabaran seorang ibu, apalagi pengabdian seorang pengasuh.
Benar bahwa suatu kali nanti aku akan menjadi ibu dan akan kuasuh anak-anakku dengan kesabaran dan kasih sayang. Tapi aku tidak akan menjadi ibu dan pengasuh bagi seorang laki-laki berumur seperempat abad yang selayaknya menjadi sandaranku.
***
Lalu, perkembangan karirku menyita hari-hariku hingga bertahun-tahun kemudian. Seakan kujejaki dunia baru yang membuatku sedemikian bergairah, memberiku kecukupan dalam banyak hal dan tidak memberi jeda untuk mencari hal-hal yang menggelisahkan sekaligus merepotkan semacam laki-laki.
Hingga kemudian kutemukan laki-laki keempat itu.
Seseorang yang membawaku kembali pada dunia dan komunitas yang lama kutinggalkan. Seorang laki-laki bukan bujangan yang bertahun kemudian masih mengingat gaun yang kukenakan kala pertama kali bertemu dengannya. Seorang laki-laki yang pada pertemuan kedua telah menempatkan aku di dalam pelukannya. Pelukan yang mengembalikan ingatanku tentang kenyamanan rasa bersandar. Rasa yang telah terlupa dan seakan tak kuperlukan lagi.
Seorang laki-laki yang keberadaannya membuatku harus melakukan permainan serupa layang-layang. Tarik ulur lambungan rasa antara kangen dan dirindui serta perasaan terhempas ketika terjauhi.
Permainan yang sesungguhnya mengasyikkan, memicu adrenalin sekaligus membimbangkan ketika ingatan pada etika moral memberikan peringatan. Berapa lama permainan semacam ini akan bertahan?
Lalu pada suatu ketika kuputuskan untuk mengakhiri permainan itu. Kurenggangkan tali dari genggaman, dan kurasakan benang bergerak perlahan menelusuri telapak tangan dan akhirnya terlepas, mengikuti gerak layang-layang melayang pergi terbawa arah angin. Tak ada kesedihan ketika itu, serupa melepas kertas melayang tak berarti.
Sampai kemudian pemilik layang-layang itu datang dan memberiku sebuah buku cerita dengan tokoh utama memiliki nama yang sama persis dengan nama lahirku, sekaligus tahi lalat pada posisi yang serupa dengan yang kupunya. Itu adalah tahi lalat air mata. Setitik bercak hitam persis di bawah garis mata sebelah kanan. Dan, nama lahir itu, adalah nama lahir yang tidak lagi kupakai dan sangat sedikit orang mengetahuinya. Laki-laki itu tidak termasuk di antara yang sedikit itu.
Barangkali itu hanya semacam kebetulan. Namun alangkah mengharukan ''kebetulan'' itu bagiku.
Maka, kemudian kutemukan sesuatu yang berserak di dalam diriku. Serakan serupa kepingan yang berasal dari patahan bernama hati. Patahan yang senantiasa memunculkan luka. Maka kupungut kepingan berserak itu, bukan untuk disusun kembali -karena niscaya akan terlalu banyak retakannya- melainkan untuk disimpan sebagai kenangan.
Kepatahan yang memicu kesendirian, yang menghampiri dan menggigitku dengan ketajaman taring-taringnya. Untuk pertama kalinya aku merasa gentar menghadapi kesendirian, yang selama ini kunikmati bahkan kucari dengan gagah berani. Kali ini aku gentar, oleh suatu kesadaran betapa getir kesendirian itu sesungguhnya.
Lalu rasa takut itu merayapiku, dan menggerakkanku untuk menemukan laki-laki kelima, yang suatu kali pernah kuabaikan.
Serupa menemukan plester penutup luka, aku tahu bahwa seseorang ini akan mengatasi lukaku untuk sementara. Sementara, karena aku tahu dengan pasti laki-laki itu memiliki banyak hal yang tidak kusuka. Tipikal pemberontak yang tak pernah memiliki basa-basi, namun menyimpan koleksi puisi yang memabukkan.
Tanpa basa-basi apalagi permisi, laki-laki itu menyergapku pada sebuah dini hari dengan sebuah pagutan. Pagutan yang sangat telak sekaligus kurang ajar. Namun justru menjadikannya sebagai pagutan menggetarkan yang membekas lama dalam ingatan.
Lalu, ditemukannya kemulusanku yang menakjubkannya, dan kemudian dijelajahinya tanpa mampu kucegah.
''Kau milikku dan aku akan menjadi laki-laki pertama yang menelanjangimu,'' katanya sepenuh keyakinan.
Sangat kurang ajar.
Namun yang kudapati pada diriku bukan rasa marah, melainkan rasa tertaklukkan. Sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Kini aku mencecapnya, menikmatinya dan bahkan menghendakinya kembali pada suatu ketika. Dominasi laki-laki itu atasku menjejakkan sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Dominasi itu entah bagaimana, tidak terasa menjajah, namun justru melenakan.
Alangkah ambigunya perempuan.
Selalu tidak ingin dianggap lemah, kerapkali merasa dilecehkan, namun pada sisi yang lain muncul keinginan untuk ditaklukkan, mencari sebuah dekapan yang mampu membuat diri ingin menyerah pasrah.
Tapi mengapa aku harus menyerah oleh karena sebuah interaksi yang bahkan tidak melibatkan cinta di dalamnya, selain hanya ketakjuban sesaat? Namun pada saat yang sama aku juga tidak ingin kehilangan, sekaligus pula aku bukan pula seorang yang bisa sungguh-sungguh menyerah. Kontradiksi yang membimbangkan, memicu segala gerak yang tanggung.
Dengan segera penyerahanku yang tanggung membuatnya gusar.
''Kau perempuan paling tidak jelas yang pernah kutemui,'' katanya habis sabar. Lalu pergi.
Apakah kalian tahu rasanya ditinggalkan?
Itu adalah perasaan yang membuatmu serupa jerami, batang padi yang kosong tak berguna setelah masa panen. Merasa sia-sia setelah dieksplorasi tuntas selama masa pertumbuhan.
Maka, aku tidak mau ditinggalkan.
Aku hanya mau meninggalkan.
Aku tidak sudi ditinggalkan, apalagi oleh seseorang yang telah menelusuri sudut-sudut terjauh di dalam diriku.
Tapi, laki-laki itu berlalu dariku.
Aku diam, sendirian, dengan perasaan tersayat. Lalu lelatu, bunga api dendam mulai memercikkan api yang melayang ....
Tidak mudah menyingkirkan seseorang dari ingatan. Otak manusia tidak terkonfigurasi serupa perangkat komputer bertombol delete, yang akan menunaikan tugasnya menghapus sebuah file, ketika tombol itu ditekan atau diklik. Program ingatan di benak manusia memiliki sistem tak terjelaskan untuk mengingat atau melupakan sesuatu atau seseorang.
Aku tidak menghendaki seorang yang telah meninggalkanku, berdiam di dalam ingatanku, sementara tombol delete itu tidak kupunya dan ingatan tidak selalu menaati kehendakku.
Maka, cara terbaik menyingkirkan laki-laki itu adalah dengan membunuhnya. Itu cara tepat menyingkirkan seseorang dari duniaku, meski belum tentu akan terenyah dari ingatan.
Ya, laki-laki itu harus kubunuh.
Kuhembuskan napas panjang. Kureguk sisa kopi di cangkir.
Baiklah, akan kupikirkan beberapa alternatif cara terbaik untuk membunuh laki-laki ke-5 itu, dalam beberapa hari ini. Sebuah cara membunuh yang elegan, rapi, dan tak berjejak.
Lalu, kumatikan laptop dengan satu sentuhan.
Aku yakin redaksi yang baik hati itu akan sabar menungguku menemukan cara membunuh yang terbaik.
Deadline surat kabar itu masih beberapa hari lagi. (*)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 17 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar