Senin, 18 Agustus 2008

Seorang Pembantu, Seekor Kucing, dan Sebuah Guci yang Indah

AS Sumbawi

Sore itu kami pergi ke rumah paman yang baru pulang dari Cina. Sementara Mbok Darti dan seekor kucing tinggal di rumah. Mbok Darti kira-kira berumur enam puluh lima tahun. Kata ibu, dia sudah puluhan tahun menjadi pembantu di rumah kami. Mengurus kebutuhan harian keluarga kami. Dan sejak masih bayi, aku diurus oleh Mbok Darti. Maka, bisa dikatakan bahwa keberadaan Mbok Darti sangat membantu, membikin ringan tugas seorang ibu dalam keluarga kami. Sebenarnya keluarga kami mempunyai seorang pembantu lagi, Lik Paijo. Namun, sore itu dia bersama kami, menyopir. Ya, setiap harinya ia bertugas mengurusi bidang transportasi.

Pino, begitu nama yang diberikan ibu pada kucing itu. Kalau tak salah setahun yang lalu Pino pertama kali kelihatan di rumah kami dengan salah satu kakinya yang terluka. Ibu mengobati luka itu. Setelah sembuh, Pino dilepaskan kembali ke jalanan. Namun, hampir setiap hari Pino kelihatan di halaman rumah kami. Barangkali ini disebabkan oleh perlakukan istimewa dari ibu. Entah, apa yang menjadi sebab akhirnya ibu memutuskan untuk memeliharanya. Padahal, ibu bukan tergolong pemelihara dan penyayang hewan. Dan di sisi kiri halaman rumah, Pino tinggal di sebuah rumah kayu seukurannya.***

Ketika kami tiba di depan rumah paman, seorang perempuan setengah baya segera datang membuka pintu halaman. Aku baru pertama kali melihatnya di rumah paman. Sementara di serambi depan, paman dan bibi sudah berdiri dengan wajahnya yang mekar.
“Bagaimana kabarnya, Mbakyu. Baik-baik saja toh semuanya,” kata bibi.
“O, semuanya baik-baik saja.”
“Sudah kelas berapa, Awik?” kata paman.
“Kelas 1 SMP, Om.”

Percakapan kemudian mengalir lebih dari sekedar basa-basi. Dan topik yang hangat adalah kunjungan paman ke Cina itu. Pengalaman saat di tembok Cina yang masyhur itu. Juga tentang kebiasaan baru paman yang ikut-ikutan makan mie dengan menggunakan sumpit. Katanya, ia sudah amat lincah sekarang, sebab latihan secara rutin tiga kali sehari. Ayah dan ibu antusias sekali. Mereka berencana pergi ke Cina pada tahun baru nanti. Aku diam sembari menggambar senyum sesekali. Sementara di sebuah balai di halaman, Lik Paijo tampak berbincang-bincang dengan perempuan setengah baya itu. Entah, apa yang menjadi topik utama perbincangan mereka. Aku tidak mempunyai indera keenam untuk mengetahuinya.

Percakapan di depanku mereda. Sepertinya sudah tertumpah semua pengalaman paman. Ayah dan ibu tidak antusias lagi dan kelihatan didera rasa bosan. Aku juga bosan. Berdiam diri dengan sesekali melempar senyum. Konyol memang. Tapi, ini sepertinya sudah menjadi adat-kebiasaan bagiku. Aku kerap merasa malu jika mengingat-ingat hal ini ketika mau tidur. Kemudian aku berkata sendiri dengan sungguh-sungguh bahwa kekonyolan seperti ini harus kulawan. Dan keesokan harinya, aku sudah lupa dan kembali bersikap konyol seperti itu. Aku tidak tegas. Hal ini yang membuat teman-teman sering meremehkan diriku. Kerap menjadikan diriku sebagai korban dalam sebuah permainan. Karenanya aku malas bermain dengan mereka. Sementara dalam komik, aku merasa sangat dihargai. Bahkan dilambungkan sebagai superhero. Dan tanpa sengaja menjadikan aku sebagai seorang ‘kutu komik’.

Ah, kalau saja aku punya sedikit ketegasan, pasti mereka akan sedikit menghargaiku. Aku bisa bermain dengan senang bersama mereka. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Begitu juga dengan saat itu. Kalau saja aku berani berkata: “omong kosong apa ini. Semuanya penuh dengan kepura-puraan”, maka aku yakin mereka akan tercengang. Namun, hal semacam itu sudah menjadi hal biasa yang berlalu-lalang dalam kepalaku saja. Aku tetap saja terpinggirkan dalam pergaulan. Hanya dengan Mbok Darti dan Lik Paijo, aku bisa merasakan sesuatu yang sangat wajar muncul dalam diriku. Mereka kerap menceritakan sebuah dongeng-dongeng kepadaku. Tentang Prabu Ramawijaya, Laksmana adiknya, serta keluarga Pendawa.

Paman pergi ke kamarnya dan kembali dengan sebuah guci. Permukaannya yang licin dipenuhi dengan ornamen-ornamen yang menakjubkan. Ia memamerkannya di hadapan kami. Kemudian mengatakan bahwa ia membelinya dari seorang Cina ketika mengunjungi tembok Cina yang terkenal itu. Dan bibi menambahkan bahwa menurut orang Cina itu, guci tersebut adalah peninggalan seorang kaisar Dinasti Han. Entah, benar atau tidaknya, keindahan guci itu benar-benar membikin hati tertawan.

Ayah dan ibu melontarkan pujian yang berlebihan. Paman dan bibi tersenyum bangga. Mereka bergantian menimang-nimang guci tersebut seperti anaknya sendiri meski mereka belum juga mempunyai buah dari pernikahannya yang sudah berumur lima tahunan ini.

Tiba-tiba ayah dan ibu diam. Mereka tak memuji-muji lagi dan wajahnya tampak masam. Paman berhenti menimang-nimang guci tersebut. Entah, apa yang dipikirkannya ketika menatap ayah dan ibu yang demikian itu. Paman meletakkan guci tersebut di meja kemudian pergi ke kamar dan kembali dengan sebuah guci yang keindahannya tak kalah dengan yang ada di meja.

“Ini untuk Mas dan Mbakyu,” kata paman mengulurkannya ke arah ibu.
“Iya. Ini oleh-oleh dari kami,” bibi menambahkan.

Serentak wajah ayah dan ibu merona ceria dan memuji-muji kedermawanan mereka berdua. Aku diam sembari mengukir senyum di wajah.***

Guci pemberian paman itu telah terpajang di atas meja yang ada di salah satu sudut ruang tamu. Sejak adanya guci itu, aku kerap menemukan ibu duduk di sana. Wajahnya tak pernah lepas untuk memandangnya. Tersenyum bangga. Pada saat seperti itu, tak jarang aku mendengar ibu meracau sendiri, tak sabar menunggu tahun baru tiba.

Di samping itu, ibu sering mengajak teman-temannya mampir ke rumah selepas jam kerja berakhir. Ia tak bosan-bosan memamerkan guci tersebut kepada mereka. Dan anehnya, setiap kali ibu mengutarakan kelebihan-kelebihan yang ada pada guci tersebut, teman-temannya lantas memujinya. Malah terkadang berlebihan. Dan kesemuanya itu tidak hanya sering mengganggu aku yang sedang membaca, tapi juga membikin aku mau muntah. Kalau saja aku punya sedikit keberanian, ingin kupecahkan guci tersebut di hadapan mereka. Biar ibu marah, biar aku dikutuk, aku tak peduli. Sama sekali tak peduli. Namun, sampai akhirnya teman-teman ibu pulang, aku tetap saja diam. Sementara ayah, seperti biasa jarang berada di rumah.

Siang itu ibu pulang dari kantor sendiri. Segera ia menghempaskan tubuhnya ke sofa dan melihat guci kesayangannya itu berada di meja dihadapannya. Rupanya ia lupa tak menaruh guci itu di tempatnya semula setelah menimang-nimangnya seperti yang dilakukannya setiap pagi sebelum berangkat kerja.

Ia meraihnya. Tiba-tiba wajahnya memerah, matanya menyorot tajam sembari menggeram. Ia kemudian berteriak-teriak memanggil-manggil Mbok Darti.

Mbok Darti segera datang dan langsung dilempari pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa puntung rokok yang ada di dalam guci kesayangannya itu. Mbok Darti ketakutan. Tangannya meremas-remas sebuah lap yang menggelantung di pundaknya. Baru kali ini aku melihat ibu begitu murka. Dengan suara terputus-putus Mbok Darti mengatakan bahwa tadi pagi beberapa orang tetangganya datang menjenguknya. Barangkali mereka inilah membuang puntung rokok itu ke dalam guci.

Tiba-tiba ibu menjambak rambut Mbok Darti dan menghempaskannya ke lantai. Kemudian ia menendangnya sembari terus memaki-maki. Setelah terpuaskan memuntahkan isi dadanya, ibu mengusir Mbok Darti. Aku sedih. Tapi, aku tak bisa berbuat banyak untuk menolong Mbok Darti. Aku benci ibu.***

Seminggu sudah Mbok Darti tak kulihat di rumah kami. Aku merasa kesepian. Kubayangkan wajah Mbok Darti yang menangis saat pengusiran itu. Kasihan sekali Mbok Darti. Dan kebencianku kepada ibu semakin bertambah. Kini, ibu lebih sering keluar seperti dulu. Ia tak lagi berlama-lama duduk di sofa. Tidak juga mengajak teman-temannya ke rumah.***

Siang itu hanya Pino dan aku yang menghuni rumah. Ibu belum pulang dari kantor. Sejak Mbok Darti pergi, Pino jarang kelihatan. Barangkali karena jarang diberi makan. Dan aku lebih suka merawat burung beoku. Memang, selama ini Mbok Darti yang mengurus makanan Pino. Ibu hanya kadang-kadang saja.

Kulihat Pino melongokkan kepalanya ke dalam guci itu. Mungkin karena keindahan guci itu yang membuat Pino ingin melihat apa yang ada di dalamnya. Perlahan guci itu bergerak-gerak ke pinggir meja oleh tubuh Pino. Kemudian jatuh pecah sebelum aku sempat mencegahnya.
“Pino,” teriakku. Tapi, Pino telah pergi.***

Tahun telah berlalu. Aku tak pernah melihat Pino dan Mbok Darti lagi. Namun, entah kenapa? Sampai kini aku masih beranggapan bahwa setelah guci itu pecah, Pino kemudian pergi mencari Mbok Darti. Benarkah? (*)

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar