Jurnal Kebudayaan The Sandour, III 2008
Ahmad Muchlish Amrin
Robert Pinsky, demikianlah nama penyair Amerika yang pernah menjadi poet laureat, ia menurunkan sebuah idealitas bahwa karya sastra (puisi) tidak hanya barisan kata pilihan yang berat membawa kata-kata, melainkan karya sastra juga membawa setangkup makna, sejarah, idealitas dan wawasan humanistik diluar lajur “kepentingan” personal atau kelompok. Bagi Robert, menikmati sastra (puisi) seperti menikmati suara, musik, tanpa mengetahui pengetahuan khusus yang secara ilmiah mengkaji sastra seperti hermeneutika, semiotika yang dapat digunakan untuk menginterpretasi karya sastra. Robert malah meyakini bahwa karya sastra sebagai ruang spirit dapat dinikmati dengan cara mencermati rima-rima, pilihan kata, muatan roh yang mengetuk detak jantung kita. Seperti pada metrik tradisional, dapat menikmati karya-karya William Butler Yets, Ben Johnson, untuk memahami free verse bisa menikmati kumpulan puisi William Carlos Williams dan Wallace Stevens, untuk memahami linea pendek dapat membaca puisi Emily Dickinson, tentang balada puisi modern dapat menikmati karya Thomas Hardy. Tak ada yang lebih membantu memahami puisi selain mendengarkan secara cermat bunyi (menjadi musik) setiap bersit larik sastra (puisi) yang dibaca.
Semenjak Marks Twain yang membawa warna vernakular dalam sastra Amerika, kemudian dilanjutkan oleh Hamengway yang membebaskan bahasa berbelit-belit dari prosa, perkembangan sastra dunia sudah lama lepas dari purple prose dan mengarah ke berbagai perkembangan menakjubkan seperti belakangan ini bisa kita lihat dalam karya WG Sebald dan Gao Xinjian, begitu piawai mereka memadukan fakta dan fiksi sehingga terciptalah karya-karya yang sangat menghanyutkan. Tak lain dan tak bukan, karya-karya yang dilahirkan mereka merupakan karya-karya yang menyuarakan sejarah kehidupan manusia, tantangan, penindasan yang dihadapi, birokratisasi, strukturalisme yang mengkungkung manusia memanfaatkan kebebasannya. Semuanya itu dapat direspon mereka dalam karya sastra, direspon dengan memberikan otokrtik kontruktif sehingga karya-karya mereka dapat dibaca tidak hanya sebagai karya sastra melainkan juga sejarah.
Sastra Develepmentalistik yang penulis maksudkan di sini lebih mengarah pada peran penting sastra merespon realitas sosial, lingkungan hidup sastrawan dengan berbagai kacamata yang dipakainya. Janet Wolf, ahli sosiologi sastra mengungkapkan dalam bukunya Hermeneutic Philosopy and The Sociology of Art (1975) bahwa dunia sastra berangkat dari ranah kehidupan sosial yang disebutnya sebagai “dunia kehidupan” (lebenswelt) yang membangun dua alasan sosiologis. Pertama, makna-makna dunia bagi indvidu merupakan makna dunia sosial yang sudah ada sebelumnya, diperoleh dari interaksi sosial dan sosialisasi individu yang bersangkutan. Kedua, tidak sendiri dalam kehidupan itu, melainkan berbagi dengan sesamanya sehingga membuatnya menjadi dunia sosial pula. Bila dalam sebuah lingkungan terdapat “penyimpangan” aksi maupun bentuk “kelainan” dari lingkungan sosialnya, kita akan beranggapan penyimpangan itu sebagai satu bentuk “penemuan” yang kemudian dicari idealitas kulturalnya, sebab sebuah tindakan soial tidak serta merta muncul dari ruang kosong, tindakan sosial terjadi karena adanya pengaruh intern maupun ekstern individu/kelompok yang mengadakan interksi.
Dunia kehidupan merupakan tempat manusia dengan kegiatan sehari-harinya bekerjasama dengan sesamanya. Dari itu Alfred Schutz (1963) mengatakan, dunia dari keseharian hidup merupakan wahana kebangunan pertumbuhan manusia yang terlibat di dalamnya, diantara pengalaman sesamanya di mana dicap kodrati dipandang sebagai suatu realitas. Dunia sastra merupakan sebuah dunia yang bersentuhan dengan segala realitas dan segala keperihannya. Bagi seorang sastrawan develementalis sangat berdekatan dengan dunia masyarakat secara umum, bahkan suara yang termuat dalam karya-karyanya banyak memasukkan idealitas-idealitas lingkungan sekitarnya, baik karya itu dikemas menjadi bentuk berita dan keunikan-keunikannya atau karya itu berbentuk pemberontakan terhadap realitas.
***
Seolah menjadi doktrin dalam sastra bahwa sastra lahir menjadi bentuk perlawanan terhadap sebuah sistem atau struktur masyarakat dan lingkungan sekitarnya, sastra melakukan pembelaan terhadap penindasan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Sastra menyuarakan sebuah spirit humanisme dan komunisme marxian, yang mengidealkan sama rasa sama rata sehingga dengan perlawanan semacam itu sastra mampu menjadi dirinya sendiri yang independen serta memberi inspirasi bagi sebuah perkembangan menuju pencerahan (aufclarung). Dalam sisi lain, sastra juga melakukan hegemoni Gramscian yang dimulai dengan meleburkan idealitas dengan fakta sosial (social fact) sebagai aspirasi melakukan unjuk rasa terhadap sekian sistem yang mengkungkung.
Di Eropa, kita dapat menyimak karya sastra yang dilarang terbit di negaranya bahkan Derek Walcott diusir dari negaranya karena menulis puisi tentang perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Veronika karya Paulo Colho dilarang terbit di negaranya sehingga membuat sang pengarang tersisih dalam realitas sosialnya. Di Indonesia, kita bisa menyimak sebuah puisi pendek karya Widji Tukhul yang berbunyi “Hanya ada satu kata, lawan!” yang telah menginspirasi mahasiswa Indonesia untuk mengadakan pemberontakan pada tahun 1980-an, sehingga dengan itu menyebabkan Tukhul hilang dari permukaan; tak tentu rimbanya. Tetralogi Bumi Manusia karya Pamoedya Ananta Toer yang dilarang beredar pada zaman orde baru, dianggap telah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah sehingga siapa yang memiliki buku tersebut dapat dimasukkan ke penjara. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Kabar Buruk Dari Langit, Adam dan Hawa karya Muhidin M Dahlan yang sempat disomasi dan ditarik dari peredaran karena berisi tentang perlawanan terhadap kalangan Islam garis kanan (HTI) yang “normatif”.
Ah! Jika demikian, sampai kapan idealitas-idealitas suci itu akan tersisih, akan menjadi musuh bagi “kelacuran-kelacuran” ideologi yang telah menjadi sistem? Entahlah! Namun kita selalu berharap sebuah struktur yang mendominasi bukan salah satu institusi yang merasa memiliki kebenaran absolut, institusi adalah sebuah media untuk membangun dan mencari kebenaran-kebenaran yang masih semu.
Ecreture
Sastra (dalam hal ini puisi) tidak hanya berupa rangkaian kata yang dipilih untuk mewakili nuansa estetik yang terkandung dalam diri penyair, lebih dari itu, puisi menyampaikan segerobak idealitas, inspirasi dan gagasan baru bagi pembaca. Janet S Wong, seorang penyair perempuan berkebangsaan Amerika, lahir dari seorang ayah emigran China dan seorang Ibu emigran Korea. Pada mulanya Janet sangat membenci puisi ketika ia berprofesi sebagai seorang direktur hubungan kerja pada Universitas Studius Hollywood, ia bertanggung jawab dalam soal negosiasi kontrak untuk 9 serikat kerja yang berlainan dan bertaanggung jawab dalam rekrutmen dan pemecatan para karyawan/buruh. Dalam waktu satu minggu, Janet bisa saja memecat sepuluh orang di sebuah perusahaan terkait. Karena pekerjaannya yang sangat ‘keras’ itu menyebabkan Janet tidak yakin, apakah dia mampu bekerja di bidang lain yang lebih baik dan bisa memberinya kesenangan.
Untuk menghilangkan kejenuhan kerjanya, suatu hari Janet menghadiri workshop yang dilakukan Myra Cohn Livingston, wanita yang telah menggarap 83 buku, Janet yang sebenarnya juga cerdas terkagum-kagum pada Myra, begitu mendengar penyampaiannya yang luar biasa, ia sadar dan banyak belajar dari kearifan-kearifan yang disampaikannya, walau ketika itu Janet masih belum suka puisi. Meski tidak suka puisi, Janet sudah terlanjur kagum pada pengarang 83 buku itu, apa boleh buat, ia melanjutkan ‘kursus kilat’nya selama tiga bulan. Dan setelah itu Janet S Wong baru jatuh cinta pada puisi.
Nah, sebagai seorang yang terbiasa dengan efisiensi, Janet membuat target ‘dalam satu tahun dirinya diharuskan menyelesaikan satu buku antologi puisi anak-anak’. Namun ternyata target tersebut hanya menjadi niat belaka yang pelaksanaannya ternyata tidak semudah membolak-balikkan telapak tangan. Baru setelah bekerja keras selama satu setengah tahun, Janet bisa menyelesaikan antologi tunggal pertamanya yang berjudul Good Luck Gold. Seperti pengakuan Janet sebagaimana dirilis New York Times (1997) buku itu diselesaikannya karena motivasi dari suaminya yang sarjana hukum. Glenn, suaminya tidak hanya membaca manuskrip puisi-puisinya, lebih dari itu ia memberikan hembusan optimisme pada Jenet ketika dirinya ragu-ragu untuk menerbitkannya, Glenn juga mengantarkan Janet mengirimkan naskahnya ke penerbit—yang dianggapnya sebagai ujian awal bagi karya-karyanya.
Bagi Janet, motivasi suami benar-benar sangat menolong terbitnya antologi tersebut. Buktinya, masyarakat puisi dan kritikus menyambut baik kehadiran antologi tersebut sehingga dengan sambutan itu membuat Janet mengambil sebuah keputusan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai direktur dan secara full time menjadi penyair. Kemudian lahirlah buku kedua yang tak kalah tenarnya dengan buku pertama yang berjudul A Suitcase of Seaweed yang terbit pada tahun 1997. Hanya dengan dua buku itulah nama Janet S Wong menjadi terkenal di seluruh Amerika, bahkan Janet seringkali diminta untuk bicara di sekolah-sekolah AS, mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sampai saat inipun nama Janet masih bergaung harum di daratan Amerika dan masih menjalani hidupnya sebagai seorang penyair.
***
Dalam ruang feminisme, idealitas yang dikedepankan adalah “menolak” peran laki-laki secara total dan mengabaikan peran perempuan. Hal itu ternyata tidak di-ia-kan oleh semuanya perempuan, sebagian perempuan berupaya membangun kehidupan secara logis berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing yang sesuai. Sementara para pejuang feminisme kadang memberikan bombastis ke-nakal-an idealitasnya dengan mencoba untuk merombak sekian struktur pemahaman masyarakat tradisional menuju pemahaman modernitas yang serba rasional. Yang perlu disadari, Secara fitrah psikologis perempuan membutuhkan motivasi dari seorang laki-laki (suami) untuk meyakinkan bahwa langkah yang dilaluinya merupakan langkah yang tepat—lebih pada dewan pertimbangan langkah-langkahnya sebagaimana yang dialami Janet, walaupun Janet sendiri adalah seorang wanita karier yang hebat.
Jurgen Habermas mengungkap dalam teori Komunikasinya bahwa seorang laki-laki butuh perhatian, seorang perempuan butuh perlindungan. Laki-laki yang diperhatikan perempuan, keseriusan dalam melaksanakan dan menyelesaikan program-programnya akan semakin bertambah. Begitu pula sebaliknya, perempuan yang (merasa) dilindungi, akan semakin cerdas, karena ia tidak sedang berpikir untuk (keamanan) dirinya. Pertanyaannya kemudian, mengapa perempuan kadang cenderung “sofistik” (bergenit-genit), ketika genderitas dapat bergaung bebas di era modernitas ini? Apakah ruang modernitas kemudian dijadikan kesempatan untuk mengeksplorasi dan menjadi ruang pemberontakan perempuan di wilayah kelamin, kedudukan, kinerja (khususnya pemberontakan dalam tulisan)?
Mariana Aminuddin (2004) pernah mengungkap tentang Ecriture yang berangkat dari sebuah kata atau konsep yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa dikenal dengan ecriture feminine "penulisan feminin". Ide ini tidak menutup kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi. Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau memasuki pengalaman lainnya.
Penulisan feminin kental dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan. Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan, the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
1 komentar:
mbak atau mas, hehe... makasih banyak atas infonya, salah kenal saja dariku... Pengelana
Posting Komentar