Jumat, 08 Agustus 2008

PERIBAHASA DAN BUDI-PEKERTI BANGSA

Iman Budhi Santosa

Dalam sebuah sinetron yang ditayangkan stasiun teve swasta (8/12/05), terdapat adegan di mana tokoh utamanya (seorang direktur perusahaan) sedang bertengkar dengan isterinya, karena ia ingin membantu usaha adiknya yang hampir bangkrut. Hal itu dimaksudkan sebagai balas jasa, karena dulu dirinya juga pernah dibantu ketika perusahaannya sedang mengalami masalah. Untuk memperkuat argumentasinya, ia mengutip peribahasa “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Sang isteri yang tetap tak menyetujui rencana itu tiba-tiba menyergah dengan sengit. “Kuna, ah! Ngapain pake peribahasa segala?” Pernyataan istri si pengusaha yang berasal dari keluarga kaya dan dibesarkan pada budaya metropolis itu sungguh mengejutkan. Benarkah untuk kalangan mereka peribahasa (kata-kata mutiara) sudah terbilang kuna? Ketinggalan zaman, dan tak relevan lagi dijadikan pedoman moral, maupun sikap perilaku di masa kini?

Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia (ESI) terdapat salah satu entri yang menjelaskan pengertian tentang peribahasa (hal. 614). Yaitu, 1) ungkapan ringkas padat berisi kebenaran yang wajar, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku, 2) ungkapan pendek yang mengandung aturan tingkah laku sebagai prinsip hidup. Contoh: a) malu bertanya sesat di jalan; b) bermain air basah, bermain api terbakar. Mengapa peribahasa dimasukkan ke dalam ESI, tentulah karena pakar bahasa dan sastra lebih menilai dari wujud fisiknya, sebagai kreasi seni kebahasaan yang mengandung arti kiasan, di dalamnya termasuk kata atau frasa, perumpamaan, tamsil atau ibarat, pepatah dan petitih.

Sedangkan dari sisi antropologis, ditinjau dari isinya (pesan/makna) peribahasa juga merupakan salah satu wujud hasil karya budaya manusia (para cerdik pandai, empu, pujangga, wali, raja, datu) yang berakar pada agama, dan kepercayaan mereka yang memuat ide atau gagasan, norma, serta dipujikan untuk pedoman moral dan pola perilaku komunitasnya. Maka, tak mengherankan jika para antropolog sering mengangkat fenomena peribahasa dalam kajiannya. Untuk sekadar contoh, dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat) disisipkan sejumlah peribahasa daerah Nusantara. Seperti: “Si tou timou tumou tou” (Minahasa) yang artinya: seorang manusia menjadi manusia dalam peranannya menghidupkan manusia lain. “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi” (Sunda), artinya: mencari jodoh harus yang sesuai dan cocok dalam segala hal. “Siri’ emmi rionrowang ri-lino” (Bugis), artinya: hanya untuk siri’ (martabat/identitas sosial) itu sajalah kita tinggal di dunia. “Nrima ing pandum” (Jawa), artinya: menerima dengan ikhlas (pasrah) seberapa pun perolehan (pembagian) rezeki yang didapatnya.

Meskipun jarang diangkat ke dalam wacana nasional, setiap suku bangsa sesungguhnya memiliki banyak peribahasa yang langsung maupun tak langsung menjadi pedoman hidup keseharian di samping agama dan kepercayaan mereka. Oleh karena itu contoh peribahasa di atas tak bisa dibilang “kuna”, dan tetap relevan untuk diaplikasikan atau diimplementasikan ke alam budaya kekinian. Antara lain, karena pesan yang disampaikan memiliki nilai universal yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Artinya, nilai-nilai tersebut dapat dengan mudah diterima secara nalar oleh masyarakat di luar suku bangsa tadi, serta dengan gamblang memberikan semacam ancer-ancer dalam membangun sikap perilaku serta pemahaman terhadap berbagai substansi permasalahan kemanusiaan di Indonesia.

Dalam konteks kekinian, misalnya mengenai kritik, peribahasa Riau sudah mengatakan: “Dongekan uang memboi pendapat, lidah uang jangan dikoat” (dengarkan orang beri pendapat, lidah orang jangan dikerat). Sebab, pada hakikatnya kritik sangat diperlukan, dan alangkah baiknya siapa pun mau menerima teguran (kritik) sebelum terlambat. Seperti diingatkan pepatah dari Bolaang Mongondoow: “Manikabi-kabi lumbe-lumbean tompot kon kudu panangkitan tonga, dika lumbe-lumbean kon kudu in dagat” (lebih baik diayun-ayunkan angin dipuncak pohon tinggi, tetapi jangan di lautan). Sedangkan bagaimana membuat dan menyampaikan kritik, pepatah lain dari Bolaang Mongondoow juga memberikan petunjuk: “No sinsil kon taigan” (melakukan potong serong pada kayu taigan tetapi tidak sampai putus). Kayu taigan adalah kayu yang batangnya lunak sehingga mudah dipotong. Maksudnya, membuat kritik harus menggunakan kata, cara, dan waktu yang tepat supaya berhasil dan yang dikritik tidak sakit hati (tersinggung) serta mengakibatkan putusnya hubungan mereka.

Mengenai bahaya “pornografi dan pornoaksi” yang (konon) mendorong banyak orang berbuat amoral, peribahasa Riau sudah mengingatkan:“Di dalam mato banyak yang jaat, di dalam seleo banyak yang cacat” (di dalam mata banyak yang jahat, di dalam selera banyak yang cacat). Di mana akibatnya pun sudah diisyaratkan: “Kono asik lupo kan asal, kono mabuk lupo kan dii” (karena asyik lupa akan asal, karena mabuk lupa akan diri). Sementara munculnya berbagai kasus pemerkosaan dan pelecehan terhadap wanita, semua fihak perlu merenungkan peribahasa Batak ini: “Sala ma uli sala ma denggan songon sanggar di robean” (seperti pimping tumbuh di lereng bukit, salah karena kecantikannya). Maksudnya, kecantikan perempuan kerap kali memang mengakibatkan permasalahan atau malapetaka bagi dirinya.

Begitu mudahnya hal-hal buruk (seperti KKN, narkoba, malima) menular dalam masyarakat, peribahasa Jawa sudah menjelaskan: “Kebo gupak ajak-ajak” (kerbau penuh lumpur selesai untuk membajak ke mana pun pergi akan membuat kotor yang bersinggungan dengannya). Di Bali ada peribahasa: “Bajune putih yen barengang manting teken ane barak, amahina” (baju putih jika dicuci bersama yang merah, dilunturi). Proses keterpengaruh tersebut memang tidak serta-merta, namun pasti. Pertama, manusia tak pernah puas dengan apa yang diperolehnya. Sebagaimana peribahasa Riau: “Belobei tak ponah cukup, betambao tak ponah konyang” (berlebih tak pernah cukup, bertambah tak pernah kenyang). Kedua, akibat interaksi yang terus-menerus, seperti pepatah Sunda: “Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok” (tetes air yang terus-menerus ke batu, lambat laun akan membuat cekukan).

Tentang semangat kemandirian hidup maupun berusaha, peribahasa Madura telah menegaskan: “Bali’ daddiya cethagga olar kandhilis etembang daddi bunto’na olar biaso” (lebih baik jadi kepala ular kecil daripada buntut ular besar). Di Bugis terdapat: “Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenngé nato’walié (layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali). Di Banjar ada: “Haram manyarah waja sampai ka puting” (haram menyerah sebagaimana baja dari pangkal sampai ke ujung).

Pada aspek hukum, misalnya mengenai diberlakukan-nya hukuman mati di Indonesia, orang Talaud jelas-jelas tak menyetujui lewat peribahasa mereka “Manga hati natawe iyawulu” (hanya muka yang tidak bisa diubah). Menurut mereka, hati dan jiwa manusia bisa diubah, dididik, diperbaiki. Maka, sangatlah tidak manusiawi jika tak memberi kesempatan terhukum memperbaiki kesalahan-nya. Di Batak terdapat: “Ganjang abor ndang jadi surohan, jempek abor ndang jadi langkaan” (walaupun tinggi larangan orang tak boleh merangkak melewatinya, walaupun rendah orang tak boleh melangkahinya). Maksudnya, sebuah teks larangan (norma) harus dipatuhi bukan karena wujud fisik maupun cara meyampaikannya, melainkan karena makna pesan yang dikandungnya. Menurut adat Mandar hukuman harus dilakukan sesuai peribahasa: “Moaq diang poghereang, gereq-i di barona, daleqbaq tia mughereq ditondonna” (kalau ada yang harus disembelih, sembelihlah pada lehernya, jangan sembelih di punggungnya). Maksudnya, menghukum haruslah sesuai undang-undang, jangan menghukum secara tidak adil ataupun menyiksa.

Kebiasaan hujat-menghujat pemimpin di masa lalu agaknya memang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Oleh karena itu para cerdik pandai di Batak jauh-jauh hari mengingatkan: “Niarit tarugi pora-pora, molo tinean uli, teanon ma dohot gora” (kalau kita mewarisi yang baik dari peninggalan seseorang, maka kita harus juga mau mewarisi yang buruk). Di Bali juga terdapat peribahasa yang mirip, yaitu: “Sang nami taler kapatunggingin utang sang matamiang” (yang mewarisi juga dibebani hutang yang mewariskan). Untuk apa hujat-menghujat terus dilakukan? Adakah kita merasa lebih baik, lebih bersih dari yang kita hujat? Rasanya mustahil, seperti dinyatakan peribahasa Lampung: “Sakecah-kecahni hapul di kadam, pagun wat hanatni” (sebersih-bersihnya kapur di penginangan, masih ada bekasnya juga). Mungkin, jawabannya adalah seperti disampaikan peribahasa Toraja ini: “Inde barana’ siulang, sendana sikande’; manarang umpiak bannang, umpa’ tallu baluak” (hubungan orang pintar dan bangsawan dapat menyelesaikan dan membuat hal yang sulit). Maksudnya, kepandaian dan kekuasaan apabila bersatu dengan baik akan membuat masyarakat tenteram karena berbagai permasalahan mudah diatasi, namun jika para cerdik pandai dan penguasa (pemimpin) beda pendapat (berseteru) akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.

Mengapa belakangan di Indonesia semakin banyak terjadi perlawananan (kekerasan) dari kaum yang tertindas dalam menuntut haknya, tentulah karena jalan musyawarah semakin menyempit sehingga mereka memilih sikap seperti peribahasa Jawa: “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” (semua yang merintangi diberantas, yang menghalangi ditebas). Orang Madura pun punya: “Atembang poté mata ango’ potéya tolang” (daripada putih mata lebih baik putih tulang). Begitu juga orang Bali memiliki: “Limané anéh ngisiang tampul, ané anéhé ngisi pedang” (tangannya satu berpegang pada tiang/pedoman, yang satu lagi memegang pedang). Di Aceh terdapat: “Udep saree, matee sahid” (hidup penuh kehormatan, mati membela kebenaran Islam). Di Dayak Ngaju ada: “Musuh ela inggau, hasundan dia hadari” (musuh jangan dicari, bersua jangan dielakkan). Adat Batak menyatakan pula dengan tegas: “Monang mangalo musuh, talu mangalo dongan” (kepada musuh kita harus menang, kepada teman kita harus kalah). Di Riau ada: “Mencai musou kito nan tidak, kalau datang ditampung jugo” (mencari musuh bukanlah kita, kalau datang ditampung juga).

Meskipun demikian, seluruh etnis yang bermukin di Indonesia pada dasarnya sangat mendambakan kehidupan yang cinta damai, aman tenteram, rukun, penuh tenggang rasa dan saling menghargai satu sama lain. Cita-cita seperti tampak juga dalam peribahasa adat mereka. Seperti di Banjar memiliki: “Salapik sakaguringan, sabantal sakalang gulu” (satu tikar tempat tidur, satu bantal penyangga leher). Di Batak terdapat: “Holong manjalak holong, holong manjalak domu” (kasih sayang mencari kasih sayang, kasih sayang menciptakan persatuan). Di Bugis ada:“Akkai padammurupa natanréréko” (angkatlah sesamamu supaya engkau ditunjang). Di Dayak Ngaju terdapat: “Mantangan uras manaharep ambun, mahingkep uras kuman pasir” (telentang sama menadah embun, telungkup semua makan pasir). Di Jawa tertulis: “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” (rukun damai membuat sentausa, bertengkar membuat rusak atau kehancuran). Di Lampung terdapat: “Dang sebik ki tepik, dang beji jama si mena” (jangan risau karena tertinggal, jangan benci pada yang mendahului). Di Mandar ada peribahasa: “Atutui mappasung pau lao di tau” (hati-hati bila bertutur pada sesama manusia). Di Minahasa juga terdapat: “Esa ate umawangun banua” (satu hati akan memperindah desa / kampung). Di Sasak terdapat: “Sebumbung getih sagenggem isi senyari tolang” (berada dalam satu tabung, umpama daging jadi segenggam, upama tulang ukuran sejari). Maksudnya, menjadi rakyat hendaklah mau dan mampu menyesuaikan diri pada masyarakat lingkungan dan taat pada pemimpinnya. Di Sunda ada: “Kudu ngukur kana jujur, nimbang kana awak” ( mengukur dengan jujur, menimbang sesuai badan).

Sedangkan mengapa di Tanah Air kita sering terjadi semacam chaos yang berkepanjangan, mungkin peribahasa Bugis dapat dijadikan renungan: “Iya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikana balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalatongi aséya” (jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi). Jikalau adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Padahal, seperti halnya adat lain sudah mengingatkan, dalam adat Sunda pun tertulis: “Mun kiruh ti girang komo ka hilirna” (jika sudah keruh sejak hulu, di hilir akan lebih keruh lagi). Maknanya, jika pemimpinnya tidak baik, rakyat yang dipimpin akan lebih tidak baik lagi.

Oleh karena itu, sikap sementara masyarakat modern yang cenderung menyepelekan peribahasa yang tumbuh dan berakar pada adat bumi pertiwi, benar-benar sebuah “penyakit” yang diam-diam akan semakin merusak budhi-pekerti bangsa. Karena adat bukanlah penghalang kemajuan, seperti peribahasa Minang: “Adat nan tak lakang dek paneh, nan tak lapuak dek hujan” (adat tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan). Sebab, adat tak terpengaruh alam kebendaan (materi) dan dapat berintegrasi atau berasimilasi dengan budaya lain (nasional) demi kebaikan bersama. Sedangkan peribahasa Minang yang lain mengatakan: “Adat jo syarak kok bacarai, tampek bagantuang nan lah sakah, bakeh bapijak nan lah taban” (adat dan syarak kalau berpisah, tempat bergantung sudah patah, tempat berdiri sudah runtuh). Di Aceh juga terdapat: “Matee aneuk meupat jrat, matee adat pat tamita” (jika anak meninggal ada kuburannya, hilang adat tak ada gantinya).

Sekadar contoh di atas mungkin cukup untuk membisikkan, bahwa dalam pundi-pundi bangsa ini tersimpan ribuan nilai yang lumayan menakjubkan. Dan nenek-moyang kita telah mewariskannya serta-merta, tanpa minta honor atau royalti dari kita. Mereka pun membuat peribahasa itu dengan hati, dengan tulus, ikhlas dan jujur. Nah, luar biasa jika kita malah mengejek atupun membuangnya dengan semena-mena!

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar