Senin, 09 Agustus 2021

Tidak Ada yang Bisa Kuceritakan Kepadamu Selain Kesedihan dan Pesakitan

Muhammad Yasir
 
Entah berapa kali lonceng gereja yang berjarak dua ratus kaki dari toko buku kami itu berbunyi dalam sejam. Setiap pagi, siang, dan sore dari beranda rumah atau ruang kerjaku di dalam toko, bunyinya terdengar begitu jelas dan setiap bunyi memiliki nada dan pesan yang berbeda-beda yang sukar kuterka. Pada hari kematian nenek dan bibi, bunyinya seperti mengatakan: “Kau adalah kesedihan dan pesakitan. Jalanmu akan panjang, hingga berujung penyerahan diri!” Tiba-tiba, aku merasakan kata-kata ini berubah menjadi seekor macan kumbang yang lapar, berdiri di balik pintu toko menatap gerak-gerikku dengan seksama sembari menunggu kelengahanku sebagai manusia, sebagai penulis yang malang. Ketika aku mengalihkan pandangku dari macan kumbang itu, kemalangan membawaku kepada Nicolai Gogol, Leo Tolstoy, Eduardo Galeano hingga Isaaq Bashevis Singer. Aku membaca setiap cerita pendek yang mereka tulis dengan gaya, karakter, dan kritik yang berbeda pola. Aku tidak menemukan diriku seutuhnya di sana, tetapi ada secercah cahaya semangat hidup sebagai penulis, bahwa tidak ada yang bisa kuceritakan kepadamu selain kesedihan dan pesakitan. Kesedihan dan pesakitan, bukanlah kata sifat belaka. Kata-kata ini adalah kata kerja yang politis, baik sebagai kata, diri sendiri, dan karya-karya yang kutulis.
 
Sejak awal aku ditempa sebagai penulis, tidak sekali pun aku diajarkan untuk menganggap remeh-temeh perihal mengolah inspirasi (kenyataan), mengendapkannya, kemudian menuliskannya menjadi cerita. Pada tahun 2014, orang-orang berpengaruh dalam proses kreatifku membawaku ke dataran pesisir, Urutsewu, yang tidak segersang kehidupan orang-orang urban yang dimiskinkan. Selama seminggu berada di sana, aku seperti dilahirkan kembali, dibebaskan dari zaman kebodohan, ketidaksadaran, dan hal-hal menyedihkan lainnya tentang realitas dan bagaimana realitas itu dibentuk. Namun, beberapa orang petani, terlebih dahulu mati di hadapan moncong senjata serdadu Diponegoro, ketika aku baru mengenal Sastra dan bagaimana menulis Sastra. Para petani yang masih hidup, bertahan dan melawan dengan sangat jeli dan penuh perhitungan. Bagaimana pun, sebiji Pepaya California lebih mulia daripada satu peluru serdadu yang menembus kepala seorang petani. Karena mendengar adanya anggapan ini, para Serdadu Diponegoro semakin membabi buta; mereka menghancurkan tanaman, mengancam keselamatan orang-orang yang datang untuk tugas keadilan, dan para petinggi yang mencoba membelot mendukung perlawanan para petani. Pertanyaannya, bagaimana aku akan menuliskan realitas demikian ini dengan mengada-ada?
 
Dalam penempaanku, aku telah diajarkan bagaimana menjadikan realitas sebagai tolak dasar tulisan - kelak, menjadi karya. Hal pertama yang dilarang adalah melebih-lebihkan dan menggawat-gawatkan. Kedua hal ini dianggap haram dalam proses kreatifku. Melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan, bagi para penempa, merupakan kejahatan seorang penulis yang tidak pernah menuai kritik dan bahkan mendapatkan pujian sebagai suatu kemampuan yang “melampaui” batas kemampuan lainnya. Tidak bisa dipungkir, Leo Tolstoy adalah seorang kaya-raya yang derma. Dia mencintai petani dan kemudian membelikan lahan kosong untuk para petani yang dicintainya. Akan tetapi, kaya-raya dan cinta terhadap petani saja tidak menjamin kebahagiaan keluarganya. Istrinya, yang juga kaya-raya, menolak untuk mewariskan hartanya ke lembaga pendidikan yang didirikan Leo, sehingga itu membuat perasaannya berkecamuk dan kemudian membawanya ke sebuah stasiun kereta dan di sana, tiga hari kemudian, dia meninggal dunia. Leo Tolstoy tidak melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan sikap derma dan kecintaannya terhadap petani dan juga perlakuan istrinya kepadanya. Dia memilih pergi dalam kesendirian, kemudian mati dalam kesendirian itu pula!
 
Jadi, ketika seseorang bertanya bagaimana proses kreatifku yang tidak lebih tua dari sebatang pohon ulin yang ditebang untuk rumah terbaru Tuan Gubernur, maka kujawab: “Bacalah karyaku, itulah proses kreatifku! Bagaimana aku menceritakan kepada engkau tentang Pulau Kalimantan yang telah merenggut segalanya dariku; cintaku, kasih-sayangku, hari-hariku, airmataku, dan seterusnya… bagaimana? Bagaimana aku menceritakan kepadamu bahwa dunia baru, dunia baja, telah dipaksakan kepada kehidupan kami dan itu kemudian menjadi dunia kami! Bagaimana aku akan menceritakan kepadamu tentang suatu bangsa yang memiliki dunia baru yang telah mencerabut, merusak, dan menghancurkan semua yang diwariskan kepada kami? Mungkin, aku dapat menceritakan kepadamu bahwa itu luka yang tidak bisa kami rasakan lagi, karena sudah begitu sering kami dilukai. Atau… bahwa itu telah menjadi tapak kaki di tepi sungai, di tepi danau, yang mengering di musim hijan dan hilang tersapu ombak biru laut Eropa! Tapi, kuyakinkan, engkau tidak akan puas dengan jawaban ini. Maka, kita perlu mabuk beberapa botol Tuak untuk ini!”
 
Dalam “Overcoat”, Nicolai Gogol menulis “Petani-Petani Ketinggalan Zaman”. Mula-mula, aku menduga bahwa Gogol hendak merombak cap yang disematkan kepada kaum petani; ketinggalan zaman, usang, melelahkan, norak, dan seterusnya. Itu kesalahan! Kemahiran Gogol dalam memilih inspirasi bagi cerita pendek ini, tidak bisa diremehkan dan diterka. Ketika aku mulai melakukan pembacaan untuk cerita ini, semua upaya terka-menerkaku, hancur. Semua adalah tentang kritik terhadap semangat zaman di mana kebanyakan orang Russia tunduk terhadap Tsar (di Indonesia, “Sultan”) yang berkuasa pada zamannya. Gogol ingin memberikan semangat melalui pesan: bahwa semestinya Tsar-lah yang harus menghormati kalian, Kaum Petani! Karena perutnya, kekayaannya, sedikit-banyak berasal dari kalian! Sampai di sini, aku terkenang Yuk Sukinah, seorang petani dari Pegunungan Kendeng, Rembang, yang pernah kutemui dua tahun setelah aku di Urutsewu. Yuk Sukinah tidak seperti Isaaq Bashevis Singer yang hidup dalam pelarian sebagai Yahudi. Dia lembut, cerdas, dan pemberani. Dia mampu berjalan kaki, tanpa alas kaki, tanpa kereta, apalagi pesawat, sejauh seratus kilometer Rembang-Semarang untuk menemui Tuan Gubernur dengan harapan sebagai sesama Jawa, mereka sama-sama memahami konsep hidup, Ibumi. Akan tetapi, tidak semua Jawa paham ini. Di antara mereka, seperti Tuan Gubernur, lebih menyukai konsep kapitalisme untuk membuatnya sebagai seorang yang terhormat dan disegani.
 
Yuk Sukinah, tidak ketinggalan zaman. Di rumahnya, dia mengatakan kepadaku tentang keprihatinannya terhadap Pulau Kalimantan - yang sekali pun belum pernah dia menginjakan kakinya di sana - yang dia lihat hanya melalui televisi, berita, dan kesaksian para aktivis lingkungan. Dia mendekat ke telingaku, menciumku, kemudian berbisik: “Jika Kalimantan hancur, Jawa hancur, kematian jualah yang akan tiba, Mas!” Jadi, menurutmu, apakah kematian itu merupakan sesuatu yang bukan kesedihan atau pesakitan? Atau, engkau akan mengatakan itu takdir? Benarlah itu takdir, karena semua yang hidup akan mati. Akan tetapi, bagaimana jalan kematian itu yang perlu diceritakan atau ditulis! Sekarang, jika seorang petani di Urutsewu ditembak oleh Serdadu Diponegoro, petani di Rembang dilecehkan Tuan Gubernur, adakah kesenangan yang engkau rasakan seperti dalam novel absurd “The Stranger” Albert Camus?! Oh! Ketika membaca itu, aku hanya merasakan mual dan mulas, tetapi tidak bisa muntah atau berak! Karena, bagiku, tidak ada kesenangan dan kebahagiaan dalam kesedihan dan pesakitan. Terserah denganmu!
 
Sejak dua tahun ini, akal sehat dan nuraniku sabagai seorang penulis sungguh sukar menerima kematian demi kematian yang tiba kepada orang-orang di negeri magis ini. Di gang ini saja, dalam sehari pada bulan lalu, sebelas sampai dua belas orang mati. Meskipun, dokter dan tenaga kesehatan berdalil dan berdalih tentang Coronavirus Disease (Covid-19) ini, morilku menolak menerima. Aku menganggap bahwa virus ini adalah Covidtalisme, di mana manusia, modal, banalitas intelektual, teror psikis, perubahan kapitalisme tanah menjadi kapitalisme farmasi campur aduk seperti perasaan Pramoedya Ananta Toer dalam cerita pendek “Gado-Gado”-nya (baca Mereka Yang Dilumpuhkan). Pula Covidtalisme membuatku semakin menggeliat untuk meluaskan “menulislah dengan tidak melebih-lebihkan atau menggawat-gawatkan” dan meninggikan “daftar musuh idelogisku sebagai penulis”. Untuk ini, tidak ada kesenangan dan kebahagiaan menjadi inspirasi tulisanku. Hanya kesedihan dan kematian, tidak lain-tidak bukan. Aku akan menulis sampai tulisanku menjadi kain kafan bagi tubuh yang kurus, jelek, dan menyedihkan ini.

Surabaya, 2021. http://sastra-indonesia.com/2021/08/tidak-ada-yang-bisa-kuceritakan-kepadamu-selain-kesedihan-dan-pesakitan/

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar