Catatan dari
sebuah novel karya AH J Khuzaini
Rodli
TL
Pada
dasarnya novel itu menghibur, bahasanya
mengimplisit persuasip. Ia hadir untuk merayu pembaca berempati, merasakan apa
yang dirasakan para tokoh, bahkan menawarkan ruang-ruang imajinasi yang
kemudian memporak-porandakan emosi para pembacanya. Sungguh tidak realis,
membaca novel saja menangis, kata si hidung mancung sambil mentertawakan
pembaca novel yang sesenggukan.
Teori
sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra) menekankan sifat tipikal
sastra atau kekhususannya. Sastra dianggap lebih umum dari sejarah dan
biografi, tapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Artinya karya sastra
diantaranya novel tak sekedar menyanjikan hiburan yang menwararkan kesenangan
secara fisik saja, namun juga kesenangan yang lebih tinggi, kesenangan
kontemplatif. Maka novel seringkali hadir dengan atmosphere peristiwa-peristiwa
sejarah yang masih hidup atau juga menawrkan keterlibatanya pada dialektika
kejiwaan dan masyarakat sosialnya sebagaimana yang dibahas dalam ilmu psikologi
dan sosiologi.
Secara
dramatik akan kita temukan berbagai genre novel yang membuat kita kasmaran,
takut, penasaran, menangis, bahkan tertawa berguling-guling. Masuk akal?
Kenyataannya semacam itu yang kemudian para kritikus menamainya dengan genre
komedi, romantic, horror, tragedy, detektif dan lain sebagainya. Hal inilah
yang sering dikatakan bahwa novel itu mampu masuk alam bawah sadar pembaca yang
akhirnya membentuk karakter pembaca. Namun AH J Khuzaini memilih jalan lain
dari kenyataan dramatik.
Kesustraan
secara teoritis Rene Wellek dan Austin Werren membaginya menjadi dua kajian
pendekatan yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Dalam kajian instrinsik mencakup
Modus Keberadan Karya Sastra, Efoni, Gaya, Citra, Sifat dan Ragam Fiksi
Naratif, Genre Sastra, Penilaian Dan Sejarah Sastra. Sedangkan Studi Pendekatan
Ekstrinsik Meliputi Sastra Biografi, Sastra Dan Psikologi, Sastra Dan
Masyarakat, Sastra Dan Pemikiran Dan Yang Terakhir Sastra Dan Seni.
Sebelum
melakukan kajian anaysis content atau analisa isi novel yang menjadi bagian
dari perkembangan penulis novel Lamongan, perlu diutarakan sedikit keberadaan
penulis novel Lamongan lainnya, diantaranya adalah Viddy A.D. yang terkenal
dengan novel kependekaran, diantaranya yang berjudul Pendekar Sendhang Dhuwur. Ahmad Syauqy
Sumbawi dengan novel Dunia Kecil
Panggung dan Omong Kosong, Maulana Alfarisi, Rodhi Murtadho, Ahmad Zaeni,
Imamudin SA, Zehan Zarees, dan masih ada penulis lainya. Walau sebenarnya
kering dengan diskusi sastra. Lamongan sebenarnya punya puluhan penulis novel
dan ratusan karya sastra. Dan kali ini kita kedatangan penulis novel asal
Gresik yang kini tinggal di Lamongan, yaitu Ah J Khuzaeni yang telah menulis novel
dengan judul Gerak Gerik.
Novel
Gerak-Gerik yang setebal 360 halaman ini disajikan layaknya obrolan di warung
kopi. Topiknya perlompatan kesana
kemari. Mulai dari persoalan power syndrome, perubahan, restorasi, rekonsiliasi
yang dilatari persoalan kaderisasi organisasi ekstra kampus Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia, bahkan pernyatan filsafat dan tasawufpun menjadi
bagian dari rasa nikmatnya paitnya kopi. Bukan hanya lompatan topik, juga
kehadiran tokoh-tokoh pun tipis identitasnya, sebagaimana warga warung kopi,
hadir mengalir yang tidak akan mempersoalkan status sosialnya, tidak ada
istilah pelanggan lama dan baru.
Pilihan-pilihan
unsur dramatik dan karakteristik tokoh-tokoh sebuah novel yang begitu tipis
tersebut memancing keterbukaan para kritikus menemukan banyak
kemungkinan-kemungkinan studi pendekatan dalam kajian teori sastra walau
sebenarnya penulis sudah mengklaim dirinya dalam novelnya adalah komedi realis
yang memberikan penekanan obrolan dialektis beralur maju dengan sedikit kilas
balik.(Pengantar:xi)
Percayalah,
bahwa seringkali kehendak karya sastra itu tak sejalan dengan apa yang jadi
kemauan penulis. Ia semacam makhluk yang diluar kendali penciptanya. Ia lebih
memilih nasibnya sendiri, maka klaim penulis tidak akan pernah bisa menutup
rapat kemungkinan-kemungkinan genre lain dalam pikiran pembaca. Sebab resepsi
pembaca hadir secara bersama-sama antara hayal dan pengalamannya.
Ya,
warung kopi, tanpa ada dramatik yang
berlebihan, tanpa ada alur yang direkayasa, mengalir seperti usia manusia yang
pasrah akan takdirnya. Dalam novel ini
tiada tokoh siapa yang sebenarnya sungguh-sungguh antagonis dan sungguh-sungguh
protagonis. Sang tokoh orang pertama AKUpun lebih banyak sebagai penyimak
obrolan para kakek di warung kopi. Peran lebihnya sebagai penyambung cerita
pertemuan para kakek dengan neneknya. Sang tokoh orang pertama AKU identitasnya
begitu terbuka pada bagian akhir novel ini. Ia putus dari sekolah bukan
lantaran kemiskinan atau keterbatasan intelektual mengikuti mata pelajaran, bukan, tapi
persoalan lain yang dalam dunia pergerakan disebut idealis. Tersesatlah ia pada
situasi horror dalam gudang sekolah yang secara misterius bertemu dengan yang
sebenarnya bukan seorang tukang kebun dan perempuan cantik penjaga
perpustakaan.
AH
J Khuzaini dalam novel gerak-geriknya memilih tidak setiap karya sastra itu
harus imaji indrawi sebagaimana yang diunggkap Renne Wellek dan Austin Warrren
dalam bukunya The Theory of Literature yang diindonesiakan oleh Melani
Budianta.
“Banyak
karya sastra tidak membagkitkan imaji indrawi, kalaupun ada imaji itu muncul
secara kebetulan dan kadang-kadang. Bahkan dalam menampilkan tokoh, seorang
pengarang tidak selalu perlu memakai citra klasik. Tokoh-tokoh yang diciptakan
pengarang Rusia, Dotoevsky, dan vovelis besar inggris, Henry James misalnya,
sukar dibayangkan sosok fisiknya, tetapi kita mengenal segala sesuatu tentang
pikiran, motivasi, penilaian dan keinginan-keinginan mereka. Juga penulis
membuat suatu gambaran umum yang skematis yang dibangun atas satu kecendrungan
fisik tertentu. hal ini sering dilakukan oleh Tolstoy pengarang Rusia dan
Thomas Mann pengarang Jerman (2016:19)
Sebagaimana
catatan di atas, kebanyakan pengarang bertipologi tersebut menganggap terlalu
banyaknya ilustrasi menjelaskan karakteristik tokoh-tokoh justru sangat
mengganggu. Pengarang cukup memberikan gambaran umum dan tidak diceritakan
secara detail.
Novel
ini dibuka dengan perjalanan panjang dengan naik kereta api menuju arah barat
dengan diceritakan tokoh gadis yang duduk di bangku depanya, namun sayang,
hanyalah satu senyum lalu gadis tersebut mengilang bersama tidurnya. Andai tokoh
itu hadir dalam novel popular ia akan menjadi tokoh utama yang dijelaskan
secara detail fisik dan sifatnya, ia akan hadir dari bagian satu ke bagian yang
lain, bahkan mungkin sekali menjadi pengakhir dari cerita. Namun tidak, sebab
penulis memilih jalan lain.
Sebagaimana
tokoh-tokoh Gerak Gerik Pak Setu, Duki, Tirto, Endang, Panca, nenek dari AKU adalah tokoh-tokoh yang
mempertebal halaman novel ini dengan dialog-dialognya yang nyocos layaknya para
mantan aktifis yang mengalami power syndrome sedang diskusi di warung kopi.
Secara fisik tidak diceritakan secara detail, hanyalah gambaran umum usianya
yang tua dengan pilihan diksi kakek dan nenek yang pernah aktif di Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia.
Dianalisa
dari dialog-dilaog yang diungkapkan bertubi-tubi itu akhirnya pembaca akan bisa
mengenal tentang pikiran, motivasi dan keinginan-keinginan tokoh-tokoh dalam
novel tersebut, pikiran dan keinginan tentang perubahan, restorasi,
rekonsiliasi terkait persoalan-persoalan kaderisasi dalam organisasi Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia.
Walau
ada pandangan yang meragukan kandungan filsafat pada karya sastra sebagaimana
yang pernah diungkapkan Goerge Boas dalam ceramahnya. Namun secara umum ada
berbagai cara untuk menjabarkan hubungan sastra dan pemikiran. Sastra sering
dilihat sebagai suatu bentu filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang
terbungkus dalam bentuk khusus. Dalam perkembangannya banyak karya-karya sastra
yang seringkali dihubungkan dengan kajian filsafat, terutama yang ada kaitannya
dengan Eksistensialime. Diantaranya Leo Tolstoy, Albert Camus dengan
Caligulanya, Samuel Becket dengan menunggu Godotnya.
Sebagaimana
setiap dalam membuka bagian-bagian cerita, AH J Khuzaeni selalu menghadirkan
filosofi kalimat dari beberapa filsuf. Diantaranya adalah Dengan humor kita
dapat sejenak melupakan kesulitan hidup Gus Dur. Keadilan yang terlalu mendalam
dapat membuat seseorang menjadi gila Aokiji. Dulu aku ada di sini, dan
kata-kata ini telah membimbingku sampai akhir Gol D. Roger.
Nampaklah
kesadaran penulis bahwa novel Gerak Gerik ini berusaha menggandeng perkembangan
pemikiran filsuf. Ada jalan lain dalam sebuah novel selain menghibur, ia
menawarkan pemikiran-pemikiran yang kontemplatif yang sesungguhnya lebih asyik
didiskusikan sebagaimana pada peristiwa yang terjadi pada sebuah novel, pada
sebuah cangkrukan warung kopi.
Pada
simpulan akhir, AH J Khuzaeni dengan novel pertama Gerak-Geriknya ini ingin
menyampaikan pemikiran-pemikiran yang seringkali tereksplorasi dalam dunia
pergerakan, bahwa sesungguhnya aktifis itu adalah kaum akademik, layaknya para
filsuf Yunani yang seringkali bertemu pada sebua taman acadomus, mendiskusikan
pemikiran-pemikiran yang akhirnya menjadi teori baru tentang hakekat manusia
dan kesemestaan alam. Gerak Gerik menghadirkan ruang diskusi pemikiran warung
kopi yang sering diabaikan para akademisi. Diakui atau tidak, dari sanahlah
dunia pemikiran, pergerakan dan kekaryaan seringkali hadir. AH J Khuzaeni telah
merefleksikannya dalam novel pertamanya.
Selamat
mendiskusikannya.
UNS
Solo, 26 Oktober 2018
*)
Untuk didiskusikan di Aula kampus STITAF, tanggal 27 Oktober 2018, Jam 13.00
Wib sampai selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar