Suci Ayu Latifah *
republika.co.id
Salah satu budaya yang paling menonjol di masyarakat kita saat Lebaran adalah memakai baju baru. Sebenarnya, tidak tahu sejak kapan budaya tersebut berlangsung. Namun, kepercayaan masyarakat dengan membeli dan memakai baju baru sudah melekat dan membudaya kuat. Saya awalnya tak tertarik membahasnya, tetapi, begitu membaca kutipan Austin Phelps, tokoh pendidik di Amerika Serikat, menggungah saya. Kutipan itu berbunyi, Pakai baju lama dan beli buku baru.
Ada dua pertanyaan besar dalam diri saya. Pertama, bagaimana jika budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama? Kedua, bagaimana jika budaya membeli baju baru diubah menjadi budaya membeli buku baru?
Dua pertanyaan di atas akan saya bahas dalam artikel ini. Pertama, budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama. Hakikatnya budaya memakai baju baru pada Syawal, menurut saya, merupakan budaya yang absurd. Mengapa harus ketika Syawal?
Bagaimana dengan bulan-bulan lainnya? Tak ada aturan baku soal baju itu, termasuk dalam syariat kita. Selama masa generasi awal Islam, tradisi semacam itu tidak dikenal, tapi Rasulullah SAW menganjurkan pakaian yang paling layak dan bagus. Bukan baru.
Justru yang ditonjolkan adalah saling bersilaturahim, berjabat tangan, dan saling memaafkan. Berbeda tradisi baju baru di masyarakat kita. Efek dari budaya tersebut berdampak besar terhadap mereka yang berada di kalangan menengah ke bawah.
Kedua, budaya membeli baju baru diubah menjadi buku baru. Sebenarnya membeli baju baru adalah hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis. Tidak ada yang mengharuskan tidak atau jangan membeli baju baru.
Pada dasarnya, keduanya adalah sama-sama kebutuhan manusia. Namun, berbeda dilihat berdasarkan kegunaan dan manfaatnya. Membeli baju baru berguna memberikan tampilan berbeda pada tubuh, sedangkan manfaatnya adalah mempercantik diri. Membeli buku baru berguna menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, sedang manfaatnya mempertajam keilmuan.
Dalam kehidupan sosial, kedua objek tersebut sama pentingnya. Namun, dalam konsep pemaknaan hidup, buku baru lebih menguntungkan dibandingkan baju baru. Mengapa hal ini terjadi?
Kekuatan buku lebih dahsyat dibandingkan kekuatan baju. Buku berpotensi mengubah pandangan sosial. Manfaat buku juga jauh lebih unggul dibandingkan baju, buku dapat membawa kita keliling dunia, buku memberikan ruang kebebasan, buku rusak tetap bernilai, baju rusak tak ternilai, buku menunjukkan jati diri, baju menunjukkan harga diri, dan buku mengubah peradaban.
Ingat! Henry David Thoreau Walden pernah mengungkapkan, Buku adalah harta karun kesejahteraan dunia dan warisan terbaik bagi generasi muda dan bangsa-bangsa. Untuk itu, mulai berpikirlah apa yang dapat kita lakukan dalam mensejahterakan dunia. Yuk, ciptakan budaya baru dengan pakai baju lama, beli buku baru!
*) Mahasiswi dan Panitia SGL STKIP PGRI Ponorogo.
https://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/16/12/04/ohnqk76-pembaca-menulis
republika.co.id
Salah satu budaya yang paling menonjol di masyarakat kita saat Lebaran adalah memakai baju baru. Sebenarnya, tidak tahu sejak kapan budaya tersebut berlangsung. Namun, kepercayaan masyarakat dengan membeli dan memakai baju baru sudah melekat dan membudaya kuat. Saya awalnya tak tertarik membahasnya, tetapi, begitu membaca kutipan Austin Phelps, tokoh pendidik di Amerika Serikat, menggungah saya. Kutipan itu berbunyi, Pakai baju lama dan beli buku baru.
Ada dua pertanyaan besar dalam diri saya. Pertama, bagaimana jika budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama? Kedua, bagaimana jika budaya membeli baju baru diubah menjadi budaya membeli buku baru?
Dua pertanyaan di atas akan saya bahas dalam artikel ini. Pertama, budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama. Hakikatnya budaya memakai baju baru pada Syawal, menurut saya, merupakan budaya yang absurd. Mengapa harus ketika Syawal?
Bagaimana dengan bulan-bulan lainnya? Tak ada aturan baku soal baju itu, termasuk dalam syariat kita. Selama masa generasi awal Islam, tradisi semacam itu tidak dikenal, tapi Rasulullah SAW menganjurkan pakaian yang paling layak dan bagus. Bukan baru.
Justru yang ditonjolkan adalah saling bersilaturahim, berjabat tangan, dan saling memaafkan. Berbeda tradisi baju baru di masyarakat kita. Efek dari budaya tersebut berdampak besar terhadap mereka yang berada di kalangan menengah ke bawah.
Kedua, budaya membeli baju baru diubah menjadi buku baru. Sebenarnya membeli baju baru adalah hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis. Tidak ada yang mengharuskan tidak atau jangan membeli baju baru.
Pada dasarnya, keduanya adalah sama-sama kebutuhan manusia. Namun, berbeda dilihat berdasarkan kegunaan dan manfaatnya. Membeli baju baru berguna memberikan tampilan berbeda pada tubuh, sedangkan manfaatnya adalah mempercantik diri. Membeli buku baru berguna menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, sedang manfaatnya mempertajam keilmuan.
Dalam kehidupan sosial, kedua objek tersebut sama pentingnya. Namun, dalam konsep pemaknaan hidup, buku baru lebih menguntungkan dibandingkan baju baru. Mengapa hal ini terjadi?
Kekuatan buku lebih dahsyat dibandingkan kekuatan baju. Buku berpotensi mengubah pandangan sosial. Manfaat buku juga jauh lebih unggul dibandingkan baju, buku dapat membawa kita keliling dunia, buku memberikan ruang kebebasan, buku rusak tetap bernilai, baju rusak tak ternilai, buku menunjukkan jati diri, baju menunjukkan harga diri, dan buku mengubah peradaban.
Ingat! Henry David Thoreau Walden pernah mengungkapkan, Buku adalah harta karun kesejahteraan dunia dan warisan terbaik bagi generasi muda dan bangsa-bangsa. Untuk itu, mulai berpikirlah apa yang dapat kita lakukan dalam mensejahterakan dunia. Yuk, ciptakan budaya baru dengan pakai baju lama, beli buku baru!
*) Mahasiswi dan Panitia SGL STKIP PGRI Ponorogo.
https://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/16/12/04/ohnqk76-pembaca-menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar