Minggu, 01 Juni 2014

Sosiologi Pengarang Sutan Takdir Alisjahbana

Riyon Fidwar *
harianhaluan.com 29 Juli 2012

Sebuah karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinik­mati, dipahami dan diman­faatkan oleh masyarakat. Satrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia tergo­long oleh status sosial terten­tu. Sastra itu sendiri adalah sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh manusia (sastrawan) yang bernilai estetikan, dan memiliki me­dium, yaitu bahasa. Menurut Rene Wellek ada tiga pengu­lasan tentang sastra (sosiologi sastra), yaitu: sosiologi penga­rang, sosiologi karya, sosiologi pembaca.


Seperti yang telah dijelas­kan di atas bagaimana sebuah karya itu dihasilkan oleh sastrawan (pengarang), dan sastrawan itu sendiri adalah anggota dari masyarakat yang memiliki status sosial terten­tu. Sosiologi sastra juga merupakan pendekatan terha­dap karya sastra yang mem­pertimbangkan segi-segi kema­syarakatan.

Sebagaimana kita ketahui pada zaman Sultan Takdir Alsjahbana merupakan sebu­ah zaman yang kehidupan negara tidak menentu atau zaman penjajahan Belanda. STA sendiri merupakan sastrawan yang berasal dari Sumatera dan hidup pada masa Balai Pustaka. Karya-karya (STA) sangat berpengaruh pada pemuda-pemuda yang hidup di zamannya, yaitu terpe­ngaruh pada sastra Barat.

Berbagai pemikiran dan gagasan dari kaum intelek­tual digali agar mendapatkan yang sesuai bagi perjalanan masa depan bangsa. Salah satu yang bisa dijadikan suri tauladan adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perlu kiranya kita mengenal lebih mendalam sosok STA yang sepanjang hidupnya memi­kirkan dan berusaha meme­cahkan masalah-masalah bahasa, sosial-budaya, filsa­fat, agama dan kesenian yang melandaskan kehidupan berne­gara kita.

Sebutan lain yang disan­dang STA adalah peletak dasar peradaban modern Indonesia. Pemikiran Takdir mengenai kebudayaan dan identitas nasional kemudian dikembangkan lebih lanjut melingkupi kebudayaan ASE­AN dan kebudayaan dunia yang sedang dibentuk akibat globalisasi. Dalam karya terakhirnya ia mengajak kita semua membentuk suatu kebudayaan dunia yang ink­lusif di mana semua orang mendapat tempat. Selain memodernisasi bahasa Indo­nesia, tindakan Takdir yang sama pentingnya adalah men­ce­tuskan Polemik Kebudayaan. Indonesia didirikan berda­sarkan dialog yang memuncak dengan adanya Sumpah Pemu­da. Namun setelah Sumpah Pemuda diucapkan, khususnya di tahun 1930an, pemerintah Hindia Belanda mulai resah dengan berkembangnya gera­kan nasionalis yang megingin­kan kemerdekaan dan peme­rin­tah kolonial berusaha menghentikan dialog tersebut dengan melarang segala tuli­san berbau nasionalis yang menganut Indonesia merdeka di media cetak.

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara,11 Februari 1908, dan mendapat pendididikan Barat semenjak sekolah sampai ia menyelesaikan studi terkhir­nya dengan pendidikan Barat. Perlu kiranya kita mengenal lebih mendalam sosok STA yang sepanjang hidupnya memikirkan dan berusaha memecahkan masalah-masa­lah bahasa, sosial-budaya, filsafat, agama dan kesenian yang melandaskan kehidupan bernegara kita. Menurut seo­rang Editor di Jurnal Ilmu dan Budaya, Liliek Sofyan Ahmad, STA juga memikirkan cara mengadaptasi bidang-bidang tersebut terhadap globalisasi, sebab pada dasarnya Takdir sebagai puncak peradaban manusia yang sempurna.

Dalam hal ini, STA seba­gai seorang pemuda yang secara jernih merumuskan pandangan-pandangannya betapa pun sempitnya pan­dangan itu. Ia melontarkan gagasan yang sering malah mentah, namun dapat mem­bangunkan orang-orang tua yang terkantuk-kantuk. Se­bagian besar polemik yang terjadi dan sikap seperti itu besar peengaruhnya kepada kaum cendikiawan muda. Akibatnya adalah sikap me­mu­suhi, sikap anti, sikap tidak peduli, terhadap keka­yaan budaya lama (kebu­dayaan daerah) yang sangat beeragam di seluruh Indonesia.

Takdir kemudian mence­tuskan Polemik Kebudayaan dan menerbitkan semua pandangan dalam Polemik Kebudayaan di majalah Pudjangga Baru. Dengan demi­kian ia memberi corong kepada kaum nasionalis di mana mereka dapat mengex­presikan dan mengembangkan pemikiran mereka melalui tulisan-tulisan mengenai budaya Indonesia baru yang akan dibentuk. Pudjangga Baru merupakan satu-satunya corong yang terbuka bagi kaum nasionalis pada waktu itu untuk mene­ruskan dialog pembentukan Indonesia.

Takdir sendiri yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Barat seperti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis antara lain: “ Didalam dukungan adat, jiwa seseorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad kea bad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun menurun. Piki­ran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat pribadinya”.

S. Takdir Alisjahbana adalah orang yang lantang suaranya dalam mengan­jurkan agar bangsa Indonesia kaalau hendak maju meniru kebudayaan Barat, bahkan mereguk roh dan semangat Barat sebanyak-banyaknya. Dalam rangkaian karangannya tentang puisi Indonesia yang dimuat dalam Pujangga Baru tahun 1930-an Takdir sangat keras mengejek bentuk pantun dan syair sebagai “ucapan nenek-nenek tua yang terbuai antara kuap dan kantuk”. Takdir menolak bentuk-bentuk puisi (Melayu) lama sebagai wadah puisi Indonesia baru, dan menganjurkan agar puisi baru lebih mencerminkan ekspresi penyairnya secara individual. Pengarang-pengarang yang berasal dari Sumatera seperti M. Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, S. Takdir Alisjah­bana dan lain-lain memper­lihatkan hubungannya yang erat dengan sastra Melayu (klasik) dengan baik, selain itu kita pun menyaksikan munculnya para pengarang yang menulis dalam bahasa Indonesia pada awal abad ini (bahkan sejak awal abad yang lalu).

Karena pengaruh pendi­dikan formal melalui sekolah-sekolah yang dilaksanakan pada waktu itu, ditambah pula kenyataan hidup dalam masyarakat penjajahan, maka dikalangan bangsa Indonesia tumbuh anggapan bahwa kebudayaan Barat-lah yang patut ditiru. Segala sesuatu yang dating dari Barat dianggap baik dan maju.

Sikap angkuh seperti itu besar pengaruhnya kepada pemuda yang lain, terutama kepada pemuda atau generasi yang lebih kemudian. Hal itu pada akhirnya menumbuhkan semacam anggapan bahwa segala sesuatu yang bersifat tradisional atau daerah adalah tidak baik. Tidak sejaln dengan semangat Indonesia baru. Bahkan kemudian timbul anggapan yang lebih parah; segala sesuatu yang berssifat tradisional (daerah) bertentangan atau berlawanan, sekurang-kurangnya tidak sejalan. Bahkan berbahaya terhadap masa depan Indonesia.

Anggapan seperti itu bahkan mendapat anggapan yang lebih parah lagi: perkembangan kebudayaan daerah dianggap akan menghambat perkembangan kebudayaan (nasional) Indonesia. Seakan-akan dalam kehidupan Indonesia baru, walau pun sudah mempunyai semboyan bhinneka tunggal ika , hanya ada satu pilihan saja atau kebudayaan daerah atau kebudayaan nasional. Dengan kata lain adalah membina kebudayaan nasional dengan mengorbankan kebudayaan daerah.

Sutan Takdir Alisjahbana pun mengemukakan bahwa ternyata yang bangkit menjadi pemimpin bangsa, adalah para pemuda yang berpendidikan Barat, dan bukan hasil pendi­dikan nusantara. Argumentasi yang dikemukakannya itu kelihatannya logis, tetapi saying tidak mengenai sasa­ran. Hal itu sesungguhnya merupakan suatu kerugian dipandang dari kepentingan kita sebagi bangsa. Sering pikiran STA yang hanya meng­andalkan pendidikan Barat­nya yang kurang luas. Nampak misalnya pada tulisannya yang berjudul “Menuju Masya­rakat dan Kebudayaan Baru” (h. 27 dan seterusnya). Dalam semangat hendak membangun kebudayaan Indonesia baru yang terlepas dari zaman prae-Indonesia, ia mengatakan:

“Pekerjaan Indonesia muda bukanlah restaurereren Brobu­dur dann Prambanan, bukanlah untuk mendirikan bangunan yang lain serupa dengan itu. Pekerjaan yang pertama dapat kita serahkan pada Oudheidkundige di­enst,yang akan mencari batu yang telah diserak-serak oleh zaman, yang akan membalik-balik buku-buku tua untuk mengetahui, bagaimana rupa bangunan-bangunan itu dahulu” (h. 16).

Kalimat itu memberi petunjuk bahwa pengertian “kebudayaan” yang dipakai STA paling tidak, tidak memasuki kepurbakalaan ke dalamnya. Dalam tulisannya yang dimuat dalam kumpulan puisi “Lagu Pemacu Ombak” yang diterbitkan oleh Pujangga Baru pada tahun 1933, yang judul “Di Candi Prambanan”, ia menyatakan “…dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini, abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku”. Dari pernyataan ini STA mencoba merubah ‘kebudayaan’ Indonesia dengan mengubah cara berpikir secara tradisional dan semua yang dilakukan harus bergaya Barat.

Dari penjelasan di atas, bagaimana seorang sastrawan yang besar keinginan untuk merubah ‘kebudayaaan’ Indonesia dengan cara berkiblat ke Barat. Karena pengaruh pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang dilaksanakan pada masa itu, ditambah pula dengan kenyataan hidup dalam masyarakat jajahan, maka kalangan Indonesia tumbuh anggapan bahwa kebudayaan Barat adalah yang maju dan patut ditiru. Segala sesuatu yang dating dari Barat dianggap baik dan maju.

Takdir sendiri yang telah terpengaruh oleh kebudayaan Barat seperti dalam tulisan-tulisannya. Ia menulis antara lain: “ Didalam dukungan adat, jiwa seseorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, abad ke abad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun menurun. Pikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat pribadinya”.

Anggapan seperti itu bahkan mendapat anggapan yang lebih parah lagi: perkembangan kebudayaan daerah dianggap akan menghambat perkembangan kebudayaan (nasional) Indonesia. Seakan-akan dalam kehidupan Indonesia baru, walau pun sudah mempunyai semboyan bhinneka tunggal ika , hanya ada satu pilihan saja atau kebudayaan daerah atau kebudayaan nasional. Dengan kata lain adalah membina kebudayaan nasional dengan mengorbankan kebudayaan daerah.

*) Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unand

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar