Senin, 19 September 2011

Mata Dinding Cinta Ibu

Salamet Wahedi *
Radar Surabaya, 17 okt 2010

Kenangan serupa bayang-bayang kita yang muncul dan tenggelam dalam gelap dan terang. Ia selalu menyapa kelengaan atau kealpaan jiwa kita. Ia kadang hadir saat menjelang malam, tengah malam, atau menjelang pagi. Ia kadang-kadang nongol di tengah keramaian. Tapi, yang paling dikenal dan diakrabinya, kenangan selalu muncul dalam kesendirian dan kesedihan. Ia serupa kakek tua yang begitu berempati membawa tisu untuk menghapus air mata kita. Atau ia kadang menjelma nenek tua yang menderaikan tawanya, menampakkan gigi hitamnya, serta menyirami luka kita dengan cuka.

Kenangan serupa bayang-bayang kita. Ia tidak bisa kita enyahkan. Entah manis dan pahit ia selalu hadir dalam diri kita. Di sekitar kita. Apalagi kenangan akan sosok ibu yang begitu telaten, begitu perhatian, begitu sabar mengajari kita memahami dan merangkai kenangan. Ibu selalu paham, dan sungguh-sungguh paham bahwa hanya kenanganlah yang akan membuat anaknya dewasa. Anaknya tetap selalu mengenangnya. Ibu, dengan segala kenangannya menjelma pangeran katon. Tuhan yang menampak.

Perasaan berkecamuk inilah yang saya rasakan setiap angka bulan kelender mendekati akhir bulan januari. Liburan semester yang hanya beberapa hari. Wajah sayu ibu, yang setiap tahun bertambah jumlah garis dan warna legamnya, seperti padang sabana yang memintaku menengok masa kanak-kanak. Matanya yang bundar murka, tak ubahnya jendela rumah yang memberiku purnama di setiap pertengah bulan. Di tambah cerita-ceritanya, aku semakin merasakan kehadiran ibu sebagai diskotik atau mesin penghibur yang sangat dibayangkan dan dibutuhkan orang-orang kota yang selalu bergera dan bergerak melampaui kecepatan waktu.

Ya, cerita-cerita ibu selalu membawaku pada genangan indahnya cakrawala, kubangan maha duka. Atau kadang-kadang cerita ibu tak urung menyeretku ke liang ngilu yang begitu sembilu.

Cerita ibu kini mendakwaku...

***

Sore itu gerimis baru usai. Jalanan yang becek mengisyaratkan nafas desa yang rapuh. Basah daunan mempertegas kealaman yang disimpan tanah-tanah pebukitan. Langit kembali berkesiap. Arakan awan menepi di ruas selatan. Tetasan air hujan di ujung genteng, dan jatuh ke tanah mengingatkanku pada renyah musik kitaro. Senyum simpul ibu, seperti simpul temali yang hendak merangkum semuanya.

“jika kau sudah jadi orang besok, jangan lupa untuk menjenguk ibumu. Hati-hati dengan kota. Kota, kata kakekmu, adalah rimba yang penuh semak dan belukar yang menipu. Sayang ibu tidak pernah tahu kota. Ibu hanya seorang perempuan”

Usia ibu telah membentang ranum senja. Uban mulai menjalar di depan dan samping kepalanya. Garis-gsris wajahnya juga berpendar pudar. Andai batu atau kayu, kulit ibu berlumut atau siap mengelupas. Tapi ia tetaplah ibu. Yang selalu hadir di setiap desah dan sengal nafasku, walau dengan doa. Kata pepatah, ibulah pangeran katon. Tuhan yang menampak. Dan aku merasakan betul, ketika ia dengan linang airmata membelai kepalaku. Melepasku belajar jauh ke kota.

“kau ingin jadi apa Nuri?”, mata ibu selalu berlinang setiap ia menatapku.

“Guru, Bu”

Ibu tersenyum. “Sungguh mulia cita-citamu. Perjuangkan cita-citamu. Raih mimpimu. Jangan mengigau. Kau beruntung bisa memiliki mimpi. Dulu ibu hanya punya mimpi menangkap kupu-kupu. Mengahalau burung-burung di sawah dan memiliki ternak”

Ibu memulai ceritanya dengan meratapi nasibnya. Ia mula-mula membayangkan, begitu suram dan terbatasnya mimpi di desa. Alangkah kerdilnya kenyataan yang sampai di desa. Sampai-sampai kakekku, ayahnya ibu, selalu mewanta-wanti untuk tidak mengenal kota. Berkompromi dengan segala yang berbau kota.

“Tapi tidak untukmu, Nuri. Kau mesti terbang bebas seperti burung. Kau berhak menentukan ke mana sayapmu akan mengepak. Ibu tahu, sekarang bukanlah jaman ibu sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun, di mana ibu hanya mengenal dapur, lenguh kerbau dan penghambaan buat suami ibu”

sejak kecil ibu sudah dikenal pandai bercerita. Di kalangan teman-temannya, waktu usia 15 tahun, saat ibu dan teman-temannya masih suka main hujan dengan telanjang, ibu sudah bisa menghafal puluhan cerita para nabi dan dongeng rakyat. Bahkan ibu pernah menyabet juara pertama lomba cerita kisah para nabi di perayaan imtihanan madrasahnya.

Konon, kepiawaian dan kecekatan ibu dalam bercerita mengundang decak kagum para ustadznya. Setiap hari, sebelum memulai pelajaran, para ustadz meminta ibu untuk menceritakan sepotong kisah atau dongeng. Ibu sering bercerita tentang kisah nabi Isa. Menurut ibu, nabi Isa, terutama ibunya merupakan sosok yang begitu teguh memegang keyakinannya.

“Nabi Isa dan Ibu nabi isa mengajari kita untuk menjaga dan mempertahankan harga diri” tandas ibu di setiap ujung ceritanya. Selain kisah para nabi, ibu suka sekali bercerita tentang dongeng atau legenda rakyat. Ibu suka sekali bercerita tentang legenda kota ‘Banyuwagi’. Cerita ini tidak hanya mengharukan tapi juga menginspirasi untuk selalu berpikir sebelum bertindak.

“Kalau dongeng ‘Aryo Menak dan Tunjung Wulan’ mengajari perempuan untuk bersikap tegas, dongeng ‘Banyuwangi’ menandaskan bahwa perut betis tidak ada di depan. Penyesalan di kemudian hari” ibu selalu berkaca-kaca ketika menyebut tokoh-tokoh peremupan dalam dongengnya: Siti Maryam, Siti Khadijah, Siti Aisyah, tunjung wulan, dewi sanggalangit, dan perempuan yang penih inspirasi lainnya.

Namun, di antara beberapa cerita yang sering ibu ceritakan padaku, sewaktu aku berusia 12 tahun, sewaktu duduk di kelas enam sekolah dasar, adalah cerita tentang cerita cintanya waktu di desa, sebelum ayah memutuskan tinggal di kota.

“Dulu, di masa ibu para orang tua sangat protektif. Mereka menjaga betul tingkah laku dan sikap anak-anaknya. Pukul tujuh, sehabis ngaji di langgar kiai syamsuri ibu sudah dijemput, dan tidak boleh keluar lagi”

Setiap menceritakan kisah cintanya, ibu tidak lupa untuk mengingatkan akan datangnya zaman, datangnya waktu setiap orang, terutama perempuan tak ubahnya pemain figuran.

"Kita hanya para tokoh, Nuri" ibu memulai ceritanya kesan tentang perjalanan hidup manusia. "Tinggal bagaimana kita bisa paham alur dan skenario atau tidak?" dalam membuka ceritanya, ibu selalu menekankan bahwa ceritanya tidak hanya sekadar uraian kata atau riwayat tentang manusia. Cerita adalah pemahaman dan pemaknaan hidup.

"Dengan cerita kita berbicara jujur. Dengan cerita kita mengurangi beban hdup. Memahami makna hidup, Nuri.

"Nuri, dulu aku dan ayahmu tidak mengenal seperti cerita cinta seperti anak muda sekarang. Dulu, ibu mengenal ayahmu sewaktu pulang dari pengajian. Itu pun curi pandang. Waktu sedetik bertatap muka, adalah kesempatan yang cukup luas dan sangat berharga. Dulu, ibu melubangi dinding tembok pagar rumah dekat jambu klutuk. Ibu melubanginya sebesar telujuk jari ibu"

"setiap senja jatuh merah jingga, ibu biasa memasukkan telunjuk ibu ke lubang dinding itu. Di luar, ayahmu sudah menunggu. Ia akan memegang telunjuk ibu untuk beberapa waktu. Kemudian, ia yang akan memasukkan telunjuknya. Dan giliran ibu untuk memegangnya.

"memegang telunjuk 'pacar' kita di jaman ibu, sudah merupakan adegan hidup yang sangat membahagiakan. Saat yang sangat mendebarkan. Setiap senja ibu selalu berpegang-pegangan telunjuk dengan ayahmu. Sampai bapak-ibu, kakek-nenekmu menemukan lubang dinding tempat ibu berbagi cinta. Sampai kakek-nenekmu mengawinkan ibu dan ayahmu"

Mendengar cerita cinta ibu di di lubang dinding pagar rumah, aku selalu ingin tertawa. Terbahak. Tapi selalu kutahan, sebab buru-buru ibu biasanya mengesaninya.

"cinta tidak hanya sekadar pertemuan. Tapi cinta benar-benar dihayati dan dijiwai walau hanya sekadar berpegangan telunjuk.

***

Nuri tercenung. Wajahnya seperti arakan awan tertimpa lembayung senja. Dari koridor parkiran mall tingkat lima, di tatapnya jalanan yang ramai di bawahnya. Tangannya mengelus-ngelus perutnya yang membesar. Matanya berkaca-kaca membayangkan wajah ibunya yang timbul tenggelam di antara seringai senyum lelaki yang disebutnya srigala.

Nuri tercenung. Rautnya menampak keheningan koridor parkiran. Lelaki itu telah pergi jauh. Jauh entah ke mana. Srigala terkutuk itu hanya meninggalkan beban dalam rahimnya. Aib bagi keluarganya.

"Ibu..." serunya sunyi disapu mobil yang melintas. Dengung cerita cinta ibunya menguar lagi. "maafkan Nuri Ibu.." Nuri menggeleng. Hanya menggeleng menyaksikan jalanan yang semakin ramai dengan lalu kendaraan; membayangkan senyum ibunya di langit.

Nuri tercenung. Cerita cinta ibunya begitu membuat dadanya tersedak. "Maafkan Nuri ibu. Nuri Tidak mau mendengar ceritamu, ibu. Memahami ceritamu, ibu" Dielusnya perutnya yang sudah tiga bulan membuncit. Dibayangkannya senyum sumringah ibunya menyambut lambain tangannya.

Dan esok, dirinya akan menjadi sepotong cerita di halaman koran...

Surabaya-sumenep des 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=486574247274

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar