Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/
Engkau selalu seolah paham: aku adalah makhluk paling kelam. Kulitku yang hitam legam setidaknya telah menjadi salah satu parametermu dalam menilaiku. Matamu bahkan akan selalu terpicing saat aku dengan pakaianku yang sudah compang-camping ini melewati rumahmu. Padahal aku tak pernah menganggumu. Tak pernah mengusikmu. Tapi selalu saja engkau mengusirku pergi, melemparku dengan kerikil-kerikil dari halaman rumahmu. Sebab katamu, aku adalah makhluk paling kelam. Hanya akan merusak pandangan matamu.
Tapi, tetap saja aku melewati rumahmu setiap hari. Sebab rumahmu adalah salah satu jalan hidupku. Sebab di depan rumahmu ini, aku menemukan banyak hal yang berguna untuk mengisi perutku dan adik-adikku. Sesuatu yang engkau sebut sampah tak berguna, telah menjadi sumber kehidupanku.
Seperti hari ini, aku kembali melewati rumahmu. Kuperhatikan dulu sejenak, barangkali engkau sedang duduk di teras menungguku. Menunggu untuk melempariku lagi dengan kerikil-kerikil itu. Tapi tampaknya engkau sedang tidak ada. Maka aku dengan santai memunguti setiap sampah yang masih kuanggap berguna. Tapi belum beberapa lama, aku sudah mendengar teriakanmu yang sudah tidak asing lagi di telinga. Engkau baru saja pulang sekolah. Seragam putih abu-abu itu buktinya. Sementara aku tidak lagi melanjutkan sekolah. Terhenti di sekolah dasar tahun kedua.
“Itu Si Kelam,” katamu sambil menunjukku. Di belakangmu, tidak kurang dari tiga orang memakai pakaian serupa seragammu.
“Loe barusan ngambil apa di sini?” Bentakmu padaku. Dan aku diam saja. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa.
“Loe maling ya?”
Aku menggeleng.
“Udah, ngaku aja!”
Aku masih terus menggeleng, dengan suara sengau tanpa satu pun kata yang terucap dari bibirku. Sementara engkau dan teman-teman sejenismu mulai menarik paksa karung yang masih kupegang erat dengan tangan kiriku. Menggeledah isinya satu per satu.
Aku berontak. Lantas engkau meninjuku tepat di ulu hati. Membuatku meringkuk, sulit bernafas. Engkau bukannya puas malah menginjak tubuhku sambil meludahiku. Aku marah. Aku gerah. Dengan segenap tenaga yang kupunya, aku balik menyerangmu. Mengarahkan benda yang ada di tangan kananku ke arah tubuhmu. Besi (ternyata besi) untukku memulung itu berujung runcing. Menembus perutmu. Darah. Warnanya merah.
Engkau teriak kesakitan memegangi lukamu. Teman-teman sejenismu mulai mengerubunimu, salah satunya berteriak ke dalam rumah, meminta pertolongan. Tak sampai satu menit kukira, sudah belasan orang mengerubuni kita. Salah satunya mendekatiku. Lalu membekukku. Dan engkau, kuperhatikan, digotong ke dalam kendaraan. Lalu hilang.
***
Di ruangan ini, aku tak lebih seorang perindu yang cemas. Pertanyaan orang-orang berseragam tadi tak kujawab. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa. Alhasil, mereka yang kebingungan malah memasukkanku ke ruangan ini: sebuah ruang dengan jeruji-jeruji tua, dan gelap.
Aku cemas. Bukan mencemaskan diriku. Tapi mencemaskan kedua adikku yang pasti sedang menungguku hari ini. Aku mulai menangis. Membayangkan bagaimana kedua adikku itu bisa makan hari ini. Sebab kami sudah tak memiliki orangtua. Aku yang menjadi tulang punggung bagi mereka. Tapi, dulu kami punya ibu. Saat usiaku dua belas tahun, ibu menghilang. Tak kembali. Tanpa pernah kutahu apa sebabnya. Saat itulah aku tiba-tiba kehilangan suaraku. Tak lagi bisa bicara.
Sebilah tangan menepuk pundakku, “Dik, kamu lapar?”
Aku baru menyadari keberadaannya. Seorang laki-laki dengan janggut yang lebat ternyata juga berada di ruangan ini. Kutaksir usianya sekitar empat puluhan akhir. Kutebak dari rambutnya yang sudah banyak beruban.
Aku diam. Tak menjawab. Dan laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku.
“Makanlah,” katanya lagi.
Aku pun makan pelan-pelan, sambil memperhatikan sekelilingku. Ruangan ini gelap, Remang-remang. Tapi ada yang berbeda. Tidak seperti citra penjara yang umumnya sering kudengar. Tak ada bau pesing. Tak ada sampah atau kotoran yang berserakan. Semua tertata rapi. Bahkan di ujung sebelah kanan, ada sebuah sajadah. Dan laki-laki itu, sedang memegang sebuah buku. Ah, tidak. Ia memegang Al-Quran. Dan mengaji. Aku tahu karena dulu aku pernah belajar mengaji. Tapi kini sudah tidak lagi. Aku sudah berhenti mengaji saat ditinggal ibuku pergi. Sebab tidak ada gunanya mengaji. Aku tak bisa hidup dengan mengaji. Tak kenyang dengan mengaji. Jadi, lebih baik aku tak mengaji lagi. Lebih memilih untuk bekerja mencari sesuap nasi.
“Dik, kenapa kau di sini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku. Ia sudah selesai mengaji.
Aku mengarahkan tanganku ke mulutku, lalu kugoyangkan ke kanan dan ke kiri.
“Kau tak bisa bicara?”
Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kuarahkan tangan ke dada, lalu ke telingaku sambil mengacungkan jempolku. Dan ia tersenyum. Mengerti bahwa aku bisa mendengar dengan baik.
Aku masih menatapnya. Ingin bertanya, kenapa dia sampai berada di sini.
“Apa kau bingung, kenapa aku bisa berada di sini?” Tanyanya paham.
Aku menganggukkan kepalaku lagi.
“Aku membunuh.”
Dan ia mulai bercerita. Dulu, ia adalah seorang tukang kebun di rumah seorang pengusaha. Suatu malam katanya, ia menyambangi rumah itu, hendak mencuri. Sebab ia tahu, saat itu, hanya anak majikannya yang berada di rumah. Tapi sayangnya, ia kepergok. Karena panik, tanpa sadar ia pukulkan linggis ke kepala anak itu. Terkapar. Dan tak bernyawa.
Setelah beberapa hari penyelidikan, ia tak bisa mengelak dari tuduhan. Melakukan pengakuan. Hingga ditahan selama dua puluh tahun.
Aku melihat ia menangis. Airmata penyesalan.
“Aku menelantarkan anak dan istriku.”
Dan aku kembali terenyuh, mengingat kedua adikku.
***
“Semoga Allah menerima taubatku, Dik.”
Aku hanya diam. Bukan tak bisa. Tapi tak mengerti.
Aku menggerakkan anggota tubuhku, memberi bahasa isyarat, “Kenapa kau masih percaya Tuhan?”
Ia hanya tersenyum. Aku tambah tak mengerti.
“Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” sementara aku dibiarkannya berpikir sejenak, “dulu aku tidak pernah shalat,” lanjutnya lagi.
Aku masih diam.
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, Dik. Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa diatasi oleh kita. Seperti sekarang. Aku, di sisi lain, merasa bersyukur dengan dipenjaranya diriku ini. Di sini, aku mengenal Tuhan, Allah. Di sini, aku belajar shalat. Dan dengan shalat lah aku mendapatkan ketenangan hati…”
Ia diam sejenak. “Ini sebuah skenario, Dik. Skenario yang terbaik buat kita. Percaya lah.”
Aku diam. Merenung. Kalau begitu, skenario macam apa yang disiapkan untukku. Membiarkan adik-adikku mati kelaparan? Membiarkan aku yang tak bersalah ini dihukum bertahun-tahun di dalam kurungan?
“Kau hanya harus bisa berpikir positif, Dik. Mengambil hikmah.”
Ia beranjak, meminta izin kepada sipir penjara. Lalu kembali dengan muka basah, berseri-seri. Menunaikan shalat. Entah shalat apa.
***
Hari ke tiga. Masih pukul tiga pagi. Aku terbangun ingin ke kamar mandi. Sipir pasti masih pulas. Aku buang saja di botol yang sudah disiapkan untuk keadaan seperti ini.
Samar terdengar suara, Allah… Allah… Allah
Bukan dari tempat tidur. Ia sedang di atas sajadah, menunaikan shalat malam. Kepalanya tertunduk ke tanah. Aku masih ingat, ini sujud namanya.
Kuperhatikan sesaat, dan ia masih dalam sujud. Dan lebih lama, ia tetap dalam sujud. Maka kudekati ia. Kugoyang-goyangkan tubuhnya.
Ia tak menjawab. Hanya lafadz Allah yang mengalun dari bibirnya.
Aku ikut menunduk, memperhatikan wajahnya. Dan aku tersentak, saat kulihat wajahnya bercahaya. Benar-benar bercahaya. Dan tiba-tiba ia ambruk.
“Dik… Dik…” ia memanggilku dua kali. Aku lebih kaget. Kupikir tadi, ia sudah mati.
Matanya kosong. “Ambilkan aku air…”
Segera kupenuhi permintaannya. Ia minum air itu. Cuma seteguk.
“Dik… sepertinya waktuku akan tiba. Apa Allah menerima taubatku?”
Aku diam. Lalu menganggukkan kepalaku.
Ia tersenyum. Mulai meringis. Lalu perlahan, matanya mulai terkatup. Tidak lagi ada nafas terasa dari hidungnya. Tidak detak jantungnya. Tidak denyut nadinya. Kali ini, ia benar-benar mati. Dan ini, kali pertama dalam hidupku, menyaksikan kematian seseorang, dengan tersenyum pula.
***
Aku masih ingat senyum terakhirnya itu. Membuatku menangis mengingatnya. Bukan karena kesedihan akibat kematian. Lebih kepada kehilangan sosoknya, yang selalu memberikanku ketenangan meski baru beberapa hari kami berkenalan. Aku buka Al-Quran peninggalannya, tak satu pun masih kukenali hurufnya, apalagi artinya. Aku buka buku-buku peninggalannya yang lain: tentang doa, tentang shalat.
Maka pagi itu, aku mengambil wudhu, membasuh tubuhku. Menunaikan shalat meski aku tak hafal bacaannya. Tak paham gerakannya. Aku hanya mencoba shalat. Dengan tanpa kata-kata. Hendak mencari ketenangan yang ia ceritakan. Hendak mencari Tuhan yang ia agung-agungkan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 24 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar