Wong Wing King
Radar Mojokerto-Jombang 16 Jan 2011
Akhir dan awal tahun gedung PSBR benar-benar sibuk. Aktivitas yang luar biasa terjadi disana, sesuatu yang biasanya tampak mewah, eskuisif di sajikan murah meriah. Pun oleh panitia dengan memasang spanduk beserta sang empunya kota tertulis besar “tontonan rakyat”. Panitia tak menyadari, pemilihan kata rakyat, jelas berbanding terbalik dan lurus dengan nama pemerintah, berbeda kalau tontonan “masyarakat”. Beserta itu suport dan fasilitas yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan Jombang (DEKAJO) adalah wujud aprisiasi pada seni budaya lokal, sebagai identitas kota?
Ajang adu kreatif yang pernah dilakukan, kalau mereview acara televise semacam adu ketangkasan yang dilakukan oleh orang Jepang untuk mencari champion, kebetulan saya menyaksikan dan suka pertandingan seniman pahat es, pengrajin kaca dan perupa, saya pun menyukai acara ini.
Seperti yang terjadi minggu lalu, seniman –seniman teater berkumpul dan membuat semacam champion. Akh kok saru ya. Karena kata champion ini, mau tidak mau, kalau berbicara persoalan estetika tidak ada ukurannya, relative subyektif. Dan kalau ditemukan semacam pendekatan matematik logik, itu pun hanya berupa angka –angka, bukan ukuran keindahan. Setelah terjadi ajang ‘kompetisi”di sana (gedung PSBR), kelihatannya tambah rumit. Tercium aroma perang tanding disitu. Yakni acara “Kompetisi Teater Dana Hibah”. Sakit sih kedengarannya, atau malah sebaliknya terharu biru. Hari gini, ada dana hibah untuk kesenian teater gitu loh. Lha apa pusing saya, toh acara berlangsung meriah dengan dihadiri 196 pengunjung tiap hari.
Terlepas dari prasangka juri ataupun panitia, sebagai penonoton saya sempat menyaksikan perhelatan akbar tersebut. Meski tidak rutin selama lima hari dalam 13 penyaji (pementasan). Maklum jarak rumah saya terlalu jauh dengan gedung PSBR. Cukuplah untuk menghabiskan 1 liter premium, bagi saya memang tidak ada dana alokasi melihat teater, wong buat makan saja sulit, sekalipun pertunjukkannya tergolong murah, alias dan tumben juga hal itu ada pertunjukkan yang sampai segitunya, padahal biasa seperti pertunjukkan di gedung jelas memakan biasa yang luar biasa. Terlebih dapat terlihat nyata, ya itulah perkembangan teater di Jombang selama ini. Andaikan ada sebuah pertunjukkan yang ramai penontonnya, padahal di tiketkan, hal itu perlu ditanyakan, mereka datang secara sukarela, ingin melihat pertunjukan teater atau malah ada motivasi lain?
Berbeda dengan saya yang benar – benar ingin melihat teater, namun kantong bolong. Saya jadi ingat dulu suatu ketika dewan teater suatu kota mengatakan “teater miskin”. Bayangan saya, kalau kaya kenapa berteater, kok tidak punya mobil, naik haji, rumah mewah. Meski saya tidak sanggup menyaksikan secara full, namun saya juga sempat melihat pementasan sebanyak tiga kali, dan salah satu yang menarik adalah penyaji terbaik adalah Komunitas Tirto Agung Mojoagung.
Pertunjukan Komunitas Tirto Agung Mojoagung, saya menangkap hal baru yang disajikan dalam pertunjukkan tersebut. Awalnya dibuka dengan dua orang aktor menyuguhkan lawakannya ala “ludrukan”. Sangat mengocak perut. Kemudian mempersilahkan aktor memainkan lakon “Thok – Thok Ugel”. Bak MC yang member warning penonton agar menyiapkan diri untuk menyimak alur lakon pementasan. Sakral sekali pertunjukkan teater itu, makanya penonntonya takut melihat.
Perhelatan yang diikuti oleh 15 komunitas teater, entah nama baru atau lama, atau bahkan nama untuk keperluan festival saja. Karena secara riil tidak ada pendukomentasian secara literer, sejak kapan ada teater di Jombang, berapa yang independen, berapa yang ada di kampus – kampus, berapa yang ada di sekolah tingkat, SD, SMP, SMU/SML, beserta perkembangannya. Sebab inilah kenyataan sejarah lokal teater terhapus dari data-data sejarah perkembangan teater Jombang, beserta perkembangannya. Dari ke 15 peserta ternyata hanya 13 yang jadi mengikuti perhelatan akbar, sisanya mengundurkan diri. Alasannya tentu mereka sendiri yang mengetahuinya.
Ada banyak faktor sebenarnya jika di kaji, mengapa ada pengunduran terjadi dari peserta, padahal festival ini real, ada senyata –nyatanya, kecuali kalau festival pesanan. Pertama; panita menyebar info barangkali terlalu mendadak, sehingga batas kesiapan peserta, tidak mungkin menyesuaiakan kondisisi. Kedua; salah satu pemain tiba-tiba harus tidak ikut bermain dalam pementasan, aktor, sutradara, penata lampu, peñata rias, peñata kostum. Ketiga; zona wilayah festival terlalu kecil, skup lokal, bukan regional. Keempat; legowo mempersilahkan komunitas lain untuk menang, suatu sikap yang luar biasa, kalau ada.
Berdasarkan salah satu aktor sekaligus motor Komunitas Tirto Agung Mojoagung, sebut Eko Ugel (karena memernakan tokoh Ugel dalam lakon “Thok – Thok Ugel) bahwasanya “inilah jalan teater yang dipilih kelompoknya. Yakni pencampuran teater tradisi (ludruk) dan teater Eropa”. Sebuah perkawinan silang antara Jawa (ceritanya) dan Eropa (laku teknis) yang seperti dipentaskan itu, keinginan sang komunitasnya sebagai ciri atau style.
Naskah yang bercerita tentang cinta tak sampai ini, seperti halnya Siti Nurbaya, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, dapat dirasakan dipertunjukkan lalu bersetting masa silam, ketika masih ada istilah adipati, yang dengan kekayaannya tidak mau menerima seorang calon menentu dari kalangan bawah (Ugel) yang secara nyata tidak sekelas, seimbang dalam strata sosial, Ugel dapat menjadi menentu Adipati sehingga dapat menikahi Dewi, harus memenuhi syarat ketentuan yang berlaku yang diwarningkan oleh sang Adipati. Bahwa kalau mendapatkan “intan sebesar telur angsa” Ugel berhak menikahi putrinya. Terpenuhilah sudah oleh Ugel keinginan Adipati, intan dibawa kepada Adipati, tetapi sesuatu menjadi terbalik. Intan di terima. Sedangkan Ugel dibuang begitu saja. Kemarahan Ugel meledak. Dengan perasaan kecewa, dendam dikeluarkanlah kutukan yang kemudan terjadi bencana berupa banjir bandang hingga meluluhlantahkan rumah Adipati beserta tubuh kikir dan sombongnya.
Pertunjukkan selesai. Ending/ akhir cerita yang sengaja di pilih oleh sang sutradara tergolong unik juga ringan. Bagaimana nasib Ugel, dan Dewi? Terserah penontonnya, mau diapakan. Ada semacam pendewasaan penonton, dan penonton juga cerdas, bahkan lebih cerdas dari para jurinya yakni Gunawan Maryanto (Teater Garasi Yogyakarta) dan Heri Nurcahyo (Surabaya), dari sudut pandang mengapresiasi pertunjukkan, bukan persoalan penilaian angka urusan festival, secara umum bahwa pertunjukkan sah diapresisikan.
Say berharap festival berikutnya, juri bukan dari seorang ahli teater tapi masyrakat (bukan rakyat), di daerah pelosok, 100 0rang secara sukarela. Disitulah tantangan terbesar seniman teater, sudahkan hal itu dijamah, bukan hanya terkenal saja.
Naskah Thok –Thok Ugel sebenarnya sudah dua kali diikutkan event festival. Yang pertama di tahun 2006 mewakili Jombang dengan Dinas Parbupora di Malang, ketika festival ludruk se – Jawa Timur, dan mendapatkan nominasi 5 penyaji terbaik. Ketika itu berkolaborasi dengan temen–teman kampus Undar (Universitas Darul ‘Ulum Jombang). Yakni Sangar Seni Mentari Fakultas Psikologi, Sanggar Laras Rinonce pimpinan Pak Wito, beberapa teman – teman kampung sekitar kampus Undar. Waktu itu saya belum tahu persisnya Komunitas Tirto Agung Mojoagung berdiri. Tak jauh berbeda apa yang disajikan dalam hal artistik panggung dan alur ceritanya, tetepi yang luar biasa adalah kekeuatan para aktornya. Ketegangan emosi sangat terasa pada aktor – aktornya, cimestry nya terpegang, sehingga ruh para pemain hidup di atas panggaung, yang tak sekedar seperti keaktoran klasik, telihat kaku. Walaupun pemain yang tetap adalah Adipati dan Ugel, dan sutradaranya , Haris.
Pementasan Thok–Thok Ugel tergolong realis – magis. Realisnya adalah cerita yang umum berkembang dimasyarakat bahwa kaya dan miskin tidak ada garis lurusnya, selalu patah –patah, dan dikerjakan secara realis pemanggungannya. Magisnya adalah memasukkan unsur – unsur magis Jawa, atau masyarakat mana pun yang dekat dengan mantra –mantra, dan khas bertutur bahasa khas Jombangan.
Persoalan yang terjadi adalah para penyaji terbaik versi kompetisi teater dana hibah ini hanya dari Komunitas Tirto Agung Mojoagung. Tapi yang lainnya ada kesinambungan untuk memperpanjang usia berkesenian dihatinya, dikotanya, bukan dikomunitasnya atau kantong sakunya. Paling tidak seperti yang baru – baru ini dilakukan oleh kelompok Teater Kopi Hitam, dengan “Jendral Markus” nya. Kopi Hitam berani melakukan pementasan di beberapa kota secara swadaya. Bahkan naskahnya merupakan garapan sendiri (tulisan salah satu anggotanya). Atau yang dilakukan Komunitas Teater Suket Indonesia dengan naskah “Cuh” yang hendak akan berangakat bulan–bulan ini keliling beberapa kota dengan naskah sendiri pula. Bukankah bermain naskah sendiri lebih mengasyikkan? Sekaligus menjadi pilihan yang tidak mudah. Karena menulis naskah bukan perkara mudah pula. Harus siap, minimnya berani malu. Maksimal keberaniannya yang teruji, mencoba, belajar bukan malu mencoba atao belajar. Setidaknya tidak hanya jadi jago kandang saja, paling tidak kharus jadi kandang jago, intens berteater, bahkan menjadi actor walau tidak muda lagi. Memeng mau memilih apa ketika sudah masuk dalam dunia teater, sebagai aktor saja, sutradara selamanya, pemusik selamanya, tukang lampu selamanya, tukang artistic selamanya, piñata rias selamanya, penjual tiket selamanya, supporter selamanya, event organizer (EO) teater curator selamanya, pelatih selamanya, guru teater selamanya, juragan selamanya, banyak lagi yang parah adalah punya nama teater tetapi tidak melakukan pementasan. Ironisnya teater tidak mengenal pensiun, semakin lama menjalani berteater setidaknya semakin menemukan spiritualitas berteater, yang tidak lagi berbicara tentang kitab suci teater “dramaturgi”. Tetapi lebih pada ruh berteater pada kehidupan umum bermasyarakat bahwa diri sendiri, yang dilakonkan oleh pencipta diperanakan oleh nama–nama, dimanapun berada selalu mementaskan dirinya sendiri sebagai manusia, tidak lebih.
Semoga di tahun berikutnya ada lagi kompetisi teater atau malah sepesifiknya lagi, kompetisi menulis naskah teater.
Wong Wing King, Aktif dalam Komunitas Teater Sanggar Mentari Indonesia, Medeleg-Tampingmojo Jombang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar