Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
/1/
Di dalam khazanah sastra Indonesia modern kita mengenal suatu persoalan kemajemukan budaya bangsa sebagai akibat dari keragaman etnis. Menghadapi persoalan kemajemukan budaya bangsa ini kita harus berpandangan luas, tidak sempit, dan tidak primodial. Kita anggap bahwa keragaman etnis dapat menghadirkan temu budaya dan temu etnis yang terwadahi dalam sastra Indonesia modern. Martabat dan harga diri bangsa sebagai identitas keindonesia yang tertuang dalam nilai-nilai budaya etnis tersebut jelas dapat diapresiasi melalui karya sastra Indonesia modern. Sebab, di dalam kemajemukan budaya itulah mitologi yang dimiliki oleh suatu kelompok etnis tertentu menjadi perantara yang dapat menghubungkan “Indonesia” dengan realitas budaya yang majemuk tersebut. Indonesia itu sendiri baru dianggap sebagai abstraksi dari keinginan untuk bersatu dari berbagai kelompok etnis di seluruh wilayah Nusantara.
Pandangan Umar Kayam yang tertuang dalam bukunya Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) bahwa ada jadwal bagi berbagai kelompok etnis di Indonesia yang berbeda-beda dalam proses untuk “mengindonesia”-kan diri menjadi sebuah Indonesia, yang kini tentu hasil pengindonesiaan itu dapat dilihat dan dirasakan oleh kita semua. Untuk menjadi Indonesia itu tampaknya orang-orang dari daratan Melayu telah melakukannya pada jadwal yang termasuk paling awal dibandingkan dengan orang-orang dari daratan Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, misalnya dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Hal ini tidak serta merta harus ditafsirkan bahwa orang-orang Melayu lebih Indonesia daripada orang-orang Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua tersebut. Ini berarti lebih dahulu atau lebih kemudian dalam proses “mengindonesia” itu tidak menjadi jaminan mutlak karena perwujudan Indonesia itu merupakan sebuah proses panjang yang mengalami pasang surut dan silih berganti seiring dengan pasang surut dan silih bergantinya kondisi dan situasi politik negeri ini.
Proses menjadi Indonesia yang harus dialami oleh berbagai kelompok etnis di Nusantara ini harus dilalui dengan penggalian nilai-nilai budaya lokal atau budaya setempat yang untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam napas Indonesia. Begitulah, dalam penggalian sumber-sumber budaya lokal atau budaya setempat yang salah satu wujudnya adalah mitologi itu terjadi pengungkapkan nilai-nilai budaya yang terkait dengan kelompok etnis. Ujung dari proses itu adalah ditemukannya mitologi Indonesia sebagai bentuk penafsiran manusia Indonesia dengan latar etnis yang beragam. Mitologi yang digalinya dari sumber budaya etnisnya itu dapat terjadi setelah “membaca” realitas Indonesia yang dihadapi dan dihidupinya dari masa lalu, kini, dan yang akan datang. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Jawa, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Bugis, mitologi Toraja, mitologi Sasak, mitologi Papua, dan juga mitologi Melayu.
Mitologi yang berakar pada budaya kelompok etnis itu boleh disebut sebagai “dasar pijakan” bagi kehadiran mitologi Indonesia dan sekaligus penghubung antara Indonesia yang abstrak dan realitas keindonesiaan yang tengah menjadi. Atas dasar pikiran itu, fungsi mitologi etnis adalah penghubung ke dunia realitas budaya yang konkret dan mampu menjembatani jarak budaya antarkelompok etnis di Indonesia. Oleh karena pentingnya mitologi sebagaimana terurai di atas, sesungguhnya sangat relevan dengan pernyataan Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999:43) bahwa tidak bisa dibayangkan adanya sastra yang sama sekali lepas dari mitologi. Dengan kata lain, sastra Indonesia modern yang dihidupi oleh pengarang dari berbagai kelompok etnis di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu itu tidak steril dari pengaruh mitologi dalam berbagai wujud dan jenisnya, termasuk mitologi Melayu. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa bahasa, sastra, dan budaya Indonesia yang kini telah terbentuk wujudnya itu berakar pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Tentu hal itu telah mengalami perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan kini.
/2/
Orientasi sastrawan kita dalam berkarya, termasuk menulis puisi, pada awalnya memperlihatkan kecenderungan utama untuk memadukan antara “mendaerah” dengan “membarat”. Bahan yang ada, objek dan substansi puitik serta tradisi memang berasal dari daerah atau etnis, namun cara pandang dan pendidikan berasal dari dunia Barat. Dengan cara pandang seperti itu dimaksudkan adanya semangat di kalangan pengarang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang berakar pada dunia kedaerahan yang dipadukan dengan pemikiran Barat, terutama dunia perkotaan dan modernisasi sebagai dasar berpijak mereka. Hal ini terwujud dalam bentuk puisi-puisi soneta atau balada, yang mencoba memadukan antara pantun Melayu dan mitologi daerah dengan tradisi puisi Barat. Hal ini tentu dapat dimaklumi bahwa kondisi dan situasi saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Barat (Belanda) sehingga jalan masuk ke dunia internasional atau arus global mau tidak mau harus melalui Belanda.
Goenawan Mohamad dalam bukunya Potret Seorang Panyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972:44-45) menyebut ihwal seperti itu sebagai pendurhakaan terhadap nenek moyang yang dicitrakan sebagai kampung halaman dengan meminjam legenda “Malin Kundang” sebagai sangkutan pikiran untuk gejala itu. Disebutkannya Sitor Situmorang yang menulis sajak dengan judul “Si Anak Hilang” sebagai Malin Kundang yang setelah mengembara jauh dari kampung halamannya si anak itu tidak mau kembali. Apa yang dinyatakan oleh Goenawan Mohamad sebelumnya mengangkat persoalan keterpencilan sastra Indonesia dari khalayaknya yang disebabkan oleh ketercerabutan sastrawan Indonesia dari akar budaya etnis asalnya sehingga pembaca sastra Indonesia kehilangan sangkutan pikirannya ke bumi Nusantara (Indonesia yang terwujud dalam budaya etnis) tampaknya merupakan hasil kajian yang pumpunannya adalah sastra dasawarsa 1950-an yang terbatas pada bacaan Goenawan sendiri. Tentu saja sekarang hal itu telah berubah, bahkan warna setempat atau warna lokal karya sastra Indonesia modern kini menjadi suatu kecenderungan umum meskipun sikap, pandangan, dan perhatian dunia Barat tetap mempengaruhi ekspresi estetis para sastrawan Indonesia.
Pada perkembangan sastra Indonesia modern dengan “dipelopori” Amir Hamzah, penyair zaman Pujangga Baru, memulai kecenderungan baru dengan menulis di atas pijakan semangat budaya setempat atau lokal, yakni semangat kembali ke kampung halaman, yang disebut dengan nama tanah Melayu. Sajak baladanya yang berjudul “Hang Tuah”, “Batu Belah”, “Bonda I”, “Bondo II”, dan “Kamadewi” yang ditulis pada tahun 1930-an, jelas menunjukkan akar yang kuat pada bahasa, sastra, dan budaya Melayu. Hal ini berarti ada kecenderungan baru dalam perkembangan dunia pemikiran di lingkungan para pengarang sastra Indonesia modern, meskipun tetap juga ada yang berpijak ke Barat, seperti pada diri Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang dan tentu saja Chairil Anwar dengan Ahasveros dan Eros-nya sebagai pewaris syah kebudayaan dunia.
Langkah Amir Hamzah itu kemudian diikuti oleh Mansur Samin Siregar dalam beberapa sajaknya, antara lain, “Jelmaan”, “Raja Singamangaraja XII”, “Harimau Pandan”, “Delitua”, “Sukadana”, “Buradaya”, dan “Sibaganding Sirajagoda”; Sitor Situmorang dengan sajaknya “Kisah Harimau Sumatera”, dan Iwan Simatupang dengan sajaknya “Apa Kata Bintang di Laut”, “Ada Tengkorak Terdampar ke Pulau Karang”, “Si Nanggar Tullo”, dan “Inang Sarge”. Tentu para sastrawan Indonesia lainnya untuk tetap dapat berpijak pada bumi sendiri, bumi Nusantara, memburu sastra lisan ataupun sastra rakyat untuk diaktualisasikan dalam karya sastra Indonesia modern, masih cukup banyak jumlahnya, seperti Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, dan Sapardi Djoko Damono. Itulah alasan mengapa ada perbedaan dan juga ada kemajemukan dalam sastra Indonesia modern sebagai wujud multikulturalisme.
Dalam salah satu karangannya secara tegas Ajip Rosidi (1959:8) menyatakan: “…bagi saya yang merasa goyah lantaran belum punya tempat berdiri yang tetap dalam mencari sosok keindonesiaan, daerah akan merupakan sumber ilham dan pegangan yang kuat dengan bagian-bagian yang sedikit-sedikit makin tersisa dalam dirinya.”
Pernyataan Ajip di atas tampaknya tidak dapat dilepaskan dari semangatnya ketika itu, yakni dasawarsa 1950-an dan 1960-an yang pada waktu itu sedang giat-giatnya mengumpulkan pantun Sunda dari berbagai daerah di Jawa Barat. Dapat dikatakan bahwa dengan semangat menggali nilai-nilai budaya daerah atau setempat yang terungkap dalam tradisi pantun Sunda itu–untuk kasus Ajip Rosidi–terbukalah jalan untuk masuknya mitologi daerah ke dalam sastra Indonesia modern. Hal itu dibuktikan oleh Ajip Rosidi dalam puisinya “Jante Arkidam” (1960). Dari berbagai kemungkinan adanya mitologi etnis-etnis di Indonesia itu kita dapat menyebut mitologi Nusantara sebagai salah satu perwujudan identitas keindonesia dalam sastra Indonesia modern.
/3/
Mitologi Nusantara pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya Indonesia yang dengannya manusia Indonesia mencari jawaban atas persoalan kehidupan yang dihadapi dan dihidupinya. Di dalam mitologi Nusantara itu terkandung kearifan lokal atau lokal genius yang seringkali melandasi sikap dan perilaku hidup sehari-hari orang Indonesia sebagai ideologinya. Sebagai hasil budaya, mitologi Nusantara di dalam sastra Indonesia modern menunjukkan sikap dan pandangan hidup orang Indonesia.
Dunia batin orang Indonesia itu sebenarnya dipenuhi dengan berbagai mitologi sebagai hasil kontak budaya orang Nusantara dengan lingkungan alam dan dengan budaya yang lebih besar. Ketika orang Indonesia berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan agama Hindu dan Budha, mulai terjadi pemasukan nilai-nilai budaya kedua agama itu dalam tradisi berpikir dan bersikap manusia Indonesia. Lihatlah hasil kreativitas manusia Indonesia yang telah berhasil “mengindonesiakan” mite yang berakar pada ajaran kedua agama itu dan tradisi sastra yang dihasilkannya dalam berbagai bentuk, misalnya relief yang terukir dalam candi Borobudur dan Prambanan, dalam hikayat-hikayat, dalam cerita-cerita yang mengandung kepercayaan (legenda dan fabel), bahkan dalam bentuk pantun-pantun berkait atau syair-syair Melayu dan daerah.
Sementara itu, ketika agama Islam datang dengan membawa serta mitologi yang berakar pada khazanah pemikiran agama tersebut, hikayat dan syair-syair tasawuf (sastra kitab) menjadi wahana yang canggih untuk memaparkan budaya mereka. Dalam konteks ini para sufi dan ustad-ustad atau guru agama menyebarluaskan agama Islam di kalangan orang Indonesia dengan memanfaatkan hikayat-hikayat kenabian, dongeng-dongeng Timur Tengah atau Arab Persia, legenda-legenda kepahlawanan Islam, dan juga syair-syair sufistik atau sastra kitab. Kemudian mereka memberinya ruh napas keislaman ke dalam berbagai media itu sehingga dikenal dengan hikayat nabi-nabi atau Kisasu L-Anbiya (Hanifah, 1996) atau Surat Al-Anbiya (Hassan, 1990), cerita-cerita eskatologi dari Nurruddin Ar-Raniri, dan sastra keagamaan atau sastra kitab dengan tokohnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdul Rauf Singkel menjadikan opini tentang orang Melayu adalah seorang muslim. Tentu juga mereka menokohkan para pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain sebagai teladan utama dalam berjihat. Di sini bermula terjadinya “dialog” antardua dunia, yaitu antara dunia Islam dan dunia Melayu. Dialog Islam dan Melayu itu, antara lain, terwujud dalam bentuk “pengislaman” hikayat dan syair-syair sufistik. Tokoh-tokoh sahibul hikayat yang mengandung unsur Hindu, seperti Bayan Budiman, Merong Mahawangsa, Malim Demam, Puspa Wiraja, Parang Punting, Langlang Buana, Marakarma, Inderaputra, Indera Bangsawan, Jaya Lengkara, dan Hang Tuah sekalipun digantikan dengan tokoh-tokoh yang diangkat dari dunia pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah dan Iskandar Zulkarnain yang kemudian menurunkan tradisi hikayat zaman Islam, seperti Tajus Salatin, Hikayat Wasiat Lukman Hakim, dan Sejarah Melayu atau Salalatus Salatin. Pada saat itu muncul pula syair-syair tasawuf dan puisi-puisi pengaruh Arab-Persia, seperti ruba’i, gazal, nazam, masnawai, dan kith’ah sehingga terbentuklah gurindam. Salah satu pelopor gurindam ini adalah Raja Ali Haji. Bagimana pula dengan karungut dari daratan Kalimantan Tengah?
Mitologi Melayu hakikatnya mitologi dunia hikayat dan syair-syair tasawuf yang terukir kuat dalam dunia batin orang-orang Melayu. Hikayat nabi-nabi atau Surat Al-Anbiya menjadi pegangan dan teladan hidup orang-orang Melayu. Demikian pula syair-syair tasawuf pengaruh Arab-Persia menjadi pedoman hidup sehari-hari mereka. Kini mereka mengidentikan diri dengan dunia muslimin, Islami, dan religiusitas atau mistikus-Islami, biasa disebut dengan istilah sufistik. Sehubungan daerah Melayu dikelilingi oleh laut, selat, dan samudera, maka dunia Melayu identik pula dengan dunia kelautan, seperti ombak, taufan, nahkoda, kuala, lautan mahatinggi, perompak atau lanun, bajak laut, berlayar, sauh, dan bertata niaga maritim. Iskandar Zulkarnain adalah mitos raja dan pahlawan di Lautan (Hasanuddin W.S., 2000:323). Situasi dan kondisi yang demikian menyebabkan mitologi orang-orang Melayu pun berkisar tentang dunia kelautan, seperti Hang Tuah, Nahkoda Ragam, dan Malim Kundang. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pengaruh Hindu dan daratan ikut mempengaruhi pula mitologi mereka, seperti kisah “Batu Belah” atau “Batu Bertangkup” yang ditulis oleh Amir Hamzah, atau “Kisah Harimau Sumatera” yang ditulis Iwan Simatupang ataupun “Harimau Pandan”-nya Mansur Samin. Kalimantan Tengah pun tentu menampilan “rumah betang”, “batang garing”, “tiwah”, “mandau”, “mitologi tangkiling”, “batu suli”, dan lain sebagainya.
Sebagai hasil penghayatan atas realitas kehidupan, sastra menampilkan diri dalam berbagai manifestasi dan dengan beban pemikiran yang bersegi. Beban pemikiran yang terungkap dalam sastra dapat berupa aktualisasi diri dalam sastra, antara lain dapat berupa aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Dengan aktualisasi mitologi akan terungkap nilai-nilai mitologi diterapkan dalam konteks zaman, pengukuhan nilai-nilai mitos, dan menjadi sarana jembatan penghubung antara dunia tradisi dengan dunia modernitas. Sementara itu, dengan reinterpretasi terhadap mitologi akan terungkap penafsiran kembali dan dapat berupa pengingkaran atau pembalikan atas nilai-nilai yang terungkap dalam mitologi itu diperhadapkan dengan persoalan zaman. Reinterpretasi dalam hal ini dapat menghasilkan efek alienasi karena ada pengasingan dan penyimpangan dari nilai yang selama ini dikenal dalam mitologi itu. Di sini penyair mencoba mempertanyakan hal-hal yang dianggap mapan, stabil, atau stagnasi, kemudian dicari nilai-nilai dinamisnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pluralisme budaya atau multikulturalisme yang menjadi dunia sastra Indonesia modern tentulah juga dicirikan oleh pluralisme mitologi di dalam sastra Indonesia modern itu, termasuk di dalamnya pluralisme penafsiran terhadap mitologi tersebut. Hal ini berarti bahwa dalam sastra Indonesia modern akan dijumpai mitologi Minang, mitologi Batak, mitologi Sunda, mitologi Bali, mitologi Madura, mitologi Dayak, mitologi Toraja, mitologi Bugis, dan mitologi Papua sebagai kekayaan budaya dalam sastra Indonesia modern. Namun, dari sekian banyak mitologi etnis atau setempat yang disebut Melayu itu merupakan unsur mitologi yang menjadi akar dalam sastra Indonesia modern sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun-tahun 1920-an hingga kini 2000-an. Pendek kata, mitologi Melayu dalam sastra Indonesia mutakhir menjadi sesuatu yang niscaya, tidak hanya dalam bentuk puisi yang ditulis oleh penyair yang berasal dari etnis Melayu atau seputar Sumatera, bahkan dalam genre lain yang ditulis oleh orang luar etnis Melayu itu, seperti Subagio Sastrowardojo, Djoko Pinurbo, dan Abdul Hadi W.M.
/4/
Begitulah identitas keindonesiaan dalam karya sastra yang bermula dari mitologi. Sebab mitologi itu pada mulanya memiliki fungsi sakral, suci, profan, dan atau kudus sebagai pengendali moral dan pikiran khalayak pendukungnya dalam menanggapi dan memahami alam semesta. Melalui mitologi dalam karya sastra dapat diperoleh pemahaman atas apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi. Pada perkembangan lebih jauh, mitologi tidak lagi dibebani fungsi sakral, suci, profan, ataupun kudus. Mitologi menjadi–dalam kata-kata Sapardi Djoko Damono–alat yang paling efektif dan tepat untuk mengungkapkan maksud dalam sastra, sebab ia merupakan hasil sulingan, atau hasil rekaman kebudayaan. Pendek kata, dengan mitologi komunikasi yang lebih efektif dapat dijalankan secara baik. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali di sini bahwa fungsi utama mitologi dalam teks sastra Indonesia modern adalah sebagai sangkutan gagasan yang dapat menyeret pembaca secara efektif ke dalam dunia pengalaman dan penghayatan pengarangnya.
Sumber: http://pujagita.blogspot.com/2010/12/indentitas-keindonesiaan-dalam-sastra.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar