Hary B Kori’un
Riau Pos, 17 Sep 2006
JAKARTA, April 1999. Lelaki tua itu masuk ke dalam ruangan, duduk di antara pembicara yang lain dan sejenak kemudian langsung berbicara. Meski keriput terlihat di sana-sini, namun dia masih kelihatan kokoh dan berotot. Dia memang terlambat, moderator sudah lebih dulu membuka acara diskusi itu sebelum lelaki itu sampai. Kemudian sang moderator, Hilmar Farid, memberi kesempatan kepada lelaki itu untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.
“Saya senang berada di sini, di antara anak-anak muda yang seharusnya patriotik dan membebaskan diri dari pengaruh kapitalisme-imperialisme yang lama membelenggu kita…” dan kemudian terdengar suaranya yang lantang dan kuat yang membuat seluruh yang ada menjadi diam, memperhatikan apa setiap ucapannya.
Lelaki itu Pramudya Ananta Toer, yang telah wafat pada 30 April 2006 lalu. Dialah pengarang Indonesia paling terkenal di dunia, yang karya-karyanya sudah diterjemahkan dalam 41 bahasa dan orang Indonesia yang paling dekat dengan penghargaan Nobel, meski hingga akhir hayatnya, Nobel itu tak pernah sampai kepadanya. Pram dianggap sebagai simbol perlawanan oleh banyak anak muda dan dia memang selalu membakar semangat anak-anak muda di setiap acara yang diikutinya, termasuk ketika itu saat menjadi pembicara dalam peluncuran Majalah Jaringan Kerja Budaya yang dibidani Hilmar Farid, Arswendi Nasution dan yang lainnya. Di kalangan anak-anak muda yang suka kekiri-kirian, Pram dianggap pahlawan, dan itu terlihat ketika itu. Saya yang baru datang ke Jakarta dan belum banyak kenal orang, melihat bagaimana anak-anak muda itu hormat kepada Pram. Mereka diam dan takzim mendengarkan Pram yang sedang bicara.
Terus terang, saya bukan pengagum setia Pram. Seperti Rosihan Anwar, saya tidak suka dengan bahasa Pram yang lambat. Beberapa buku Pram saya miliki, namun tak ada yang selesai saya baca. Tetralogi yang terkenal Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan Jejak Langkah, sudah lama saya baca ketika buku itu masih dilarang oleh penguasa Orde Baru secara sembunyi-sembunyi, namun tak tamat. Bahkan kini, ketika buku-buku itu dijual bebas, saya juga tak berniat untuk memilikinya. Namun, saya selalu membaca cerita tentang lelaki kelahiran Blora ini. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan termasuk penderitaan-kemiskinan sebelum dia masuk Lekra/PKI atau setelah keluar dari Buru, memunculkan empati tersendiri, bahwa Pram memang seorang laki-laki yang kuat, hebat, kokoh meski di beberapa bagian dia sebenarnya lelaki yang rapuh yang pantas dipahami dan dimakalumi sebagia manusia.
Seperti dikisahkan oleh Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut dan Rosihan Anwar (Horison, Agustus 2006), Pram pada dasarnya bukan orang yang konsisten dengan pandangan dan pilihan politiknya: Marxisme-Komunis. Dia adalah korban yang terjerumus dan tak ditolong oleh teman-temannya. Pram seorang yang individualistis, dan ini sangat bertentangan dengan Marxis-Komunis yang mengutamakan sama rata sama rasa. Seperti dikisahkan Ajip, kemiskinan telah menjerumuskan Pram ke dalam ideologi kiri yang kini terbukti hancur di mana-mana itu (kecuali Cina, Cuba, Vietnam, Kamboja, Laos, Korea Utara dan beberapa negara kecil lainnya). Pram pernah mengalami masa buruk sekitar tahun 1956, yakni tak makan beberapa hari dan kemudian datang ke rumah Ajib untuk meminta nasi. Isu yang yang muncul bahwa Pram tengah didekati oleh orang-orang komunis membuat tak ada penerbit yang mau menerbitkan novelnya, surat kabar tak ada yang mau menerima cerpen-cerpennya lagi yang membuatnya mengalami krisis keuangan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan betul oleh komunis ketika itu. Pram ditawari untuk pergi ke Cina menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun, bersama penulis naskah drama Utuy Tatang Sontani. Beberapa waktu kemudian Pram ditawari menerjemahkan novel pengarang Rusia, Maksim Gorki, Ibunda. Tak lama setelah itu, bersama Utuy juga, Pram menjadi delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Pengarang Asia di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Turkmenistan). Hal inilah yang membuat para seniman anti-komunis menganggap bahwa Pram dan Utuy memang benar-benar sudah masuk dalam aliran kiri-komunis. Imbasnya, karya-karya Pram benar-benar ditolak di penerbitan manapun, salah satunya Majalan Star Weekly pimpinan PK Ojong yang sebelumnya banyak memuat karya Pram, langsung berhenti memuatnya.
Menurut Ajip Rosidi, sikap inilah salah satunya yang semakin menjerumuskan Pram semakin jauh ke dalam aliran kiri. Jika saat itu ketika orang kiri baru berusaha mendekatinya dan teman-temannya melakukan pendekatan untuk “mempertahankannya”, Pram tidak akan menjadi orang kiri. Individualisme Pram tidak akan sepaham dengan komunisme, dan menurut banyak orang, jika saja PKI berhasil dalam kudeta, orang seperti Pram juga bakal dihabisi karena dianggap tidak segaris dengan kebijakan partai. Seorang individualis tidak penting dalam garis partai seperti PKI.
Pram kemudian benar-benar terjerumus dalam ide komunisme ketika ia diberi keleluasaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi editor halaman budaya “Lentara” di Harian Bintang Timur. Dengan dua pisaunya itu, Pram benar-benar berseberangan dengan mereka yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan seperti HB Jassin, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bakdi Soemanto, Mochtar Lubis dan yang lainnya termasuk Buya Hamka. Menurut Taufik Ismail, dengan pemahaman Marxisme-Komunisme yang dipaksakan dan tak mengakar, Pram dengan bahasa kasar dan propaganda, selalu mengajak pembacanya untuk memusuhi kelompok Manifes Kebudayaan dengan kata-kata “ganyang”, “hancurkan”, “pembabatan total” dan lain sebagainya. Orang yang paling merasakan keganasan propaganda Pram adalah Mochtar Lubis yang masuk penjara selama 10 tahun di masa Orde Lama tanpa pernah diadili karena finah itu. Hamka juga demikian, harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun dan fitnahan sebagai plagiator, yakni novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang dituduh plagiasi dari karya Al-Manfaluthi. Propaganda Pram dkk lewat Lekra dan halaman budaya “Lentera” di Bintang Timur, benar-benar telah jauh memisahkan Pram dari teman-temannya sendiri, bahkan dari dirinya sendiri. Sebab, pada awalnya, Pram bukanlah penganut Marxisme-Komunisme, dan ketika dia berada di ideologi itu, Pram juga tidak fasih dan terkesan memaksakan diri (atau dipaksa?) untuk kepentingan partai (PKI).
Taufik Ismail mencontohkan, bersedianya Pram menerima Hadiah Magsaysay dari Filipina tahun 1995, telah menunjukkan bahwa Pram bukanlah pribadi yang konsisten dan terlihat sangat oportunis dengan berpikir keuntungan pribadi (ini bukan cermin orang yang teguh dengan sama rata sama rasa dan anti kapitalis-imperalis). Padahal Pram tahu, hadiah itu didanai oleh sebuah lembaga dari Amerika Serikat (negeri kapitalis-imperialis) yakni Rockefeller Foundation, namun dia tetap mau menerimanya. Kalau Pram seorang yang berprinsip teguh dengan Marxis-Komunis, dia tidak akan mau menerimanya. Inilah yang membuat Mochtar Lubis kemudian mengembalikan penghargaan yang sama yang didapatnya sepuluh tahun sebelumnya. Mochtar Lubis marah, sebab yayasan dari Manila itu memberinya penghargaan karena upaya kerasnya memperjuangkan kemanusiaan dari penindasan, sementara Pram adalah seorang penindas kemanusiaan. Namun, orang secara nyata bisa melihat bagaimana sebenarnya pribadi seorang Pram dalam hal ini. Pram ternyata bukan seorang yang hebat seperti karya-karyanya. Ketika dia masuk komunis, alasan utamanya adalah karena kehidupannya terjamin (materi) dan dia menerima Magsaysay Award juga dengan alasan itu (materi).
Padahal selama ini kita selalu yakin bahwa Pram adalah seorang yang kukuh pada pendirian, garis hidup juga garis idealismenya. Pantaskah seorang Pram mendapatkan hadiah Magsaysay atau Nobel, sementara dia pengagum dan “murid” seorang Vladimir Ilich Ullyanov Lenin yang menjagal 40 juta rakyat Rusia (Uni Soviet) selama dia berkuasa (1925-1953)? Pantaskah dia untuk itu semua sementara dia tetap mengatakan bahwa Marxisme-Komunisme adalah paham yang memahami kemanusiaan, padahal telah membantai 50 juta rakyat Cina ketika Mao Tsetung berkuasa (1947-1976), 2 juta rakyat Kamboja melalui Pol Pot dengan Kmer Merah-nya (1975-1979) dan puluhan juta lainnya di puluhan negara lainnya seperti di Eropa Timur atau Amerika Latin? Tercatat, paham Marxisme-Komunisme yang terbukti gagal, telah membunuh lebih 120 juta orang di 76 negara selama 74 tahun (1917-1991) sebelum keruntuhan Tembok Berlin (Jerman Bersatu) dan reformasi yang dilakukan Michael Gorbachev di Uni Soviet yang kemudian meruntuhkan komunisme secara internasional (Uni Soviet kemudian terpecah-pecah menjadi banyak negara hingga kini). Cina, negara komunis paling besar di dunia saat ini, ternyata hanya menganut idealisme itu setengah hati. Mereka bersikeras tetap pada Marxisme-Komunisme, padahal dalam bidang ekonomi, pelan tapi pasti pasar bebas mulai terlihat di sana-sini. Barangkali tinggal Kuba, Korea Utara, Kamboja dan Kamboja yang masih kukuh dengan ketertutupannya, sementara Vietnam dan beberapa negara kecil lainnya, pelan tapi pasti, telah membuka diri meski masih dengan malu-malu.
Hingga kematiannya, Pram tidak pernah mengucapkan permintaan maaf kepada orang-orang yang pernah disakitinya. Dia merasa, dialah yang paling menderita dibandingkan penderitaan orang-orang itu, karena dibuang ke Pulau Buru oleh Orde Baru dan merasa hal itu dilakukan tanpa peradilan, serta penderitaan-penderitaan lainnya secara fisik maupun psikologis. Dia tidak mau minta maaf kepada Mochtar Lubis, HB Jassin, Buya Hamka dan sebagainya, juga tetap menutup telinganya ketika orang mempertanyakan mengapa dulu dia menyerukan penggayangan Manifes Kebudayaan, menyerukan pembakaran buku-buku lawan politik (seni)-nya, termasuk pelarangan terjemahan novel Dr Zhivago karya Boris Pasternak karena dianggapnya anti revolusi.
Di luar itu semua, Pram tetap seorang pengarang besar yang dimiliki Indonesia dan akan tetap menjadi besar sampai kapanpun. Karya-karyanya akan tetap legendaris dan tak lekang oleh waktu. Namun, Pram tetaplah manusia yang memiliki kompleksitas pikiran dan tindakan, yang kadang (bahkan sering) di luar batas nalar dan kemanusiaan. Sikap yang paling buruk yang tidak bisa diterima orang adalah dia merasa paling menderita, sementara dia lupa pernah membuat penderitaan orang lain.
Ketika Pram meninggal dan beberapa teman di Jakarta memberi kabar, saya hanya bisa berdoa semoga segala yang buruk dari dirinya dilupakan orang (meski memang susah untuk melupakannya) dan segala kebaikan dan perjuangan hidupnya tetap dikenang sebagai sebuah catatan hidup yang akan terus hidup. Paling tidak pengarang-pengarang muda generasi sekarang dan mendatang bisa belajar banyak dari karya-karyanya dengan menepikan segala hal yang negatif darinya.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena DĆ©
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar