Rabu, 08 September 2010

LAKNAT PEREMPUAN KEPADA BUNGA-BUNGA

Siti Sa’adah
http://www.sastra-indonesia.com/

Aku faham benar kapan aku mulai membenci bunga, bukan sekedar muak, tapi setiap bersinggungan, tersentuh, melihat terlalu dekat kepalaku terasa berat dan ingin aku muntah sebagai ungkapan penolkan. Bunga apapun itu, yang bisa memancing keindahan, karena keindahan tak bertaut berkali-kali bersamaku melalui bunga. Untuk menceritakan ini aku harus menahan mual yang ingin meledak. Tapi ku tahan kuat-kuat, sebelum kau mengerti kehancuranku bersama bunga.

Benci itu lahir dari kecintaanku yang sangat, amat sangat bahkan. Barulah aku menyadari begitu sakitnya sabda nabi tentang cinta dan benci yang sekedarnya saja itu. Jika aku ingin melimpahkan kesalahan, bungalah yang membuat hatiku berkali-kali retak, rentan gertakan dan akhirnya mengeping-keping. Dari bungalah ku susun harapan dan ku tilap kepenatan. Kesanalah aku mendapat ketenteraman. Tapi itu lalu. Sebelum ibu meninggal lantaran bungaku! Ya, bunga memiliki daya sambung maut, mengalir serentak dan begitu deras oleh gairahku mencintai bunga. Tapi kecintaanku telah ku tukar dengan nyawa ibu!.
***

Aku tumbuh sebagai Marni kecil yang berbinar setiap hari ditaman depan rumah, saat itu aku begitu bangga dengan taman di rumahku yang surga. Ayah dan ibu tidak pernah mengajariku menggelar rumput hias menjelma permadani di depan rumah. Mereka tidak perlu menunjukkan bagaiman agar mawar banyak berbunga dan bagaimana bisa adenium berbunga tiga warna. Kecintaan menuntun merawat bunga untuk tumbuh bersamaku.

Cinta yang tidak terkontrol sanggup melenakan bukan?! Pagi itu terlalu cerah untuk mendapati kenyataan yang suram. Aku riang di taman memotongi putik-putik mawar yang mengering, memotong beberapa ruas tangkai di bawahnya dan memotong rumput yang merambat sembarangan. Aku tidak ingat lagi ibu yang sakit, pingsan di dapur, roboh menimpa panci dengan air mendidik di atas tungku. Ibu tengkurap terpanggang bara kayu dan lidah api menjilat dan melilit-lilit tubuhnya. Tubuh itu matang oleh api dan air mendidih yang menimpa tubuhnya. Tangannya amblas ke dalam bara, sedang aku bernyanyi riang di depan rumah.

“Seharusnya bunga-bungaku yang terbakar, bukan tubuhmu Ibu!” Sampai seratus hari meninggalnya ibu, terus terbayang aroma tubuhnya yang melepuh di atas tungku, dan aku baru tahu saat hari mulai merangkak naik.

Selanjutnya tak ada bunga yang ku sentuh, kubiarkan taman menjadi rimbun, ayah tak sempat lagi merawat, peran dan kesibukannya berlipat menjadi ayah dan ibu bagiku.

“Tak patut mengunci dir dalam keterpurukan. Rawatlah bunga-bungamu itu. Biar keceriaanmu bersemi pula. Jangan biarkan ia mati Marni”. Begitulah nasehat ayah berkali-kali yang tak kufahami sepenuhnya. Aku hanya membalas ucapannya dengan pandangan buram. Mataku tergenang, hidungku seperti tersumpat, pipiku basah. Aku menggeleng pelan.

“ Mengapa aku dan bunga yang menjadi lantaran ibu pergi mengenaskan?! Seharusnya aku yang merebus air yang akan ibu gunakan untuk mandi!”. Ayah merengkuhku. Dibenamkannya tubuh kecilku dalam dekapannya.

“Jangan terus mengutuki dirimu nduk, masa depanmu masih panjang, belajar saja yang rajin. Oke?!”. Ayah tersenyum menenangkan dan penuh harap. Dia terus memompa semangat dan keceriaanku.
***

Pucuk-pucuk bersemi, menggeliat menantang hari. Aku mulai menyadari ketersia-siaanku merutuki kesalahanku dan membiarkan taman di depan rumah semakin rimbun seperti hutan. Semangatku menggeliat. Aku kembali mau mencium bunga. Tanganku bermain di taman, bunga mawarku tumbuhnya sudah tidak beraturan, ku pangkas dahannya yang menjulang mengungguli tubuhku. Saat itu aku telah bisa membuahkan biji-biji adenium yang seperti tanduk itu. Aku girang sekali. Sesekali kudapati ayah tersenyum melihatku.

Tapi kebersamaan dan ceria itu tak bisa abadi, hatiku memburam seperti disumpahi dewi keberuntungan. Tapi tak sekalipun aku menyalahkan ayah setelah dia membuatku terlonjak di sore yang hangat.

“rawatlah dengan baik Mirna”. Wajah ayah cerah saat menghadiahiku bunga adenium besar dengan pot raksasa yang menggesernya saja aku tak kuat! Entah berapa banyak ayah mengeluarkan uang untuk itu. Ayah begitu bangga setelah tahu aku mendapat nilai terbaik saat lulus SMP. Dia ingin aku terus tersenyum dan menyanyi riang di taman, menghidupkan rumah ini. Jika aku diam rumah ini seperti panggung monolog ayah yang kubiarkan bicara sendiri, bertanya dan menjawab sendiri.

“Ayo liburan ke kota Marni!” Bujuknya saat aku termenung diam mengenang ibu. Begitu ramai rumah ini dulu, bicaranya yang lantang memanggil-manggilku untuk makan atau mencuci baju sendiri saat aku sedang asyik di taman.

“Kita ke tirta wisata!” sambungnya setelah mengambil piring untuk makan nasi pecel yang dibelinya di pasar.

“Ayah lihat setiap pulang kerja di sana ramai sekali menjadi tempat singgah orang-orang dari Surabaya yang melewati Jombang”. Ayah membuka bungkusan nasi.

“Kita sarapan pecel rengkek di sana saja!’. Katanya penuh semangat seperti telah menemukan ide cemerlang untuk membujukku.

“Di rumah saja Yah”. Sahutku. “Sepi ya tanpa ibu”. Gumamku sambil membuka bungkusan nasiku.

“Dan tambah sepi jika kau terus seperti ini”. Maafkan aku ayah, seharusnya aku mengerti kau sudah capai bekerja seharian, tiba di rumah ku sambut dengan murungku.
***

Bunga raksasa itu adalah kusaha ayah untuk membahagiakanku, meski sebenarnya tinggal menyirami dan membersihkan daun-daunnya yang menguning dan rontok, batangnya sudah membentuk, bonggolnya besar dengan batang menyerupai beringin, cabang-cabangnya pendek dengan daun yang lebat. Tapi kuntuk apa semua ini jika khanya mengungkit perih ku karena bunga seperti dulu? Kali ini menyayat lebih dalam. Ayah di ciduk polisi, sungguh ayah tidak menyangka bunga yang di beli dari temannya itu adalah curian dari taman rumah kepala desa! Dan barang bukti berada di rumah ku!.

Jika saja polisi tidak segera mengusung bunga raksasa itu pasti sudah aku tebang, potong dan bonggolnya ku cincang. Sebelum naik ke bak mobil polisi ayah berkat dengan tenang dan tegas, “Ini semua tidak benar Marni”. Ayah tampak begitu tegar di depanku, dia yakin tidak bersalah, tapi setelah itu desas-desus para tetangga sungguh mengusik. “Demi anak pemurung, rela mencelakai diri sendiri. Huh! Kalau tak punya uang gak usah minta yang macem-macemlah Marni!’.

Ayah bebas dalam beberapa minggu, untuklah polisi mampu mengunkap semuanya, ganti teman ayah yang masuk bui. Setelah ayah di gelandang polisi, dia tertangkap basah mencuri bunga gelombang cinta. Ah mungkin kecantikan bunga itu tidak kalah dengan adenium yang dijualnya kepada ayah. Nama gelombang cinta memendam cinta yang bergelora. Tapi aku tidak minat untuk memilikinya, tak ada lagi tempat untuk bunga, aku menghabiskan waktuku untuk sekolah dan merawat ayah yang sering sakit. Sebenarnya dia belum terlalu tua, tapi penyakit tak memilih usia untuk singgah bukan?!.
***

Aku sudah mengenal lelaki. Lelaki yang membuat debar jantungku tak beraturan setiap bertemu dengannya. Lelaki yang datang kepada ayah sebelum pergi ke luar Jawa. Saat itu aku sudah kuliah semester empat, meski debar tak karuan itu hanya saat mendengar suaranya, dialah Pram, yang masih bertugas di seberang pulau sana.

“Saat dinasku disini selesai, kuliahmu juga selesai kan?! Aku akan pulang untukmu”. Mantap ucapannya meredam debar perasaan khawatirku saat dia bercerita tentang janda muda beranak satu yang sering memberinya makanan. Seharusnya dia tidak menceritakan itu jika dia tidak tergoda, hanya membuatku berpikir yang tidak-tidak saja.

“Perempuan itu asal Madura. Bercerai dua tahun lalu. Anaknya masih balita, dia begitu sabar merawat anaknya yang sering rewel itu sambil mengolah toko bunganya.

Megapa ada perempuan itu? bunga?

Aku beralih dari tidak peduli yang bunga menjadi muak dan benci setelah beberapa kali Pram bercerita tentang janda yang semakin agresif dan memelas dengan anak yatim yang diasuhnya. Dan bunga, Pram yang mencintai bunga itu berkali-kali dikirimi bunga. Gelombang cinta yang berjuta-juta itu meluruhkan hati lelakiku.

“Maafkan aku dik…”.

Berubah seperti itu lelakiku, gagahnya sebagai prajurit negara yang dibanggakan ayah dan ketegasannya dulu yang meneguhkan kini tergerus khianatnya.

“Ku kira kau sudah mendapat penggantiku, jarang memberi kabar dan mengangkat teleponku”. Ungkapnya beralasan. Kalimatnya khas buaya.

“Aku sibuk skripsi kak..” Urung aku menjawab seperti itu, semestinya dia tahu, toh tidak akan membuatnya kembali kepadaku, tiga tahun aku menunggu, menunggu untuk hidup bersamanya, bukan untuk pernikahannya dengan wanita lain, apalagi janda. Dan bunga-bunganya itu…

Mungkin karena jarang lagi aku berkomunikasi dengannya karena belakangan aku sibuk bekerja paruh waktu dan merawat ayah yang rinkih.

Kekhawatiranku terjawab Kak”. Pungkasku. “Semoga berbahagia bersama gelombang cinta”.

“Dik, tunggu dulu, Dik aku mau ngomong sesuat yang belum kau mengerti!”

“Apa kak, apa? Alasan apalagi yang bisa membenarkan khianatmu?!” Bentakku di telepon.

“Kau tahu kehidupan sekitarku, teman-temanku yang jauh dari istri, dan tawaran-tawaran teman-teman yang belum menikan untuk mencicipi wanita! Godaan itu tiap hari mendera. Begitu kuat dan besar. Aku khawatir jika harus menunggu pulang…”

“Bodoh! Bikinlah segala cara untuk berkilah dari janjimu itu!”

Tak kudengarkan lagi kalimatnya yang terdengar samar-samar di handphoneku. Ku ambil parang dan cangku di dapur. Ayah yang keheranan melihatku menangis dan membawa benda tajam dengan sikap aneh.

Tubuhnya yang ringkih berusaha bangkit untuk menghentikan langkahku.

“Mau ke mana Marni?!” Aku tidak menyahuti. Ku ayunkan parang ke phon kedondong mini yang lebat berbung, tanaman hias itu tumbang. Mawar-mawar di sudut-sudut taman yang tumbuh tak beraturan tergeletak di tanah dengan beberapa tebasan. Adenium-adenium yang ku tanam sejak kecil hancur ku cincang.

“Marni! Kenapa kau ini nduk?!” Ayah berteriak di ambang pintu.

Ephorbia bermacam-macam warna dan ukuran bunganya yang di tanam ayah berserak di atas pot-pot. Aku benci bunga. Benci sekali. Tubuhku terpaku menatap taman yang sering di rawat ayah berantakan. Aku tak mau menyentuh bunga lagi. Hidup dengannya. Tidak boleh ada bunga jika aku menikah, di pelaminan, di kamar pengantin. Bahkan saat mati nanti.

“sabar Mar, sabar. Jangan seperti orang gila, kamu ini sudah besar, kuliah, berpikirlah yang benar, jangan hanya mengandalkan perasaan”. Ayah berusaha menenangkanku yang kalap. “Ada apa sebenarnya?!” Ayah sudah di sampingku.

“Mana gelombang cinta itu Yah?! Mana?”.

Aku menghambur dipelukannya. Tangisku pecah. Ayah hanya diam, tidak faham kata-kataku. Mungkin dia berusaha membaca hatiku yang sakit karena bunga, tapi jauh di bening hatiku aku menyadari aku sakit karena pikiran, perasaan dan tingginya anganku.Ah!
***

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar