Siti Sa’adah
http://www.sastra-indonesia.com/
Aku faham benar kapan aku mulai membenci bunga, bukan sekedar muak, tapi setiap bersinggungan, tersentuh, melihat terlalu dekat kepalaku terasa berat dan ingin aku muntah sebagai ungkapan penolkan. Bunga apapun itu, yang bisa memancing keindahan, karena keindahan tak bertaut berkali-kali bersamaku melalui bunga. Untuk menceritakan ini aku harus menahan mual yang ingin meledak. Tapi ku tahan kuat-kuat, sebelum kau mengerti kehancuranku bersama bunga.
Benci itu lahir dari kecintaanku yang sangat, amat sangat bahkan. Barulah aku menyadari begitu sakitnya sabda nabi tentang cinta dan benci yang sekedarnya saja itu. Jika aku ingin melimpahkan kesalahan, bungalah yang membuat hatiku berkali-kali retak, rentan gertakan dan akhirnya mengeping-keping. Dari bungalah ku susun harapan dan ku tilap kepenatan. Kesanalah aku mendapat ketenteraman. Tapi itu lalu. Sebelum ibu meninggal lantaran bungaku! Ya, bunga memiliki daya sambung maut, mengalir serentak dan begitu deras oleh gairahku mencintai bunga. Tapi kecintaanku telah ku tukar dengan nyawa ibu!.
***
Aku tumbuh sebagai Marni kecil yang berbinar setiap hari ditaman depan rumah, saat itu aku begitu bangga dengan taman di rumahku yang surga. Ayah dan ibu tidak pernah mengajariku menggelar rumput hias menjelma permadani di depan rumah. Mereka tidak perlu menunjukkan bagaiman agar mawar banyak berbunga dan bagaimana bisa adenium berbunga tiga warna. Kecintaan menuntun merawat bunga untuk tumbuh bersamaku.
Cinta yang tidak terkontrol sanggup melenakan bukan?! Pagi itu terlalu cerah untuk mendapati kenyataan yang suram. Aku riang di taman memotongi putik-putik mawar yang mengering, memotong beberapa ruas tangkai di bawahnya dan memotong rumput yang merambat sembarangan. Aku tidak ingat lagi ibu yang sakit, pingsan di dapur, roboh menimpa panci dengan air mendidik di atas tungku. Ibu tengkurap terpanggang bara kayu dan lidah api menjilat dan melilit-lilit tubuhnya. Tubuh itu matang oleh api dan air mendidih yang menimpa tubuhnya. Tangannya amblas ke dalam bara, sedang aku bernyanyi riang di depan rumah.
“Seharusnya bunga-bungaku yang terbakar, bukan tubuhmu Ibu!” Sampai seratus hari meninggalnya ibu, terus terbayang aroma tubuhnya yang melepuh di atas tungku, dan aku baru tahu saat hari mulai merangkak naik.
Selanjutnya tak ada bunga yang ku sentuh, kubiarkan taman menjadi rimbun, ayah tak sempat lagi merawat, peran dan kesibukannya berlipat menjadi ayah dan ibu bagiku.
“Tak patut mengunci dir dalam keterpurukan. Rawatlah bunga-bungamu itu. Biar keceriaanmu bersemi pula. Jangan biarkan ia mati Marni”. Begitulah nasehat ayah berkali-kali yang tak kufahami sepenuhnya. Aku hanya membalas ucapannya dengan pandangan buram. Mataku tergenang, hidungku seperti tersumpat, pipiku basah. Aku menggeleng pelan.
“ Mengapa aku dan bunga yang menjadi lantaran ibu pergi mengenaskan?! Seharusnya aku yang merebus air yang akan ibu gunakan untuk mandi!”. Ayah merengkuhku. Dibenamkannya tubuh kecilku dalam dekapannya.
“Jangan terus mengutuki dirimu nduk, masa depanmu masih panjang, belajar saja yang rajin. Oke?!”. Ayah tersenyum menenangkan dan penuh harap. Dia terus memompa semangat dan keceriaanku.
***
Pucuk-pucuk bersemi, menggeliat menantang hari. Aku mulai menyadari ketersia-siaanku merutuki kesalahanku dan membiarkan taman di depan rumah semakin rimbun seperti hutan. Semangatku menggeliat. Aku kembali mau mencium bunga. Tanganku bermain di taman, bunga mawarku tumbuhnya sudah tidak beraturan, ku pangkas dahannya yang menjulang mengungguli tubuhku. Saat itu aku telah bisa membuahkan biji-biji adenium yang seperti tanduk itu. Aku girang sekali. Sesekali kudapati ayah tersenyum melihatku.
Tapi kebersamaan dan ceria itu tak bisa abadi, hatiku memburam seperti disumpahi dewi keberuntungan. Tapi tak sekalipun aku menyalahkan ayah setelah dia membuatku terlonjak di sore yang hangat.
“rawatlah dengan baik Mirna”. Wajah ayah cerah saat menghadiahiku bunga adenium besar dengan pot raksasa yang menggesernya saja aku tak kuat! Entah berapa banyak ayah mengeluarkan uang untuk itu. Ayah begitu bangga setelah tahu aku mendapat nilai terbaik saat lulus SMP. Dia ingin aku terus tersenyum dan menyanyi riang di taman, menghidupkan rumah ini. Jika aku diam rumah ini seperti panggung monolog ayah yang kubiarkan bicara sendiri, bertanya dan menjawab sendiri.
“Ayo liburan ke kota Marni!” Bujuknya saat aku termenung diam mengenang ibu. Begitu ramai rumah ini dulu, bicaranya yang lantang memanggil-manggilku untuk makan atau mencuci baju sendiri saat aku sedang asyik di taman.
“Kita ke tirta wisata!” sambungnya setelah mengambil piring untuk makan nasi pecel yang dibelinya di pasar.
“Ayah lihat setiap pulang kerja di sana ramai sekali menjadi tempat singgah orang-orang dari Surabaya yang melewati Jombang”. Ayah membuka bungkusan nasi.
“Kita sarapan pecel rengkek di sana saja!’. Katanya penuh semangat seperti telah menemukan ide cemerlang untuk membujukku.
“Di rumah saja Yah”. Sahutku. “Sepi ya tanpa ibu”. Gumamku sambil membuka bungkusan nasiku.
“Dan tambah sepi jika kau terus seperti ini”. Maafkan aku ayah, seharusnya aku mengerti kau sudah capai bekerja seharian, tiba di rumah ku sambut dengan murungku.
***
Bunga raksasa itu adalah kusaha ayah untuk membahagiakanku, meski sebenarnya tinggal menyirami dan membersihkan daun-daunnya yang menguning dan rontok, batangnya sudah membentuk, bonggolnya besar dengan batang menyerupai beringin, cabang-cabangnya pendek dengan daun yang lebat. Tapi kuntuk apa semua ini jika khanya mengungkit perih ku karena bunga seperti dulu? Kali ini menyayat lebih dalam. Ayah di ciduk polisi, sungguh ayah tidak menyangka bunga yang di beli dari temannya itu adalah curian dari taman rumah kepala desa! Dan barang bukti berada di rumah ku!.
Jika saja polisi tidak segera mengusung bunga raksasa itu pasti sudah aku tebang, potong dan bonggolnya ku cincang. Sebelum naik ke bak mobil polisi ayah berkat dengan tenang dan tegas, “Ini semua tidak benar Marni”. Ayah tampak begitu tegar di depanku, dia yakin tidak bersalah, tapi setelah itu desas-desus para tetangga sungguh mengusik. “Demi anak pemurung, rela mencelakai diri sendiri. Huh! Kalau tak punya uang gak usah minta yang macem-macemlah Marni!’.
Ayah bebas dalam beberapa minggu, untuklah polisi mampu mengunkap semuanya, ganti teman ayah yang masuk bui. Setelah ayah di gelandang polisi, dia tertangkap basah mencuri bunga gelombang cinta. Ah mungkin kecantikan bunga itu tidak kalah dengan adenium yang dijualnya kepada ayah. Nama gelombang cinta memendam cinta yang bergelora. Tapi aku tidak minat untuk memilikinya, tak ada lagi tempat untuk bunga, aku menghabiskan waktuku untuk sekolah dan merawat ayah yang sering sakit. Sebenarnya dia belum terlalu tua, tapi penyakit tak memilih usia untuk singgah bukan?!.
***
Aku sudah mengenal lelaki. Lelaki yang membuat debar jantungku tak beraturan setiap bertemu dengannya. Lelaki yang datang kepada ayah sebelum pergi ke luar Jawa. Saat itu aku sudah kuliah semester empat, meski debar tak karuan itu hanya saat mendengar suaranya, dialah Pram, yang masih bertugas di seberang pulau sana.
“Saat dinasku disini selesai, kuliahmu juga selesai kan?! Aku akan pulang untukmu”. Mantap ucapannya meredam debar perasaan khawatirku saat dia bercerita tentang janda muda beranak satu yang sering memberinya makanan. Seharusnya dia tidak menceritakan itu jika dia tidak tergoda, hanya membuatku berpikir yang tidak-tidak saja.
“Perempuan itu asal Madura. Bercerai dua tahun lalu. Anaknya masih balita, dia begitu sabar merawat anaknya yang sering rewel itu sambil mengolah toko bunganya.
Megapa ada perempuan itu? bunga?
Aku beralih dari tidak peduli yang bunga menjadi muak dan benci setelah beberapa kali Pram bercerita tentang janda yang semakin agresif dan memelas dengan anak yatim yang diasuhnya. Dan bunga, Pram yang mencintai bunga itu berkali-kali dikirimi bunga. Gelombang cinta yang berjuta-juta itu meluruhkan hati lelakiku.
“Maafkan aku dik…”.
Berubah seperti itu lelakiku, gagahnya sebagai prajurit negara yang dibanggakan ayah dan ketegasannya dulu yang meneguhkan kini tergerus khianatnya.
“Ku kira kau sudah mendapat penggantiku, jarang memberi kabar dan mengangkat teleponku”. Ungkapnya beralasan. Kalimatnya khas buaya.
“Aku sibuk skripsi kak..” Urung aku menjawab seperti itu, semestinya dia tahu, toh tidak akan membuatnya kembali kepadaku, tiga tahun aku menunggu, menunggu untuk hidup bersamanya, bukan untuk pernikahannya dengan wanita lain, apalagi janda. Dan bunga-bunganya itu…
Mungkin karena jarang lagi aku berkomunikasi dengannya karena belakangan aku sibuk bekerja paruh waktu dan merawat ayah yang rinkih.
Kekhawatiranku terjawab Kak”. Pungkasku. “Semoga berbahagia bersama gelombang cinta”.
“Dik, tunggu dulu, Dik aku mau ngomong sesuat yang belum kau mengerti!”
“Apa kak, apa? Alasan apalagi yang bisa membenarkan khianatmu?!” Bentakku di telepon.
“Kau tahu kehidupan sekitarku, teman-temanku yang jauh dari istri, dan tawaran-tawaran teman-teman yang belum menikan untuk mencicipi wanita! Godaan itu tiap hari mendera. Begitu kuat dan besar. Aku khawatir jika harus menunggu pulang…”
“Bodoh! Bikinlah segala cara untuk berkilah dari janjimu itu!”
Tak kudengarkan lagi kalimatnya yang terdengar samar-samar di handphoneku. Ku ambil parang dan cangku di dapur. Ayah yang keheranan melihatku menangis dan membawa benda tajam dengan sikap aneh.
Tubuhnya yang ringkih berusaha bangkit untuk menghentikan langkahku.
“Mau ke mana Marni?!” Aku tidak menyahuti. Ku ayunkan parang ke phon kedondong mini yang lebat berbung, tanaman hias itu tumbang. Mawar-mawar di sudut-sudut taman yang tumbuh tak beraturan tergeletak di tanah dengan beberapa tebasan. Adenium-adenium yang ku tanam sejak kecil hancur ku cincang.
“Marni! Kenapa kau ini nduk?!” Ayah berteriak di ambang pintu.
Ephorbia bermacam-macam warna dan ukuran bunganya yang di tanam ayah berserak di atas pot-pot. Aku benci bunga. Benci sekali. Tubuhku terpaku menatap taman yang sering di rawat ayah berantakan. Aku tak mau menyentuh bunga lagi. Hidup dengannya. Tidak boleh ada bunga jika aku menikah, di pelaminan, di kamar pengantin. Bahkan saat mati nanti.
“sabar Mar, sabar. Jangan seperti orang gila, kamu ini sudah besar, kuliah, berpikirlah yang benar, jangan hanya mengandalkan perasaan”. Ayah berusaha menenangkanku yang kalap. “Ada apa sebenarnya?!” Ayah sudah di sampingku.
“Mana gelombang cinta itu Yah?! Mana?”.
Aku menghambur dipelukannya. Tangisku pecah. Ayah hanya diam, tidak faham kata-kataku. Mungkin dia berusaha membaca hatiku yang sakit karena bunga, tapi jauh di bening hatiku aku menyadari aku sakit karena pikiran, perasaan dan tingginya anganku.Ah!
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar