Agus Bing*
http://www.jawapos.co.id/
“APA arti sebuah nama.” Begitu kata pujangga Inggris William Shakespeare mengingatkan bahwa ”nama” sejatinya tak lebih hanya ”teks” yang disandangkan pada objek. Selain tidak memiliki korelasi dengan objek yang ditandakan, ”nama” tidak mewakili esensi objek tersebut. Karena itu, tidak terlalu penting, apakah suatu objek memiliki nama atau tidak. Yang jelas, tanpa nama, segala objek tetap bisa mewakili dirinya sendiri. Benarkah demikian? Apakah kata puitis tersebut betul-betul merepresentasikan keragu-raguan Shakespeare atas eksistensi sebuah ”teks”?
Menurut saya, sekalipun secara denotatif kalimat itu seperti menafikan pentingnya (signifikansi) suatu ”nama”, saya tidak yakin Williham Shakespeare sengaja menggugat ”nama”, yang (barangkali) diibaratkan sekadar gugusan kata yang tertempel pada objek. Justru sebaliknya, kata-kata legendaris yang diciptakan lebih dari 5 abad lalu itu (bisa jadi) adalah kritik Shakespeare atas ”teks” yang selalu dianggap tunggal, tidak punya hubungan dengan teks-teks lain.
Sebagaimana Derrida, yang memandang teks selalu intertekstualitas, Shakespeare melalui adegium ”apa arti sebuah nama” sangat mungkin juga mempertanyakan hakikat ”nama”. Bagi sebagian orang, mungkin itu dianggap tidak penting. Tetapi, oleh filsuf kenamaan itu, justru dianggap penting. Sebab, ia tidak sekadar ”teks” yang ditempelkan, lebih dari itu adalah signified kesejatian suatu objek. Karena itu, nama penting dijadikan alat mencitrakan keberadaan objek: benda, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain, tak terkecuali sebuah festival kesenian.
Teks Festival
Untuk memahami arti ”teks” sebuah festival seni, sebaiknya penting mencermati nama-nama festival yang ada. Misalnya, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), Festival Seni Surabaya (FSS), Festival Cak Durasim (FCD), Pekan Kesenian Bali (PKB), Art Summit Indonesia, Surabaya Full Music (SFM), Festival Gamelan Yogyakarta (FGY), Bukan Musik Biasa (BMB), Biennale Yogyakarta, Biennale Jawa Timur, dan lain-lain. Di antara sekian festival itu, masing-masing tentu punya spesifikasi, yang secara implisit bisa dicermati dari kosakatanya.
Festival-festival seni itu pada dasarnya mencitrakan spirit primordial karena teks yang dipakai langsung menuntun imaji pada hubungan paradigmatik. Yaitu, memicu kesadaran orang terhadap apa yang dibaca atau dilihat, kemudian dihubungkan dengan tanda serupa yang tidak kelihatan (S.T. Sunardi: Semotika Negativa). Artinya, ketika seseorang membaca judul festival tersebut, imajinasinya akan dihubungkan dengan persoalan identitas, entitas, lokalitas, maupun spirit kedaerahan lain.
Demikian juga teks Art Summit Indonesia. Sesuai makna summit yang berarti ”puncak”, festival itu langsung memberikan pemahaman bahwa seluruh karya yang ditampilkan adalah karya-karya ”puncak”. Dengan demikian, seniman yang belum dikatagorikan ”puncak” tentu tidak bisa tampil dalam forum bergengsi tersebut.
Kenyataan itu menggambarkan, betapa teks memiliki peran penting dalam suatu festival. Bahkan gara-gara teks, tidak jarang suatu festival kesenian menuai kritik karena dianggap tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, Festival Seni Surabaya (FSS). Festival tersebut nyaris tidak pernah sepi dari gosip lantaran dianggap tidak pernah mewakili spirit Surabaya. Selain jarang melibatkan seniman lokal, festival itu tidak pernah menampilkan ludruk, ketoprak, wayang, kentrung, dan lain-lain. Padahal, secara tekstual, jelas-jelas festival itu mencantumkan kata ”Seni Surabaya” sebagai character building.
Hal yang sama dialami FKY 2007. Waktu itu, muncul gugatan cukup gencar dari segenap seniman dan budayawan setempat lantaran panitia dianggap sembrono mengusung ideologi seni yang keluar dari konteks. Yakni, kesenian urban yang notabene bertolak belakang dengan karakter Jogja yang kental dengan seni tradisi.
Art Summit Indonesia juga pernah dikritik lantaran tidak selektif memilih karya sehingga dianggap tak mencerminkan spirit summit. PKB Bali juga acap ricuh karena panitia dianggap tidak mencitrakan Bali, kecuali lebih menonjolkan seni hiburan. Dan, yang tidak kalah heboh adalah protes perupa-perupa Jogja terhadap Biennale Jogja 2008 yang dianggap melenceng dari konsep. Biennale yang seharusnya jadi ajang pamer karya kontemporer dan tidak untuk dijual dinilai lemah dalam kurasi dan telah dijadikan ajang transaksi jual beli. Semua itu tak lepas dari persoalan ”teks” yang melatarbelakangi suatu peristiwa.
Negarakretagama sebagai Teks
Bertolak dari kenyataan itulah, tak ada salahnya bila kemudian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur memilih teks ”nama” Negarakretagama sebagai tajuk festival berlatar sejarah: Festival Negarakretagama 2010. Festival yang berlangsung di Surabaya, 18-27 Juni, itu menampilkan aneka jenis kesenian tradisi maupun kontemporer.
Dalam festival kali pertama tersebut, penonton bakal mendapat suguhan musik jazz kontemporer Ligro (Jakarta), One Man Union (Singapura), Koko Harsoe Trio (Bali), Geliga (Riau), The Lagaligo Cyndicate (Makassar), Karinding Colabrative Project (Bandung), Prabumi (Jogjakarta), Surabaya All Star, Gondo and Fried, Berty Re-Union, Bagus Solfegio Etnic, dan Suwandi dari Surabaya.
Untuk tari, akan tampil Ery Mefri (Padang), Sukarji Sriman (Jakarta), Sobari Sofyan (Banyuwangi), Agustinus (Surabaya), serta koreografer Afrika, Malaysia, dan Kamboja. Sedangkan teater, tampil Pabrik Teater Indonesia (Bandung), Lentera (Palu), Lanjong (Kaltim), dan DAS 51 (Banyuwangi).
Selain untuk menjawab keragu-raguan publik -karena ada yang menganggap teks Negarakretagama tak lazim jadi nama festival lantaran tidak berkaitan dengan kesenian, produk hukum, dan bersifat politis-, kegiatan itu tidak sekadar ajang show of force: memamerkan ekspresi kreatif seniman. Tetapi, juga ruang pembelajaran sejarah masa lalu, yang pada perkembangannya makin dilupakan akibat selera hidup masyarakat berubah. Masyarakat yang semula hidup dalam medan sosial yang guyub akhirnya menjadi individual dan materialistis. Akibatnya, ketika menghargai suatu peninggalan bersejarah, mereka lebih mengutamakan esensi kebendaan yang tangible -hanya dilihat dari aspek kekunoannya, eksotismenya, keunikannya- daripada nilai-nilai filosofi yang intangible, yang sejatinya sarat dengan pembelajaran moral serta nilai-nilai budi pekerti.
Ironisnya, cara pandang masyarakat yang demikian tak hanya ditujukan terhadap warisan budaya yang berbentuk candi, arca, atau benda kuno lain. Namun, juga terhadap peninggalan sejarah yang berwujud ajaran filosofis para empu. Misalnya, ajaran Empu Tantular, Empu Prapanca, Patih Gajah Mada, atau Prabu Joyoboyo, yang notabene telah diakumulasikan dalam catatan filologis.
Oleh masyarakat, khususnya para generasi muda, peninggalan para empu itu tak hanya dianggap cerita usang. Namun, juga dianggap tak memiliki korelasi dengan kehidupan masa kini. Sehingga, dongeng tentang kejayaan Indonesia tempo dulu, berikut kisah-kisah heroiknya yang transenden, bagaikan musnah tergerus budaya populer yang naif sekaligus utopis. Itulah salah satu alasan teks Negarakretagama dipilih menjadi judul festival kesenian. Semua tak lepas dari upaya memunculkan kembali ikon sejarah masa lalu agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak saja hanya memahami warisan budaya dari segi kebendaan. Tetapi, juga penting mempelajari makna filosofi yang termuat di baliknya.
Selain itu, dijadikannya teks Negarakretagama sebagai judul festival tidak lepas dari upaya panitia yang ingin menegaskan kembali posisi Jawa Timur dalam konstelasi sejarah peradaban Indonesia kontemporer. Sebab, bila menilik catatan sejarah masa lalu, Jawa Timur pada dasarnya tidak hanya menjadi pusat tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar dan berpengaruh. Lebih dari itu, Jawa Timur merupakan tempat lahirnya ajaran para empu, yang tak hanya mengajarkan nilai-nilai kebajikan, tapi juga konsep-konsep kebangsaan.
Buktinya, sebagian besar simbol-simbol idiologis Indonesia diadopsi dari ajaran para empu. Misalnya, falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Secara substantif, slogan yang ditulis dalam Kitab Sutasoma oleh Empu Tantular itu mengajarkan pentingnya arti menjaga keragaman budaya serta kerukunan umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, spirit itu kemudian diadopsi, dijadikan simbol persatuan dan kesatuan dengan semboyan: berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Demikian juga Gajah Mada. Sekalipun bukanlah termasuk jajaran empu seperti halnya Tantular, Prapanca, atau Joyoboyo, dia adalah sosok berpengaruh yang memiliki peran penting dalam pembentukan sistem kekuasaan di Indonesia. Sebab, dia adalah ikon masa lalu yang memiliki tekad mempersatukan Nusantara yang kemudian diimplementasikan dalam ikrar Sumpah Palapa. Suatu ikrar kesetiaan yang -setelah beberapa abad kemudian- juga diduplikasi menjadi konsep teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga melahirkan konsep Wawasan Nusantara.
Hal yang sama dilakukan Empu Prapanca. Melalui kitab yang ditulisnya, yakni Negarakretagama, Empu Prapanca berusaha menceritakan kepemimpinan Hayam Wuruk beserta kebijakannya atas Kerajaan Majapahit. Namun, sekalipun buku itu penuh catatan reportatif terkait dengan regulasi negara, secara komprehensif serat babat tersebut menggambarkan sistem hegemoni yang lebih mementingkan rakyat. Sebab, tak hanya membicarakan kekuasaan seorang raja, tapi juga membahas kesejarahan, ketatanegaraan, perundang-undangan, tata sosial, seni budaya hingga aturan mengenai peran wanita, perceraian, maupun harta warisan, yang sejatinya juga penting dimengerti kaum generasi muda.
Karena itu, dengan dijadikannya teks masa lalu sebagai grand design festival, masyarakat diharapkan tidak melupakan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang dulu acap dikumandangkan bersama dengan kibaran sang dwi warna. Juga, semangat Sumpah Palapa yang dulu mengilhami kaum muda pada 28 November 1928. Atau, nilai-nilai keteladanan para pemimpin seperti didongengkan Empu Prapanca dalam kitab Negarakretagama. Semuanya dimaksudkan agar kukuh, tak gampang hanyut oleh khotbah ideologis para pemimpin yang korup, para elite politik yang gila kekuasaan, atau para pendusta yang berkedok agama. (*)
*) Pemerhati seni budaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar