Minggu, 27 Juni 2010

Negarakretagama, Sebuah Festival

Agus Bing*
http://www.jawapos.co.id/

“APA arti sebuah nama.” Begitu kata pujangga Inggris William Shakespeare mengingatkan bahwa ”nama” sejatinya tak lebih hanya ”teks” yang disandangkan pada objek. Selain tidak memiliki korelasi dengan objek yang ditandakan, ”nama” tidak mewakili esensi objek tersebut. Karena itu, tidak terlalu penting, apakah suatu objek memiliki nama atau tidak. Yang jelas, tanpa nama, segala objek tetap bisa mewakili dirinya sendiri. Benarkah demikian? Apakah kata puitis tersebut betul-betul merepresentasikan keragu-raguan Shakespeare atas eksistensi sebuah ”teks”?

Menurut saya, sekalipun secara denotatif kalimat itu seperti menafikan pentingnya (signifikansi) suatu ”nama”, saya tidak yakin Williham Shakespeare sengaja menggugat ”nama”, yang (barangkali) diibaratkan sekadar gugusan kata yang tertempel pada objek. Justru sebaliknya, kata-kata legendaris yang diciptakan lebih dari 5 abad lalu itu (bisa jadi) adalah kritik Shakespeare atas ”teks” yang selalu dianggap tunggal, tidak punya hubungan dengan teks-teks lain.

Sebagaimana Derrida, yang memandang teks selalu intertekstualitas, Shakespeare melalui adegium ”apa arti sebuah nama” sangat mungkin juga mempertanyakan hakikat ”nama”. Bagi sebagian orang, mungkin itu dianggap tidak penting. Tetapi, oleh filsuf kenamaan itu, justru dianggap penting. Sebab, ia tidak sekadar ”teks” yang ditempelkan, lebih dari itu adalah signified kesejatian suatu objek. Karena itu, nama penting dijadikan alat mencitrakan keberadaan objek: benda, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain, tak terkecuali sebuah festival kesenian.

Teks Festival

Untuk memahami arti ”teks” sebuah festival seni, sebaiknya penting mencermati nama-nama festival yang ada. Misalnya, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), Festival Seni Surabaya (FSS), Festival Cak Durasim (FCD), Pekan Kesenian Bali (PKB), Art Summit Indonesia, Surabaya Full Music (SFM), Festival Gamelan Yogyakarta (FGY), Bukan Musik Biasa (BMB), Biennale Yogyakarta, Biennale Jawa Timur, dan lain-lain. Di antara sekian festival itu, masing-masing tentu punya spesifikasi, yang secara implisit bisa dicermati dari kosakatanya.

Festival-festival seni itu pada dasarnya mencitrakan spirit primordial karena teks yang dipakai langsung menuntun imaji pada hubungan paradigmatik. Yaitu, memicu kesadaran orang terhadap apa yang dibaca atau dilihat, kemudian dihubungkan dengan tanda serupa yang tidak kelihatan (S.T. Sunardi: Semotika Negativa). Artinya, ketika seseorang membaca judul festival tersebut, imajinasinya akan dihubungkan dengan persoalan identitas, entitas, lokalitas, maupun spirit kedaerahan lain.

Demikian juga teks Art Summit Indonesia. Sesuai makna summit yang berarti ”puncak”, festival itu langsung memberikan pemahaman bahwa seluruh karya yang ditampilkan adalah karya-karya ”puncak”. Dengan demikian, seniman yang belum dikatagorikan ”puncak” tentu tidak bisa tampil dalam forum bergengsi tersebut.

Kenyataan itu menggambarkan, betapa teks memiliki peran penting dalam suatu festival. Bahkan gara-gara teks, tidak jarang suatu festival kesenian menuai kritik karena dianggap tidak konsisten dalam implementasinya. Misalnya, Festival Seni Surabaya (FSS). Festival tersebut nyaris tidak pernah sepi dari gosip lantaran dianggap tidak pernah mewakili spirit Surabaya. Selain jarang melibatkan seniman lokal, festival itu tidak pernah menampilkan ludruk, ketoprak, wayang, kentrung, dan lain-lain. Padahal, secara tekstual, jelas-jelas festival itu mencantumkan kata ”Seni Surabaya” sebagai character building.

Hal yang sama dialami FKY 2007. Waktu itu, muncul gugatan cukup gencar dari segenap seniman dan budayawan setempat lantaran panitia dianggap sembrono mengusung ideologi seni yang keluar dari konteks. Yakni, kesenian urban yang notabene bertolak belakang dengan karakter Jogja yang kental dengan seni tradisi.

Art Summit Indonesia juga pernah dikritik lantaran tidak selektif memilih karya sehingga dianggap tak mencerminkan spirit summit. PKB Bali juga acap ricuh karena panitia dianggap tidak mencitrakan Bali, kecuali lebih menonjolkan seni hiburan. Dan, yang tidak kalah heboh adalah protes perupa-perupa Jogja terhadap Biennale Jogja 2008 yang dianggap melenceng dari konsep. Biennale yang seharusnya jadi ajang pamer karya kontemporer dan tidak untuk dijual dinilai lemah dalam kurasi dan telah dijadikan ajang transaksi jual beli. Semua itu tak lepas dari persoalan ”teks” yang melatarbelakangi suatu peristiwa.

Negarakretagama sebagai Teks

Bertolak dari kenyataan itulah, tak ada salahnya bila kemudian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur memilih teks ”nama” Negarakretagama sebagai tajuk festival berlatar sejarah: Festival Negarakretagama 2010. Festival yang berlangsung di Surabaya, 18-27 Juni, itu menampilkan aneka jenis kesenian tradisi maupun kontemporer.

Dalam festival kali pertama tersebut, penonton bakal mendapat suguhan musik jazz kontemporer Ligro (Jakarta), One Man Union (Singapura), Koko Harsoe Trio (Bali), Geliga (Riau), The Lagaligo Cyndicate (Makassar), Karinding Colabrative Project (Bandung), Prabumi (Jogjakarta), Surabaya All Star, Gondo and Fried, Berty Re-Union, Bagus Solfegio Etnic, dan Suwandi dari Surabaya.

Untuk tari, akan tampil Ery Mefri (Padang), Sukarji Sriman (Jakarta), Sobari Sofyan (Banyuwangi), Agustinus (Surabaya), serta koreografer Afrika, Malaysia, dan Kamboja. Sedangkan teater, tampil Pabrik Teater Indonesia (Bandung), Lentera (Palu), Lanjong (Kaltim), dan DAS 51 (Banyuwangi).

Selain untuk menjawab keragu-raguan publik -karena ada yang menganggap teks Negarakretagama tak lazim jadi nama festival lantaran tidak berkaitan dengan kesenian, produk hukum, dan bersifat politis-, kegiatan itu tidak sekadar ajang show of force: memamerkan ekspresi kreatif seniman. Tetapi, juga ruang pembelajaran sejarah masa lalu, yang pada perkembangannya makin dilupakan akibat selera hidup masyarakat berubah. Masyarakat yang semula hidup dalam medan sosial yang guyub akhirnya menjadi individual dan materialistis. Akibatnya, ketika menghargai suatu peninggalan bersejarah, mereka lebih mengutamakan esensi kebendaan yang tangible -hanya dilihat dari aspek kekunoannya, eksotismenya, keunikannya- daripada nilai-nilai filosofi yang intangible, yang sejatinya sarat dengan pembelajaran moral serta nilai-nilai budi pekerti.

Ironisnya, cara pandang masyarakat yang demikian tak hanya ditujukan terhadap warisan budaya yang berbentuk candi, arca, atau benda kuno lain. Namun, juga terhadap peninggalan sejarah yang berwujud ajaran filosofis para empu. Misalnya, ajaran Empu Tantular, Empu Prapanca, Patih Gajah Mada, atau Prabu Joyoboyo, yang notabene telah diakumulasikan dalam catatan filologis.

Oleh masyarakat, khususnya para generasi muda, peninggalan para empu itu tak hanya dianggap cerita usang. Namun, juga dianggap tak memiliki korelasi dengan kehidupan masa kini. Sehingga, dongeng tentang kejayaan Indonesia tempo dulu, berikut kisah-kisah heroiknya yang transenden, bagaikan musnah tergerus budaya populer yang naif sekaligus utopis. Itulah salah satu alasan teks Negarakretagama dipilih menjadi judul festival kesenian. Semua tak lepas dari upaya memunculkan kembali ikon sejarah masa lalu agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak saja hanya memahami warisan budaya dari segi kebendaan. Tetapi, juga penting mempelajari makna filosofi yang termuat di baliknya.

Selain itu, dijadikannya teks Negarakretagama sebagai judul festival tidak lepas dari upaya panitia yang ingin menegaskan kembali posisi Jawa Timur dalam konstelasi sejarah peradaban Indonesia kontemporer. Sebab, bila menilik catatan sejarah masa lalu, Jawa Timur pada dasarnya tidak hanya menjadi pusat tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar dan berpengaruh. Lebih dari itu, Jawa Timur merupakan tempat lahirnya ajaran para empu, yang tak hanya mengajarkan nilai-nilai kebajikan, tapi juga konsep-konsep kebangsaan.

Buktinya, sebagian besar simbol-simbol idiologis Indonesia diadopsi dari ajaran para empu. Misalnya, falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Secara substantif, slogan yang ditulis dalam Kitab Sutasoma oleh Empu Tantular itu mengajarkan pentingnya arti menjaga keragaman budaya serta kerukunan umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, spirit itu kemudian diadopsi, dijadikan simbol persatuan dan kesatuan dengan semboyan: berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Demikian juga Gajah Mada. Sekalipun bukanlah termasuk jajaran empu seperti halnya Tantular, Prapanca, atau Joyoboyo, dia adalah sosok berpengaruh yang memiliki peran penting dalam pembentukan sistem kekuasaan di Indonesia. Sebab, dia adalah ikon masa lalu yang memiliki tekad mempersatukan Nusantara yang kemudian diimplementasikan dalam ikrar Sumpah Palapa. Suatu ikrar kesetiaan yang -setelah beberapa abad kemudian- juga diduplikasi menjadi konsep teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga melahirkan konsep Wawasan Nusantara.

Hal yang sama dilakukan Empu Prapanca. Melalui kitab yang ditulisnya, yakni Negarakretagama, Empu Prapanca berusaha menceritakan kepemimpinan Hayam Wuruk beserta kebijakannya atas Kerajaan Majapahit. Namun, sekalipun buku itu penuh catatan reportatif terkait dengan regulasi negara, secara komprehensif serat babat tersebut menggambarkan sistem hegemoni yang lebih mementingkan rakyat. Sebab, tak hanya membicarakan kekuasaan seorang raja, tapi juga membahas kesejarahan, ketatanegaraan, perundang-undangan, tata sosial, seni budaya hingga aturan mengenai peran wanita, perceraian, maupun harta warisan, yang sejatinya juga penting dimengerti kaum generasi muda.

Karena itu, dengan dijadikannya teks masa lalu sebagai grand design festival, masyarakat diharapkan tidak melupakan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang dulu acap dikumandangkan bersama dengan kibaran sang dwi warna. Juga, semangat Sumpah Palapa yang dulu mengilhami kaum muda pada 28 November 1928. Atau, nilai-nilai keteladanan para pemimpin seperti didongengkan Empu Prapanca dalam kitab Negarakretagama. Semuanya dimaksudkan agar kukuh, tak gampang hanyut oleh khotbah ideologis para pemimpin yang korup, para elite politik yang gila kekuasaan, atau para pendusta yang berkedok agama. (*)

*) Pemerhati seni budaya.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar