Minggu, 27 Juni 2010

Bahasa dan Sastra Indonesia; Objek dan Subjek Globalisasi

Anjrah Lelono Broto*
http://umum.kompasiana.com/

Sebuah Awalan

Proses globalisasi merupakan fenomena yang paling menyita perhatian dan menimbulkan efek yang besar dalam kurun waktu terakhir ini. Memasuki millenium ketiga, masyarakat di berbagai belahan dunia dihadapkan pada satu persoalan yang seragam yang memiliki keterkaitan besar dengan struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan. Proses perubahan yang mengerucut kepada globalisasi inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, pasca agrikultur (gelombang pertama) dan industrialialisasi (gelombang kedua). Perubahan ini mengakibatkan pergeseran fokus ekonomi dan kekuasaan yang pengaruhnya didominasi oleh tanah, kemudian bergeser kepada kapital, dan selanjutnya mengarah kepada penguasaan terhadap informasi dan komunikasi.

Kecemasan memandang performa proses globalisasi sebagai produk gelombang ketiga menciptakan ketakutan sehingga mempengaruhi pola pikir dan wacana publik secara holistik. Kecemasan dan ketakutan ini menjadi latar belakang langkah-langkah antisipatif yang dilakukan masyarakat dan decision maker, mereka cenderung bersifat defensif dengan membangun benteng-benteng pertahanan guna membendung arus proses globalisasi yang mengalir bagai air bah, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dank komunikasi.

Di masa pemerintahan Soeharto, negara ataupun kalangan intelektual lebih dulu menempatkan diri sebagai objek dan menjustifikasi globalisasi sebagai arus budaya asing yang menenggelamkan budaya dan tradisi Indonesia. Pemerintah menyibukkan diri dengan melancarkan seruan-seruan defensif seperti penempatan kebudayaan Indonesia sebagai filter masuknya kebudayaan asing, hingga upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Namun, sayang usaha yang terakhir tersebut lebih nampak sebagai promosi wisata daripada promosi keadiluhungan budaya. Hal ini berangkat dari pemahaman parsial terhadap budaya Indonesia, masyarakat maupun pemerintah terjebak dalam pemahaman kulit bukan pemahaman esensi budaya itu sendiri. Pemahaman seni tradisi berhenti pada tataran pertunjukkan (show), dan cenderung mengabaikan pesan dan simbol di balik idiomatikal yang melekat di dalamnya.

Taruhlah seni tari tradisional seperti Jaipong (Sunda), Kecak (Bali), atau Remo (Jawa Timur). Pemahamannya berhenti pada tataran pertunjukkan semata, sedangkan pesan moral, pendidikan, serta ke-khas-an etnikalnya cenderung diabaikan. Sehingga, ketika muncul trend seni pertunjukkan yang lebih menarik perhatian (termasuk yang berasal dari budaya luar), nafas kehidupan seni tari tradisional ini mengalami degradasi dari generasi ke generasi.

Lalu, apa yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia? Apakah yang terjadi dengan dirinya di tengah kederasan arus proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan masyarakat Indonesia sebagai pemilik?

Globalisasi; The Mithy

Mitos yang telanjur mewacana dalam masyarakat Indonesia selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan menyeragamkan dunia. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri kebangsaan, hingga kebudayaan lokal dan etnis. Proses globalisasi akan mengaburkan kesejarahan kolektif sehingga ikatan dalam sebuah bangsa akan mengalami perenggangan bahkan keterpecahan.

Benarkah?

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi serta informasi memang mampu menghilangkan sekat-sekat geografis maupun demografis. Jarak dan ruang budaya sebagai sekat pembatas telah hilang dan tidak bergaung. Kemajuan ini telah mengurangi hegemoni kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara pada ruang publik. Kepemilikan suatu ikatan kolektif seperti bangsa, etnik budaya, organisasi, hingga hubungan darah luntur diterjang kederasan gelombang globalisasi. Namun, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox justru memaparkan paradoks dari tema keseragaman globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan “Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi”. Naisbitt juga memaparkan gagasan-gagasan yang paradoks sehubungan dengan permasalahan ini. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bertindak global.” Bahasa Inggris hanya menempati posisi sebagai bahasa kedua, sedangkan bahasa ibunya adalah bahasa masing-masing kewilayahan dan kebangsaan.

Jikalau kita mengamini pemikiran dan gagasan Naisbitt di atas, maka proses globalisasi tetap menempatkan perspektif lokal ataupun perspektif etnik (tribe) sebagai perspektif dalam menyikapi semua fenomena problematika masyarakat ataupun negara. Dalam ‘Megatrends 2000?, Naisbitt juga mengatakan bahwa masa-masa yang akan datang adalah zaman perikles bagi kesenian dan pariwisata. Masyarakat akan menemukan keindahan dan rekreasi bathiniah dengan menikmati aktifitas berkesenian dan berkebudayaan yang bersifat lokal; sebagai bagian dari proses memanusiakan kembali humanitas masing-masing individu. Peristiwa-peristiwa kesenian dan kebudayaan akan menyita perhatian publik dan mengundang simpati dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga dan politik yang sebelumnya ‘sempat’ lebih mendominasi.

“Berpikir lokal, bertindak global”, seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, dengan sendirinya akan menempatkan bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang urgen di dalam proses globalisasi. Bahasa menjadi media untuk menyampaikan dan memahami sebuah gagasan hasil proses berpikir. Bahasa yang ‘dekat’ dengan masyarakat Indonesia, secara lokalitas, adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir yang kemudian dilanjutkan dengan proses kreatif (pengendapan), proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

Bahasa dan Sastra Indonesia; Sebuah Perjalanan

Sejarah perjalanan bahasa Indonesia telah melewati masa-masa progresivitas yang cukup menarik. Bahasa Indonesia berangkat dari identitas bahasa Melayu-Riau dengan masyarakat pengguna yang relatif kecil. Namun, dewasa ini mampu berkembang menjadi bahasa Indonesia dengan masyarakat pengguna yang besar, tersebar Sabang hingga Merauke. Bahasa Indonesia telah menjelma menjadi bahasa nasional dan menjadi bahasa komunikasi formal dan nonformal lintas wilayah budaya. Bahasa Indonesia yang sebelumnya berakar pada tradisi budaya Melayu-Riau ini telah sukses melakukan ‘penggusuran’ sejumlah bahasa etnik-budaya lokal seperti Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bali, Bahasa Dayak, dan sebagainya.

Bahasa Indonesia telah menempati posisi sebagai identitas dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam perkembangannya, bahasa Indonesia juga tidak bisa melepaskan diri dari gejala-gejala transformasi bahasa seperti alih kode maupun campur kode. Tercatat, beragam idiomatika dan susunan gramatikal bahasa-bahasa daerah hingga bahasa Arab, bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan lain-lain mewarnai dan memperkaya perbendaharaan Bahasa Indonesia. Perkembangan ini menampakkan perwajahan bahwa bahasa Indonesia mampu mengikuti perkembangan budaya, informasi, dan teknologi komunikasi sehingga senantiasa dibutuh-gunakan oleh masyarakat Indonesia.

Berpijak pada melemahnya hegemoni Barat dan perkembangan membanggakan Bahasa Indonesia maka Indonesia diramalkan akan mengambil alih posisi subjek-objek dalam proses globalisasi. Ke depan, perkembangan Bahasa Indonesia akan makin banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan dan peranan yang strategis dari masyarakat maupun kawasan strategis Indonesia. Diramalkan bahwa masyarakat di wilayah regional Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaisya, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh lagi bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Tenggara menjadi perkembangan tak terelakkan yang membanggakan. Peran besar masyarakat dan kawasan Asia Tenggara ini sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan atau bahasa Melayu) modern.

Bahasa dan sastra Indonesia telah lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnik budaya Nusantara. Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan konflik tema manusia baru (manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Diawali dengan kekuatan Abdullah Bin Abdulkadir Munsyi, Nuruddin Ar-Raniri, Syamsudin Asy-Samatrani, Abdur Rauf Ibn Singkli, dan lain-lain, sastra Indonesia (Melayu) menancapkan akar perkembangannya di wilayah Asia Tenggara.

Mari kita cermati tema, konflik, maupun tokoh-tokoh dalam karya sastra Indonesia. Tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. Ataupun tokoh-tokoh yang dihadirkan Pramoedya Ananta Toer dalam roman-romannya, yang sempat membawa pulang Ramon Magsaysay Award, tokoh-tokoh tersebut sedikit lebih gentle dalam membaca perubahan ke arah dunia baru. Belum lagi tokoh-tokoh dalam kontroversial dalam genre sastra biru yang juga kontroversial, Ayu Utami, Dee, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, dan lain-lain menghadirkan konstruksi tokoh perempuan yang lebih ‘menepuk dada’ dalam menyikapi perubahan dan masuk ke dalam tatanan dunia baru, dunia globalisme.

Sejatinya, sastra Indonesia (dan Melayu) modern adalah sastra yang mampu mengambil tempat di dalam jalan tol globalisasi. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak menemukan permasalahan dengan arus proses globalisasi. Masalahnya adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra Indonesia tersebut memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya? Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia? Sehingga Indonesia mampu melepaskan diri dari status objeknya dalam proses globalisasi, dan justru mampu mengambil posisi sebagai subjek.

Jika kita cermati gagasan-gagasan Alvin Toffler atau John Naisbitt di atas, maka bahasa dan sastra Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa (dan sastra) yang mengglobal di dunia.

Mekanisme Politik Bahasa dan Sastra

Evolusi kebudayaan Indonesia yang dilatarbelakangi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan pergeseran paradigma (mindset) tentang “pembinaan” dan “pengembangan” bahasa. Di masa-masa yang akan datang, Bahasa Indonesia berpotensi melebarkan status; bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin seringkali akan dihadapi. Perubahan dan penyesuaian berkaitan erat dengan pola komunikasi yang kian mengglobal dengan menggunakan teknologi yang lebih kekinian seperti email, tele-conference, friendster, facebook, dan sebagainya.

Mekanisme pembinaan dan pengembangan bahasa tidak layak lagi menjadi monopoli suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, dll. Tetapi akan sangat ditentukan oleh mekanisme “pasar”. Pusat Bahasa akan kehilangan peran vital dengan vonis “bahasa Indonesia yang baik dan benar”, digantikan pola komunikasi nir kebakuan yang cenderung berpijak pada “saling pemahaman”. Indonesia sudah selayaknya meninggalkan Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif.

Politik kehidupan sastra hendaknya dikelola dengan manajemen kebangsaan yang mengacu pada globalisasi Sastra Indonesia harus lebih memasyarakat dan membumi, tidak semata bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam kuantitas dan kualitas yang besar. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren, maupun perguruan tinggi seyogyanya menjadi tempat indah untuk membaca dan memahami karya-karya sastra. Pengajaran sastra hendaknya berhenti sebagai materi hafalan melainkan penempatan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik moral, etika, kebangsaan, humanisme, hingga religius. Fenomena penggusuran dan pengalihfungsian sanggar Teater Sansesus di SMAN 2 Jombang baru-baru ini merupakan sebuah langkah mundur dalam proses pendidikan dan pengajaran memasyarakatkan sastra Indonesia. Kehilangan investasi ini akan menjumpai tebusan yang mahal, yaitu fenomena lebih memasyarakatnya Shakespeare, Max Gogol, Anton Chekov, dll daripada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, Suyatna Anirun, dsb.

Di dalam proses globalisasi, Bahasa Indonesia hendaknya mampu mengambil posisi sebagai subjek perubahan, bukan objek perubahan. Bahasa dan sastra Indonesia berpotensi menjadi bahasa dan sastra yang “berbicara” di dunia.

Jika masyarakat Indonesia mampu hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia, bahasa dan sastranya seyogyanya mampu seiring-sejalan dengan arah perkembangan itu. Bahasa Indonesia harus siap menerima posisi dan peran yang lebih. Bahasa dan Sastra Indonesia harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme politik bahasa dan sastra yang “openhartig” (meminjam kosakata Idrus dalam cerpen ‘Open’), bukan bersifat defensif.

Memperkuat akar kemasyarakatan Bahasa dan Sastra Indonesia sekarang atau tidak sama sekali, karena (mungkin) telah terbunuh oleh air bah globalisasi.

*) Hanya seseorang mencintai membaca dan menulis, di tengah deras lunturnya budaya literasi. Penulis lepas dan mengabdikan diri di lembaga pendidikan, seni, dan budaya (Lembaga Baca-Tulis Indonesia).

1 komentar:

Teguh PR Atmadja mengatakan...

sebagai generasi muda yang menjadi tulang punggung bangsa, minimal kita mau untuk membaca atau menyebarkan karya2 sastra sendiri atau karya pujangga kita terdahulu... (http://www.tohitem.com)

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar