Jumat, 21 Mei 2010

SUDAMALA, SENI, DAN BEDA: KE ARAH TAFSIR LAIN TENTANG KEINDAHAN

Goenawan Mohamad
http://terpelanting.wordpress.com

Sebentar lagi kita akan menyaksikan sebuah pertunjukan Slamet Gundono, yang kebetulan pernah saya tonton beberapa waktu yang lalu: Sudamala, atau Uma, Nyanyi Sendon Keloloran.

Dalam kesempatan ini, saya akan bertolak dari lakon itu untuk membicarakan setidaknya dua anggapan, atau salah anggapan, yang dewasa ini acap kita jumpai ketika orang berbicara tentang kesenian. Pada hemat saya, diskusi mengenai hal itu penting sekarang. Kita hidup di sebuah masa yang ditandai oleh tuntutan yang berlebihan kepada manusia – baik melalui kekuatan dalam pasar, maupun kekuatan dalam masyarakat, yang makin mengasingkan dunia kehidupan dari kesempatan untuk bebas, mengalir, dan berbeda.

Dalam kondisi itu, kesenian adalah bagian dari dunia kehidupan yang masih vital, betapapun terkucil. Tak mengherankan bahwa ketiga anggapan yang akan saya uraiakan ini sangat kuat berakar.

Pertama, kesenian umumnya serta merta dikaitkan dengan keindahan, tanpa orang berpikir bagaimana keindahan lahir, siapa yang menentukan “indah” atau “tak indah”, mengapa satu ekspresi kesenian sebuah masa tak jarang ditampik oleh ekspresi kesenian dari masa sesudahnya, mengapa ada generasi baru yang menafikan generasi seni sebelumnya, walaupun tetap ada karya-karya seni yang tak henti-hentinya memberikan makna baru. Dengan kata lain, benarkah keindahan adalah sesuatu yang begitu penting, dan benarkah ia sesuatu yang universal?

Kedua, kesenian umumnya dikaitkan dengan “kebenaran”, tetapi hampir tak pernah kita persoalkan bagaimana kebenaran lahir dalam karya seni, dan benarkah (serta mungkinkah) ada pegangan yang sudah siap tentang “kebenaran” itu? Tidakkah “kebenaran” ditentukan oleh mekanisme kekuatan atau kekuasaan yang berada di balik wacana kebenaran itu? Juga, bagaimana ia, yang lahir dari konteks tertentu dan masalah tertentu, bisa akan bersifat universal?

Malam ini saya akan menyinggung – meskipun mungkin tak akan membahasnya sampai tuntas – dua persoalan di atas, seraya memberi pengantar sedikit tentang apa yang akan disajikan Slamet Gundono dengan lakonnya. Tentu saja saya berharap, saya tak akan membuat anda semua kehilangan nikmatnya kejutan ketika lakon Sudamala itu disajikan nanti.
***

Sebagaimana kita baca dari lembaran program, kali ini Slamet Gundono menyebut teaternya kali ini “wayang lindur”. Kita ingat Slamet sebelumnya pernah mementaskan “wayang suket” dan “wayang air” di samping kadang-kadang ia menjadi dalang “wayang kulit” atau “wayang purwa.”

Kita bisa saja bertanya apa arti “wayang” dan apa pula arti “wayang lindur”; kita mungkin akan memperoleh jawab. Tapi saya tidak yakin, perlu benarkah jawab itu bagi seseorang untuk menikmati pertunjukan ini. Slamet Gundono justru menunjukkan, bahwa seni tidak dimulai dari definisi dan taksonomi. Pengalaman artistik, ketika menikmati sebuah karya seni, adalah momen ketika kita masuk ke dalam pengalaman yang mengalir, ibarat turun ke sebuah sungai yang tak kita ketahui apa namanya, tak kita ketahui di mana pula hilir dan hulunya. Sungai adalah air — tapi tak hanya air — yang bergerak tak henti-hentinya, menampung rakit dan jukung, melindungi ikan dan ular, dalam perubahan cuaca dan saat.

Menikmati pertunjukan ini adalah menikmati gerak yang yang tak henti-henti melintasi identitas itu. Di sini, batasan makna hanyut. Pakem dipakai sebagai dasar, tetapi sekaligus diterjang. Seperti dapat kita baca dari sinopsisnya, lakon ini berangkat dari satu bagian mitologi tentang Manikmaya, atau Syiwa, atau Batara Guru, dewa utama di kahyangan, dan istrinya, Uma atau Parvati, atau Durga. Tapi apabila dalam kisah yang kita temukan di India (dan juga Bali) Uma atau Parvati adalah tokoh perempuan yang mencintai dan mengabdi, dalam Sudamala Slamet Gundono, Uma adalah isteri yang tak setia, atau, menurut sinopsis, “tak pernah tunggal memahami cinta.”. Dan bila menurut “pakem” Syiwa adalah sosok yang perkasa karena ia dewa, dalam kisah Gundono tokoh ini sempat dirundung bimbang dan kesedihan.

Pada saat yang sama, Slamet Gundon menampilkan ki dalang sebagai wayang: dia, ki dalang, juga sekaligus Manikmaya. Sejumlah aktor yang juga pemain gamelan bermain bersama satu atau dua helai wayang dari kulit. Seorang penari perempuan dalam kostum seorang nyonya muda kota besar juga hadir sebagai Uma, yang berjalan dari lantai ke lantai di sebuah mall. Seorang aktor perempuan yang juga menembang dan menari berlaku sebagai lawan dialog yang menentang Manikmaya. Dan di bagian depan pentas yang bersahaja, seorang tukang batu sedang membuat tembok. Kita kemudian akan tahu tembok itu tak akan pernah selesai.

Yang juga tak lazim adalah latar dan tempat dan perpindahan yang tak disangka-sangka dari satu lokasi ke lokasi lain. Gundono bahkan memasang ceritanya berdampingan dengan cerita lain, tentang pertemuan antara sang “aku” dengan seorang biksu pelarian dari Tibet di tepi sebuah jalan di Berlin. Tak ada alur yang urut, dan tak akan terdengar “pesan moral” yang lazim kita dapatkan dalam pertunjukan wayang.

Yang kita saksikan adalah loncatan-loncatan ruang dan waktu, pembauran antara benda sehari-hari dan elemen-elemen fantasi. Yang melankoli berselang seling dengan yang lucu, dialog bahasa Tegal bersilang dengan bahasa Indramayu. Tapi kita akan mengikutinya dengan asyik, bukan sebagai satu karya banyolan, melainkan sesuatu yang mengisyaratkan kehidupan manusia yang tak satu segi, dan di antara itu kita juga dapat merasakan saat-saat yang menyentuh hati.

Bagi saya, yang menakjubkan bukanlah campur aduk yang tak terduga-duga itu. Yang menakjubkan ialah bahwa semua itu mendekatkan kita kepada khaos, kepada “kekacauan,” tanpa kita menampiknya.Bahkan kita menerimanya dehgan asyik. Serta merta, di hadapan lakon ini, kita seakan-akan kena pesona untuk menanggalkan obsesi kita yang mendahulukan ketertiban. Mereka yang mau serba tertib akan kehilangan sesuatu yang berharga dari lakon ini.
***

Mungkin demikianlah umumnya yang terjadi dalam pertemuan kita dengan sebuah karya seni – terutama bentuk-bentuk kesenian yang tak mengikuti semangat klasik. Di hadapan karya Gundono, sebagaimana di hadapan kanvas Affandi, kita tak bisa memuja garis batas yang serba rapi. Kita mau tak mau akan terbawa oleh pesona arus yang mengalir dan bergejolak dalam sebuah situasi artistik. Situasi kesenian, kata pemikir Prancis Alain Badiou, “menyarankan kepada kita satu hubungan antara kecenderungan (disposition) khaotik dari sensibibitas, dengan apa yang dapat diterima sebagai sebuah bentuk.”

Dengan kata lain, tiap situasi artistik berada dalam ketegangan antara “kecenderungan khaotik dari sensibilitas” di satu sisi, dan bayang-bayang “sebuah bentuk” di sisi lain.

Persoalannya tentu, kenapa “khaotik”? Kenapa “kekacauan” adalah bagian dari sebuah proses kreatif? Untuk menjelaskannya, saya akan melanjutkan memakai argumentasi Badiou.

Sebuah karya seni bermula dengan apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” (atau l’événement). “Kejadian” itu cuma berlangsung sekilas; dalam pengalaman estetik, kita misalnya tersentak di saat kita, pada sebuah malam yang jarang, menyaksikan bulan terpacak di langit di atas kuburan, seperti pernah “direkam” dalam sebuah sajak Sitor Situmorang. Seakan-akan meneguhkan sifat “sekilas” dari kejadian itu, sajak Sitor itu hanya terdiri dari dua kalimat: satu baris untuk judul, satu baris lagi untuk yang diberi judul:

MALAM LEBARAN

Bulan di kuburan

Kita tahu bahwa di malam lebaran bulan tak akan tampak — tapi di saat itu, kita tak mempersoalkan apakah bulan itu benar ada di sana, atau ia hanya sebuah ilusi. Kita terpesona, dan pesona itu menghadirkan realitas. Yang perlu saya tekankan di sini: pesona itu tak akan bisa diulangi lagi. Ia saat yang singular. Bila kita nanti melihat bulan lagi, dan kita terpesona sekali lagi, yang terjadi bukanlah sebuah repetisi. Mungkin kaena kita juga mengalami sesuatu yang tak terhingga: sajak satu kalimat singkat itu seakan-akan menyisakan sesuatu yang kosong, menjauh, tak terjangkau. Maka tiap kali kita terpesona akan bulan lagi, yang terjadi adalah sesuatu yang kembali baru, seakan-akan kita melihatnya buat pertama kalinya dalam hidup kita. Badiou mengutip Heidegger: “Penyair selalu berkata seakan-akan yang-ada diutarakan buat pertama kalinya.”

Saya kira kita dapat merasakan kejadian itu, pesona yang seakan-akan buat pertama kalinya itu, dalam sajak Chairil Anwar ini, dari sebuah malam di pegunungan:

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Ada perasaan terkesima di dalam sajak itu, ada sesuatu yang enigmatik bak teka-teki yang menyelimuti saat seperti itu. Sang penyair mencoba mencari jawab, tapi jangan-jangan tak tepat untuk mempersoalkan sebab dan akibat pengalaman estetik seperti itu. Lebih tepat adalah masuk ke dalamnya, bermain di dalam suasana itu, seperti anak kecil yang di bawah bulan itu “main kejaran dengan bayangan”.

Sebab kita tak akan “dapat jawab”, betapapun kita “terlalu sangat” kepingin. Dari sebuah kejadian, kita tak mendapatkan “pengetahuan” – sesuatu yang sudah tersusun rapi bagaikan dalam sebuah rumus atau ensklopedia. Momen kejadian, momen pengalaman estetik, adalah sebuah “proses-kebenaran”, kata Badiou. Dengan itu, kebenaran datang ke pikiran kita bukan sebagai sebuah keputusan, melainkan sebagai sebuah proses yang tak seluruhnya dapat diutarakan dalam bahasa, sebuah proses dalam sebuah kancah yang mengandng kesadaran dan ketidak-sadaran, yang tak dapat ditangkap penuh oleh tata simbolik.

Pengetahuan, bagi Badiou, berbeda dengan Kebenaran. Pengetahuan hanya memberi kita ulangan, hanya berkaitan dengan apa yang sudah di sana. Sementara itu, Kebenaran tampil sama sekali bukan sebagai repetisi, melainkan sebagai kejutan dari yang baru, melalui “suplemen” (supplément événementiel) yang tak terduga, yang tak dapat diperhitungkan, dan berada di luar jangkauan dari yang sudah ada. Seperti ketika seseorang jatuh cinta dan cinta itu mengubah dirinya. Seperti ketika Chairil dalam sajak di atas bersua, seakan-akan buat pertama kalinya, malam di pegunungan dengan bulan yang seakan-akan “membikin dingin” dan membuat rumah jadi pucat dan menyebabkan pohon-pohon jadi kaku.

Pada momen estetik seperti itu, yang mewedarkan sesuatu yang baru dan sebab itu terasa beda sama sekali, bahasa, sebagai hasil konvensi, belum siap menampungnya. Pada momen seperti itulah kita tahu, seperti dikemukakan Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain: ‘ada tetap yang tidak terucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah’.

Yang tetap “tak terucapkan” itulah yang oleh Badiou disebut “yang tak ternamai”, sesuatu yang “begitu singular dalam singularitasnya, begitu intimnya dalam situasi itu”. Dalam saat itulah kita mengalami sesuatu yang “khaotik”.
***

Tapi dalam sebuah karya seni, yang “khaotik” hadir selamanya bersama bentuk. Persoalan yang harus kita jawab adalah apa gerangan yang disebut “bentuk” dalam sebuah karya seni?

Dalam percaturan telaah seni, “bentuk” sering disebut dalam perbandingannya dengan “isi”: “bentuk”-lah yang mewadahi “isi”. Kita memang dapat mengatakan, sebuah syair adalah sebuah “bentuk”, dan di dalamnya ada isi “petuah” atau “hikayat” atau “cerita jenaka.

Pemisahan yang tegas antara “bentuk” dan “isi” memang lazim dalam kesenian klasik dan tradisional. Demikian pula halnya dalam karya-karya yang dimaksudkan untuk menyampaikan isi – karya sastra yang didaktis, misalnya, atau seni rupa yang dimaksudkan untuk memberi informasi atau propaganda. Di sana, “bentuk” adalah semacam kemasan belaka – yang tak perlu dan tak niscaya bertaut senyawa dengan “isi” yang dibawakannya. Syair tentang kota Singapura yang dimakan api punya bentuk yang sama dengan syair yang berisi nasihat perkawinan.

Tapi hubungan antara “bentuk” dan “isi” tak selamanya berlaku demikian. Dalam mantra, umpamanya, bunyi dalam rima dan pengulangan beberapa patah kata, dan pilihan nama yang tak pernah jelas perannya sama sekali tak dapat dipisahkan dari daya magis yang terkandung di dalam tubuh mantra itu. Hal yang sama kita temukan dalam suluk yang ditembangkan dalang dalam wayang purwa: “isi” suluk itu adalah suasana yang terbangun dari gabungan antara kata, bunyi kata, dan lagunya. Kita dapat juga menyebut puisi modernis seperti sajak-sajak Chairil Anwar: sajak Doa, misalnya, mengandung bunyi yang praktis lahir dari suasana hati yang terasa dari dalam sajak. Dengarkanlah bunyi “u” dan “uh” dalam kalimat-kalimat ini, dan kita akan merasakan suasana murung dan lelah:

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

Dalam sajak itu, seperti dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri yang memakai mantra sebagai model, “bentuk” bukanlah wadah atau kemasan makna; ia adalah makna tersendiri. Dengan kata lain, sebenarnya tak selamanya gampang memisahkan “bentuk” dari “isi”. Bahkan dapat dikatakan, dalam karya-karya yang berhasil, baik dalam sastra, seni rupa, seni musik ataupun seni pertunjukan, yang disebut “bentuk” acapkali tumbuh dari dalam proses kreatif, bukan sesuatu yang dipasang sebelum atau sesudah proses itu. Jika kita dengarkan Requiem karya Tony Prabowo, misalnya, dengan perkusi yang berdentam beruang-ulang di antara viola, kita akan bersua dengan sebuah sikap lain tentang kematian dan perkabungan dari tema yang sama dari Ligetti. “Bentuk” adalah bagian, atau buah, dari proses kreatif itu sendiri.

Itulah sebabnya, penilaian tentang bentuk sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah siap di luar proses penciptaan pada akhirnya akan meleset. Namun salah sangka ini memang sudah lama bertahan. Bentuk dalam sebuah karya seni — umumnya diartikan sebagai sesuatu yang dapat dicerap oleh pancaindera atau ditangkap oleh intuisi – seringkali diharapkan menghadirkan sebuah ke-satu-an, suatu Gestalt, atau bahkan keselarasan. Tetapi pandangan seperti ini dapat digugat, terutama menghadapi karya-kaya dewasa ini.

Salah satu acara Art Summit di Jakarta baru-baru ini adalah pementasan kelompok Dorky Park, sebuah grup tari dari Berlin dengan sutradara asal Argentina, Constanza Macras. Di Taman Ismail Marzuki, Jakarta saya menonton bagian kedua dari nomor I’m not the Only One, yang pernah dipentaskan di Volkbühne di Berlin, Januari 2007. Yang saya saksikan adalah sebuah pementasan dengan gaya “pasca-Pina Bausch”: gerak mengelak dari struktur, apalagi struktur yang elegan; pentas seakan-akan diisi oleh bermacam coretan yang acak dan tak padu; tak nampak ada komposisi dalam ruang, dan sedikit sekali efek pencahayaan; ada suasana ceroboh dan tak serius, juga dalam peran video yang disorotkan ke layar. Pada satu saat, dalam semacam klimaks yang bukan klimaks, pentas kacau balau: hampir tiap pemain menirukan adegan slapstick dalam film Holywood yang klise (kue tart dijejalkan ke muka orang sampai belepotan), hingga permukaan panggung dihamburi cipratan. Saya merasakannya sebagai kehendak menegaskan diri dalam posisi “anti-anti klise”. Ada dialog, ada nyanyi, tapi tak berarti apa-apa, suara-suara itu seakan-akan tak saling menyahut. Tak ada pertumbuhan dari saat ke saat ke arah akhir. Lelucon dan ironi menyeruak, tapi tak berarah.

Dengan segera kita merasakan, inilah koreografi yang antikoreografi, bentuk yang antibentuk. Tak ada Gestalt, apalagi keselarasan. Tak ada pula ditampakkan keunggulan teknik, kepintaran mengatur panggung. Saya coba membandingkannya dengan pementasan Sudamala: di dalam karya Slamet Gundono, kita juga akan menemukan hal-hal yang tak koheren; misalnya agak di depan, ada seseorang yang membangun dinding dari bata dan campuran semen, persis seperti tukang batu yang ketinggalan, ketika cerita berlangsung. Tapi setidaknya Slamet Gundono, dengan sosok dan kehadirannya yang tak tertandingi, berhasil membentuk pusat. Panggung Dorky Park justru sepenuhnya menghancurkan pusat. Di sini, yang “khaotik” tak punya kutub lain yang berbeda dan melawannya, dan dengan demikian bisa membuat khaos itu tidak total, hingga terbit keretakan dan suspens dalam pementasan. Tapi agaknya I’m not the Only One juga menafikan bahkan suspens sekalipun. Ia bisa terasa datar.

Bukan maksud saya menilai karya Dorky Park itu di sini. Dalam pembicaraan kita malam ini, saya hanya ingin menunjukkan: sebuah pementasan yang menyatakan diri anti-bentuk seperti itu bukan saja menggugat pandangan ala Aristoteles yang mengunggulkan “kesatuan” atau koherensi. Dan jika koherensi sebuah karya seni memberinya satu nilai artistik yang lebih tinggi, yang dibawakan Dorky Park justru menolak untuk mendapatkan nilai itu. Tapi toh karya kelompok tari yang anti nilai artistik ini diakui sebagai sebuah karya seni yang sah. Dan jika I’m not the Only One sah, (kita tahu ia disertakan dalam Art Summit 2007), sejauh mana sebenarnya keindahan – yang hendak dicapai oleh suatu ikhtiar artistik — penting bagi sebuah karya seni?
***

Hampir semenjak tahun 1917, hubungan karya seni dan “keindahan” diguncang. Saya memakai tahun itu, sebab itulah tahun ketika Marchel Duchamp membuat sejarah dengan cara yang termashur itu: ke pameran seni rupa yang diselenggarakan The Society of Independent Artists di kota New York, ia menyerahkan sebuah “karya” untuk disertakan. Yang ia serahkan adalah sebuah urinal, sebuah torpis (sentoran pipis), model yang baku dan biasasaja. Ia tidak membuat torpis itu. Ia memperolehnya dengan membeli. Benda itu diletakkannya terbalik, dan di permukannnya ia tuliskan sederet huruf, “R. Mutt 1917”.

Apa yang dilakukan Duchamp, yang sebelumnya telah terlibat dengan gerakan Dadaisme, mungkin sebuah lelucon, mungkin sebuah caranya untuk mempersoalkan: apa sebenarnya sebuah karya seni? Mengapa harus ada identitas yang dipatok ketat dalam pengertian itu? Jika sebagai syarat mutlak karya seni adalah hadirnya unsur keindahan, apa gerangan yang dimaksud dengan “keindahan” itu?

Ada sebuah sajak Emily Dickinson yang mencoba menjawab itu:

The Definition of Beauty is
That Definition is none —

Pada akhirnya, definisi apapun – apalagi tentang keindahan – akan tak memadai. Salah satu kritik kepada usaha merumuskan “keindahan” ditembakkan ke arah sejarah selera manusia untuk yang indah dan tidak.

Kita memang dengan tanpa kesulitan melihat, bahwa ada yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai “modal kultural” yang menentukan sebuah selera. Buruh tani yang hidup tiap hari dengan jerih payah tak akan cukup punya waktu untuk membiasakan diri dengan kehalusan tari srimpi, yang berkembang di rumah-rumah bangsawan. Untuk menetapkan bahwa tari srimpi adalah ekspresi keindahan yang bisa dan layak diterima siapa saja adalah sebuah penjajahan selera.

Sebab itulah, sejak tahun 1976, saya menentang pengertian yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantoro untuk kebudayaan nasional sebagai himpunan “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Sebab dalam pengertian “puncak”, ada peran yang mementukan dan memilih – dan umumnya, peran itu dipegang oleh mereka yang mempunyai “modal kultural” yang cukup. Penilaian tentang yang “puncak” dan tidak, yang “indah” dan “buruk”, bukanlah sesuatu yang universal.

Sejak tahun 1917, dunia kesenian mengakui pentingnya sebuah ironi: torpis yang hendak diikut-sertakan Duchamp untuk pameran seni rupa di New York itu, yang dalam jumlah yang amat banyak bisa ditemukan di kakus-kakus di dunia, akhirnya diterima sebagai karya seni, meskipun mula-mula ia ditolak. Di sini telah terjadi apa yang bisa disebut demokratisasi – ada yang menyebutnya sebagai “demokratisasi jenius” – karena kini hampir siapa saja dapat membuat atau memperkenalkan sebuah karya seni, ketika apa yang indah dan yang tidak merupakan keputusan masing-masing.

Dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, dengan akar Jawa, “demokratisasi” juga yang kiranya akan kita saksikan dalam Sudamala. Lakon ini tak menampilkan wayang sebagai sesuatu yang angker dan adiluhung, yang merupakan bagian dari pemegang aristokrasi selera. Slamet Gundono dengan sadar, dan saya kira juga dengan berhasil, membawakan apa yang pinggiran – yang dalam leksikon kebudayaan Jawa disebut sebagai “pasisiran” – ke sebuah proses kreatif yang memikat dan menyentuh hati. Janturan dan dialog tak disampaikan dalam bahasa Jawa yang dikenal di Kraton Yogyakarta dan Surakarta, melainkan di kalangan rakyat di pantura: bahasa Tegal yang selama ini dianggap “buruk” dan “kampungan”, yang dibawakan oleh Gundono sendiri, dan bahasa Indramayu, yang dibawakan oleh Wangi.

Yang menarik dari Sudamala ialah bahwa ia bisa terbebas dari kontradiksi yang kita temukan dalam paradigma Duchamp. Apapun niat Duchamp, hasil perbuatannya tak dapat disimpulkan hanya sebagai proses “demokratisasi.” Ada yang mengatakan, bahwa yang terjadi justru kembalinya sifat otoriter dalam seni, sebab sebuah benda akan langsung menjadi benda seni, bila seorang pelukis atau seniman terkenal memaklumkannya demikian, meskipun benda itu berupa sebatang cabang yang tertinggal kering di pantai. Dalam hal karya Slamet Gundono, saya bisa menduga, bahwa ia tak membutuhkan pengakuan dari nama dan institusi besar: suksesnya akan tercapai ketik ia bisa diteriima oleh siapa saja, dari kelas sosial mana saja – sesuatu yang tak mustahil, sebab dalam Sudamala kita menemukan banyak anasir keyakyatan yang muncul secara wajar.

Saya kira soalnya agak lain dengan kasus Dork Park. Kita memang tak tahu, sebenarnya, mungkinkah pementasan seperti yang disajikan oleh kelompok termashur dari Berlin ini akan dapat diterima dalam Art Summit, seandainya tak ada nama “Dorky Park” di sana. Kebanyakan karya yang mewarisi semangat Dadaisme umumnya membutuhkan wacana penunjang untuk bisa mendapatkan legitimasi.
Tapi seorang teman mengingatkan saya, bahwa posisi otoriter sang seniman dalam seni setelah Duchamp tidaklah sepenuhnya benar. Penonton karya Constanza Macras punya hak dan kekuatan yang taj kalah poenting ketimbang sang penggubah. Mereka toh dapat menampiknya dengan meninggalkan ruang teater, misalnya, seperti konon yang pernah terjadi di Paris. Bahkan karya itu sendiri, dengan corat-coret yang acak, dengan sebuah struktur yang tanpa pusat, tanpa fokus, memberi kesempatan seorang penonton untuk memilih, bagian mana yang hendak dinikmatinya.

Tapi dengan demikian, memang masih tergantung-gantung sebuah persoalan: bisakah kita mengandalkan sifat universal dari kesenian? Problem ini terutama terlontar ke depan kita di zaman ini, ketika kesenian sering dikaitkan dengan “ke-ber-arti-an”. Kesenian dianggap harus membawakan suatu makna (“arti”) yang dapat ditawarkan untuk mencapai dan membentuk konsensus. Kesenian juga dianggap harus punya guna, tujuan, atau peran (pendeknya “berarti”), bagian bagian instrumental dari sebuah mesin besar yang disebut “kemajuan.”

Untuk menjawab persoalaan itu, saya ingin menawarkan satu tafsir baru tentang universalitas dalam karya seni. Saya ingin kembali ke apa yang disebut oleh Badiou sebagai “kejadian” – ketika pengalaman estetik terjadi, dan kita mengalami pertemuan dengan sesuatu yang singular. Badiou telah menyebutnya juga sebagai “yang tak ternamai.” Dalam penafsiran saya, itu di dalamnya tersirat “yang tak terhingga” – yang jejaknya muncul dalam tiap karya seni, tapi hanya jejak yang sementara. Di sanalah kita mungkin berbicara tetang yang universal, yang terus menerus mengimbau tiap proses kreatif.

Saya menemukannya dalam Sudamala ketika lakon berakhir, ketika Manikmaya, yang juga Slamet Gundono, berseru memanggil-mangil nama seorang sahabat yang dikenalnya sebentar di jalan, tapi dengan dia terjalin pertemuan yang melintasi ruang dan waktu: “Monha…! Monha…!”. Yang dipanggil tak menyahut, tapi dalam keterbatasan Slamet Gundono, ia tak henti-hentinya menjangkau yang tak terbatas – yang universal itu.

Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.

Terima kasih.
*) Orasi Goenawan Mohamad untuk Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya, 25 Nopember 2007.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar