Eriyanti
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Perdebatan karya sastra hampir sebanding dengan perdebatan soal membangun karakter bangsa. Namun tidak dimungkiri, pemerintah sebagai lembaga yang berkompeten membangun karakteristik bangsa, seringkali tidak melibatkan karya sastra dalam penyusunan berbagai kebijakan.
Namun, pada kondisi paling ekstrem, justru kesusastraan seringkali dicurigai akan merusak dan menghancurkan bangsa itu sendiri. Pada era sebelum merdeka, buku-buku yang diterbitkan penerbitan swasta dipantau ketat oleh penerbit Balai Pustaka yang mewakili pemerintah.
Namun, kenyataan lain menunjukkan, era reformasi yang membukakan banyak kebebasan termasuk dalam penerbitan karya-karya sastra, justru cenderung paradoks. Di satu sisi, karya-karya sastra bertumbuh sangat pesat. Namun, di sisi lain, tidak menjamin bertumbuhnya karya sastra itu diikuti kualitas karya yang baik. Malah, muncul kecenderungan siapa pun dapat menulis apa pun.
Keadaan ini semakin parah karena tidak adanya ruang kritik. Karya lahir begitu saja dan nyaris tanpa wacana. Keberadaan sastra seakan tidak ada keterkaitan antara karya sastra dan pembentukan karakteristik bangsa yang dapat ditempuh lewat kritik sastra.
Pada kondisi inilah, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski) merasa penting untuk mengadakan Konferensi Internasional Kesusastraan XX. Guna membaca kembali fungsi-fungsi sosial sastra dalam menumbuhkan nilai dan sikap kebangsaan. Bertempat di Isola Hotel, Kampus UPI Bandung, hadir berbagai pemakalah dari dalam dan luar negeri.
**
UNTUK memetakan kembali kesusastraan, Melani Budianta mendefinisikan bahwa sastra adalah seni yang menggunakan medium bahasa. Dalam kaitan berbangsa, sastra adalah sesuatu yang mendukung, melawan, dan bersikap ambigu, terhadap wacana dominan. Sastra juga menyuarakan kelompok yang terpinggirkan dan atau menjadi “hati nurani”. Sastra memberikan kritik terhadap tatanan sosial politik ekonomi, membangun wawasan alternatif, membayangkan dunia yang berbeda, dan menjadi modal budaya (aset) dan pengayaan intelektual.
Melani mengatakan, melalui karya rekaan sastra kita membayangkan dan menghadirkan berbagai wilayah satu negara, sehingga pembaca dapat mengalami dan merasa memiliki. Melalui sastra pula masyarakat merajut berbagai acuan budaya, mitos, legenda, dan bahasa-bahasa nusantara, sehingga terjadi “hibriditas lintas budaya”.
Pada dasarnya sastra adalah mengolah interaksi lintas budaya dan persoalan-persoalan Indonesia membangun wacana tentang keindonesiaan atau mimpi (termasuk kritik dan mimpi buruk) Indonesia; menggali warna lokal, mitos, legenda rural dan urban dalam dinamika lokal-global; mengangkat persoalan identitas budaya (agama, suku, gender dan seksualitas, kelas) dalam proses mengindonesia yang tak pernah selesai.
Kendati begitu, sastra memberi sistem yang demokratis. Memberi ruang bagi kebebasan berekspresi. Dan dengan kebebasan berekspresi, terjadi demokratisasi sastra yang digambarkan. Pengarang mempunyai kebebasan berekspresi, sedangkan pembaca dan penerbitan mempunyai kebebasan memilih.
Maka pada kondisi kesusastraan kini, Sapardi Djoko Damono menilai, adalah sah bila kemudian masyarakat justru memilih kesusastraan yang lebih “ringan” dan mudah dicerna. Pasalnya, ketika industri menggasak semua lini, tidak ketinggalan dunia sastra telah terjadi perubahan sosial yang tidak saja mengubah karakteristik masyarakat, tetapi juga “mencerabut” masyarakat itu dari asal-muasalnya.
Orang-orang yang datang ke kota “menciptakan” kebudayaan baru yang belum dikenal sebelumnya. Akan tetapi kota menyediakan ruang bagi mereka untuk merasa aman tinggal di dunia yang mengasingkan mereka. Sebagai warga kota, orang-orang ini tidak lagi mengenal kebudayaan desa, tetapi juga mendapat kesulitan untuk mengenal kebudayaan kota. Mereka masuk pada situasi yang memaksa mereka untuk mengembangkan kebudayaan baru yang mudah dicerna.
Dalam kaitannya dengan kesusastraan, masyarakat seperti ini memerlukan bacaan yang lebih “ringan” dari jenis yang sebelumnya berkembang. Waktu luang mereka untuk belajar membaca, tidak cukup mengubah kebanyakan dari mereka untuk mampu bergabung dengan kalangan elite.
Sementara itu, Riris Toha K. Sarumpaet, memandang kesusastraan kini, tidak lebih dari kesusastraan seragam. Masyarakat industri yang dikatakan Sapardi sudah menjadi manusia dengan kebudayaan baru yang bukan kebudayaan masa lalu ataupun masa yang akan datang, tersihir pola global yang mengerutkan manusia pada satu dunia, satu selera.
Sihir Harry Potter sebagai satu di antara produk yang mendunia, telah merontokkan cerita-cerita lain di setiap daerah dan di setiap negara. Hal sama terjadi jauh sebelumnya ketika dongeng Cinderella menjadi sangat “di sini” dan sebagai “kita”.
Terpinggirkannya selera kesusastraan pada yang lebih populer atau lebih mendunia, menurut Riris, dilegalisasi dengan sistem pendidikan yang notabene hanya menitikberatkan pada kemampuan kognitif para siswa. Pesan dan nilai-nilai yang disampaikan dalam karya sastra, hanya menjadi anatomi kosa kata yang dipecah menjadi huruf-huruf.
Hibriditas sastra yang dipandang Melani memunculkan pluralisme yang demokratis, Riris justru memandangnya lebih sebagai penyeragaman. Dongeng Cinderella, tidak saja dihafal semua anak, remaja, bahkan orang tua di seantero dunia tetapi tata nilai, sikap, dan ideologi yang disampaikan Cinderella, diterima dan diyakini semua orang. Pendek kata, dongeng Cinderella ataupun Harry Potter telah melahirkan satu sikap dan ideologi yang sama bangsa-bangsa di dunia.
Kendati begitu, Sapardi menegaskan, tidak mungkin karya sastra itu disensor. Masyarakat yang telah berubah dan lebih menyukai bacaan yang populer adalah kenyataan yang tidak dapat dilarang. Persoalannya sekarang, kata Sapardi maupun Riris, mampukah sastra hibrid yang dimaksud oleh Melani itu dibuat para pengarang dan penulis Indonesia, dengan versi baru yang lebih mengindonesia?
**
ADALAH Acep Zamzam Noor, penyair dengan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikembangkannya, justru telah lebih dulu membumikan sastra hibrid ini dalam ke-Indonesiaan yang tak pernah selesai dengan karut-marutnya.
Rasa kebangsaan atau nasionalisme yang sering disebut sebagai “an awareness of membership in a nation together with a desire to achieve, maintain, and perpetuate the identity, prosperity, and power of the nation” (suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan, dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa), bagi Acep dan SST adalah sikap yang diwujudkan dalam bentuk tindakan, untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan.
Nasionalisme seperti ini, dimanifestasikan Acep melalui berbagai kegiatan–kalau tidak mau disebut sebagai pergerakan–SST. Hal itu dapat dilihat dari keanggotaan orang yang bergabung dengan SST adalah orang-orang teater dan seni rupa, sejumlah siswa SMA, mahasiswa, dosen, guru, ibu rumah tangga, pemusik, penganggur, pedagang kaki lima, kepala desa, serta penarik becak. Termasuk RSPD FM sebagai radio daerah setempat yang dijadikan media publikasi SST.
Untuk pluraritas keanggotaan ini, Acep bersama SST dan Tasikmalaya tempat komunitas ini tinggal, telah meruntuhkan asumsi bahwa seniman/penyair seringkali “terasing” dari lingkungannya.
Yang menarik, gerakan yang dikembangkan kemudian adalah selalu merespons setiap keadaan dan peristiwa dengan langsung “masuk” ke dalam keadaan dan peristiwa yang sedang terjadi itu. Contoh, ketika bahasa para pejabat dan birokrat sudah seragam dan tidak mempunyai “ruh” dari setiap yang disampaikannya, komunitas ini gencar memasang berbagai spanduk dan pamflet yang menggunakan bahasa-bahasa membumi dengan masyarakat.
Pada gerakan ini, Acep bersama SST bukan cuma sedang mengajari para birokrat ini dalam berbahasa, tetapi juga sedang merayakan puisi bersama masyarakat. Pun demikian ketika komunitas ini merespons perhelatan Pemilu 2004. SST tidak sebatas menggelar mimbar puisi, tetapi juga melakukan workshop berupa investigasi terhadap nama-nama dan “track record” caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.
Dari investigasi itu nyaris dapat disimpulkan, tidak ada caleg yang bisa dipercaya, semuanya adalah nama-nama lama yang perilakunya sudah diketahui umum. Dari workshop ini lahirlah puisi-puisi kontekstual yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, yakni kecenderungan yang sangat kuat pada “golput”.
Puisi-puisi ini kemudian dibacakan dalam suatu pergelaran yang bertajuk “Penyair Memilih Puisi dalam Pemilu 2004″, di Gedung Kesenian Tasikmalaya. Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar “Karnaval Golput” yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain.
Dari apa yang sudah dilakukan Acep dengan komunitasnya, kita dapat menangkap suatu formula bahwa mengapresiasi sastra sebagai upaya menumbuhkan rasa kebangsaan adalah dengan terjun langsung pada masyarakat itu sendiri. Komunitas ini tidak menjadikan sastra dan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai satu yang terpisah dari kesusastraan, tetapi justru sebagai satu kesatuan yang di dalamnya adalah para penyair, birokrat, rakyat, bahkan sampai ke tukang bandros penikmat lagu-lagu dangdut.
Uniknya, ketika kesusastraan menjadi tak terpisahkan dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri, para penyair yang notabene menurut Riris Sarumpaet adalah minoritas, tetap intens dalam mendewasakan karya-karyanya. Hal ini dapat disimak pada kegiatan “tradisi enam” yang dijalankan SST. Tradisi ini membagi anggota SST ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang.
Grup-grup kecil ini diberi waktu untuk membuat workshop intern, menyiapkan dan mematangkan karya-karya mereka, mengusahakan penerbitan antologi sederhana dan kemudian menyelenggarakan acara berupa pembacaan puisi yang disertai diskusi dengan pembahas dari luar.
Sebagai upaya pemicu kreativitas, kegiatan ini cukup menarik. Ada persaingan yang sehat antargrup, terutama dalam penyelenggaraan acara. Ada juga persaingan antaranggota masing-masing grup, khususnya dalam kreativitas dan produktivitas. Setiap grup diberi nama yang sesuai dengan kecenderungan puisi maupun karakter dari anggota grup itu sendiri, seperti “Enam Penyair Menembus Udara”, “Enam Penyair Membentur Tembok”, “Enam Penyair Meminum Aspal”, dan “Enam Penyair Mengisap Knalpot”. Nama dari grup-grup tersebut sekaligus juga menjadi judul antologi puisi mereka.
Jadi, fenomena hibriditas sastra yang dituding tidak lagi memberi “impact” terhadap munculnya rasa kebangsaan, justru hanya muncul ketika para pelaku sastra berjarak dengan masyarakat pembacanya. Ketika para penyair hanya sibuk mencari penerbit untuk menerbitkan buku puisinya dan ketika para akademisi “anteng” meneliti sastra dengan kondisi masyarakat yang justru jauh telah berubah, atau kalangan birokrasi hanya mengejar angka-angka dari pola didik yang dijalankannya.
Maka adalah sah, bila konferensi ini melahirkan delapan butir rekomendasi. Di antaranya bahwa kesusastraan memiliki peran sangat penting dan strategis dalam pembentukan nilai dan sikap kebangsaan, bahkan terlibat langsung dalam pembentukan negara dan bangsa, sehingga kurikulum pendidikan perlu ditinjau ulang karena cenderung mengarahkan pengajaran sastra kepada aspek pembangunan pengetahuan (kognitif).
Kurikulum sebagai kebijakan pemerintah memang sangat politis dan dapat memengaruhi berbagai kebijakan di bawahnya. Namun rekomendasi ini juga menggarisbawahi adalah keharusan pula bila Hiski dan lembaga terkait lainnya, mampu merumuskan berbagai materi ajar dan model pengajaran yang tepat untuk berbagai tingkat pendidikan sehingga rasa kebangsaan akan tetap menggelora dalam situasi apa pun.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar