Rabu, 30 Desember 2009

Sastra-Sejarah Mencegah Mitos

Fauzan Santa*
http://blog.harian-aceh.com/

Seharusnya kita tak membuang semangat masa silam/bermain dalam dada/setelah usai mengantar kita tertatih-tatih sampai disini – Ebiet G. Ade

Tersebab bermula sastra jika ditanya orang kita adalah fiksi maka kerap orang kita menempatkan karya tekstual tersebut sebagai hiburan lokal yang penting cuma sewaktu soal-soal kehidupan lain sedang butuh jeda dari rutin seharian daripada menjadi sebuah ruang pergulatan juga pertaruhan ruhani untuk menaklukan sejumlah fakta dimana sebenarnya kejernihan sesungguhnya bisa dibicarakan dan diberi makna kembali demi menemukan kesalahan-kesalahan masa silam untuk tak diulang serta menemukan kebenaran-kebenaran untuk terus diperjuangkan sampai kelak sebagai suara dari sebabak kurun yang hiruk gemuruh walau para pesastra tinggal nama diatas nisan.

Jurnalisma sampai titik tertentu mesti berhenti menyusun fakta -seperti sastrawan-wartawan Seno Gumira Ajidarma yang pernah menulis himpunan cerpen Saksi Mata (1995) karena kebebasan pers dibekap kekuasaan pada dekade akhir abad 20 kemarin– maka sastra akan mengambil alih estafeta perjuangan tekstual yang tak sanggup dipikul media massa dengan kekuatan fiksional dimana semua fakta segera menjadi bayang-bayang yang menyarukan kebenaran kemana suka serupa anak-anak jiwa dalam kembara menjadi catatan-catatan kaki sejarah resmi yang tak putus harus dijenguk supaya tafsir atas masa lampau jadi sempurna memperkaya khazanah masa mendatang karena sejarah dalam hal ini serupa dua cermin spion kiri-kanan untuk menjalankan sebuah mobil ke depan maka ia tak boleh buram agar mobil tak dikutuk celaka dua belas kali di kubangan itu-itu saja.

Pun Pramoedya Ananta Toer sastrawan terkemuka kita yang bertubi selalu masuk jajaran para nominator peraih Nobel Sastra jauh sudah merekam serbaneka getir perjuangan bertahan hidup para korban melawan kekerasan negara di kurun Kolonial Belanda masuk Fasis Jepang hingga Orba dengan menciptakan harapan cemerlang “Nak, meski kalah tapi kita sudah berjuang sebaik-baiknya” dalam sekian ribu narasi para tokoh novelnya terutama hasil karangan semasa di Pulau Buru yang selalu menenun fakta-fakta kecil dalam anyaman fiksi yang gagah sebab ia juga tukang kliping koran dan majalah paling berwibawa selama bertahun-tahun yang dari kliping itu sempat kemudian terbit menjadi beberapa jilid buku tebal bertajuk Kronik Revolusi Indonesia (1999) yang mengupas detil fakta secara horisontal dalam ruang sejarah Nusantara dimana peristiwa-peristiwa sederhana di daerah-daerah dari kesenian sampai olahraga yang terjadi setanggal-sehari yang sama dengan kejadian politik di Pusat terburai lengkap guna menegaskan bahwa revolusi atau kesadaran nasional tak pernah terjadi sendiri begitu saja mengalir dari pusat kekuasaan melainkan tumbuh utuh dalam deru ‘semesta yang bergerak’ melawan penindasan dan penjajahan.

Terlalu kaya detil fakta jika kajian heuristik melebar hingga ke wilayah sinkronik yang membikin sejarah tak pernah ada tokoh tunggal atau ‘orang besar’ seperti yang dipraktikkan pendekatan sejarah diakronik dimana urutan waktu cuma sesuai peristiwa besar semata dan dalam diakronika sejarah model begitu sesungguhnya banyak terjadi penggelapan saat mana banyak orang dalam masyarakat -tokoh tak tercatat- luput diberi tempat apatah dicatat dari riwayat-riwayat sederhana tapi strategis misalkan siapa komandan armada tank yang dikirim dari Bireuen untuk menghalau Belanda dalam pertempuran Medan Area pada 1948 atau sosok yang berhasil menyeludupkan perangkat radio dari Penang hingga selamat sampai ke Pebukitan Rimba Raya di negeri Antara yang kemudian berjasa memberitakan ‘Serangan Oemoem 1 Maret” di Jogjakarta ke seluruh dunia dalam enam bahasa serta telak sudah kemudian mematahkan provokasi radio-radio Belanda hingga Indonesia pun selamat dalam Perundingan Meja Bundar pada Desember 1949 di Den Haag Nederland.

Efek berantai dari pendekatan diakronik kemudian sejarah sering tak jujur dan kerap menjadi kesimpulan dari narasi besar kekuasaan penuh misteri yang sekadar melahirkan oposisi-biner antara pahlawan-pecundang tanpa perlu ditelisik lebih dalam kenapa semua itu bisa terjadi dan karena itulah detil fakta para korban setelah sebuah orde tumbang senantiasa akan menuai pertanyaan kepada orde kekuasaan berikutnya demi keadilan dan kehormatan kemanusiaan yang dulu banyak tersaru dalam kemelut revolusi dan pembangunan sebagaimana terbukti dengan bertumpuk luar biasa penerbitan buku memoar dari para pelaku sejarah yang selama ini dibungkam untuk tampil ke hadapan sidang pembaca generasi terkini dalam orde reformasi demi memberi kesaksian sehingga buku-buku mata pelajaran sejarah resmi pun penting disesuaikan kembali untuk meletakkan ‘orang-orang yang dikalahkan’ pada posisi yang seimbang dan semua sama penting sebagai aktor sejarah sebagai bentuk rekonsiliasi atau rujuk kemanusiaan yang utuh.

Betapa tidak adil umpama babakan sejarah itu dianggap semacam jajaran bilik-bilik dengan pintu tertutup dari sebuah apartemen dimana sesama tetangga tak pernah saling kenal sehingga dari amsal itu jelas membuat para korban dalam satu bilik orde tetap sebagai korban dan tak bisa membela diri lagi saat kekuasaan berganti ruang-waktu sebab mereka telah dianggap masa lalu saja padahal pasti mereka menanggung kepiluan panjang akibat luka serta ingatan silam sementara para ‘pemenang’ akan menjadi pahlawan tanpa bisa ditolak sebab pintu masa lalu sudah digembok rapat-rapat yang membikin segala peristiwa-tokoh-alur terjebak di dalamnya tanpa kemungkinan rehabilitasi buat menemukan keadilan serta kejernihan faktual melalui misalkan kesaksian yang diberikan oleh para pihak petikai dan kehampaan macam ini berisiko tak ada lagi kata sesal atau maaf bahkan cenderung selalu mengulang model peristiwa kelam yang sama secara siklitis dengan pelaku yang beda di hari kemudian.

Model pemahaman positivistik macam itu yang kemudian populer disebut historisisme darimana kemudian melahirkan istilah hukum besi (iron law) sejarah dalam teori seorang ilmuwan sosial Jerman Karl Popper tetapi untuk melawan hukum yang sistematis mengajarkan cara berlupa itu maka orang masih sampai hari ini terus menuntut pengungkapan kasus-kasus lampau secara adil juga proporsional semisal aspirasi kuat pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh sebagai pernah sukses dalam damai meski dengan capaian beda di Afrika Selatan semasa Presiden Nelson Mandela yang berbudi disamping tak terbilang penerbitan buku-buku biografi dan sastra berbasis sejarah sebagai pengimbang fakta diakronik yang membesi itu.

Tujuan indah dari pengungkapan tak bukan seperti pesan mantap sebuah film dokumenter-drama Puisi Tak Terkuburkan (2000) dimana seorang penyair Didong dari dataran tinggi Takengon yang dituduh terlibat peristiwa 1965 tapi akhirnya terbukti tak bersalah namun karena insiden itu justru Ibrahim Kadir menyimpan trauma serta kesedihan panjang maka ketika ia harus menceritakan itu kepada anak cucu bukan sama sekali bermaksud untuk “mewariskan dendam silam tapi demi masa depan penghormatan atas cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab” meskipun awalnya memang sangat berat dan berurat proses-proses pengungkapan itu bak sepotong sajak Joko Pinurbo (2005) yang bertajuk Seperti Apa Terbebas Dari Dendam Derita dimana selarik singkat berbunyi “Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan dari cengkraman luka”.

Itulah sebab Martin Aleida seorang sastrawan asal Tanjung Balai Sumatra Utara memakai prosa untuk mengungkap fakta-fakta sinkronik dalam buku baik yang disebut oleh para penyuntingnya ini sebagai ‘sastra kesaksian’ atas peristiwa 1965 walau lebih dari seorang saksi tapi juga korban yang selalu merasa diawasi gerak-geriknya seperti terkisah dalam cerpen memoar Ratusan Mata Dimana-mana (hal. 111) atau cerita Abdullah Peureulak yang karena peristiwa getir itu harus bertahan dengan identitas palsu yang tak pernah diungkap bahkan kepada istri tercinta yang tengah sekarat dalam cerpen Liontin Dewangga (hal. 49) dan melalui cerpen-cerpen dalam buku berlapik lukisan ekspresionisma karya Ipong Purnamasidhi ini -selain sebagai pernah diutarakan Melani Budianta pada sampul belakang novel Jamangilak Tak Pernah Menangis yang juga karya Martin Aleida pada 2004 dimana “terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita” -kita selalu diajak kritis pada sejarah negeri terkasih ini demi mencari dan mengupas lapis-lapis kebenaran historis agar terutama hukum besi sejarah tak sampai melempar jauh para korban ke dalam sunyi panjang sebuah kebisuan yang lamat-lamat menjadi bongkahan mitos dan karena pengungkapan itu pula kita akan bisa hidup bersama secara lebih tulus serta selamat dalam damai menjadi mulia sebelum pada akhirnya semoga kita semua dengan sepenuh cinta berharap akan “mati baik-baik”. Demikian maka jawab sastra sebagai fiksi jika ditanya orang kita.

Judul : Mati Baik-Baik, Kawan
Penulis : Martin Aleida
Penerbit : Akar Indonesia
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 144 halaman
Peresensi: Sekretaris dewan redaksi Jurnal Kebudayaan Gelombang Baru.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar