Senin, 04 Mei 2009

Prof Dr Abdul Hadi WM: Indonesia tak Punya Rumah Kebudayaan Sendiri

Abdul Hadi W. M., Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)
http://www.republika.co.id/

Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.

Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal. Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.

Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik. Berikut petikannya.

Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat?

Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.

Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah kesusastraan berkembang.

Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf Arab. Bagaimana awal mulanya?

Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.

Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika masuk ke Indonesia?

Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi, bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya, kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.

Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya atau awal masuknya Islam?

Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.

Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra Melayu.

Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini sangat kering dari nilai-nilai sastra.

Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan, undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah “adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi sumbernya dari Alquran dan hadis.

Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf. Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi, pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.

Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?

Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah (ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu salah?

Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa. Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.

Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa. Begitu?

Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan? Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu, tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.

Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?

Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil), hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya, Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah Allah.”

Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.

Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat gambar patung dan lainnya.

Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan. Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.

Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?

Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun, untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan lainnya.

Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga, bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari sastra.

Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi, di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.

Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?

Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi dilakukan.

Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa daerah di sekolah masing-masing?

Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?

Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak. Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.

Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu, apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini kondisi kita sudah rusak.

Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan (sesaat) juga?

Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz, disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.

Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?

Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas. Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu. Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.

Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi menyimpang?

Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah lagi tidak punya rumah kebudayaan.

Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari kualitas yang diajarkan.

Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?

Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar