Abdul Hadi W. M., Syahruddin El-Fikri (Pewawancara)
http://www.republika.co.id/
Sistem pendidikan modern telah mengajarkan paham materialistik sehingga menafikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah bahasa.
Agama Islam banyak memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya bidang sastra. Munculnya sastra Melayu juga dipengaruhi oleh sastra Islam. Tak heran bila kemudian bangsa ini melahirkan banyak tokoh sastra yang andal. Sayangnya, kini kesusastraan Melayu yang menjadi ciri khas bangsa ini mulai kehilangan arah. ”Indonesia sudah tak memiliki rumah secara kultural lagi,” kata Prof Dr Abdul Hadi WM, guru besar Universitas Paramadina Mulya (UPM), Jakarta, kepada Syahruddin El-Fikri, wartawan Republika.
Hal ini disebabkan adanya kesalahan dalam sistem pendidikan Indonesia yang mengajarkan bahasa hanya sebagai alat komunikasi dan cenderung materialistik. Berikut petikannya.
Bagaimana sejarah masuknya Islam di Melayu dan pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat?
Islam mulai berkembang pesat pada masa berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Indonesia sekitar akhir abad ke-13 M. Dan, bersamaan dengan selesainya perang salib serta penaklukan Baghdad oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulago Khan. Itu menimbulkan banyak pengungsian besar-besaran. Di antara mereka ada intelektual, ulama, dan lainnya dari India hingga Indonesia. Mereka yang pindah tersebut bukan hanya dari Arab, tetapi Islam dari pemerintahan masa Abbasiyah di Baghdad dengan kebudayaan Persia. Dan, mazhabnya menganut Mazhab Syafi’i.
Dari sini, kemudian, agama Islam masuk ke Indonesia melalui Kerajaan Samudera Pasai. Dengan berdirinya kerajaan tersebut, institusi Islam terus berkembang, termasuk institusi pendidikannya dan kesusastraan. Pendidikan pada masa itu pertama kali mengenalkan huruf Arab (Melayu). Kemudian, bahasa Melayu menjadi pengantar bahasa pendidikan. Itulah yang berkembang pesat waktu itu.
Seiring dengan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, bahasa Melayu pun makin berkembang luas. Karena itu, bahasa Melayu dijadikan sarana untuk menafsirkan, menerjemahkan, atau menyadur karya-karyta penulis Arab dan Persia ke dalam bahasa yang ada di Nusantara. Dari sinilah kesusastraan berkembang.
Pada abad ke-13, berkembang bahasa Melayu dan orang menulis dalam huruf Arab. Bagaimana awal mulanya?
Kita tidak terlalu banyak mengetahui. Tapi, tulisan-tulisan pada makam raja-raja itu telah menunjukkan hal tersebut. Misalnya, dalam Prasasti Trengganu di Kedah (Malaysia) atau makam di Binjei Tujuh, itu masih bercampur dengan bahasa Melayu lama. Kemudian, kita mengetahui teks pertama yang sampai kepada kita sekarang, yaitu satu teks kuno pada zaman raja Pasai setelah Samudera Pasai ditaklukkan Majapahit pada 1380. Dari sini, kita bisa lihat peralihan bahasa Melayu dalam prasasti di Trengganu ke Binjei Tujuh. Kondisi ini menujukkan bahwa bahasa Melayu telah berkembang luas.
Bukti-bukti ini sering kali diabaikan oleh peneliti sastra. Bukan sengaja diabaikan. Tapi, karena kurang fokus. Padahal, bahasa Melayu sekarang ini adalah hasil perkembangan agama Islam di Nusantara.
Jadi, bahasa Melayu itu dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam ketika masuk ke Indonesia?
Ya. Pertama, sebuah bahasa harus menampung konsep-konsep sebelumnya. Jadi, bahasa Melayu mengandung muatan bahasa Arab yang sangat banyak. Istilahnya, kata-kata dalam bahasa Arab dan Parsi (Persia) paling banyak diserap oleh bahasa Melayu. Sedangkan, bahasa Jawa lebih banyak menyerap bahasa Sansekerta yang berafiliasi dalam bahasa Hindu.
Bagaimana kondisi sastra Arab-Melayu saat ini bila dibandingkan sebelumnya atau awal masuknya Islam?
Khazanah sastra Melayu yang dihasilkan atau berasal dari Islam itu sangat banyak, terutama yang ditulis sejak abad ke-14 sampai abad ke-19.
Saat itu, banyak sekali bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Itu hampir sebagian besar khazanah yang ada dalam sastra Persia dan Arab karena ada pengaruhnya ke Persia secara kultur. Kalau mazhab, baru ke Arab. Kita kaya sekali dengan khazanah dalam saduran sastra Arab yang ditulis dalam sastra Melayu.
Ada dua jenis sastra, yaitu sastra kitab dan sastra fiksi. Sastra kitab adalah karya-karya mengenai fikih, ushuluddin, kalam, tasawuf, tafsir, dan hadis yang ditulis dalam bahasa sastra. Bahkan, bahasa sastra juga masuk dalam bahasa undang-undang (yurisprudensi), seperti yurisprudensi pemerintahan, adat, dan sebagainya. Karena itu, tidak mengherankan bila Undang-Undang Minangkabau atau UU Aceh terdapat syair-syair di dalamnya. Sedangkan, UU kita sekarang ini sangat kering dari nilai-nilai sastra.
Adapun sastra fiksi terdapat prosa dan puisi, termasuk sastra hikayat dan syair. Ada sastra Adab (undang-undang politik dan pemerintahan). Ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan agama, tetapi punya tata pemerintahan, undang-undang, dan lainnya. Di sinilah sumber adat. Karena itu, ada istilah “adat bersandi syarak dan syarak bersandi kitabullah”. Sastra adab dan fiksi sumbernya dari Alquran dan hadis.
Di dunia Melayu, ada dua pilar kebudayaan, yaitu syariah dan tasawuf. Selain budaya lokal, juga diperkuat dengan syariah dan tasawuf. Inilah pilar utama kebudayaan di Indonesia. Karena itu, kebudayaan Islam di Indonesia dan kesusastraannya tidak bisa melupakan syariah dan tasawuf.
Orang-orang yang lex pengetahuannya tentang ini tidak mengerti bahasa dan kesusastraan Melayu. Mereka juga menurunkan masalah estetika dan etika (ilmu jiwa dan psikologi) tentang pentingnya hati dan perasaan dari tasawuf. Tetapi, pucuknya metafisika, pandangan yang tersembunyi di balik intuisi kita.
Ketika sastra Melayu dipengaruhi dengan dua pilar tadi, bagaimana dengan sastra yang dilakukan Hamzah Fansuri?
Sastra Hamzah Fansuri itu macam-macam. Dia masuk pada sastra sufi. Ketika dia belajar tentang asas metafisik dalam melihat kehidupan ini, hal itu diimplementasikan dalam estitika dan etika.
Estetika sufi melihat bahwa apa yang ada dalam dunia ini merupakan kendaraan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Jadi, bagaimana seni dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari tiga hawa nafsu. Nafsu lawwamah, amarah, dan sufiyah dari badaniah untuk mencapai nafsu muthmainnah (ketenangan jiwa). Mereka membebaskan diri dari hal-hal kebendaan yang dapat merusak alam pikiran dan kesadaran mereka dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Jadi, ketika kemudian ada orang menganggap Hamzah Fansuri terlalu melebih-lebihkan kedekatan dirinya kepada Tuhan, sebenarnya pandangan itu salah?
Ya, itu nggak apa-apa. Hal itu tidak masalah. Bahasa berlebih-lebihan adalah melampaui batas. Artinya, kalau kita berlebih-lebihan dan melampaui batas, memang dilarang. Tetapi, apa yang dilakukan oleh seorang Hamzah Fansuri karena nilai-nilai dan semangat keberagamaannya dalam bidang tasawuf sehingga dia dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti hal ini berlebih-lebihan. Dalam bidang lain pun, kalau kita berlebih-lebihan, itu salah. Jadi, orang yang menyamakan Hamzah Fansuri dengan paham wujudiyah karena orang tersebut belum sampai pada maqam seperti yang dialami Hamzah Fansuri. Kalau kamu mampu, tidak apa-apa. Artinya, mampu itu tidak sampai merusak.
Berarti, semuanya tergantung cara memandangnya dalam pendekatan apa. Begitu?
Y. Apakah kalau saya membaca 1000 buku sastra dianggap berlebih-lebihan? Tidak karena saya mampu. Tapi, kalau anak kecil membaca buku sebanyak itu, tentu akan berlebih-lebihan karena mereka tidak mampu.
Jadi, seperti Al-Hallaj, karena adanya orang yang salah dalam memahaminya?
Selama sesuatu itu bisa ditafsirkan, tidak hanya secara formal (takwil), hal itu masih boleh. Tapi, kalau tidak bisa, akan lain masalahnya. Misalnya, Alquran mengatakan, ”Ke mana pun kamu memandang, akan senantiasa tampak wajah Allah.”
Lalu, pertanyaannya, wajah Allah itu seperti apa? Kalau kalimat wajah Allah di sini ditafsirkan dengan harfiah atau panteistik, semuanya akan kacau. Di sinilah perlunya pandangan lain yang menjelaskan secara nyata maksud dari wajah Allah itu yang bermakna, wajah batin. Wajah batin bahwa Allah itu mempunyai berbagai macam sifat. Sifat Tuhan itu seperti apa, Rahman dan Rahim serta lainnya. Jadi, melihat sifat itu dengan mata hati.
Begitu juga kalau orang memaknai hadis Nabi. Misalnya, ”Malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar binatang.” Kalau begitu, malaikat maut tidak akan masuk. Jadi, ini bisa ditafsirkan. Maksudnya adalah hadis ini lebih bersifat khusus. Begitu juga ketika Sulaiman membuat gambar patung dan lainnya.
Al-Ghazali dalam menafsirkan hadis ini menjelaskan, janganlah membuat gambar yang menjijikkan atau mengajarkan orang seperti sifat kebinatangan. Secara umum, hadis itu bisa dimaknai bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memiliki hati atau sifat-sifat binatang. Jadi, maknanya sangat luas.
Kembali ke sastra Melayu. Agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam membangun kebudayaan dan kesusastraan Melayu?
Ya. Pertama, jika kita membaca sastra Melayu, itu sangat luar biasa. Namun, untuk kondisi sekarang ini, bangsa Indonesia tercerabut dari akarnya setelah pendidikan modern. Contohnya, ketika kita menggunakan huruf Latin, generasi Indonesia abad ke-20 ini tak bisa lagi membaca warisan nenek moyang mereka yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Pegon, huruf Lampung, huruf Bugis, dan lainnya.
Kedua, kita tidak diajarkan tentang sejarah dengan benar. Dan, ketiga, bahasa hanya dijadikan sebagai alat komunikasi semata. Padahal, bahasa menyimpan wacana warisan yang sangat penting dalam membentuk karakter budaya bangsa. Jadi, seharusnya yang dikenalkan kepada peserta didik adalah bagaimana teks-teks di zaman dulu untuk menumbuhkan semangat anak didik untuk mempelajari sastra.
Anak-anak di Jepang bisa menulis huruf kanji. Begitu juga di India. Tapi, di Indonesia, anak-anak kita tak ada yang mengetahui lagi bagaimana huruf Melayu, seperti Pegon, huruf Jawi, dan lainnya.
Berarti, ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita saat ini?
Jepang tidak mengubah huruf. Jepang menjadi modern karena keberanian mereka mengenalkan kebudayaan dan kesusastraan Jepang kepada anak didiknya, tapi mengubah kebudayaannya. Sementara itu, di Indonesia, hal itu tidak lagi dilakukan.
Bagaimana dengan sistem pendidikan sekarang yang mencoba mengenalkan bahasa daerah di sekolah masing-masing?
Ya, ini bagus. Namun, bahasa tersebut masih diajarkan sebagai bahasa komunikasi semata, bukan sebagai bahasa yang memiliki nilai-nilai yang sangat tinggi.
Ketika dulu saya masih sekolah rendah (SR), kita sudah mendapatkan bahasa pengantar dalam bahasa ibu (Madura), baru masuk kelas tiga dipelajari bahasa Indonesia. Bahasa ibu itu sangat membantu kita untuk mengenal suatu konsep-konsep kehidupan dunia sekitar. Kemudian ketika SMP dan SMA, saya belajar sastra Jawa kuno sastra Melayu, dan Indonesia.
Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini ketika anak-anak Jawa sudah tidak lagi mengenal, bahkan menulis huruf Honocoroko?
Mestinya, pertanyaan ini diajukan pada pemegang kebijakan bangsa ini. Sudah benarkah sistem pendidikan modern kita sekarang? Sejak beberapa tahun Orde Baru berkuasa, sistem pendidikan kita menjadi ala Amerika. Padahal, Amerika itu tidak punya sejarah, seperti Eropa. Pendidikan Amerika itu pragmatis dan tertuju pada hal yang konkret dan tidak belajar tentang sesuatu yang abstrak. Akibatnya, dalam menyelesaikan masalah, selalu yang konkret saja.
Berbeda dengan Jepang, gonta-ganti perdana menteri dan dimasuki kebudayaan Hindu dan Buddha. Namun, mereka tidak terpengaruh dengan kebudayaan itu, apalagi mengubah kebijakan yang sudah baik. Ibarat software, sekarang ini kondisi kita sudah rusak.
Apakah karena masyarakat kita yang terpengaruh dengan sesuatu yang instan (sesaat) juga?
Iya. Ini karena masalah pendidikan juga. Zaman Belanda mengajarkan materi tentang kebudayaan hingga 90 persen budaya barat dibandingkan kebudayaan sendiri.
Anak-anak muda Indonesia saat ini lebih familiar dengan tarian balet, jazz, disko, dan sebagainya ketimbang Reog Ponogoro. Ini kan nggak lucu.
Bagaimana membenahi sastra Melayu agar bisa lebih diterima kembali?
Saat ini, di Sumatra sudah mulai dilakukan. Batasan sejarahnya jelas. Paling baik diutamakan karya-karya unggul, misalnya puncak-puncaknya dulu. Selanjutnya, baru masuk pada karya-karya lainnya. Jadi, anak didik itu mengenal kebudayaan mereka sendiri-sendiri. Ajarkan kembali sastra Melayu dan kebudayaan bangsa sendiri. Bahasa bukan alat komunikasi saja. Bagaimana mau mempelajari karya Bung Karno atau Bung Hatta kalau tidak memahami perkembangan bahasa.
Jadi, akibat ini adalah banyak anak didik kita yang perilakunya menjadi menyimpang?
Ya. Akhirnya, akhlak dan pendidikan budi pekerti terabaikan karena lebih mengejar persoalan materi. Saat ini, kita tidak memiliki rumah secara kebudayaan. Secara politik sudah kacau balau, ekonomi tidak punya, lebih parah lagi tidak punya rumah kebudayaan.
Pemahaman terhadap agama juga makin hari makin dangkal. Agama dipelajari cuma sebatas ritual, bukan penghayatan. Agama dipandang sudah cukup bila sering mengikuti pengajian di kantor-kantor, hotel, dan gedung mewah. Mereka mengukur keberagamaan seseorang dari banyaknya orang mengikuti pengajian, bukan dari kualitas yang diajarkan.
Apa yang membedakan sastra Islam dan sastra Islami di Indonesia?
Sastra Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kemudian, hal ini dikenal dengan sastra Melayu yang mengadopsi kebudayaan Islam. Sastra Islam itu lebih luas, sedangkan sastra Islami itu lebih terbatas.
Sementara itu, sastra religi lebih luas lagi karena dia bisa berupa sastra Hindu, Islam, Buddha, dan sebagainya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar