Sabtu, 28 Februari 2009

Ular

Ellyzan Katan
http://www.riaupos.com/

Semua orang tahu, Hasim itu adalah seorang pembual. Hanya dari mulutnya saja yang selalu keluar berbagai macam cerita. Padahal, setiap cerita yang dikatakannya itu tidak pernah benar. Bahkan cenderung mengada-ada. Semua orang telah tahu itu.

Begitu juga dengan aku, jauh-jauh hari memang telah paham, Hasim adalah seorang pembual sejati. Itulah sebabnya setiap kali Hasim mencoba menceritakan apa yang dilihatnya pada rumah panggung tua yang ada tak jauh dari rumahku itu, aku tetap mencoba mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal lain. Sayang, Hasim terlalu kuat. Dia tetap berkeras untuk menceritakan apa yang pernah dilihatnya.

“Dia memakai baju serba putih,” kata Hasim dengan wajah yang serius. “Perempuan itu bernyanyi. Jelas sekali aku mendengar suaranya. Dia memang bernyanyi.” Diperagakannya gaya seorang perempuan duduk di atas sebuah ambin papan.

Dalam hati aku melepaskan kata-kata begini, “Hah, pasti membual lagi. Yang ada bukan seorang perempuan bersimpuh sambil bernyanyi, tapi bayangan saja. Rumah itu kan kosong. Mana mungkin ada seorang perempuan di sana.” Pedalamanku selalu bertentangan dengan apa yang dipaparkan oleh Hasim.

Sementara di lain waktu, sambil berlari tergopoh-gopoh, Hasim juga pernah mengeluarkan cerita yang hampir saja membuat banyak orang ketakutan. Katanya, tak lama lagi kota kami akan menderita. Oleh sebab apa, dia masih belum tahu. Dan kapan kejadiannya, Hasim juga masih belum tahu. Dia berhasil membuat banyak orang penasaran.

Dalam mimpinya, dia melihat beberapa ekor ular datang bertamu ke setiap rumah penduduk. Ular-ular itu kemudian langsung berdiri tegak, sama rata dengan setiap tinggi penghuni rumah. Ada dua ekor ular yang dengan gagahnya langsung berbicara. Suaranya agak sengau, berat, dan seperti mendesis. Lidah ular itu menjulur-julur ke luar. Dan air liurnya jatuh berjatuhan.

“Engkau percaya tidak, dengan lidahnya yang bercabang itu, katanya kita akan menderita penyakit? Kali ini aku tahu kapan waktunya, bulan depan.”

Bukannya aku tidak percaya, selama ini apa yang dibualkan oleh Hasim selalu berujung angin, tak jelas. Bahkan ketika dia memaksa kami untuk tidak keluar rumah selama setengah hari karena di langit sana --menurut penglihatan gaibnya-- akan meluncur banyak kelelawar, tak juga terbukti. Makanya aku dan orang-orang sengaja tidak terlalu memusingkan semua petuah Hasim. Biarlah dia saja yang berkutat dengan apa yang dilihatnya. Kami tidak perlu.
***
Seperti biasa, setiap pagi pukul lima Subuh, aku akan bangun dan segera ke kamar mandi. Aku harus bergegas supaya tidak terlambat ke kantor. Maklum saja, kantor tempat kerja selama ini terletak agak jauh jaraknya dari tempat tinggal. Lebih kurang setengah jam perjalanan menggunakan bus karyawan milik pemerintah daerah.

Tiba-tiba aku melihat ekor ular melintas di bawah mesin cuci di dalam kamar mandi. Semula aku menyaksikannya tidak dengan perasaan yang bukan-bukan, akan tetapi entah karena apa, langsung saja wajah Hasim melintas. “Ular yang besar akan datang kepada kita semua.”

Ah, ada-ada saja. Itu pasti ular tanah yang memang banyak di sekitar lingkungan rumah. Tampat tinggalku memang berada di daerah rawa. Tidak heran jika sesekali makhluk melata itu akan masuk ke dalam rumah. Itu karena tempat tinggalnya yang kian menyempit. Manusia hanya bisa mengambil kawasannya yang dulu masih sempurna untuk dijadikan tempat tinggal berbagai macam ular. Dan sekarang, akibatnya, antara manusia dan ular tidak bisa lagi hidup bergandengan. Selalu terjadi perkelahian kecil.

Cepat-cepat aku buang pikiran buruk yang ada. Itu hanya ular biasa! Itu hanya ular biasa! Tidak akan ada apa-apanya. Ya, aku yakin itu! Langsung saja aku tutup kembali pintu kamar mandi. Dengan gerak cepat, aku membasahi seluruh tubuh dengan air. Secepat kilat pula aku langsung melakukan segala macam ritual yang selalu dilakukan pada saat mandi. Huh, akhirnya selesai. Begitu handuk telah melingkar, dan perangkat mandi seperti sabun, odol gigi, samphoo, dan yang lainnya aku kemas, langsung saja aku meninggalkan kamar mandi.

Anehnya, dalam perjalanan ke kantor, ekor ular yang tertangkap melintas di bawah mesin cuci, selalu bermain di depan mata. Aku gusal-gusal kelopak mata sendiri dengan kuat. Ah, tidak ada apa-apanya. Yang terjadi malah rasa pedih yang aku rasakan.

Sampai pada saat jam istirahat di kantor, seorang kawan tiba-tiba mencak-mencak. Ternyata di dalam laci kerjanya ada seekor ular. Tidak besar memang, tapi cukup membuat orang terperanjat. Aku sampai berhenti menuangkan air dari dispenser. Barangkali saja ular itu sejenis ular lidi, tidak akan berbahaya.

Aku lihat, tangannya yang penuh oleh balutan daging itu sibuk membuka seluruh laci meja dengan perlahan-lahan. Dan kemudian, seluruh isi laci meja diserakkan di atas permukaan lantai. Astaga, memang benar. Ular yang semula telah membuat pemilik meja itu terperanjat sedang melingkar di sudut laci. Kecil. Kulitnya tampak memancarkan cahaya-cahaya kekuning-kuningan. Dengan disimbah oleh cahaya lampu yang terang, ular itu terlihat mulus.

“Jangan dibunuh. Buang saja lewat jendela.”

Entah suara siapa, aku tak tahu. Yang aku tahu, ular itu benar-benar tidak dibunuh. Makhluk kecil yang tak berdaya itu langsung melayang dari jendela lantai dua kantor kami. Dan untuk sementara, di kepalaku kian berkecamuk saja. Hasim seperti menari-nari di depan batang hidup.

Langsung aku tenggak segelas air putih yang masih ada di tangan. Biar, biar segala macam susah, segala macam mimpi buruk, dan segala macam pikiran buruk akibat semua ini, hilang dibawa arus air ke dalam tubuh. Untuk selanjutnya akan aku buang di dalam kamar mandi. Aku ingin kencing. Dengan begitu, ampas yang ada di dalam tubuhku pasti akan terbuang semuanya. Aman! Semua kembali aman!

Tak lama setelah aku kembali duduk di kursi kerja, telpon genggam pun berbunyi. Ada SMS masuk. “Di dalam lemari pakaian ada ular. Tidak besar memang, tapi membuat aku dan anak-anak menjadi takut. Kalau bisa, cepat pulang. Aku tunggu ya!!!?”

Dasar sial. Mengapa pula hari ini semua selalu saja dihiasi dengan ular? Apa ini semua ada hubungannya dengan setiap perkataan Hasim? Kalau pun memang benar, mengapa berawal dari rumah? Apa selama ini ada hal yang tidak disukai oleh Hasim padaku? Dasar sial! Aku hendak mencari Hasim. Ini pasti dia punya pasal. Seharusnya bukan denganku dia bercerita. Aku harus mencarinya!

Atasanku langsung aku berikan laporan. Bagaimana pun aku mesti pulang sekarang. Di rumah ada ular di dalam lemari pakaian kami. Istri dan anak-anak berada dalam ketakutan. Aku mohon izin. Ya, beruntung atasanku mengerti. Dia membolehkan aku untuk pulang menyelamatkan keluarga di rumah.

Lagi, ketika aku melaju kencang di jalan raya, tiba-tiba, dalam jarak lima puluh meter ke depan, ada dua ekor ular yang melintas dengan lambat. Aku harus mengerem mendadak untuk menunggu ular besar itu selesai melintasi jalan raya. Beruntung tidak terjadi kecelakaan akibat berhenti mendadak.
Lagi-lagi ular, kataku di dalam hati.

SMS kembali berdering. “Kali ini ada dua ekor.”

Astaga, lubang telingaku seperti diletupkan dengan bunyi yang keras. Suara Hasim bertengger di bibir lubang. Aku tak kuat untuk memaksanya masuk dan ke luar. Suara Hasim berbunyi-bunyi. “Dua ekor!! Dua ekor!! Dua ekor!!”

Aku angkat gas. Vespa tua yang aku tunggangi seperti mengamuk. Mesinnya meraung-raung mendaki jalan yang agak berbukit. Asap memutih di belakang. Sesekali aku mirip pula dengan Valentino Rossi, pembalap dunia yang terkenal itu. Rumah, rumah, dan rumah, itu saja yang terbayang di kepala. Selebihnya, Hasim benar-benar telah memaku seluruh isi kepala dengan segala macam kesusahan. Pasalnya dari sekian banyak celoteh yang dikeluarkan, baru sekarang terbukti kebenarannya. Iya atau tidak, aku masih belum tahu.

“Ularnya ada di dalam lemari.” Ini suara istriku. Dia terlihat agak pucat. Itu karena dia sangat takut dengan ular. “Ada dua ekor.”

“Baik. Mundur semua.” Bergegas aku mengambil sebatang penyapu. Dan dengan perlahan-lahan, pintu lemari besar yang telah berdiri mematung di depanku, dibuka. Seketika itu juga aroma kapur barus meruap, masuk ke dalam lubang hidungku. Pakaian di dalamnya masih terlihat rapi.

Dengan sedikit sibakan saja, ular yang ditakutkan oleh istriku itu berhasil aku temukan. Ternyata hanya dua ekor ular kecil. Tidak besar. Kalau diukur, kira-kira hanya sepanjang ujung telapak tangan ke siku saja. Tidak besar. Tapi yang namanya diri sudah dikuasi oleh ketakutan, tetap saya semuanya dibesar-besarkan.

Ular yang malang itu aku masukkan ke dalam tong sampah tertutup. Kemudian aku buang ke dalam tong sampah besar yang ada di depan rumah, juga tertutup. Kebetulan nanti sore adalah jadwal petugas kebersihan memungut sampah di setiap rumah. Aku tidak perlu khawatir kalau ular itu berlama-lama berada di sekitar rumah kami.

“Sudahlah, jangan takut. Ularnya sudah aku masukkan ke dalam tong sampah. Sebentar lagi petugas kebersihan akan membawanya ke tempat pembuangan sampah. Tidak ada-apa. Tenanglah.” Istriku langsung memeluk tubuhku dengan erat.

Ah, inilah yang paling aku suka dari perempuan berambut panjang ini. Dia memang pandai membuat seluruh urat di dalam badanku mengembang.
***

Hasim masih berkain sarung ketika aku temui di rumahnya. Memang, waktu Maghrib baru saja selesai. Semburat cahaya masih terlihat jelas di atas sana. Dia duduk bersila di atas ambin tua yang ada di tepi jendela. Menurut penglihatanku, Hasim sedang menikmati secangkir kopi panas yang disediakan oleh orang rumahnya.

Penasaran! Ya, aku memang penasaran. Itulah sebabnya setelah selesai salat, tanpa mengganti kain sarung, aku langsung menuju ke rumah Hasim. Kawan yang satu ini harus memberikan jawabannya terkait ular yang selalu mengganggu hari ini. Dia harus menjelaskannya….

“Oh, ular itu rupanya.”

Astaga, santai sekali aku dengar suara Hasim. Dia kembali menengguk air kopi yang masih panas itu.

“Akhirnya kau percaya? Ular-ular itu adalah buah dari kesalahan kita.”

Aku paham. Seorang Hasim selama ini memang dikenal sebagai orang yang cara bicaranya agak lain dari yang lain. Dia selalu berpijak pada negeri awang-awang. Sangat jauh dari kebiasaan kami.

“Aku memang melihat banyak ular di sini. Entah karena sudah musim hujan atau apalah, aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, bukan sekali dua ular-ular itu datang ke dalam mimpiku. Sudah berulang kali. Bahkan yang terakhir malah berkata kita akan mendapatkan celaka.”

“Celaka bagaimana?”

“Inilah yang membuat aku bingung.”

Hasim tidak memberikan jawaban seperti yang aku inginkan. Dia malah berputar-putar begitu saja. Lebih baik aku mempersingkat waktu kunjungan ke rumah Hasim. Dengan begitu, aku akan dapat berpikir lebih jernih lagi di rumah. Lagi pula anak-anak pasti bisa aku awasi.

“Jangan lupa, tutup setiap lubang yang ada di rumah. Ularnya tidak akan bisa masuk.” Suara Hasim sempat terdengar. Dia berteriak dari muka jendela.

Ular. Binatang yang satu ini telah tiga kali aku temukan. Pertama, di rumah. Kedua, di kantor. Dan ketiga di rumah lagi. Untuk yang kedua, jujur aku katakan tidaklah menjadi beban pikiran. Akan tetapi yang ketiga, di rumah, tidak bisa tidak, benar-benar telah membuat aku serba salah. Maklum saja, jarak yang harus aku tempuh dari rumah ke tempat kerja, bukanlah dekat. Jauh. Apabila terjadi sesuatu di rumah, sementara aku berada di kantor, itu artinya akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sampai di rumah. Lantas apa yang harus aku perbuat?

Menutup semua lubang yang ada di rumah? Sepertinya itu pun akan membutuhkan waktu yang lama. Sebagai rumah yang bergaya Melayu lama, rumah kami sengaja aku bangun dengan bentuk yang banyak lubang udaranya. Papan-papan berkualitas tinggi, dipakai untuk lantai. Di beberapa tempat sengaja dibuat lubang agar istriku bisa menyapu rumah, membersihkan debu yang ada. Dia tidak perlu membawanya hingga keluar pintu.

Atau harus memasang kamera? Uh, percuma. Itu perkara yang mahal. Jadi, apa yang harus aku perbuat? Ini semua Hasim yang punya pasal. Semestinya dia tidak bercerita yang bukan-bukan. Kalau pun bermimpi, tidak seharusnya dia ceritakan itu semua padaku. Jadinya, sekarang aku yang susah.

“Malam ini kau saja yang tidur duluan. Aku yang berjaga. Nanti kalau sudah hampir subuh, kita bergantian.”

“Anak-anak bagaimana?”

“Semua tidur di dalam satu kamar.”

Di kepala, aku mulai membayangkan istiku sakit. Anak-anak, satu per satu mulai terkulai. Belum lagi ketika siang hari, akibat kurang tidur, kepala mulai pening. Pandangan berkunang-kunang. Aku seperti mendapati semua penglihatan bergoyang. Gelombang pasang sedang naik. Ah, pikiran sial.

Cepat-cepat aku periksa lagi semua pintu. Ya, sudah terkunci dengan rapat. Jendela, aman. Tidak ada yang masih terbuka. Lalu tiba saatnya untuk aku periksa bagian dinding pembuangan debu, tempat yang biasa dipakai istriku untuk membuang sisa-sisa debu atau pun sampah-sampah kecil lainnya. Duh, masih terbuka.

Bingung! Secepat kilat aku langkahkan kaki ke belakang. Di gudang, kembali aku bongkar-bongkar beberapa peralatan yang dapat aku pakai untuk menutupi lubang yang masih tersedai di ruangan tengah sana. Ah, tidak satu pun yang sesuai. Sementara jam di dinding telah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.

Sejuk embun malam yang turun merasuk dari celah-celah pentilasi rumah. Beberapa perabot yang diletakkan oleh sitriku di sudut ruangan, seolah mengigil. Ada sesuatu yang mereka rasakan. Meja makan, piring-piring, penyapu, dan segala macam benda, mematung. Aku hanya sibuk sendiri untuk mencari sesuatu yang dapat aku pakai untuk menutupi lubang. Sayang, setelah berusaha keras, hasilnya percuma. Tak satu benda pun berhasil aku temukan untuk menutupnya.

Lamat-lamat aku seperti mendengar suara mendesis. Dari mana datangnya, masih belum jelas. Begitu juga ketika aku paksakan kaki ini untuk melangkah mendekat ke meja makan, suara desis itu semakin jelas tertangkap di telinga.

Aku teguk air putih yang ada di atas meja. Dengan bulu kuduk berdiri, remang-remang perasaan mulai merayap di sekujur tubuh, terasa ada yang merayap pelan di atas punggung kaki kanan. Dingin dan lembut.
***

“Ha, sekarang coba ceritakan. Apa sebenarnya yang terjadi semalam?” Hasim mulai menarik kursinya mendekat ke samping ranjang. “Aku dengar engkau melihat ular. Panjang?”

Tak kuat mulutku untuk menjawab pertanyaan Hasim. Selain karena di dalam mulut masih tertancap selang, kondisi kepalaku masih terlalu pusing untuk dipaksa bekerja. Aku hanya memandang Hasim dengan wajah yang kosong. Belum ada satu kata pun yang dapat aku keluarkan.

Lalu istriku mendekat. Dia berkata begini, “Sudahlah, Bang Hasim. Sejak masuk rumah sakit ini, belum dapat dia berkata banyak. Jangan paksa dia untuk banyak berbicara. Tak baik. Lagi pula kata dokter, dia memang harus banyak beristirahat.”
Baru aku tahu, ternyata aku sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.***

Ranai, 20 Januari 2009

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar