Ellyzan Katan
http://www.riaupos.com/
Semua orang tahu, Hasim itu adalah seorang pembual. Hanya dari mulutnya saja yang selalu keluar berbagai macam cerita. Padahal, setiap cerita yang dikatakannya itu tidak pernah benar. Bahkan cenderung mengada-ada. Semua orang telah tahu itu.
Begitu juga dengan aku, jauh-jauh hari memang telah paham, Hasim adalah seorang pembual sejati. Itulah sebabnya setiap kali Hasim mencoba menceritakan apa yang dilihatnya pada rumah panggung tua yang ada tak jauh dari rumahku itu, aku tetap mencoba mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal lain. Sayang, Hasim terlalu kuat. Dia tetap berkeras untuk menceritakan apa yang pernah dilihatnya.
“Dia memakai baju serba putih,” kata Hasim dengan wajah yang serius. “Perempuan itu bernyanyi. Jelas sekali aku mendengar suaranya. Dia memang bernyanyi.” Diperagakannya gaya seorang perempuan duduk di atas sebuah ambin papan.
Dalam hati aku melepaskan kata-kata begini, “Hah, pasti membual lagi. Yang ada bukan seorang perempuan bersimpuh sambil bernyanyi, tapi bayangan saja. Rumah itu kan kosong. Mana mungkin ada seorang perempuan di sana.” Pedalamanku selalu bertentangan dengan apa yang dipaparkan oleh Hasim.
Sementara di lain waktu, sambil berlari tergopoh-gopoh, Hasim juga pernah mengeluarkan cerita yang hampir saja membuat banyak orang ketakutan. Katanya, tak lama lagi kota kami akan menderita. Oleh sebab apa, dia masih belum tahu. Dan kapan kejadiannya, Hasim juga masih belum tahu. Dia berhasil membuat banyak orang penasaran.
Dalam mimpinya, dia melihat beberapa ekor ular datang bertamu ke setiap rumah penduduk. Ular-ular itu kemudian langsung berdiri tegak, sama rata dengan setiap tinggi penghuni rumah. Ada dua ekor ular yang dengan gagahnya langsung berbicara. Suaranya agak sengau, berat, dan seperti mendesis. Lidah ular itu menjulur-julur ke luar. Dan air liurnya jatuh berjatuhan.
“Engkau percaya tidak, dengan lidahnya yang bercabang itu, katanya kita akan menderita penyakit? Kali ini aku tahu kapan waktunya, bulan depan.”
Bukannya aku tidak percaya, selama ini apa yang dibualkan oleh Hasim selalu berujung angin, tak jelas. Bahkan ketika dia memaksa kami untuk tidak keluar rumah selama setengah hari karena di langit sana --menurut penglihatan gaibnya-- akan meluncur banyak kelelawar, tak juga terbukti. Makanya aku dan orang-orang sengaja tidak terlalu memusingkan semua petuah Hasim. Biarlah dia saja yang berkutat dengan apa yang dilihatnya. Kami tidak perlu.
***
Seperti biasa, setiap pagi pukul lima Subuh, aku akan bangun dan segera ke kamar mandi. Aku harus bergegas supaya tidak terlambat ke kantor. Maklum saja, kantor tempat kerja selama ini terletak agak jauh jaraknya dari tempat tinggal. Lebih kurang setengah jam perjalanan menggunakan bus karyawan milik pemerintah daerah.
Tiba-tiba aku melihat ekor ular melintas di bawah mesin cuci di dalam kamar mandi. Semula aku menyaksikannya tidak dengan perasaan yang bukan-bukan, akan tetapi entah karena apa, langsung saja wajah Hasim melintas. “Ular yang besar akan datang kepada kita semua.”
Ah, ada-ada saja. Itu pasti ular tanah yang memang banyak di sekitar lingkungan rumah. Tampat tinggalku memang berada di daerah rawa. Tidak heran jika sesekali makhluk melata itu akan masuk ke dalam rumah. Itu karena tempat tinggalnya yang kian menyempit. Manusia hanya bisa mengambil kawasannya yang dulu masih sempurna untuk dijadikan tempat tinggal berbagai macam ular. Dan sekarang, akibatnya, antara manusia dan ular tidak bisa lagi hidup bergandengan. Selalu terjadi perkelahian kecil.
Cepat-cepat aku buang pikiran buruk yang ada. Itu hanya ular biasa! Itu hanya ular biasa! Tidak akan ada apa-apanya. Ya, aku yakin itu! Langsung saja aku tutup kembali pintu kamar mandi. Dengan gerak cepat, aku membasahi seluruh tubuh dengan air. Secepat kilat pula aku langsung melakukan segala macam ritual yang selalu dilakukan pada saat mandi. Huh, akhirnya selesai. Begitu handuk telah melingkar, dan perangkat mandi seperti sabun, odol gigi, samphoo, dan yang lainnya aku kemas, langsung saja aku meninggalkan kamar mandi.
Anehnya, dalam perjalanan ke kantor, ekor ular yang tertangkap melintas di bawah mesin cuci, selalu bermain di depan mata. Aku gusal-gusal kelopak mata sendiri dengan kuat. Ah, tidak ada apa-apanya. Yang terjadi malah rasa pedih yang aku rasakan.
Sampai pada saat jam istirahat di kantor, seorang kawan tiba-tiba mencak-mencak. Ternyata di dalam laci kerjanya ada seekor ular. Tidak besar memang, tapi cukup membuat orang terperanjat. Aku sampai berhenti menuangkan air dari dispenser. Barangkali saja ular itu sejenis ular lidi, tidak akan berbahaya.
Aku lihat, tangannya yang penuh oleh balutan daging itu sibuk membuka seluruh laci meja dengan perlahan-lahan. Dan kemudian, seluruh isi laci meja diserakkan di atas permukaan lantai. Astaga, memang benar. Ular yang semula telah membuat pemilik meja itu terperanjat sedang melingkar di sudut laci. Kecil. Kulitnya tampak memancarkan cahaya-cahaya kekuning-kuningan. Dengan disimbah oleh cahaya lampu yang terang, ular itu terlihat mulus.
“Jangan dibunuh. Buang saja lewat jendela.”
Entah suara siapa, aku tak tahu. Yang aku tahu, ular itu benar-benar tidak dibunuh. Makhluk kecil yang tak berdaya itu langsung melayang dari jendela lantai dua kantor kami. Dan untuk sementara, di kepalaku kian berkecamuk saja. Hasim seperti menari-nari di depan batang hidup.
Langsung aku tenggak segelas air putih yang masih ada di tangan. Biar, biar segala macam susah, segala macam mimpi buruk, dan segala macam pikiran buruk akibat semua ini, hilang dibawa arus air ke dalam tubuh. Untuk selanjutnya akan aku buang di dalam kamar mandi. Aku ingin kencing. Dengan begitu, ampas yang ada di dalam tubuhku pasti akan terbuang semuanya. Aman! Semua kembali aman!
Tak lama setelah aku kembali duduk di kursi kerja, telpon genggam pun berbunyi. Ada SMS masuk. “Di dalam lemari pakaian ada ular. Tidak besar memang, tapi membuat aku dan anak-anak menjadi takut. Kalau bisa, cepat pulang. Aku tunggu ya!!!?”
Dasar sial. Mengapa pula hari ini semua selalu saja dihiasi dengan ular? Apa ini semua ada hubungannya dengan setiap perkataan Hasim? Kalau pun memang benar, mengapa berawal dari rumah? Apa selama ini ada hal yang tidak disukai oleh Hasim padaku? Dasar sial! Aku hendak mencari Hasim. Ini pasti dia punya pasal. Seharusnya bukan denganku dia bercerita. Aku harus mencarinya!
Atasanku langsung aku berikan laporan. Bagaimana pun aku mesti pulang sekarang. Di rumah ada ular di dalam lemari pakaian kami. Istri dan anak-anak berada dalam ketakutan. Aku mohon izin. Ya, beruntung atasanku mengerti. Dia membolehkan aku untuk pulang menyelamatkan keluarga di rumah.
Lagi, ketika aku melaju kencang di jalan raya, tiba-tiba, dalam jarak lima puluh meter ke depan, ada dua ekor ular yang melintas dengan lambat. Aku harus mengerem mendadak untuk menunggu ular besar itu selesai melintasi jalan raya. Beruntung tidak terjadi kecelakaan akibat berhenti mendadak.
Lagi-lagi ular, kataku di dalam hati.
SMS kembali berdering. “Kali ini ada dua ekor.”
Astaga, lubang telingaku seperti diletupkan dengan bunyi yang keras. Suara Hasim bertengger di bibir lubang. Aku tak kuat untuk memaksanya masuk dan ke luar. Suara Hasim berbunyi-bunyi. “Dua ekor!! Dua ekor!! Dua ekor!!”
Aku angkat gas. Vespa tua yang aku tunggangi seperti mengamuk. Mesinnya meraung-raung mendaki jalan yang agak berbukit. Asap memutih di belakang. Sesekali aku mirip pula dengan Valentino Rossi, pembalap dunia yang terkenal itu. Rumah, rumah, dan rumah, itu saja yang terbayang di kepala. Selebihnya, Hasim benar-benar telah memaku seluruh isi kepala dengan segala macam kesusahan. Pasalnya dari sekian banyak celoteh yang dikeluarkan, baru sekarang terbukti kebenarannya. Iya atau tidak, aku masih belum tahu.
“Ularnya ada di dalam lemari.” Ini suara istriku. Dia terlihat agak pucat. Itu karena dia sangat takut dengan ular. “Ada dua ekor.”
“Baik. Mundur semua.” Bergegas aku mengambil sebatang penyapu. Dan dengan perlahan-lahan, pintu lemari besar yang telah berdiri mematung di depanku, dibuka. Seketika itu juga aroma kapur barus meruap, masuk ke dalam lubang hidungku. Pakaian di dalamnya masih terlihat rapi.
Dengan sedikit sibakan saja, ular yang ditakutkan oleh istriku itu berhasil aku temukan. Ternyata hanya dua ekor ular kecil. Tidak besar. Kalau diukur, kira-kira hanya sepanjang ujung telapak tangan ke siku saja. Tidak besar. Tapi yang namanya diri sudah dikuasi oleh ketakutan, tetap saya semuanya dibesar-besarkan.
Ular yang malang itu aku masukkan ke dalam tong sampah tertutup. Kemudian aku buang ke dalam tong sampah besar yang ada di depan rumah, juga tertutup. Kebetulan nanti sore adalah jadwal petugas kebersihan memungut sampah di setiap rumah. Aku tidak perlu khawatir kalau ular itu berlama-lama berada di sekitar rumah kami.
“Sudahlah, jangan takut. Ularnya sudah aku masukkan ke dalam tong sampah. Sebentar lagi petugas kebersihan akan membawanya ke tempat pembuangan sampah. Tidak ada-apa. Tenanglah.” Istriku langsung memeluk tubuhku dengan erat.
Ah, inilah yang paling aku suka dari perempuan berambut panjang ini. Dia memang pandai membuat seluruh urat di dalam badanku mengembang.
***
Hasim masih berkain sarung ketika aku temui di rumahnya. Memang, waktu Maghrib baru saja selesai. Semburat cahaya masih terlihat jelas di atas sana. Dia duduk bersila di atas ambin tua yang ada di tepi jendela. Menurut penglihatanku, Hasim sedang menikmati secangkir kopi panas yang disediakan oleh orang rumahnya.
Penasaran! Ya, aku memang penasaran. Itulah sebabnya setelah selesai salat, tanpa mengganti kain sarung, aku langsung menuju ke rumah Hasim. Kawan yang satu ini harus memberikan jawabannya terkait ular yang selalu mengganggu hari ini. Dia harus menjelaskannya….
“Oh, ular itu rupanya.”
Astaga, santai sekali aku dengar suara Hasim. Dia kembali menengguk air kopi yang masih panas itu.
“Akhirnya kau percaya? Ular-ular itu adalah buah dari kesalahan kita.”
Aku paham. Seorang Hasim selama ini memang dikenal sebagai orang yang cara bicaranya agak lain dari yang lain. Dia selalu berpijak pada negeri awang-awang. Sangat jauh dari kebiasaan kami.
“Aku memang melihat banyak ular di sini. Entah karena sudah musim hujan atau apalah, aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, bukan sekali dua ular-ular itu datang ke dalam mimpiku. Sudah berulang kali. Bahkan yang terakhir malah berkata kita akan mendapatkan celaka.”
“Celaka bagaimana?”
“Inilah yang membuat aku bingung.”
Hasim tidak memberikan jawaban seperti yang aku inginkan. Dia malah berputar-putar begitu saja. Lebih baik aku mempersingkat waktu kunjungan ke rumah Hasim. Dengan begitu, aku akan dapat berpikir lebih jernih lagi di rumah. Lagi pula anak-anak pasti bisa aku awasi.
“Jangan lupa, tutup setiap lubang yang ada di rumah. Ularnya tidak akan bisa masuk.” Suara Hasim sempat terdengar. Dia berteriak dari muka jendela.
Ular. Binatang yang satu ini telah tiga kali aku temukan. Pertama, di rumah. Kedua, di kantor. Dan ketiga di rumah lagi. Untuk yang kedua, jujur aku katakan tidaklah menjadi beban pikiran. Akan tetapi yang ketiga, di rumah, tidak bisa tidak, benar-benar telah membuat aku serba salah. Maklum saja, jarak yang harus aku tempuh dari rumah ke tempat kerja, bukanlah dekat. Jauh. Apabila terjadi sesuatu di rumah, sementara aku berada di kantor, itu artinya akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sampai di rumah. Lantas apa yang harus aku perbuat?
Menutup semua lubang yang ada di rumah? Sepertinya itu pun akan membutuhkan waktu yang lama. Sebagai rumah yang bergaya Melayu lama, rumah kami sengaja aku bangun dengan bentuk yang banyak lubang udaranya. Papan-papan berkualitas tinggi, dipakai untuk lantai. Di beberapa tempat sengaja dibuat lubang agar istriku bisa menyapu rumah, membersihkan debu yang ada. Dia tidak perlu membawanya hingga keluar pintu.
Atau harus memasang kamera? Uh, percuma. Itu perkara yang mahal. Jadi, apa yang harus aku perbuat? Ini semua Hasim yang punya pasal. Semestinya dia tidak bercerita yang bukan-bukan. Kalau pun bermimpi, tidak seharusnya dia ceritakan itu semua padaku. Jadinya, sekarang aku yang susah.
“Malam ini kau saja yang tidur duluan. Aku yang berjaga. Nanti kalau sudah hampir subuh, kita bergantian.”
“Anak-anak bagaimana?”
“Semua tidur di dalam satu kamar.”
Di kepala, aku mulai membayangkan istiku sakit. Anak-anak, satu per satu mulai terkulai. Belum lagi ketika siang hari, akibat kurang tidur, kepala mulai pening. Pandangan berkunang-kunang. Aku seperti mendapati semua penglihatan bergoyang. Gelombang pasang sedang naik. Ah, pikiran sial.
Cepat-cepat aku periksa lagi semua pintu. Ya, sudah terkunci dengan rapat. Jendela, aman. Tidak ada yang masih terbuka. Lalu tiba saatnya untuk aku periksa bagian dinding pembuangan debu, tempat yang biasa dipakai istriku untuk membuang sisa-sisa debu atau pun sampah-sampah kecil lainnya. Duh, masih terbuka.
Bingung! Secepat kilat aku langkahkan kaki ke belakang. Di gudang, kembali aku bongkar-bongkar beberapa peralatan yang dapat aku pakai untuk menutupi lubang yang masih tersedai di ruangan tengah sana. Ah, tidak satu pun yang sesuai. Sementara jam di dinding telah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.
Sejuk embun malam yang turun merasuk dari celah-celah pentilasi rumah. Beberapa perabot yang diletakkan oleh sitriku di sudut ruangan, seolah mengigil. Ada sesuatu yang mereka rasakan. Meja makan, piring-piring, penyapu, dan segala macam benda, mematung. Aku hanya sibuk sendiri untuk mencari sesuatu yang dapat aku pakai untuk menutupi lubang. Sayang, setelah berusaha keras, hasilnya percuma. Tak satu benda pun berhasil aku temukan untuk menutupnya.
Lamat-lamat aku seperti mendengar suara mendesis. Dari mana datangnya, masih belum jelas. Begitu juga ketika aku paksakan kaki ini untuk melangkah mendekat ke meja makan, suara desis itu semakin jelas tertangkap di telinga.
Aku teguk air putih yang ada di atas meja. Dengan bulu kuduk berdiri, remang-remang perasaan mulai merayap di sekujur tubuh, terasa ada yang merayap pelan di atas punggung kaki kanan. Dingin dan lembut.
***
“Ha, sekarang coba ceritakan. Apa sebenarnya yang terjadi semalam?” Hasim mulai menarik kursinya mendekat ke samping ranjang. “Aku dengar engkau melihat ular. Panjang?”
Tak kuat mulutku untuk menjawab pertanyaan Hasim. Selain karena di dalam mulut masih tertancap selang, kondisi kepalaku masih terlalu pusing untuk dipaksa bekerja. Aku hanya memandang Hasim dengan wajah yang kosong. Belum ada satu kata pun yang dapat aku keluarkan.
Lalu istriku mendekat. Dia berkata begini, “Sudahlah, Bang Hasim. Sejak masuk rumah sakit ini, belum dapat dia berkata banyak. Jangan paksa dia untuk banyak berbicara. Tak baik. Lagi pula kata dokter, dia memang harus banyak beristirahat.”
Baru aku tahu, ternyata aku sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.***
Ranai, 20 Januari 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 28 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar