Suara Merdeka,15 Feb 2004.
Marhalim Zaini
Siak, sungaimu menyulapku. Perempuan itu, kaurendam di dada senjamu. Pekat hitam rambutnya, setiap kali kaubasahi, tumbuh ribuan bunga kenanga. Menyambangi hidung lelakiku. Segera, di taman imajinasiku, segala yang terindah merekah. Entah di mana tiba-tiba lenyapnya gubuk-gubuk yang runduk di sepanjang tepian sungai itu. Sampah-sampah yang terapung di bawahnya pun seolah menjelma bunga seroja yang digoyang ombak kecil dari sampan-sampan yang ditambatkan. Semua tampak serba indah. Rimbunan hijau dedaunan bakau itu, lihatlah, ia tiba-tiba menjelma sebuah lukisan impresif, penuh misteri, penuh imaji. Ah, perempuan itu di mataku seperti bidadari. Bidadari yang kerap disebut dalam cerita fiksi. Bidadari yang setiap senja mandi di sungai Siak dengan rambut basah tergerai. Bidadari, yang kata orang sini, sama dengan putri kahyangan yang turun dari langit setiap bulan purnama. Perempuan selembut embun dengan selendang sutera seputih salju.
Tapi perempuan itu, manusia biasa dan bukan putri kahyangan. Ia begitu sederhana. Tak ada selendang sutera di pundaknya Dan ia juga bukan Jennifer Lopez perempuan yang menggemparkan di tahun 2000 itu, sebab tak ada gaun hijau tosca rancangan Donatella Versace yang mempertontonkan lekuk-liku tubuhnya. Yang ada hanya sepotong kain kemben batik bercorak burung merak yang telah luntur warnanya, melekat bersebati di dadanya. Mandi dengan gaya orang desa seadanya. Sebuah kesederhanaan yang sempurna. Semburat ketenangan dan lekuk keindahan yang mempesona. Meski ada pertanyaan yang terus mengambang berkelindan dalam pikiranku yang terpana, mampukah kesederhanaan dan ketenangan membungkus luka dan derita dalam gubuk kemiskinan?
“Melamun lagi!” Sebuah suara menyentak, dan sebuah pukulan mendarat di pundakku. “Siti itu memang bunga yang tersuruk dalam rimbunan semak.” Atan duduk di sampingku, memandang ke sungai. “Dan akan segera kautemukan ratusan Siti yang lain di negeri ini.” Atan membuang asap rokok seperti menghembuskan beban yang berat.
Di kedai kopi ini, senja merayap mengantar sepi.
“Sayang ya.” Kataku.
“Tak ada yang perlu disayangkan. Air adalah dunia dan hidup mereka. Siti, perempuan yang kaupandangi setiap petang itu, sudah jadi bagian dari habitat mereka. Seperti ikan, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Tapi tengoklah, air berwarna coklat kehitaman itu, rasanya tak layak disebut kehidupan! Itulah yang patut disayangkan.”
Dahiku berkerut. Bau air sungai bergetah di hidungku. Atan memang suka meracau. Aku lebih suka menerka-nerka arah pembicaraannya. Sejak pertama kali aku ketemu Atan sewaktu kuliah dulu, aku langsung akrab dengannya. Sampai-sampai bahasa Jakarta-ku terikut-ikut gaya Melayu. Aku kira, Atan adalah representasi sosok orang Melayu. Dia terlihat cerdas dan begitu khas.
“Tak hanya di sungai ini, mereka yang tinggal di daerah muara, kuala, selat, tanjung, dan teluk, merasakan nasib yang sama. Dan aku terlahir di sini, kawan. Aku tahu benar bagaimana rasanya menyelam di sungai keruh, tertelan air kotoran pabrik. Berlinang minyak rasanya, Wak.”
Di seberang, aku lihat anak-anak melompat, terjun ke sungai. Suaranya berdebum seperti batu kali yang jatuh dari bukit. Tawa mereka terngiang-riang. Selintas aku jadi teringat kolam renang di belakang rumahku yang berwarna biru, airnya jernih serupa kaca. Tawa kami, aku dan adik-adikku, tiba-tiba terngiang di telingaku. Hmm, tawa riang yang sama dalam dunia yang berbeda.
“Kalau kayu-kayu penyangga air sudah ditebang dengan serakah, beginilah jadinya.” Atan membuang puntung rokoknya ke sungai. “Air jadi dangkal. Setelah itu, ekosistem perairan pun terganggu. Habitat ikan dan biota habislah. Lenyap entah ke mana. Pukimak!”
Agaknya, aku harus mafhum. Bahwa makian adalah bahasa kekesalan yang buntu. Luapan yang tak menemukan tempat. Ia spontan. Melompat dari ketidaksadaran yang terpendam. Maka tak perlu ada pertanyaan atau jawaban.
Dan aku diam. Ada ratusan Siti membayang di kelopak ingatan.
***
Senja kedua, pada sebuah teluk yang tersuruk.
“Kalau sampai di Bandar ini, tak lengkap rasanya kalau tak singgah di kedai kopi.” Setiap kali kami menginjakkan kaki di ujung pelabuhan, Atan selalu mengucapkan kalimat ini.
Aku tak tahu, sejauhmana kopi telah merasuki hidup Atan. Tapi aku jadi ingat, di Jakarta minum kopi memang sedang jadi trend. Kedai kopi di sana disulap jadi kafe-kafe. Awalnya aku tak suka kopi, tapi suasana remang-remang kafe barangkali membuat kopi terasa lebih nikmat. Kafe, sebagai salah satu simbol kebudayaan baru, membawa tradisi “minum kopi” menjadi gaya hidup masyarakat kontemporer.
Makanya aku tak pernah menolak ajakan Atan untuk minum kopi. Meski bukan di kafe, tapi lama-lama kedai kopi di kampung Atan ini memberi nuansa yang lain. Jika kafe dibangun oleh kepentingan industri, maka kedai kopi di sini terasa seperti dibangun oleh kekuatan sejarah. Ada semacam ketuaan yang eksotis. Lihatlah, dinding-dinding papan coklat tua yang disusun tegak menjulang tinggi, dengan foto-foto keluarga berwarna hitam putih yang terbiar dilumuti sarang labah-labah, memberi kesan tentang masa lalu yang hidup. Ah, pengap asap rokok dan asap masakan yang menggenang ini, memaksa aku terpaku di atas kursi sebagai manusia renta yang abadi. Tapi apakah ada yang abadi di dunia ini, selain Tuhan?
“Bung, jangan macam-macam, Singapura dulu pernah jatuh hati dengan kampung aku ni. Maklumlah, zaman penjajahan dulu, pulau-pulau macam kampung aku ni apalagi yang nak diintip orang selain kekayaan alamnya. Beginilah, sampai sekarang pun pulau ini masih terus dikuras. Bayangkan saja, sekitar 60 persen produksi minyak bumi Indonesia yang mencapai 1,1 juta barel perhari itu disumbangkan oleh pulau ini. Sebenarnya aku tak kisah sangat, selama kehidupan masyarakatnya tetap diperhatikan. Kau tengoklah, macam mana nasib Siti dan masa depan budak-budak yang kemaren mandi di sungai tu!”
Seorang perempuan menghampiri, membawa dua gelas kecil kopi.
Aku memandang wajahnya tajam. Ia tersenyum, dan berlalu.
“Tan, bukankah ini Siti yang kemaren mandi di sungai itu?”
“Jangan mengigau, Wak. Di mata asingmu, perempuan-perempuan di sini memang berwajah serupa.”
Rasanya mataku tak salah lihat. Tapi Atan benar. Tak lama setelah itu, seorang perempuan lain yang muncul dari ruang yang lain pula, kembali membuat mataku terkicuh. Seperti tak percaya, tapi demikianlah kenyataannya. Mereka serupa, tapi tak sama.
“Sudahlah, mata lelaki di mana-mana selalu sama.” Atan menyeruput kopinya. “Tapi, kau tengoklah. Lelaki berpakaian seragam di kedai kopi ini. Banyaknya orang yang berseragam pegawai di negeri ini menunjukkan tingkat hidup masyarakatnya sudah mulai meningkat. Kau harus tahu, Wak, di sini menjadi pegawai negeri adalah obsesi semua orang. Nah, di lain hal, di negeri tempat aku lahir ini, orang sedang berebut duit. Tapi di lain hal lagi, yang tak pandai cari celah dan tetap apatis dengan dunia perpolitikan, ya terus saja terpinggirkan seperti Siti dan budak-budak yang mandi di sungai itu. Ya, begitulah, kapitalisme selalu memperjelas kesenjangan, Wak. Bedebah!”
Sembari mereguk kopi, kupandang sekeliling. Meski telingaku tetap terus mendengarkan ocehan Atan, tapi mataku terus liar mencuri-curi pandang pada Siti-Siti yang lalu-lalang mengantar minuman. Tiba-tiba pandangan terjerembab pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di belakang meja kasir. Kulitnya putih. Matanya sipit. Cina?
Ya, aku ingat. Sebelum ke sini, Atan memang selalu bercerita tentang Cina keturunan yang sejak lama menghuni kampung ini. “Cina keturunan adalah sejarah yang lain,” kata Atan. Meski di hari yang lain, kerap juga aku mendengar Atan mengeluh, “Walaupun mereka telah menjadi bagian dari masyarakat di sini, tapi dominasi ekonomi masih di tangan mereka.”
Aku pun diam. Mereguk kopi terakhir. Burung-burung hitam terdengar riuh di ujung senja. Sekelebat bayangan menyelinap di kelopak ingatan; Siti-siti yang dirundung sepi.
***
Senja ketiga. Pada sebuah rumah panggung yang renta.
Memandang barisan pohon kelapa yang menjulang ke langit, waktu terasa berjarak. Aku seperti hidup dalam dunia daun-daun, dunia tumbuhan. Bau lembab rerumputan hijau yang merambati tanah gambut, kuhisap dalam-dalam. Ada kehidupan lain yang tiba-tiba bangkit dalam diriku. Kehidupan orang desa, yang jauh dari kota. Kehidupan yang dibangun dari kesederhanaan-kesederhanaan.
Dan Atan lahir di sini. Tapi di mana dia?
“Oi, jangan melamun, Wak. Nanti kesampok hantu bunian!” Suara Atan melengking dari belakang rumah. “Ke sinilah, kopi dah tersedia ni!”
Hantu Bunian? Atan memang pernah cerita kalau di kampungnya ini banyak hantunya. Tapi, bagi Atan hantu itu dianggap sebagai ikon kebudayaan timur, simbol bagi semangat jahat yang tak terlihat. Dan aku percaya, setiap kebudayaan memang dipenuhi simbol-simbol. Bahkan di Eropa pun, yang tingkat rasionalitasnya tinggi, hantu masih menempati sisi lain dari kehidupan manusianya.
Senja semakin kelam. Sesayup suara orang mengaji bersahutan dari surau-surau. Tak lama kami duduk sambil menikmati kopi di tengah rumah, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari bawah, “Assalamualaikum.”
Serentak kami menjawab, “Waalaikumussalam.”
Dari tengah pintu kulihat seorang perempuan berkebaya dengan kerudung melilit di wajahnya, berjalan menuju tempat kami bersila. Aku benar-benar terkejut. Bukankah perempuan ini juga yang kupandangi di sungai Siak senja yang lalu? Dan rasanya perempuan ini juga yang kujumpai di kedai kopi kemarin.
“Ini adek aku, Wak. Namanya Siti.”
Aku pun terdiam. Menyimpan ribuan pertanyaan dalam senja yang kian padam. Mereguk kopi terakhir dengan mata yang terpejam. “Ah, tiba-tiba kopi ini terasa pahit, tak bergula…”
Yogyakarta, April 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar