Jumat, 26 September 2008

Kopi Senja di Negeri Siti

Suara Merdeka,15 Feb 2004.
Marhalim Zaini

Siak, sungaimu menyulapku. Perempuan itu, kaurendam di dada senjamu. Pekat hitam rambutnya, setiap kali kaubasahi, tumbuh ribuan bunga kenanga. Menyambangi hidung lelakiku. Segera, di taman imajinasiku, segala yang terindah merekah. Entah di mana tiba-tiba lenyapnya gubuk-gubuk yang runduk di sepanjang tepian sungai itu. Sampah-sampah yang terapung di bawahnya pun seolah menjelma bunga seroja yang digoyang ombak kecil dari sampan-sampan yang ditambatkan. Semua tampak serba indah. Rimbunan hijau dedaunan bakau itu, lihatlah, ia tiba-tiba menjelma sebuah lukisan impresif, penuh misteri, penuh imaji. Ah, perempuan itu di mataku seperti bidadari. Bidadari yang kerap disebut dalam cerita fiksi. Bidadari yang setiap senja mandi di sungai Siak dengan rambut basah tergerai. Bidadari, yang kata orang sini, sama dengan putri kahyangan yang turun dari langit setiap bulan purnama. Perempuan selembut embun dengan selendang sutera seputih salju.

Tapi perempuan itu, manusia biasa dan bukan putri kahyangan. Ia begitu sederhana. Tak ada selendang sutera di pundaknya Dan ia juga bukan Jennifer Lopez perempuan yang menggemparkan di tahun 2000 itu, sebab tak ada gaun hijau tosca rancangan Donatella Versace yang mempertontonkan lekuk-liku tubuhnya. Yang ada hanya sepotong kain kemben batik bercorak burung merak yang telah luntur warnanya, melekat bersebati di dadanya. Mandi dengan gaya orang desa seadanya. Sebuah kesederhanaan yang sempurna. Semburat ketenangan dan lekuk keindahan yang mempesona. Meski ada pertanyaan yang terus mengambang berkelindan dalam pikiranku yang terpana, mampukah kesederhanaan dan ketenangan membungkus luka dan derita dalam gubuk kemiskinan?

“Melamun lagi!” Sebuah suara menyentak, dan sebuah pukulan mendarat di pundakku. “Siti itu memang bunga yang tersuruk dalam rimbunan semak.” Atan duduk di sampingku, memandang ke sungai. “Dan akan segera kautemukan ratusan Siti yang lain di negeri ini.” Atan membuang asap rokok seperti menghembuskan beban yang berat.

Di kedai kopi ini, senja merayap mengantar sepi.
“Sayang ya.” Kataku.
“Tak ada yang perlu disayangkan. Air adalah dunia dan hidup mereka. Siti, perempuan yang kaupandangi setiap petang itu, sudah jadi bagian dari habitat mereka. Seperti ikan, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Tapi tengoklah, air berwarna coklat kehitaman itu, rasanya tak layak disebut kehidupan! Itulah yang patut disayangkan.”

Dahiku berkerut. Bau air sungai bergetah di hidungku. Atan memang suka meracau. Aku lebih suka menerka-nerka arah pembicaraannya. Sejak pertama kali aku ketemu Atan sewaktu kuliah dulu, aku langsung akrab dengannya. Sampai-sampai bahasa Jakarta-ku terikut-ikut gaya Melayu. Aku kira, Atan adalah representasi sosok orang Melayu. Dia terlihat cerdas dan begitu khas.

“Tak hanya di sungai ini, mereka yang tinggal di daerah muara, kuala, selat, tanjung, dan teluk, merasakan nasib yang sama. Dan aku terlahir di sini, kawan. Aku tahu benar bagaimana rasanya menyelam di sungai keruh, tertelan air kotoran pabrik. Berlinang minyak rasanya, Wak.”

Di seberang, aku lihat anak-anak melompat, terjun ke sungai. Suaranya berdebum seperti batu kali yang jatuh dari bukit. Tawa mereka terngiang-riang. Selintas aku jadi teringat kolam renang di belakang rumahku yang berwarna biru, airnya jernih serupa kaca. Tawa kami, aku dan adik-adikku, tiba-tiba terngiang di telingaku. Hmm, tawa riang yang sama dalam dunia yang berbeda.

“Kalau kayu-kayu penyangga air sudah ditebang dengan serakah, beginilah jadinya.” Atan membuang puntung rokoknya ke sungai. “Air jadi dangkal. Setelah itu, ekosistem perairan pun terganggu. Habitat ikan dan biota habislah. Lenyap entah ke mana. Pukimak!”

Agaknya, aku harus mafhum. Bahwa makian adalah bahasa kekesalan yang buntu. Luapan yang tak menemukan tempat. Ia spontan. Melompat dari ketidaksadaran yang terpendam. Maka tak perlu ada pertanyaan atau jawaban.
Dan aku diam. Ada ratusan Siti membayang di kelopak ingatan.
***

Senja kedua, pada sebuah teluk yang tersuruk.
“Kalau sampai di Bandar ini, tak lengkap rasanya kalau tak singgah di kedai kopi.” Setiap kali kami menginjakkan kaki di ujung pelabuhan, Atan selalu mengucapkan kalimat ini.

Aku tak tahu, sejauhmana kopi telah merasuki hidup Atan. Tapi aku jadi ingat, di Jakarta minum kopi memang sedang jadi trend. Kedai kopi di sana disulap jadi kafe-kafe. Awalnya aku tak suka kopi, tapi suasana remang-remang kafe barangkali membuat kopi terasa lebih nikmat. Kafe, sebagai salah satu simbol kebudayaan baru, membawa tradisi “minum kopi” menjadi gaya hidup masyarakat kontemporer.

Makanya aku tak pernah menolak ajakan Atan untuk minum kopi. Meski bukan di kafe, tapi lama-lama kedai kopi di kampung Atan ini memberi nuansa yang lain. Jika kafe dibangun oleh kepentingan industri, maka kedai kopi di sini terasa seperti dibangun oleh kekuatan sejarah. Ada semacam ketuaan yang eksotis. Lihatlah, dinding-dinding papan coklat tua yang disusun tegak menjulang tinggi, dengan foto-foto keluarga berwarna hitam putih yang terbiar dilumuti sarang labah-labah, memberi kesan tentang masa lalu yang hidup. Ah, pengap asap rokok dan asap masakan yang menggenang ini, memaksa aku terpaku di atas kursi sebagai manusia renta yang abadi. Tapi apakah ada yang abadi di dunia ini, selain Tuhan?

“Bung, jangan macam-macam, Singapura dulu pernah jatuh hati dengan kampung aku ni. Maklumlah, zaman penjajahan dulu, pulau-pulau macam kampung aku ni apalagi yang nak diintip orang selain kekayaan alamnya. Beginilah, sampai sekarang pun pulau ini masih terus dikuras. Bayangkan saja, sekitar 60 persen produksi minyak bumi Indonesia yang mencapai 1,1 juta barel perhari itu disumbangkan oleh pulau ini. Sebenarnya aku tak kisah sangat, selama kehidupan masyarakatnya tetap diperhatikan. Kau tengoklah, macam mana nasib Siti dan masa depan budak-budak yang kemaren mandi di sungai tu!”

Seorang perempuan menghampiri, membawa dua gelas kecil kopi.
Aku memandang wajahnya tajam. Ia tersenyum, dan berlalu.
“Tan, bukankah ini Siti yang kemaren mandi di sungai itu?”
“Jangan mengigau, Wak. Di mata asingmu, perempuan-perempuan di sini memang berwajah serupa.”
Rasanya mataku tak salah lihat. Tapi Atan benar. Tak lama setelah itu, seorang perempuan lain yang muncul dari ruang yang lain pula, kembali membuat mataku terkicuh. Seperti tak percaya, tapi demikianlah kenyataannya. Mereka serupa, tapi tak sama.

“Sudahlah, mata lelaki di mana-mana selalu sama.” Atan menyeruput kopinya. “Tapi, kau tengoklah. Lelaki berpakaian seragam di kedai kopi ini. Banyaknya orang yang berseragam pegawai di negeri ini menunjukkan tingkat hidup masyarakatnya sudah mulai meningkat. Kau harus tahu, Wak, di sini menjadi pegawai negeri adalah obsesi semua orang. Nah, di lain hal, di negeri tempat aku lahir ini, orang sedang berebut duit. Tapi di lain hal lagi, yang tak pandai cari celah dan tetap apatis dengan dunia perpolitikan, ya terus saja terpinggirkan seperti Siti dan budak-budak yang mandi di sungai itu. Ya, begitulah, kapitalisme selalu memperjelas kesenjangan, Wak. Bedebah!”

Sembari mereguk kopi, kupandang sekeliling. Meski telingaku tetap terus mendengarkan ocehan Atan, tapi mataku terus liar mencuri-curi pandang pada Siti-Siti yang lalu-lalang mengantar minuman. Tiba-tiba pandangan terjerembab pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di belakang meja kasir. Kulitnya putih. Matanya sipit. Cina?

Ya, aku ingat. Sebelum ke sini, Atan memang selalu bercerita tentang Cina keturunan yang sejak lama menghuni kampung ini. “Cina keturunan adalah sejarah yang lain,” kata Atan. Meski di hari yang lain, kerap juga aku mendengar Atan mengeluh, “Walaupun mereka telah menjadi bagian dari masyarakat di sini, tapi dominasi ekonomi masih di tangan mereka.”

Aku pun diam. Mereguk kopi terakhir. Burung-burung hitam terdengar riuh di ujung senja. Sekelebat bayangan menyelinap di kelopak ingatan; Siti-siti yang dirundung sepi.
***

Senja ketiga. Pada sebuah rumah panggung yang renta.
Memandang barisan pohon kelapa yang menjulang ke langit, waktu terasa berjarak. Aku seperti hidup dalam dunia daun-daun, dunia tumbuhan. Bau lembab rerumputan hijau yang merambati tanah gambut, kuhisap dalam-dalam. Ada kehidupan lain yang tiba-tiba bangkit dalam diriku. Kehidupan orang desa, yang jauh dari kota. Kehidupan yang dibangun dari kesederhanaan-kesederhanaan.

Dan Atan lahir di sini. Tapi di mana dia?
“Oi, jangan melamun, Wak. Nanti kesampok hantu bunian!” Suara Atan melengking dari belakang rumah. “Ke sinilah, kopi dah tersedia ni!”

Hantu Bunian? Atan memang pernah cerita kalau di kampungnya ini banyak hantunya. Tapi, bagi Atan hantu itu dianggap sebagai ikon kebudayaan timur, simbol bagi semangat jahat yang tak terlihat. Dan aku percaya, setiap kebudayaan memang dipenuhi simbol-simbol. Bahkan di Eropa pun, yang tingkat rasionalitasnya tinggi, hantu masih menempati sisi lain dari kehidupan manusianya.

Senja semakin kelam. Sesayup suara orang mengaji bersahutan dari surau-surau. Tak lama kami duduk sambil menikmati kopi di tengah rumah, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari bawah, “Assalamualaikum.”

Serentak kami menjawab, “Waalaikumussalam.”
Dari tengah pintu kulihat seorang perempuan berkebaya dengan kerudung melilit di wajahnya, berjalan menuju tempat kami bersila. Aku benar-benar terkejut. Bukankah perempuan ini juga yang kupandangi di sungai Siak senja yang lalu? Dan rasanya perempuan ini juga yang kujumpai di kedai kopi kemarin.

“Ini adek aku, Wak. Namanya Siti.”
Aku pun terdiam. Menyimpan ribuan pertanyaan dalam senja yang kian padam. Mereguk kopi terakhir dengan mata yang terpejam. “Ah, tiba-tiba kopi ini terasa pahit, tak bergula…”

Yogyakarta, April 2003

Tidak ada komentar:

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar