Eny Rose*
Prolog:
(Jiwa tersandung kabut raga tak henti merintih, malam terbelenggu cinta nan ayu. mozaikmozaik rindu menggertak sunyi. Namun, bintang thariq masih bernafas di sela cakrawala, sang mega kelana. Rerintik hujan pun turut mengiang di kahyangan percintaan sembari temani liku anggara nan merunduk sayu bagai sang khafadha setia menjaga adam dan hawa.)
Aku sedih. Kadangkala aku juga merasa stress dengan problem-problem yang kuhadapi selama ini. Sesekali aku sempat bertanya pada diriku sendiri. Apakah Allah sungguh benar-benar menyayangiku sehingga selalu memberi cobaan berat seperti ini? Aku harap semua ini dapat menjadikan aku sabar dan dekat dengan-Nya. Namun, kalaupun ini adalah kemarahan-Nya, aku memang pantas mendapatkannya. Karena selama ini mungkin aku memang BANGSAT pada kekasih yang menyayangiku.
* * *
Sejak berusia dua belas tahun, ibu dan bapak cerai, lantaran gaji bapak sebagai pembuat sekaligus penjual sandal dan sepatu relatif kecil. Kadang menerima pesanan dan kadangkala satupun tidak ada pemesan sekaligus pembeli. Bapak bekerja ekstra. Meskipun gajinya pas-pasan, bapak juga salah seorang guru ngaji TPA. Ya, mungkin karena ibu matre, dia tega meninggalkan kami semua.
Ibu meninggalkan kami sejak adikku baru berusia lima tahun. Saat itu adikku masih tinggal di bangku TK. Dan aku masih kelas dua SMP. Sejak kepergian ibu, kehidupan keluargaku sungguh dramatis. Apalagi jika melihat bapak. Bapak menjadi tidak karuan. Kalau boleh dibilang, sejak itu bapak menjadi orang super sibuk. Di samping mengajar TPA, membuat sekaligus menjual sepatu dan sandal, bapak masih juga memasak, mencuci, merawat adik, antar-jemput adik ke sekolah, beres-beres rumah, dan masih banyak lagi yang dikerjakan bapakku saat itu. Tapi, sebagai anak perempuan, aku juga kerap membantunya. Ya, sekedar nyapu lantai sih bisa. Sesudahnya aku terus belajar.
Aku tinggal di rumah kontrakan yang cukup sederhana. Bukan sekedar nyapu lantai saja, aku juga mencuci baju, menyetrika, dan sebagainya. Itung-itung meringankan beban bapakku di rumah. Aku juga sedikit-sedikit bisa masak. Aku bisa masak karena belajar dari tetangga sebelahku, namanya budhe Tum. Budhe Tum sudah aku anggap sebagai saudara sejak dulu. Dia kerap membantu aku dan bapakku setiap kali dibutuhkan.
Di tengah problem keluarga yang cukup komplek, bapakku tidak menyurutkan rasa kasih sayangnya kepada aku dan adikku. Bapak sungguh pria yang sabar. Dan yang paling aku kagumi adalah ketakwaannya. Kadang aku sempat terenyuh melihat bapakku saat dia sedang mengerjakan pesanan, ditemani adik yang bermain-main di dekatnya. Bapak kerap meneteskan air mata saat adik bertanya masalah ibu. Apalagi saat adik bercerita tentang ibu teman-teman sebayanya. Tidak hanya itu, permintaan-permintaannya untuk dibelikan mainan bagus juga sempat merepotkan bapak. Bapak kerap pergi sambil menangis saat dijejali pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kadangkala bapak hanya menjawabnya dengan lirih dan berat hati. “Sabar, nak. Allah selalu menyayangi dan mengasihi kita semua. Sabar ya…”
Untuk sedikit meringankan beban hidup keluargaku, budhe Tum sempat menasehati bapakku agar segera menikah. Tapi bapak selalu menolaknya. Bapak takut kalau istri barunya tidak menyanyangi aku dan adik. Barangkali bapak juga masih trauma atas pernikahannya dengan ibu. Ia masih takut akan kegagalan dalam berumah tangga.
Pernah suatu ketika ibuku meneleponku di rumah budhe Tum. Dia bermaksud mengajakku dan adikku, Haris untuk tinggal di rumahnya. Katanya sih, ibu sudah hidup enak. Dia hidup serba kecukupan dalam rumah yang mewah. Ibu saat itu sempat memberiku nomor rumah dan juga nomor telepon.
Ibuku tinggal di Yogyakarta. Lantaran aku tidak berminat dengan tawarannya, aku pun eggan pergi ke rumahnya. Aku tidak berminat tinggal bersama ibuku. Semuanya itu lantaran aku tidak sudi tinggal serumah dengan seorang pelacur. Ya, ibu melacurkan diri sejak dia meninggalkan kami. Bahkan menurut sebagian teman-teman bapak yang kerap tugas ke luar kota, ibu malah mendirikan tempat pelacuran di dalam rumahnya itu.
Aku kerap menangis, saat aku merenungkan realitas kehidupan bapak dan ibu. Aku kasihan dengan bapak yang telah lama ikhlas dan sabar mengurusku sendirian. Jika aku ingat ibu, aku merasa benci banget sama dia. Kadangkala aku ingin mendatanginya dan mencaci-makinya biar dia malu atas kebejatannya. Tapi aku selalu ingat nasehat bapak. “Sabar anakku. Jadi orang itu harus sabar ya!” Mungkin kata-kata itu yang selalu mencegahku untuk berbuat brutal kepada ibuku. Ya, kata-kata itulah yang terus memberkas dalam jiwa dan perasaanku.
Suatu pagi bapak dan adik pergi entah kemana. Pamitnya sih mau membelikan adik mobil-mobilan. Aku sempat melarangnya. Alasanku melarangnya karena beberapa hari ini aku mimpi buruk. Dalam mimpiku ibu datang dengan tawanya yang gak karu-karuan. Saat itu terjadi di depan toko sepatu milik bapakku. Tampaknya ibu menertawakan bapak yang hidup dalam kekurangan. Tapi, bapak tidak memperdulikan himbauanku. Bapak dengan bahagia meninggalkan rumah untuk membelikan mobil-mobilan adikku.
Rasanya baru kali ini aku menemukan senyum kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah bapakku. Bapakku sejak kepergian ibu tidak pernah terlihat sebahagia seperti saat itu. Bapak bahagia karena saat itu dapat membelikan adik mobil-mobilan. Ya, kebahagiaan yang jarang aku temukan pada bapak selepas kepergian ibu.
Pernah sih aku melihat bapak tersenyum. Tapi, ya hanya sekedar senyum-senyum biasa. Dalam senyumnya itu bapak kerap berkata lirih sambil memaknai realitas kehidupan yang dijalaninya. “Aku hanya bisa ibadah dengan ini, lantaran aku tak punya harta yang bisa aku sedekahkan. Ibadahku hanyalah memberi kasih sayang kepada sesamaku. Begitu juga kepadamu dan adikmu, nak. Ingatlah nak, biarpun kita miskin harta tapi sungguh jangan sampai miskin iman.”
Begitulah nasehat yang sering aku dengar dari bibir bapakku untuk aku dan juga adikku.
Suatu peristiwa naas terjadi menimpa bapak dan adikku. Peristiwa naas itu terjadi ketika bapak mengantarkan pesanan sepatu kepada pelanggan sepulangnya dari toko mainan. Biasanya pemesan mengambilnya sendiri ke toko. Entah mengapa saat itu bapak sendiri yang mengantarkannya. Mungkin sudah cukup lama pesanan itu tidak diambil orangnya. Memang, bapakku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang baik hati terhadap sesamanya. Tapi baru setengah perjalanan, bapak dan adik yang saat itu bersepeda kumbang disapa seseorang. Dan bapak menolehnya. Tiba-iba tanpa sadar ada mobil yang dengan kecepatan tinggi memakannya dari depan. “Ya, Allah. Sungguh apa yang kaulakukan pada bapak dan adikku? Kau telah mengambilnya dariku! Sungguh tidak pantaskah kami hidup bahagia? Harus hidup dengan siapakah aku, sementara ibu saja bersikap begitu? Itulah ungkapan keluhku saat mendengar kabar bahwa ayah dan adikku meninggal dunia dalam kecelakaan itu.
Tapi berulangkali aku teringat dengan ucapan bapak yang sempat terngiang-ngiang di telingaku. “Sabar, nak! Jika Allah menciptakan makhluknya, maka sudah pasti Dia selalu menyayangi, menjaga, dan juga memberinya rezeki.”
Setelah tujuh hari dari kematian bapak, budhe Tum mengajakku tinggal bersamanya. Budhe Tum juga menyekolahkanku sampai lulus SMA. Ia merawat dan membiayaiku sekolah dikarenakan sejak dulu dia telah menganggapku sebagai keluarga sendiri. Selain itu, anak-anaknya juga sudah besar dan bekerja. Bahkan ada juga yang telah berkeluarga serta hidup enak.
Dalam kehidupanku yang baru, tiba-tiba ibuku kembali datang padaku. Entah, angin apa yang membawanya hinggap dalam kehidupanku saat itu. Ibu tiba-tiba menelepon aku. Saat itu, aku ceritakan semua kepahitan hidup yang telah terjadi. Setelah kuberitahukan semuanya, ibu menangis dan esok harinya aku langsung dijemputnya dengan mobil mewahnya.
Sebenarnya aku menolak untuk ikut. Tapi ibu memohon-mohon kepada budhe Tum layaknya pengemis jalanan yang meminta sepeser uang kepada seorang majikan. Budhe Tum pun tak bisa berbuat apa-apa lagi lantaran dia tidak punya hak atas diriku. Dia akhirnya merelakan aku pergi bersama ibuku. Walaupun dengan berat hati ia harus melepasku. Dengan berat hati pula aku meninggalkan budhe Tum. Dan aku pun hidup bersama ibuku di rumahnya. Meskipun demikian, budhe Tum masih kerap meneleponku. Dan tidak jarang juga dia menasehatiku.
Sebulan sudah aku berada di rumah ibu. Tapi sekali pun, aku tak boleh keluar rumah. Ibu begitu senang keluar rumah. Dalam kepergiannya itulah ia membelikan segala keperluan yang aku butuhkan. Dan saat dia di rumah, telepon tak henti-hentinya berdering memanggil ibu. Anehnya, saat ibu tak ada, tak ada satu pun telepon untuknya. Aku juga heran. Di rumah itu aku tak pernah melihat satu pun alat kontrasepsi atau sejenisnya, minuman-minuman keras atau barang-barang yang mencurigakan seperti apa yang terlukis dalam benakku selama ini. Dan saat aku tanya kenapa aku tak boleh keluar rumah, dengan tegas ibu menjawab: ia takut kalau aku terpengaruh pergaulan di sekitar yang begitu bebas.
Bullshit!!! Dasar orang-orang semuanya pada brengsek! Ternyata berita yang aku dengar tentang ibuku semuanya cuma fitnah. Mereka bilang ibu pelacur-lah, mendirikan germo-lah, ujung-ujungnya cuma apa?! Nol banget! Aku menyesal sudah mengata-ngatai, mencurigai, bahkan dalam hati pun aku menyumpahinya. “Ibu, maafkan aku!” Rasanya aku tak pantas jika disebut sebagai putrinya. “Ya, Allah. Sungguh ampuni aku yang telah lama mendurhakai ibuku!”
Ibu sempat mencarikan aku jodoh dengan seorang pria tampan, gagah, dan pengusaha besar. Dia berusia kira-kira tiga puluhan tahun. Tapi itu hanya sekedar perasaan dan sepintas penglihatanku saja. Aku pun dengan senang hati menerimanya. Aku percaya seratus persen pada ibu. “Terima kasih, ibu. Terima kasih atas ketulusanmu!”
Suatu malam aku diajak tunanganku kencan. Tapi tiba-tiba hujan menggagalkan rencana kami. Bahkan tunanganku, mas Fadhli, tak dapat pulang. Ia akhirnya terpaksa tidur di sofa di ruangan keluarga dekat kamar ibuku. Sementara aku masih seperti biasa, tidur di kamarku di lantai atas.
Sudah hampir dua bulan aku tinggal bersama ibu. Dan sepertinya aku mulai melupakan kenangan-kenangan bersama bapak, adik, dan budhe Tum. Tapi, aku masih senantiasa mendoakannya. Aku juga tak lupa menelepon budhe Tum. Kadang-kadang ia sendiri yang menelepon aku. Tapi, tiba-tiba saja malam itu aku bermimpi tentang bapak, seperti peristiwa delapan tahun lalu. Ya, waktu itu bapak berkata pada ibu:
“Bu, kalau kamu mau pergi, silahkan! Tapi jangan bawa anak-anak. Karena ibu hanya akan menyakiti mereka.”
Begitulah ujar bapakku kapada ibu waktu itu. Sungguh kata-kata itu kembali menyelinap dalam mimpiku. Kata-kata itu sama persis dan bahkan dalam situasi yang sama. Lantas aku terbangun dengan irama jantung terengah-engah. Melodi pikiran morat-marit. “Ya, Allah. Ternyata cuma mimpi!” sebutku.
Tak tau kenapa, tiba-tiba pikiranku gak enak banget. Pikiranku selalu diburu kecemasan. Padahal aku juga sudah mendoakan bapak sehabis bangun dari mimpiku. Sebentar kupandangi langit-langit kamarku. Dan sesekali kuarahkan kelopak mataku yang masih sayu ke sudut-sudut ruangan. Pun kudapati jam dinding yang tergantung di sisi kiri tempat tidurku. Ternyata waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Akupun keluar kamar dengan maksud mengambil segelas air minum.
Aku berjalan mengendap-endap layaknya seorang maling. Aku takut suara langkah kakiku terdengar dan membangunkan ibu, pembantu, dan juga mas Fadhli. Tapi baru dapat setengah tangga langkahku terhenti.
“Apa yang terjadi di mataku? Ya, Allah. Apa ini?” kataku dalam hati.
Hatiku tersentak dan tercabik-cabik saat melihat kejadian itu. Kudapati ibu dan mas Fadhli berciuman di sofa. Lantas mereka berdua masuk ke kamar ibu.
“Apa yang mereka lakukan, ya Allah?” begitu sebutku.
Ibu memang masih muda. Kira-kira tiga puluh lima sampai tiga puluh delapan tahun. Ia juga suka berdandan. Bahkan jika disandingkan denganku, aku sudah pasti kalah cantik denganya. Maklum, aku jarang sekali berdandan. Boleh dikatakan tidak pernah sama sekali. Tidak hanya itu, mungkin saja karena aku yang selalu diselimuti derita dan airmata serta kesusahan hidup yang membuatku kalah cantik dengannya. Ya, mungkin karena kecantikan ibu melebihi kecantikanku sehingga malam itu mas Fadhil tergoda dengannya. Tapi aku sungguh tak menyangka, kalau ibu tega menyakiti putrinya sendiri.
Kuteruskan saja langkah kakiku yang beriring kehancuran hati yang begitu pilu. Aku berdiri tepat di depan kamar ibu. Kuteteskan pula linangan air mata kesedihan dan juga hati yang terbanting atas peristiwa malam itu. Lirih kudengarkan suara ibu.
“Sayang, sudah lama kita tidak…”
Suara itu kemudian hilang, berganti canda-gurau mereka. Sungguh aku tak tahan lagi. Akhirnya terselip dalam anganku untuk segera membuka pintu kamar itu. Aku benar-benar muak dengan mereka.
“Ups!!! Tidak. Aku mesti mikir ribuan kali untuk membuka pintu kamar itu. Ya, bagaimana jika aku benar-bemar membukanya?! Apa aku tidak malu melihat mereka?”
Saat pikiranku terhempas gelombang tanya seperti itu, tiba-tiba tubuhku lemas. Aku terduduk di bawah pintu. Pikiranku pun kosong. Aku hanya diam terpaku.
Beberapa waktu kemudian, mas Fadhli membuka pintu. Dia langsung duduk sembari memegang kedua pundakku. Dia pun diam sambil menatap kedua mataku yang basah dengan linangan air mata. Entah dia kaget, merasa bersalah, malu?! Atau bahkan dia malah menertawakanku?! Entahlah?!
“Wahai anakku, sabarlah! Ingatlah Tuhanmu! Kembalilah kepada-Nya karena kemarin dan hari ini kau telah lupa.”
Tiba-tiba suara itu terbesit di telingaku. Suara itu berasal dari arah tangga. Ya, aku ingat suara itu. Itu suara bapakku. Akupun menolehkan kepalaku dan kutemukan bapak duduk tersenyum di sana.
Aku tersentak. Aku melepas genggaman tangan mas Fadhli yang merekat erat di pundakku. Aku berlari menghampiri bapak. Tapi baru setengah langkah, bayangan itu hilang. Aku kembali roboh. Sedang ibu dengan sehelai selimut penutup tubuh, datang menghampiriku.
“May, anakku, maafkan ibu! Fadhil memang pelangganku. Dan aku merindukannya. Maafkan ibu, nak!” begitu tutur keluhnya padaku.
“Bu, kalau aku marah pada kalian, berarti aku sama jahatnya dengan kalian. Aku tak mau menjadi pemisah sepasang kekasih. Ibu tidak salah. Hanya saja akulah yang bodoh. Yang terlalu percaya kepada kalian berdua,” lirih ucapku.
Ya, setelah semuanya kupikir-pikir, ternyata aku lupa pada-Nya. Mengapa aku waktu itu langsung bersedia menerimanya? Aku memang bodoh dan lalai akan diri-Mu, ya Allah. Mengapa aku tak beristikharah dulu, sebelum memutuskan segala sesuatu? Ya Allah, ampunilah aku! Ampuni segala kekhilafanku!
Setelah seribu sesal bersemayam dalam diriku, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke budhe Tum. Kurasa dialah satu-satunya orang yang menyayangiku dengan sepenuh hati. Sungguh, kasih sayangnya melebihi kasih sayang ibu kandungku.
Lamongan, 2007
* Penulis adalah Pelajar MA. Matholi’ul Anwar
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 22 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar