Minggu, 30 Oktober 2011

Membaca Katarsis karya “HADI NAPSTER”

Epilog “KATARSIS” Karya Hadi Napster
Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Penciptaan karya sastra puisi,sajak,syair, merupakan hasil dari suatu proses pengamatan dan atau bahkan pengalaman pribadi penulisnya yang selanjutnya memantik simpul-simpul kejiwaan/ pyscologis dan atau menyentuh sisi kerohanian pengkarya cipta (Baca:Penyair) yang disampaikan dalam bentuk lisan dan atau tulis, dengan suatu tujuan memberi kebaharuan piker pada dirinya pribadi selaku pemilik fisik karya, serta pada penghayat/penikmat baca selaku pemilik hak atas makna yang ditangkap dari symbol-symbol bahasa yang tersirat pun tersurat pada tubuh karya secara utuh dalam menyikapi serta memandang hakikat kehidupan di masa depan.

Penulis puisi/sajak (untuk selanjutnya akan saya sebut penyair), ketika menulis sebuah karya atas dasar pengalaman pribadi dan atau pengamatan terhadap kondisi sekelilingnya yang didasari dengan penghayatan yang benar-benar keluar dari bilik hati terdalam, akan melahirkan suatu karya puisi yang bernas (baca: berjiwa) dan mampu menghisap pembaca atau penghayat untuk masuk kedalam ruh makna puisi yang dibacanya, yang selanjutnya akan menarik piker kekinian penghayat dalam memaknai hakikat kehidupan yang memancarkan sinergis positip.

Memang kita tidak pernah tahu apakah puisi yang diciptakan penulisnya hanya merupakan olahan imaji serta hanya berlandaskan teknik kemampuan menyusun bahasa indah sahaja, atau apakah puisi tersebut dicipta berdasarkan perpaduan imaji piker pencipta karya yang dilandasi juga nilai-nilai hirarki kejujuran rasa piker pun ketulusan hati dalam melahir karya tersebut. Tapi biasanya karya puisi yang hanya ditulis berdasarkan imaji dan mengandalkan teknik keindahan bahasa saja, akan kering makna. Dalam pengertian tidak akan meninggalkan kesan yang mendalam pada penikmat baca.

Dan membaca beberapa puisi Hadi Napster yang tergabung dalam kumpulan buku puisi bertajuk “KATARSIS”, saya selaku penghayat langsung dihadapkan pada dunia renung spiritual transcendental, baik secara horizontal (manusia dengan manusia, manusia dengan alam berserta segala elemen penyertanya), maupun secara vertical (hubungan manusia dengan Tuhannya beserta segala misteri yangmenyelingkupinya). Bahkan pada beberapa puisinya, imaji rasa saya berseakan disedot pada suatu pusaran duka yang teramat sangat atas sesuatu hal ketidaksempurnaan kehidupan yang tengah dialaminya, namun pada kondisi tertentu, tiba-tiba imaji rasa saya berseakan ditarik keluar untuk selanjutnya diajak masuk kedalam dunia renung yang maha dalam akan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Dan hal tersebut saya rasakan pada puisinya yang berjudul “Hikayat Malam”, “ Puja”, “Singgasana Remang”, dan “Katarsis”.

Saya tukilkan dua puisi termaksud yang saya katakan di atas:

di atas kertas buram
kucipta dosa menyairmu diam-diam
tiada sendiri pernah dambakan malam padam
selayun bulan bahkan masih cumbui berang dendam
ke mana hilangmu karam?

ah, teruk nian mata kan pejam
sebab pilunya serupa jeram
mengubur hamba ke genggam sekam

namun tetap jiwa semayam
padaNya jua segala paham

(Petikan bait 1,3,4 puisi “Hikayat Malam”)

Pagi masih buta
Sajakku telah bergelut dendang surga
Mencari mantra di antara sembab luka
Tak ada !

Lalu beringsut ke candu zina
Ratapi dusta dan nikmat dunia
Oh, betapa teruk dahaga

Pagi masih buta
Kekasihku mengirim sepatah kata
Rindu membuncah dara
Cinta nyala !

(Puisi lengkap “P U J A”)

Bukan itu saja, bahkan pada beberapa puisinya yang bertemakan tanah air, saya merasakan detak duka (baca:keprihatinan) Hadi Napster pada kondisi kekinian negeri tercinta di mana dia berpijak, dan agar olah rasa pikernya bisa diserap penikmat baca dengan mudah, Hadi Napster menuangkannya dengan bahasa lugas nan membumi namun tetap menjaga estetika bahasa, seperti pada puisinya yang berjudu BALADA WNI, IKHTISAR SUJUD HAMBA, KASIDAH POJOK NURANI.

Dalam meneriakkan kegalauan rasa akan kondisi Negeri tercinta ini, Hadi Napster tidak lantas mengumbar emosi yang meledak-ledak dalam penyampaian kata, seperti yang sering kita temui pada karya-karya puisi dengan tema sejenis yang dituang semodel puisi pamphlet, Namun justru Hadi Napster di sini seakan ingin menunjukan kalau model tuang puisi pamphlet dengan tema tanah air bisa juga disampaikan dengan lembut dan indah dalam balutan rima, yang justru daya hisapan imaji rasa ke penghayat kian bunyi.

BALADA WNI

koarku dari kampung
seantero negeri kian linglung
tabur harap, hampar doa, kepada mendung
gaung proklamasi ranggas diterpa magrur beliung

janin-janin mati bingung !
sebab ibu mulai bosan mengandung

apa kabar, Pancasila?
katanya kau tak sedang baik-baik saja
terpingit tirau reot jambar bangsaku nan kaya
tangis pecah buncah, rakyat gelisah orion entah ke mana

jawab tuan ; besok saja !
malam ini jadwal nonton chaiyya-chaiyya

para suami lesu murung
mengeja kasih Tuhan yang agung
sang istri pasrah membuang diri ke semenanjung
di pengap panti asuhan, anaknya asyik belajar berhitung

sampan karam, patah pula dayung
padahal kami warga tanah pertiwi adiluhung

maladaptasi racuni nusantara
lelah mahasiswa teriak membabi buta
guru-guru honor tercekam wabah insomnia
pupus keadilan terlindas titah parlemen sarat amnesia

jutaan luka duka, tetap satu cinta
benyanyi kita bersama : “hiduplah Indonesia raya…”

Bandung, 14 Mei 2011

IKHTISAR SUJUD HAMBA

Perseteruan pagi
Mimpi-mimpi ambruk menyerta gravitasi
Kian senjang jejal doa dan wangi bangkai
Lantas aleksia rasuki otak-otak eselon negeri
Pertanda adiwangsa mati suri?
O, makhluk bumi
Maulaya, hamba, ahlulkubur, dengki!
Mengapa kalian tidur di ibtida darma duniawi?

Telah habis seloka pujangga
Afwah moyang terkapar ratapi gugurnya kembang akasia
Pancaroba menggila, jangkiti nadi mayapada
Remukkan setiap sembada
Menista akmalNya laksana aedes menguras darah manusia
Sementara roh semakin jauh dari nafas raga
Bergelantung di selayun ladang janji sarat dusta
Harapkan bangsa masih menyimpan sedikit skenario melodrama

Puisi-puisi terlalap api
Sibuk berdiksi tentang cinta, pun ajnas merah birahi
Mujtamak diabai, ikram ahadiatNya terludahi
Sebab kebanyakan akademisi asyik bermain filosofi
Lalu bagaimana akhwan kami?
Adakah mereka sadar pada ketamakan yang terjejali?
Atau kelak tercipta lagi dagelan baru di sini?
Ah, andaikata taibah ahsan sedikit saja menghampiri
Tentulah nurani tak akan terkubur oleh ambisi

Pertikaian senja
Malam-malam lupa rahim ibu seketika
Nisan ayah melarung duka saksikan tawa warnai zina
Pun bilamana jiwa ronta, apalah daya?
Zakiah surga tinggal cerita
Seminau kitab terpanggang bara di alam baka
Sakral apa masih pantas dipuja?

Yogyakarta, 26 Maret 2011

KASIDAH POJOK NURANI

pergilah kepada bara
taburkan abu nyanyi sunyi
bila mendung rintih kekasih
sedikit rindu barangkali

datanglah kepada malam
jadikan gelap rindang terang
jika mimpi pecah pepatah
tangisan negeri bisa jadi

pergilah kepada luka
jadikan darah rampai rangkai
ketika adil berpihak letak
kenanglah ibu sesekali

datanglah kepada nisan
lantunkan doa degup letup
kala cinta mewujud sujud
di hatiNya kita sembunyi

Jakarta, 21 Februari 2011

Mencermati isi dan judul buku “Katarsis”, yang berdasarkan KBBI bermakna setara dengan penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan; cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas; kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan atau pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis, tampak sekali pada karya-karyanya yang terangkum pada buku kumpulan puisi bertajuk “KATARSIS”, Hadi Napster melalui bahasa-bahasa kias ingin menyampaikan pada penikmat baca bahwasannya dalam setiap kehidupan, baik itu kehidupan yang berkaitan dengan hubungan antar kekasih, kehidupan bernegara, dan atau bahkan kehidupan pribadi individu yang tentunya tidak luput dari segala coba duka nestapa, namun tidaklah patut untuk kita terus meratapi ketidak sempurnaan kehidupan ini, karena justru dari adanya ketidak sempurnaan itu banyak hal yang bisa kita perbuat menjadi baik bagi diri secara pribadi maupun bagi sesama secara keseluruhan dari hakikat hidup yang sebenar-benarnya, seperti yang dia tulis pada bait awal puisinya yang judulnya sekaligus dijadikan tajuk kumpulan antologi puisi tunggalnya ini, seperti yang saya petikkan di bawah ini :

ketika padaku fukara bertanya
di mana nila sejuk telaga?
lelehkan sejenak lara

(Bait pertama dari puisi berjudul “KATARSIS”)

Dan sontak bait pertama puisi ini mengingatkan saya pada makna yang terkandung dalam salah satu puisi penyair sufi Jalaluddin Rumi yang bertajuk “HIKMAH KETIDAKSEMPURNAAN ; Jalaluddin Rumi : Ajaran Dan Pengalaman Sufi, Reynold A. Nicholson, Penerbit Pustaka Firdaus,1993”

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Dan bukan tidak ada alasan bila saya sertakan diawal tulisan ini satu bait karya penyair sufi Jalaluddin Rumi, tersebab Semakin saya masuk ke dalam alam kontemplatif karya puisi Hadi Napster yang tergabung dalam “ Katarsis, saya selaku penikmat baca tanpa sadar dihisap dalam dunia renung yang begitu hening, dan dalam keheningan imaji rasa saya tersebut, saya berseakan bersentuhan dengan denyut kegelisahan penyair akan sesuatu hal yang dirasa menjadi beban berat untuk ianya (baca: aku lirik) dalam menangung ketidak sempurnaan yang ada pada diri aku lirik tersebut, dan tiba-tiba pada keadaan lain kesadaran aku lirik seakan membetot imaji rasa saya selaku penikmat baca masuk kedalam suatu pusaran yang begitu cepat dan membentuk suatu lorong yang kian mengerucut ke dalam dunia renung akan hakikat kebesaran Tuhan dan kita sebagai umatNya sudah semestinya tabah serta tawakal menjalani lelaku hidup seperti yang telah digariskan.

Dalam keadaan yang serba gelisah akan apa yang tengah dihadapinya sebagai cobaan Allah SWT, Hadi Napster yang tiga tahun lalu telah divonis dokter mengidap penyakit kangker otak (saya mewartakan penyakit yang diindap penulis ini bukan bermaksud untuk mengharubirukan keadaan yang bersangkutan, namun semata saya menuliskan hal tersebut di sini, dengan suatu harapan bisa dipetik nilai-nilai semangat penulis yang tidak menyerah oleh keadaan atas kesehatannya selama ini untuk berkarya cipta, sekaligus untuk pencarian jalan kebenaran menuju kedekatan cinta pada Allah SWT).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Teeuw : “Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” , melalui gurat karyanya ini Hadi Napster ingin berbagi untuk jiwanya yang letih dan juga bagi pembaca yang mungkin menghadapi cobaan yang sama seperti halnya dirinya, agar tetap tabah serta tawakal, tetap yakin bahwa ketidak sempurnaan yang ada pada diri tidak menutup jalan menuju kebaikan bagi sesama dan juga kebaikan hakiki di jalan Tuhan.

Salam lifespirit!
Imron Tohari _ lifespirit, 17 Juni 2011
Dijumput dari: http://sajakbebas.blogspot.com/2011/08/epilog-katarsis-karya-hadi-napster.html

Rabu, 26 Oktober 2011

Temu Sastra Indonesia 2011 Digelar di Ternate

http://www.umm.ac.id/

Temu Sastrawan Indonesia IV Tahun 2011 akan digelar di Ternate, tanggal 25 – 29 Oktober 2011. Tidak kurang dari 200 sastrawan dari berbagai provinsi di Indonesia akan bertemu untuk bermusyawarah, mengikuti seminar nasional, pesta sastra dan peluncuruan beberapa karya sastrawan.

TSI akan diiukti oleh para sastrawan beken Indonesia serta beberapa sastrawan yang lolos seleksi atas karya yang sudah dikirim ke Dewan Kurator Sastra Indonesia. Sidang Dewan Kurator Temu Sastra IV yang digelar selama dua hari di Jakarta (10-11/9) telah selesai menentukan, memilih dan memastikan karya-karya yang masuk ke dalam bunga rampai esei, cerpen dan puisi yang terpilih dalam event Temu Sastra Indonesia IV yang akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara tanggal 25-29 Oktober 2011 mendatang.

"Panitia akan melayangkan undangan resmi kepada semua peserta, baik peserta yang terpilih maupun karya yang lolos seleksi dewan kurator mulai Senin (12/9)," kata Ketua Pelaksana Temu Sastra Indonesia IV, Sofyan Daud di Jakarta, Minggu.

Walikota Ternate Burhan Abdurrahman dalam keterangan persnya mengatakan, pemerintah daerah Maluku Utara mendukung sepenuhnya pelaksanaan Temu Sastra Indonesia IV.

"Tentunya pemerintah daerah mendukung dilaksanakannya Temu Sastra Indonesia IV karena sangat berguna dan menaikkan serta membudayakan nilai-nilai seni," kata Burhan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Sultan Ternate Mudaffar Sjah, masyarakat Ternate pasti akan mendukung Temu Sastra Indonesia IV tersebut.

Untuk menentukan karya-karya yang akan ditampilkan dalam acara Temu Sastra Indonesia IV dilakukan seleksi yang ketat.

"Para penyair dan karyanya, misalnya puisi, banyak nama-nama baru yang menjanjikan bagi perkembangan puisi Indonesia. Karya penyairpun variatif dan memperlihatkan kekuatan dalam puisi yang mereka kirimkan," kata salah seorang kurator puisi Joko Pinurbo.

Sementara kurator bidang cerpen, Linda Christanty mengatakan, cerpen-cerpen yang diseleksi memperlihatkan kreativitas dan memperlihatkan kekuatan dalam puisi tersebut,

Secara keseluruhan, dewan kurator terbagi atas tiga genre, yaitu untuk genre esai yang dikuratori oleh Nukila Amal, Zen Hae dan Jamal D Rahman.

Untuk genre cerpen ditugasi kepada Rumahitam, Triyanto Triwikoromo, Sihar Ramses Simatupang dan Linda Christanty. Sedangkan untuk puisi, kuratornya adalah Isbedy Setiawan, D Kemalawati, Joko Pinurbo dan Rudi Fofid.

"Naskah yang masuk ke panitia Temu Sastra Indonesia IV ini 248 cerpen, 495 puisi. Sedangkan esai yang dipilih dari karya narasumber yang diundang Temu Sastra Indonesia IV," kata Sofyan.(zul)

Daftar Sastrawan yang Lolos Seleksi

1. Abdul Salam HS Banten
2. Ahmad Faqih Mahfuz Yogyakarta
3. Adin Jawa Tengah
4. Adri Sandara Sumatera Barat
5. AF Kurniawan Jawa Tengah
6. A. Faruqi Munif Jawa Timur
7. Ahmad Davis K Jambi
8. Ahmad Syahid Jawa Barat
9. Alek Subairi Jawa Timur
10. Alex R Nainggolan Jakarta
11. Arizal Tanjung Sumatera Barat
12. Alya Salasha Sinta Bekasi
13. Amin Basiri Jawa Timur
14. Arther Panther Oli Sulawesi Utara
15. Bambang Widiatmo Jakarta
16. Boedi Ismanto SA Yogyakarya
17. Damiri Mahmud Sumatera Utara
18. Dedi Supendra Sumatera Barat
19. Dedi Triadi Malang
20. Dian Hartati Jawa Barat
21. Dino Umahuk Ternate
22. Doddy Kristanto Jawa Timur
23. Doel CP Alisah Aceh
24. Dwi Setyo Wibowo Jawa Tengah
25. Edi Firmansyah Jawa Timur
26. Effendi Danata NTB
27. Esha Tegar Putra Sumatera Barat
28. Fajar Martha Riau
29. Fatkurrahman Jawa Barat
30. Fatih Kudus Jailani NTB
31. Febrie Hastanto Jawa Tengah
32. Frans Ekodhanto Jakarta
33. Galah Denawa Jawa Barat
34. Hanna Fransiska Jakarta
35. Herdoni Syafrians Sumatera Selatan
36. Herman RN Aceh
37. Herton Maridi Jawa Barat
38. Husen Arifin Jawa Timur
39. Husnu Abadi Riau
40. Idrus F Shahab Jakarta
41. Idris Siregar Sumatera Utara
42. I Putu Gede Pradipta Bali
43. Ishack Sonlay NTT
44. Jun Nizami Jawa Barat
45. KIKI Sulistyo NTB
46. Lailatul Kiptiyah Jakarta
47. Lina Kelana Jawa Timur
48. Mahmud Jauhari Ali Kalimantan Timur
49. Mahendra Jawa Timur
50. Maulana Satrya Sumatera Utara
51. Mohammad Ibrahim Ilyas Sumatera Barat
52. Muhammad Ridwan Jawa Timur
53. Mario F lawi NTT
54. Matdon Jawa Barat
55. Nanang Suryadi Jawa Timur
56. Nurhayat Arief Sumatera Selatan
57. Pungkit Wijaya Jawa Barat
58. Qizink La Aziva Banten
59. Restu Putra Jawa Barat
60. Rozi Kembara Jakarta
61. Rudi Ramdani Jawa Barat
62. Salman Yoga S Aceh
63. Shohifur Ridho Ilahi Yogyakarya
64. Sindu Putra NTB
65. Sulaiman Juned Sumatera Barat
66. Sulaiman Tripa Aceh
67. Sutan Iwan Sukri Munaf Bekasi
68. Setio Bardono Depok
69. Syaifuddin Gani Sulawesi Tenggara
70. Syaiful Rahman Jawa Timur
71. Sekar Arum -
72. Teja Purnama Sumatera Utara
73. Tulus Wijanarko Jakarta
74. Tina Aprida Marpaung Sumatera Utara
75. Toni Lesmana Jawa Barat
76. Tjahjono Widianto Jawa Timur
77. Umar Fauzi Ballah Jawa Timur
78. Wahyu Prastianto Jakarta
79. Vidy AD Daery Jawa Timur
80. Yan Zavin Auddjand -
81. Yori Komara Sumatera Barat

Data ini dikopi dari Kompasiana yang mengambil dari Grup TSI IV:
http://www.facebook.com/groups/ternate2011/?id=238218532891310&ref=notif¬if_t=group_activity
http://www.umm.ac.id/id/seni-dan-budaya/30-sastra/umm-41-temu-sastra-indonesia-2011-digelar-di-ternate.html

124 Sastrawan Siap Mengikuti TSI 4 Ternate

Herdoni Syafriansyah
Sriwijaya Post,6 Oktober 2011

SEBANYAK 124 sastrawan siap mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 4 di Ternate, 25-29 Oktober 2011. Untuk cerpenis yang lolos sejumlah 11 orang, sementara penyair 81 orang.

“Ke 92 sastrawan tersebut, lolos seleksi karya oleh Dewan Kurator yang bersidang di Jakarta, 10-11 September 2011,” jelas Dino Umahuk, sekretaris panitia TSI 4 mewakili Ketua Pelaksana, Sofyan Daud.

Ditambahkan Dino, TSI 4 akan diikuti 124 sastrawan (cerpenis-penyair), sebab 32 sastrawan yang khusus telah dipilih oleh Dewan Kurator untuk difasilitasi transportasi dari tempat asal ke Ternate pergi-pulang.

“Jumlah sastrawan itu diluar narasumber, moderator, fasilitator workshop, dan penampil pada malam pembukaan dan penutupan,” kata Dino.

Keputusan tersebut, hasil sidang Dewan Kurator Temu Sastra Indonesia (TSI) IV yang digelar selama dua hari di Jakarta, Minggu (10-11/9). Karya-karya sastra yang terpilih itu akan dibukukan dalam antologi sastra TSI 4.

Salah satu dewan kurator, Zen Hae mengatakan, temu sastra ini akan mengumpulkan seluruh sastrawan se-Indonesia. Tujuan utamanya tak lain, untuk menggairahkan kembali sastra di negeri ini. Apalagi kata dia, peserta TSI-4 kali ini cukup banyak terdiri dari kalangan muda sehingga harus didukung oleh semua elemen bangsa termasuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

"Tidak mungkin hanya kalangan sastrawan menanggung beban untuk memajukan sastra itu sendiri, tapi perlu dukungan berbagai pihak untuk mengembangkannya," ujar Zen di Jakarta, Minggu (11/9). Hadir pula dalam pertemuan ini Walikota Ternate, Burhan Abdurrahman.

Zen juga mengatakan, sangat menggembirakan bila pemerintah turut aktif bagi pertumbuhan sastra, bukan hanya di Jakarta tapi di seluruh indonesia.

"Tujuan utamanya supaya tidak ketinggalan dengan negara lain dalam hal budaya dan sastra. Padahal kita banyak memiliki sastrawan yang bahkan namanya sudah meng-internasional. Jadi potensi kemajuan sastra negeri ini sangat besar. Hanya masih kurang diperhatikan," tambahnya.

Untuk peserta asal Sumatera Selatan, diwakili oleh empat orang sastrawan yang masuk dalam jajaran sastrawan muda Indonesia. Mereka adalah Eko Putra (Penyair, Sekayu Musi Banyuasin), Benny Arnas (Cerpenis, Lubuklinggau), Herdoni Syafriansyah (Penyair, Sekayu Musi Banyuasin), dan Nurhayat Arief Permana (Penyair, Palembang).

Sedangkan Pringadi Abdi Surya, penulis asal Banyuasin Sumatera Selatan yang biasa dikenal sebagai penyair, mewakili Nusa Tenggara Barat untuk kategori Cerpen.

Walikota Ternate Burhan Abdurrahman mengatakan, Pemerintah Daerah mendukung sepenuhnya TSI IV yang siap digelar. Sultan Ternate, Mudaffar Sjah pun mengatakan, masyarakat kota Ternate akan mendukung kesuksesan kegiatan ini.

Rencananya, para sastrawan dan budayawan yang diundang untuk mengisi Malam Pembukaan TSI IV ini antara lain Happy Salma, D Zawawi Imron, Joni Ariadinata dan Agus Nuramal. Malam pembukaan juga akan dimeriahkan oleh penyanyi Glen Fredly.

Dijumput dari: http://palembang.tribunnews.com/2011/10/06/124-sastrawan-siap-mengikuti-tsi-4-ternate

Minggu, 23 Oktober 2011

Negara Tanpa Bangsa

Fadly Rahman[1]
http://www.kompasiana.com/detikhidup

Bangsa. Kata ini bagi negara sebesar dan semajemuk Indonesia sungguh merupa beban berat jika mengingat kembali pada masa awal kebangsaan itu dicita dan diciptakan.

Dibilang berat, sebab jika kembali merefleksi ikhtiar para penggagas kebangsaan –sebagaimana tiap tahun diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, kini sering dipertanyakan: sudah terawatkah benar keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa?

Indonesia sendiri pada mulanya dibangun oleh pemikiran-pemikiran yang berandil memupus kolonialisme. Namun, tidak demikian dengan feodalisme dan fanatisme (kesukuan, agama, dan kelompok) sebagai mental kolektif yang mendarah daging dan kapan saja bisa mengancam integrasi kebangsaan.

Sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20 tatkala kolonialisme berintim dengan budaya politik feodal, menggejalalah penindasan terhadap rakyat. Baron van Hoevell (1847) dan Douwes Dekker (1856) mewartakan betapa penindasan kolonialisme yang berkawin dengan feodalisme penguasa pribumi begitu menderitakan rakyat. Dalam kesaksian Dekker yang dikisahkan dalam Max Havelaar, terpapar tindakan pemerasan, korupsi, dan penindasan kemanusiaan terhadap rakyat oleh bupati Lebak sebagai agen pemerintah kolonial Belanda. Melalui karya Dekker yang mengguncang pemerintah jajahan, pada awal abad ke-20 mata hati dan pikiran para tokoh pergerakan bumiputra terbukakan. Mereka menjadikan cerita dari Lebak itu sebagai salah satu bukti untuk membersihkan borok-borok kolonialisme dan feodalisme yang menindas nilai-nilai kemanusiaan di tanah airnya. Untuk bisa merdeka, dicita-citakanlah sebuah: bangsa.

Baik yang berhaluan liberal, islam, maupun komunis tergelayuti berbagai pemikiran yang sama berjaras pada asas kebangsaan. Dari ruang-ruang pendidikan dan bacaanlah mereka menyerap, lalu dijajaki secara nyata dalam gerakan kebangsaan. Meski pada awal abad ke-20 tidak semua tokoh pergerakan bumiputra mengenyam pendidikan tinggi, namun, dari segelintir kaum cendekia mengalir semangat baru yang menjadi tatanan membangun Indonesia. Semangat itu adalah asa berintegrasi. Namun harapan persatuan saat itu pun masih dibayang-bayangi oleh ancaman disintegrasi akibat masih jumudnya pemaknaan atas kemajemukan antaretnis dan golongan, sebagaimana hal itu tampak dari ragam paguyuban kesukuan yang tumbuh subur pada awal abad ke-20.

Berkaca pada realitas tersebut, sungguh, bangsa adalah sebuah proses yang belum menjadi dan harus selalu diikhtiarkan keutuhannya. Ikhtiar itu misalnya terbuktikan pada sumpah para pemuda (1928) yang menyatukan utuh: nusa, bangsa, dan bahasa. Tiga unsur ini sebenarnya genial sebagai fundamen membangun kebangsaan, terlebih untuk ukuran Indonesia yang pluralistik. Gagasan yang sebenarnya sudah dirintis tiga tahun sebelumnya dalam manifesto para pelajar di Belanda, di antaranya oleh pemuda Hatta, Achmad Soebardjo, Nazir Pamoentjak, dan Soekiman Wirjosandjojo. Manifesto 1925 itulah yang –seperti dikatakan Sartono Kartodirdjo– memantik ketiga unsur (tanah air, bangsa, dan bahasa) sebagaimana kemudian diikrarkan pada 1928 itu. Ketiga unsur yang diikrarkan itu pun ditubuhkan sebagai konsepsi: berbangsa Indonesia.

Tapi, mestilah disadari, bahwa di balik riuhnya gagasan nasionalisme, identitas etnik sudah lebih dahulu ditubuhkan melalui rekayasa pengetahuan para etnolog kolonial sebagaimana terbaca dalam De Volken van Nederlandsch IndiĆ« (1920) karya etnograf J.C. van Eerde. Dalam dua jilid buku monografi van Eerde yang mendeskripsikan segala etnik di Nusantara itu terbaca bagaimana pencitraan dibangun lalu ditubuhkan dalam identitas etnik-etnik di Nusantara. Dan hal itu tidak disadari –hingga kini– berandil memecah belah hasrat integrasi. Pada awal abad ke-20 tanda-tanda itu sudah menggejala dengan bermunculannya paguyuban etnik semisal Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Menado, dan Ambon. Cukuplah bukti apa yang oleh Anthony D. Smith dalam The Ethnic Origins of Nations (1986) dikatakan bahwa beberapa konsep bangsa modern (modern nations) bersumberkan pada nilai-nilai etnisitas. Lacakan Smith membuktikan bahwa ethnic core mengisi raga beberapa konsep berbangsa di belahan dunia, sebagaimana bukti itu didapati benar dalam bingkai nasionalisme Indonesia.

Apa yang dikatakan Smith mengiang-ngiangi realitas kebangsaan Indonesia yang tetap penuh dipejali spirit etno-nasionalisme yang tidak mudah menjinak, malah berpotensi makin meliar dan meliat menjadi seteru. Malah, kefanatikkan disertai kekerasan bukan semata hanya dalam ranah etnik, namun menjalar pula dalam kehidupan partai politik hingga beragama; sebagaimana bukti itu saat-saat ini acapkali kita saksikan. Betapa merumitnya masalah kebangsaan kita.

Maka nyata, kebangsaan adalah unsur-unsur yang saling menjejalin, tidak tunggal. Tugas terberatnya: menjalinnya menjadi satu kesatuan. Pada masa awal kebangkitan nasional (1900 – 1942) tersiratkan bahwa kesatuan itu sejatinya bermodalkan pada nilai-nilai kecendekiaan para tokoh pergerakan yang menginsyafi: bagaimana memahami arti sebuah bangsa dan hidup berbangsa? Soal ini, Sutan Takdir Alisjahbana dalam Kongres Pendidikan di Solo tahun 1930-an dengan bersungut-sungut, berkata: “berilah kami intelek sebanyak-banyaknya.” Takdir benar. Sebab, dari kecendekiaan sosok Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, dan Natsir-lah, Indonesia kita dipikirkan sebagai sebuah bangsa.

Betapa rakyat bahagia bila para pengurus Indonesia dalam seabad lebih Kebangkitan Nasional ini memikirkan perjalanan bangsa sebagaimana tercermin dari pribadi founding fathers yang sederhana, jujur, berhati-nurani, dan mau mendengar suara rakyat. Bukan justru membiarkan negara ini hidup tanpa bangsa.

[1] Sejarawan Universitas Padjadjaran
Biografi Singkat Fadly Rahman: Penikmat buku. Kadang menulis di Kompas dan Republika. Juga peminat sejarah makanan. Pernah menjadi kontributor The Oxford Companion to Southeast Asian Food. Buku hasil riset saya mengenai sejarah rijsttafel telah diterbitkan Gramedia (Juli 2011)

Dijumput dari: http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/21/negara-tanpa-bangsa/

Cinta Untuk Clodia

Karya penyair Romawi abad 54 SM, Catullus (teks miring)
Penerjemah, pengantar, dan penutup, oleh Fajar Alayubi
***

Pada akhirnya aku harus menjadi seekor burung pipit daripada hanya meniru seekor kolibri.
Pagi ini aku menuju ke tengah ladang keramaian dimana gemeresik bulir padi menguning adalah lagu bagi sang gembala yang menawan ternaknya. Aku sisir angin pagi ini dengan sayap kecilku dari ranting ke ranting lemah yang menghaturkan salam dimana nafas-seruling gembala jadi satu. Aku juga bertengger di bahu orang-orangan sawah untuk membisikan dan bertanya bagaimana ia bisa menyatu dengan ladang yang subur dan menggeretak para penjarah dengan cara diam. O lihat! betapa sahaja dan lugunya sekuntum lily jingga merambat di kakinya dan bernaung dalam bayangnya hingga pencar terang bulan! membuatku terjebak dan tenggelam ke dalam Nirwana sampai diriku begitu sulit untuk bernapas —seperti syal jerami yang tergantung pada tangkainya.
Aku menemukan sebuah cerita yang terkubur, seperti nisan yang tak banyak orang tahu:

Cinta Untuk Clodia
Karya: Catullus

Pipit, burung peliharaan wanitaku,
yang sering ia mengajaknya bermain sementara ia memegangmu di pangkuannya,
atau memberikan ujung jarinya untuk mematuk dan
kapan pun dia, wanita yang bersinar terang cintaku,
memiliki pikiran untuk bermain-main dengan manisnya,
dengan harapan—seperti kurasa
—bahwa ketika cinta mereda, kecerdasannya menjadi lebih tajam,
ia mungkin saja menemukan beberapa bantuan kecil dari rasa sakitnya -
ah, mungkin saya sedang bermain denganmu sebagai dia,
dan meringankan kesuraman hatiku!
Ini merupakan penyambutan bagiku —seperti yang mereka katakan
kepada gadis tangkas yang menggenggam apel emas,
yang ikat korsetnya terlalu lama terlepas.

Berkabung; kau dan rahmat cinta,
dan bagimu yang dirahmati cinta.
wanitaku adalah pipit yang sudah mati,
ia adalah burung peliharaanku,
yang cintainya lebih dari matanya;
yang madu-manisnya, yang tahu gundiknya
seperti seorang gadis tahu ibunya sendiri.
dia akan mencampur dari pangkuannya,
tapi sekarang harapan ada di sini,
masih ada kicauan untuk majikan yang sendirian.
Sekarang dia pergi sepanjang jalan gelap,
mereka katakan yang ke sana tidak ada yang kembali.
Tapi kutukan kepadamu, mengutuk nuansa
dari Orcus, yang memakan segala sesuatu yang cantik!
Pipit cantikku, kau telah pergi mengambil dia.
Ah, kejam! Ah, burung kecil yang malang!
Semua karena matamu, Sayang
—wanitaku yang menangis tersedu.

Marilah kita hidup, duhai Lesbia-ku dan cinta,
dan nilai yang ada pada sekeping uang
tentang semua pembicaraan orang tua yang pemarah.
Mentari dapat tenggelam dan bangkit kembali.
Bagi kita, ketika cahaya singkat telah ditetapkan,
yang harus tertidur—tidurnya satu malam utuh.
Berilah aku seribu ciuman, kemudian beratus-ratus,
Lalu seribu lagi, lalu ratusan lagi,
yang sebelum seribu, sebelum seratus.
Kemudian, ketika kita telah membuat banyak ribuan,
kita akan bingung perhitungan kita, atau kita mungkin tidak tahu perhitungan,
tidak juga orang jahat membusukannya dengan matanya yang jahat,
ketika ia tahu bahwa ciuman kita banyak sekali.

Kapal pesiar yang kau lihat, temanku,
katakan dia pernah mencoba melarikan diri dari kapal,
dan bahwa tidak pernah ada kayu mengapung dengan cepatnya
dia tidak bisa berhasil, apakah dirinya akan terbang
dengan dayung-pisau atau dengan kanvas.
Dan ini (katanya) pantai yang menggertak Laut Adriatik
tidak menyangkal, tidak juga pulau-pulau Santorini
dan Rhodes yang terkenal dan Thracian yang liar
Propontis, bukan juga jurang yang suram dari Pontus,
dimana dia, yang dulunya kapal pesiar
hutan berdaun: untuk ketinggian Cytorus
dia sering berbicara dengan daun berdesir.

Pontic Amastris dan Cytorus green dengan kotaknya,
gali-ku berkata bahwa semua ini dan yang terkenal atasmu;
dia mengatakan bahwa dari awal lahir waktu itu
dia berdiri di puncak-Mu,
di perairan-Mu yang pertama dicelupkan pisaunya,
dan sesudah itu lebih dari lautan penuh kekerasan yang begitu banyak orang
dibawa majikannya, tak peduli angin dari kiri atau kanan
yang terundang, atau Musytari turun menuju bagian belakang
pada kedua lembar sekaligus;
dan bahwa tidak ada sumpah kepada dewa-dewa pantai
yang dibuat olehnya sepanjang waktu dia berlayar dari laut terjauh
bahkan untuk danau yang jernih ini.
Tetapi hal ini telah berlalu dan hilang, sekarang ia beristirahat
di usia tua dan kelak undurkan diri, dan mendedikasikan dirinya atasmu,
Castor kembar, dan kepadamu, Castor saudara kembar.

Kau bertanya berapa banyak ciumanmu,
Lesbia, segalanya bagiku dan lebih dari cukup.
Sebanyak pepasir Libya
yang merebah di atas bantalan silphium Kirene,
antara peramal sensual Musytari
dan makam suci Battus tua;
atau sebanyak bintang-bintang, ketika malam tidak bicara,
yang melihat cinta curian seorang pria,
untuk menciummu dengan begitu banyak ciuman
yang cukup dan lebih dari cukup bagi Catullus-mu;
ciuman, yang bukan dari mata penasaran sanggup untuk menghitung
juga bukan dari lidah jahat penyihir.

“Buluh-buluh kerinduanku, kali ini kuterbangkanmu ke angin, biar yang menambat hatiku mengenal utuh sayapku —telah terbang jauh ke segala penjuru waktu: sepi dan ramai.”

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150285773839558

Jumat, 21 Oktober 2011

Bahasa, Penyair, dan Kreativitas

Rida K Liamsi
Riau Pos, 26 Des 2010

BAHASA adalah rumah, tanah air para penyair. Di sinilah dia lahir dan dibesarkan. Di sinilah dia tumbuh dan berkembang. Dari sinilah kemudian dia mengembara untuk memberi makna kehidupannya, sebelum pada akhirnya pulang kembali ke rumah keabadiannya. Bahasa adalah jati diri penyair. Karenanya, penyair yang kehilangan bahasanya, akan kehilangan segalanya. Kehilangan jati diri. “Yang tak berumah takkan menegakkan tiang,” begitu kata salah satu bait puisi penyair Rainer Maria Rielke “Di Batu Penghabisan ke Huesca” yang diterjemahkan Goenawan Mohammad, salah satu penyair besar Indonesia.

Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya, dan mempertahankan bahasanya. Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya. Apalagi, sekarang ini pada kenyataannya, bahasa adalah salah satu benteng terakhir nasionalisme yang masih bisa bertahan di tengah gempuran globalisasi dan kemajuan tekhnologi informasi. Fungsi, peran, dan posisi bahasa yang demikian ini, sejak dahulu sudah dilakukan oleh bahasa Melayu, baik sebagai bahasa ibu, maupun sebagai bahasa yang menjadi teras bahasa nasional Indonesia. Dan tetap kukuh sampai saat ini, sebagaimana kukuhnya jati diri para penyair Melayu.

Ibarat samudera, bahasa juga adalah sumber kreativitas para penyair, tak terkecuali bahasa Melayu. Di sinilah, di keluasan, di kedalaman, di kebiruan, di gelombang, di karang, di ribut, di badainya samudera bahasa itulah, para penyair mengekplorasi segala sumber misteri dan inspirasi yang terkandung di dalamnya, menjadi karya-karya, yang hakekatnya adalah untuk mengangkat dan mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan. Karya-karya inilah yang kelak menjadi kontribusi para penyair terhadap pembentukan kebudayaan bangsa dan tanah airnya. Karya-karya yang ujud dalam bentuk puisi, novel, roman, teater, dan karya budaya lainnya, yang hanya bisa lahir karena adanya bahasa dan seluruh inspirasi yang disediakannya.

Eksistensi seorang penyair, sastrawan, budayawan, adalah karena karyanya. Dan karya-karya itu hanya lahir dari proses kreativitas, dan kreativitas itu hanya bisa tumbuh dan berkembang, jika ada media ekspresinya yang hidup dan menggairahkannya, dan itu adalah bahasa. Dan kita belajar menulis puisi, belajar membangun kreativitas, sejak degub kehidupan manusia ini bermula. “Kun Fayakun” itulah kata pertama. Itulah puisi pertama. Itulah imaji pertama yang mengaliri darah dan napas para penyair. Dan karena itu pulalah, bahasa Melayu sebagaimana ujudnya, dan kesadaran awalnya, adalah bahasa yang sangat kreatif, imajinatif, dan menggairahkan.

Bahasa yang baik bagi penyair, adalah bahasa yang memberi kebebasan kepadanya untuk mengembangkan dan mengolahnya menjadi media komunikasi yang mudah, lancar, dan bermakna dalam karya-karyanya. Kondisi yang demikian diperlukan penyair untuk meghasilkan karya-karya yang kuat, termasuk karya sastra. Karya-karya yang besar hanya lahir dari bahasa yang merdeka, yang bebas, yang lentur, yang tidak terkurung dan terperangkap dalam berbagai aturan dan tata bahasa yang kaku dan beku.

Dalam hal ini, bahasa Melayu, adalah salah bahasa yang sangat apresiatif. Bukan hanya memiliki kemerdekaan dalam bentuk dan struktur bahasanya, juga memiliki keindahan dalam diksi, intonasi, dan ritmenya sehingga menjadi bahasa yang sangat puitis. Lihatlah syair-syair salah satu bentuk karya sastra Melayu. Atau gurindam seloka, dll. Membacanya, seakan kita bernyanyi. Berdendang. Karena itu, ada yang menyamakan keindahan bahasa Melayu itu dengan keindahan bahasa Spanyol.

Bahasa yang merdeka, yang bebas, adalah bahasa yang selalu memberi inspirasi, yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, yang terus mengajaknya untuk terus menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk proses kreativitas menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi , karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. Menulis puisi itu adalah menulis metafor, menuangkan imajinasi. Dengan sepatah kata, serangkai hanya satu kata saja, penyair sudah bisa menghasilkan sebuah puisi yang penuh makna. Lihat puisi alit Sutarji yang berjudul “Luka”, atau sajak Chairil Anwar “Ibu”, dan beberapa sajak Sitor Situmorang, seperti “Malam Lebaran”, atau yang sangat terkenal puisi “Bunga di Atas Batu”: Bunga di atas batu, dibakar sepi… Karena itu, di Indonesia misalnya, karya-karya besar dan kuat, banyak lahir dari para penyair atau sastrawan yang berlatar belakang dan bertutur dalam bahasa Melayu, karena pengaruh dan keunggulan bahasa Melayu yang sangat imajinatif itu. Bahkan ada yang mengatakan, semua orang di Riau ini, bisa jadi penyair, karena memiliki bahasa Melayu, salah satu bahasa yang mempunyai semua aspek puitical terbaik sebagai bahasa puisi. Bandingkan dengan bahasa Inggris misalnya, yang aspek puitica-nya sangat sulit didapat, meski ditulis dalam bahasa ibu mereka.

Puisi-puisi Indonesia muthahir, punya kecendrungan kembali ke bahasa ibu, kebahasa asal, kekuatan lokal, ke pengucapan purba. Puisi-puisi mantra Sutarji, atau puisi-puisi historisnya Taufik Ikram Jamil, atau puisi-puisi rasnya Fakhrunnas MA Jabbar, atau puisi-puisi tradisi pada beberapa penyair Riau lain seperti Marhalim Zaini, untuk menunjukkan beberapa contoh, meski penamaan genrenya belum tentu tepat. Meskipun puisi-puisinya ditulis dalam bahasa Indonesia, tetapi di dalam puisi-puisi itu dapat dirasakan gaya pengucapan yang menampilkan semangat dan tradisi tuturan lokal,jejak awal sejarah dan budaya ibunya.

Muncul sejumlah kata-kata lokal, bahkan yang sudah termasuk kata-kata arkhais. Bentuk-bentuk pengucapan, terutama puisi, makin banyak yang kembali ke struktur syair, gurindam, dan berbagai bentuk lain. Puisi-puisi ini, akan semakin tampak kelokalan, keasalannya, bila sudah dibacakan. Dan pada kenyataannya, meskipun dominasi bahasa ibu, gaya penuturan lokal, karya-karya itu tetap komunikatif, bisa dirasakan, dapat dipahami, karena pada hakekatnya bahasa itu, bagaimanapun bedanya, rohnya adalah pada kesamaan rasa, yang dapat dibangkitkan dalam bentuk simbol-simbol, dalam isyarat-isyarat. Lihatlah bagaimana bahasa prokem itu masuk dan mengaduk-aduk karya sastra, termasuk puisi-puisi dan novel, terutama bahasa Betawi dan bahasa gaul. Juga bahasa Facebook, bahasa Twitter, dan yang sangat fenomenal adalah bahasa Blackberry, yang mampu membangun komunikasi secara luas, hanya dengan simbol-simbol (smiley), yang betapapun asing dan aneh, tetapi seakan dapat berbaur dan berkomunikasi dengan komunitas mereka yang berbeda.

Bahasa juga adalah bagian dari kesejarahan. Dalam pemahaman harfiah, bahasa memang berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi. Di mulai dengan simbol-simbol, lalu kata, lalu kalimat, dan seterusnya. Kini, bahasa komunikasi, kembali ke simbol-simbol, meskipun lebih universal. Bahasa Melayu sebagai bahasa yang merdeka, kreatif, imajinatif, dan sugestif, ada di dalam proses moderenisasi dan simplikasi komunikasi manusia dalam berbahasa, ikut membangun simbol-simbol universal itu. Karena itu, “takkan Melayu hilang di dunia”, sepanjang mereka masih memiliki bahasa, sepanjang masih memiliki simbol-simbol yang universal. Masih ada 300 juta orang Melayu di dunia. Maka tegakkanlah Melayu di atas pancang bahasanya. Sebab kalau orang Melayu sudah kehilangan bahasanya, maka mereka kehilangan segala-galanya. Jangan sampai yang tinggal hanya “u” saja. Seperti puisi ini:

U
Melayu
Hhhuuuuuuu
________________
Rida K Liamsi, sastrawan. Menulis sajak, novel, dan genre sastra lainnya. Tulisan ini berasal dari makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Bahasa Indonesia, yang diselenggarakan di Pekanbaru, 22-23 Desember 2010.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/bahasa-penyair-dan-kreativitas.html

Dominasi Estetika

Beni Setia
Pikiran Rakyat, 12 Des 2010

SECARA sederhana, apa yang diributkan sebagai politik sastra itu (barangkali) cuma merujuk ke semacam manipulasi kuasa nonsastra untuk menegakkan otonomi sastra. Baik dengan memanfaatkan modal, dominasi, maupun pemaksaan kriteria sastrawi dengan ditunjang referensi yang luas untuk sekadar melakukan pengangkangan selera keredaksian media massa. Yang menyebabkan hadir sebuah model ekspresi, corak estetika, dan kriteria kebermutuan karya sastra dominan, yang diperkenalkan c.q. teks kritik dan paparan esai sehingga terbentuk preferensi redaksional seni budaya di media massa yang intoleran pada karya yang tak sesuai standar eksklusif tersebut.

Dengan dramatisasi, hal itu menyebabkan terbentuk isu telah terlahir satu model karya ideal, model ideal yang nyaris tidak mengizinkan hadirnya model ekspresi, corak estetika, serta kriteria kebermutuan karya yang berbeda. Yang diandaikan selalu operasional ketika terjadi praktik seleksi naskah di media massa yang dikuasai si pihak eksklusif ataupun penulisan kritik yang menegaskan karya sastra yang bisa ditoleransi sebagai teks yang sesuai kriteria sambil mengutip aneka referensi-dengan tak mengatakan apa-apa pada teks yang dianggap kurang bermutu dan (bahkan) tidak bermutu sama sekali.

Tindakan “menghalalkan cara” di dalam rangka memuliakan corak sastra alternatif — sehingga tampil hampir menjadi corak sastra dominan pada masa kini. Hal yang bagi mereka sendiri tidak berlebih, meskipun bagi yang lain itu dianggap sangat berlebih, diskriminatif, bahkan. Hanya dianggap satu perayaan dari upaya penemuan atau terobosan eksperimentasi sastra — terlepas dari hasilnya orisinal atau cuma pseudo, seperti yang orang Sunda artikulasikan sebagai, mikung, tetapi pembacaan efeknya di ruang publik menyarankan itu sebagai upaya sadar melakukan homogenisasi ekspresi dan estetika sastra mutakhir. Ihwal yang menyebabkan arah atau potensi perkembangan sastra ditelikung, terdominasi, bahkan diapresiasi sebagai telah terjadinya sakralisasi yang dilengkapi pemeo, menjadi seperti inilah atau diabaikan. Akan tetapi, siapa yang mengabaikan? Kenapa?

Kenyataannya, tidak ada pihak otoritatif yang benar-benar dominan dan amat berkuasa untuk mengabaikan yang tak sesuai dengan kriteria yang ditentukan mereka sendiri. Bagi saya, yang begitu tampaknya hanya bisa dibangkitkan oleh rekonstruksi pikiran biner yang mengandaikan bila lu bukan kawan ya gue lawan, tanpa nuansa. Karena suatu tindakan sepihak yang semena-mena menerapkan asumsi nilai eksklusif akan mengabaikan fenomena multinilai yang berserentakan hadir dan spontan minta dimaknai, yang juga aktif melakukan penilaian untuk mengukuhkan keberadaannya.

Tak mungkin bisa leluasa untuk sengaja meminggirkan yang tidak sesuai kriteria dan karenanya hanya pantas berada di level bawah standar atau malahan sama sekali tak memenuhi persyaratan minimal. Tindakan otoritarian yang sangat tak menghargai upaya menegakkan dan menghargai perbedaan. Itu tindakan tidak produktif yang melahirkan penentangan pada upaya mengandalkan power untuk menekan yang tak berdaya sebagai pihak inferior yang pantas dimarginalkan dalam tradisi kompetisi bebas neoliberal. Hegemoni semacam itu hanya kesimpulan orang yang berpikiran biner lu atau gua di tengah semangat multiestetika, selalu bisa dieksplorasi.

Yang mungkin terjadi adalah satu corak estetika tiba-tiba jadi sangat populer dan dianut banyak pihak sehingga menjelma menjadi trendsetter, sesuatu yang tidak bisa dimanipulasi karena menyangkut kesiapan apresiator karya yang ditawarkan.

**

DENGAN pola biner akan terbentuk asumsi sedang dan telah terjadi satu prosesi pembonsaian yang akhir-akhir ini suka diidentifikasi dalam termin “dominasi sastra”, upaya sadar terencana memarginalkan corak dan genre sastra lain. Yang mendominasi kecenderungan redaksional lembaran sastra budaya media massa, baik secara fisikal kehadiran orang atau sekadar sugesti yang menata kecondongan preferensial pseudo konsensus tentang wujud teks bermutu dengan merujuk ke estetika sastra dominan yang menyebabkan redaktur media massa di luar lingkaran penunjang pun condong ke genre sastra dominan. Benarkah seburuk itu? Apakah memang tidak ada lagi alternatif untuk corak estetika sastra lain?

Jawabannya perlu dua pengandaian. Pertama, selama yang merasa dimarginalkan itu rindu ingin diakui pihak eksklusif, ia selalu tampak membenci, tetapi dengan harapan akan diakui-meski ia tetap menulis sesuai kriteria sastra dominan. Gugatan agresif yang diteriakkannya itu sekadar mempertanyakan kapan ya giliran saya projek “cari muka” sambil berakting gigih menggugat keabsahannya kriteria sastra dominan, sambil aktif agresif menunjukkan ke-mikung-an pihak yang kini sudah jadi si teridentifikasi sesuai kriteria. Ketermarginalan itu diapresiasi sebagai cobaan, modul tantangan sehingga ia terus aktif menulis sesuai dengan kriteria, sastra dominan tetap dijadikan anutan.

Kedua, ketika seseorang sudah tidak bergantung kepada kriteria sastra dominan, pada pengakuan penguasa sastra dominan, ia percaya kalau sastra dominan itu tidak akan bisa mendominasi dirinya. Sastra dominan hanya dianggap pengajuan satu corak sastra alternatif yang berada pada level bisa dipertimbangkan, tak perlu loyal diikuti. Hanya cakrawala kemungkinan untuk dieksplorasi. Oleh karenanya, ia tidak mungkin “mendewakannya” dengan menghilangkan segala corak sastra yang berbeda. Semua kemungkinan estetika sastra tetap dipertimbangkan karena akan membuatnya bebas melakukan eksplorasi bentuk ucap dan pilihan materi ungkap yang mendorong menulis dengan corak sastra yang diyakininya, lantas memublikasikannya ke media massa mana saja, bahkan ke media massa si penunjang sastra dominan.

Kenyataannya, di luar estetika dominan dan media massa penunjangnya itu masih banyak media massa yang kebijaksanaan redaksionalnya tetap otonom. Akan tetapi, apa pihak yang agresif melakukan penentangan kepada sastra dominan itu memahami keberadaan pihak yang mempunyai corak estetika serta objektivitas redaksional agar tidak berat sebelah yang selalu bersiteguh menjamin kehadiran yang multiestetika, yang berani menjaga netralitas dan terbuka kepada segala macam estetika? Akan tetapi, apa pihak yang merasa tergencet oleh estetika sastra dominan itu mau memanfaatkan itu untuk mengekspresikan eksplorasi kreatif sastra alternatif mereka?

**

ADA pihak yang tak nyaman dengan dominasi estetika, dengan dominasi sastra, meski tak semua media massa dan redaktur bekerja dengan skenario redaksional yang memihak, setidaknya itu asumsi yang diajukan pihak yang berhadapan biner dengan sastra dominan, meski ini merupakan penyederhanaan dengan rekonstruksi dialektika yang mimpi membangun dunia baru dengan melabrak sesuatu yang hadir sewajarnya. Meski, nyatanya, pertentangan biner itu hanya ada di tataran ilusi dan jadi logis dengan menghadirkan aneka teori sastra yang mampu mernghadirkan tataran skeptik, apa memang seperti itu ciri bermutu itu. Sesuai dengan kodrat kualitas sastrawi teks yang bisa diperdebatkan selama bisa cerdas memungut banyak argumen dan referensi.

Lewat polemik di tataran ide dengan esai-esai yang ditulis cerdas punya banyak rujukannya. Momentum yang memperkaya khazanah intelektual teori sastra. Meski di aspek praktis penulisan kreatif, di aspek manajemen energi kreatif yang menghasilkan puisi dan prosa, semua ide yang diperdebatkan itu nyaris tidak berguna. Karena upaya penciptaan karya kreatif itu selalu bergerak dalam langkah misterius, rancangan karya hanya kekal sebagai draf sementara prosesi aktualisasinya menjadi karya terkadang nyelonong mengingkari draf. Saman dan Larung Ayu Utami adalah bukti dari karya yang tak sesuai draf, tetapi sukses.

Bukti konkret dari aspek tragis Mikhail Salokov dan faktor ketidaksengajaan, bila mengutip rumusan Iwan Simatupang. Dengan kata lain, dominasi sastra itu hanya berada di tataran teori, selama apa yang direncanakan akan ditulis, tertera pada draf, dan termanifestasikan dengan tanpa banyak lanturan. Pada praktik penciptaan riil, hal itu tak mungkin terjadi sehingga karya yang tercipta sama sekali tak bergantung kepada ide sastra dominan, setidaknya bila penciptaan tidak mengikuti panduan teknik matematika tanpa kehadiran mood atau pengaruh bacaan dan peristiwa besar terkini.

Nyatanya, siapa saja bebas menulis secara bagaimana saja dan dengan tema apa saja, serta apa karya itu akan dimuat atau tidak dimuat, tidak bergantung pada preferensi redaktur atau kriteria sastra dominan. Pada dasarnya, keunikan orsinal dan pencapaian (level) kualitas karya itu sendiri yang menentukan nasibnya. Semua kreator itu leluasa bersikukuh memilih menulis apa dan secara bagaimana saja-isu dominasi sastra itu nyaris mitos yang diciptakan untuk menutupi keterpurukan kreatif. ***
_______________
Beni Setia, pengarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/dominasi-estetika.html

Emiria Soenassa Membayangkan Nusa

Heidi Arbuckle
Kompas, 12 Des 2010

SEBAGAI peneliti asing, sering kali orang Indonesia berkomentar kepada saya: ”Oh, kamu orang yang meneliti Frida Kahlo-nya Indonesia, ya?” Saya tidak lagi heran mendengarnya, tetapi selalu tergelitik dengan kenyataan bahwa orang Indonesia lebih kenal pelukis perempuan asal Meksiko daripada Emiria Soenassa, pelukis perempuan termasyhur pada zamannya di negeri mereka sendiri. Apalagi, menurut saya, lukisan dan riwayat hidup Emiria tidak kalah menarik dari Frida.

Emiria mengawali kariernya sebagai pelukis pada usia 46 tahun, tetapi semasa hidupnya ia juga dikenal sebagai revolusioner, niagawati, filantropis, dan (mengklaim diri) sebagai seorang bangsawan, yaitu ”Ratu” dari kesultanan Tidore. Dalam majalah Perintis yang diterbitkan tahun 1951, Usmar Ismail menyebut Emiria sebagai seorang ”perintis”, mendudukkan Emiria di samping nama-nama besar, seperti Chairil Anwar dan Kartini. Ismail mengatakan: ”Dan bukan saja berhubung dengan seni lukis. Juru rawat bangsa Indonesia jang pertama? Kepala perkebunan jang pertama? Emiria Soenassa!” Sebelum Indonesia merdeka, Emiria telah mencapai kebebasan dirinya dalam seni lukis, yaitu kebebasan untuk menyatakan sesuatu. Hal inilah yang menjadi alasan diberikannya judul ”Emiria, Sang Perintis” pada pameran tunggal Emiria Soenassa yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta pada 10-18 Desember 2010.

Pribumi

Seperti banyak pelukis pribumi pada zamannya, Emiria tidak pernah belajar melukis secara akademis. Banyak orang yang mengira Emiria adalah murid melukis Sudjojono, tetapi saya kira hubungan mereka bukan sebagai guru dan murid. Selain usia Emiria sudah dua puluh tahun lebih tua dari Sudjojono, hubungan mereka lebih mirip kawan seperjuangan. Mia Bustam, istri pertama Sudjojono, ingat saat sedang bertamu ke rumah Emiria bersama sang suami demi meminta lukisan untuk dipamerkan pada awal 1940-an. Mengenang kunjungannya itu, Mia mengatakan: ”Untuk hidangannya, di piring kecil kami ditawari kacang bawang hanya lima buah!” Menjelaskan karakter si Emiria, Mia bercerita: ”Sikap hidupnya juga apa adanya begitu, jujur sekali, omongannya juga begitu.”

Dorongan melukis untuk pertama kalinya pada Emiria justru berasal dari sahabat dekatnya, seorang Belanda bernama Guillaume FrĆ©dĆ©ric Pijper. Pijper menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Bumiputra di bawah pemerintah kolonial Belanda. Selain seorang teolog yang ahli Islam, ia juga memperlihatkan ketertarikan terhadap seni, hingga kemudian ikut mendirikan Balai Pendidikan Universitas Guru Gambar (kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung) bersama Ries Mulder. Atas tantangan Pijper, Emiria menghasilkan lukisan pertamanya pada tahun 1940 berjudul ”Telaga Warna”, setelah mereka berdua pergi mencari inspirasi ke Puncak. Lukisan tersebut dipamerkan dalam pameran pertama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Toko Buku Kolff & Co di Jakarta. Namun, seperti banyak lukisan Emiria lainnya, lukisan tersebut sudah tidak lagi diketahui keberadaannya.

Ciri khas Emiria berada pada usahanya untuk memperbarui seni primitif atau seni Indonesia yang kuno ke dalam seni lukis modern pada zamannya. Karyanya bisa digambarkan sebagai gabungan (fusion) yang dinamis antara seni adat (indigenous art) dan seni rupa modern neo-primitif. Emiria juga menggunakan warna secara primitif dan sering mengabaikan perspektif serta aspek pencahayaan. Walaupun subyek lukisannya adalah penggambaran alam raya dan berbagai kelompok etnis Indonesia, bentuk, suasana, dan warnanya banyak dipengaruhi pelukis-pelukis modern Eropa. Maklum, sebelum menjadi pelukis pada tahun 1940-an, Emiria sudah pernah berulang kali berkunjung ke negeri-negeri Eropa. Salah satu lukisan yang menggambarkan gabungan dinamis ini adalah ”Orang Irian dengan Boeroeng Tjenderawasih” (1948) yang menggarap garis-garis wajah orang Papua mirip dengan periode Picasso mengabstraksi patung dan topeng Afrika setelah ia berkunjung ke Museum TrocadĆ©ro di Paris.

Namun, representasi Emiria atas ”orang primitif” di Indonesia tidak sekadar eksotisme atau fetish terhadap ritus dan budaya tribal. Emiria memang membayangkan diri sebagai bagian dari kebangsaan Papua, dengan mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Sahadjuan dari Kesultanan Tidore. Pada abad ke-17, Tidore mengklaim kekuasaan tak mutlak (shadowy authority) atas tanah Papua Barat. Bersama nasionalis Papua, Silas Papare, ketua Partai Kemerdekaan Indonesia Irian di Jakarta, Emiria memperjuangkan hak Kesultanan Tidore sepanjang tahun 1949 sampai tahun 1960-an, hingga membawanya ke Meja Bundar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Dari lukisan-lukisannya, kita bisa membaca sikap politis Emiria dan perbedaan ”nasionalisme”-nya dibandingkan dengan narasi-narasi besar nasionalisme yang diusung oleh kebanyakan pelukis di zamannya. Penelusuran Emiria terhadap nuansa etnik dari Indonesia bagian timur dan suku-suku pribuminya, seperti suku Papua, Kubu, dan Dayak, adalah apa yang memisahkannya dari kebanyakan pelukis pria pada masa itu, seperti yang tampak dalam lukisan ”Pemanah Papua/Pijlenmakers Nieuw-Guinea” (1941) dan Penganten Dajak” serta ”Bahaya Belakang Kembang Terate” (keduanya pertama kali dipamerkan tahun 1946 di Batavia-Kunstkring). Pada saat para pelukis di kota-kota besar membayangkan sebuah negara baru dan para penduduknya yang terpusat, Emiria membayangkan bahwa hal itu justru tersebar di wilayah-wilayah pinggir nusa Indonesia yang beraneka ragam, seperti halnya hutan-hutan yang (akunya) telah ia jelajahi mulai dari Humboldbaai (Jayapura) sampai Sabang.
_______________________
Heidi Arbuckle, Peneliti dari Universitas Melbourne, Pengurus Program Media di Ford Foundation Indonesia
Terima kasih kepada Nayla Majestya yang telah membantu menerjemahkan tulisan ini.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/emiria-soenassa-membayangkan-nusa.html

Mengenang Gus Dur Lewat Sastra

Afandi Sido
http://www.kompasiana.com/afsee

Almarhum Gus Dur dikenal selain sebagai negarawan dan ulama, juga sebagai penulis beberapa karya sastra kontemporer yang menghasilkan banyak buku, termasuk biografinya sendiri yang fenomenal dan beberapa buku kritik zaman. Beberapa karya sastra mantan presiden bernama asli Abdurrahman Wahid ini seperti puisi, catatan-catatan reformasi, humor, dan ulasannya mengenai beberapa keadaan negara saat ini menjadi koleksi berharga bagi beberapa komunitas pecinta sastra. Begitu pula dengan Paguyuban Sastrawan Mataram yang pada Minggu (4/9/2011) malam menyelenggarakan acara kumpul sastra di kawasan Kilometer Nol, Yogyakarta.

Acara bertema “Mengenang Gus Dur” tersebut diisi dengan dialog interaktif tentang beberapa karya sastra Alm. Gus Dur, yang kebanyakan didokumentasikan dalam bentuk buku dan jurnal-jurnal. Dalam sambutannya, panitia menjelaskan bahwa sejatinya Gus Dur selalu hidup melalui karya-karyanya yang dicintai. Selama masih ada masyarakat yang mengakui kebenaran dalam tulisan-tulisan hasil pemikiran Gus Dur, maka sejatinya ia selalu hidup.

Acara tersebut dihadiri oleh puluhan orang yang rela duduk beralaskan tikar seadanya di atas trotoar di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret itu. Selain dialog, turut pula dilakukan pembacaan beberapa catatan Gus Dur dan puisi-puisi tentangnya. Salah satu catatan yang dibacakan adalah karya Gus Dur yang berisi kritik pemerintah lintas zaman sebagaimana berikut:

“Di suatu waktu, pada zaman sosialisme Uni Soviet masih menjadi-jadi dan tersebar ke penjuru dunia, rakyat tidak pernah kekurangan bahan pangan. Semua kebutuhan selalu disediakan pemerintah. Lalu, seorang aktivis sosial memutuskan melakukan perjalanan keliling dunia dan singgah ke beberapa bangsa untuk mencari tahu sistem pemerintahan lain yang nonsosialis. Lalu setelah aktivis itu mengelilingi banyak bangsa, tibalah ia pada satu bangsa yang masih asing namun menarik baginya. Ia bermaksud mencari tahu seberapa besar dan kuat bangsa itu memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Mulailah ia dengan mengunjungi tempat-tempat yang sekiranya menjual barang-barang yang ia perlukan. Saat mencari bahan bakar ke sebuah gerai, ia dijawab oleh penjual bahwa bahan bakar tidak tersedia, lalu aktivis itu membuka buku catatannya lalu menuliskan dengn huruf besar di sebuah halaman, ‘BAHAN BAKAR HABIS’. Kemudian penelitiannya berlanjut, ia mengunjungi sebuah toko alat-alat mandi untuk mencari sabun, tapi di situ pun ia tak bisa temukan sabun, lalu ia tulis di halaman berikutnya, ‘SABUN HABIS’. Ia mulai berpikir, bagaimana bisa sebuah bangsa berbentuk negara tidak bisa menyediakan bahkan sabun bagi rakyatnya? Lalu dalam keputusasaan ia mendatangi sebuah gerai makanan, untuk menanyakan hal yang sama. Tapi belum sempat ia bertanya, seorang berpenampilan intel menegurnya. ‘Wahai anak muda, sedang apa kamu di sini? Kamu tahu tidak bahwa kegiatanmu ini membahayakan negara? Untungnya ini sudah zaman reformasi. Kalau ini masih zaman orde baru, sudah ditembak kamu!’ gertak intel itu.

Lalu sejenak kemudian, saat intel itu pergi, sang aktivis kembali membuka catatannya, dan menuliskan dengan huruf kapital berukuran besar di halaman berikutnya: ‘PELURU HABIS!’“


Acara diskusi sastra tersebut dihadiri orang-orang dari berbagai kalangan, baik yang datang terencana maupun yang sekadar ikut nimbrung karena kebetulan berada di sekitar Kilometer Nol dan berakhir menjelang pukul 23.00 WIB. Acara ini juga sempat menarik perhatian para pengendara yang melintas meski tidak mengganggu arus lalu lintas. Dalam kata-kata penutup acara, sastrawan Jogja berpesan agar karya-karya Gus Dur dipelihara, karena hanya dengan demikian kita bisa belajar dari seorang tokoh yang membawa perbedaan dalam pandangan kebangsaan.

05 September 2011
Dijumput dari: http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/05/mengenang-gus-dur-lewat-sastra/

Sastrawan Jawa Timur: Peta Kebangkitan Jaman

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Jawa Timur yang luasnya sekitar157.922 kilo meter persegi, dengan jumlah penduduk 36.294.280 merupakan wilayah fenomenik. Berbagai kajian keilmuan tak pernah sepi mengangkat Jawa Timur sebagai topik utama.

Dari sudut sastra, para esais sastra sedang gencar mengupas perihal tarik-ulur eksistensi kesusastraan yang pada akhirnya menguatkan titik fokus jati diri Jawa Timur sebagai wilayah kesusastraan tersendiri di Indonesia, wilayah yang tak lagi menjadikan Jakarta dan Melayu sebagai pusat imperium kesusasteraan.

Dari sudut politik, kita dapat amati setiap menjelang berlangsungnya pemilu. Partai politik, bahkan calon kandidat presiden sekali pun, memprioritaskan agenda utama dalam rangka menggaet suara dari Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk yang padat dalam wilayah yang tanggung dibanding Kalimantan, Sulawesi, Sumatera serta Irian, diasumsikan kalau menang pemilu di Jawa Timur, kemungkinan besar menang pemilu di Indonesia.

Secara antropologi, kekondangan Jawa Timur dikenal dunia sejak pernah bercokolnya kerajaan besar Majapahit, kerajaan yang luasnya mencapai duapertiga belahan bumi hingga ke semenanjung Madagaskar dan beberapa bagian negara Filipina.

Potensialitas intelektual juga tumbuh merebak. Banyak tokoh kaliber nasional menduduki posisi penting di pemerintahan pusat. Dari lima kali pergantian presiden di Indonesia, tiga diantaranya dari Jawa Timur: Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejarawan Barat abad terkini mulai menggeser teorinya tentang perdaban tertinggi di dunia. Bukan lagi Mesopotamia-Byzantium. Karena pada wilayah ini tidak ditemukan indikator pendukung terjadinya kebudayaan tertinggi: yaitu banyaknya gunung berapi dan aliran sungai sebagai kemakmuran agrarian. Gunung berapi pangkal kesuburan vulkanik, serta sungai sebagai sarana penunjang irigasi. Sementara wilayah kecil Jawa Timur dihuni gunung berapi terbanyak di dunia. Sedari Kelud hingga Semeru, tercatat sekitar 10 gunung berapi. Tak ada yang menyamai wilayah ini.

Dari sinilah optimisme degub kebangkitan jaman berpusat di Jawa Timur. Apalagi bagi penduduk muslim, sebagai indikator ke dua setelah jumlah gunung berapi dan sungai, ialah keyakinan ajaran islam.

Sholat, bagi muslim merupakan referentasi kehidupan total yang menyangkut perilaku moral individu dan sosial. Sudah pasti, terangkum pula ilmu pengetahuan di dalamnya. Bagi muslim, runtutan gerak rukun sholat berpusat ketika tahiyat akhir. Sebuah posisi yang menjadi ujung sahnya sholat. Do’a tahiyat akhir pun merupakan dialektika langsung antara Nabi Muhammad dengan Alloh saat mi’roj ke Sidratul Muntaha, sebuah pertemuan dengan kapasitas peradaban tertinggi. Posisi tahiyat akhir dapat ditarik temu ruasnya dengan peta propinsi Jawa Timur.

Posisi tahiyat akhir, jika dilihat dari atas (langit) persis peta Jawa Timur. Yakni kaki kiri: tumit, telapak hingga ujung jari menjadi semenanjung Banyuwangi: Blambangan, pesisir Ketapang, Sritanjung, pesisir Bondowoso, Situbondo hingga lengkungan pantai Kenjeran. Sementara telapak kaki kanan menjorok ke timur menjadi pulau Madura. Sedang lutut kanan menjadi tapal batas Bojonegoro. Dan lutut kaki kiri juga menjorok ke pojok barat menjadi perbatasan Pacitan. Pendeknya, sepulang mi’roj dari Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad membawa peta Jawa Timur: peta kebangkitan jaman yang sudah ditentukan theokrasi.

Indikator berikutnya, Syeh Subakir jauh dari Ubyekistan datang mbabat alas di pulau Jawa ini, yang kemudian meninggalkan jejak para wali dalam missi membangun peradaban masyarakat Jawa. Dari 9 wali, 5 diantaranya di Jawa Timur pesisir utara. Sebagian ahli kebatinan berasumsi bahwa keberadaan 5 wali yang menduduki pesisir utara, berfungsi sebagai pengimbang pulau Jawa Timur agar tidak miring ke selatan, sebab bagian selatan pulau Jawa banyak dihuni gunung berapi. Terbukti pulau Jawa miring ke utara yang ditandai dengan aliran air yang pasti ke utara. Kecuali satu sungai di Tulungagung mengalir ke selatan. Sungai yang dibangun Belanda sabagai alternatirf pengesatan wilayah tersebut.

Barulah berdiri kerajaan islam Demak yang diamping Sunan Kalijaga. Dengan sistim perdikannya, Sunan Kalijaga membagi kekuasaan kepada 147 anak Brawijaya V dari Mataram hingga seluruh wilayah nusantara. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga sebelumnya menguasai pusat persenjataan Majapahit yang dipegang oleh Empu Supo, tokoh persenjataan yang tak tertandingi waktu itu. Padatan gelombang waktu ini simbol penjinakan kekuasaan militer sebelum menjadi negara federal atau yang dikenal dengan otonomi daerah.

Kebangkitan Jawa Timur masa kolonial ditandai pekik takbir Bung Tomo untuk membakar semangat jihat Arek Suroboyo yang didukung para santri seJawa Timur. Terdepaklah agresi militer II yang dikenal dengan pertempuran 10 November.

Ada satu pertanyaan untuk menyongsong jati diri Jawa Timur sebagai peta kebangkitan jaman mendatang. Yakni sejauhmana kesiapan pelaku sejarah di Jawa Timur mengetahui jati dirinya bahwa mereka berpotensi besar? Naif jika Jawa Timur tidak mempersiapkan kebesarannya sedini mungkin. Selayaknyalah Jawa Timur mulai menentukan skala kebesaran dalam berkiprah. Sekaliber regional, nasional, atau mendunia?

_______________
*) Penulis Sabrank Suparno. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola media web: www.Sastra-Indonesia.com. Forum Sastra Jombang.blogspot. Alumnus MAN Filial Tambakberas di Balongrejo dan Pondok Pesantren Kwadungan Sumobito tahun 1997. Jebol 2 semester Universitas Sunan Giri (Unsuri) jurusan sospol HI dan Universitas Taruna (Unita) jurusan pendidikan. Lalu bekerja sebagai pedangan Art Shop di Bali hingga tahun 2003. Pernah kursus bahasa Inggris di BESC (Basic Ingglis Study Club) Kediri. Pernah menjadi Team Riset litbang Kajian Keislaman di STAIN Kediri. Pernah berkerja nyambi membina Yayasan Anak Yatim Tunas Harapan di Sumenep tahun 2006. Perumus jaringan pemuda tiga negara: Indonesia, Portugal, Timor Laste, sehingga pada 12 Juli 2009 menggelar acara: Diskusi Ilmiah Budaya yang dihadiri Carlos Miquel Fonseca Horta (seniman asal Portugal) di tempat penulis bersama remaja desa. Pernah menjalani sebagai pedagang kaligrafi keliling seputar Tugu Pahlawan-halaman Balai Kota Madya-Kebun Binatang- Masjid Agung Surabaya. Memenangi lomba penulisan esai sastra Islami Jamaah Maiyah yang diselenggarakan oleh Emha Ainun Nadjib dkk. Aktif sebagai penulis warta di Pengajian Padhang mBulan di Jombang dan Komunitas Bang Bang Wetan di Balai Pemuda Surabaya (tiap bulan) hingga sekarang. Team motifator penulis Jombang hingga sekarang. Pemangku Devisi Kepenulisan di Komunitas Seni Tirto Agung Mojoagung-Jombang. Ajeg bertani dan menghadiri undangan pembinaan jurnajistik hingga sekarang. Esai dan cerpen pernah dimuat beberapa media Rasar Mojokerto-Jombang (esai), Radar Surabaya (esai), Bulletin Maiyah Jawa Timur (esai), Majalah Santri Tebuireng (esai), Buku Antologi Hujan Sunyi Banaspati (cerpen). Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02, desa Plosokerep, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com.HP: 085-735-970-909.

Jumat, 14 Oktober 2011

Berburu Rongsokan: Sebagai Langkah Menyelamatkan Artefak

Agus Sulton
http://sastra-indonesia.com/

Membicarakan barang rongsokan, yaitu manuskrip atau orang pedesaan menyebutnya sebagai buku kuno pastinya setiap orang mempunyai statemen, setidaknya argumen tekstual tersendiri dalam memperlakukannya. Pihak lain ada substansi otoritas koheren dengan menjadikan manuskrip layaknya benda keramat, seolah-olah terselip teks mantra—yang bahkan bisa juga menjadikan orang impulsifitas; mempraktekkan dan memenuhi sebuah struktur ideal. Discourse masyarakat mengais ide sebagai perpanjangan pertahanan keimanan yang baru dalam kepentingan-kepentingan transendental dan keuniversalan Tuhan, mungkin juga (tentatif).

Masyarakat ada kehendak lain atau inpresif lain pihak bahwa, manuskrip/artefak itu terdapat makhluk Tuhan yang menghuninya, ada ritual (jalinan komunikasi) eksperimentasi dalam membongkar simbolisme terselubung. Ini saya beranggapan sebagai kegelisahan ruang kedap tersendiri untuk membongkar program tindakan yang berada atas eksploitasi sistem-sistem kepercayaan. Kalau menyoal makhluk Tuhan yang secara kasat mata terselip pada kekuatan iman kita. Bagaimana kita memperlakukan-nya atau mungkin mengganggapnya teman sama-sama makhluk Tuhan yang lemah, dan Tuhan adalah maha segala-galanya. Sekejam Iblis-pun yang lincah bertaktik komunikasi untuk mendustai manusia, baik sebagai objek referensi sejarah beradaban manusia sampai menyoal penggusuran akan hunian yang—sepatutnya mencelakai keberadaan manusia yang secara keimanan itu lemah. Lagi-lagi tergantung bagaimana manusianya itu dalam mendekatkan dirinya kepeda Tuhan. Dan beranggapan makhluk Tuhan selain manusia, yang sebagian orang tidak ada kekuatan untuk mengaksesnya, toh itu juga sahabat kita yang memiliki ruang dan waktu tersendiri. Tuhan sendiri bersabda ”Bahwa aku (Allah) tidak akan menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah,” itu benar adanya, tergantung manusia dan jin untuk menyikapi itu semua. Manusia keblinger isi perut, entah sampai tidak terlintas apa yang terjadi setelah roh tidak mau bersetubuh dengan jasad kita. Hunian dunia tak ubahnya hunian kontrak’an, dengan hasil akhir adalah kekuatan ibadah. Beda lagi pada kontruksi sosial jin, yang tiap-tiap individunya bisa mencapai ribuan tahun. Kelompok lain, dosa seperti sebuah keharusan membunuh, pemabuk, menggoda manusia yang tidak berdosa. Bahkan sebagian jin beranggapan, mereka melakukan itu semua karena nenek dan buyut mereka sudah mengklaim anak turunnya tidak akan bisa masuk surga, kebimbangan ini berdampak pada anak cucunya yang selalu pasrah akan sebuah kondisi, dan perbuatan merugikan sesama atau manusia menjadikan sajian utama untuk mengekspresikan kekesalan. Pendapat lain mengakatan, kalau manusia ramai menyoal isi perut sebagai kekuatan sebuah strata sosial, beda persoalan pada jin eks Islam yang rame terkait sebuah kekuatan ilmu hitam dan taktik strategi sebagai strata sosial. Kekuatannya sebagai tolak ukur kekuatan kerajaan atau suku yang dikuasainya dengan prajurit yang dimiliki. Kita punya satu kekuatan agama ”Manusia adalah makhluk sempurna.”

Sedikit deskripsi tersebut membukakan pemikiran tersendiri, bahwa manuskrip adalah benda mati sebuah kekuatan manuskrip diselip di dalam teks. Tergantung bagaimana manusia itu mengolah kekuatan teks tersebut. Teks itu akan meloncat-loncat kesadaran, dan kehilangan talinya pada masalah tunggal, terletak pada pribadi setiap pihak. Hanafi (2005) menyebutnya sebuah keajaiban adalah bisa jadi sebuah kekacauan hukum alam, namun kehendak mengesampingkan keindependenan akal dan kebebasan berkehendak manusia maka hukum alam itu susah untuk dirusak.

Pembicaraan sisi eksternal manuskrip memang tak ada habisnya. Terkadang masyarakat membakarnya, beranggapan tidak ada guna dan manfaat yang dapat diambil untuk memperlakukan benda tersebut. Dan selama saya mengais rongsokan itulah yang sering ditemukan, pembakaran manuskrip, pembiaran manuskrip tanpa perawatan sampai akhirnya menjadikan menu favorit dari pihak rayap, bahkan manuskrip itu rusak karena virus telah menyublin di peredaran darah mendekati ambang kematian yang sebelumnya tidak pernah diperlakukan kontrol ke unit gawat darurat saat terjangkit inveksi sampai akhirnya meninggal dunia menjilma menjadi bongkahan abu.

Penyebab lain, perdagangan yang tidak jelas mau diperlakukan seperti apa. Yang pasti sejak tahun 70-an sampai sekitar 2007 perdagangan manuskrip dilakukan besar-besaran melalui kolektor jalur pulau Bali, surga para anjing untuk membawa manuskrip ke negara asal masing-masing kolektor. Bukan hanya manuskrip yang ekspor, tetapi semua barang antik lain yang memiliki nilai jual dan unsur sejarah bisa dirupiahkan. Satu sisi masyarakat tidak peduli, selanjutnya dijual pada para kolektor barang antik atau bahkan tidak ada perlakuan sama sekali. Lain pihak, manuskrip dijadikan sesuatu yang sakral. Menurut saya, dikotomi tersebut tidak bisa dijadikan suatu pondasi gelisah, yang kita butuhkan hanya bagaimana untuk menyelamatkan sisa-sisa manuskrip yang tersimpan di masyarakat dengan diperlakukan lebih ekstra, selanjutnya memanfaatkan teks itu sendiri untuk dunia kekinian.

Menyoal kerakusan dan keserakahan manusia yang tidak bertanggung jawab pada manuskrip memang tidak ada habisnya, malah berakibat sebuah butiran air mata yang didapat. Tidak bisa saling menyalahkan kesana-kemari, yang patut disalahkan kita yang sadar dan tahu akan manfaat manuskrip itu sendiri tetapi tidak pernah memperhatikannya. Pemerintah lebih berdosa akan hal ini, tapi labih berdosa lagi orang yang punya letar belakang dibidang sastra lama atau didikan filologi—yang tidak ada perhatian sama sekali pada masnuskrip-manuskrip yang masih tersimpan di masyarakat (memburunya), bahkan mereka duduk asyik, keenakan, bisa jadi terlalu manja menjadikan proyek tersendiri pada koleksi di museum. Kita tidak usah banyak bacot, bahasa orang Jombang ”kakean cangkem” atau berlagak sedih pada kondisi sumber kebudayaan (manuskrip) bangsa Indonesia yang dicomot dan dibeli oleh negara lain, yang kita harapkan bersama adalah bagaimana tanggung jawab kalian selama studi filologi agar bisa dan mampu untuk memberikan sumbangan menyelamatkan naskah-naskah kita di masyarakat yang jumlahnya masih ribuan. Apalah gunanya memperbanyak dan mengenyam pendidikan megister dan doktor departemen filologi kalau sebatas sebuah eksistensi, bagi saya merupakan beban moral dan penderitaan.

Marilah kita sama-sama saling menyadari akan kondisi pernaskahan di Nusantara, jangan sampai naskah-naskah kita di masyarakat diperlakukan ala kadarnya berakibat musnah, diperjualbelikan, dan tidak ada semangat inventarisasi atau menyelamatkannya. Bagi mereka yang belum tersadar, hanya sibuk soal proyek akhirnya berujung pada perut mari saat ini kita memulai kesadaran untuk menyelamatkan naskah-naskah di lingkungan sekitar, yang tidak disadari menyimpan jumlah manuskrip yang luar biasa.

27 September 2011
Salam Filologi’ers.

Laut Kepustakaan Pada, Pada Sebuah Kapal Buku

Muhidin M Dahlan*
Kompas, 7 April 2007

Laut adalah penanda puncak peradaban Nusantara, sekaligus menabalkan negeri ini beroleh gelar unik dan satu-satunya di dunia, sebagaimana dirumuskan M Jamin dalam sefrase judul sajaknya: “Tanah Air”. Dari laut lalu muncul tradisi, pengetahuan, dan juga wibawa.

Hanya di laut meritokrasi bekerja secara alamiah dan apa adanya. Sebab, di laut, resultan antara navigasi (pengetahuan), keberanian (psike), dan keterampilan (pengalaman) berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi.

Oleh karena itu, seseorang, misalnya, tak bisa seenaknya mengaku-aku ’kapitan’ kapal andal, karena laut akan langsung segera mengujinya dengan perubahan cuaca yang cepat dan tak terduga begitu sauh dinaikkan dari bandar. Laut membuat seseorang bisa berdiri tegak dengan pengetahuan otonom yang dimilikinya. Seperti Kertanegara yang bangga dan penuh percaya diri menyerahkan perlindungan kekuasaannya pada serdadu Dipantara yang berjaga di dua ketiak samudra Nusantara.

Namun, di laut jualah maut datang silih berganti tak putus- putus. Di sana, cerita horor tentang buih gelombang yang di sekujur ujungnya terselip belati- belati kematian dituturkan dengan meringis di pelbagai halaman surat kabar. Lalu, laut bukan hanya kurir pengirim alamat buruk bagi nasib, tapi juga penyuntik trauma dan ketakutan yang panjang. Ia adalah teror yang menggodam nyali hingga rusak dan ringsek.

Tak akan pernah terlupa di ujung Banda pada purnama akhir 2004, laut menerkam daratan hingga nyaris menghapus letak kota dari peta. Ratusan ribu korban diciduk paksa, yang membuat kita dan dunia ngungun seperti tak berdaya mendapati serangan laut tiba-tiba di Ahad pagi itu. Dan, pada 25 Januari 1981, laut Masalembo membakar dan mengaramkan KMP Tampomas II. Peristiwa yang merenggut 600 manusia itu dikenal sebagai tragedi laut terbesar di Indonesia.

Rupanya peristiwa terbakarnya kapal roll on roll off atau roro KMP Lampung di Pelabuhan Merak pada 16 November 2006 silam hanya pemanasan belaka. Sebab, hanya sepurnama kemudian (29 Desember 2006), atau 76 tahun setelah Tampomas II, Masalembo kembali menjungkat KM Senopati Nusantara yang sarat penumpang dan barang. Hanya dalam hitungan menit, kapal kecil yang dilambungnya bertulis “We Love Indonesia” ini meluncur mencium dasar laut dan merenggut nyawa 450 penumpangnya.

Belum lekang media mengulas kecelakaan ini, kabar pada Kamis 22 Februari 2007 datang menyeradak. Kapal Levina I terbakar di Perairan Kepulauan Seribu dan menciduk nyawa 50-an orang. Kecelakaan ini pun antiklimaks, sebab dua hari setelah terbakar, kapal itu pun terjungkat kembali bersama para penyelidik dan wartawan peliput.

Berita-berita maut dari laut ini ditulis sempurna ketika akhir tahun silam mencuat kabar bagaimana si mantan penjaga mercusuar laut, Rokhmin Dahuri, diseret ke bui atas tuduhan menyalahgunakan rezeki bahari.

Lantas bagaimana berharap munculnya kreativitas mengelola dan hidup seirama laut jika kita senantiasa dikurung rasa takut dan sekaligus rasa muak kepada pemangku mercusuar laut yang rakus?

Pelni dan Indonesia Satu

Jika kita berbicara tentang laut yang menyatukan daratan Indonesia, BUMN bernama PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) tak bisa ditampik perannya. Kapal-kapal merekalah yang siang-malam tak kenal lelah terus melayari dan menyinggahi pelabuhan-pelabuhan kecil di pelosok-pelosok Nusantara.

Maka, agak mengherankan ketika muncul perdebatan di seminar atau di kolom-kolom koran tentang pengelolaan pulau-pulau terluar, Pelni sama sekali tak disinggung perannya. Seperti dalam diskusi buku Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan pada 18 November 2006 di Banda Aceh, yang antara lain menghadirkan pembicara Pemimpin Redaksi Harian Kompas Suryopratomo dan Hasjim Djalal, ahli hukum kelautan dari Universitas Padjadjaran.

Banyak hal yang menarik, informatif, dan kaya, yang mengemuka dalam diskusi itu. Namun Pelni tetap tak punya tempat. Tak adanya satu pihak pun yang menyinggung peran perusahaan negara itu mungkin lantaran ia tengah bergulat dengan kutukan dari beberapa kalangan yang menyerukan penutupan BUMN tersebut karena terus merugi. Dibandingkan dengan perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Matschappij (KPM), yang notabene saudara tuanya, Pelni memang tak ada apa-apanya, baik dari segi armada maupun trayek. Pelni cuma jago kandang, katanya.

Namun, Pelni bukan semata soal bisnis, tapi juga soal budaya dan politik. Kompas edisi 28 April 2004 sudah menurunkan panjang lebar soal bisnis Pelni yang nyaris sekarat. Tapi apa kan terjadi bila Indonesia yang berpagar 17.000 pulau dan lebih dari 250 pelabuhan ini tak memiliki kapal-kapal penumpang? Belum lagi jika meledak kerusuhan antaretnis seperti yang terjadi di Ambon, Galela, Timor Timur, Sampit, hingga bencana besar seperti tsunami Aceh. Kapal-kapal Pelni-lah yang pertama turun langsung, dengan semangat “padamu negeri”, membawa bantuan atau mengungsikan ribuan penduduk.

Pelni kini sudah menjadi pertaruhan politik dan nasionalisme pemerintah. Bagaimanapun keadaannya, pemerintah mestinya tetap memberi subsidi penuh kepada Pelni. Karena kedatangan kapal-kapal putih berbendera Pelni itulah warga di pelabuhan-pelabuhan pelosok tetap merasa bahwa mereka bagian dari Indonesia Raya.

Kapal buku

Kalau selama ini Pelni rutin memuntahkan manusia dan barang dari dalam perutnya, kenapa tidak sesekali ia berkaok memanggil-manggil anak-anak pulau terjauh untuk datang membaca buku, menonton film bermutu, atau melihat book exhibition dalam perutnya yang kembung itu. Inilah kapal Pelni yang lain. Inilah kapal buku. Sudah bisa dibayangkan sejak awal bahwa pengadaan kapal-buku adalah proyek rugi. Namun, ini adalah tabungan yang tak ternilai untuk masa depan (nalar) Indonesia.

Pikiran menghadirkan kapal-buku ini didorong dua alasan. Pertama, Pelni memiliki beberapa bahtera yang sudah uzur dan tak kuat mengelilingi seluruh Indonesia. Mungkin hanya bisa memutari satu atau dua pulau. Kedua, saat ini RUU Perpustakaan sedang digodok di parlemen. RUU ini membahas banyak hal, terutama sekali manajemen Perpustakaan Nasional, invasi penguatan perpustakaan di daerah, serta pengadaan perpustakaan terapung.

Untuk itu penting bagi pihak perpustakaan bekerja sama dengan Pelni. Apalagi kapal-kapal Pelni sudah banyak yang batuk-batuk. Biasanya kapal-kapal ini dihibahkan kepada Angkatan Laut. Langkah Pelni itu sudah benar. Sebab, serdadu laut butuh banyak kapal untuk menjagai laut Indonesia yang luas ini. Namun sesekali bolehlah memarkir sebiji-dua kapalnya untuk perpustakaan.

Atau perpustakaan bisa memakai jalan “swasta” dengan melobi 10 saja orang superkaya di Indonesia. Bayangkan bila perpustakaan nasional memiliki 10 kapal buku-mewah yang dapat dinikmati anak-anak di pelosok, lengkap dengan kafe-kafe, ruang pameran, bahkan ruang presentasi video, seperti terdapat di jantung Jakarta. Maka, kapal-kapal buku itu pun dapat dinamai: Kapal Buku Bakrie, Kapal Buku Liem, Kapal Buku Panigoro, dan sebagainya.

Di kapal-kapal buku inilah seorang bocah di Teluk Wondama, Kabupaten Monokwari, misalnya, akan dengan wajah berbinar memasuki kapal berpendingin dan betah seharian membaca buku. Atau menyaksikan bazar buku murah lengkap dengan acara diskusi buku dan temu pengarang beken dari kota-kota penting di Indonesia. Lalu, sorenya si bocah pulang menjinjing dua buku cerita dan akan dikembalikan sepekan kemudian ketika kapal putih berbendera merah-putih itu secara reguler kembali merapat di pinggir pulau mereka.

Kehadiran kapal-buku milik Pelni dan Perpustakaan Nasional ini tak hanya menyusutkan sedikit demi sedikit rasa takut akan monster yang selalu datang dari laut, tapi juga mengabarkan bahwa di atas gelombangnya, mengapung ribuan pengetahuan dan ketakjuban. Di sini, di kapal buku.
_______________________
* Muhidin M Dahlan, Penulis Roman, Kerani di Indonesia Buku (i:boekoe) Jakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/04/esai-laut-kepustakaan-pada-pada-sebuah.html

Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks

Ignas Kleden *
http://www2.kompas.com/

Istilah “sejarah teks” adalah terjemahan bebas oleh penulis untuk konsep hermeneutik yang lebih dikenal dalam versi bahasa Jerman sebagai Redaktionsgeschichte atau sejarah redaksi. Konsep ini menegaskan bahwa setiap teks yang diproduksi dalam kebudayaan selalu mempunyai semacam riwayat hidup berupa sejarah penyusunan, kodifikasi, perubahan, atau revisi redaksi dan mungkin juga otorisasi teks yang terjadi dari waktu ke waktu.

Mengetahui sejarah redaksi ini merupakan sebuah prasyarat penting untuk menyimak makna teks itu dalam hubungan dengan konteks penciptaan atau penyusunannya karena sering terjadi pergantian atau pertukaran semantik, penambahan anotasi, penyisipan bagian-bagian baru dalam editing, perbaikan sintaksis atau modulasi stilistik, yang mengakibatkan pergeseran makna atau perubahan tekanan pada berbagai bagian teks itu.

Sudah jelas Pancasila adalah sebuah teks utama untuk Indonesia. Dalam sejarah redaksinya, tanggal 1 Juni 1945 menjadi sebuah momen yang amat penting karena pada hari itu Pancasila dikemukakan kepada suatu publik politik untuk dipertimbangkan, diuraikan masing-masing silanya secara rinci, dan didemonstrasikan keseluruhannya sebagai suatu konfigurasi pemikiran yang utuh. Soekarno sebagai penggagas dan juru bicaranya pada waktu itu dengan tegas memberikan dua kualifikasi utama kepada Pancasila, yaitu kedudukannya sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) dan fungsinya sebagai suatu pandangan (tentang) dunia (Weltanschauung).

Soekarno dalam pidato yang bersejarah itu menyamakan begitu saja dasar filsafat negara dan suatu pandangan dunia. Patut dicatat bahwa pandangan dunia, yaitu world view atau Weltanschauung diperlakukan dalam ilmu-ilmu sosial sebagai pokok kajian dan penelitian ilmu-ilmu budaya. Clifford Geertz, misalnya, melihat world view sebagai gagasan orang-orang dalam suatu kelompok budaya tentang dunia yang mereka hadapi dan hayati, berupa ikhtisar kompleksitas dunia itu dalam beberapa gambaran yang disederhanakan: apakah dunia itu pada dasarnya baik atau jahat, real atau maya, abadi atau sementara, merupakan tempat persinggahan sejenak atau tempat orang mengolah nasib dan membangun masa depannya.

Sosiolog Jerman-Inggris, Karl Mannheim, berbicara tentang Weltanschauung eines Zeitalters atau pandangan dunia dalam suatu kurun waktu sejarah, jadi mirip dengan suatu semangat zaman atau Zeitgeist. Sementara itu, filosof Jerman, Karl Jaspers, berpendapat bahwa Weltanschauung tak lain dari suatu jenis filsafat(karena sifatnya yang menyeluruh dan tidak sektoral), tetapi tidak sekadar suatu filsafat yang spekulatif, tetapi filsafat yang efektif, suatu wirkende Philosophie, yang sanggup memberi harapan, kepercayaan, dan membangun komitmen.

Apa pun soalnya, cukup jelas bahwa Soekarno, selama dua dasawarsa (sejak 1926 hingga 1945), berpikir keras tentang apa yang dapat mempersatukan berbagai kelompok suku di Indonesia menjadi suatu bangsa yang dapat menentukan nasibnya sendiri melalui sebuah negara merdeka. Apakah mungkin tercapai sebuah dasar tempat semua orang dapat berdiri bersama secara politik di atas suatu platform nasional?

Sebagai aktivis politik yang berpengalaman, Soekarno memiliki perhatian yang tertuju pertama-tama pada suatu integrasi politik yang dapat mempertemukan dan mempersatukan berbagai kelompok politik pada watu itu. Dia tidak banyak berpikir tentang integrasi sosial atau integrasi budaya, yang kemudian menjadi pokok pemikiran tokoh-tokoh, seperti Ki Hadjar Dewantara atau Sutan Takdir Alisjahbana.

Apa yang dicari oleh Soekarno adalah suatu tema yang cukup luas, tetapi cukup terpadu, tempat semua kelompok politik terpenting pada masa itu merasa terwakili asasnya, identitasnya, dan kepentingannya. Dalam istilah ilmu politik sekarang, Soekarno secara meyakinkan melakukan suatu agregasi kepentingan politik dan mengartikulasikannya dengan berhasil.

Jelas sekali Soekarno harus memperhitungkan kelompok-kelompok agama, khususnya Islam, sebagai kelompok agama terbesar yang terwakili dalam NU dan Masjumi. Tanpa mencantumkan sila ke-Tuhan-an kelompok-kelompok agama sangat mungkin tidak tertarik mendukung negara yang akan didirikan. Atas cara yang sama tanpa mencantumkan sila kebangsaan golongan nasionalis yang mendapat kristalisasi politiknya dalam PNI barangkali akan tinggal apatis.

Demokrasi dan kedaulatan rakyat jelas akan menarik perhatian kelompok politik yang menekankan kepentingan rakyat seperti MURBA dan para pejuang demokrasi, seperti Hatta dan para muridnya dalam PNI Baru. Demikian pula tanpa mengikutsertakan sila keadilan sosial, partai-partai politik berhaluan kiri tidak akan merasa terpanggil.

Tak perlu diuraikan panjang lebar bahwa penghormatan kepada martabat manusia tidak bisa diabaikan karena hal tersebut merupakan isu yang dianggap menjadi tanda-kenal kaum inteligensia baru, khususnya kelompok politik yang mencita-citakan modernisme sebagaimana dapat diamati dalam subkultur PSI dan Masjumi misalnya.

Jadi, berbeda dari Karl Mannheim, Soekarno tidak berbicara tentang pandangan dunia dari suatu kurun waktu, tetapi dari suatu tempat tertentu yang bernama Indonesia. Juga, berbeda dari Karl Jaspers, Soekarno tidak berbicara tentang filsafat tentang dunia (Weltanschauung), tetapi filsafat tentang kehidupan bersama dalam suatu negara. Dalam arti itu, Pancasila diusulkan sebagai pandangan hidup (Lebensanschauung) secara politik Apakah prinsip-prinsip Pancasila dipetik dari nilai-nilai dalam peradaban dunia atau digali dari kebudayaan-kebudayaan Nusantara adalah isu yang dimainkan dengan piawai oleh Soekarno sebagai teknik promosi dan persuasi terhadap pendengarnya, melalui retorika yang amat terpelajar dengan pengucapan yang gilang-gemilang.

Dasar paling bawah (bottom line) pemikiran Soekarno adalah suatu gagasan yang dapat merepresentasikan identitas dan asas sebanyak mungkin kelompok politik, dan sekaligus dengan itu mengagregasikan kepentingan politik dalam spektrum seluas mungkin. Singkat kata, dari segi genealoginya, Pancasila terlahir sebagai suatu historico-political gentleman agreement, yaitu kesepakatan dari orang-orang dan kelompok-kelompok yang saling menghormati, meskipun mereka sadar ada banyak perkara di antara mereka yang tetap sulit dipertemukan. Kesepakatan itu harus dibuat agar dapat tercipta suatu landasan bagi konsensus nasional mengenai negara yang akan terbentuk.

Kita bersyukur bahwa RI sudah terbentuk di atas landasan tersebut. Fondasi politik ini sampai kini masih membuat Indonesia sebuah rumah bagi semua orang yang turut membangunnya, dan ingin hidup tenteram di dalamnya. Semoga rumah ini tidak berubah menjadi transit house, sekadar tempat bermalam dan menaruh koper bagi orang-orang yang hendak bepergian entah ke mana.

*) Ignas Kleden Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.

Masih Ada Jalan untuk Bangsa yang Gagal

Hasnan Bachtiar*
http://sastra-indonesia.com/

Bagaikan dalam cerita lama bencana di bumi ini/ Sekeping taman surga taman dalam pelukan, menjadi neraka dunia/ Banyak anak bangsa menjadi durhaka, menjarah segalanya/ Bumipun menghilang barokahnya.

Demikianlah petikan dari syair Bimbo tatkala menangisi pilunya negeri ini: Indonesia. Sedemikian getir penderitaan bangsa sehingga tiada daya dan upaya untuk sekedar membersihkan kembali toreh dosa-dosa yang mengotori sejarah.

Silang sengkarut politik kebangsaan, merubah hakikat sejatinya menjadi politik kebangsatan. Melacurkan diri, kehormatan, intelektualitas, kesadaran, dan bahkan kemanusiaan demi meraih hal yang fana, seperti kekuasaan, pengakuan, harta dan moralitas palsu. Korupsi, kolusi, nepotisme, penguasaan, dominasi, hegemoni dan eksploitasi menjadi pola-pola yang lumrah sebagai tindak laku birahi anak bangsa yang tiada tertahan.

Apa yang terjadi dengan Indonesia kerana ulah orang bangsa sendiri? Agama telah mati, tuhan dan ilahi tak dihiraukan lagi, kemiskinan, kelaparan, dehumanisasi, pendidikan yang merosot, moralitas manusia yang tersungkur dalam jurang, infrastruktur kenegaraan yang rapuh, trend dan mode yang konsumeristik, gaya hidup yang bebas sebebas-bebasnya, kriminalitas tanpa batas dan seribu ketragisan lainnya.

Apa pasal bumi yang pernah dijuluki taman surga ini menjadi neraka? Karena tanah gemah ripah loh jinawi telah musnah, hilang barokah. Seluruh kehidupan penuh dengan gejolak syahwat ketubuhan yang tiada kendali. Manusia kini menjelma menjadi iblis yang lebih dari iblis sebenarnya. Sangat kejam. Banyak orang bernyawa lupa jika hidup hanya sementara. Tiada satupun yang pernah menghitung-hitung untuk masa depan manusia lainnya.

Kiranya para pendiri bangsa ini diundang untuk hadir sekedar memperingati bahwa bangsa Indonesia ini pernah ada, niscaya mereka akan menangis sejadi-jadinya. Betapa umat yang dulunya menjunjung Pancasila, menanam benih di tanah nusantara, kini telah punah.

Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro, Agus Salim, lalu Hasjim Asyari, Ahmad Dahlan, dan seluruh arwah penggede bangsa akan sedih tiada tara, padahal mereka yang telah menata cita bangsa demi masa depan kemerdekaan kemanusiaan.

Benarlah dugaan Soedjatmoko (1988) bahwa tatkala orang bangsa tiada pernah lagi berpijak pada bumi dan kemanusiaan, lalu mengabaikan masa depan negerinya, bersiaplah untuk menjadi negeri yang gagal. Kini benar, negeri ini gagal.

Adakah keadilan sosial, kesejahteraan, kemanusiaan dan demokrasi hadir di negeri ini? Tiada pernah. Karena itu, jangan sungkan untuk mengakui bahwa negeri ini gagal. Tidak ada wakil rakyat yang memiliki rakyat, pula tidak ada rakyat yang memiliki wakil. Yang ada bahwa pemodal telah membeli suara rakyat dan rakyat rela hati nurani kebangsaannya terbeli hanya untuk beberapa lembar rupiah.

Presiden dan para menteri bukanlah pemikul amanah rakyat, dewan perwakilan rakyat atau legislatif juga tiada pernah bersuara untuk rakyat, para ksatria keadilan atau pejabat yudikatif juga alpa untuk teguh dan istiqomah menegakkan keadilan hingga langit runtuh. Seluruh sistem, struktur, proses, bahkan kultur berbangsa dan bernegara jauh panggang dari api dengan kebenaran. Matilah apa yang disebut dengan demokrasi.

Agama, para ulama, orang-orang saleh, intelektual universitas, bahkan beberapa jiwa spesial yang menyatakan diri hidup selibat, murah sekali dibeli oleh kekuasaan. Semuanya semu dan bertopeng. Tiada lagi spiritualitas, intelektualitas, humanitas, kecuali hanya pura-pura, dan sebagian adalah trend yang menjadi kebutuhan infotainmen. Siapa yang paling diuntungkan? Semuanya untung dan semuanya rugi sekaligus, kecuali para pemilik modal (kapitalis).

Bagaimana kita menjadi bangsa yang hidup kembali dari mati? Selama matahari, masih terbit dari timur, selama badan ini masih bisa digerakkan dan selama kemauan masih dapat dinyalakan, selama doa-doa tetap menjadi dorongan, maka selalu ada harapan, selalu ada jalan. Mari kita coret kata putus asa dari kamus kehidupan kita, jangan sesali apapun juga, jangan salahkan siapapun juga. Mari kita hapus kata tidak bisa, dari buku harian kita. Demikianlah kata Bimbo. Para pembaca, marilah kita mulai di bulan Ramadhan yang penuh barokah ini.

01 Agustus 2011
*) Penulis adalah anak bangsa, bekerja di Center for Religious and Social Studies

Buruh Bicara, Buruh Bersastra

Sony Wibisono
http://www.suaramerdeka.com/

KEMARIN, 1 Mei, adalah Hari Buruh Internasional. Jika para buruh di berbagai belahan dunia berdemonstrasi, sekelompok buruh merayakan hari itu dengan cara lain. Ya, para buruh migran itu mengadakan Festival Sastra Buruh di Gogodesa, Kecamatan Kanigoro, Blitar, Jawa Timur, pada 30 April-1 Mei.

Sejak awal mereka memang bersepakat untuk memperkenalkan karya seni, membaca puisi, dan berteater. Ajang itu juga menjadi bagi pengalaman lewat sastra mengenai kehidupan kaum buruh.

Ya, nasib buruh migran ternyata tak jauh beda dari buruh lokal. Namun memang masalah buruh migran lebih kompleks. AA Syifai, salah seorang penggagas festival itu, menuturkan kebijakan pemerintah sejak penyaluran tenaga kerja sampai soal perlindungan amat longgar.

"Lebih dari 50% biaya pengurusan kerja di luar negeri habis di tangan penyalur. Ya, dari pialang sampai menteri ambil jatah," ujarnya.

Rumah tangga juga sering bermasalah karena kepergian mereka ke luar negeri. " Banyak teman saya mengeluh sang suami kawin lagi," ujar Maria Bo Niok.

Mantan buruh migran di Hong Kong yang sekarang menjadi penulis itu menuturkan banyak rekannya ternyata menulis. Nah, Festival Sastra Buruh adalah ajang bagi para buruh migran yang menjadi penulis, khususnya yang bekerja di Hong Kong.

Apa yang melatarbelakangi kepenulisan menulis? "Tidak lain tak bukan adalah keadaan," kata Maria.

"Dulu saya beranggapan mereka menulis untuk sekedar curhat. Ternyata karya mereka luar biasa," ucap Bonari Nabonenar, sastrawan yang belakangan dekat dengan buruh migran.

Dia bersama bersama rekan-rekannya tak mempermasalahkan apakah genre sastra buruh benar-benar ada. "Saya hanya berproses dengan teman-teman buruh yang menulis. Lepas dari ukuran apakah itu sastra buruh atau bukan."

Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Unnesa, Surabaya, Setyo Yuwono, menilai buruh menulis sungguh positif. "Di kampus saja saya kesulitan mengembangkan atmosfer bersastra," ujarnya.

Dia menyatakan salut karena di sela kesibukan sebagai buruh, mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk menjalin komunikasi antarpenulis. "Padahal, banyak mahasiswa gagap teknologi. Membuka internet saja tak bisa," katanya.

Beni Setia menganggap stigma ideologi kiri yang melekat pada buruh bukan kesalahan mereka. "Kita harus bisa melihat sastra secara objektif. Jangan dilihat semata-mata dari latar belakang sang pengarang," ujar cerpenis yang bermukim di Madiun itu.

"Kalaupun ada ideologi dari luar, itu semata-mata karena ada penggerak dari luar yang bisa menerapkan teori pada buruh," katanya. Sastra karya buruh migran, ujar dia, membuktikan bahwa karya tak bisa dilihat cuma dari satu sisi. "Kualitas karya mereka mematahkan banyak pendapat miring tentang buruh."

Para buruh migran itu menulis karena kegelisahan. Dan, aksi budaya mereka bisa menjadi representasi keperihan hidup di negeri orang.

03 Mei 2007

Bahasa Serantau

Abdul Gaffar Ruskhan*
Media Indonesia, 17 Maret 2007

ADA yang mengatakan bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu juga. Soalnya bukankah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu? Pertanyaan itu ada benar dan ada salahnya.

Jika kita kembali ke sejarah bahasa, memang bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Tidak ada yang membantah bahasa Indonesia yang diikrarkan pada Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan bersumber dari bahasa Melayu.

Pada masa itu dan jauh sebelumnya, bahasa Melayu sudah digunakan sebagai bahasa perdagangan/perhubungan di Nusantara ini. Karena itu, bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa persatuan di Indonesia.

Kalau begitu, mengapa bahasa Indonesia tidak disebut saja dengan bahasa Melayu Indonesia? Penamaan itu sudah berlaku di Malaysia dan Brunei Darussalam, yakni bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Persoalannya bukanlah sekadar historisnya. Segi politisnya sangat berperan dalam penamaan bahasa Indonesia.

Ada perbedaan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu Malaysia dan Melayu Brunei Darussalam. Kedua negara jiran itu pada dasarnya menggunakan bahasa Melayu dengan berbagai dialeknya. Tentu berbeda halnya dengan Indonesia.

Di Indonesia bahasa yang digunakan, baik sebelum maupun sesudah Sumpah Pemuda, bermacam-macam. Berdasarkan penelitian, ada 731 bahasa daerah. Dalam Linguistic Lists dikatakan 746 bahasa daerah yang dituturkan ratusan etnik di Indonesia. Karena keragaman bahasa yang dituturkan masyarakat Indonesia, bahasa Indonesia tidak dapat disebut bahasa Melayu Indonesia. Jika hal itu digunakan, ada kemungkinan bahasa Indonesia merupakan dialek bahasa Melayu. Secara politis hal itu tidak dapat demikian. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa negara yang digunakan oleh lebih ratusan etnik di Indonesia. Karena itu, penamaan bahasa Indonesia merupakan pilihan politis bagi bangsa Indonesia.

Ada kemauan untuk menjadikan bahasa serumpun ini (bahasa Indonesia, Melayu Malaysia, dan Melayu Brunei Darussalam) menjadi bahasa resmi di kawasan tanah Serantau. Penggunaan bahasa Serantau diharapkan dapat memudahkan penyatuan ketiga bahasa negara ditambah bahasa Melayu Singapura di kawasan negara-negara itu.

Pada dasarnya penyatuan bahasa negara-negara Serantau sudah lama dirintis. Pada 1972 sudah ada kesepakatan pemberlakuan ejaan bahasa Indonesia dan Malaysia. Pada 1974 disepakati wadah kerja sama kebahasaan di antara dua negara, yakni Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (Mabim). Selanjutnya, keanggotaan wadah itu bertambah dengan masuknya Brunei Darussalam pada 1985. Nama wadahnya pun berganti dengan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim).

Kerja sama kebahasaan di tingkat tiga negara lebih banyak terlihat di bidang peristilahan. Ada sekira 350 ribu istilah yang dipadankan ke bahasa tiga negara. Kira-kira 70% istilah yang dipadankan memiliki kesamaan. Hal itu menunjukkan adanya kesamaan istilah yang digunakan. Istilah padanan disepakati dalam sidang pakar tiga negara. Pelaksanaan sidang itu berlangsung di negara anggota setiap tahun secara bergantian.

Perencanaan, kebijakan, dan berbagai keputusan majelis dilakukan pada Sidang Eksekutif Mabbim yang berlangsung setiap tahun di negara anggota secara bergantian juga. Biasanya sidang dilaksanakan menjelang pertengahan Maret setiap tahun. Pada tahun ini sidang diadakan di Malaysia. Sementara itu, tahun depan bertepatan dengan Tahun Bahasa dan 80 tahun Sumpah Pemuda sidang majelis akan diadakan di Indonesia.

Salah satu program majelis yang belum terlaksana adalah keinginan menjadikan bahasa Serantau sebagai bahasa resmi pada tingkat Asia Tenggara (ASEAN). Kendalanya adalah kurangnya dukungan dari negara lain, seperti Singapura dan negara-negara yang tidak memiliki bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa resmi.

*) Abdul Gaffar Ruskhan, Kabid Pengkajian Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/03/ulasan-bahasa-bahasa-serantau.html

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena DĆ© M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar