http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Di Ambang Senja
Di ambang senja
Seraut wajah meredup
Di telan bayang malam
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 29 September 2011
Sabtu, 24 September 2011
Sepotong Senja untuk Pacarku
Seno Gumira Ajidarma
–Cerpen Pilihan Kompas 1993
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/sepotong-senja-untuk-pacarku.html
–Cerpen Pilihan Kompas 1993
Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.
“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…
Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2011/04/sepotong-senja-untuk-pacarku.html
Enigma
Pringadi AS
http://reinvandiritto.blogspot.com/
Engkau selalu seolah paham: aku adalah makhluk paling kelam. Kulitku yang hitam legam setidaknya telah menjadi salah satu parametermu dalam menilaiku. Matamu bahkan akan selalu terpicing saat aku dengan pakaianku yang sudah compang-camping ini melewati rumahmu. Padahal aku tak pernah menganggumu. Tak pernah mengusikmu. Tapi selalu saja engkau mengusirku pergi, melemparku dengan kerikil-kerikil dari halaman rumahmu. Sebab katamu, aku adalah makhluk paling kelam. Hanya akan merusak pandangan matamu.
Tapi, tetap saja aku melewati rumahmu setiap hari. Sebab rumahmu adalah salah satu jalan hidupku. Sebab di depan rumahmu ini, aku menemukan banyak hal yang berguna untuk mengisi perutku dan adik-adikku. Sesuatu yang engkau sebut sampah tak berguna, telah menjadi sumber kehidupanku.
Seperti hari ini, aku kembali melewati rumahmu. Kuperhatikan dulu sejenak, barangkali engkau sedang duduk di teras menungguku. Menunggu untuk melempariku lagi dengan kerikil-kerikil itu. Tapi tampaknya engkau sedang tidak ada. Maka aku dengan santai memunguti setiap sampah yang masih kuanggap berguna. Tapi belum beberapa lama, aku sudah mendengar teriakanmu yang sudah tidak asing lagi di telinga. Engkau baru saja pulang sekolah. Seragam putih abu-abu itu buktinya. Sementara aku tidak lagi melanjutkan sekolah. Terhenti di sekolah dasar tahun kedua.
“Itu Si Kelam,” katamu sambil menunjukku. Di belakangmu, tidak kurang dari tiga orang memakai pakaian serupa seragammu.
“Loe barusan ngambil apa di sini?” Bentakmu padaku. Dan aku diam saja. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa.
“Loe maling ya?”
Aku menggeleng.
“Udah, ngaku aja!”
Aku masih terus menggeleng, dengan suara sengau tanpa satu pun kata yang terucap dari bibirku. Sementara engkau dan teman-teman sejenismu mulai menarik paksa karung yang masih kupegang erat dengan tangan kiriku. Menggeledah isinya satu per satu.
Aku berontak. Lantas engkau meninjuku tepat di ulu hati. Membuatku meringkuk, sulit bernafas. Engkau bukannya puas malah menginjak tubuhku sambil meludahiku. Aku marah. Aku gerah. Dengan segenap tenaga yang kupunya, aku balik menyerangmu. Mengarahkan benda yang ada di tangan kananku ke arah tubuhmu. Besi (ternyata besi) untukku memulung itu berujung runcing. Menembus perutmu. Darah. Warnanya merah.
Engkau teriak kesakitan memegangi lukamu. Teman-teman sejenismu mulai mengerubunimu, salah satunya berteriak ke dalam rumah, meminta pertolongan. Tak sampai satu menit kukira, sudah belasan orang mengerubuni kita. Salah satunya mendekatiku. Lalu membekukku. Dan engkau, kuperhatikan, digotong ke dalam kendaraan. Lalu hilang.
***
Di ruangan ini, aku tak lebih seorang perindu yang cemas. Pertanyaan orang-orang berseragam tadi tak kujawab. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa. Alhasil, mereka yang kebingungan malah memasukkanku ke ruangan ini: sebuah ruang dengan jeruji-jeruji tua, dan gelap.
Aku cemas. Bukan mencemaskan diriku. Tapi mencemaskan kedua adikku yang pasti sedang menungguku hari ini. Aku mulai menangis. Membayangkan bagaimana kedua adikku itu bisa makan hari ini. Sebab kami sudah tak memiliki orangtua. Aku yang menjadi tulang punggung bagi mereka. Tapi, dulu kami punya ibu. Saat usiaku dua belas tahun, ibu menghilang. Tak kembali. Tanpa pernah kutahu apa sebabnya. Saat itulah aku tiba-tiba kehilangan suaraku. Tak lagi bisa bicara.
Sebilah tangan menepuk pundakku, “Dik, kamu lapar?”
Aku baru menyadari keberadaannya. Seorang laki-laki dengan janggut yang lebat ternyata juga berada di ruangan ini. Kutaksir usianya sekitar empat puluhan akhir. Kutebak dari rambutnya yang sudah banyak beruban.
Aku diam. Tak menjawab. Dan laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku.
“Makanlah,” katanya lagi.
Aku pun makan pelan-pelan, sambil memperhatikan sekelilingku. Ruangan ini gelap, Remang-remang. Tapi ada yang berbeda. Tidak seperti citra penjara yang umumnya sering kudengar. Tak ada bau pesing. Tak ada sampah atau kotoran yang berserakan. Semua tertata rapi. Bahkan di ujung sebelah kanan, ada sebuah sajadah. Dan laki-laki itu, sedang memegang sebuah buku. Ah, tidak. Ia memegang Al-Quran. Dan mengaji. Aku tahu karena dulu aku pernah belajar mengaji. Tapi kini sudah tidak lagi. Aku sudah berhenti mengaji saat ditinggal ibuku pergi. Sebab tidak ada gunanya mengaji. Aku tak bisa hidup dengan mengaji. Tak kenyang dengan mengaji. Jadi, lebih baik aku tak mengaji lagi. Lebih memilih untuk bekerja mencari sesuap nasi.
“Dik, kenapa kau di sini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku. Ia sudah selesai mengaji.
Aku mengarahkan tanganku ke mulutku, lalu kugoyangkan ke kanan dan ke kiri.
“Kau tak bisa bicara?”
Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kuarahkan tangan ke dada, lalu ke telingaku sambil mengacungkan jempolku. Dan ia tersenyum. Mengerti bahwa aku bisa mendengar dengan baik.
Aku masih menatapnya. Ingin bertanya, kenapa dia sampai berada di sini.
“Apa kau bingung, kenapa aku bisa berada di sini?” Tanyanya paham.
Aku menganggukkan kepalaku lagi.
“Aku membunuh.”
Dan ia mulai bercerita. Dulu, ia adalah seorang tukang kebun di rumah seorang pengusaha. Suatu malam katanya, ia menyambangi rumah itu, hendak mencuri. Sebab ia tahu, saat itu, hanya anak majikannya yang berada di rumah. Tapi sayangnya, ia kepergok. Karena panik, tanpa sadar ia pukulkan linggis ke kepala anak itu. Terkapar. Dan tak bernyawa.
Setelah beberapa hari penyelidikan, ia tak bisa mengelak dari tuduhan. Melakukan pengakuan. Hingga ditahan selama dua puluh tahun.
Aku melihat ia menangis. Airmata penyesalan.
“Aku menelantarkan anak dan istriku.”
Dan aku kembali terenyuh, mengingat kedua adikku.
***
“Semoga Allah menerima taubatku, Dik.”
Aku hanya diam. Bukan tak bisa. Tapi tak mengerti.
Aku menggerakkan anggota tubuhku, memberi bahasa isyarat, “Kenapa kau masih percaya Tuhan?”
Ia hanya tersenyum. Aku tambah tak mengerti.
“Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” sementara aku dibiarkannya berpikir sejenak, “dulu aku tidak pernah shalat,” lanjutnya lagi.
Aku masih diam.
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, Dik. Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa diatasi oleh kita. Seperti sekarang. Aku, di sisi lain, merasa bersyukur dengan dipenjaranya diriku ini. Di sini, aku mengenal Tuhan, Allah. Di sini, aku belajar shalat. Dan dengan shalat lah aku mendapatkan ketenangan hati…”
Ia diam sejenak. “Ini sebuah skenario, Dik. Skenario yang terbaik buat kita. Percaya lah.”
Aku diam. Merenung. Kalau begitu, skenario macam apa yang disiapkan untukku. Membiarkan adik-adikku mati kelaparan? Membiarkan aku yang tak bersalah ini dihukum bertahun-tahun di dalam kurungan?
“Kau hanya harus bisa berpikir positif, Dik. Mengambil hikmah.”
Ia beranjak, meminta izin kepada sipir penjara. Lalu kembali dengan muka basah, berseri-seri. Menunaikan shalat. Entah shalat apa.
***
Hari ke tiga. Masih pukul tiga pagi. Aku terbangun ingin ke kamar mandi. Sipir pasti masih pulas. Aku buang saja di botol yang sudah disiapkan untuk keadaan seperti ini.
Samar terdengar suara, Allah… Allah… Allah
Bukan dari tempat tidur. Ia sedang di atas sajadah, menunaikan shalat malam. Kepalanya tertunduk ke tanah. Aku masih ingat, ini sujud namanya.
Kuperhatikan sesaat, dan ia masih dalam sujud. Dan lebih lama, ia tetap dalam sujud. Maka kudekati ia. Kugoyang-goyangkan tubuhnya.
Ia tak menjawab. Hanya lafadz Allah yang mengalun dari bibirnya.
Aku ikut menunduk, memperhatikan wajahnya. Dan aku tersentak, saat kulihat wajahnya bercahaya. Benar-benar bercahaya. Dan tiba-tiba ia ambruk.
“Dik… Dik…” ia memanggilku dua kali. Aku lebih kaget. Kupikir tadi, ia sudah mati.
Matanya kosong. “Ambilkan aku air…”
Segera kupenuhi permintaannya. Ia minum air itu. Cuma seteguk.
“Dik… sepertinya waktuku akan tiba. Apa Allah menerima taubatku?”
Aku diam. Lalu menganggukkan kepalaku.
Ia tersenyum. Mulai meringis. Lalu perlahan, matanya mulai terkatup. Tidak lagi ada nafas terasa dari hidungnya. Tidak detak jantungnya. Tidak denyut nadinya. Kali ini, ia benar-benar mati. Dan ini, kali pertama dalam hidupku, menyaksikan kematian seseorang, dengan tersenyum pula.
***
Aku masih ingat senyum terakhirnya itu. Membuatku menangis mengingatnya. Bukan karena kesedihan akibat kematian. Lebih kepada kehilangan sosoknya, yang selalu memberikanku ketenangan meski baru beberapa hari kami berkenalan. Aku buka Al-Quran peninggalannya, tak satu pun masih kukenali hurufnya, apalagi artinya. Aku buka buku-buku peninggalannya yang lain: tentang doa, tentang shalat.
Maka pagi itu, aku mengambil wudhu, membasuh tubuhku. Menunaikan shalat meski aku tak hafal bacaannya. Tak paham gerakannya. Aku hanya mencoba shalat. Dengan tanpa kata-kata. Hendak mencari ketenangan yang ia ceritakan. Hendak mencari Tuhan yang ia agung-agungkan.
http://reinvandiritto.blogspot.com/
Engkau selalu seolah paham: aku adalah makhluk paling kelam. Kulitku yang hitam legam setidaknya telah menjadi salah satu parametermu dalam menilaiku. Matamu bahkan akan selalu terpicing saat aku dengan pakaianku yang sudah compang-camping ini melewati rumahmu. Padahal aku tak pernah menganggumu. Tak pernah mengusikmu. Tapi selalu saja engkau mengusirku pergi, melemparku dengan kerikil-kerikil dari halaman rumahmu. Sebab katamu, aku adalah makhluk paling kelam. Hanya akan merusak pandangan matamu.
Tapi, tetap saja aku melewati rumahmu setiap hari. Sebab rumahmu adalah salah satu jalan hidupku. Sebab di depan rumahmu ini, aku menemukan banyak hal yang berguna untuk mengisi perutku dan adik-adikku. Sesuatu yang engkau sebut sampah tak berguna, telah menjadi sumber kehidupanku.
Seperti hari ini, aku kembali melewati rumahmu. Kuperhatikan dulu sejenak, barangkali engkau sedang duduk di teras menungguku. Menunggu untuk melempariku lagi dengan kerikil-kerikil itu. Tapi tampaknya engkau sedang tidak ada. Maka aku dengan santai memunguti setiap sampah yang masih kuanggap berguna. Tapi belum beberapa lama, aku sudah mendengar teriakanmu yang sudah tidak asing lagi di telinga. Engkau baru saja pulang sekolah. Seragam putih abu-abu itu buktinya. Sementara aku tidak lagi melanjutkan sekolah. Terhenti di sekolah dasar tahun kedua.
“Itu Si Kelam,” katamu sambil menunjukku. Di belakangmu, tidak kurang dari tiga orang memakai pakaian serupa seragammu.
“Loe barusan ngambil apa di sini?” Bentakmu padaku. Dan aku diam saja. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa.
“Loe maling ya?”
Aku menggeleng.
“Udah, ngaku aja!”
Aku masih terus menggeleng, dengan suara sengau tanpa satu pun kata yang terucap dari bibirku. Sementara engkau dan teman-teman sejenismu mulai menarik paksa karung yang masih kupegang erat dengan tangan kiriku. Menggeledah isinya satu per satu.
Aku berontak. Lantas engkau meninjuku tepat di ulu hati. Membuatku meringkuk, sulit bernafas. Engkau bukannya puas malah menginjak tubuhku sambil meludahiku. Aku marah. Aku gerah. Dengan segenap tenaga yang kupunya, aku balik menyerangmu. Mengarahkan benda yang ada di tangan kananku ke arah tubuhmu. Besi (ternyata besi) untukku memulung itu berujung runcing. Menembus perutmu. Darah. Warnanya merah.
Engkau teriak kesakitan memegangi lukamu. Teman-teman sejenismu mulai mengerubunimu, salah satunya berteriak ke dalam rumah, meminta pertolongan. Tak sampai satu menit kukira, sudah belasan orang mengerubuni kita. Salah satunya mendekatiku. Lalu membekukku. Dan engkau, kuperhatikan, digotong ke dalam kendaraan. Lalu hilang.
***
Di ruangan ini, aku tak lebih seorang perindu yang cemas. Pertanyaan orang-orang berseragam tadi tak kujawab. Bukan tak ingin. Tapi tak bisa. Alhasil, mereka yang kebingungan malah memasukkanku ke ruangan ini: sebuah ruang dengan jeruji-jeruji tua, dan gelap.
Aku cemas. Bukan mencemaskan diriku. Tapi mencemaskan kedua adikku yang pasti sedang menungguku hari ini. Aku mulai menangis. Membayangkan bagaimana kedua adikku itu bisa makan hari ini. Sebab kami sudah tak memiliki orangtua. Aku yang menjadi tulang punggung bagi mereka. Tapi, dulu kami punya ibu. Saat usiaku dua belas tahun, ibu menghilang. Tak kembali. Tanpa pernah kutahu apa sebabnya. Saat itulah aku tiba-tiba kehilangan suaraku. Tak lagi bisa bicara.
Sebilah tangan menepuk pundakku, “Dik, kamu lapar?”
Aku baru menyadari keberadaannya. Seorang laki-laki dengan janggut yang lebat ternyata juga berada di ruangan ini. Kutaksir usianya sekitar empat puluhan akhir. Kutebak dari rambutnya yang sudah banyak beruban.
Aku diam. Tak menjawab. Dan laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan sebungkus roti kepadaku.
“Makanlah,” katanya lagi.
Aku pun makan pelan-pelan, sambil memperhatikan sekelilingku. Ruangan ini gelap, Remang-remang. Tapi ada yang berbeda. Tidak seperti citra penjara yang umumnya sering kudengar. Tak ada bau pesing. Tak ada sampah atau kotoran yang berserakan. Semua tertata rapi. Bahkan di ujung sebelah kanan, ada sebuah sajadah. Dan laki-laki itu, sedang memegang sebuah buku. Ah, tidak. Ia memegang Al-Quran. Dan mengaji. Aku tahu karena dulu aku pernah belajar mengaji. Tapi kini sudah tidak lagi. Aku sudah berhenti mengaji saat ditinggal ibuku pergi. Sebab tidak ada gunanya mengaji. Aku tak bisa hidup dengan mengaji. Tak kenyang dengan mengaji. Jadi, lebih baik aku tak mengaji lagi. Lebih memilih untuk bekerja mencari sesuap nasi.
“Dik, kenapa kau di sini?” Tanyanya membuyarkan lamunanku. Ia sudah selesai mengaji.
Aku mengarahkan tanganku ke mulutku, lalu kugoyangkan ke kanan dan ke kiri.
“Kau tak bisa bicara?”
Aku menganggukkan kepalaku. Lalu kuarahkan tangan ke dada, lalu ke telingaku sambil mengacungkan jempolku. Dan ia tersenyum. Mengerti bahwa aku bisa mendengar dengan baik.
Aku masih menatapnya. Ingin bertanya, kenapa dia sampai berada di sini.
“Apa kau bingung, kenapa aku bisa berada di sini?” Tanyanya paham.
Aku menganggukkan kepalaku lagi.
“Aku membunuh.”
Dan ia mulai bercerita. Dulu, ia adalah seorang tukang kebun di rumah seorang pengusaha. Suatu malam katanya, ia menyambangi rumah itu, hendak mencuri. Sebab ia tahu, saat itu, hanya anak majikannya yang berada di rumah. Tapi sayangnya, ia kepergok. Karena panik, tanpa sadar ia pukulkan linggis ke kepala anak itu. Terkapar. Dan tak bernyawa.
Setelah beberapa hari penyelidikan, ia tak bisa mengelak dari tuduhan. Melakukan pengakuan. Hingga ditahan selama dua puluh tahun.
Aku melihat ia menangis. Airmata penyesalan.
“Aku menelantarkan anak dan istriku.”
Dan aku kembali terenyuh, mengingat kedua adikku.
***
“Semoga Allah menerima taubatku, Dik.”
Aku hanya diam. Bukan tak bisa. Tapi tak mengerti.
Aku menggerakkan anggota tubuhku, memberi bahasa isyarat, “Kenapa kau masih percaya Tuhan?”
Ia hanya tersenyum. Aku tambah tak mengerti.
“Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar,” sementara aku dibiarkannya berpikir sejenak, “dulu aku tidak pernah shalat,” lanjutnya lagi.
Aku masih diam.
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, Dik. Allah tidak akan memberikan cobaan yang tidak bisa diatasi oleh kita. Seperti sekarang. Aku, di sisi lain, merasa bersyukur dengan dipenjaranya diriku ini. Di sini, aku mengenal Tuhan, Allah. Di sini, aku belajar shalat. Dan dengan shalat lah aku mendapatkan ketenangan hati…”
Ia diam sejenak. “Ini sebuah skenario, Dik. Skenario yang terbaik buat kita. Percaya lah.”
Aku diam. Merenung. Kalau begitu, skenario macam apa yang disiapkan untukku. Membiarkan adik-adikku mati kelaparan? Membiarkan aku yang tak bersalah ini dihukum bertahun-tahun di dalam kurungan?
“Kau hanya harus bisa berpikir positif, Dik. Mengambil hikmah.”
Ia beranjak, meminta izin kepada sipir penjara. Lalu kembali dengan muka basah, berseri-seri. Menunaikan shalat. Entah shalat apa.
***
Hari ke tiga. Masih pukul tiga pagi. Aku terbangun ingin ke kamar mandi. Sipir pasti masih pulas. Aku buang saja di botol yang sudah disiapkan untuk keadaan seperti ini.
Samar terdengar suara, Allah… Allah… Allah
Bukan dari tempat tidur. Ia sedang di atas sajadah, menunaikan shalat malam. Kepalanya tertunduk ke tanah. Aku masih ingat, ini sujud namanya.
Kuperhatikan sesaat, dan ia masih dalam sujud. Dan lebih lama, ia tetap dalam sujud. Maka kudekati ia. Kugoyang-goyangkan tubuhnya.
Ia tak menjawab. Hanya lafadz Allah yang mengalun dari bibirnya.
Aku ikut menunduk, memperhatikan wajahnya. Dan aku tersentak, saat kulihat wajahnya bercahaya. Benar-benar bercahaya. Dan tiba-tiba ia ambruk.
“Dik… Dik…” ia memanggilku dua kali. Aku lebih kaget. Kupikir tadi, ia sudah mati.
Matanya kosong. “Ambilkan aku air…”
Segera kupenuhi permintaannya. Ia minum air itu. Cuma seteguk.
“Dik… sepertinya waktuku akan tiba. Apa Allah menerima taubatku?”
Aku diam. Lalu menganggukkan kepalaku.
Ia tersenyum. Mulai meringis. Lalu perlahan, matanya mulai terkatup. Tidak lagi ada nafas terasa dari hidungnya. Tidak detak jantungnya. Tidak denyut nadinya. Kali ini, ia benar-benar mati. Dan ini, kali pertama dalam hidupku, menyaksikan kematian seseorang, dengan tersenyum pula.
***
Aku masih ingat senyum terakhirnya itu. Membuatku menangis mengingatnya. Bukan karena kesedihan akibat kematian. Lebih kepada kehilangan sosoknya, yang selalu memberikanku ketenangan meski baru beberapa hari kami berkenalan. Aku buka Al-Quran peninggalannya, tak satu pun masih kukenali hurufnya, apalagi artinya. Aku buka buku-buku peninggalannya yang lain: tentang doa, tentang shalat.
Maka pagi itu, aku mengambil wudhu, membasuh tubuhku. Menunaikan shalat meski aku tak hafal bacaannya. Tak paham gerakannya. Aku hanya mencoba shalat. Dengan tanpa kata-kata. Hendak mencari ketenangan yang ia ceritakan. Hendak mencari Tuhan yang ia agung-agungkan.
Kipandjikusmin dan Kesusastraan yang Asing
Syu’bah Asa
http://majalah.tempointeraktif.com/
Pleidoi Sastra
Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin
Editor: Muhidin M. Dahlan, Mujib Hermani
Penerbit: Melibas, Jakarta, 2004
Tebal: 484 hlm.
Seakan-akan ini keasingan jenis kedua.
Dulu, di tahun-tahun 1970-an, terdapat konstatasi mengenai betapa kesusastraan Indonesia hakikatnya barang yang minoritas. Ia hanya diterima oleh sebagian kecil masyarakat kota, yang berjumlah 15 persen dari keseluruhan penduduk. Status minoritas ini sebermula dihubungkan dengan predikat “modern” yang disandangnya, yang dilawankan dengan sifat tradisional sastra lama yang hanya dituturkan secara lisan. Jadi, kesusastraan modern kita mendapat sifat modernnya dari tulisan, dan pemakaian tulisan (Latin, bukan Jawi) itu menandai terjadinya akulturasi dengan budaya Barat, alias asing, seperti bisa dilihat khususnya sejak akhir abad ke-19.
Tetapi ciri-ciri akulturasi tersebut jarang kita bincangkan: keasingan itu tak pernah kita tunjuk. Seperti semua hal sudah begitu saja “menjadi milik kita”, dan berjalan dengan semestinya. Juga ketika sebuah cerita pendek berjudul Langit Makin Mendung (LMM), dari pengarang dengan nama samaran Kipandjikusmin, yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968 mengguncangkan sekaligus dunia sastra dan dunia hukum kita waktu itu. Sebenarnya (atau seharusnya) itu menyadarkan kita akan hadirnya keasingan yang lebih dari sekadar menyangkut ciri-ciri lahiriah kesusastraan yang sudah disebut, yang lalu tampak seolah keasingan jenis kedua. Kita malah hanya merasakan munculnya “dua aliran”.
Yakni yang memberi kebebasan penuh pada penggunaan imajinasi dalam sastra, di satu pihak, dan yang tidak. Itulah yang muncul sampai-sampai dalam perdebatan di pengadilan—ketika H.B. Jassin, Pemimpin Redaksi Sastra, diajukan ke sana untuk dakwaan penghinaan kepada Tuhan, Nabi Muhammad, agama Islam, dan seterusnya, dengan pemuatan LMM, sementara ia tak bersedia membukakan identitas si pengarang yang seharusnya bertanggung jawab.
Yang bisa mengejutkan sebenarnya ialah munculnya, untuk pertama kalinya, perdebatan mengenai imajinasi itu. Tapi itu hakikatnya hanya percikan-percikan di sebelah depan dari latar belakang jeram keterbelahan ini: antara yang meyakini bahwa sastra, dan itu berarti imajinasi, sebagai praktis alternatif agama, dan yang menganggapnya—dengan pembatasan imajinasi—sebagai sarana indah pengucapan seseorang yang sangat mungkin masih menyandarkan segala normanya pada agama. Inilah, sebenarnya, gunung es yang dibawa akulturasi.
Yakni relativitas agama, atau wacana sekitar itu. Inilah yang akan melatarbelakangi semua tulisan yang “bikin ramai” karena dianggap orang agama menghina keyakinan mereka. Dan kedua pihak itu tak akan bertemu. Bila penulis seperti Kipandjikusmin tidak merasa salah dengan melukiskan Tuhan (kebetulan Tuhan Islam, kelihatan dari segala atributnya) berkacamata emas, atau berbagai gambaran antropomorfis lain, dengan laku menyindir atau olok-olok, bagi orang agama yang dilakukannya itu bukan “semata-mata sastra, tak ada hubungannya dengan agama”.
Tak ada hal yang “tak ada hubungannya dengan agama”—bila agama itu, di sini, tidak seperti di Barat, paling tidak, hidup, dan kelihatan bukan makin diingkari melainkan makin diinginkan dipahami. Sastra, imajinasi, kemerdekaan, dengan begitu dipersilakan berkembang, dan dipersilakan juga bikin sastra yang dikagumi dan asing.
Buku ini, yang cantik dan penuh salah-tulis, memuat “semua” karangan pro-kontra kasus Sastra—termasuk dari Hamka, di samping Jassin. Yang menarik ialah sangat miskinnya informasi tentang Kipandjikusmin. Jangankan lagi usaha untuk menemuinya—seperti yang dilakukan Usamah, wartawan Ekspres dahulu, yang sebenarnya bisa dirunut. Juga keterangan yang menyesatkan mengenai si pengarang yang, katanya, “berdiam di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam”. Penelitian yang lebih serius menyebut Kipandjikusmin dididik sebagai Protestan, lalu Katolik, lalu kembali ke Islam.
03 Mei 2004
http://majalah.tempointeraktif.com/
Pleidoi Sastra
Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin
Editor: Muhidin M. Dahlan, Mujib Hermani
Penerbit: Melibas, Jakarta, 2004
Tebal: 484 hlm.
Seakan-akan ini keasingan jenis kedua.
Dulu, di tahun-tahun 1970-an, terdapat konstatasi mengenai betapa kesusastraan Indonesia hakikatnya barang yang minoritas. Ia hanya diterima oleh sebagian kecil masyarakat kota, yang berjumlah 15 persen dari keseluruhan penduduk. Status minoritas ini sebermula dihubungkan dengan predikat “modern” yang disandangnya, yang dilawankan dengan sifat tradisional sastra lama yang hanya dituturkan secara lisan. Jadi, kesusastraan modern kita mendapat sifat modernnya dari tulisan, dan pemakaian tulisan (Latin, bukan Jawi) itu menandai terjadinya akulturasi dengan budaya Barat, alias asing, seperti bisa dilihat khususnya sejak akhir abad ke-19.
Tetapi ciri-ciri akulturasi tersebut jarang kita bincangkan: keasingan itu tak pernah kita tunjuk. Seperti semua hal sudah begitu saja “menjadi milik kita”, dan berjalan dengan semestinya. Juga ketika sebuah cerita pendek berjudul Langit Makin Mendung (LMM), dari pengarang dengan nama samaran Kipandjikusmin, yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968 mengguncangkan sekaligus dunia sastra dan dunia hukum kita waktu itu. Sebenarnya (atau seharusnya) itu menyadarkan kita akan hadirnya keasingan yang lebih dari sekadar menyangkut ciri-ciri lahiriah kesusastraan yang sudah disebut, yang lalu tampak seolah keasingan jenis kedua. Kita malah hanya merasakan munculnya “dua aliran”.
Yakni yang memberi kebebasan penuh pada penggunaan imajinasi dalam sastra, di satu pihak, dan yang tidak. Itulah yang muncul sampai-sampai dalam perdebatan di pengadilan—ketika H.B. Jassin, Pemimpin Redaksi Sastra, diajukan ke sana untuk dakwaan penghinaan kepada Tuhan, Nabi Muhammad, agama Islam, dan seterusnya, dengan pemuatan LMM, sementara ia tak bersedia membukakan identitas si pengarang yang seharusnya bertanggung jawab.
Yang bisa mengejutkan sebenarnya ialah munculnya, untuk pertama kalinya, perdebatan mengenai imajinasi itu. Tapi itu hakikatnya hanya percikan-percikan di sebelah depan dari latar belakang jeram keterbelahan ini: antara yang meyakini bahwa sastra, dan itu berarti imajinasi, sebagai praktis alternatif agama, dan yang menganggapnya—dengan pembatasan imajinasi—sebagai sarana indah pengucapan seseorang yang sangat mungkin masih menyandarkan segala normanya pada agama. Inilah, sebenarnya, gunung es yang dibawa akulturasi.
Yakni relativitas agama, atau wacana sekitar itu. Inilah yang akan melatarbelakangi semua tulisan yang “bikin ramai” karena dianggap orang agama menghina keyakinan mereka. Dan kedua pihak itu tak akan bertemu. Bila penulis seperti Kipandjikusmin tidak merasa salah dengan melukiskan Tuhan (kebetulan Tuhan Islam, kelihatan dari segala atributnya) berkacamata emas, atau berbagai gambaran antropomorfis lain, dengan laku menyindir atau olok-olok, bagi orang agama yang dilakukannya itu bukan “semata-mata sastra, tak ada hubungannya dengan agama”.
Tak ada hal yang “tak ada hubungannya dengan agama”—bila agama itu, di sini, tidak seperti di Barat, paling tidak, hidup, dan kelihatan bukan makin diingkari melainkan makin diinginkan dipahami. Sastra, imajinasi, kemerdekaan, dengan begitu dipersilakan berkembang, dan dipersilakan juga bikin sastra yang dikagumi dan asing.
Buku ini, yang cantik dan penuh salah-tulis, memuat “semua” karangan pro-kontra kasus Sastra—termasuk dari Hamka, di samping Jassin. Yang menarik ialah sangat miskinnya informasi tentang Kipandjikusmin. Jangankan lagi usaha untuk menemuinya—seperti yang dilakukan Usamah, wartawan Ekspres dahulu, yang sebenarnya bisa dirunut. Juga keterangan yang menyesatkan mengenai si pengarang yang, katanya, “berdiam di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam”. Penelitian yang lebih serius menyebut Kipandjikusmin dididik sebagai Protestan, lalu Katolik, lalu kembali ke Islam.
03 Mei 2004
Jumat, 23 September 2011
Sajak-Sajak Tia Setiadi
http://www.lampungpost.com/
Ode untuk Daun-Daun
: Jingga Gemilang
/1/
daun-daun yang jatuh adalah surat-surat
yang mesti kau baca.
hijau atau jambon warnanya
adalah warna lembaran hatimu sendiri
yang terbaring
menunggu, menunggu
di luar kata-kata dan ranum kulitmu
daun-daun
daun-daun
daun-daun yang jatuh—
perlahan dan tabah—
seperti sehelai sapu tangan jingga yang jatuh
dari pohon awan
sesaat selepas kauseka
kesepianku.
/2/
daun-daun yang jatuh adalah kerinduan
yang mesti kau terjemahkan.
musim demi musim
dalam celupan cahaya dan air
daun-daun itu mematangkan diri
menunggu, menunggu
sentuhanmu.
bacalah gurat-gurat wajahnya
agar kau kenali gurat-gurat wajahmu sendiri
daun-daun
daun-daun
daun-daun yang jatuh adalah lidah-lidah malaikat
yang bernyanyi
dan lidah-lidah sungai
dan burung-burung pingai
yang bernyanyi
daun-daun
daun-daun
pungut dan himpun daun-daun yang jatuh itu
lalu kau hamburkan kembali
ke mangkuk bumiku yang subur rindu:
lembaran-lembaran musim—
bak riak-riak karpet parsi—
yang hijau pupus,
amin.
Bilqis dan Sulaiman
Duhai bumi, telanlah airmu. Dan duhai langit, berhentilah…
(QS Hud [11]: 44)
“Duhai bumi, telanlah airmu,” ujar Bilqis,
sembari berjinjit di lantai Istana Ursyalim.
Ia menyangka lantai itu terbikin dari air
maka ia tarik sedikit ujung gaunnya
dan tersingkaplah dua betis gadingnya
dengan helaian-helaian bulu lunak
yang meriap berkilauan kena sinar damar
Saat Sulaiman berucap bahwa lantai itu
tersusun dari kaca dan bukan dari air
Bilqis seketika terperanjat dan tersipu
hati dan pipinya berubah jadi lembayung
bak dicelup oleh Sang Pencelup Agung
sepasang matanya runduk dalam takjub
bagaikan dua butir embun di taman yang kuyup
“Kedua mataku ternyata menipu, duhai Sulaiman,
kukira bentangan air padahal cermin yang licin,
maka kini biarlah aku buta di hadapanmu,
dan biarlah biru langit berakhir bagiku”
Kemudian Sulaiman mengecup mata Bilqis.
“Wahai Bilqis, bukan hanya engkau yang buta,
kini aku pun buta, karna meski aku mengerti
bahasa berbagai binatang dan makhluk-makhluk gaib
namun ternyata aku tak mampu memahami
huruf-huruf rahasia yang tersembunyi
di helaian-helaian halus bulu betismu,”
Dan Bilqis pun mengecup mata Sulaiman.
“Bila demikian, biarkan matamu jadi mataku,
dan mataku jadi matamu, Junjunanku,
hanya dengan begitu kebesaranmu akan tersingkap
bagiku, dan rahasiaku akan tersingkap bagimu”
Malam kian dalam, damar pun berpadaman
sebab kini minyak dan sumbunya telah bersatu
Tetapi kedua sejoli itu masih saja terjaga
di tempatnya semula, seperti dua air terjun
yang mematung, saling mengurai rahasia
dan meneroka lanskap diri masing-masing
keduanya jadi guru dan murid satu sama lain
Cinta Bilqis dan Sulaiman semakin membesar
dan sengit setiap detiknya, sementara bumi
kian menyempit, dan kemudian menjelma
jadi sehampar kolam kecil yang menyucikan
dan menyatukan guguran gairah keduanya
dengan luruhan cahaya purnama dari angkasa
yang semakin anggun dan keramat setiap detiknya.
Wijayakusuma
tanpa tahu saat ia lewat
tilasnya masih terambung—
di banjir wangi wijayakusuma.
__________________
Tia Setiadi, menulis esai dan sajak pada pelbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur budaya pada majalah Gong (2008). Kini bekerja sebagai chief editor penerbit Interlude dan peneliti ahli pada Parikesit Institute. Sedang menyiapkan antologi puisi tunggal: Husrev dan Shirin.
Sumber: http://www.lampungpost.com/sastra/7843-sajak-sajak-tia-setiadi.html
Ode untuk Daun-Daun
: Jingga Gemilang
/1/
daun-daun yang jatuh adalah surat-surat
yang mesti kau baca.
hijau atau jambon warnanya
adalah warna lembaran hatimu sendiri
yang terbaring
menunggu, menunggu
di luar kata-kata dan ranum kulitmu
daun-daun
daun-daun
daun-daun yang jatuh—
perlahan dan tabah—
seperti sehelai sapu tangan jingga yang jatuh
dari pohon awan
sesaat selepas kauseka
kesepianku.
/2/
daun-daun yang jatuh adalah kerinduan
yang mesti kau terjemahkan.
musim demi musim
dalam celupan cahaya dan air
daun-daun itu mematangkan diri
menunggu, menunggu
sentuhanmu.
bacalah gurat-gurat wajahnya
agar kau kenali gurat-gurat wajahmu sendiri
daun-daun
daun-daun
daun-daun yang jatuh adalah lidah-lidah malaikat
yang bernyanyi
dan lidah-lidah sungai
dan burung-burung pingai
yang bernyanyi
daun-daun
daun-daun
pungut dan himpun daun-daun yang jatuh itu
lalu kau hamburkan kembali
ke mangkuk bumiku yang subur rindu:
lembaran-lembaran musim—
bak riak-riak karpet parsi—
yang hijau pupus,
amin.
Bilqis dan Sulaiman
Duhai bumi, telanlah airmu. Dan duhai langit, berhentilah…
(QS Hud [11]: 44)
“Duhai bumi, telanlah airmu,” ujar Bilqis,
sembari berjinjit di lantai Istana Ursyalim.
Ia menyangka lantai itu terbikin dari air
maka ia tarik sedikit ujung gaunnya
dan tersingkaplah dua betis gadingnya
dengan helaian-helaian bulu lunak
yang meriap berkilauan kena sinar damar
Saat Sulaiman berucap bahwa lantai itu
tersusun dari kaca dan bukan dari air
Bilqis seketika terperanjat dan tersipu
hati dan pipinya berubah jadi lembayung
bak dicelup oleh Sang Pencelup Agung
sepasang matanya runduk dalam takjub
bagaikan dua butir embun di taman yang kuyup
“Kedua mataku ternyata menipu, duhai Sulaiman,
kukira bentangan air padahal cermin yang licin,
maka kini biarlah aku buta di hadapanmu,
dan biarlah biru langit berakhir bagiku”
Kemudian Sulaiman mengecup mata Bilqis.
“Wahai Bilqis, bukan hanya engkau yang buta,
kini aku pun buta, karna meski aku mengerti
bahasa berbagai binatang dan makhluk-makhluk gaib
namun ternyata aku tak mampu memahami
huruf-huruf rahasia yang tersembunyi
di helaian-helaian halus bulu betismu,”
Dan Bilqis pun mengecup mata Sulaiman.
“Bila demikian, biarkan matamu jadi mataku,
dan mataku jadi matamu, Junjunanku,
hanya dengan begitu kebesaranmu akan tersingkap
bagiku, dan rahasiaku akan tersingkap bagimu”
Malam kian dalam, damar pun berpadaman
sebab kini minyak dan sumbunya telah bersatu
Tetapi kedua sejoli itu masih saja terjaga
di tempatnya semula, seperti dua air terjun
yang mematung, saling mengurai rahasia
dan meneroka lanskap diri masing-masing
keduanya jadi guru dan murid satu sama lain
Cinta Bilqis dan Sulaiman semakin membesar
dan sengit setiap detiknya, sementara bumi
kian menyempit, dan kemudian menjelma
jadi sehampar kolam kecil yang menyucikan
dan menyatukan guguran gairah keduanya
dengan luruhan cahaya purnama dari angkasa
yang semakin anggun dan keramat setiap detiknya.
Wijayakusuma
tanpa tahu saat ia lewat
tilasnya masih terambung—
di banjir wangi wijayakusuma.
__________________
Tia Setiadi, menulis esai dan sajak pada pelbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur budaya pada majalah Gong (2008). Kini bekerja sebagai chief editor penerbit Interlude dan peneliti ahli pada Parikesit Institute. Sedang menyiapkan antologi puisi tunggal: Husrev dan Shirin.
Sumber: http://www.lampungpost.com/sastra/7843-sajak-sajak-tia-setiadi.html
Serenada Malam Kunangkunang
Shourisha Arashi
http://sastra-indonesia.com/
Kutenggelamkan diri dalam kubangan yang pekatnya adalah malam. Sedangkan dingin ini tak lagi dapat bekukan apapun karena segalanya telah hilang. Hanya jejak samar yang nyata mengarah ke entah. Dan kita takkan pernah tahu hingga saatnya tiba.
Langitku hitam. Sedang bintang yang nampak ternyata kunangkunang yang linglung mencari tempat berlindung. Kulihat telaga perak rembulan dan sekejap yang nampak adalah aku yang bersayap koyak. Terbang rendah dari dahan ke dedaunan lalu hinggap di rerumputan liar.
O, betapa sendu serenada malam kunangkunang. Dengan bisik lirih dan getar sayap yang mulai lelah. Dengan terang temaram tanpa pernah mendamba kerlapkerlip seterang bintang-gemintang. Karena gelap selalu menghargai seredup apapun nyala cahaya.
Lalu mendung pun hanya akan menjadi segumpal awan kelabu yang berlalu. Bersama angin yang mengabarkan bahwa hujan kan segera datang. Bukan janji. Hanya kabar. Maka kudengarkan dan kupahami dengan harap tak terlalu besar. Kurasa dan semoga kita masih bisa bersabar.
23 September 2011
http://sastra-indonesia.com/
Kutenggelamkan diri dalam kubangan yang pekatnya adalah malam. Sedangkan dingin ini tak lagi dapat bekukan apapun karena segalanya telah hilang. Hanya jejak samar yang nyata mengarah ke entah. Dan kita takkan pernah tahu hingga saatnya tiba.
Langitku hitam. Sedang bintang yang nampak ternyata kunangkunang yang linglung mencari tempat berlindung. Kulihat telaga perak rembulan dan sekejap yang nampak adalah aku yang bersayap koyak. Terbang rendah dari dahan ke dedaunan lalu hinggap di rerumputan liar.
O, betapa sendu serenada malam kunangkunang. Dengan bisik lirih dan getar sayap yang mulai lelah. Dengan terang temaram tanpa pernah mendamba kerlapkerlip seterang bintang-gemintang. Karena gelap selalu menghargai seredup apapun nyala cahaya.
Lalu mendung pun hanya akan menjadi segumpal awan kelabu yang berlalu. Bersama angin yang mengabarkan bahwa hujan kan segera datang. Bukan janji. Hanya kabar. Maka kudengarkan dan kupahami dengan harap tak terlalu besar. Kurasa dan semoga kita masih bisa bersabar.
23 September 2011
Kamis, 22 September 2011
Penyair dan Alquran dalam Rekaman Sejarah
Aguk Irawan MN*
http://www.infoanda.com/Republika
Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 224-227)
Di dalam literatur kesusastraan Arab, sebagaimana direkam oleh Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), dijelaskan ahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily.
Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manukskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana etika dan moral masyarakatnya. Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) menceritakan dengan detail prilaku (kebiasaan) masyarakat Jahily (penyair Jahily) yang amarol dan amat asusila.
Pertanyaannya, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena Islam percaya, hanya karya sastra yang beretika (baca: bermoral), dan yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadanlah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban.
Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para penyair, seperti Ka’ab bin Zuhair, Labib bin Rabi’ah, Imri’ al-Qois, Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.
Ketika turun ayat, “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat,” lantas Hasan bin Tsabit dan Ibnu Rawahah, yang dikenal sebagai penyair Muslim, cepat-cepat menghadap Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Rasulallah, ayat tersebut telah turun, dan engkau sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.”
Nabi kemudian bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui pedang dan lidah (tinta)-nya.” At-Tahawani kemudian mengutip pendapat al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, memang sebagian besar penyair saat itu hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran, dan sebagain besar dari mereka itu telah mengumbar syahwatnya melalui kata-kata berkaitan dengan cinta dan pencabulan, cumbu rayu, menyebut sifat perempuan dan bentuk tubuhnya dengan telanjang, laksana mereka melihat onta di hadapannya, janji dusta, dan bangga dengan sesuatu yang tidak benar, juga hinaan kepada sesamanya.
Kemudian, dia menjelaskan Firman Allah selanjutnya, “Kecuali orang-orang yang beriman”, sebagai pengecualian penyair mukmin yang baik, yang sering mengingat Allah, dan dorongan untuk memegang pada norma atau etika, seperti menjaga kemaluan, penyeruan untuk beribadah kepada Allah, bersilaturahim dan semacamnya (At-Tahawani, Kasyaf Isthilahat al-Funun, Juz II, hlm 744-755).
Dari penjelasan tersebut dapat menyimpulkan, untuk menopang peradaban suatu bangsa, kita tidak bisa berharap pada karya-karya sastra yang hanya mengandung nilai-nilai rendahan? Dan, sejarah sastra Jahily telah membuktikan kegagalannya. Pada QS As-Syu’ara ayat 24-27, sebelum penunjukan (klaim) bahwa penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat, ayat sebelumnya memberitahukan kepada kita, kepada siapa syetan itu akan turun? Sebagai jawaban, ayat berikutnya menjawab, bahwa syetan akan turun kepada pendusta dan kepada penyair.
Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun dan juga dengan sebutan syetan. Alquran, menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali (lihat, Mu’jam Alfadz al-Qur’an Karim, cet II, Juz 1, Kairo: Haiah al-Masry al-Amma, 1970, hal 575-577). Dan, secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama As-Syu’ara (para penyair).
Karena Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam melarang umatnya membuat puisi? Jumhur ulama telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan sihir (belajar sihir) dan semacamnya adalah haram, sebab ia mengarah pada sesuatu yang dilarang (persekutuan dengan syetan). Atas dasar ini, ditegaskan bahwa Alquran bukan hasil dari sihir (perdukunan), bukan pula karya syetan, bukan pula karya puisi.
Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang penyihir juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah (Alquran).
Kalau begitu, kenapa Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila? Ada cukup banyak alasan. Salah satunya, berpuisi adalah tindakan yang hampir sama dengan perbuatan sihir. Atau dalam bahasa lain, berpuisi memang bentuk sihir dalam bahasa.
Imam Malik bin Anas, dalam Al-Muwatha (Kairo, Kitab al-Kalam, 1951 hlm 609-610) mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya dalam pemakaian bahasa terkandung sihir.” Hadis ini turun, menurutnya, ketika sahabat Nabi dibuat berdecak kagum dengan kedatangan dua orang laki-laki dari Timur kemudian berpidato dengan retorika yang bagus, disertai dengan pembacaan puisi yang amat memukau.
Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224).
Tetapi, riwayat lain menyebutkan, betapa Nabi sangat apresiatif terhadap para penyair, sebagaimana yang dilakukan kepada Hasan bin Tsabit. Al-Mubarad adalah salah seorang sahabat sering meriwayatkan sikap apresiasi Nabi kepada penyair. Menurutnya, Rasullah sering menatap penyair dengan wajah tersenyum dan bersabda, “Padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.” Hal ini dilakukan Nabi tatkala mendengar kasidahnya Ibnu Rawahah (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188).
Ada cukup banyak riwayat yang menyebutkan sikap Nabi terhadap penyair, baik yang negatif maupun yang positif. Beliau senang mendengar puisi tertentu dari penyair tertentu dan benci dengan puisi tertentu dari penyair tertentu. Sikap Nabi jelas, tentu didasarkan pada isi (teks) puisi, dan tidak peduli siapapun yang membacakannya.
Dengan demikian, ketika Alquran diturunkan kepada para penyair Jahily, di dalamnya ada fungsi baru dalam kesusastraan. Alquran (dengan sikap Nabi) tidak menginginkan puisi hanya dipakai sebagai alat untuk menghayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan, atau hanya untuk mengumbar nafsu dan sejenisnya. Karenanya, Alquran hanya membenarkan puisi yang sejalan dengan kebaikan. Dan ini membuktikan bahwa Alquran telah melemahkan posisi perdukunan (sihir), akan tetapi tidak melemahkan posisi penyair dengan puisinya.
Sikap para penyair Jahily kemudian terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh Islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) dalam Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Karena menganggap bahwa berpuisi adalah pengalaman subyektif yang tak bisa diatur oleh norma atau agama.
Tetapi, dalam sejarah tercatat, bahwa Nabi beserta para khalifahnya kemudian terus mendorong para penyair agar terus berpuisi — dilakukan setelah mengetahui penyair Labid bin Rabi’ah melakukan aksi mogok menjadi penyair setelah turunnya QS As-Syu’ara — asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, yakni mempertahankan nilai-nilai lama yang dibenarkan oleh Islam dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh ajaran Islam. Sekarang tergantung pada kita, mau meilih jalan yang mana: jalan yang dianjurkan Nabi atau jalan penyair Jahily yang amoral itu?
*) Peneliti, alumnus Al-Azhar.
http://www.infoanda.com/Republika
Penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat. Tidakkah kau lihat mereka menenggelamkan diri dalam sembarang lembah khayalan dan kata. Dan mereka sering mengujarkan apa yang tak mereka kerjakan. Kecuali mereka yang beriman, beramal baik, banyak mengingat dan menyebut Allah dan melakukan pembelaan ketika didzalimi. (QS As-Syu’ara, 224-227)
Di dalam literatur kesusastraan Arab, sebagaimana direkam oleh Syauqi Dlaif dalam buku Tarikh al-Adab al-Arabi (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), dijelaskan ahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahily.
Keulungan sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan. Manuskrip-manukskrip kuno (sastra Jahily), membuktikan hal itu. Tetapi, pada zaman itu jangan ditanya bagaimana etika dan moral masyarakatnya. Ibnu Qutaibah dalam buku Asy-Syi’ir wa as-Asyu’ara (Beirut: Dar ats-Tsaqafah, 1969) menceritakan dengan detail prilaku (kebiasaan) masyarakat Jahily (penyair Jahily) yang amarol dan amat asusila.
Pertanyaannya, kenapa sastra yang konon sebagai penyangga suatu peradaban seperti tak berguna? Tentu, karena Islam percaya, hanya karya sastra yang beretika (baca: bermoral), dan yang mengajak dalam kebaikan, serta menjauhi segala kefasadanlah yang bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban.
Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahwa di sekeliling Nabi adalah para penyair, seperti Ka’ab bin Zuhair, Labib bin Rabi’ah, Imri’ al-Qois, Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.
Ketika turun ayat, “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat,” lantas Hasan bin Tsabit dan Ibnu Rawahah, yang dikenal sebagai penyair Muslim, cepat-cepat menghadap Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Rasulallah, ayat tersebut telah turun, dan engkau sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.”
Nabi kemudian bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui pedang dan lidah (tinta)-nya.” At-Tahawani kemudian mengutip pendapat al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, memang sebagian besar penyair saat itu hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran, dan sebagain besar dari mereka itu telah mengumbar syahwatnya melalui kata-kata berkaitan dengan cinta dan pencabulan, cumbu rayu, menyebut sifat perempuan dan bentuk tubuhnya dengan telanjang, laksana mereka melihat onta di hadapannya, janji dusta, dan bangga dengan sesuatu yang tidak benar, juga hinaan kepada sesamanya.
Kemudian, dia menjelaskan Firman Allah selanjutnya, “Kecuali orang-orang yang beriman”, sebagai pengecualian penyair mukmin yang baik, yang sering mengingat Allah, dan dorongan untuk memegang pada norma atau etika, seperti menjaga kemaluan, penyeruan untuk beribadah kepada Allah, bersilaturahim dan semacamnya (At-Tahawani, Kasyaf Isthilahat al-Funun, Juz II, hlm 744-755).
Dari penjelasan tersebut dapat menyimpulkan, untuk menopang peradaban suatu bangsa, kita tidak bisa berharap pada karya-karya sastra yang hanya mengandung nilai-nilai rendahan? Dan, sejarah sastra Jahily telah membuktikan kegagalannya. Pada QS As-Syu’ara ayat 24-27, sebelum penunjukan (klaim) bahwa penyair-penyair itu diikuti orang-orang yang sesat, ayat sebelumnya memberitahukan kepada kita, kepada siapa syetan itu akan turun? Sebagai jawaban, ayat berikutnya menjawab, bahwa syetan akan turun kepada pendusta dan kepada penyair.
Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun dan juga dengan sebutan syetan. Alquran, menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali (lihat, Mu’jam Alfadz al-Qur’an Karim, cet II, Juz 1, Kairo: Haiah al-Masry al-Amma, 1970, hal 575-577). Dan, secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama As-Syu’ara (para penyair).
Karena Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam melarang umatnya membuat puisi? Jumhur ulama telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan sihir (belajar sihir) dan semacamnya adalah haram, sebab ia mengarah pada sesuatu yang dilarang (persekutuan dengan syetan). Atas dasar ini, ditegaskan bahwa Alquran bukan hasil dari sihir (perdukunan), bukan pula karya syetan, bukan pula karya puisi.
Allah berfirman, “Alquran bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali mereka yang beriman, juga bukan ucapan dukun, sedikit sekali mereka menyadari.” (Qs Al-Haqqah: 41-42). Jadi, nabi bukan seorang penyihir juga bukan seorang penyair. Nabi adalah penerima kalamullah (Alquran).
Kalau begitu, kenapa Alquran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila? Ada cukup banyak alasan. Salah satunya, berpuisi adalah tindakan yang hampir sama dengan perbuatan sihir. Atau dalam bahasa lain, berpuisi memang bentuk sihir dalam bahasa.
Imam Malik bin Anas, dalam Al-Muwatha (Kairo, Kitab al-Kalam, 1951 hlm 609-610) mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya dalam pemakaian bahasa terkandung sihir.” Hadis ini turun, menurutnya, ketika sahabat Nabi dibuat berdecak kagum dengan kedatangan dua orang laki-laki dari Timur kemudian berpidato dengan retorika yang bagus, disertai dengan pembacaan puisi yang amat memukau.
Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224).
Tetapi, riwayat lain menyebutkan, betapa Nabi sangat apresiatif terhadap para penyair, sebagaimana yang dilakukan kepada Hasan bin Tsabit. Al-Mubarad adalah salah seorang sahabat sering meriwayatkan sikap apresiasi Nabi kepada penyair. Menurutnya, Rasullah sering menatap penyair dengan wajah tersenyum dan bersabda, “Padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.” Hal ini dilakukan Nabi tatkala mendengar kasidahnya Ibnu Rawahah (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188).
Ada cukup banyak riwayat yang menyebutkan sikap Nabi terhadap penyair, baik yang negatif maupun yang positif. Beliau senang mendengar puisi tertentu dari penyair tertentu dan benci dengan puisi tertentu dari penyair tertentu. Sikap Nabi jelas, tentu didasarkan pada isi (teks) puisi, dan tidak peduli siapapun yang membacakannya.
Dengan demikian, ketika Alquran diturunkan kepada para penyair Jahily, di dalamnya ada fungsi baru dalam kesusastraan. Alquran (dengan sikap Nabi) tidak menginginkan puisi hanya dipakai sebagai alat untuk menghayal ke lembah-lembah tanpa maksud kebaikan, atau hanya untuk mengumbar nafsu dan sejenisnya. Karenanya, Alquran hanya membenarkan puisi yang sejalan dengan kebaikan. Dan ini membuktikan bahwa Alquran telah melemahkan posisi perdukunan (sihir), akan tetapi tidak melemahkan posisi penyair dengan puisinya.
Sikap para penyair Jahily kemudian terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh Islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) dalam Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Karena menganggap bahwa berpuisi adalah pengalaman subyektif yang tak bisa diatur oleh norma atau agama.
Tetapi, dalam sejarah tercatat, bahwa Nabi beserta para khalifahnya kemudian terus mendorong para penyair agar terus berpuisi — dilakukan setelah mengetahui penyair Labid bin Rabi’ah melakukan aksi mogok menjadi penyair setelah turunnya QS As-Syu’ara — asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, yakni mempertahankan nilai-nilai lama yang dibenarkan oleh Islam dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh ajaran Islam. Sekarang tergantung pada kita, mau meilih jalan yang mana: jalan yang dianjurkan Nabi atau jalan penyair Jahily yang amoral itu?
*) Peneliti, alumnus Al-Azhar.
Senin, 19 September 2011
Mata Dinding Cinta Ibu
Salamet Wahedi *
Radar Surabaya, 17 okt 2010
Kenangan serupa bayang-bayang kita yang muncul dan tenggelam dalam gelap dan terang. Ia selalu menyapa kelengaan atau kealpaan jiwa kita. Ia kadang hadir saat menjelang malam, tengah malam, atau menjelang pagi. Ia kadang-kadang nongol di tengah keramaian. Tapi, yang paling dikenal dan diakrabinya, kenangan selalu muncul dalam kesendirian dan kesedihan. Ia serupa kakek tua yang begitu berempati membawa tisu untuk menghapus air mata kita. Atau ia kadang menjelma nenek tua yang menderaikan tawanya, menampakkan gigi hitamnya, serta menyirami luka kita dengan cuka.
Kenangan serupa bayang-bayang kita. Ia tidak bisa kita enyahkan. Entah manis dan pahit ia selalu hadir dalam diri kita. Di sekitar kita. Apalagi kenangan akan sosok ibu yang begitu telaten, begitu perhatian, begitu sabar mengajari kita memahami dan merangkai kenangan. Ibu selalu paham, dan sungguh-sungguh paham bahwa hanya kenanganlah yang akan membuat anaknya dewasa. Anaknya tetap selalu mengenangnya. Ibu, dengan segala kenangannya menjelma pangeran katon. Tuhan yang menampak.
Perasaan berkecamuk inilah yang saya rasakan setiap angka bulan kelender mendekati akhir bulan januari. Liburan semester yang hanya beberapa hari. Wajah sayu ibu, yang setiap tahun bertambah jumlah garis dan warna legamnya, seperti padang sabana yang memintaku menengok masa kanak-kanak. Matanya yang bundar murka, tak ubahnya jendela rumah yang memberiku purnama di setiap pertengah bulan. Di tambah cerita-ceritanya, aku semakin merasakan kehadiran ibu sebagai diskotik atau mesin penghibur yang sangat dibayangkan dan dibutuhkan orang-orang kota yang selalu bergera dan bergerak melampaui kecepatan waktu.
Ya, cerita-cerita ibu selalu membawaku pada genangan indahnya cakrawala, kubangan maha duka. Atau kadang-kadang cerita ibu tak urung menyeretku ke liang ngilu yang begitu sembilu.
Cerita ibu kini mendakwaku...
***
Sore itu gerimis baru usai. Jalanan yang becek mengisyaratkan nafas desa yang rapuh. Basah daunan mempertegas kealaman yang disimpan tanah-tanah pebukitan. Langit kembali berkesiap. Arakan awan menepi di ruas selatan. Tetasan air hujan di ujung genteng, dan jatuh ke tanah mengingatkanku pada renyah musik kitaro. Senyum simpul ibu, seperti simpul temali yang hendak merangkum semuanya.
“jika kau sudah jadi orang besok, jangan lupa untuk menjenguk ibumu. Hati-hati dengan kota. Kota, kata kakekmu, adalah rimba yang penuh semak dan belukar yang menipu. Sayang ibu tidak pernah tahu kota. Ibu hanya seorang perempuan”
Usia ibu telah membentang ranum senja. Uban mulai menjalar di depan dan samping kepalanya. Garis-gsris wajahnya juga berpendar pudar. Andai batu atau kayu, kulit ibu berlumut atau siap mengelupas. Tapi ia tetaplah ibu. Yang selalu hadir di setiap desah dan sengal nafasku, walau dengan doa. Kata pepatah, ibulah pangeran katon. Tuhan yang menampak. Dan aku merasakan betul, ketika ia dengan linang airmata membelai kepalaku. Melepasku belajar jauh ke kota.
“kau ingin jadi apa Nuri?”, mata ibu selalu berlinang setiap ia menatapku.
“Guru, Bu”
Ibu tersenyum. “Sungguh mulia cita-citamu. Perjuangkan cita-citamu. Raih mimpimu. Jangan mengigau. Kau beruntung bisa memiliki mimpi. Dulu ibu hanya punya mimpi menangkap kupu-kupu. Mengahalau burung-burung di sawah dan memiliki ternak”
Ibu memulai ceritanya dengan meratapi nasibnya. Ia mula-mula membayangkan, begitu suram dan terbatasnya mimpi di desa. Alangkah kerdilnya kenyataan yang sampai di desa. Sampai-sampai kakekku, ayahnya ibu, selalu mewanta-wanti untuk tidak mengenal kota. Berkompromi dengan segala yang berbau kota.
“Tapi tidak untukmu, Nuri. Kau mesti terbang bebas seperti burung. Kau berhak menentukan ke mana sayapmu akan mengepak. Ibu tahu, sekarang bukanlah jaman ibu sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun, di mana ibu hanya mengenal dapur, lenguh kerbau dan penghambaan buat suami ibu”
sejak kecil ibu sudah dikenal pandai bercerita. Di kalangan teman-temannya, waktu usia 15 tahun, saat ibu dan teman-temannya masih suka main hujan dengan telanjang, ibu sudah bisa menghafal puluhan cerita para nabi dan dongeng rakyat. Bahkan ibu pernah menyabet juara pertama lomba cerita kisah para nabi di perayaan imtihanan madrasahnya.
Konon, kepiawaian dan kecekatan ibu dalam bercerita mengundang decak kagum para ustadznya. Setiap hari, sebelum memulai pelajaran, para ustadz meminta ibu untuk menceritakan sepotong kisah atau dongeng. Ibu sering bercerita tentang kisah nabi Isa. Menurut ibu, nabi Isa, terutama ibunya merupakan sosok yang begitu teguh memegang keyakinannya.
“Nabi Isa dan Ibu nabi isa mengajari kita untuk menjaga dan mempertahankan harga diri” tandas ibu di setiap ujung ceritanya. Selain kisah para nabi, ibu suka sekali bercerita tentang dongeng atau legenda rakyat. Ibu suka sekali bercerita tentang legenda kota ‘Banyuwagi’. Cerita ini tidak hanya mengharukan tapi juga menginspirasi untuk selalu berpikir sebelum bertindak.
“Kalau dongeng ‘Aryo Menak dan Tunjung Wulan’ mengajari perempuan untuk bersikap tegas, dongeng ‘Banyuwangi’ menandaskan bahwa perut betis tidak ada di depan. Penyesalan di kemudian hari” ibu selalu berkaca-kaca ketika menyebut tokoh-tokoh peremupan dalam dongengnya: Siti Maryam, Siti Khadijah, Siti Aisyah, tunjung wulan, dewi sanggalangit, dan perempuan yang penih inspirasi lainnya.
Namun, di antara beberapa cerita yang sering ibu ceritakan padaku, sewaktu aku berusia 12 tahun, sewaktu duduk di kelas enam sekolah dasar, adalah cerita tentang cerita cintanya waktu di desa, sebelum ayah memutuskan tinggal di kota.
“Dulu, di masa ibu para orang tua sangat protektif. Mereka menjaga betul tingkah laku dan sikap anak-anaknya. Pukul tujuh, sehabis ngaji di langgar kiai syamsuri ibu sudah dijemput, dan tidak boleh keluar lagi”
Setiap menceritakan kisah cintanya, ibu tidak lupa untuk mengingatkan akan datangnya zaman, datangnya waktu setiap orang, terutama perempuan tak ubahnya pemain figuran.
"Kita hanya para tokoh, Nuri" ibu memulai ceritanya kesan tentang perjalanan hidup manusia. "Tinggal bagaimana kita bisa paham alur dan skenario atau tidak?" dalam membuka ceritanya, ibu selalu menekankan bahwa ceritanya tidak hanya sekadar uraian kata atau riwayat tentang manusia. Cerita adalah pemahaman dan pemaknaan hidup.
"Dengan cerita kita berbicara jujur. Dengan cerita kita mengurangi beban hdup. Memahami makna hidup, Nuri.
"Nuri, dulu aku dan ayahmu tidak mengenal seperti cerita cinta seperti anak muda sekarang. Dulu, ibu mengenal ayahmu sewaktu pulang dari pengajian. Itu pun curi pandang. Waktu sedetik bertatap muka, adalah kesempatan yang cukup luas dan sangat berharga. Dulu, ibu melubangi dinding tembok pagar rumah dekat jambu klutuk. Ibu melubanginya sebesar telujuk jari ibu"
"setiap senja jatuh merah jingga, ibu biasa memasukkan telunjuk ibu ke lubang dinding itu. Di luar, ayahmu sudah menunggu. Ia akan memegang telunjuk ibu untuk beberapa waktu. Kemudian, ia yang akan memasukkan telunjuknya. Dan giliran ibu untuk memegangnya.
"memegang telunjuk 'pacar' kita di jaman ibu, sudah merupakan adegan hidup yang sangat membahagiakan. Saat yang sangat mendebarkan. Setiap senja ibu selalu berpegang-pegangan telunjuk dengan ayahmu. Sampai bapak-ibu, kakek-nenekmu menemukan lubang dinding tempat ibu berbagi cinta. Sampai kakek-nenekmu mengawinkan ibu dan ayahmu"
Mendengar cerita cinta ibu di di lubang dinding pagar rumah, aku selalu ingin tertawa. Terbahak. Tapi selalu kutahan, sebab buru-buru ibu biasanya mengesaninya.
"cinta tidak hanya sekadar pertemuan. Tapi cinta benar-benar dihayati dan dijiwai walau hanya sekadar berpegangan telunjuk.
***
Nuri tercenung. Wajahnya seperti arakan awan tertimpa lembayung senja. Dari koridor parkiran mall tingkat lima, di tatapnya jalanan yang ramai di bawahnya. Tangannya mengelus-ngelus perutnya yang membesar. Matanya berkaca-kaca membayangkan wajah ibunya yang timbul tenggelam di antara seringai senyum lelaki yang disebutnya srigala.
Nuri tercenung. Rautnya menampak keheningan koridor parkiran. Lelaki itu telah pergi jauh. Jauh entah ke mana. Srigala terkutuk itu hanya meninggalkan beban dalam rahimnya. Aib bagi keluarganya.
"Ibu..." serunya sunyi disapu mobil yang melintas. Dengung cerita cinta ibunya menguar lagi. "maafkan Nuri Ibu.." Nuri menggeleng. Hanya menggeleng menyaksikan jalanan yang semakin ramai dengan lalu kendaraan; membayangkan senyum ibunya di langit.
Nuri tercenung. Cerita cinta ibunya begitu membuat dadanya tersedak. "Maafkan Nuri ibu. Nuri Tidak mau mendengar ceritamu, ibu. Memahami ceritamu, ibu" Dielusnya perutnya yang sudah tiga bulan membuncit. Dibayangkannya senyum sumringah ibunya menyambut lambain tangannya.
Dan esok, dirinya akan menjadi sepotong cerita di halaman koran...
Surabaya-sumenep des 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=486574247274
Radar Surabaya, 17 okt 2010
Kenangan serupa bayang-bayang kita yang muncul dan tenggelam dalam gelap dan terang. Ia selalu menyapa kelengaan atau kealpaan jiwa kita. Ia kadang hadir saat menjelang malam, tengah malam, atau menjelang pagi. Ia kadang-kadang nongol di tengah keramaian. Tapi, yang paling dikenal dan diakrabinya, kenangan selalu muncul dalam kesendirian dan kesedihan. Ia serupa kakek tua yang begitu berempati membawa tisu untuk menghapus air mata kita. Atau ia kadang menjelma nenek tua yang menderaikan tawanya, menampakkan gigi hitamnya, serta menyirami luka kita dengan cuka.
Kenangan serupa bayang-bayang kita. Ia tidak bisa kita enyahkan. Entah manis dan pahit ia selalu hadir dalam diri kita. Di sekitar kita. Apalagi kenangan akan sosok ibu yang begitu telaten, begitu perhatian, begitu sabar mengajari kita memahami dan merangkai kenangan. Ibu selalu paham, dan sungguh-sungguh paham bahwa hanya kenanganlah yang akan membuat anaknya dewasa. Anaknya tetap selalu mengenangnya. Ibu, dengan segala kenangannya menjelma pangeran katon. Tuhan yang menampak.
Perasaan berkecamuk inilah yang saya rasakan setiap angka bulan kelender mendekati akhir bulan januari. Liburan semester yang hanya beberapa hari. Wajah sayu ibu, yang setiap tahun bertambah jumlah garis dan warna legamnya, seperti padang sabana yang memintaku menengok masa kanak-kanak. Matanya yang bundar murka, tak ubahnya jendela rumah yang memberiku purnama di setiap pertengah bulan. Di tambah cerita-ceritanya, aku semakin merasakan kehadiran ibu sebagai diskotik atau mesin penghibur yang sangat dibayangkan dan dibutuhkan orang-orang kota yang selalu bergera dan bergerak melampaui kecepatan waktu.
Ya, cerita-cerita ibu selalu membawaku pada genangan indahnya cakrawala, kubangan maha duka. Atau kadang-kadang cerita ibu tak urung menyeretku ke liang ngilu yang begitu sembilu.
Cerita ibu kini mendakwaku...
***
Sore itu gerimis baru usai. Jalanan yang becek mengisyaratkan nafas desa yang rapuh. Basah daunan mempertegas kealaman yang disimpan tanah-tanah pebukitan. Langit kembali berkesiap. Arakan awan menepi di ruas selatan. Tetasan air hujan di ujung genteng, dan jatuh ke tanah mengingatkanku pada renyah musik kitaro. Senyum simpul ibu, seperti simpul temali yang hendak merangkum semuanya.
“jika kau sudah jadi orang besok, jangan lupa untuk menjenguk ibumu. Hati-hati dengan kota. Kota, kata kakekmu, adalah rimba yang penuh semak dan belukar yang menipu. Sayang ibu tidak pernah tahu kota. Ibu hanya seorang perempuan”
Usia ibu telah membentang ranum senja. Uban mulai menjalar di depan dan samping kepalanya. Garis-gsris wajahnya juga berpendar pudar. Andai batu atau kayu, kulit ibu berlumut atau siap mengelupas. Tapi ia tetaplah ibu. Yang selalu hadir di setiap desah dan sengal nafasku, walau dengan doa. Kata pepatah, ibulah pangeran katon. Tuhan yang menampak. Dan aku merasakan betul, ketika ia dengan linang airmata membelai kepalaku. Melepasku belajar jauh ke kota.
“kau ingin jadi apa Nuri?”, mata ibu selalu berlinang setiap ia menatapku.
“Guru, Bu”
Ibu tersenyum. “Sungguh mulia cita-citamu. Perjuangkan cita-citamu. Raih mimpimu. Jangan mengigau. Kau beruntung bisa memiliki mimpi. Dulu ibu hanya punya mimpi menangkap kupu-kupu. Mengahalau burung-burung di sawah dan memiliki ternak”
Ibu memulai ceritanya dengan meratapi nasibnya. Ia mula-mula membayangkan, begitu suram dan terbatasnya mimpi di desa. Alangkah kerdilnya kenyataan yang sampai di desa. Sampai-sampai kakekku, ayahnya ibu, selalu mewanta-wanti untuk tidak mengenal kota. Berkompromi dengan segala yang berbau kota.
“Tapi tidak untukmu, Nuri. Kau mesti terbang bebas seperti burung. Kau berhak menentukan ke mana sayapmu akan mengepak. Ibu tahu, sekarang bukanlah jaman ibu sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun, di mana ibu hanya mengenal dapur, lenguh kerbau dan penghambaan buat suami ibu”
sejak kecil ibu sudah dikenal pandai bercerita. Di kalangan teman-temannya, waktu usia 15 tahun, saat ibu dan teman-temannya masih suka main hujan dengan telanjang, ibu sudah bisa menghafal puluhan cerita para nabi dan dongeng rakyat. Bahkan ibu pernah menyabet juara pertama lomba cerita kisah para nabi di perayaan imtihanan madrasahnya.
Konon, kepiawaian dan kecekatan ibu dalam bercerita mengundang decak kagum para ustadznya. Setiap hari, sebelum memulai pelajaran, para ustadz meminta ibu untuk menceritakan sepotong kisah atau dongeng. Ibu sering bercerita tentang kisah nabi Isa. Menurut ibu, nabi Isa, terutama ibunya merupakan sosok yang begitu teguh memegang keyakinannya.
“Nabi Isa dan Ibu nabi isa mengajari kita untuk menjaga dan mempertahankan harga diri” tandas ibu di setiap ujung ceritanya. Selain kisah para nabi, ibu suka sekali bercerita tentang dongeng atau legenda rakyat. Ibu suka sekali bercerita tentang legenda kota ‘Banyuwagi’. Cerita ini tidak hanya mengharukan tapi juga menginspirasi untuk selalu berpikir sebelum bertindak.
“Kalau dongeng ‘Aryo Menak dan Tunjung Wulan’ mengajari perempuan untuk bersikap tegas, dongeng ‘Banyuwangi’ menandaskan bahwa perut betis tidak ada di depan. Penyesalan di kemudian hari” ibu selalu berkaca-kaca ketika menyebut tokoh-tokoh peremupan dalam dongengnya: Siti Maryam, Siti Khadijah, Siti Aisyah, tunjung wulan, dewi sanggalangit, dan perempuan yang penih inspirasi lainnya.
Namun, di antara beberapa cerita yang sering ibu ceritakan padaku, sewaktu aku berusia 12 tahun, sewaktu duduk di kelas enam sekolah dasar, adalah cerita tentang cerita cintanya waktu di desa, sebelum ayah memutuskan tinggal di kota.
“Dulu, di masa ibu para orang tua sangat protektif. Mereka menjaga betul tingkah laku dan sikap anak-anaknya. Pukul tujuh, sehabis ngaji di langgar kiai syamsuri ibu sudah dijemput, dan tidak boleh keluar lagi”
Setiap menceritakan kisah cintanya, ibu tidak lupa untuk mengingatkan akan datangnya zaman, datangnya waktu setiap orang, terutama perempuan tak ubahnya pemain figuran.
"Kita hanya para tokoh, Nuri" ibu memulai ceritanya kesan tentang perjalanan hidup manusia. "Tinggal bagaimana kita bisa paham alur dan skenario atau tidak?" dalam membuka ceritanya, ibu selalu menekankan bahwa ceritanya tidak hanya sekadar uraian kata atau riwayat tentang manusia. Cerita adalah pemahaman dan pemaknaan hidup.
"Dengan cerita kita berbicara jujur. Dengan cerita kita mengurangi beban hdup. Memahami makna hidup, Nuri.
"Nuri, dulu aku dan ayahmu tidak mengenal seperti cerita cinta seperti anak muda sekarang. Dulu, ibu mengenal ayahmu sewaktu pulang dari pengajian. Itu pun curi pandang. Waktu sedetik bertatap muka, adalah kesempatan yang cukup luas dan sangat berharga. Dulu, ibu melubangi dinding tembok pagar rumah dekat jambu klutuk. Ibu melubanginya sebesar telujuk jari ibu"
"setiap senja jatuh merah jingga, ibu biasa memasukkan telunjuk ibu ke lubang dinding itu. Di luar, ayahmu sudah menunggu. Ia akan memegang telunjuk ibu untuk beberapa waktu. Kemudian, ia yang akan memasukkan telunjuknya. Dan giliran ibu untuk memegangnya.
"memegang telunjuk 'pacar' kita di jaman ibu, sudah merupakan adegan hidup yang sangat membahagiakan. Saat yang sangat mendebarkan. Setiap senja ibu selalu berpegang-pegangan telunjuk dengan ayahmu. Sampai bapak-ibu, kakek-nenekmu menemukan lubang dinding tempat ibu berbagi cinta. Sampai kakek-nenekmu mengawinkan ibu dan ayahmu"
Mendengar cerita cinta ibu di di lubang dinding pagar rumah, aku selalu ingin tertawa. Terbahak. Tapi selalu kutahan, sebab buru-buru ibu biasanya mengesaninya.
"cinta tidak hanya sekadar pertemuan. Tapi cinta benar-benar dihayati dan dijiwai walau hanya sekadar berpegangan telunjuk.
***
Nuri tercenung. Wajahnya seperti arakan awan tertimpa lembayung senja. Dari koridor parkiran mall tingkat lima, di tatapnya jalanan yang ramai di bawahnya. Tangannya mengelus-ngelus perutnya yang membesar. Matanya berkaca-kaca membayangkan wajah ibunya yang timbul tenggelam di antara seringai senyum lelaki yang disebutnya srigala.
Nuri tercenung. Rautnya menampak keheningan koridor parkiran. Lelaki itu telah pergi jauh. Jauh entah ke mana. Srigala terkutuk itu hanya meninggalkan beban dalam rahimnya. Aib bagi keluarganya.
"Ibu..." serunya sunyi disapu mobil yang melintas. Dengung cerita cinta ibunya menguar lagi. "maafkan Nuri Ibu.." Nuri menggeleng. Hanya menggeleng menyaksikan jalanan yang semakin ramai dengan lalu kendaraan; membayangkan senyum ibunya di langit.
Nuri tercenung. Cerita cinta ibunya begitu membuat dadanya tersedak. "Maafkan Nuri ibu. Nuri Tidak mau mendengar ceritamu, ibu. Memahami ceritamu, ibu" Dielusnya perutnya yang sudah tiga bulan membuncit. Dibayangkannya senyum sumringah ibunya menyambut lambain tangannya.
Dan esok, dirinya akan menjadi sepotong cerita di halaman koran...
Surabaya-sumenep des 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=486574247274
Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi*
Media Indonesia, 4 Nov 2007
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal).
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung — spesifiknya Bandar Lampung — saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung.
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan … bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah?
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. “Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka,” katanya.
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat.
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu.
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung — apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra — kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini.
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional, misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung – sebagai istilah – dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat “Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah” bisa (mungkin) benar jika “sastrawan Lampung” yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka “sastrawan Lampung” sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang.
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, “Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh.” Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung– dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung. n
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum (2002). Kini, sedang mempersiapkan buku puisi (berbahasa) Lampung Mak Dawah Mak Dibingi.
Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2007/11/khazanah-sastra-lampung-dari-kelisanan.html
Media Indonesia, 4 Nov 2007
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal).
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung — spesifiknya Bandar Lampung — saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung.
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan … bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah?
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. “Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka,” katanya.
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat.
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu.
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung — apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra — kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung.
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini.
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional, misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung – sebagai istilah – dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat “Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah” bisa (mungkin) benar jika “sastrawan Lampung” yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka “sastrawan Lampung” sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang.
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, “Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh.” Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung– dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung. n
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum (2002). Kini, sedang mempersiapkan buku puisi (berbahasa) Lampung Mak Dawah Mak Dibingi.
Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2007/11/khazanah-sastra-lampung-dari-kelisanan.html
Lirisisme dan Tubuh yang “Mata Bahasa”
Afrizal Malna*
http://www.kompas.com/
Apa yang harus digugat dengan imperium puisi liris di Indonesia? Apakah karena kita mulai takut bahwa bahasa Indonesia sedang tenggelam oleh globalisasi bahasa-bahasa internasional, oleh hancurnya perilaku politik nasional, oleh kebingungan memandang masa lalu dan masa depan?
Pak Sarip, di Stren Kali Surabaya, meninggalkan desanya di Mojokerto karena menurutnya desa sudah bangkrut. Di kota, dia hidup miskin. Pak Sarip hampir tidak memiliki kehidupan sosial dan ruang aktualisasi sosial dengan warga kampung.
Saya mencoba memintanya menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang masih diingatnya. Tiba-tiba wajah dan tubuhnya seperti baru saja hadir di depan saya menjadi tubuh yang hidup. Dia mulai menyanyi dengan gerak tubuh yang berusaha mengikuti irama yang dinyanyikan. Geraknya seperti alang-alang yang tertiup angin.
Pak Sarip, di kota menghadapi dua hal sekaligus: Pertama, kebangkrutan desa itu berlanjut lewat formalisme kota yang tidak bisa menerima kehadiran warga seperti Pak Sarip yang tidak memiliki pendidikan, akses pekerjaan, modal, dan pemukiman.
Kedua, konstruksi budaya yang dibawanya dari desa, yang hidup dalam tubuhnya, harus berhadapan dengan gaya hidup kosmopolitan yang menuntut tubuh yang lain. Akhirnya tubuh Pak Sarip ikut tenggelam bersama konstruksi budaya masa lalu yang membentuknya. Tubuh desa dan tubuh agrarisnya tidak mampu mengakses tubuh kosmopolitan.
”Pak Sarip, kenapa tidak kembali ke desa?”
”Di desa sudah tidak ada apa-apa lagi,” jawabnya. Jawaban untuk mengatakan bahwa sisa hidupnya sebenarnya hanya tinggal bertahan untuk bisa makan.
Bertahan dalam bahasa
Bahasa, sejarah, dan seni memberikan kepada kita imajinasi tentang kehidupan bersama, waktu dan ruang yang kita kenali, penghormatan kepada bendera kebangsaan dan foto keluarga, termasuk membuat wacana terhadap tubuh. Karena itu Amir Hamzah percaya, walaupun Malaka direbut Portugis, selama bahasa Melayu dijaga lewat pantun dan syair, bangsa Melayu tidak akan hancur.
Di Desa Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, masyarakat juga masih percaya, orang Jawa belum menjadi Jawa kalau tidak bisa nembang atau nabuh gamelan. Bahasa Jawa diajarkan kepada anak-anak lewat kesenian dan sastra yang mereka miliki, yang memperlihatkan bahwa bahasa tidak semata-mata soal tata bahasa. Masyarakat Bali, termasuk Dayak, juga masih melakukan hal yang sama.
Lalu, apa yang kita cemaskan dengan lirisisme?
Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme. Estetika ini pada awalnya hampir tidak terpisahkan dengan teologi masyarakat tradisi, yang sebagian besar hidup dalam budaya agraris. Estetika di mana ”aku” belum dibaca sebagai ”aku-individu”, masih sebagai ”aku-bersama”.
Estetika lirisisme diturunkan hampir ke seluruh pernik-pernik kebudayaan dari pakaian (batik atau songket, misalnya), senjata (keris, misalnya) hingga ukiran-ukiran untuk rumah.
Lirisisme seakan-akan lahir dari masyarakat yang sudah melampaui masalah-masalah ekonomi dan politik.
Dalam masyarakat budaya lisan, lirisisme merupakan produk dari ”bagian-dalam” budaya lisan: inside dari budaya lisan itu sendiri. Dan folklore sebagai outside-nya. Karena itu, lirisisme seperti memiliki watak kromonisasi yang berlangsung di dalamnya.
Aku yang individu
Perubahan ekonomi untuk pengembangan investasi, penguasaan terhadap sumber-sumber alam yang melahirkan kolonialisme, membuat prosedur baru terhadap posisi ”aku” menjadi ”aku-individu” yang mengubah dan menaklukkan.
”Aku-liris” tidak siap berhadapan dengan ”aku-modern” seperti ini. Rustam Effendi dan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakannya sebagai kebudayaan yang kalah yang harus ditinggalkan, seperti melemparkan seruling dan pantun.
Chairil Anwar menjadi penting karena dialah yang kemudian berhasil mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya ”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.
Lirisisme yang menjadi nakal dan sehari-hari pada puisi-puisi Rendra maupun Subagio Sastrowardoyo, lirisisme yang berjalan ke mana-mana yang dibawa oleh Sitor Situmorang. Juga harus disebut Ramadhan KH dengan Priangan Si Jelita-nya, Toto Sudarto Bachtiar dan Amarzan dengan puisi-puisi baladanya.
Sapardi Djoko Damono, lewat jalan imajisme, tiba-tiba mengembalikan lirisisme kepada watak dasarnya sebagai ”aku-mistis”.
Imajisme puisi-puisi Sapardi ”aku telah menjadi kata”, merupakan pembebasan baru di mana lirisisme memasuki medan penuh dengan imaji-imaji tak terduga.
Lirisisme memang merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern, termasuk Yudhistira M Massardi, Sutardji Calzoum Bachri, maupun Wiji Thukul.
Sementara itu, F Rahardi seperti dinding luar dari lirisisme yang tidak sepenuhnya berada di luar lirisisme, termasuk Darmanto Jt.
*) Penyair menetap di Yogyakarta
http://www.kompas.com/
Apa yang harus digugat dengan imperium puisi liris di Indonesia? Apakah karena kita mulai takut bahwa bahasa Indonesia sedang tenggelam oleh globalisasi bahasa-bahasa internasional, oleh hancurnya perilaku politik nasional, oleh kebingungan memandang masa lalu dan masa depan?
Pak Sarip, di Stren Kali Surabaya, meninggalkan desanya di Mojokerto karena menurutnya desa sudah bangkrut. Di kota, dia hidup miskin. Pak Sarip hampir tidak memiliki kehidupan sosial dan ruang aktualisasi sosial dengan warga kampung.
Saya mencoba memintanya menyanyikan lagu berbahasa Jawa yang masih diingatnya. Tiba-tiba wajah dan tubuhnya seperti baru saja hadir di depan saya menjadi tubuh yang hidup. Dia mulai menyanyi dengan gerak tubuh yang berusaha mengikuti irama yang dinyanyikan. Geraknya seperti alang-alang yang tertiup angin.
Pak Sarip, di kota menghadapi dua hal sekaligus: Pertama, kebangkrutan desa itu berlanjut lewat formalisme kota yang tidak bisa menerima kehadiran warga seperti Pak Sarip yang tidak memiliki pendidikan, akses pekerjaan, modal, dan pemukiman.
Kedua, konstruksi budaya yang dibawanya dari desa, yang hidup dalam tubuhnya, harus berhadapan dengan gaya hidup kosmopolitan yang menuntut tubuh yang lain. Akhirnya tubuh Pak Sarip ikut tenggelam bersama konstruksi budaya masa lalu yang membentuknya. Tubuh desa dan tubuh agrarisnya tidak mampu mengakses tubuh kosmopolitan.
”Pak Sarip, kenapa tidak kembali ke desa?”
”Di desa sudah tidak ada apa-apa lagi,” jawabnya. Jawaban untuk mengatakan bahwa sisa hidupnya sebenarnya hanya tinggal bertahan untuk bisa makan.
Bertahan dalam bahasa
Bahasa, sejarah, dan seni memberikan kepada kita imajinasi tentang kehidupan bersama, waktu dan ruang yang kita kenali, penghormatan kepada bendera kebangsaan dan foto keluarga, termasuk membuat wacana terhadap tubuh. Karena itu Amir Hamzah percaya, walaupun Malaka direbut Portugis, selama bahasa Melayu dijaga lewat pantun dan syair, bangsa Melayu tidak akan hancur.
Di Desa Tutup Ngisor, lereng Gunung Merapi, masyarakat juga masih percaya, orang Jawa belum menjadi Jawa kalau tidak bisa nembang atau nabuh gamelan. Bahasa Jawa diajarkan kepada anak-anak lewat kesenian dan sastra yang mereka miliki, yang memperlihatkan bahwa bahasa tidak semata-mata soal tata bahasa. Masyarakat Bali, termasuk Dayak, juga masih melakukan hal yang sama.
Lalu, apa yang kita cemaskan dengan lirisisme?
Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme. Estetika ini pada awalnya hampir tidak terpisahkan dengan teologi masyarakat tradisi, yang sebagian besar hidup dalam budaya agraris. Estetika di mana ”aku” belum dibaca sebagai ”aku-individu”, masih sebagai ”aku-bersama”.
Estetika lirisisme diturunkan hampir ke seluruh pernik-pernik kebudayaan dari pakaian (batik atau songket, misalnya), senjata (keris, misalnya) hingga ukiran-ukiran untuk rumah.
Lirisisme seakan-akan lahir dari masyarakat yang sudah melampaui masalah-masalah ekonomi dan politik.
Dalam masyarakat budaya lisan, lirisisme merupakan produk dari ”bagian-dalam” budaya lisan: inside dari budaya lisan itu sendiri. Dan folklore sebagai outside-nya. Karena itu, lirisisme seperti memiliki watak kromonisasi yang berlangsung di dalamnya.
Aku yang individu
Perubahan ekonomi untuk pengembangan investasi, penguasaan terhadap sumber-sumber alam yang melahirkan kolonialisme, membuat prosedur baru terhadap posisi ”aku” menjadi ”aku-individu” yang mengubah dan menaklukkan.
”Aku-liris” tidak siap berhadapan dengan ”aku-modern” seperti ini. Rustam Effendi dan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakannya sebagai kebudayaan yang kalah yang harus ditinggalkan, seperti melemparkan seruling dan pantun.
Chairil Anwar menjadi penting karena dialah yang kemudian berhasil mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya ”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.
Lirisisme yang menjadi nakal dan sehari-hari pada puisi-puisi Rendra maupun Subagio Sastrowardoyo, lirisisme yang berjalan ke mana-mana yang dibawa oleh Sitor Situmorang. Juga harus disebut Ramadhan KH dengan Priangan Si Jelita-nya, Toto Sudarto Bachtiar dan Amarzan dengan puisi-puisi baladanya.
Sapardi Djoko Damono, lewat jalan imajisme, tiba-tiba mengembalikan lirisisme kepada watak dasarnya sebagai ”aku-mistis”.
Imajisme puisi-puisi Sapardi ”aku telah menjadi kata”, merupakan pembebasan baru di mana lirisisme memasuki medan penuh dengan imaji-imaji tak terduga.
Lirisisme memang merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern, termasuk Yudhistira M Massardi, Sutardji Calzoum Bachri, maupun Wiji Thukul.
Sementara itu, F Rahardi seperti dinding luar dari lirisisme yang tidak sepenuhnya berada di luar lirisisme, termasuk Darmanto Jt.
*) Penyair menetap di Yogyakarta
Kamis, 15 September 2011
Air
Djenar Maesa Ayu
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.
Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah. Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi. Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi…
“Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya.
Saya akan menjaganya.
Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan yakin.
“Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.”
Saya akan menjaganya
Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya. Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami lagi, ketika suster itu berkata, “Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi.”
Saya akan menjaganya.
Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat.
“Benar Ibu sudah siap?”
Saya akan menjaganya
Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di Hawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya akan membeli rumah berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan semudah orang membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jika harapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup untuk makan sekadar, membayar listrik, air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya semakin tinggi menjulang. Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang.
“Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!” semprotnya.
Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa harus terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap kelip lampu jalan seperti dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadang saya juga ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan.
“Action!” teriak sutradara.
Saya akan menjaganya.
Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat.
“Bangsaaaaaaaat!”
Saya tak kuasa menjaganya
Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu. Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru.
Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu kesadaran saya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat nanti ia mengerti. Satu saat nanti ia kembali.
Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya.
Air dapat memelukmu
tapi tak akan membelenggumu
Air dapat pantulkan cahayamu
tapi tak dapat jadikanmu nyata(*)
Saya akan menjaganya.
Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM
Untuk Banyu Bening
(*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2006/06/25/air/
http://cerpenkompas.wordpress.com/
Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya. Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia janinnya.
Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.
Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti dengan haru memanah. Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi. Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon bisa membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi…
“Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya.
Saya akan menjaganya.
Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster, jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan yakin.
“Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.”
Saya akan menjaganya
Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di dalam rahim saya. Masih tak percaya. Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya. Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami lagi, ketika suster itu berkata, “Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang kami akan membawanya ke kamar bayi.”
Saya akan menjaganya.
Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa. Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh dengan air susu yang sebentar lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat.
“Benar Ibu sudah siap?”
Saya akan menjaganya
Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman. Dan harapan. Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang. Harapan akan segera pulang membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan tinggal angkat kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia. Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain dengan penguin-penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di Hawaii sambil menyaksikan tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya akan membeli rumah berikut taman bermain milik raja pop Michael Jackson yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan semudah orang membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi jika harapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup untuk makan sekadar, membayar listrik, air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya semakin tinggi menjulang. Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang.
“Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!” semprotnya.
Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran. Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian? Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan. Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa harus terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap kelip lampu jalan seperti dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan penderitaan. Kadang saya juga ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air putih kental itu lengket di indung telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir sebagai manusia yang merasa disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan.
“Action!” teriak sutradara.
Saya akan menjaganya.
Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan. Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket. Tapi ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul segala lelah segala penat.
“Bangsaaaaaaaat!”
Saya tak kuasa menjaganya
Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya. Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok ke arah ujung lorong yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu. Seperti semasa ia bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum menyerahkan untuknya menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepas kerja membawa sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru.
Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu emosi saya pergi. Menunggu kesadaran saya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang menunggu satu saat nanti ia mengerti. Satu saat nanti ia kembali.
Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya.
Air dapat memelukmu
tapi tak akan membelenggumu
Air dapat pantulkan cahayamu
tapi tak dapat jadikanmu nyata(*)
Saya akan menjaganya.
Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM
Untuk Banyu Bening
(*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening
Sumber: http://cerpenkompas.wordpress.com/2006/06/25/air/
1 Perempuan 14 Laki-Laki - Djenar Maesa Ayu
Bellanissa Zoditama
http://www.kompasiana.com/bellanissa
Penulis: Djenar Maesa Ayu dkk
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Januari 2011
Sinopsis: Cerita pendek kolaborasi antara Djenar Maesa Ayu dengan 14 orang laki-laki yang berbeda profesi dan latar belakang.
Sebelumnya ini pertama kalinya saya membaca buku karangan Djenar Maesa Ayu dan saat mengetahui judul buku yang beberapa saat peluncurannya ramai di twitter itu, saya pun penasaran sekali untuk membacanya, dan apa ke‘istimewa’an buku tersebut dari buku tersebut.
Alhamdulillah, ada seorang teman yang berbaik hati membelikan buku ini untuk saya, sehingga saya bisa membuat review tentang bukunya.
Nggak banyak basa-basi lagi, ini review yang saya berikan untuk buku “1 Perempuan 14 Laki-laki”
Apa yang kalian pikirkan saat membaca judul ‘1 Perempuan 14 Laki-laki’? pertama-tama saya yang saya pikirkan ini adalah sebuah buku yang ditulis bersama 14 laki-laki lainnya. Memang tidak salah, tapi ternyata buku ini adalah buku yang ditulis bersama 14 orang laki-laki dengan cara menulis kalimat per kalimat hingga menjadi sebuah paragraf dan narasi yang padat.
Seperti yang ditulis oleh Djenar pada kata pengantar buku itu,
Inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan namun inspirasilah yang mendatangi saya…
Maka buku ini mempunyai konsep cerita dan penuturan bahasa yang menarik.
14 Orang laki-laki tersebut antara lain:
1. Agus Noor.
2. Arya Yudistira Syuman
3. Butet Kertaredjasa
4. Enrico Soekarno
5. Indra Herlambang
6. JRX
7. Lukman Sardi
8. Mudji Sutrisno
9. Nugroho Suksmanto
10. Richard Oh
11. Robertus Robet
12. Sardono W. Kusumo
13. Sujiwo Tejo
dan
14. Totot Indrarto.
Nama-nama tersebut memang termasuk nama-nama yang tidak terlalu asing di telinga orang-orang Indonesia, meskipun mereka bukan penulis, tapi mereka juga memiliki karya.
Secara konsep, buku ini menyajikan sesuatu yang menarik memang, namun dari segi cerita tidak begitu.
Entah disengaja atau tidak, sepertinya setiap dari cerita pendek ini selalu menceritakan tentang perselingkuhan, seks, dan kerinduan yang terdalam sehingga agak membuat buku ini terkesan membosankan.
Apalagi kata-katanya itu kadang-kadang menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi, yang membuat saya suka mengangkat dahi karena kurang ngerti.
Walaupun ada beberapa kalimat yang bagus, seperti kalimat yang ditulis di belakang covernya.
Misalnya,
Kita bisa memesan bir, namun kita tak bisa memesan takdir - Agus Noor.
Dan dari 14 cerita yang disuguhkan saya paling menyukai bagian yang ditulis bersama Lukman Sardi yang berjudul RA kuadrat dan Matahari di Klab Malam yang ditulis bersama Arya Yudistira Syuman.
Jadi untuk kalian yang suka membaca buku-buku sastra buku ini memang wajib dimiliki, namun untuk yang lebih menyukai membaca bacaan ringan… ah rasanya jangan kalau tidak ingin kecewa. Kecuali kalo kalian memang penasaran seperti saya.
02 March 2011
*)Mahasisiswa Institut Manajemen Telkom. Tukang perangkai kisah dan cerita yang masih belajar tentang kehidupan.
http://www.kompasiana.com/bellanissa
Penulis: Djenar Maesa Ayu dkk
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Januari 2011
Sinopsis: Cerita pendek kolaborasi antara Djenar Maesa Ayu dengan 14 orang laki-laki yang berbeda profesi dan latar belakang.
Sebelumnya ini pertama kalinya saya membaca buku karangan Djenar Maesa Ayu dan saat mengetahui judul buku yang beberapa saat peluncurannya ramai di twitter itu, saya pun penasaran sekali untuk membacanya, dan apa ke‘istimewa’an buku tersebut dari buku tersebut.
Alhamdulillah, ada seorang teman yang berbaik hati membelikan buku ini untuk saya, sehingga saya bisa membuat review tentang bukunya.
Nggak banyak basa-basi lagi, ini review yang saya berikan untuk buku “1 Perempuan 14 Laki-laki”
Apa yang kalian pikirkan saat membaca judul ‘1 Perempuan 14 Laki-laki’? pertama-tama saya yang saya pikirkan ini adalah sebuah buku yang ditulis bersama 14 laki-laki lainnya. Memang tidak salah, tapi ternyata buku ini adalah buku yang ditulis bersama 14 orang laki-laki dengan cara menulis kalimat per kalimat hingga menjadi sebuah paragraf dan narasi yang padat.
Seperti yang ditulis oleh Djenar pada kata pengantar buku itu,
Inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan namun inspirasilah yang mendatangi saya…
Maka buku ini mempunyai konsep cerita dan penuturan bahasa yang menarik.
14 Orang laki-laki tersebut antara lain:
1. Agus Noor.
2. Arya Yudistira Syuman
3. Butet Kertaredjasa
4. Enrico Soekarno
5. Indra Herlambang
6. JRX
7. Lukman Sardi
8. Mudji Sutrisno
9. Nugroho Suksmanto
10. Richard Oh
11. Robertus Robet
12. Sardono W. Kusumo
13. Sujiwo Tejo
dan
14. Totot Indrarto.
Nama-nama tersebut memang termasuk nama-nama yang tidak terlalu asing di telinga orang-orang Indonesia, meskipun mereka bukan penulis, tapi mereka juga memiliki karya.
Secara konsep, buku ini menyajikan sesuatu yang menarik memang, namun dari segi cerita tidak begitu.
Entah disengaja atau tidak, sepertinya setiap dari cerita pendek ini selalu menceritakan tentang perselingkuhan, seks, dan kerinduan yang terdalam sehingga agak membuat buku ini terkesan membosankan.
Apalagi kata-katanya itu kadang-kadang menggunakan bahasa sastra tingkat tinggi, yang membuat saya suka mengangkat dahi karena kurang ngerti.
Walaupun ada beberapa kalimat yang bagus, seperti kalimat yang ditulis di belakang covernya.
Misalnya,
Kita bisa memesan bir, namun kita tak bisa memesan takdir - Agus Noor.
Dan dari 14 cerita yang disuguhkan saya paling menyukai bagian yang ditulis bersama Lukman Sardi yang berjudul RA kuadrat dan Matahari di Klab Malam yang ditulis bersama Arya Yudistira Syuman.
Jadi untuk kalian yang suka membaca buku-buku sastra buku ini memang wajib dimiliki, namun untuk yang lebih menyukai membaca bacaan ringan… ah rasanya jangan kalau tidak ingin kecewa. Kecuali kalo kalian memang penasaran seperti saya.
02 March 2011
*)Mahasisiswa Institut Manajemen Telkom. Tukang perangkai kisah dan cerita yang masih belajar tentang kehidupan.
Sastrawati Menulis Identitas Seksual
(Ditulis kembali dari apresiasi novel Mahadewa Mahadewi)
M Fadjroel Rachman*
Media Indonesia, 02 Sep 2007
APAKAH para sastrawati generasi abad XXI di Indonesia, sebagian seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dinar Rahayu, Nova Riyanti Yusuf (Noriyu), Mariana Amiruddin, dan Fira Basuki, mengungkapkan persoalan seksualitas untuk eksploitasi seksual semata? Samakah karya mereka dengan karya pornografi jalanan, cetak maupun elektronik di kaki lima di seluruh penjuru Tanah Air, dan pantas dicap menganut eksploitasi seksual sebagai standar estetika? Penulis ingin mengenali dan mencatat bagaimana para sastrawati muda Indonesia mengaktualisasi diri. Dengan apresiasi tentu saja, sebagai apresiator.
Marilah dengan kepala dingin kita apresiasi secara singkat sebagian karya Noriyu, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, dan Fira Basuki. Dimulai dari Mahadewa Mahadewi (MM), karya Noriyu, seorang dokter umum, ahli kejiwaan, penulis skenario film Merah itu Cinta. Bila Anda mengutuki dan meratapi zaman ini, seks bebas, perkawinan tanpa cinta, percintaan liar kaum gay, lesbian, biseks, dan transeksual. Lalu agama dan moralitas bertopeng kepalsuan, menjadi dalih pintar omong kosong. MM memberikan kesaksiannya.
Kesaksian tentang dunia yang disembunyikan rapi, ditutup-tutupi, dunia bawah tanah yang sebenarnya adalah realitas hidup kita hari ini. Tanpa menghakimi. Tanpa penilaian. Telanjang sehabis-habisnya, karena kata MM, “Ini tentang dirimu. Aku hanya menonton. Ironi yang terkemas apik.” Membaca MM seperti mengizinkan palu menghantam kepala kita secara sukarela. Dengan sinis dan pintar MM membongkar pertahanan diri kita, menelanjangi semua selimut moralitas dan dalih pintar hidup kita yang terkemas apik sehabis-habisnya.
Tepatnya, menyetubuhi seluruh diri kita seliar-liarnya: pikiran, perasaan, dan segenap daging tubuh kita. Sebuah kejujuran tanpa beban, layaknya dokter Yukako yang ‘menyiksa’ kita karena jatuh cinta pada Reno, orang gila dan pasiennya di rumah sakit jiwa (RSJ) dengan deskripsi persetubuhan teramat liar (hlm 42):
“Ooooooohhhhhhhhh,” Kako menjerit. “Ren-no?” Seluruh energi terpancar dalam jeritannya. Bahkan peluh menjadi saksi akan terlumpuhkannya seluruh sistem tubuh dari ujung kepala sampai kaki. Kenikmatan berlebihan membunuh tenaga Kako yang masih tersisa, semata-mata karena kontraksi menggila otot genital yang terus-menerus dipacu penetrasi Reno yang cepat dan dalam. Klimaks seksual pertama. Begitu lepas.
Lalu percintaan liar dari pasangan gay, Gangga dan Prasetyo (hlm 59):
Kamu membahagiakan saya malam ini. Kamu hebat sekali bisa membuat saya berkali-kali orgasme. Tetapi, apakah kamu akan menemui saya lagi? Atau seperti biasa, ini akan menjadi ‘one night stand’?
Dalam MM, Nova memilih secara sadar aktivitas seksual untuk menghantam tabu yang paling sakral, dibarengi dengan penggambaran perilaku seksual dramatis. Akibatnya, terjadi demistifikasi kebutuhan biologis, perilaku seksual maupun orientasinya, demikian pula pada penulis segenerasinya, seperti Fira Basuki (Jendela-Jendela, Gramedia, 2001), Djenar Mahesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet, Gramedia, 2002), dan Ayu Utami (Saman, Gramedia 2002, cetakan ke-21). Dengar Ayu Utami (hlm 195):
Jakarta, 16 Juni 1994
Saman,
Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu
Jakarta, 20 Juni 1994
Saman
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu
Atau dengan terbuka June, tokoh Fira Basuki dalam Jendela-Jendela mengakui hubungan seksualnya dengan Dean sahabat suaminya, kepada suaminya Jigme (hlm 123):
“Aku melakukan ‘affair’?”
Jigme terdiam. Ia tidak bodoh, aku yakin ia tahu apa yang terjadi.
“Dean”
Aku mengangguk
“‘Did you sleep with him’?”
Aku tidak menjawab. Jigme menggeleng
“‘He’s my best friend’?”
Cerita pendek Djenar Maesa Ayu, bahkan langsung menyebut nama alat kelamin perempuan sebagai nama tokohnya (lihat Namanya hlm 90). Mereka menulis dalam detail yang sungguh luar biasa, dibarengi pengetahuan ilmiah yang harus dipahami secara seksama sebelum dapat secara ‘sempurna’ mengapresiasi karya mereka.
***
Bandingkan cara penggambaran seksualitas dan aktivitas seksual antara keempat penulis perempuan tersebut dengan cara Budi Darma menangani Olenka. Dalam novel tersebut Fanton Drummond memperlakukan tubuh Olenka seperti peta dunia, menghafal setiap lika-likunya, meletakkannya di atas tempat tidur, lalu ke meja seterika, selanjutnya ke bak kamar mandi, terus ke sofa, terus ke permadani, lalu ke meja masak, dan ke atas lemari pakaian. Penggambaran seksualitas ini terasa berjarak, namun dengan daya imajinasi yang sama liarnya dengan para pengarang perempuan tersebut.
Novel saya, Bulan Jingga dalam Kepala (Fadjroel Rachman, Gramedia, 2007) juga menggunakan imajinasi aktivitas seksual sebagai upaya desakralisasi dan pencitraan sensualitas. Sehingga status aktivitas seksual menjelma aktivitas manusiawi.
Setelah bergulat bagai binatang, telanjang menghadap langit di aspal hitam jalanan, diusap jari-jemari bintang. Inilah keheningan dan kebahagiaan Adam dan Hawa saat pertama kali merasakan tubuh manusia di hutan surgawi, sebelum diusir ke hutan dunia.
***
Apakah artinya aktivitas seksual di tangan para pengarang perempuan itu? Tidak lain adalah upaya merumuskan kembali identitas seksual mereka sebagai perempuan, mengatasi, dan membongkar dominasi konstruksi sosial yang menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua (second sex). Konstruksi sosial yang memusuhi tubuh dan organ kelamin perempuan. Sebuah upaya untuk menjadi perempuan, kata Simone de Beauvoir. Sangat berbeda dengan para pengarang lelaki yang melihatnya secara berjarak, tidak jarang menjadikan perempuan, tubuh dan organ kelaminnya, sebagai objek sensualitas belaka. Atau menghukumnya dengan nilai dan norma absolut yang bias gender.
Selain pembongkaran dominasi konstruksi sosial, juga kejujuran, jujur pada pikiran dan kata hati sendiri, dan bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri sebagai manusia yang bebas dan otonom, menjadi kata kunci pada karya sastrawati abad XXI Indonesia tersebut. Kejujuran pada pikiran dan perasaan merupakan sarana manusia menjadi dirinya sendiri (man for him/herself). Kejujuran pada pikiran dan perasaan, juga menjadi kunci penting pada novel terkenal peraih hadiah Nobel Dokter Zhivago karya Boris Pasternak, sehingga Pasternak menengarai, “Ini merupakan penyakit terparah jaman kita. Sebagian besar kita harus menjalani hidup yang konstan dan berulang secara sistematik. Kesehatanmu pasti terpengaruh, jika hari demi hari engkau menyatakan sebaliknya dari apa yang kau rasakan, merendahkan diri di depan apa yang tak kau sukai dan harus bergembira dengan sesuatu yang tidak menghasilkan apa pun selain kemalangan.”
Dokter Zhivago adalah tragedi manusia, kemanusiaan, dan kehidupan dengan latar Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Para tokoh dalam cerita dari sastrawati baru Indonesia adalah tragedi manusia, kemanusiaan, dan kehidupan dengan latar perubahan sosial, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dalam kepungan sistem sosial kapitalisme yang berstatus semifeodal dan semikolonial pada awal abad XXI.
***
‘Sastra pembebasan’ atau ‘sastra emansipasi’, itulah istilah yang tepat pada para generasi penulis baru seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Noriyu, Fira Basuki, dan lainnya. Sastra wangi pengharum progresivitas sastra baru Indonesia. Penulis-penulis muda dengan palu penghancur! Mereka ialah saksi, memberikan kesaksian terhadap hiruk pikuk zaman kita, dan menggambarkan tokoh-tokohnya tanpa belas kasihan ke hadapan kita.
Raungan dan hantaman telak terhadap dunia! Perlawanan atau pembebasan terhadap dunia yang menistakan manusia dan kehidupan, menistakan perempuan, demikian individual sifatnya. Generasi sastrawati baru ini merupakan bagian dari perlawanan individu yang menolak dibendakan, diobjektivikasi, didominasi konstruksi sosial di manapun di muka bumi. Siapa yang mesti menghakimi ekspresi mereka? Hanya pembaca serta waktu yang akan menghukum atau mengapresiasi karya sastra mereka.
Manusia dan kehidupan adalah keajaiban, dalam jutaan tahun sejarah semesta dan manusia, kita belajar bahwa tidak ada sejarah individu, sejarah alam dan sejarah sosial yang linear, tidak ada akhirisme (endism), tidak ada yang absolut. Semuanya sementara dan rapuh, bahkan, sebuah validitas terhadap kebenaran pun bersifat hipotetis. Jadi ‘kebenaran’ pun hanyalah hipotetif, bahkan tidak ada pernyataan tentang ‘fakta’ yang benar tidak teragukan. Eksperimen dalam karya sastra adalah upaya menangkap keajaiban hidup dan manusia. Menciptakan dunia baru dalam tangan penulis dan seniman kreatif.
Oleh karena itu, “Siapa pun yang takut terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi, takut terhadap perbedaan, kehidupan dan progresivitas, dilarang membaca karya sastrawati Indonesia abad XXI”.
* M Fadjroel Rachman, esais dan penggagas Memo Indonesia
Diambil dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/sastrawati-menulis-identitas-seksual.html
M Fadjroel Rachman*
Media Indonesia, 02 Sep 2007
APAKAH para sastrawati generasi abad XXI di Indonesia, sebagian seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dinar Rahayu, Nova Riyanti Yusuf (Noriyu), Mariana Amiruddin, dan Fira Basuki, mengungkapkan persoalan seksualitas untuk eksploitasi seksual semata? Samakah karya mereka dengan karya pornografi jalanan, cetak maupun elektronik di kaki lima di seluruh penjuru Tanah Air, dan pantas dicap menganut eksploitasi seksual sebagai standar estetika? Penulis ingin mengenali dan mencatat bagaimana para sastrawati muda Indonesia mengaktualisasi diri. Dengan apresiasi tentu saja, sebagai apresiator.
Marilah dengan kepala dingin kita apresiasi secara singkat sebagian karya Noriyu, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, dan Fira Basuki. Dimulai dari Mahadewa Mahadewi (MM), karya Noriyu, seorang dokter umum, ahli kejiwaan, penulis skenario film Merah itu Cinta. Bila Anda mengutuki dan meratapi zaman ini, seks bebas, perkawinan tanpa cinta, percintaan liar kaum gay, lesbian, biseks, dan transeksual. Lalu agama dan moralitas bertopeng kepalsuan, menjadi dalih pintar omong kosong. MM memberikan kesaksiannya.
Kesaksian tentang dunia yang disembunyikan rapi, ditutup-tutupi, dunia bawah tanah yang sebenarnya adalah realitas hidup kita hari ini. Tanpa menghakimi. Tanpa penilaian. Telanjang sehabis-habisnya, karena kata MM, “Ini tentang dirimu. Aku hanya menonton. Ironi yang terkemas apik.” Membaca MM seperti mengizinkan palu menghantam kepala kita secara sukarela. Dengan sinis dan pintar MM membongkar pertahanan diri kita, menelanjangi semua selimut moralitas dan dalih pintar hidup kita yang terkemas apik sehabis-habisnya.
Tepatnya, menyetubuhi seluruh diri kita seliar-liarnya: pikiran, perasaan, dan segenap daging tubuh kita. Sebuah kejujuran tanpa beban, layaknya dokter Yukako yang ‘menyiksa’ kita karena jatuh cinta pada Reno, orang gila dan pasiennya di rumah sakit jiwa (RSJ) dengan deskripsi persetubuhan teramat liar (hlm 42):
“Ooooooohhhhhhhhh,” Kako menjerit. “Ren-no?” Seluruh energi terpancar dalam jeritannya. Bahkan peluh menjadi saksi akan terlumpuhkannya seluruh sistem tubuh dari ujung kepala sampai kaki. Kenikmatan berlebihan membunuh tenaga Kako yang masih tersisa, semata-mata karena kontraksi menggila otot genital yang terus-menerus dipacu penetrasi Reno yang cepat dan dalam. Klimaks seksual pertama. Begitu lepas.
Lalu percintaan liar dari pasangan gay, Gangga dan Prasetyo (hlm 59):
Kamu membahagiakan saya malam ini. Kamu hebat sekali bisa membuat saya berkali-kali orgasme. Tetapi, apakah kamu akan menemui saya lagi? Atau seperti biasa, ini akan menjadi ‘one night stand’?
Dalam MM, Nova memilih secara sadar aktivitas seksual untuk menghantam tabu yang paling sakral, dibarengi dengan penggambaran perilaku seksual dramatis. Akibatnya, terjadi demistifikasi kebutuhan biologis, perilaku seksual maupun orientasinya, demikian pula pada penulis segenerasinya, seperti Fira Basuki (Jendela-Jendela, Gramedia, 2001), Djenar Mahesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet, Gramedia, 2002), dan Ayu Utami (Saman, Gramedia 2002, cetakan ke-21). Dengar Ayu Utami (hlm 195):
Jakarta, 16 Juni 1994
Saman,
Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu
Jakarta, 20 Juni 1994
Saman
Tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu
Atau dengan terbuka June, tokoh Fira Basuki dalam Jendela-Jendela mengakui hubungan seksualnya dengan Dean sahabat suaminya, kepada suaminya Jigme (hlm 123):
“Aku melakukan ‘affair’?”
Jigme terdiam. Ia tidak bodoh, aku yakin ia tahu apa yang terjadi.
“Dean”
Aku mengangguk
“‘Did you sleep with him’?”
Aku tidak menjawab. Jigme menggeleng
“‘He’s my best friend’?”
Cerita pendek Djenar Maesa Ayu, bahkan langsung menyebut nama alat kelamin perempuan sebagai nama tokohnya (lihat Namanya hlm 90). Mereka menulis dalam detail yang sungguh luar biasa, dibarengi pengetahuan ilmiah yang harus dipahami secara seksama sebelum dapat secara ‘sempurna’ mengapresiasi karya mereka.
***
Bandingkan cara penggambaran seksualitas dan aktivitas seksual antara keempat penulis perempuan tersebut dengan cara Budi Darma menangani Olenka. Dalam novel tersebut Fanton Drummond memperlakukan tubuh Olenka seperti peta dunia, menghafal setiap lika-likunya, meletakkannya di atas tempat tidur, lalu ke meja seterika, selanjutnya ke bak kamar mandi, terus ke sofa, terus ke permadani, lalu ke meja masak, dan ke atas lemari pakaian. Penggambaran seksualitas ini terasa berjarak, namun dengan daya imajinasi yang sama liarnya dengan para pengarang perempuan tersebut.
Novel saya, Bulan Jingga dalam Kepala (Fadjroel Rachman, Gramedia, 2007) juga menggunakan imajinasi aktivitas seksual sebagai upaya desakralisasi dan pencitraan sensualitas. Sehingga status aktivitas seksual menjelma aktivitas manusiawi.
Setelah bergulat bagai binatang, telanjang menghadap langit di aspal hitam jalanan, diusap jari-jemari bintang. Inilah keheningan dan kebahagiaan Adam dan Hawa saat pertama kali merasakan tubuh manusia di hutan surgawi, sebelum diusir ke hutan dunia.
***
Apakah artinya aktivitas seksual di tangan para pengarang perempuan itu? Tidak lain adalah upaya merumuskan kembali identitas seksual mereka sebagai perempuan, mengatasi, dan membongkar dominasi konstruksi sosial yang menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua (second sex). Konstruksi sosial yang memusuhi tubuh dan organ kelamin perempuan. Sebuah upaya untuk menjadi perempuan, kata Simone de Beauvoir. Sangat berbeda dengan para pengarang lelaki yang melihatnya secara berjarak, tidak jarang menjadikan perempuan, tubuh dan organ kelaminnya, sebagai objek sensualitas belaka. Atau menghukumnya dengan nilai dan norma absolut yang bias gender.
Selain pembongkaran dominasi konstruksi sosial, juga kejujuran, jujur pada pikiran dan kata hati sendiri, dan bertanggung jawab terhadap pilihan sendiri sebagai manusia yang bebas dan otonom, menjadi kata kunci pada karya sastrawati abad XXI Indonesia tersebut. Kejujuran pada pikiran dan perasaan merupakan sarana manusia menjadi dirinya sendiri (man for him/herself). Kejujuran pada pikiran dan perasaan, juga menjadi kunci penting pada novel terkenal peraih hadiah Nobel Dokter Zhivago karya Boris Pasternak, sehingga Pasternak menengarai, “Ini merupakan penyakit terparah jaman kita. Sebagian besar kita harus menjalani hidup yang konstan dan berulang secara sistematik. Kesehatanmu pasti terpengaruh, jika hari demi hari engkau menyatakan sebaliknya dari apa yang kau rasakan, merendahkan diri di depan apa yang tak kau sukai dan harus bergembira dengan sesuatu yang tidak menghasilkan apa pun selain kemalangan.”
Dokter Zhivago adalah tragedi manusia, kemanusiaan, dan kehidupan dengan latar Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Para tokoh dalam cerita dari sastrawati baru Indonesia adalah tragedi manusia, kemanusiaan, dan kehidupan dengan latar perubahan sosial, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dalam kepungan sistem sosial kapitalisme yang berstatus semifeodal dan semikolonial pada awal abad XXI.
***
‘Sastra pembebasan’ atau ‘sastra emansipasi’, itulah istilah yang tepat pada para generasi penulis baru seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Noriyu, Fira Basuki, dan lainnya. Sastra wangi pengharum progresivitas sastra baru Indonesia. Penulis-penulis muda dengan palu penghancur! Mereka ialah saksi, memberikan kesaksian terhadap hiruk pikuk zaman kita, dan menggambarkan tokoh-tokohnya tanpa belas kasihan ke hadapan kita.
Raungan dan hantaman telak terhadap dunia! Perlawanan atau pembebasan terhadap dunia yang menistakan manusia dan kehidupan, menistakan perempuan, demikian individual sifatnya. Generasi sastrawati baru ini merupakan bagian dari perlawanan individu yang menolak dibendakan, diobjektivikasi, didominasi konstruksi sosial di manapun di muka bumi. Siapa yang mesti menghakimi ekspresi mereka? Hanya pembaca serta waktu yang akan menghukum atau mengapresiasi karya sastra mereka.
Manusia dan kehidupan adalah keajaiban, dalam jutaan tahun sejarah semesta dan manusia, kita belajar bahwa tidak ada sejarah individu, sejarah alam dan sejarah sosial yang linear, tidak ada akhirisme (endism), tidak ada yang absolut. Semuanya sementara dan rapuh, bahkan, sebuah validitas terhadap kebenaran pun bersifat hipotetis. Jadi ‘kebenaran’ pun hanyalah hipotetif, bahkan tidak ada pernyataan tentang ‘fakta’ yang benar tidak teragukan. Eksperimen dalam karya sastra adalah upaya menangkap keajaiban hidup dan manusia. Menciptakan dunia baru dalam tangan penulis dan seniman kreatif.
Oleh karena itu, “Siapa pun yang takut terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi, takut terhadap perbedaan, kehidupan dan progresivitas, dilarang membaca karya sastrawati Indonesia abad XXI”.
* M Fadjroel Rachman, esais dan penggagas Memo Indonesia
Diambil dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/09/sastrawati-menulis-identitas-seksual.html
Negeri Kita Belum Merdeka
Wawan Eko Yulianto*
http://oase.kompas.com/
“NEGERI KITA BELUM MERDEKA!” begitulah kira-kira bunyi headline dua koran lokal menyusul “pemerkosaan” sebuah monumen kemerdekaan hasil sumbangan yang baru diresmikan.
Dua minggu sebelum peringatan hari kemerdekaan, para veteran yang dulunya tergabung ke dalam tentara pelajar mengundang bapak walikota dan para wartawan ke sebuah sudut jalan di sebuah pemukiman.
Di sana, wakil dari para veteran itu mengatakan kepada bapak walikota, “Kami sumbangkan Monumen Merdeka untuk kota kita . . . .” Sambil berkata, dia menarik kain yang menutupi sebuah bangun yang menjulang agak tinggi. Kain tersibak dan terlihatlah sebuah patung. “Kami harap, monumen ini bisa menjadi peringatan bagi generasi muda agar mereka menghargai kemerdekaan yang telah kami perjuangkan dan agar mereka bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.”
Bapak walikota menyatakan kegembiraannya dan berjanji akan mengelola monumen ini dengan sebaik-baiknya. Para wartawan mencatat kata-kata sang veteran.
Maka, sejak itu kota memiliki sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Merdeka. Monumen itu tak terlalu besar, tetapi sangat bagus. Ada pelataran bundar beralas beton dengan diameter sekitar tujuh meter. Di sekeliling lingkaran itu ada bangku juga dari beton. Di sekeliling bangku beton terdapat bagian yang dikelilingi kawasan yang hanya tertutupi batu-batu kali berukuran tinju orang dewasa. Di tengah-tengah lingkaran itu terdapat sebuah patung tentara mengangkat tangannya yang terkepal, dengan wajah tersenyum, dan membawa buku di tangan kirinya. Sekalian dengan pedestalnya, monumen itu berukuran tinggi tiga meter. Pada pedestal patung terdapat tulisan “Merdeka! Kini saatnya bagimu menggunakan kemerdekaan inil!”
* * *
Misdi si tukang sampah bekerja setiap hari. Dia ambil sampah di depan setiap rumah dan dia masukkan ke gerobaknya yang berwarna kuning. Jika sampah dari semua rumah sudah dia ambil, dia tinggal berjalan ke tempat pembuangan sampah kelurahan. Selanjutnya, akan ada truk sampah yang membawa sampah hasil buangan para tukang sampah seperti Misdi. Tanggung jawab Misdi hanya mulai rumah-rumah hingga tempat pembuangan sampah keluharan. Namun, sejak adanya Monumen Merdeka, bapak lurah memberinya tanggung jawab tambahan yaitu menjaga kebersihan Monumen Merdeka.
Misdi berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat banyak orang sedang kerepotan bermimpi, Misdi sudah keluar rumahnya menarik gerobak kuning dan berbaju kuning yang setiap hari dia pakai untuk bekerja itu. Baju dan gerobak Misdi sangat bau. Aromanya seperti campuran segala macam sampah. Saking seringnya dia pakai berdekat-dekat dengan sampah, baju dan gerobaknya itu selalu bau. Bahkan, saat dia masih baru keluar rumahnya dan belum menyentuh sampah sama sekali, baju itu sudah berbau.
Saat dia berjalan menuju tempat pembuangan sampah kelurahan, dia akan melewati sederetan rumah agak mewah. Di tengah-tengah deretan rumah agak mewah itulah terdapat monumen baru, Monumen Merdeka. Itulah tanggung jawabnya yang baru. Biasanya, dia sudah berada di sana pada pukul setengah empat.
Tanggung jawab baru itu membuat Misdi jadi selalu berhenti di sana. Tidak banyak yang perlu dibersihkan, paling-paling dia hanya akan memungut sedikit sampah dan mengosongkan keranjang sampah yang ada di sana. Lalu dia akan beristirahat sejenak, sekedar melepas lelah. Dia selalu memarkir gerobaknya tepat di depan monumen itu dan berjalan ke bangku yang melingkari patung. Di salah satu sudut dia langsung memilih berbaring. Dia suka melihat tentara yang membawa buku itu.
Yang selalu dia lakukan adalah meratapi kenapa dia menjadi tukang sampah. Sebenarnya dia tak ingin mengeluh seperti itu. Tapi, tanpa sengaja, hal itu dia lakukan sebagai dampak dari tekanan kehidupan yang dia hadapi setiap hari. Terlebih lagi, patung yang membawa buku itu seperti memandang dengan tatapan yang memahami. Seakan-akan si patung memahami keluhan-keluhan yang Misdi sampaikan dengan suara lirih itu.
Yang paling sering dia keluhkan adalah soal dana bantuan sosial dari pemerintah. Dia tidak terima atas perlakuan pihak kelurahan yang sangat tidak adil. Dia sudah memohon agar bisa mendapatkan bantuan tunai itu. Namun, pihak kelurahan tidak meloloskannya hanya karena dia sudah memiliki pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah kelurahan dan mendapatkan gaji tetap. Sementara itu, seorang tetangganya mendapatkan bantuan tunai itu padahal dia punya sawah lumayan banyak di pinggiran kota. Alasan yang paling mudah adalah bahwa sawah tidak memberikan penghasilan yang tetap. Tapi, yang pasti, si penerima itu adalah keluarga dekat seorang pegawai di kantor kelurahan.
Itulah yang paling layak dia keluhkan sambil berbaring di bangku beton yang dingin itu. Semilir angin fajar yang mulai menunjukkan dinginnya membuat dia bisa mengeluh dengan suara berlarat-larat. Kemudian, ketika dirasa cukup, Misdi segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke tempat pembuangan sampah kelurahan.
Begitulah kegiatan wajibnya sekitar pukul setengah empat pagi. Saking seringnya dia duduk di situ dan mengeluh kepada si patung, Misdi sampai merasa seakan-akan dia sudah mengenal dekat si patung. Dia seakan tahu kapan si patung siap menerima keluhannya dan kapan dia tidak bisa mengeluh dan hanya boleh duduk sambil memandangi si patung.
Yang paling sering dia katakan pada setiap kali akan meninggalkan si patung adalah, “Bagaimana bisa kamu tersenyum dan mengangkat tangan menyatakan kemerdekaan, sementara aku di sini hidup tak tenang? Jangankan hidup, tidur saja aku tak tenang!”
* * *
Pada malam hari kemerdekaan para pemuda karang taruna mengadakan acara tasyakuran di Monumen Merdeka yang sangat indah dengan bunga-bunga dan pelataran berlapis beton yang sangat bersih itu.
Mereka mengadakan perenungan dan pembacaan doa-doa agar negara ini senantiasa dalam keadaan aman sentausa, agar rakyat bisa bahagia dan terjauh dari bencana, agar para generasi muda semakin bisa menjalankan pembangunan seperti yang diamanatkan para pahlawan. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu-lagu akustik bertemakan kemerdekaan, membaca puisi-puisi yang membakar patriotisme, dan juga—yang tak kalah pentingnya—mengheningkan cipta atas kepahlawanan para tentara pelajar dan angkatan tua pada masa revolusi.
Acara berlangsung hingga lewat tengah malam. Semua orang sudah lelah dan mengantuk saat mereka mengakhiri acara. Keesokan harinya mereka akan menjadi panitia acara lomba-lomba kemerdekaan. Mereka juga sudah membawa pentungan kasti yang besok akan mereka pakai untuk lomba memukul kendi dengan mata tertutup. Mereka memutuskan untuk tidak membersihkan sampah yang mereka tinggalkan. Mereka rasa waktu tidak memungkinkan untuk melakukannya. Mereka membiarkannya dengan asumsi Misdi akan lewat sini dan pasti akan membersihkannya. Sementara itu peralatan untuk lomba di keesokan harinya hanya mereka letakkan di belakang bangku yang tak bisa dilihat dari jalan. Mereka menutupinya dengan terpal.
Benar saja, ketika pada pukul setengah empat Misdi lewat monumen itu dan ingin beristirahat barang sebentar seperti hari-hari biasanya, dia terkejut setengah mati. Dilihatnya monumen itu tak lagi nyaman: daun pisang bekas bungkus kue nagasari bertebaran di mana-mana, gelas-gelas plastik air mineral tampak sangat banyak di berbagai sudut, kantong-kantong plastik kue juga berserakan, dan ada juga kertas-kertas warna merah-putih yang entah habis dipakai untuk apa. Misdi bisa saja berlalu dan langsung menuju tempat pembuangan sampah kelurahan. Tapi nalurinya mengatakan orang-orang pasti akan mencercanya jika dia benar-benar melakukan itu.
Maka, Misdi pun membersihkannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya karena masih terdapat sebagian kue adonan beras pada daun-daun pisang bungkus nagasari. Kebanyakan bungkus-bungkus pisang dan kotoran itu bertebaran di sekitar bagian yang hanya tertutupi batu-batu kali, terselip-selip diantara bebatuan. Hal ini merepotkan Misdi. Ditambah lagi, sebagian dari bekas-bekas itu sudah mulai lengket pada bangku beton dan lantai monumen. Dia harus mengorek-ngorek. Dia butuh waktu sekitar setengah jam sendiri untuk membersihkan monumen itu. Dia tahu, nanti sekitar pukul sebelas siang, anak-anak karang taruna akan ke sini lagi dan mempersiapkan lomba-lomba ceria. Anak-anak Misdi pasti juga akan ikut lomba itu. Tak apa lah, pikirnya, anaknya pasti akan berbahagia. Dia senang sekali memikirkan itu. Tapi tetap saja dia geram saat harus melihat sampah-sampah itu. Namun, dia jadi ingat betapa jengkelnya dia kepada para pemuda dan orang-orang di kelurahan.
Orang-orang kelurahan itu menggajinya dengan bayaran yang tidak seberapa, tetapi mengharapkan dia bekerja dengan luar biasa berat. Contohnya pada hari ini, pada hari kemerdekaan dimana semestinya dia bisa berlibur, dia tidak mendapat libur. Bahkan, dia harus bekerja ekstra pada subuh hari seperti ini.
Betapa anehnya ini, pikirnya. Mereka telah mempersulitnya mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah sementara dia begitu berbakti kepada mereka. Dan sekarang, pada hari kemerdekaan, dia sudah membuatnya bekerja dengan lebih keras tanpa penghargaan semestinya. Menurut pengalamannya, jika sebuah tempat bersih, mereka tidak pernah berterima kasih kepadanya. Namun, pada saat suatu tempat umum kotor, mereka yang menyindir-nyindir dirinya. Sungguh menjengkelkan. Ini bukan kemerdekaan.
Misdi yang sudah menemukan letak pentungan kasti di belakang bangku itu segera mengambil satu. Dia memanjat ke pedestal patung sehingga dia bisa menjangkau tangan si patung dengan pentiungannya. Dia ayunkan tongkat besi itu ke arah tangan si pahlawan yang sedang terkepal dan teracung di udara. Thang! Thang! Thang! Setelah beberapa kali, tampaklah pangkal lengan itu retak. Dia pukul lagi lengan yang kini sudah mulai bergoyang itu. Sebentar lagi tidak akan ada tangan yang mengacung tanda merdeka, pikirnya. Sebentar lagi kau akan putus. Ternyata, lengan itu tidak putus. Kerangka besi di dalam lengan membuat lengan itu tidak mungkin putus. Kini, Misdi memanjat lebih tinggi dan menarik lengan itu dengan kedua tangannya. Lengan beton itu berayun dan mulai bengkok. Pada akhirnya, setelah usaha yang melelahkan, lengan itu kini menghadap ke bawah. Ini baru bukan merdeka!
Tapi masih kurang, pikirnya. Gambar pahlawan yang tersenyum itu masih membuatnya kesal. Misdi berlari ke depan monumen. Di sana terdapat batu-batu sebesar tinju orang dewasa. Dia ambil salah satu batu di sana. Kemudian dia memanjat lagi ke tubuh monumen. Dia pukuli wajah sang pahlawan sampai wajahnya benar-benar hancur dan tak ada lagi senyum di wajahnya.
Nah, sekarang, tak ada lagi yang bisa bilang kita sudah merdeka, pikir Misdi. Kita masih belum merdeka, Pak Pahlawan! Saya masih terjajah, Pak Pahlawan!
* * *
Maka, pada hari kemerdekaan itulah semua orang bisa melihat patung yang masih berumur dua minggu itu hancur tak berbentuk. Lomba-lomba hari kemerdekaan tidak jadi diadakan di sekitar monumen. Bahkan, setelah dirundingkan, pada akhirnya lomba-lomba itu tidak jadi diadakan.
Baru keesokan harinya orang-orang tahu dari kejadian itu setelah membaca headline koran lokal yang berbunyi: NEGERI KITA BELUM MERDEKA. Isi dari berita itu adalah tentang “pemerkosaan” patung kemerdekaan tersebut.
Atas laporan beberapa orang yang melintas di depan monumen—tanpa sepengetahuan Misdi—pada saat Misdi melakukan “pemerkosaan” itu, Misdi ditangkap dan dibawa ke tahanan atas tuduhan pengrusakan sarana umum. Kepada koran-koran yang mewawancarainya karena tertarik, Misdi hanya mengatakan satu kalimat. Dan kemudian, di koran-koran ada headline seragam yang berbunyi MISDI: NEGERI KITA BELUM MERDEKA!.
9 Maret 2010
* Wawan Eko Yulianto adalah seorang cerpenis anggota Komunitas Bengkel Imajinasi Malang, dan blogger di http://berbagi-mimpi.info
http://oase.kompas.com/
“NEGERI KITA BELUM MERDEKA!” begitulah kira-kira bunyi headline dua koran lokal menyusul “pemerkosaan” sebuah monumen kemerdekaan hasil sumbangan yang baru diresmikan.
Dua minggu sebelum peringatan hari kemerdekaan, para veteran yang dulunya tergabung ke dalam tentara pelajar mengundang bapak walikota dan para wartawan ke sebuah sudut jalan di sebuah pemukiman.
Di sana, wakil dari para veteran itu mengatakan kepada bapak walikota, “Kami sumbangkan Monumen Merdeka untuk kota kita . . . .” Sambil berkata, dia menarik kain yang menutupi sebuah bangun yang menjulang agak tinggi. Kain tersibak dan terlihatlah sebuah patung. “Kami harap, monumen ini bisa menjadi peringatan bagi generasi muda agar mereka menghargai kemerdekaan yang telah kami perjuangkan dan agar mereka bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya.”
Bapak walikota menyatakan kegembiraannya dan berjanji akan mengelola monumen ini dengan sebaik-baiknya. Para wartawan mencatat kata-kata sang veteran.
Maka, sejak itu kota memiliki sebuah monumen yang dikenal sebagai Monumen Merdeka. Monumen itu tak terlalu besar, tetapi sangat bagus. Ada pelataran bundar beralas beton dengan diameter sekitar tujuh meter. Di sekeliling lingkaran itu ada bangku juga dari beton. Di sekeliling bangku beton terdapat bagian yang dikelilingi kawasan yang hanya tertutupi batu-batu kali berukuran tinju orang dewasa. Di tengah-tengah lingkaran itu terdapat sebuah patung tentara mengangkat tangannya yang terkepal, dengan wajah tersenyum, dan membawa buku di tangan kirinya. Sekalian dengan pedestalnya, monumen itu berukuran tinggi tiga meter. Pada pedestal patung terdapat tulisan “Merdeka! Kini saatnya bagimu menggunakan kemerdekaan inil!”
* * *
Misdi si tukang sampah bekerja setiap hari. Dia ambil sampah di depan setiap rumah dan dia masukkan ke gerobaknya yang berwarna kuning. Jika sampah dari semua rumah sudah dia ambil, dia tinggal berjalan ke tempat pembuangan sampah kelurahan. Selanjutnya, akan ada truk sampah yang membawa sampah hasil buangan para tukang sampah seperti Misdi. Tanggung jawab Misdi hanya mulai rumah-rumah hingga tempat pembuangan sampah keluharan. Namun, sejak adanya Monumen Merdeka, bapak lurah memberinya tanggung jawab tambahan yaitu menjaga kebersihan Monumen Merdeka.
Misdi berangkat pada pukul 2 dini hari. Saat banyak orang sedang kerepotan bermimpi, Misdi sudah keluar rumahnya menarik gerobak kuning dan berbaju kuning yang setiap hari dia pakai untuk bekerja itu. Baju dan gerobak Misdi sangat bau. Aromanya seperti campuran segala macam sampah. Saking seringnya dia pakai berdekat-dekat dengan sampah, baju dan gerobaknya itu selalu bau. Bahkan, saat dia masih baru keluar rumahnya dan belum menyentuh sampah sama sekali, baju itu sudah berbau.
Saat dia berjalan menuju tempat pembuangan sampah kelurahan, dia akan melewati sederetan rumah agak mewah. Di tengah-tengah deretan rumah agak mewah itulah terdapat monumen baru, Monumen Merdeka. Itulah tanggung jawabnya yang baru. Biasanya, dia sudah berada di sana pada pukul setengah empat.
Tanggung jawab baru itu membuat Misdi jadi selalu berhenti di sana. Tidak banyak yang perlu dibersihkan, paling-paling dia hanya akan memungut sedikit sampah dan mengosongkan keranjang sampah yang ada di sana. Lalu dia akan beristirahat sejenak, sekedar melepas lelah. Dia selalu memarkir gerobaknya tepat di depan monumen itu dan berjalan ke bangku yang melingkari patung. Di salah satu sudut dia langsung memilih berbaring. Dia suka melihat tentara yang membawa buku itu.
Yang selalu dia lakukan adalah meratapi kenapa dia menjadi tukang sampah. Sebenarnya dia tak ingin mengeluh seperti itu. Tapi, tanpa sengaja, hal itu dia lakukan sebagai dampak dari tekanan kehidupan yang dia hadapi setiap hari. Terlebih lagi, patung yang membawa buku itu seperti memandang dengan tatapan yang memahami. Seakan-akan si patung memahami keluhan-keluhan yang Misdi sampaikan dengan suara lirih itu.
Yang paling sering dia keluhkan adalah soal dana bantuan sosial dari pemerintah. Dia tidak terima atas perlakuan pihak kelurahan yang sangat tidak adil. Dia sudah memohon agar bisa mendapatkan bantuan tunai itu. Namun, pihak kelurahan tidak meloloskannya hanya karena dia sudah memiliki pekerjaan sebagai penarik gerobak sampah kelurahan dan mendapatkan gaji tetap. Sementara itu, seorang tetangganya mendapatkan bantuan tunai itu padahal dia punya sawah lumayan banyak di pinggiran kota. Alasan yang paling mudah adalah bahwa sawah tidak memberikan penghasilan yang tetap. Tapi, yang pasti, si penerima itu adalah keluarga dekat seorang pegawai di kantor kelurahan.
Itulah yang paling layak dia keluhkan sambil berbaring di bangku beton yang dingin itu. Semilir angin fajar yang mulai menunjukkan dinginnya membuat dia bisa mengeluh dengan suara berlarat-larat. Kemudian, ketika dirasa cukup, Misdi segera bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke tempat pembuangan sampah kelurahan.
Begitulah kegiatan wajibnya sekitar pukul setengah empat pagi. Saking seringnya dia duduk di situ dan mengeluh kepada si patung, Misdi sampai merasa seakan-akan dia sudah mengenal dekat si patung. Dia seakan tahu kapan si patung siap menerima keluhannya dan kapan dia tidak bisa mengeluh dan hanya boleh duduk sambil memandangi si patung.
Yang paling sering dia katakan pada setiap kali akan meninggalkan si patung adalah, “Bagaimana bisa kamu tersenyum dan mengangkat tangan menyatakan kemerdekaan, sementara aku di sini hidup tak tenang? Jangankan hidup, tidur saja aku tak tenang!”
* * *
Pada malam hari kemerdekaan para pemuda karang taruna mengadakan acara tasyakuran di Monumen Merdeka yang sangat indah dengan bunga-bunga dan pelataran berlapis beton yang sangat bersih itu.
Mereka mengadakan perenungan dan pembacaan doa-doa agar negara ini senantiasa dalam keadaan aman sentausa, agar rakyat bisa bahagia dan terjauh dari bencana, agar para generasi muda semakin bisa menjalankan pembangunan seperti yang diamanatkan para pahlawan. Selain itu, mereka juga menyanyikan lagu-lagu akustik bertemakan kemerdekaan, membaca puisi-puisi yang membakar patriotisme, dan juga—yang tak kalah pentingnya—mengheningkan cipta atas kepahlawanan para tentara pelajar dan angkatan tua pada masa revolusi.
Acara berlangsung hingga lewat tengah malam. Semua orang sudah lelah dan mengantuk saat mereka mengakhiri acara. Keesokan harinya mereka akan menjadi panitia acara lomba-lomba kemerdekaan. Mereka juga sudah membawa pentungan kasti yang besok akan mereka pakai untuk lomba memukul kendi dengan mata tertutup. Mereka memutuskan untuk tidak membersihkan sampah yang mereka tinggalkan. Mereka rasa waktu tidak memungkinkan untuk melakukannya. Mereka membiarkannya dengan asumsi Misdi akan lewat sini dan pasti akan membersihkannya. Sementara itu peralatan untuk lomba di keesokan harinya hanya mereka letakkan di belakang bangku yang tak bisa dilihat dari jalan. Mereka menutupinya dengan terpal.
Benar saja, ketika pada pukul setengah empat Misdi lewat monumen itu dan ingin beristirahat barang sebentar seperti hari-hari biasanya, dia terkejut setengah mati. Dilihatnya monumen itu tak lagi nyaman: daun pisang bekas bungkus kue nagasari bertebaran di mana-mana, gelas-gelas plastik air mineral tampak sangat banyak di berbagai sudut, kantong-kantong plastik kue juga berserakan, dan ada juga kertas-kertas warna merah-putih yang entah habis dipakai untuk apa. Misdi bisa saja berlalu dan langsung menuju tempat pembuangan sampah kelurahan. Tapi nalurinya mengatakan orang-orang pasti akan mencercanya jika dia benar-benar melakukan itu.
Maka, Misdi pun membersihkannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk membersihkannya karena masih terdapat sebagian kue adonan beras pada daun-daun pisang bungkus nagasari. Kebanyakan bungkus-bungkus pisang dan kotoran itu bertebaran di sekitar bagian yang hanya tertutupi batu-batu kali, terselip-selip diantara bebatuan. Hal ini merepotkan Misdi. Ditambah lagi, sebagian dari bekas-bekas itu sudah mulai lengket pada bangku beton dan lantai monumen. Dia harus mengorek-ngorek. Dia butuh waktu sekitar setengah jam sendiri untuk membersihkan monumen itu. Dia tahu, nanti sekitar pukul sebelas siang, anak-anak karang taruna akan ke sini lagi dan mempersiapkan lomba-lomba ceria. Anak-anak Misdi pasti juga akan ikut lomba itu. Tak apa lah, pikirnya, anaknya pasti akan berbahagia. Dia senang sekali memikirkan itu. Tapi tetap saja dia geram saat harus melihat sampah-sampah itu. Namun, dia jadi ingat betapa jengkelnya dia kepada para pemuda dan orang-orang di kelurahan.
Orang-orang kelurahan itu menggajinya dengan bayaran yang tidak seberapa, tetapi mengharapkan dia bekerja dengan luar biasa berat. Contohnya pada hari ini, pada hari kemerdekaan dimana semestinya dia bisa berlibur, dia tidak mendapat libur. Bahkan, dia harus bekerja ekstra pada subuh hari seperti ini.
Betapa anehnya ini, pikirnya. Mereka telah mempersulitnya mendapatkan dana bantuan sosial dari pemerintah sementara dia begitu berbakti kepada mereka. Dan sekarang, pada hari kemerdekaan, dia sudah membuatnya bekerja dengan lebih keras tanpa penghargaan semestinya. Menurut pengalamannya, jika sebuah tempat bersih, mereka tidak pernah berterima kasih kepadanya. Namun, pada saat suatu tempat umum kotor, mereka yang menyindir-nyindir dirinya. Sungguh menjengkelkan. Ini bukan kemerdekaan.
Misdi yang sudah menemukan letak pentungan kasti di belakang bangku itu segera mengambil satu. Dia memanjat ke pedestal patung sehingga dia bisa menjangkau tangan si patung dengan pentiungannya. Dia ayunkan tongkat besi itu ke arah tangan si pahlawan yang sedang terkepal dan teracung di udara. Thang! Thang! Thang! Setelah beberapa kali, tampaklah pangkal lengan itu retak. Dia pukul lagi lengan yang kini sudah mulai bergoyang itu. Sebentar lagi tidak akan ada tangan yang mengacung tanda merdeka, pikirnya. Sebentar lagi kau akan putus. Ternyata, lengan itu tidak putus. Kerangka besi di dalam lengan membuat lengan itu tidak mungkin putus. Kini, Misdi memanjat lebih tinggi dan menarik lengan itu dengan kedua tangannya. Lengan beton itu berayun dan mulai bengkok. Pada akhirnya, setelah usaha yang melelahkan, lengan itu kini menghadap ke bawah. Ini baru bukan merdeka!
Tapi masih kurang, pikirnya. Gambar pahlawan yang tersenyum itu masih membuatnya kesal. Misdi berlari ke depan monumen. Di sana terdapat batu-batu sebesar tinju orang dewasa. Dia ambil salah satu batu di sana. Kemudian dia memanjat lagi ke tubuh monumen. Dia pukuli wajah sang pahlawan sampai wajahnya benar-benar hancur dan tak ada lagi senyum di wajahnya.
Nah, sekarang, tak ada lagi yang bisa bilang kita sudah merdeka, pikir Misdi. Kita masih belum merdeka, Pak Pahlawan! Saya masih terjajah, Pak Pahlawan!
* * *
Maka, pada hari kemerdekaan itulah semua orang bisa melihat patung yang masih berumur dua minggu itu hancur tak berbentuk. Lomba-lomba hari kemerdekaan tidak jadi diadakan di sekitar monumen. Bahkan, setelah dirundingkan, pada akhirnya lomba-lomba itu tidak jadi diadakan.
Baru keesokan harinya orang-orang tahu dari kejadian itu setelah membaca headline koran lokal yang berbunyi: NEGERI KITA BELUM MERDEKA. Isi dari berita itu adalah tentang “pemerkosaan” patung kemerdekaan tersebut.
Atas laporan beberapa orang yang melintas di depan monumen—tanpa sepengetahuan Misdi—pada saat Misdi melakukan “pemerkosaan” itu, Misdi ditangkap dan dibawa ke tahanan atas tuduhan pengrusakan sarana umum. Kepada koran-koran yang mewawancarainya karena tertarik, Misdi hanya mengatakan satu kalimat. Dan kemudian, di koran-koran ada headline seragam yang berbunyi MISDI: NEGERI KITA BELUM MERDEKA!.
9 Maret 2010
* Wawan Eko Yulianto adalah seorang cerpenis anggota Komunitas Bengkel Imajinasi Malang, dan blogger di http://berbagi-mimpi.info
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar