Selasa, 26 Juli 2011

MENYOAL PRAKTEK BEDAH PLASTIK KARYA (DAN) SASTRA

Lina Kelana

Ada pertanyaan yang sampai sekarang —bagi saya— belum menemukan jawaban yang benar-benar obyektif. Dan ternyata, memang keobyektifan tak selamanya obyektif; tanpa teori, prasangka, opini, dan sebagainya.

Menurut yang saya perhatikan, juga beberapa kutipan (share) ketika ngopi dengan beberapa senior di warung, kafe, dan semacamnya. Perbincangan tetap menemu jalan buntu -masih seperti itu sampai sekarang. Dan tak pernah ada yang membuktikan bahwa jawaban-jawaban yang dihasilkan benar-benar dari penelitian/kajian yang spesifik. Hal yang masih memenuhi benak adalah petanyaan tentang, pertama, apakah sebuah karya sastra bisa dibedah oleh selain genre tulisan (cerpen, novel, puisi, karya ilmiah, agama, dan lainnya) yang dibedah? Kedua, bagaimana jika penilai berasal dari selaian genre tulisan yang hendak dibedah —namun masih terkait-dipertemukan dalam satu meja, kemudian membahas karya tersebut dari segi (cara pandang) disiplin ilmu dan kajian dari masing-masing genre tersebut. Saya bayangkan, akan banyak muncul perdebatan dan perselisihan, dan harapan positifnya adalah akan muncul simpulan baru yang lebih inspiratif dan spektakuler (jika bisa), saya yakin, hal tersebut akan memperkaya khasanah “keilmuan” baik secara akademisi maupun praktek.

Pertama, semisal cerpen. Bisakah cerpen dibedah dan dianalisis oleh penyair? Atau, bisakah puisi didedah oleh novelis/cerpenis? Dari sebuah perbincangangn dengan sahabat, ia mengatakan bahwa baik puisi, cerpen, dan novel, itu muncul dari dan dengan beragam tema. Mulai dari filsafat, moral, sosial, dan sebagainya. Selain dari tata bahasa dan teori kebahasaan, tentu masing-masing tak bisa disamakan dan disejajarkan dalam satu garis lurus yang kaku. Bukan karena mana yang memiliki kedudukan tinggi dan rendah, tidak. Tetapi lebih kepada, memang dari awal, mereka berbeda—selain dari nama dan karakter (puisi, cerpen, novel, dan seterusnya).

Misal pada sebuah puisi; *seorang esais, dia akan menguliti dan membedah puisi dan menilainnya dari segi teori. Seorang cerpenis dan novelis akan menilainya dari pesan yang di dalamnya —selain alur— sebab bagi mereka, tema adalah hal yang paling krusial dan penting menjadi satu jejak rekam yang saling bertaut, sedang penyair menilainya dari “hati”(lebih umumnya dikenal “suci” dari apapun). Jadi, bagaimana jadinya jika puisi dibedah oleh cerpenis novelis? Atau cerpen/novel dibedah oleh penyair? Jelas hasil apresiasi yang didapatkan kurang akurat. Kecuali jika seseorang memiliki ketiga talenta tersebut. Dan, itupun belum bisa dipastikan akan memberikan sebuah penilaian yang mendekati tepat. Jika tidak, maka sang penilai akan berangkat dengan membawa beberapa kajian (berupa teori dan semacamnya) untuk “mengklaim” karya yang dianalisa dari sudut pandang disiplin ilmu yang dimilikinya. Dia akan berusaha dengan maksimal untuk bisa “membaca” dan “mengeja”nya dengan sempurna. Namun apa jadinya jika usaha kerasnya tersebut gagal? Hal yang muncul kemudian adalah, mengeluarkan banyak jurus untuk bisa membedah dengan perform yang sempurna—atau, mendekati sempurna. Tentu saja kurang cocok, bubur dimakan tanpa sendok. Disiplin keilmuan diciptakan untuk memperkaya pengetahuan dan bisa menjadi bahan efektif bagi sebuah pengkajian dan penelahaan terhadap pengetahuan yang lebih dalam atau baru. Lain ceritanya manakala, ketiga unsur dihadirkan dan berdiskusilah dari masing-masing pandangan, dan menghubungkan ketiganya sebagai cabang-cabang pemikiran yang akhirnya digunakan untuk menarik garis besar dari akar masalah yang ada. Jika harapan –terhadap hal—ini berhasil, maka dapatlah diciptakan sebuah teori baru yang orisinil dan komprehensif. Ini akan memperkaya khazanah keilmuan sastra di dunia sastra, bukan? Bukankah teori itu muncul setelah kejadian; praktek?

Seumpama kita salah menempatkan sesuatu menurut tempatnya, maka yang tercipta bukan hanya peta baru, tetapi juga medan baru untuk sebuah arena gladiator amatir. Masing-masing akan membawa asumsi-asumsi subyektif yang sebelumnya muncul sebelum pertemuan, prasangka-prasangka, keinginan-keinginan untuk menghakimi. Atau mungkin, ruang senioritas terancam? Bukankan kehadiran diadakan untuk berlaga secara ksatria?

Memang, dalam “melihat” sebuah karya, tak lepas dari “pantauan” siapa yang menciptakan karya sastra tersbut. Apakah sang pencipta seorang bocah ingusan yang biasanya tidur dan tinggal di jalanan, apakah sang pencipta adalah ketua sebuah suku terkenal dari suatu wilayah, atau, apakah sang pencipta karya adalah seorang remaja yang beranjak dewasa atau bahkan seorang dewasa yang tengah masturbasi, atau sedang puber kedua, ketiga? Kita bahkan tidak tahu dari latar apa pemikiran-pemikiran atas ragumentasi-argumentasi penilaian itu tumbuh.

Tentu saja, sang penilai berhak penuh memutus kasus dilanjut atau tidak, dengan tuduhan tersangka atau terdakwa untuk sang penulis karya, atau bebas. Tapi yang perlu digarisbesari adalah, sebuah karya tak pernah benar-benar bisa dihakimi A, B, C, dan seterusnya. Dia akan berbicara sendiri tentang dirinya dan eksistensinya. Ini menjelaskan, bahwa eksistensi memang tak sengaja dan tak bisa dicari, kecuali karya itu sendiri. Jika menurut sang penilai, sebuah karya tak memiliki makna, jelas tak benar. Sebab sebuah kalimat disusun atas dasar pikiran dan pesan-pesan tertentu, yang, walaupun absurd, tetap memiliki isi. Hanya mungkin, sang penilai tak mampu menembus ruang makna yang dituliskan oleh sang penulis. Kita meyakini, bahwa masing-masing kepala memiliki keterbatasan daya tembus memasuki ruang tersebut. Mungkin ruang kosong —karena muksa-, atau ruang samar yang gelap. Atau justru ruang tersebut penuh sesek hingga yang terlihat hanya keremangan, entahlah. Tapi saya yakin, suatu waktu, sang penilai akan mampu menembusnya –tergantung dari bagaiamana kegigihan dan ketelatenannya berusaha— dan tiap individu memiliki kemampuan yang berbeda.

Sebuah tulisan yang tanpa makna hanya ditulis oleh orang gila (orang gila pun di dalam benaknya pasti ada sesuatu yang menggerakkan), atau anak kecil yang sedang tertidur. Mengapa? Sebab saya yakin, anak kecil pun yang menulis, pasti dia memiliki dasar/pikiran mengapa dia menulis sesuatu tersebut.

Artinya, sebuah karya, ruang operasinya adalah jika beberapa ”genre” bertemu dalam ruang-waktu yang sama, di meja yang sama, dan memandang kertas yang sama. Sehingga tak muncul azas praduga tak bersalah untuk membedah seorang pencipta sebuah karya sastra.

Saya sempat berpikir, apakah “kejadian-kejadian” tersebut berlaku untuk semua penilai dan dalam penilaian terhadapa karya sastra? Apakah “ketidaktepatan” penempatan sang penilai tersebut kerap dianggap sebagai kewajaran mutlak dan diamini? Jika demikian, sangatlah ngeri keadaannya. Sebab, “kesalahpahaman” ini bisa menimbulkan beberapa hal yang sangat rawan terhadap timbulnya gap-gap dengan masing-masing menyetempel legitimasi sepihak(nya) yang masih disangsikan kebenarannya. Tentu saja, ini seperti infeksi (entah ringan atau berat) dari injeksi/suntikan untuk kekebalan tubuh, mungkin juga operasi bedah untuk mempercantik wajah dan bentuk tubuh. Bedah plastik yang menimbulkan banyak efek tak menyehatkan.

Masygul di Bulan Baik

Yusi Avianto Pareanom
Sumber: ruang baca koran tempo

Hari-hari ini saya banyak masygul. Sebetulnya ini bukan cara yang baik untuk menjalani bulan baik. Tapi mau bagaimana lagi, saya bukan orang yang terlalu baik saat berhadapan dengan hal-hal yang kurang baik. Apalagi kalau hal-hal kurang baik itu berkaitan dengan dunia saya mencari nafkah (hal baik), yaitu penulisan dan buku.

Sebelumnya, izinkan saya berputar sedikit. Di kawasan Depok ada sebuah toko buah yang sering saya singgahi. Sebelumnya, saya nyaman saja berbelanja di sana. Buahnya bagus, harganya masuk akal. Suatu hari, mata saya tertumbuk pada tulisan di atas tumpukan mangga yang ranum. Bunyinya menggelitik, buah yang satu ini bagus untuk golongan darah A. Di sebelahnya untuk golongan darah B. Semula saya berniat membeli, tapi lantas kecut, golongan darah saya O. Saya lantas memanggil penjaga toko.

“Kenapa hanya bagus untuk golongan darah A dan B?” tanya saya.

“Sudah dari sananya kok, Mas,” kata si penjaga. Ketika saya kejar, jawabannya tak berubah. Tidak puas dengan penjelasannya saya meminta manajer keluar.

“Begini, golongan darah saya O, kalau makan mangga ini kira-kira saya bakal mampus tidak?”

“Bapak kok nanyanya ‘gitu, tapi... anu, saya tidak tahu” kata si manajer.

“Kalau tidak tahu, mengapa tulisan itu dipasang?”

Mantra “dari sananya” kembali keluar. Hari itu saya tidak jadi beli buah. Saya kesal, sekalipun saya yakin si penjaga dan manajer toko jauh lebih kesal ketimbang saya.

Kejadian di toko buah itu adalah salah satu yang bikin saya masygul. Mereka mempraktekkan apa yang secara main-main saya sebut “Steven Seagalisme”. Pernah lihat film bintang laga Hollywood yang satu ini? Sok gagah walau sebenarnya mengundang tawa. Di toko buah itu, Steven Seagalisme-nya adalah aksi pasang tulisan yang sepertinya ilmiah, tetapi sebenarnya asal-asalan.

Celakanya, ini gejala umum (saya sedang melebih-lebihkan, tentu). Lebih celaka lagi, dan ini yang membuat saya sangat masygul, gejala ini bertaburan di dunia penulisan. Contoh paling anyar yang saya temui adalah artikel tentang soto kemiri yang dimuat di Kompas (23/09/07). Dalam tulisan ini, si penulis merasa perlu mencantumkan nama Latin untuk seledri dan kunyit, padahal tulisannya bukan diperuntukkan untuk jurnal kesehatan. Alasannya, Steven Seagalisme.

Bagaimana dengan buku-buku yang beredar? Supaya tidak dituduh asal comot, saya memilih untuk memeriksa Hubbu, pemenang pertama Sayembara Novel DKJ 2006, karya Mashuri (GPU, 2007). Sampul buku ini memikat, demikian juga premis yang ditawarkan. Krisis identitas sang protagonis di tengah tarikan tiga budaya: Islam, Jawa, dan modern. Novel ini disebut oleh Ahmad Tohari, salah seorang juri, sebagai “sangat utuh dan padu ceritanya”.

Setelah membaca Hubbu, saya jadi ingin bertanya, “Benarkah kita membaca buku yang sama?” Saya tak menjumpai “yang utuh dan padu” sedikit pun dalam buku ini. Malah Hubbu adalah salah satu cerita paling mbulet yang pernah saya baca. Saya mesti menabahkan diri untuk membacanya. Saya tak merasa terajak menikmati kegelisahan si tokoh utama. Alih-alih, si penulis membombardir pembaca dengan kalimat-kalimat mengambang penuh bunga tapi sama sekali tak bertenaga.

Hubbu juga bereksperimen dengan menggunakan narator lebih dari satu orang. Lucunya, suara semua narator sama. Terpaksa, saya hadirkan novel asing sebagai pembanding, Dancer karya Colum McCann. Novel yang berkisah tentang Rudolf Hamitovich Nureyev, pebalet kelas dunia keturunan muslim Tartar, ini menggunakan beberapa belas narator. Nureyev diceritakan melalui mata tukang cuci yang mengenalnya semasa bocah, penata panggung di balet Kirov, pasangan sejenisnya, dan masih banyak lagi. Semua narator memiliki suaranya sendiri. Saya tak menjumpai ini di Hubbu. Alhasil, yang muncul hanyalah kecentilan, atau setidaknya eksperimen yang gagal.

Tidak cukup cuma itu. Pada halaman 39 tertulis, “Aku seakan-akan pernah di sini, berjalan di sekitar ini”. Aku sendiri tak mengerti, entah kapan itu terjadi. De javu model begitu memang sering menghantuiku…

De javu, dari mana kata ini berasal? Saya yakin, dari paparan sebelumnya penulis bermaksud menulis deja vu yang berasal dari bahasa Prancis, yang artinya kira-kira “seperti sudah pernah melihat” (deja = pernah; sementara vu, bentuk past participle dari voir, = melihat ). Salah ketik? Saya bermaksud bersangka baik. Tapi di halaman 202, De Javu muncul lagi besar-besar sebagai judul bab. Salah ketik dari Hongkong? Yang ada adalah Steven Seagalisme. Penulisnya mau kelihatan gagah dengan mengutip frasa asing, tapi ia tak cukup punya pengetahuan sederhana tentangnya. Penyuntingnya (kalau ada) juga tak mau ketinggalan keren, maka loloslah de javu yang barangkali masih sepupuan dengan de Java itu.

Sebelum membaca Hubbu, sebetulnya saya sudah mendapat SMS dari kawan saya Rani Ambyo yang isinya melarang saya membaca buku itu. Ia tahu perangai saya yang gampang tersulut kalau ada bacaan yang terlalu “ajaib”. Saya bandel. Bagaimanapun, ini novel pemenang sayembara, pikir saya. Ternyata, Rani benar.

Saya masygul karena sebenarnya bahan baku Hubbu sangat menjanjikan. Banyak adegan yang sangat khas pesantren Jawa, dan bagi saya ini menarik, seperti ketika tokoh Jarot mencucup ubun-ubun Kiai Adnan yang baru saja meninggal. Pula ketika para santri dimarahi usai menonton wayang. Bahkan paparan buku harian ketika tokohnya berbahasa Inggris secara ngawur malah tepat penggunaannya.

Saya terus terang cemas setelah membaca Hubbu. Jika ini pemenang pertama sebuah sayembara nasional, bagaimana dengan mutu pemenang-pemenang di bawahnya? Bagaimana pula mutu yang tidak menang? Untuk menjawab rasa penasaran itu saya memungut Glonggong (Serambi, 2007) karya Junaedi Setiyono. Dan, saya mesti bilang, saya mendapat jeda kemasygulan. Glonggong ditulis dengan kerendahan hati. Tak ada Steven Seagalisme di sini. Banyak paparan memikat. Kalimat pembukanya juga imajinatif, Kanjeng Sultan Ngabdulkamid meninggal dunia pada 8 Januari 1855 pukul setengah tujuh pagi waktu Makasar. Perhatikan frasa “waktu Makasar”. Dengan dua kata ini, pembaca langsung dibawa ke masa silam.

Sayangnya, Glonggong seperti terbit tanpa disiangi penyuntingnya. Perhatikan banyaknya penggunaan ‘hanya’ yang kemudian masih diikuti ‘saja’. Pula muncul kalimat-kalimat yang tak kena di logika, seperti ketika tokoh utamanya mengingat apa yang dilihatnya ketika ia masih dalam gendongan ibunya. Ini tidak mungkin, sekalipun bisa diakali dengan cerdik bila ia menyisipkan alasan yang kuat. Sherman Alexie melakukannya dengan asyik dalam novel terbarunya, Flight. Dalam buku ini, tokoh utamanya mengingat ketika sewaktu bayi ibunya sering menyanyikan lagu I Love You More Than You’ll Ever Know dari Blood, Sweat, and Tears. “Aku tahu aku tak semestinya ingat hal itu. Tapi aku benar-benar ingat.” Dengan cara ini, pembaca dikenalkan pada sosok yang suka ngeyel namun pada dasarnya melankolis.

Glonggong yang tampil bersahaja celakanya justru dicederai blurb Stephen Seagalisme dari ketiga juri (Ahmad Tohari, Bambang Sugiharto, dan Dr. Apsanti Djokosujatno). Kawan saya AS Laksana sudah membahas ini dengan sangat baik dalam diskusi Glonggong beberapa waktu di Jakarta, saya tak akan mengulangnya di sini (silakan kirim surat elektronik ke aslaksana@yahoo.com bila ingin mendapatkan salinan makalahnya --itu juga dengan catatan yang bersangkutan sudi membagi).

Asal tahu saja, masih banyak lagi hal yang membuat saya masygul. Tetapi kali ini saya batasi untuk urusan buku sajalah. Saya bukan klon dari Smurf Penggerutu kok. Kalaupun dalam tulisan ini kemasygulan ini saya tujukan kepada para pemenang sayembara DKJ, itu karena mereka semestinya bisa dijadikan barometer. Dan, yang lebih penting, saya sebetulnya sangat ngeman kepada Hubbu maupun Glonggong. Dengan penulisan ulang untuk Hubbu, dan penyuntingan ketat untuk Glonggong, keduanya bakal punya peluang untuk mendapatkan perhatian khusus dari juri bila dibawa ke lomba semisal Man Asia Prize. Namun, premis menjanjikan saja tidak cukup. Bila dilepas glondongan macam yang beredar di pasar, wah bisa kena “de javu” lagi saya.

Gemerincing Malam

Han Gagas
Kedaulatan Rakyat, 24 Juli 2011

Pada peristiwa itu, mulanya aku sungguh tak percaya. Malam turun bersama rintik hujan yang membawa angin basah. Hawa dingin tak biasanya merajam tulang. Rasanya, sebenarnya, telingaku tak cukup mendengar, suara gemerincing pasukan berderap menembus malam. Tapi, akhirnya kepalaku disudutkan untuk menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Karenanya, dengan akal sehat aku berani menyiarkan peristiwa itu sekarang ini.

Rasa ingin tahu menyeret tubuhku mendekat. Dengan kedua tangan melindungi kepala dari paku-paku air langit, aku berlari kecil keluar rumah, menuju jalan lebar yang lengang, dan mendekati sebuah kanal yang kering-kerontang karena kemarau panjang. Suara deru bergemerincing datang dari ujung kanal di utara, tampaknya dari sebuah bendungan, aku menoleh, memicingkan mata.

Mataku menatap lurus sepanjang kanal yang memanjang ke utara. Di atasnya, tampak kerlip dua lampu berpendar halus, dengan bayang-bayang hitam berkerjaran di belakangnya. Tampak ujung-ujung baju melambai tertiup angin. Juga ikat kepala dan sepasang bendera. Kaki-kaki melayang jauh laksana terbang. Aku tak percaya, bukankah tak ada lagi pendekar sakti di jaman sekarang?

Derap kuda bagian depan pasukan terdengar diantara derai hujaman paku air, dan suara ringkikkan sesekali melengking menyengat telinga. Aku kemudian berpikir, bukankah hujan ini nyata, tubuhku yang berdiri ini juga nyata, dan suara itu, kerlip lampu itu, bayangan-bayangan hitam itu jelas nyata di mataku, tiada lagi hal yang membuatku tak lagi sepenuhnya percaya.

Sembari memikirkan peristiwa ganjil yang nyata ini, rombongan itu makin dekat, deru lari mereka, sosok-sosok tubuh itu berlarian meninggalkan bayangan-bayangannya yang terus menguntit. Makin dekat jarakku dengan mereka, makin kencang degup jantungku. Kerlip lampu makin membesar, benderang menyibak gelap malam. Hujaman gerimis nyaris tiada ampun lagi membasahi rambutku, juga baju bagian bahu.

Serentak dengan pasti, tinggal beberapa jengkal lagi mereka berlarian di depan hidungku, jantungku makin terpacu, dan... plashh... Tercenung aku menatapnya. Hujan berhenti. Hawa dingin terusir pergi, hangat menyebar, kuda-kuda semberani tertarik tali kekangnya, pasukan seakan berhenti sesaat, rombongan di belakangnya yang berlarian mematung.

Mataku tak lepas dari peristiwa yang aneh ini, menatap tak percaya melihat tiap paras yang bening seperti kaca, rata, tanpa raut wajah, tiada hidung, bibir, hanya cekungan mata, aku diserang perasaan ganjil yang mencekam! Lalu wajah itu memucat, putih pekat, dan dari cekungan mata mengalir cairan merah kental berbau anyir, mengalir, terus mengalir.

Mataku tak mampu beralih, menatap darah merah kental itu terus mengalir dari matanya, membasahi pipi, mengalir ke dagu, leher, hingga meluber ke baju-baju hitam mereka, menetes makin banyak hingga alirannya sampai ke kaki-kaki telanjang mereka yang melayang! Aliran itu mulai menggenangi kanal, mengalir tanpa henti menambah volumenya. Tetesannya yang tiada henti, memenuhi sungai yang semula kering itu, volume makin tinggi, perlahan menaik hingga meluber membasahi kakiku. Aku tertegun!

***

Aku terbangun ketika dikerumuni banyak orang. Matahari sudah membereskan gelapnya malam, fajar sudah terbentuk di barat. Udara pagi menyisir kulit, mengisi hawa segar di rongga dadaku. Aku melayang menatap tubuhku dan orang-orang yang mengerumuni.

“Sudah matikah?”

“Coba pencet nadinya! Atau sentuhkan jarimu depan hidungnya, adakah hawa napas keluar?”

“Tak mau, takut berurusan dengan polisi.”

“Sepertinya dia sudah mati, kasihan betul, masih muda.”

“Apa yang terjadi?” Seorang lelaki berseragam polisi mendekat.

“Wah cepat betul, Bapak.”

“Kebetulan pas lewat, hendak apel ke kantor.”

“Kenapa anak muda ini mati di dalam sungai yang kering ini, tak ada bekas luka sedikipun, sepertinya juga bukan bunuh diri.”

“Apakah ada hubungannya dengan apa yang kudengar semalam, suara gemerincing kembali terdengar.”

“Masak, seh? Takhayul kamu!”

“Telingaku belum tuli, tahu!”

“Bukankah kejadian itu sudah lama, bukankah arwah-arwah itu sudah tentram di sana.”

“Mungkin karena sejumlah wartawan mencoba mencari tahu jejak-jejak mereka jadi terusik.”

“Maksudmu, arwah tentara DI TII yang nekat mendirikan NII itu? Di bendungan sana.”

“Iya, siapa lagi.”

“Rasanya ini bukan mereka tapi pasukan Nyai Blorong. Bukankah semalam adalah malam Jumat Kliwon, dan bukankah kanal ini –yang kau sebut sebagai Selokan Mataram- adalah jalur pasukan hantu itu menuju muaranya di Laut Selatan?”

“Mungkin juga, tapi kalau pasukan hantu yang benar-benar lewat, bukankah mestinya tubuh pemuda itu juga ikut terbawa sebagai tambahan pasukan mereka, atau mungkin jadi suami baru buat Nyai.”

“Iya, ya.”

Suara-suara itu berebut tempat benar dan mungkin, makin banyak yang berkata, makin banyak yang menanggap, makin terdengar serupa dengung tawon di telingaku. Aku cuma heran dan bingung kenapa aku bisa melayang-layang, dan terlepas dari tubuhku.

Graha Aksara Solo, 20 Juni 2011

Selasa, 19 Juli 2011

Kata Pengantar Buku Kumcer Gusnoy Duadji “Seekor Anjing Menelan Bom” (2010)

Gus Noy
Kata Pengantar

Selama ini buku-buku yang diterbitkan oleh DF Publisher adalah karya-karya BMI, dan seringkali BMI Hong Kong. Memang DF Publisher sangat concern pada karya-karya BMI Hong Kong, dan beritikad mengangkat karya-karya mereka, atau sering digelari “sastra buruh migran Indonesia”, dalam format buku agar lebih terdokumentasi, dan abadi di kalangan pembaca.

Paradigma “buku dan penulis hanya untuk kaum terpelajar berpendidikan tinggi hingga bergelar sarjana bahkan professor, atau seorang pejabat tinggi” sudah usang. Dan paradigma “sastra hanya untuk sastrawan atau berpendidikan tinggi di bidang sastra” sudah tidak relevan. Siapa pun bisa menulis karya sastra, asalkan benar-benar tekun belajar, bertanya, berlatih, dan berproduksi. Sastra buruh migran, sepakat atau tidak, juga adalah bagian dari kekayaan sastra Indonesia kontemporer.

Selama ini pula salah seorang penikmat karya-karya BMI Hong Kong adalah Gus Noy alias Agustinus Wahyono. Beberapa kali Gus Noy ikut memberi pembelajaran sastra jarak jauh via internet, baik melalui Facebook, email, maupun blog pribadinya. Dengan berbagi sedikit teori, istilah sastra, dan ulasan-ulasannya mengenai karya sebagian BMI Hong Kong, khususnya Teater Angin, semakin membuka pemahaman tulis-menulis bagi sebagian rekan BMI Hong Kong yang sedang bersemangat untuk menekuni sastra. Pernah ia memenuhi permintaan panitia lomba menulis cerpen BMI Hong Kong sebagai salah seorang juri.

Sayangnya, segelintir saja dari kalangan pembaca sastra yang mengenal Gus Noy dalam hal karya-karyanya. Tidak sedikit yang bertanya, “Siapa sih Gus Noy itu?” Bahkan, pada pertengahan tahun 2010 ini ada yang lantang menantang melalui sebuah komentar di Facebook, “Selama ini Gus Noy cuma bisa mengritik atau menyebut kekurangan-kekurangan cerpen kami, apakah Gus Noy bisa membuat cerpen?” Dengan santainya Gus Noy menjawab, “Maaf, saya cuma pembaca. Saya sama sekali tidak bisa membuat cerpen.”

Keraguan siapa pun terhadap Gus Noy dalam berkarya memang sah-sah saja. Kalau pun karya-karya Gus Noy sudah beredar di media massa cetak maupun internet bahkan pernah menjadi staf redaktur di situs cybersastra tahun 2002-2003, tetaplah sebatas kalangan kecil yang mengetahuinya.

Oleh karenanya, DF Publisher tertarik untuk membukukan sebagian dari cerpen-cerpen Gus Noy dan menjadikannya buku “Seekor Anjing Menelan Bom” untuk menjembatani para pembaca sastra yang selama ini sama sekali belum pernah membaca cerpen-cerpen Gus Noy. Apakah cerpen-cerpen yang terbukukan ini memiliki kualitas memadai ataukah sama sekali Gus Noy memang gagal membuat cerpen, para pembacalah yang berhak menanggapinya.

Melalui “kata pengantar” ini DF Publisher juga mengucapkan terima kasih kepada Iwan “Bung Kelinci” Sulistiawan, Bonari Nabonenar, dan Sigit Susanto yang telah membaca cerpen-cerpen dalam buku ini dan menanggapinya dengan “komentar pendek” (endorsmen).

Hong Kong, Agustus 2010
Penerbit DF Publisher

Sumber: http://www.facebook.com/topic.php?uid=33090570679&topic=15516

Mempertimbangkan Sastra Buruh Migran

Beni Setia
http://www.suarakarya-online.com/

Insya Allah kalau tak ada rintangan, awal Februari mendatang, Tarini Sorrita - penulis yang bekerja sebagai buruh di Hong Kong - akan meluncurkan antologi cerpennya, Penari Naga Kecil, di Surabaya. Peristiwa budaya dengan pelaku khusus buruh migran ini bukan yang pertama kali, karena pada minggu terakhir Desember 2005 pernah dilakukan launching yang serupa - lihat, "Sastra Buruh Migran: Ad-vokasi tentang Kondisi TKI", Suplemen Jatim, Kompas, 22/12. 2005, hlm. H.

Meski respon dari para sastrawan Surabaya yang non-buruh-migran terasa menyakitkan. Kenapa? Karena, dengan arogan mereka bilang, kalau pada dasarnya, ha-kekat dari genre sastra buruh migran itu hanya teks yang ditulis oleh buruh migran, dan melulu berkutetan dalam derita menjadi buruh migran. Maksudnya mungkin terlalu subyektif, maksudnya mungkin tidak mempertimbangkan kekayaan esteti-ka, pola kreativitas dn model ekspresi sastra yang ada, dan mungkin juga imajinasi yang miskin dan empati yang dangkal. Mungkin. Tapi apakah itu salah?

* * *

Per definisi sastra merupakan genre seni yang bergerak di wilayah fiksi dan dengan mempergunakan medium bahasa secara subyektif. Karenanya berseberangan dengan karya ilmiah atau berita yang berada di wilayah fakta, mengutamakan penelitian dan dikomunikasikan dengan medium bahasa obyektif yang mengutamakan validitas dari fakta yang diungkapkan.

Dengan komparasi ini kita tidak lagi tergerak untuk membandingkan puisi dan prosa, sebagai sutu teks yang lebih fiktif atau lebih kongkrit faktanya, dan diung-kapkan dengan medium bahasa yang lebih subyektif atau lebih obyektif. Karena sebuah esei pun lebih berada di dunia sastra bukan karena faktanya yang dievaluasinya dan diperluas eksistensinya dalam wawasan dan referensi minat subyektif dari penulisnya, tapi terutama dikarenakan cara dan gaya [berbahasa] dari si eseis di dalam mengungkapkan hal itu - menggunakan bahasa yang khas personal.

Dengan kata lain, sebuah sastra adalah sebuah sastra. Sangat tergantung dari eksistensi si sastrawan, tergantung dari latar belakang wawasan dan referensi subyektivitas saat memperkaya ilham yang faktual atau imajinatif - di dalam proses diskurus sebelum terpancing mengkongkritkannya di dalam teks sastra. Sehingga sebuah sastra buruh migran tak bisa tidak harus melulu berkutetan dalam permasalahan menggejolaknya rasa tak puas karena diperlakukan majikan secara tak adil - akibat bargaining positon yang jomplang. Sekaligus - supaya orsinil -, harus ditulis oleh TKW atau TKI di LN, yang merasakan langsung situasi eksploitatif akibat kondisi kerja yang tidak genah itu.

* * *

Ada kontroversi tentang apa yang mendorong seorang Multatuli, menulis dan menerbitkan roman Max Havelaar - yang episode Saijah dan Adinda-nya dijadikan film itu. Di satu sisi ada anggapan kalau Multatuli lebih terdorong untuk menuntut haknya sebagai pegawai negeri [Belanda] yang ditempatkan di tanah jajahan, yang diberhentikan secara tidak terhormat karena tak patuh pada atasan dan garis tugas. Ketimbang gagasan mulia seorang humanis, yang ingin berjuang membela hak-hak pribumi negeri jajahan, sehingga rela kehilangan hak azasinya - seperti JH Princen.

Bahwa dengan menulis roman itu ia bukan hanya sekedar menunjukkan nasib pribumi Inlander yang dieksploitasi oleh kapitalisme sistim Tanam Paksa, yang me-rupakan kongkalikong antara aparat korup kolonial dengan penguasa lokal feodalistik yang sejak awal sudah korup. Sehingga ide dasar roman itu mencocoki protes, - tuntutan dari kalangan oposisi di parlemen Belanda -, supaya pemerintah kolonial Belanda melakukan sedikit kebaikan bagi pribumi di negeri jajahan, dalam gerakan politik Balas Budi.

Dan karenanya banyak kalangan merasa kalau justru pencapaian literal karier kesusastraan Multatuli - bahkan sumbangan gaya bahasa Multatuli - lebih dominan dari roman bertendens Max Havelaar itu. Sebuah pencapaian yang sama sekali di luar harapan dan angan-angan seorang Multatuli. Sekaligus tuntutan akan perlunya ada perubahan sikap, agar pemerintahan kolonial Bekanda lebih etis di dalam mem-perlakukan orang jajahan ketika mengeksploitasi kekayaan tanah jajahan diabaikan.

Terlebih lagi keinginannya untuk rehabilitasi nama baik dan jaminan pemenuhan hak pensiun bagi pegawai yang tidak patuh. Terutama karena hal itu dilakukan di puncak kejayaan kolonial Belanda. Kenapa? Karena seorang JH Princen pun, yang melakukan disertir karena simpati kepada perjuangan kemeredekaan Indonesia, dianggap pengkhianat besar, dan tidak diakui lagi sebagai warga negara yang patut dibanggakan. Beda, misalnya, dengan seorang Westerling yang melakukan pembantaian di Sulawei Selatan dan Bandung itu, yang merupakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, yang tetap dibela sebagai warga negara yang terhormat.

* * *

Atau novel berikut ini, yang dengan tegas mengungkapkan nasib buruk buruh tani dalam sistim agroindustri kapitalisme Belanda di awal abad XX di Sumatra, yang ditulis dengan kondisi yang sangat bersipat sastra buruh migran. Lihat novel Kuli Kontrak, yang ditulis oleh M.H. Szekely-Lulofs, yang mengungkapkan pende-ritaan buruh migran [pribumi] kontrak di perkebunan swasta otonom di Deli. Sebuah novel yang ditulis oleh seorang nyonya buruh migran Belanda - meski kelas gajinya eksekutif rendahan tapi empatinya menyebabkan ia ada dan hadir sebagai ka-um marginal - yang bekerja di Indonesia dan terusik oleh penderitaan buruh migran pribumi. Tumbal eksploitasi ekonomi yang dianggap biasa dalam mitos kapital-isme. Sebuah laporan kemanusiaan dalam bahasa Belanda bagi orang Belanda di Belanda - meski kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

Atau karya yang menjadi sangat klasik, yang telah disinggung di atas, yang mengungkapkan nasib rakyat di tengah feodalisme priyayi [pribumi] yang memanpaatkan struktur eksploitatif kolonial di dalam karya Multatuli, Max Havelaar. Yang berbicara tentang padat karya yang tak dibayar sepeserpun - bayarannya masuk ke kantung para penguasa kolonial dan feodal. Teks sastra yang sangat bersipat sastra buruh migran, karena ditulis di dalam bahasa Belanda dan ditujukan untuk orang Belanda di Belanda - kemudian diterjemakhan ke dalam bahasa Indonesia. Dan bagaimana dengan elit pribumi kita? Lantas kenapa mereka mempedulikan orang lain kalau mereka lahir dan datang ke tanah jajahan ini sebagai yang memiliki kekuasaan dan berhak memanpaatkan kekuasaan?

Jawabannya, tak bisa tidak, karena para buruh pribumi itu tidak berdaya, dan karena [di sisi lainnya] mereka lebih paham dan bisa mengungkapkan eksploitasi itu secara literal tertulis. Persis seperti yang dilakukan oleh seorang J.B. Mangunwijaya, yang dengan lugas mengungkapkan fenomena kebodohan orang Indonesia, sehingga kekayaan alamnya dieksploitasi MNC asing - dalam Burung-burung Manyar.

Bedanya, Szekely-Lulufs dan Multatuli mengutamakan simpati humanistik dan mengoperasionalkan empati secara besar-besaran, sedangkan Mangunwijaya tergerak oleh kemarahan akibat kebodohan bangsa sendiri sehingga mandah dan bangga dieksploitasi kapitalisme MNC - karena rasa keadilan yang terusik. Dan karenanya ia menunjuk dan terus menunjukkan adanya ketidakadilan, eksploitasi, dan nasib buruk buruh kecil pribumi yang terpuruk. Tragika salah satu pemilik kekayaan alam In-donesia yang gamang dan lugu di hadapan sistim kapitalisme liberal dunia, yang dengan halus dan sistimatis merampok kekayaan alam Indonesa.

* * *

Katarsis yang dilakukan para buruh migran itu, para TKI dan TKW di LN itu juga ada dalam model dan pola pemahaman yang sama. Pemahaman akan adanya situasi yang eksploitatif tanpa ada seorang pun yang terpanggil dan tergerak untuk menunjukkan dan menggarisbawahi situasi eksploitatif itu. Karenanya mereka tidak terlampau berharap supaya ada pihak yang tergerak untuk melakukan advokasi dan sekaligus memperbaiki nasib mereka dengan deregulasi yang merubah kondisi kerja para buruh migran di negeri asing.

Karena kita tahu: Banyak perusahaan PTKI yang menganggap buruh itu cuma komoditas yang pantas dijual, dan memetik keuntungan dari "penjualan tenaga dan jasa" itu tanpa mempedulikan nasib mereka cq kondisi kerjanya. Kita juga tahu ka-lau Negara cq Kedutaan tidak mau terlalu repot mengurus nasib dan kondisi kerja mereka, selain tak bisa tidak menampung para TKI yang lari dari kontrak - karena ketidakadilan kerja. Bahkan ketika pulang kerja dari LN pun mereka diburu, dieksploitasi dan diperas oleh preman dan calo transportasi - seakan-akan mereka pemenang lotre yang harus berbagi dan bukan buruh migran yang kerja dengan kondisi kerja eksploitatif. Satu manifestasi dari moral bangsa yang tak tahu malu dan sa-ngat egoistik.

Karenanya mereka hanya bisa mengeluh di antara mereka sendiri, meski beberapa orang mempunyai kemampuan dan keberanian buat mengungkapkannya ke ruang publik. Tapi pedulikah kita? Beberapa sastrawan Surabaya menganggap teks mereka sebagai keluh-kesah, dan mengharap agar para buruh migran itu tak menulis sentimentalisme akibat kondisi kerja yang eksploitatif - penderitaan ngenes nelongso mereka di LN. Mungkin juga mereka menuntut teks sastra yang indah dan ekspresis rumit mengobral variasi kata-kata dan kalimat dalam akrobatisasi bahasa.

Mungkin. Dan mungkin para buruh migran itu yang justru sedang menggugat para sastrawan salon Surabaya itu dengan pertanyaan: "Di mana kalian ketika kami dieksploitasi dan terjajah tanpa daya?" Tidak di mana-mana? Karena Multatuli, Szekely-Lulofs, dan Mangunwijaya telah lama meninggal. Memang.***

29 Januari 2006

Problematik Sastra Buruh

S Yoga
http://www.suarakarya-online.com/

Pada tanggal 30 April dan 1 Mei lalu -- dalam rangka memperingati Hari Buruh -- telah diadakan Festival Sastra Buruh di Blitar. Berkait dengan itu penggiat sastra dan budaya Bagus Putu Parto sangat sibuk. Sebagai pembicara, ditampilkan Beni Setia, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto. Beberapa pengarang buruh (migran) yang hadir di antaranya Saiful Bakri (Mojokerto), Arsusi, Endang Pratiwi dan Etik Juwita (Blitar), Lik Kismawati (Sidoarjo), Denok Rokhmatika dan Rini Widyawati (Malang), Eni Kusuma (Banyuwangi), Jumari Hs dan Yudhi MS (Kudus), Maria Bo Niok (Wonosobo) dan Safitri Budiarti (Cilacap). Rata-rata dari mereka pernah bekerja di Hong Kong, sebagai buruh, tentu saja.

Sedangkan beberapa buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh (migran) di antaranya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Penari Naga Kecil (Tarini Sorrita), Majikanku Empu Sendok (Denok K Rokhmatika), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati,dkk), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Hong Kong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie,dkk).

Defenisi sastra buruh pun bisa diperdebatkan panjang lebar. Apakah yang dimaksud sastra buruh adalah karya sastra yang ditulis ketika ia menjadi buruh. Bagaimana kalau ia sudah tidak jadi buruh namun menulis sastra buruh, dan hal ini banyak dilakukan oleh mereka. Atau bahkan seorang yang tidak pernah jadi buruh namun konsen terhadap nasib buruh. Misal puisi Dongeng Marsinah-nya Sapardi Djoko Darmono, yang begitu indah dan tak mengurangi ironi atau tragedi kemanusiaan seorang buruh arloji. Dan beberapa pengarang lain yang suka menulis perihal nasib buruh.

Bahkan sastra (bertema) buruh di luar negeri banyak digerakkan oleh para pengarang yang bukan buruh, misal Anton Chekov yang terkenal dengan cerpennya Matinya Seorang Buruh Kecil. Emile Zola dengan novel Germinal yang mengisahkan kehidupan para pekerja pabrik dan ketertindasan struktur oleh para borjuis di Eropa.

Maxim Gorki yang kebetulan semenjak usia 12 tahun juga bekerja menjadi buruh apa saja, terkenal dengan sastra realisme sosialnya, yang banyak menyoroti kehidupan buruh pabrik, Tales of Italy, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Pemogokan. Charles Dickens yang terkenal dengan novel Oliver Twist, yang mengangkat tema pekerja (buruh) anak. Karya-karya mereka ini menjadi klasik karena memang ceritanya menyentuh tanpa harus menggurui. Sastra tidak secara langsung menjadi alat perjuangan buruh, namun kesan yang ada dalam kisah itu mampu membangkitkan persoalan kemanusiaan akan kondisi kaum buruh.

Sedangkan sastra buruh kita yang kebetulan ditulis oleh buruh (kalau hal ini memang yang disepakati akan definisi sastra buruh). Secara umum masih menampakkan "propaganda" atau alat perjuangan langsung. Agar dibaca oleh para pejabat atau instansi terkait berkaitan dengan perburuhan. Sehingga didapatkan dari hasil membaca ini sikap yang bijaksana oleh para pejabat. Kalau memang itu tujuan utama, kenapa tidak demonstrasi atau pembangkangan sosial. Yang efekivitasnya segera dapat terlihat. Bahkan oleh hal-hal yang berbau demonstrasi saja para pejabat tidak tergerak hatinya akan perbaikan nasib buruh. Boro-boro diminta membaca karya sastra buruh agar hatinya terketuk.

Di sinilah persoalan utama yang harus kita cari akar persoalan sastra buruh yang sebenarnya. Sehingga capaian artistik yang dapat berumur panjang, langgeng menjadi sesuatu yang wajar untuk dijadikan pilihan. Tidak reaktif dan implusif.

Kita tahu meski genre sastra itu bermacam-macam jenisnya, namun standar karya sastra dari dulu hingga sekarang akan itu-itu saja. Bahkan Budi Darma dengan nada yang sinis pernah menyatakan Tidak diperlukan Sastra Madya, di mana estetika sastra adalah hal utama dari sebuah karya sastra apa pun macam bentuknya.

Perihal sastra buruh sendiri sebenarnya tidak terlepas dari seorang penyair yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya, yakni Wiji Tukul (Solo), salah satu kumpulan puisinya yang terkenal adalah Mencari Tanah Lapang. Ia seorang buruh yang konsisten, berani dan jujur dalam puisi-puisinya, meski pun dia juga menyadari bahwa puisi buatnya adalah sebagai alat perjuangan bagi nasib buruh. Namun ia tidak begitu saja mau diperbudak oleh kata-kata yang telanjang. Dalam puisi-puisinya masih sangat terlihat irama, rima, ritme, ironi dan metafora yang mengena. Saya kira ialah yang mula-mula memperkenalkan sastra buruh dengan pembacaan puisi di pabrik-pabrik, kampus, kampung dan keluar masuk kota dan desa di tahun 1990-an.

Pada tahun 1995-an, di Tangerang pun muncul Wowok Hesti Prabowo (yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden Penyair Buruh) dengan Roda-Roda Budaya, Institut Puisi Tangerang, Budaya Buruh Tangerang dan Teater Buruh, yang sengaja ia bentuk. Dengan komunitas-komunitas yang menyebar, diharapkan persoalan buruh dapat terekam lewat karya sastra dan teater, selain pemberdayaan buruh dalam setiap diskusi-diskusinya. Komunitas ini kemudian menerbitkan kumpulan puisi Rumah Retak, Trotoar dan Buruh Menggugat. Dari jaringan sastra buruh yang dikembangkan Wowok ini rupanya menyebar ke wilayah-wilayah di luar Tangerang.

Di Kudus pun muncul nama Jumari Hs dan Yudhi MS (pabrik Djarum), yang estetika puisi-puisinya cukup baik. Dari generasi ini selain nama-nama tersebut masih ada beberapa nama yang karya-karyanya cukup disegani di jagad sastra, misal Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri. Bahkan Husnul Khuluqi meski hingga kini masih menjadi buruh, puisi-puisinya menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Puisinya tidak hanya menyuarakan nasib buruh namun memiliki estetika sastra yang baik.

Sedangkan gegap-gempita sastra buruh migran yang mulai tumbuh pada tahun 2000-an, adalah generasi sastra buruh internet. Karena dari mereka banyak yang berkomunikasi dan menyebarkan karya-karyanya atau berdiskusi lewat internet, sebelum kemudian dibukukan. Generasi sastra buruh migran inilah yang sekarang mendapat tempat dalam isu berbagai ketimpangan pada buruh migran yang kian hari kian marak. Salah seorang penggerak dari sastra buruh migran adalah Bonari Nabonenar.

Namun demikian melihat dari karya sastra yang dihasilkan, umumnya masih pada persoalan-persoalan besar, sehingga cenderung memperalat bahasa untuk sebuah pesan yang ingin mereka perjuangkan. Mereka umumnya menulis prosa, karena banyak dihuni oleh penulis-penulis wanita. Kadang kita melihat estetikanya dengan karya-karya yang dibuat bukan buruh migran, hasilnya sama saja, hanya temanya yang mefokus ke persoalan perburuhan.

Tentu saja kita berharap, dikemudian hari, akan muncul penulis-penulis yang tidak hanya mengejar pesan namun kesan yang mendalam akan kisah-kisah kecil yang menarik, tragik dan ironi. Sehingga kita bisa mendapatkan penulis-penulis bertema buruh sekuat Emile Zola, Maxim Gorki, Charles Dickens dan Anton Chekov yang penuh satir, dengan realisme sosial yang tidak hanya menyenangkan saja maupun sekedar sebagai alat propaganda.

Memang susah untuk mencari landasan filosofis dari gerakan sastra buruh, ketika capaian artistiknya (bentuk) masih sama dengan karya sastra lainnya, kecuali pada perbedaan temanya saja. Karena itu sastra buruh migran cenderung menjadi sebuah gerakan. Dan bila kita cermati dari orang-orang yang terlibat di dalam sastra buruh migran ini.

Kita bisa mendapatkan nama-nama yang sama ketika mencuat gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) di tahun 1990-an. Yang dengan garang menentang pemusatan sastra (karya, penulis dan redaktur) yang hanya berputar-putar di Jakarta. Ketika itu ada nama-nama Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Bonari Nabobenar, Bagus Putu Parto dan Beni Setia. Namun karena capaian karya sastranya tidak berbeda dengan karya yang ditentangnya maka ia hanya merupakan gerakan sastra atau setrategi politik sastra. Dan apakah sastra buruh (migran) juga hanya bermain-main dalam politik sastra saja, biarlah waktu yang menjawab. ***

16 Juni 2007
* Penulis, seorang penyair tinggal di Situbondo

5 Kelopak Mata Buhinia dari 5 Buruh Migran di Hong Kong

22 Januari 2009
http://www.surya.co.id/

Sebanyak lima buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Hong Kong menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul 5 Kelopak Mata Buhinia. “Buku berisi sekitar 50 puisi itu sudah diterbitkan akhir 2008 lalu dan diluncurkan di Hong Kong,” kata penggerak sastra buruh migran, Bonari Nabonenar di Surabaya, Kamis (22/1/2009).

Kelima buruh migran yang selama ini aktif menulis karya sastra itu adalah Mega Vristian asal Malang, Tarini Sorita (Cirebon), Kristina Dian Safitri (Malang), Tanti (Ponorogo) dan Ade Punk (Malang). “Puisi-puisi mereka bercerita tentang Hong Kong dan tema-tema umum, seperti kerinduan akan kampung halaman, cinta dan lainnya. Judul buku itu diambil dari bunga khas Hong Kong bernama Buhinia,” kata Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu.

Pria asal Trenggalek itu mengemukakan, penerbitan kumpulan puisi ini merupakan kelanjutan dari proses kreatif para BMI di Hong Kong yang telah menghasilkan puluhan buku kumpulan cerpen, puisi maupun karya novel.

Ia menjelaskan, Tarini Sorita pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Penari Naga Kecil yang diluncurkan di Surabaya beberapa tahun lalu. Mega Vristian pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Nyanyian Imigran, Nu Buat Labirin Luka dan Yogya 5,9 SR.

Bonari mengemukakan, saat ini perkembangan sastra buruh migran Indonesia di Hong Kong semakin marak. Mereka sering mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan sastra termasuk mendirikan organisasi.

“Ada Sekar Bumi yang merupakan kependekan dari Seni Karya Buruh Migran dan Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong dan lainnya. Mereka semua cukup mewarnai kegiatan pengembangan sastra,” katanya. Mengenai buruh migran yang sudah kembali ke Indonesia, Bonari menjelaskan, mereka juga masih aktif berkarya di daerahnya masing-masing. Misalnya, Mario Boneok asal Wonosobo, Jateng yang sebentar lagi akan menerbitkan novel. ant

Sumber: http://www.surya.co.id/2009/01/22/5-kelopak-mata-buhinia-dari-5-buruh-migran-di-hong-kong

Sehari di Victoria Park, ”Kampung Jawa”nya TKW di Hong Kong

Yulianna
http://www.voa-islam.com/

Di Taman Victoria Park, tiap hari Minggu, beragam aktivitas dilakukan oleh warga Indonesia di Hong Kong, tentunya dengan beragam dandanan. Taman luas yang dilengkapi dengan gedung olahraga, lapangan sepakbola, lapangan basket, lapangan tenis itu selalu padat oleh warga Indonesia. Tak heran jika taman di Causeway Bay ini dijuluki “kampung Jawanya orang-orang Indonesia di Hong Kong.”

Hari Ahad di awal bulan lalu, voa-islam dotcom mendatangi lapangan rumput. Begitu memasuki pojok lapangan, seorang berkewarganegaraan Filipina memberikan sebuah booklet.

“ This is for you, free,” kata wanita Filipina tersebut.
“ What kind up of book?” tanya voa-islam.

“Nothing, please take it,” jawab wanita tersebut lalu pergi tanpa memberikan kesempatan pada saya untuk mengucapkan terimakasih.

Setelah saya buka, ternyata buku kecil tersebut berisi kamus berbahasa Kantonis-Indonesia yang dilengkapi dengan nomor-nomor penting di Hong Kong, plus ada alamat-alamat gereja. Saya bercadar waktu diberikan buku gratis tersebut, hanya bisa istigfar.

Tak jauh dari pojok, terlihat beberapa kelompok wanita berjilbab sedang melakukan kajian, dan selebihnya adalah BMI berlibur yang duduk sambil makan-makan dan ngobrol bergerombol-gerombol.

Ada juga BMI yang dandanan tomboy yang sedang asyik-masyuk menari-nari diiringi musik-musik yang memekakkan telinga dari tape mereka.

Beberapa langkah kemudian, saya melihat ada lima orang wanita dengan dandanan sedikit tomboy dan modis mengamen. Dari gerombolan satu ke gerombolan yang lain, mereka memetik gitar dan melantunkan lagu-lagu yang tidak saya kenal. Salah seorang di antara mereka membawa kantong uang hasil ngamen.

Dengan rasa penasaran, saya dekati mereka lalu saya sembari melempar sapaan. Luar biasa, mereka membalas juga sapaan itu dengan ramah dan santun. Saat mata tertuju pada kantong uang yang dibawa, mereka menjelaskan bahwa tujuan mengamennya adalah membantu seorang yang kena sakit kanker, bantuan tersebut akan disalurkan melalui Dompet Dhuafa Hong Kong.

Subhanallah!! Meski hidayah itu belum menyapa, namun empati dan kepedulian untuk membantu sesama sangat layak diacungi jempol. Dari kepedulian insan non Muslim itu, tersirat tamparan bagi saya dan juga para BMI muslimah semuanya. Sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, seharusnya kita jauh lebih peduli terhadap orang-orang yang sedang kesusahan.

Kelima wanita tersebut saya ajak bincang-bincang dan berfoto sebentar, setelah itu kami berpisah untuk meneruskan aktivitas masing-masing. Saya sangat bahagia bertemu dengan manusia yang peka dan berusaha dalam meringankan beban saudaranya. Kuberdoa kepada Allah agar kelak mereka tertetesi hidayah-Nya dalam iman dan Islam.

Begitulah Victoria Park di Causeway Bay Hong Kong. Tiap Minggu selalu penuh pengunjung dan lalu lalang warga Indonesia yang menikmati libur kerja selama sepekan.

Ada yang benar-benar memanfaatkan waktu liburnya untuk investasi ilmu, ada pula yang hanya sekedar hura-hura dan mencari kesenangan semu. Ada aktivitas kemanusiaan, ada pula kajian keagamman bahkan perang ideologis. [yulianna/voa-islam.com]

07 Feb 2011
Sumber: http://www.voa-islam.com/news/islamic-world/2011/02/07/13163/sehari-di-victoria-park-kampung-jawanya-tkw-hong-kong/

LERENG UNGARAN, Bedah Antologi Puisi TKI Hong Kong

http://suaramerdeka.com/

Komunitas Lerengmedini Boja akan membedah buku antologi puisi “Karat Luka” karya Ally Dalijo, Minggu (14/11). Acara di Taman Warnet 127 line.net Gentan Kidul, Boja ini akan menghadirkan pembicara seperti Kelana (penyair dan pegiat seni Kendal), Yuswinardi (penyair Blora), dan Nurdin Paradiksa (komunitas Lerengmedini). “Acara dimulai pukul 14.00, dan kami buka untuk umum,” kata Koordinator Komunitas Lerengmedini Heri CS.

Ditambahkan, Ally Dalijo, penulis buku, merupakan seorang aktivis Buruh Migran Indonesia di Hong Kong dan juga TKI aktif di dunia seni dan sastra. Melalui komunitas Teater Angin Hong Kong, Ally Dalijo mulai giat menulis puisi serta aktif sebagai artis teater sejak beberapa tahun lalu. Rencananya, Ally Dalijo dari Wonosobo, juga akan dihadirkan dalam diskusi interaktif. “Acara akan diikuti secara online via webcam oleh komunitas sastra TKW Hong Kong “Teater Angin” di Victoria Park Hong Kong. Selain itu bisa berinteraksi dengan penikmat sastra Zug Swiss. Info hubungi 085225784668,” tukas Heri.(H71-52)

PWI dan KNPI Galang Dana Merapi

Mengurangi beban korban bencana letusan Gunung Merapi, PWI Pokja Kendal, DPD KNPI Kendal, BPC HIPMI, IKA Unissula di Kendal, K3BK, Komunitas Musisi Kendal, Rumah Makan Tirto Arum akan menggelar aksi penggalangan dana bantuan bencana, Sabtu (13/11).

Acara di halaman parkir GOR Bahurekso Kendal itu, juga dimeriahkan penampilan seni teater, seni pertunjukan, musikalisasi puisi serta musik. Menurut M Khusnul Khibab, panitia penggalangan dana, acara penggalangan dana Merapi akan dibalut renungan seni.

“Kegiatan diberi tema ‘’Merapi Bernafas, Kendal Berbagi Cinta Sesama’’. Bagi warga yang ingin menjadi donatur bisa datang dan menyerahkan bantuan saat acara atau ke kantor KNPI Kendal di belakang GOR Bahurekso. CP: (0294) 3689943,” tukasnya.(H71-52)

13 Nopember 2010

Kabar Dari Sebrang: BMI Bekerja, BMI Berkarya!

Uly Giznawati
http://www.kompasiana.com/www.ulygiznawati-ar.com

Elly Susanti, Bikin Album Perdana Duet Dengan Marwoto

Semangatnya yang terus membara mengejar cita-cita, walau akhirnya perjalanan hidupnya kemudian menuntunnya bekerja sebagai buruh migrant Indonesia (BMI) di Hong Kong yang mana sebelumnya pernah bekerja di Taiwan selama 3 tahun. Ibu dari dua orang anak, asal Ponorogo, Jawa Timur ini. Disela kesibukannya karena bekerja ikut orang dan setumpuk pekerjaan selama sepekan, namun hal ini tidak menyurutkan keinginannya untuk menjadikan seseorang yang diinginkannya. Impiannya sejak kecil ingin menjadi penyanyi.

Elly menjadikan Hongkong sebagai tempat untuk menimba segala macam ilmu yang bisa ia pelajari, ‘’saya belajar apa saja selama di Hongkong, menjadi seorang BMI adalah suatu hal yang tidak pernah aku bayangkan. Tapi perlahan aku mulai bersyukur dengan apa yang aku jalani sekarang, dimana aku bisa mengambil hikmahnnya, aku juga bersyukur mempunyai teman dan sahabat-sahabat yang saling memperingatkan dan saling mendukung” tuturnya. Ia menyadari keberhasilannya saat ini tak lepas dari peran serta teman-temannya.

Dalam hal menyanyi, bagi Elly sudah tidak asing lagi. Jauh sebelum berangkat menjadi BMI, Ia adalah artis panggung, penyanyi dangdut dari desa ke desa. Di Hongkong pun, disela waktu liburnya, Elly kerap memenangkan berbagai lomba menyanyi yang digelar oleh Organisasi BMI. Dari berbagai kegiatan yang diikutinya, akhirnya membawa Elly bertemu dengan pelawak Marwoto, secara kebetulan, yang beberapa waktu lalu menyambangi Hong Kong bersama Group Ketoprak Humornya. Dan dari situ, Elly dikenalkan oleh Budi Pramono, seseorang yang biasa mengarensemen musik. Butuh satu bulan untuk Elly melakukan proses arasemen musik, pembenahan vokal, rekaman dan syuting video klip. Semua itu dilakukan Elly saat pulang cuti bulan maret lalu di Budi Studio Jogjakarta.

Dialbum ”Mangan Ati”, berisi 8 lagu dan semua lirik lagu hasil karangan Elly sendiri. Yang mana Ia tulis disela waktu bekerja dirumah majikannya. Album tersebut berisi tentang sisi kehidupan BMI diluar negeri, diantaranya mengenai kisah cinta lewat dunia maya, yang lagi nge-trend yaitu Chating.

Wanti Rahayu

Wanti Rahayu, bekerja di Hongkong sejak tahun 2002, merupakan salah satu aktifis buruh migran Indonesia di Hongkong. Gadis manis asal dari Kebumen ini mengaku senang dan enjoy menjalankan tugas-tugas organisasinya. Saat ini dia menjadi salah satu pengurus di organisasi AMANAH (Asosiasi Masyarakat & Mantan Nakerwan Indonesia Hong Kong ) yang menyediakan kursus pendidikan ketrampilan bagi BMI di Hong Kong yaitu kursus menjahit dan Tata rias pengantin. Wanti juga aktif sebagai team Advokasi di KOTKIHO (Koalisi Tenaga Kerja Indonesia Hong Kong). untuk membantu teman-teman senasibnya yang kurang beruntung. Dengan mengikuti berbagai macam training yang menunjang tugas dan pengetahuanya. Wanti juga baru menyelesaikan D1-nya di LPPMI (lembaga pendidikan professional Mandala Indonesia) di Hongkong.

Menyanyi adalah hobynya, setiap ada panggung terbuka, wanti tidak akan menyia-nyikan kesempatan untuk tampil menyanyi di depan Publik. Suaranya yang merdu selalu mendapat aplusan meriah dari penonton. Memang belum banyak prestasi kejuaraan yang ia raih dalam lomba tarik suara, namun demikian tidak menyurutkan semangatnya untuk tampil menyanyi di depan umum, terbukti wanti selalu dapat orderan menyanyi baik di kalangan BMI maupun organisasi local Hongkong.

Prestasi di Hongkong :
1. Juara II Busana Tradisional Sanggar Budaya tahun 2007
2. Masuk 10 Besar Lomba Busana Muslim Sanggar Budaya 2008
3. Masuk 5 Besar Lomba Karoke KJRI tahun 2008

Krisnani

Sebut saja Krisnani ( 41), wanita enerjik asal Banjarnegara ini mengawali karier sebagai Perias dan Penata rambut mulai dari Indonesia, sebelum berangkat ke Hongkong tahun 2002, ia sudah pernah bekerja di beberapa salon baik Jakarta maupun di daerahnya. Tujuan utama ke Hongkong adalah mengumpulakan dolar untuk di jadikan modal usaha salonnya, namun karena mudahnya semua fasilitas yang tersedia di Hongkong akhirnya melenakan krisnani dari tujuan mulianya, namun kemudian ia menyadarinya.

”Dulu pertama datang ke Hongkong saya tidak ada pikiran untuk dapat mengembangkan bakat yang saya punyai, beberapa tahun berlalu hari libur saya gunakan hanya untuk berfoya, jalan-jalan, kumpul dengan teman-teman., hanya itu saja, tetapi kemudian saya menyadarinya kalau selalu begini tidak akan ada manfaatnya, melihat banyaknya teman-teman BMI yang selalu berjilbab akhirnya menumbuhkan kesadaranku untuk belajar, meyakinkanku bahwa aku bisa mengembangkan karya-karyaku,” tutur perempuan yang mempunyai anak satu ini mengawali kisahnya.

Akhirnya ia menemukan keyakinan dan sekaligus membuktikan, bahwa bekerja menjadi TKW adalah pekerjaan mulia, dan berharap pandangan-pandangan miring yang merendahkan harga diri seorang TKW berubah menjadi menghargainya, bahwa TKW mempunyai nilai lebih dari sekedar menjadi pembantu di negeri orang.

Baginya baik umur maupun waktu yang terbatas bukanlah alasan untuk menunda keinginan untuk belajar. Di sela-sela hari liburnya yaitu satu kali dalam sepekan, ia gunakan untuk belajar di suatu lembaga pendidikan swasta di Hongkong. Walaupun ia sudah merasa mampu secara otodidak namun ia masih merasa perlu untuk tetap belajar. Untuk pertama kali ia bergabung pada lembaga pendidikan YMCA Hongkong.

Setelah berhasil menggondoli ijasah dari pendidikan YMCA, Krisnani selalu di percaya dan turut andil dalam setiap event-event seperti “Fashion Show” yang di selenggarakan di kalangan buruh migrant baik Indonesia maupun Philipina.

Sebagai penata rambut pada 10 finalis pemilihan Miss Sahabat Smartone tahun 2006.

Juara satu lomba rias wajah NBF dengan durasi 30 menit tahun 2006.
Pemenang 1 dan 2 Liberty Foto Model Competion BMI 2006.
Penata rambut untuk Cover dalam majalah Liberty bulan oktober 2007.
Penata rambut dan perancang busana untuk pemenang putri Kartini Sanggar Budaya tahun 2007.
Perancang busana untuk juara 2 pemilihan model tabloid Rose Mawar Hongkong 2007
Penata rambut untuk juara 2 pada acara gebyar merah putih Dav Entertaitment 2007
Penata rambut pada juara 1 putri kartini Sanggar Budaya tahun 2008.
Penata rambut pada pemilihan Miss Smartone 2007 Versi Philipina.
Perancang busana untuk juara 1 penganten Muslimah Indonews 2007.
Perancang busana juara 1 kategori Fantasi Versi Philipina.
Penata rambut juara 1 pada lomba fashion show casual, Sanggar Budaya Hongkong.
Penata rambut untuk juara 1 pemilihan Top Model dari Positive Art Hongkong 2008.

Karena banyaknya prestasi yang di dapat, ia banyak di kenal di kalangan BMI Hongkong. Dan hal itu memacu semangatnya untuk terus maju dan berkreatifitas, ia banyak membantu dan memberi inspirasi pada teman-temanya untuk berkembang. Merubah penampilan dengan make-up dan gaya rambut akan menjadikan perubahan total. Disinggung tentang rahasianya ia menekankah bahwa tidak ada ritual khusus, yang penting mau belajar dan berlatih itu saja, ucapnya meyakinkan.

”Ibaratnya menyelam sambil minum air, selain uang yang kita bawa pulang, pengetahuan, wawasan juga ketrampilan kita dapatkan, aku juga ingin membuktikan bahwa kerja di luar negeri menjadi TKW bukan pekerjaaan rendah, banyak kan orang-orang Indonesia selalu memandang kami hanya sebelah mata, hanya melihat bahwa kita penuh penderitaan dan tidak berkembang,” Pungkasnya.

Musik Dari Taiwan
Bekerja dan Bermusik

Di tanah rantau, selain bekerja ”ikut orang”, bisa dijadikan ajang untuk mengekspresikan diri. Dan fakta membuktikan orang-orang yang yang ada diperantauan banyak yang berhasil. Kemampuan atau bakat yang terpendam dapat tersalurkan. Kalau di Hongkong banyak BMI yang mendirikan group dancers, organisasi kerohaniaan, Forum Lingkar Pena, atau kelompok seni budaya lainnya. Beda dengan buruh migrant yang ada di Negeri Formusa atau Taiwan. Yang mana Taiwan sedikit lebih banyak didominasi oleh tenaga kerja laki-laki (TKI). Mereka umumnya bekerja di sektor industri, dan kegiatan diluar yang mereka pilih adalah dengan membentuk suatu kelompok musik. Diantaranya ada, Nasionalize Band, Satoe Band, Bollo Band dan Eye Shadow Band.

Bollo Band sendiri memiliki arti “Semuanya adalah sahabat”. Inspirasi utama kelompok ini berasal dari salah satu personilnya yang bernama Sari (vokalis), dimana ia adalah seorang buruh migrant asal Indonesia yang menikah dengan warga Taiwan. Namun sempat mengalami kekerasan dalam rumahtangga. Sari yang mengalami kisah sedih ini, tidak putus asa, ia malah bersama dengan Bollo Band, menggunakan musik untuk mengobati sakit hati dan keluar dari bayang-bayang kehidupan silam.

Anggota Bollo Band sendiri mayoritas adalah TKI yang berada di Selatan Taiwan, dengan jumlah anggota 9 hingga 15 orang. Jumlah mereka untuk berkumpul memang tidak tentu, karena tidak barengnya mereka mendapat jatah libur. Maka bisa dimaklumi kalau kelompok band ini sering mengalami pergantian personil.

Namun seiring dengan semangat mereka, maka Bollo Band juga telah mendapatkan hati di kalangan para TKI di Taiwan. Bahkan pada bulan Agustus lalu Bollo band terpilih mewakili Indonesia dalam ‘’Bitan Music Festival 2009’’ yang diselenggarakan tepat didepan sungai Bitan. Ajang itu diikuti oleh pekerja asing dari Filiphina, Thailand, Nepal, juga Vietnam.

Dalam satu kesempatan Sari mengatakan, “Dengan musik dan tari, saya mengajak Bollo Band untuk memberikan hiburan bagi para perantau Indonesia di Taiwan untuk tetap semangat, tegar karena hidup di negeri orang.”

Sungguh sebuah kelompok musik yang yang hadir dengan latar belakang seorang BMI yang penuh dengan pengalaman pahit. Namun, memberikan makna arti yang mendalam bagi setiap insan manusia.

Eye Shadow Band

Eyeshadow atau ‘Bayangan Mata’, sekelompok anak muda, yang dimotori oleh empat orang yaitu Dian, Dani, Edi dan Onot. Mereka adalah Tenaga Kerja Indonesia yang mengais dollar Taiwan. Di sela waktu liburnya mereka mencoba mengisi dengan kegiatan positif, yaitu bermain musik. Awal mereka membentuk Band ini secara tidak sengaja, disaat libur mereka kerap bertemu dan nongkrong bareng, dan akhirnya sepakat untuk menjajal kemampuan mereka dalam bermain alat musik.

Eyeshadow Band kerap mengisi acara acara yang digelar oleh organisasi buruh migrant Indonesia di Taiwan dengan menggusung aliran musik pop. Mereka mencoba menghibur semua orang, khususnya adalah para buruh migrant Indonesia yang ada di Taiwan .

Dengan segala keyakinan, dan semangat yang luar biasa, pada tanggal 30 Januari 2009, Eyeshadow telah kelar merampungkan album perdana mereka yang bertajuk ”Jejak Langkah Anak Bangsa”. Album tersebut berisi 10 lagu yang mereka garap dengan sempurna, dan memakan waktu yang lama. Lagu yang sangat sederhana dan lirik yang penuh perenungan, gelisah kerinduan yang melelahkan sebagai pekerja yang hidup di tanah perantauan. Setiap bait lagu yang menampilkan perasaan para personil Eyeshadow teruntuk orang orang yang mereka cintai. Dan album tersebut akan serentak diedarkan di tiga negara, yakni Taiwan, Hong Kong dan Macau.

”Kami masih belum apa apa, dan masih banyak kekurangan disana-sini, tapi kami akan terus belajar. Kami ingin membuktikan sebagai anak bangsa, walau di tanah perantauan, tidak pernah putus asa dalam menggapai mimpi hingga berani mewujudkannya. Dengan segala keterbatasan yang kami punya, kami ingin menunjukkan pada dunia, menggugah semua kalangan, bahwa kami para buruh migrant Indonesia bukan puing yang berserakan, dan tidak pantas dipandang sebelah mata, akan tetapi kami adalah kumpulan berlian yang berkilau,” ujar mereka kompak.

Dengan ”Jejak Langkah Anak Bangsa” Eyeshadow Band ingin mengajak semua kaum buruh migrant Indonesia dimana pun berada, untuk berteriak dengan lantang… bahwa kita bukan kaum yang tersisih tapi, kita adalah kaum buruh migrant yang mempunyai kemampuan dan potensi sebagai aset negara yaitu Indonesia.

Meski di tanah rantau tidak lantas diam dan larut dalam pekerjaan, tanpa berbuat sesuatu. Sungguh semangat yang patut untuk dicontoh! dengan keterbatasan waktu, mereka bisa berkarya. Kayauuu !!

_________________03 January 2011
Terpublikasi di Tabloid Memorandum – Surabaya
Uly Giz
Hong Kong
Sumber: http://regional.kompasiana.com/2011/01/03/kabar-dari-sebrang-bmi-bekerja-bmi-berkarya/

Buruh Migran Sumbawa Hongkong Raih Beragam Penghargaan

http://www.sumbawanews.com/

Keberadaan tau samawa di negara lain ternyata tidak menyurutkan semangat mereka untuk berkreasi dan mengharumkan nama Sumbawa di negara mereka berada. Tengok saja keberadaan Buruh Migran Indonesia (BMI) asal Sumbawa yang menghimpunkan dirinya dalam Labalong Sumbawa Organization Hongkong (LBSO-HK) berhasil meraih berbagai penghargaan meskipun kesibukan tak bisa dipungkiri.

“Dalam 3 bulan terakhir LBSO HK telah berhasil mengumpulkan piala miss Migran 2009, Piala tradisional Dance yang tarinya berjudul “La dade pagasung”,” jelas kordinator LBSO-HK Emi kepada Sumbawanews via telpon seluler.

Disamping telah menyabet berbagai penghargaan, rencananya pada tanggal 31 Januari 2010 nanto sebanyak 11 orang anggota LBSO HK akan mengikuti “Fashion Jarit.” Dalam bidang busana LBSO HK juga pernah menyabet penghargaan Fashion show full color

Menurut Emi saat ini LBSO HK telah mendata sebanyak 578 anggota, dan yang aktif sebanyak 285 orang mengikuti pertemuan mingguan disaat hari libur. Kenggotaan LBSO terbuka untuk semua buruh migran asal tana samawa baik berasal dari Kabupaten Sumbawa maupun dari Kabupaten Sumbawa Barat.

“Dari minggu ke minggu semakin banyak buruh migran asal Sumbawa yang menghimpunkan diri dan ikut serta dalam pertemuan mingguan.” papar emi yang juga menginformasikan bahwa saat inipun anggota LBSO HK sedang mempersiapkan latihan tari sasopo ate dan tari mata ramai.

Keberhasilan LBSO HK meraih berbagai penghargaan ternyata tidak lepas dari koordinasi dengan pihak Pemda Sumbawa khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Sumbawa.

“Kami menguncapkan terima kasih kepada bapak Hasanuddin ( Pak Ace, red) dari Dinas Pariwisata Sumbawa yang mendukung kami untuk mempromosikan budaya Sumbawa di Hongkong. Pak Ace telah mengirimi kami 9 buah kaset tarian Sumbawa sebagai acuan kami dalam berlatih. Begitu pula dengan Bapak Manjasus yang telah membantu kami mengirimi beberapa kaset dan keperluan lain untuk pergelaran tari Sumbawa. Begitu pula dengan Ehot kepala Desa Krongkeng Empang Tarano dan Yudo Kadarusman yang telah menciptakan tarian “La dade kagasung dan instrumen tari sehingga LBSO HK dapat meraih juara 2 tradisional dance di Hongkong” tegas dara samawa yang akrab dipanggil Daeng ini. (sn01)

28 Januari 2010

Nasionalisme TKW Hong Kong dalam Cerpen

Kuswinarto*
http://www.lampungpost.com/

Membicarakan nasionalisme di kalangan tenaga kerja wanita (TKW) kita di luar negeri sangat menarik. Sebab, bagi TKW (dalam asumsi saya), Indonesia yang menjadi Tanah Air mereka, tempat mereka lahir dan besar, bukanlah sebuah negeri yang bersahabat. Bagi mereka (masih dalam asumsi saya), Indonesia tak berpihak kepada rakyat kecil seperti mereka.

Betapa tidak? Indonesia memaksa sebagian besar dari mereka putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena Indonesia hanya mampu memberikan sebuah kemiskinan yang mengenaskan bagi keluarga mereka sehingga tak mampu menyekolahkan mereka. Itu masih ditambah kenyataan bahwa biaya pendidikan mahal dan itu terjadi di tengah maraknya kasus korupsi terhadap uang negara (baca: uang rakyat).

Karena orang tua miskin, para TKW terpaksa mengubur cita-citanya. Padahal bukan tidak mungkin jika terus menempuh pendidikan formal, sebagian dari mereka akan menjadi para pembaharu yang akan mengangkat Indonesia dari keterpurukan. Di Hong Kong, misalnya, ada juga TKW yang sebelumnya sudah berhasil masuk sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia, dari SD hingga SMA dia selalu mendapat juara kelas dan beasiswa. Tapi, ia tak jadi kuliah karena orang tua tak mampu dan terpaksa jadi TKW di Hong Kong sebagai babu. Tragis!

Lantas, meskipun negaranya tak berpihak kepada mereka, apakah para TKW luntur kecintaannya terhadap Indonesia? Ternyata tidak! Setidaknya, itu yang saya tangkap dalam sebagian cerpen karya para TKW Hong Kong. Meskipun masa depan mereka entah seperti apa jika tak berinisiatif sendiri “lari” ke luar negeri sebagai TKW, rasa nasionalisme mereka tetap tinggi. Cerpen berjudul Pertama dalam antologi cerpen Hong Kong Negeri Elok nan Keras di Mana Kami Berjuang (2002) karya Denok Kanthi Rokhmatika adalah buktinya.

Berikut kutipannya:

Lapis legit yang masih tiga perempat itu mendarat mulus di keranjang sampah, di depanku. Aku kaget. Tiba-tiba saja aku merasa harga kemanusiaan dan sekaligus kebangsaanku, manusia Indonesia, disejajarkan dengan sekerat kue yang pantas dimasukkan ke dalam keranjang sampah! Mengapa dia harus menanyaiku dulu sebelum membuangnya? Kan bisa saja dia langsung membuangnya, jika tak bermaksud menghinaku?

Terasa sekali Denok K. Rokhmatika, TKW Hong Kong asal Malang, Jawa Timur, lewat tokoh Aku mengungkapkan rasa terhinanya karena kue asli Indonesia dilecehkan bangsa lain, padahal dia bangga kue itu terkenal di luar negeri. Dia tetap cinta Indonesia, tetapi saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, selain merasakan perih di dada. Itu karena yang melakukan penghinaan adalah orang yang baru saja akan mempekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga.

Rasa cinta Tanah Air juga ditunjukkan Syifa Aulia lewat cerpen Hong Kong Topan ke-8 dalam antologi berjudul sama (2006). Dalam cerpen itu, TKW Hong Kong asal Kendal, Jawa Tengah, itu mengisahkan tokoh Aku, TKW yang juga aktivis HAM dan berteman dengan aktivis HAM lain dari beberapa negara di Hong Kong. Di kalangan aktivis HAM berbagai negara itu, Indonesia (pejabat dan masyarakatnya) terkenal dengan berbagai tradisi buruk. Salah satunya, orang Indonesia terkenal paling tidak menghargai waktu, suka ngaret kalau berjanji. Ini juga terjadi pada aktivis HAM dari Indonesia di Hong Kong, sedangkan aktivis HAM lain sangat menghargai waktu. Meskipun kesibukan seabrek, mereka selalu menepati janji, tak pernah terlambat menghadiri meeting, bahkan sering hadir 20 atau 15 menit lebih awal. Kalau yang dari Indonesia (kecuali tokoh Aku), terlambat dua jam itu sudah biasa.

Tokoh Aku malu tiap rekan sebangsanya terlambat menghadiri meeting, apalagi yang dari negara lain akan meledek habis-habisan. Aku malu bangsanya punya trade mark buruk soal waktu dan janji. Aku berontak jiwanya Indonesia dicap buruk, tetapi ia tak bisa berbuat banyak karena itu kenyataan. Yang bisa dilakukan Aku hanyalah berusaha agar dirinya selalu tepat waktu kalau berejanji atau meeting.

Dalam cerpen Hong Kong Topan ke-8 itu, Syifa Aulia juga mengemukakan bahwa Indonesia merupakan negeri korup, sangat bertolak belakang dengan Hong Kong yang merupakan negeri bersih dan antikorupsi. Tentang ini, Syifa Aulia menulis: Ah, andai saja negeriku itu (Indonesia, Kus) bisa seperti itu (antikorupsi, Kus). Tentunya tak ada lagi anak-anak jalanan yang telantar, tak banyak lagi perempuan dan ibu muda yang terpisah dari keluarga, merantau dan berserak di negeri orang ini (Hong Kong, Kus).

Bahwa Indonesia terkenal sebagai negeri korup di luar negeri, ini juga diungkap Aliyah Purwati dalam cerpen Laki-laki Afrika Selatan dalam Antologi Yam Cha (2010). Dalam cerpen itu, TKW Hong Kong asal Rembang, Jawa Tengah, tersebut menyampaikan rasa prihatinnya terhadap korupsi di negerinya melalui tokoh Adam, lelaki asal Afrika Selatan. Berikut kutipannya:

“Setahuku Indonesia adalah negara miskin yang sangat rawan dengan yang namanya korupsi. Siapa yang tidak kenal dengan Soeharto? Seorang presiden yang telah memimpin negaramu selama 32 tahun dengan sejuta kebusukannya,” katanya (-nya = Adam, laki-laki asal Afrika Selatan) panjang lebar sambil tersenyum agak sinis.

“Tuan, bagaimana mungkin Anda tahu banyak tentang negaraku sampai sedetail itu?” tanyaku (-ku = Zando, TKW di Hong Kong) sembari mengerutkan dahi saking herannya.

Rasa bangga jadi orang Indonesia ditunjukkan Tarini Sorrita di cerpen Batal dalam kumplan cerpennya, Penari Naga Kecil (2006). Bangga karena meskipun berbeda-beda agamanya, orang Indonesia rukun dan mengedepankan silaturahmi. Ini beda dengan orang luar negeri, semisal, di Hong Kong. Dalam cerpen Batal, TKW Hong Kong asal Cirebon, Jawa Barat, ini menulis:

Turun ke bawah ada Lan Fang, yang berkomentar tentang menyambut bulan suci Ramadan. Kalau bulan suci umat Islam ini datang, bukan hanya umat Islam-nya yang menyambut, semua penganut yang lain pun ikut sibuk.

Apalagi, nanti kalau Lebaran tiba, semua umat, terutama umat Islam berbahagia dan menyambutnya.

Aku teringat sama Mbak Ariani G.A. “Maria, kalau puasa kaya gini saya penginnya pulang ke Jakarta,” curhatnya.

Di Hong Kong, dengan kemampuannya berbahasa Kantonis dan Inggris, Tarini Sorrita memang banyak bergaul dengan banyak warga negara lain, tak hanya warga Hong Kong dan warga Indonesia. Sehingga, Tarini tahu keunggulan orang Indonesia dibandingkan orang dari bangsa lain dan itu membuatnya bangga menjadi orang Indonesia.

Tania Roos lain lagi cara mengekspresikan nasionalismenya di dalam cerpen. Dalam cerpen Suara Tembakan Waktu Subuh (dimuat di Berita Indonesia, Oktober 2003), Tania Roos mengangkat kisah bagaimana para perjuang Indonesia dulu dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan dari serangan Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia. Dalam cerpen tersebut, TKW Hong Kong asal Malang tersebut memperlihatkan betapa berat perjuangan para pahlawan kita semasa hidupnya. Tentu cerpen ini mengingatkan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan negeri ini tidak didapatkan dengan mudah, bernyawa-nyawa pun jadi korbannya.

Mungkin ada yang bertanya, apakah cerpen-cerpen demikian memang merupakan perwujudkan nasionalisme penulisnya atau bukan. Apakah itu bisa dijadikan ukuran kadar nasionalisme para pengarangnya? Mungkin ada kesangsian. Jika sangsi, setidaknya kita bisa mempertimbangkan apa yang dikemukakan salah seorang penulis Inggris, Samuel Butler (1835—1902): Every man’s work, whether it be literature or music or pictures or architecture or anything else, is always a portrait of himself. Jadi, kalau kita bertanya kepada Samuel Butler, jawabnya jelas. Cerpen-cerpen itu merupakan potret nasionalisme dari diri pengarangnya sendiri.

*) Kuswinarto, penikmat sastra

BURUH MIGRAN INDONESIA DAN SASTRA MENYIMPAN BANYAK PERTANYAAN

Mega Vristian
http://komunitassastra.wordpress.com/

Sastra BMI?

Jujur saya memang tidak bisa berhenti menulis, karena adanya semangat yang tidak pernah pudar. Terlebih lagi adanya faktor keberuntungan. Beruntung karena selama bekerja di Hong Kong menjadi BMI alias babu walau berganti-ganti majikan, menggunakan komputer tidak pernah dilarang. Tentu saja harus tahu aturannya.

Nah hari ini setelah pekerjaan siang beres, saya segera membuka komputer dan mulai menulis untuk milis dengan tema “Sastra Buruh” yang telah lama menjadi PR saya. Menurut yang saya tangkap, dalam tulisan ini saya harus berbagi cerita mengenai kegitan tulis menulis di kalangan teman-teman saya sesama BMI di Hong Kong.

Tetapi sebelumnya, saya dan hampir seluruh teman BMI yang gemar menulis tidaklah begitu sreg dengan istilah “Sastra Buruh”, “Sastra BMI” ataulah “Sastra Babu”. Sebab mengapa? Ini adalah upaya pengkotakan atau istilah pemberangusan profesi yang seakan-akan seorang BMI hanya akan dibicarakan bila bisa menulis apalagi dengan tulisan yang berbau sastra dan konyolnya tempatnya atau kotaknya itu adalah “Sastra Buruh”. Lantas bagaimana bila BMI ini sudah tidak menjadi buruh lagi di Hong Kong karena pulang ke Tanah Air menjadi ibu rumah tangga, aktivis buruh pada salah satu LSM atau menjadi seorang isteri Dokter bahkan Insinyur? Apakah tulisan mantan BMI ini nantinya akan dikelompokkan ke dalam genre baru lainnya yaitu “Sastra Mantan BMI”?

Sebutlah BMI

Belum juga tuntas mengenai pengkotakan ini, kami ini sebetulnya sedang berjuang keras guna memasyarakatkan kata “BMI” ke seluruh pelosok Nusantara. Sekilas seperti masalah yang sepele, tetapi bagi kami tidak. Mempopulerkan kata BMI sama saja susahnya untuk melawan praktek pembayaran gaji di bawah standar (underpayment).

Masyarakat tanah air sudah terbiasa menyebut kami ini sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan pihak Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dengan Nakerwan. Ada juga beberapa pihak yang memandang sinis, mengatakan kami sebagai JLN (Jongos Luar Negeri). Untuk itulah dalam melawan sebutan yang cenderung merendahkan profesi ini, teman-teman yang memiliki hobi menulis telah membiasakan dengan kata BMI. Alhasil semua media berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Hong Kong sudah terbiasa menulis kami sebagai BMI. Bila pun ada yang kelolosan menggunakan kata TKW dalam media tersebut, kami hanya menganggapnya wartawan penulisnya masih kurang bergaul.

Tema Sastra

Maraknya kegemaran menulis di kalangan BMI sebetulnya seiring dengan diterbitkannya media cetak berbahasa Indonesia. Juga munculnya kelompok gemar menulis di Hong Kong seperti Kopernus (Komunitas perantau Nusantara) dan Forum Lingkar Pena pada tahun 2004 membuat BMI di Hong Kong seperti memiliki rumah untuk menampung bakatnya di dunia tulis menulis.

BMI Hong Hong Berseri lewat Sastra dan Seni

Dalam pandangan umum, buruh migran Indonesia (BMI) adalah sosok pekerja kasar yang hanya bisa mengerjakan tugas-tugas sepele rumah tangga. Pembantu rumah tangga (PRT) atau babu adalah pekerjaan yang dipandang dengan sebelah mata dan babu dianggap bukanlah pekerjaan ideal yang memberikan penghasilan besar sekaligus mendatangkan kebanggan, karena bekerja modal otot bukan otak.

Untuk diketahui, bekerja menjadi BMI, di Hong Kong tidaklah semudah yang dibayangkan. Masyarakat Hong Kong, khususnya para Majikan sangat tidak menyukai BMI, yang lamban kerjanya dan lamban berpikir. Karena hampir 75% anak-anak mereka dipercayakan pada BMI, sampai kemasalah mendampingi anak-anak mereka mengerjakan tugas sekolah.Anak-anak Hong Kong sangatlah cerdas dan kritis, karena mereka mendapatkan pendidikan dan kesejehteraan nyaris sempurna. Nah jika BMI mereka tidak rajin mengasah otak, selalau manyun ketika, anak majikan bertanya tentang suatu hal, jelas si anak akan protes ke orang tuanya, akibatnya bisa fatal si BMI akan diberhentikan. Sejujurnya syarat untuk bisa menjadi BMI ke HOng Kong, harus lulusan SMA, tapi praktiknya PJTKI bisa menyulap dari SD, menjadi SMA.

Kembali ketema, sejauh ini media massa lebih banyak memberitakan kemalangan dan petaka yang menimpa BMI. Media lebih suka mengekspose berita duka berkisar pemerkosaan, penyiksaan, perampokan, dan kematian BMI dinegeri orang. Kenyataannya BMI memang rawan bahaya. Dan, tampaknya media massa percaya “dagangan yang laku” dan disukai pembaca adalah berita-berita semacam itu.

Jarang media komersial yang menulis kiprah dan sosok BMI sebagai manusia utuh yang penuh harga diri dan menjunjung nilai kemanusiaannya. Ketimpangan berita itu mungkin karena keterbatasan pengetahuan dan ketergesaan (untuk tidak menyebut kemalasan) pewarta untuk menggali berita yang “bergizi” bagi pembaca sekaligus berguna bagi “obyek” berita. Bisa jadi karena organisasi-organisasi buruh migran kurang aktif memberikan materi berita. Atau, mungkinkah karena sosok ideal BMI yang tegar dan kreatif memang langka?

Penampilan buruh migran yang menjunjung martabat dan harkat kemanusiaannya serta liku-liku yang ditempuhnya dalam usaha ini perlu diangkat untuk menciptakan citra buruh migran utuh. Selain itu, juga kesanggupan mengungkap kekurangan sumber daya buruh migran untuk perbaikan. Dengan citra buruh migran Indonesia seperti itu, kegiatan sastra- seni buruh migran di Hong Kong barangkali tampak sebagai cerita ajaib dan langka.

Melalui sastra dan seni, BMI di Hong Kong menunjukkan citra selain hanya pekerja yang berkutat membereskan pekerjaan rumah tangga. Apalagi kondisi Hong Kong sangat menunjang untuk mengembangkan potensi diri. Majikan yang relatif baik serta berbagai komunitas buruh migran di Hongkong yang menawarkan program pendidikan membantu BMI untuk memanfaatkan waktu luang untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi diri. Di sini buruh migran lebih “dimanusiakan”. Pemerintah Hong Kong tidak terlalu diskriminatif terhadap buruh migran.

Kegiatan sastra dan seni BMI tersalurkan dan terwadahi media berbahasa Indonesia di Hong Kong, antara lain koran Suara, Berita Indonesia, Tabloid Apakabar, Roos Mawar, dan majalah Ekspresi. Berbagai komunitas buruh migran seperti Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), Forum Lingkar Pena Hong Kong (FLP-HK), dan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) juga bergiat menerbitkan buletin yang menampung luapan energi seni buruh migran. Karya buruh migran juga sering dimuat surat kabar dan majalah di tanah air.

Kemunculan beberapa BMI penulis di Hong Kong dengan karya-karyanya harus diakui antara lain karena pemerintah memasang aturan jelas yang melindungi hak dan kewajiban BMI. Terutama karena adanya hak libur empat hari dalam sebulan dan jam kerja yang jelas. Waktu yang cuku plapang tersebut memberikan kesempatan BMI untuk belajar berbagai hal, antara lain berorganisasi, menekuni pendidikan, dan berseni sastra.

Intensitas kepenulisan BMI di Hong Kong lumayan membanggakan. Dari tangan mereka telah lahir 16 buku. Antara lain Tertawa Ala Victoria Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di Negeri Beton (Wina Karni); Badai Signal 8 (Swastika dan Shifa Auli); Anda Luar Biasa (Eny Kusuma); serta novel Ranting Sakura (Maria Boniok).

Selain itu, terbit kumpulan cerpen Hong Kong Namaku Peri Cinta (FLP/Publishing House Jakarta) yang merangkum karya anggota Forum Lingkar Pena Wina Karni, Shifa Aulia, S Aisyah Z, Andina Respati,Via Rosa, Rof, dan Ikrima Ghany. Antologi puisi Nubuat Labirin Luka terbitan Sayap Baru dan Aceh Working Grup memuat karya Aliyah Purwanti, Anan, Anik Sulistia, Widi Cahyani, dan Mega Vristian.

Sedang kumpulan cerpen Nyanyian Imigran (Dragon Family Publisher) merangkai karya Aliyah Purwanti, Ikrima Ghany, Lik Lismawati, Nining Indarti, Etik Juwita, Mega Vristian, Tarini Sorita, Anik Sulistia, Tanti, Imes Hisa, Swastika, Kris DS, dan Enny. Kemudian buku Galz Please Don’t Cry (PT Lingkar Pena Kreativa) memuat karya Wina Karni, Swastika M, dan Fia Rosa. Buku Selasar Kenangan (Akoer, Jakarta) memuat karya Mega Vristian dan Lik Kismawati. Juga buku Dian Sastro for President (On/Off Trilogy) dan antologi puisi–cerpen–esai Sastra Pembebasan karya Mega Vristian.Kabar gembira lagi pada bulan Agustus, tahun ini akan meluncur 16 buku kumcer karya BMI,yang diterbitkan Grasindo.

Kehidupan dan persoalan buruh migran mereka angkat melalui karya tulis, teater, dan pembacaan puisi sehingga sampai pada masyarakat luas. Dalam konteks ini, kiprah BMI Hong Kong merupakan kasus unik. Diharapkan aktivitas positif tersebut mengilhami dan merangsang buruh migran Indonesia di negera-negera lain untuk lebih manfaatkan waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri dihajar rindu pada keluarga di kampung, tentu lebih baik memanfaatkan waktu barang sejenak untuk mengekspresikan dan aktualisasi diri.

Sastra dan seni bisa menjadi oase bagi jiwa raga untuk beristirahat barang sejenak dari rutinitas kerja. Kegundahan, kerinduan, kekecewaan, bahkan tuntutan atas perlakuan sewenang-wenang dapat disalurkan dan diteriakkan melalui cerpen atau puisi. Puisi bisa menjadi medium untuk membangkitkan semangat. Juga untuk melawan kekuasaan yang menindas.

Tentu kita masih ingat sebuah kalimat yang menggelorakan semangat mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh, bahkan ibu-ibu di seluruh tanah air untuk menumbang rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998. “Hanya satu kata: Lawan!” Kalimat lugas dan tandas itu merangkum dan mengkristalkan kekecewaan, kesumpekan, ketakutan, “horor” dahsyat selama 32 tahun di bawah kekuasaan Soeharto untuk bersatu padu melawan. Hasilnya, Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan. Mungkin para pemuda yang meneriakkan, menuliskan kalimat itu di tembok- tembok di seluruh negeri tak tahu atau tak ambil pusing siapa yang melahirkan “mantera” lugas tandas tersebut.

Kalimat itu warisan Wiji Thukul, penyair yang dengan sangat berani berhadapan dengan kekuasaan Orde Baru yang sedang kalap kala itu. Wiji Thukul seorang penyair sederhana yang kurus lusuh, namun mempunyai kecintaan yang besar pada rakyat kecil. Dia berjuang bersama mahasiswa, aktifvis, dan buruh untuk merebut kemerdekaan di tanah air sendiri. Melalui gerakan dan puisi dia melawan lantang kekuasaan. Puisi-puisinya mengilhami dan membangkitkan semangat perlawanan pemuda, mahasiswa, dan buruh untuk menumbangkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan mengembalikan pada bangsa dan rakyatnya.

Kegiatan menulis dan berkesenian BMI di Hongkong, bekerja sama dengan buruh migran dari negara-negara lain dan organisasi buruh setempat, merupakan perjuangan untuk menjunjung harkat dan martabat kemanusiaannya. Bukan sekadar untuk mengungkapkan uneg-uneg atau hanya bergumam. Sebab, harkat-martabat kemanusiaan wajib dibela dan dijunjung dalam pekerjaan apa pun. Melalui sastra dan seni BMI bisa berjuang dan memberikan sumbangan bagi usaha memanusiakan manusiadan diri sendiri. Melalui aktivitas dan eksistensi sebagai manusia utuh itu buruh migran akan tampil dengan wajah lebih berseri.

Sumber:
http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan pada 9 Agustus 2008.

http://komunitassastra.wordpress.com/2010/04/29/buruh-migran-indonesia-dan-sastra-menyimpan-banyak-pertanyaan/

Senin, 18 Juli 2011

Sajak-Sajak Tosa Poetra

http://sastra-indonesia.com/
Tanggal

Dapatkah menemu isarah pada daun yang tanggal dari dahan bila cuma memungut lalu memasukkannya di tong sampah kemudian dibakar atau didiamkan
tanggal berapa hari ini ? Angka angka-Nya masih sama seperti yang kemaren dibaca bulan dan sama pula untuk esuk dan lusa.
1,2,3 dan seterusnya sampai kembali pada satu dan bulan berlalu tanpa berbuat sesuatu.
Hingga di akhir desember tahun ditanggalkan seperti dahan menanggalkan daun kering.

16 Februari 2011



Bara Hati

Di antara rerintik hujan dan gemuruh Guntur
dengarkan sebait puisi tentang galau
hati yang mendesau seperti angin
menderu di pepucuk bambu

butir butir pasir dan tepung kanji,adakah beda jika tak pernah meraba
air dan api adakah sama bila bara telah menyala
air tak mampu memadam sebelum segala dilumat dibakar
habis dan dimusnah
seperti kayu menjadi abu
seperti besi menjadi debu
dan seperti itu hati lebur menjadi debu

24 Februari 2011



?

Air mata langit mengucur tiada henti menggenang di selokan dan kali
Merpati berteduh di dahan jati,berdiskusi tentang bulunya yang tak juga kering
nampak mulai bosan berdebat dengan kenyataan
; Entah kapan dapat kembali terbang
Mungkin nanti jika rintik hujan telah menjadi puisi dan alam menepati janji
Namun hujan akan cuma jadi sebaris puisi tak jadi dan janji alam tak selalu pasti
kadang hujan,kadang terang (tanpa dapat terprediksi)
Sementara jarum jam terus berotasi
(semua masih dalam sebuah tanda tanya)

08 Maret 2011



Tentang Luka (catatan sederhana negeri Sakura)

Mengalun lembut sebaris lagu oh Sakura berirama lara tak lagi berirama disco maupun salsa yang kemaren gempita membahana pada segenap ruas kota
; gejolak alam adalah bait puisi maha karya penyair kita
adakah dia yang jadikan rima tengah tampakkan kuasa
adakah dia yang lahirkan diksi tak terima atas anarki
adalah dia . . .
Oh yang Esa
yang ada pada hati insan tanpa berjeda
yang telah jadi irama hidup dan diksi
; adakah terasa luka pada celah mimpi
( di balik tirai Sakura )

16 Maret 2011



Senandung Mekanik
(catatan harian pekerja bengkel)

:kepada Goes Shoe

Menulis puisi adalah membunuh sepi
pada desir angin yang bercakap
pada malam yang perlahan membungkus hati dalam lipatan mimpi.
teringat di bawah matahari
berjemur dan mandi pada telaga oli
bersetubuh dengan besi
berhari-hari
meski tak pernah ejakulasi

Mur dan baut adalah pasangan serasi
meski tak dapat bersatu bila tak padu
namun mur,baut,besi dan oli adalah kawan sejati
yang setia mengantar bersekulah
memberi berpiring nasi
baju buat anak istri
menulis puisi dan mengantar kemana pergi.

Pada celah oli yang menembus metal dan pori besi
terselip cita dan mimpi
(membina peradaban negri ).

16 Maret 2011



Lomba puisi (sayembara Tuhan)

Tahun lalu saya bikin puisi, mau saya kirim pada Tuhan
Katanya Tuhan adakan sayembara
jika ada yang dapat bikin puisi melehihi Qur’an, Dia akan pensiun jadi Tuhan.
Saya batalkan kirim puisi, sebab saya takut melebihi Qur’an.
Jika Tuhan pensiun, siapa yang gantikan?
Kamu?
Aku?
Saya tak mau jadi Tuhan, kalau jadi Tuhan semenit saja pasti bosan, Mendengar rintih dan pintamu yang tak karuan
Melihat kau turuti ajakan setan.
Saya tak lagi membikin puisi
(saya tak mau jadi Tuhan)

3/21/2011

Sajak-Sajak Fikri MS

http://sastra-indonesia.com/
Membakar Kemenyan

Aku bakar kemenyan dan ranting kenanga di pinggan tanah liat
Aku panjatkan mantra-mantra kepada leluhur
Aku bersila di atas tikar pandan menghadap matahari
Aku ratapi kemarau dan angin yang berdebu

Langit terbelah diarak angin
mukaku ditampar silau senja
lalu gerimis terperas dari awan yang memekat
menjadi murka
guntur saling membentur
menggelegar mencakar-cakar tanah yang tandus
mendengus beringas
senja berubah menjadi kilat
apakah ini laknat yang menimpa
atau mantra yang diterima?

Mantra-mantra yang berubah menjadi lembaran proposal
berubah menjadi angka-angka
Kemenyan berubah menjadi gubuk-gubuk yang terbakar
Ranting kenanga berubah menjadi tulang-tulang
dan pinggan berubah menjadi tas cover

Batang-batang kayu berubah menjadi batang-batang emas
berubah menjadi menara
Gunung-gunung berubah menjadi burung-burung kecil
berubah menjadi bulu yang terbang
melayang-layang di atas sawah, ladang dan kebun tebu
dan berubah menjadi gedung-gedung
menjulang menancapkan kakinya di perut petani

Dan bumi pun berubah
Aku pun berubah
menjadi liar
menjadi-jadi, menjadi-jadi

Menjadi sapu tangan berwarna kuning terkoyak

Branda Cafe, Bulan Maret 2011



Malam yang Membusuk

Malam yang membusuk pelan-pelan
Aku terdampar di kaki lima

Dimamah kepahitan yang terurai satu persatu menjadi mimpi,

Mimpi-mimpi yang saling menghujam
Menusuk-nusuk gendang pendengaranku, berbisik
Berisik sekali

Membanting tubuhku ke lantai debu
Aku tersedak dijejali beribu sesak
Keindahan yang terampas
Dihajar masa lalu yang hampir saja sempurna

Aku terbujur di lantai debu
Pucat ditampar bulan

Maret, 04 2011



Lenguh Nafas Tarianmu

Kutenangkan jiwa menghadirkan pancaran matamu yang
Teduh

Kembali

Aku tersenyum mengenang engkau tersenyum

Syair ini menguraikan tentang lenguh nafas yang terhembus
pelan
ke luar dari bibirmu
bersama lembut kata-kata yang menyimpan rahasia perempuan
yang kau sampaikan lewat tarian

Engkau telah mengajakku tanpa isyarat
Menggandeng lenganku tanpa rengkuhan
Tanpa kata atau bisikkan

Wangi yang tersibak dari tanganmu
Terbuka lenguh bersama nafas menjinakkan angin dan debu-debu
Daun dan rumput tergoda
Aku pun tergoda

Kucium harum
Wangi itu tersibak lagi
Lembut dan hampir sempurna dari ketiadaan

Menarilah, menarilah bersama angin yang kau taklukkan
Teruslah menari,
Menari, menari-nari menyibakkan wangi silih berganti

Hingga semerbak harum yang menggeliat
seperti seorang Dewi
yang lari dari khayangan

Dan terus, teruskan gemulaimu
Karna musik dan lagu masih beriak

…. … …

Kutenangkan jiwa menghirup dalam
aroma tubuhmu
yang memancar dari teduh matamu
bersama nafas menjelma ke dalam sukmaku
menunggu di ujung malam
menjadi sebuah mimpi
yang kutempa menjadi sajak tentang engkau dan rahasiamu

Bahwa kecantikkanmu telah menyapaku
… … …

Kutenangkan jiwa membalas tarianmu dengan syair ini
Sementara ombak zaman menderu-deru berbisik
Membisikkan kata yang menggoda
menjadi iklan di jalan raya

Dan kau masih akan menari untukku
dan menari menyibakkan wangi yang terlepas
seperti denting gitar yang memanjakan nyanyian
dengan petikan merdu bergejolak-gejolak
di antara sangsi dan sangsai bahwa kecantikkan
bukanlah purnama pucat
di antara awan dan bintang
… … …

Kutenangkan jiwa ini menyapamu dalam sajak
sebelum semuanya usai atau kembali
menjadi biasa

Maret, 04 2011, di Branda Teater



Syair Sepasang Mata

Mata ini tuan yang punya
hendak dibawa kemana gerangan sangsi
Bila tau luka kan berdarah
manalah mungkin tuan kan datang
meminang hamba telangkup tirai
menindih bantal di bawah lelah

Memeluk pelangi di tengah malam
Seperti bulan terkurung pekat
Duhai pujangga peramu kata
Alangkah bijak tautan makna
Terselubung ayunan kemban
Jadilah dendam terkubur dalam.

Sajak-Sajak Syifa Aulia

http://sastra-indonesia.com/
SUARA HATI TKW

Raga kami telah kalian
penjara
tapi jiwa kami masih
merdeka

mimpi-mimpi kami
telah kalian gadaikan
tapi semangat kami
masih menyala

suara-suara kami
telah kalian redam
tapi nurani kami akan
terus lantang bicara

bertahun-tahun kalian
pasung kami dalam
rantai nestapa
batin kami menangis lirih
tak berdaya

peluh kami telah luruh
membasahi nurani
berusaha menggapai
mimpi-mimpi yang tak terbeli

kami memang tak seberani
MARSINAH yang rela
menukar nyawanya
demi tegaknya keadilan

bukan pula R.A. KARTINI
yang terkenal dengan
“habis gelap terbitlah terang”

kami hanya kaum BMI
di sini tuk sekedar
menyuarakan isi hati

(SA & AW)
Kennedy Town 02-09-2010
BMI (Buruh Migran Indonesia)



MUTIARA JALANAN

Mata yang telaga itu
kini telah di buramkan
debu-debu zaman

kaki yang tak beralas pun
melepuh oleh panasnya aspal jalanan
terseok menuju tiap perempatan lampu merah

diayunkan benda
di tangannya yang mengeluarkan irama
kenestapaan
ada tatapan jijik
dari balik kaca sepion keangkuhan

bibirmu tak lelah
menyanyikan kidung
agung yang memekakkan telinga
si sombong
demi cacing dalam
perut yang terus menuntut haknya

sampai di tikungan nasib
tubuhmu menggelepar
terkapar karena lapar
yang tak lagi tertanggungkan

31-08-2010



PAGI

Fajar datang
langit mempersiapkan
pagi

bintang, embun, kantuk
mimpi, harapan rindu
risau yang tak dapat
lagi ditidurkan

inginku
menyaksikan terbentuknya embun
di pepucuk daun

memaknai fajar melalui jejak gemintang
di ringkas pada
manik-manik jernih

langit sesudah fajar
kembali berbau manusia
heningnya pecah oleh
sejumlah suara
tak tentu asal dan tuju

suara yang hening
sendiri
yang berhenti jadi hening

bertenggerlah kuning emas pertama
di langit timur

semua yang ada
sekejap peroleh bingkai
dan bentuk yang
makin tetap
cahaya makin tetap

Matahari terbit

21-08-2010



Ketidakpercayaan Padaku

Aku percaya padanya
bahkan saat
dia tak berkabar padaku

aku tak menghubunginya
karena aku percaya padanya

terlalunya aku percaya
sampai tak tega hati
mengganggunya

sekali lagi karena aku percaya padanya
aku redam kelebat ketidakyakinanku atasnya

tapi dalam percayaku timbul tanya dalam hati
sungguhkah aku betul-betul percaya padanya?

Ah rasanya tidak

22 Agustus 2010

Sajak-Sajak Akhmad Muhaimin Azzet

http://www.infoanda.com/Republika
DI LERENG MERAPI

asap tebal yang membumbung itu
mengarah ke utara
sementara aku menatap selatan

guguran lava itu menggetarkan jiwa
tetapi aku hanya terpaku
dalam pesona awan bergumpalan

zet, sudah saatnya mengungsi
ke mana engkau menyelamatkan diri
namun kaki ini kaku, jiwa pun kelu

2006



SELALU ADA JEJAK

bahkan aku tak pernah mencatat
bekas air atas batu-batu dan ganggang
apalagi belaian angin pada dedaunan
hingga gemerisik dalam kemesraan

padahal selalu ada jejak
tak sekadar tanda
yang akan menjadi saksi
saat berjumpa

bahkan aku hanya bisa diam
saat kesunyian kian larut pada malam
menumpahkan segala gerak pesona
tanpa suara, tanpa kata-kata

2006



MEMILIH KEMBALI

kemacetan demi kemacetan telah merangsek

dalam hari-hariku, lihatlah, betapa luka
telah tumpah di seruang dada
bau anyirnya mengaliri jasad yang gelora
meninggalkan polusi dunia

di manakah rayuan yang dulu kau nyanyikan
nyatanya mengembarai waktu
hanyalah kota yang kian berdesakan
wajah kepalsuan

dalam geremang malam yang kegerahan
aku memilih kembali, meski tawaran
semakin menggiurkan

2006



DI UJUNG SEBUAH JALAN

wajah siapakah yang muncul bergantian
di ujung sebuah jalan, memberikan hiburan
kepada jiwa yang sempoyongan
seharian bersitegang dengan pilihan

sesekali aku menjelma magma
yang bergemuruh dalam setiap percakapan
sebab selalu ada yang berbenturan
perihal kepentingan

di ujung sebuah jalan saatnya ditentukan
siapa kalah siapa menang

2006

Akhmad Muhaimin Azzet lahir di Banjardowo, Jombang, 2 Februari 1973. Alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini banyak menulis puisi, cerpen dan esei. Karya-karyanya dimuat di media cetak daerah dan nasional. Beberapa puisinya terangkum dalam antologi puisi Tamansari (FKY, 1998), Embun Tajalli Singapura (FKY, 2000), Lirik Lereng Merapi (Aksara Indonesia dan Dewan Kesenian Sleman, 2001), Filantropi (Aksara Indonesia dan FKY, 2001), Malam Bulan (Laba-laba dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2002), dan Sajadah Kata (Syaamil, Bandung, 2002). Tinggal di Yogyakarta.

Jumat, 01 Juli 2011

Ateisme Kepenyairan, Jalan Menuju Tuhan

Damhuri Muhammad*
Kompas, 9 Desember 2008

BISAKAH sastra dan agama bersekutu, lalu mendedahkan kebenaran yang sama? Bila pertanyaan ini diajukan kepada Adonis, dipastikan jawabnya mustahil. Bagi penyair Arab terkemuka itu, puisi dan agama bagai dua sumbu kebenaran yang bertolak belakang.

Puisi adalah pertanyaan, sementara agama adalah jawaban. Puisi adalah pengembaraan yang dituntun oleh keragu-raguan, sedangkan agama adalah tempat berlabuhnya iman dan kepasrahan. Lebih jauh, di ranah kesusastraan Arab, puisi dan agama bukan saja tak seiring jalan, agama bahkan memaklumatkan, jalan puisi bukan jalan yang menghulu pada kebenaran, tetapi menjerumuskan pada lubang kesesatan. Agama menyingkirkan para penyair Arab jahiliah ke dalam kelompok orang-orang sesat, orang-orang majnun (gila), penyihir. Inilah muasal segala kegelisahan dalam kepenyairan Adonis, yang disampaikannya pada kuliah umum di Komunitas Salihara, Jakarta (3/11/2008).

Tak ragu Adonis mengatakan bahwa sejak munculnya agama, tradisi puisi Arab redup dan akhirnya padam. Para penyair dianggap gila lantaran jalan puisi adalah jalan sesat, lagi menyesatkan. Itu sebabnya Adonis menjadi pembela jalan puisi yang telah disumbat rapat-rapat itu. Lahir dengan nama asli Ali Ahmad Said di Desa Al-Qassabin, Suriah, 1930. Meski baru bersekolah di usia 13 tahun, anak seorang petani yang juga imam masjid itu sudah belajar menulis dan membaca pada seorang guru di desanya dan sudah hafal Al Quran di usia sebelia itu.

Pada tahun 1944 ia membacakan puisi heroiknya di hadapan Presiden Suriah Shukri al-Kuwatli. Presiden terpesona dan mengirimkan Adonis masuk ke sebuah sekolah Perancis di kota Tartus. Adonis lulus dari Universitas Damaskus (1954) dengan spesifikasi filsafat.

Ia menerbitkan kumpulan sajak pertamanya pada 1955 dan pernah dipenjara karena pandangan politiknya. Pada 1956, Adonis meninggalkan tanah airnya, pindah ke Lebanon. Selama 20 tahun ia tinggal dan jadi warga negara di tanah jiran itu. Sejak 1986 Adonis pindah ke Paris. Ia telah menulis karya: puisi dan prosa lebih kurang 30 buku dan telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa. Namanya kerap disebut sebagai calon kuat peraih Hadiah Nobel Sastra (tahun 2005, 2006, 2007).

Antologi puisi Nyanyian Mihyar dari Damaskus (terjemahan dari Aghânî Mihyâr Dimasyqî ini disebut-sebut sebagai karyanya yang paling masyhur di samping al-Tsawâbit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan Yang Berubah)—yang kerap disebut karya pengarang ateis khas Timur. Adonis mengagumi pencapaian puitis para penyair Arab klasik seperti Imrul Qays (w. 550 M) yang menurutnya telah meniupkan ruh kebebasan berkreasi, memperlihatkan upaya pencarian ”yang baharu” dalam ungkapan, susunan kata, dan tidak mengacu pada ukuran-ukuran masa lampau. Namun, menurut dia, tradisi puisi yang gemilang ini mati sejak munculnya tradisi wahyu. Dalam pencarian kebenaran, penyair digantikan nabi. Di titik inilah ateisme kepenyairan Adonis bertumbuh, berkembang lalu memuncak pada sajak-sajak pendeknya seperti;

kita mati jika tidak kita ciptakan Tuhan
kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan (dari sajak ”Sebuah Kematian”).

Mihyar sebentuk lagu pilu, elegi guna meratapi matinya kebebasan di jalan puisi. Adonis membangun sekian banyak pengamsalan tentang ketersingkiran penyair Arab kuno; penyihir debu, lonceng tanpa denting, orang-orang asing yang bahkan diasingkan oleh bahasanya sendiri. Ini senada dengan penilaian Ulil Abshar Abdalla (2004) bahwa Adonis mengumpamakan tradisi kepenyairan Arab seperti keterlunta-luntaan dan kepahitan hidup Al-Mutanabbi, penyair besar masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-9). Al-Mutanabbi salah satu penyair yang dikagumi Adonis dan ia hendak mengasosiasikan diri pada sosok penyair yang hidupnya penuh liku dan dramatis itu. Satu ketika menjadi penyair istana, dipuja-puji, dihormati, tetapi kemudian dimusuhi istana, dijauhi oleh masyarakat, sejak itu ia menulis sajak-sajak yang pesimistis. Hidupnya berantakan dan akhirnya meninggal dengan cara yang tragis karena miskin. Pesimisme macam itu juga tergambar dalam sajak-sajak Adonis;

akan kami bunuh kebangkitan dan harapan
kami akan menyanyi dan berlindung
kami akan hidup bersama batu: kami, puisi, dan hujan
Biarkan kami o, Abu Nuwas. (Elegi untuk Abu Nuwas).

Adonis ateis?

Akan tetapi, benarkah Adonis mengingkari jalan wahyu karena tradisi kenabian telah mengalahkan tradisi kepenyairan? Apakah tuduhan ”ateis” layak diberikan kepadanya lantaran ia hendak meniadakan Tuhan demi kelapangan jalan puisi? Kalaupun ada teks agama yang memaktubkan ketersesatan penyair Arab, tentu tidak serta-merta berarti ketersesatan semua penyair pada masa itu. Tengoklah Hasan bin Tsabit yang tetap menggubah syair-syair madah (pujian) setelah teks turun. Berapa banyak penyair Arab yang cemerlang di masa nabi, lebih- lebih masa sesudah nabi? Lagi pula setiap ayat yang turun selalu dilatarbelakangi oleh asbab an-nuzul (sebab-sebab turun ayat). Artinya, penegasan teks perihal penyair sebagai penyihir dan majnun itu sifatnya kasuistik, tidak menggeneralisasi semua penyair. Bila Adonis kecewa dengan jalan kepenyairan yang menurutnya telah dibuntukan itu, kenapa ia masih mengakui pencapaian estetik Al-Mutanabbi, Al-Ma’arri dan Al-Buhturi yang ketiganya hidup di kurun pasca-kenabian?

Meski Adonis ”meniadakan” Tuhan di jalan kepenyairan, tetapi ”ateisme” itu tidak dalam rangka menjauhi Tuhan sebagaimana lelaku para ateis lain. Tampaknya Adonis hanya sedang dijangkiti kegelisahan lantaran sekian banyak jalan lama ternyata gagal mengantarkannya kepada Tuhan. Itu sebabnya ia meneruka jalan baru, yang meski tanpa Tuhan, tetapi pasti menghulu ke hadirat-Nya. Diam-diam Adonis sedang mempersiapkan sajak-sajaknya menjadi sebentuk ”bahasa lain” guna menjelaskan Tuhan masa depan:

sungguh, aku bahasa untuk Tuhan masa depan
sungguh aku penyair debu (Orpheus).

Jalan puisi yang hendak menyelamatkan nama Tuhan, yang selama berkurun-kurun terperangkap dalam bahasa agama- agama. Sampai di sini, Mihyar bukan lagi elegi untuk kematian puisi, di tangan Adonis, ia menjadi gairah asketis yang tiada bersudah dalam meraih persekutuan dengan Tuhan. Maka, tak ada yang perlu dicemaskan pada kepenyairan Adonis sebab ia bukan ateis, tetapi (mungkin) seorang perenialis….

*) Cerpenis Bergiat di Balesastra Kecapi, Jakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/12/sastra-dan-agama-ateisme-kepenyairan.html

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar