Selasa, 31 Mei 2011

Kutemukan Dia

Mahmud Jauhari Ali
Tabloid Serambi Ummah 12 Des 2008

Aku terlahir dari orang yang tak kukenal. Jangankan nama ibuku, melihat sosoknya pun aku tidak pernah. Aku besar di panti asuhan Bumi Selaras yang didirikan oleh seorang yang baik hati. Atas bantuan beliau juga aku bisa menjadi seorang pengerajin batu permata yang cukup sukses di kotaku. Kini di usiaku yang kedua puluh delapan tahun, aku telah memiliki lima pekerja. Penghasilanku cukup untuk menghidupiku dan dua orang anak asuh di rumahku sendiri. Suatu ketika aku harus ke kota lain untuk urusan bisnis. Aku putuskan untuk naik bus ke kota tujuanku itu. Rencananya satu minggu aku berada di sana. Urusan pekerjaan kuserahkan kepada para pekerjaku yang sudah dapat kuandalkan. Kedua orang anak asuhku yang masing-masing berusia dua belas tahun dan empat belas tahun sudah mampu mengurus diri mereka dan rumah kami. Jadi aku tidak ragu meninggalkan mereka.

“Pak, hati-hati di jalan ya!” pesan anak asuhku yang pertama

“Insya Allah Bapak akan baik-baik saja.” Jawabku untuk membuatnya tidak cemas.

“Ini ada singkong goreng untuk bekal Bapak di jalan” kata anak asuhku yang kedua.

Mereka sangat perhatian kepadaku karena aku pun sangat memperhatikan mereka. Selama di perjalanan banyak kutemui pengemis, pengamen dan penjaja makanan dan minuman. Sesekali aku memberikan uang kepada para pengemis dan pengamen. Aku juga aku sesekali membeli minuman dari penjaja yang ada di dalam bus.

“Ternyata masih banyak rakyat yang miskin di negara kita.” Kata ibu tua yang duduk di sampingku.

“Ibu betul sekali. Di negara kita masih banyak orang yang miskin dan memerlukan bantuan kita yang mampu.” Balasku kepadanya.

Ibu itu menatapku dalam, seakan beliau ingin mengusap-ngusap rambutku. Mungkin ibu itu memiliki anak seusiaku dan mungkin pula beliau sedang ingat dengan anak belaiu tersebut.

“Aku tidak memiliki anak laki-laki” katanya. “Semua anakku perempuan dan seandainya aku punya anak laki-laki sepertimu, aku tentu akan sangat bahagia”, tambahnya.

“Semuanya sudah menikah Bu? ” tanyaku.

Ibu itu seketika tersenyum padaku. Sepertinya beliau tahu dari kata-kataku kalau sebenarnya aku ingin memiliki seorang istri. Sambil tertawa beliau berkata, “Semua anakku sudah memberiku cucu-cucu yang manis-manis.”

Aku ikut tersenyum sambil sedikit malu kepada ibu itu. Pembicaraan kami terhenti karena aku sudah sampai di kota tujuanku dan kami pun berpisah di sana. Sebelum kami berpisah beliau berpesan kepadaku, “Berhati-hatilah di terminal ini karena di sini banyak pencopet!”

Aku pun berterima kasih kepada beliau atas saran tersebut.

***

Kulangkahkan kakiku menuju keluar terminal mencari becak untuk menuju wisma tempat aku menginap satu minggu. Begitu banyak orang yang menawariku jasa transportasi, tetapi semuanya kutolak. Belum lagi aku keluar terminal, tasku sudah ada yang mencoba menyayatnya dengan pisau silet yang tajam. Kuhentikan segera aksinya dan aku kejar pencopet itu hingga aku berhasil menangkapnya. Tidak kusangka ternyata ia seorang perempuan muda. Usianya kira-kira dua puluh tahun.

“Lepaskan aku!”, katanya dengan ketakutan.

“Mengapa kamu menjadi pencopet?” tanyaku. “Apa kamu tidak takut jika polisi menangkap dan memenjarakanmu?” tanyaku lagi.

“Jika aku tidak mencopet Mas, aku tidak dapat makan hari ini.” jawabnya dengan nada memelas.

“Separah itukah perekonomianmu hingga kamu rela menjadi seorang pencopet?”, tanyaku padanya.

“Aku orang yang miskin dan tak punya pekerjaan tetap”, jawabnya. “Ibuku sedang sakit di rumah kami”, lanjutnya.

Aku tidak tega membawanya ke kantor polisi. Hati kecilku merasa iba dengan keadaannya. Aku ajak dia makan di warung dekat terminal itu. Saat itu perutku memang sangat lapar dan kulihat dia juga seperti orang yang kelaparan. Kami berbincang lama di sana. Aku memintanya menunjukkan keadaan ibunya kepadaku untuk membuktikan kebenaran kata-katanya tadi. Benar katanya, ibunya memang benar-benar sakit dan sedang terbaring di atas tikar beratap jembatan. Ya, tepatnya mereka tinggal di kolong jembatan. Hatiku merintih melihat keadaan mereka yang sangat memprihatinkan. Kuberi mereka uang seperlunya untuk berobat di rumah sakit. Aku pun segera meninggalkan mereka menuju wiswa tempatku akan menginap.

“Mas, tunggu sebentar!” pinta pencopet itu.

“Ada apa?”, tanyaku kepadanya.

“Siapa nama Mas dan di mana aku dapat menemui Mas kembali?”

“Namaku Rizal dan kamu dapat menemuiku kembali di Wisma Sejati”, kataku kepadanya. “Ingat pesanku tadi! Jangan mencopet lagi!”, tambahku.

***

Akhirnya sampai juga aku di wisma yang nyaman untuk kutinggali. Kurebahkan tubuhku di kasur empuk dan wangi. Segera terbayang olehku penderitaan anak dan ibu yang harus tinggal di kolong jembatan itu. Aku di sini rebahan dengan enak sedangkan masih ada orang yang tidur di tempat kumuh dan berbau tidak sedap. Aku bayangkan jika seandainya nasibku seperti mereka. Segera menitik air mataku dan ingin sekali aku membatu mereka. Aku ingat kembali aksi pencopetan yang dilakukan gadis itu kepadaku. Wajahnya masih mebekas di ingatanku. Malam pun semakin larut dan aku harus segera tidur agar besok aku dalam keadaan yang prima dan bisnisku dapat berjalan dengan lancar.

Suara alarm telepon selulerku membuatku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Aku pun segera berwudu karena azan Subuh telah menggema di angkasa. Untung di wisma itu tersedia musala yang bersih dan penuh perawatan. Kusempatkan jalan-jalan sebentar di sekitar wisma setelah salat Subuh berjamaah di musala itu.

Sudah dua hari aku berada di sana. Seperti biasanya, setiap pagi pintu kamarku diketuk pelayan wisma yang mengantariku makanan dan minuman. Dari dalam kusuruh dia masuk.

“Apa kabar Mas?” tanyanya

Aku lansung terkejut mendengar kata-katanya karena aku masih ingat betul suara itu. Benar dugaanku, ia saat ini tepat di hadapanku

“Kabarku baik. Bagaimana kabar ibumu Dik?” tanyaku balik.

“Ibuku masih hampir sembuh. Aku bawakan Mas makanan khas sini. Tolong Mas terima ya!” pintanya.

“Tidak usah repot-repot membawakan makanan ini untukku. Aku ikhlas kok membantumu dan ibumu tempo hari.”

***

Hari ini adalah hari terakhirku berada di kota penuh kenangan bagiku, terutama pada gadis muda yang mebuat hatiku terasa lain daripada sebelum bertemu dengannya. Pekerjaanku telah selesai dan saatnya aku kembali ke kotaku. Sebelum berangkat, aku sempatkan diriku menjenguk ibu gadis itu.

“Mungkinkah kita akan bertemu lagi?” tanya gadis itu kepadaku.

“Jika Allah menghendakinya, kita akan bertemu kembali Dik” jawabku.

“Kami akan mengingat kenangan hidup ini”, kata ibunya kepadaku.

Kulihat mereka sangat akrab di sana. Aku berpamitan dengan mereka. Baru kali ini aku sangat iri dengan orang lain. Aku sangat iri dengan gadis itu yang memiliki seorang ibu di sisinya dan menyayanginya. Tidak pernah seumur hidupku aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Kutatap sejenak wajah mereka dan aku pun segera meniggalkan mereka di sana. Sesampainya di rumah aku di sambut dengan hanyat oleh kedua anak angkatku. Aku banyak bercerita kepada mereka selama aku di kota lain.

Aku merasakan hal yang tidak pernah kurasakan selama ini, yakni rasa sepi di hatiku. Gadis di kota lain itu selalu ada dalam pirkiranku dan semakin pula membuat hatiku ingin bersamanya. Mungkin naluriku sebagai pria dewasa yang membuatku seperti itu. Kurasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hatiku terhadap gadis itu. Entah apakah aku telah jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, satu hal yang jelas bahwa aku bahagia saat bertemu kedua kalinya dengannya. Gadis itu membuatku tidak dapat konsentrasi terhadap pekerjaanku. Dengan perasaan yang tak menentu aku kembali ke kota itu. Kutemui dia dan ibunya. Aku tatap dalam matanya dan kuberanikan hatiku untuk mengatakan bahwa aku berniat menikahinya. Kulihat ia sangat gugup saat itu. Mulutnya tidak mampu bicara, tetapi ia menganggukkan kepalanya kepadaku. Anggukannya membuat hatiku sangat bahagia. Tiga hari kemudian kami menikah dan kubawa ia dan ibu mertuaku di rumahku bersama kedua anak angkatku.

***

Minggu, 29 Mei 2011

Sampah

A Rodhi Murtadho
http://sastra-indonesia.com/

Sampah? Sudah melebihi jajaran pegunungan, bahkan sudah punya keinginnan untuk membentuk galaksi. Mengalahkan Bima Sakti. Entah mulai kapan keinginan itu mulai tercipta. Yang pasti sejak mereka mampu membentuk planet sampah lengkap dengan satelitnya.

Aku tak tahu bagaimana mereka berkomunikasi. Keakraban muncul. Berkembang biak tanpa perkawinan yang berarti. Yang aku tahu keinginan mereka, dalam kacamata mereka, baik dan tulus dari hati nurani. Menggalang persatuan demi mewujudkan cita-cita mereka.

“Bagaimana kita bisa berkembang biak cepat di bumi ya?” ucap salah satu sampah yang menyerupai botol, “padahal manusia sangat punya keinginan memusnahkan kita.”

“Itu gampang,” kata salah satu sampah yang hancur, tak berbentuk, tak menyerupai apapun, “kita bisikkan pada industri untuk membuat kemasan yang tidak bisa didaur ulang dan tidak mudah terurai oleh bakteri. Seperti diriku yang kian hari makin hancur oleh bakteri sialan ini. Bentukku sungguh menyedihkan.”

“Ya…ya. Boleh juga. Lantas bagaimana tentang rencana kita untuk menyingkirkan manusia dari bumi.”

“Tentu saja akan kita lakukan. Semua koloni seantero jagad juga sudah siap. Tinggal mengatur strategi saja.”

Aku bahkan tidak percaya, langkah mereka sudah sedemikian jauhnya. Bahkan manusia yang menciptakan mereka, ingin mereka singkirkan. Apalagi dengan rencana mereka yang ingin berkembang biak besar-besaran. Makin membuatku khawatir.

Manusia memang hanya mampu berpikir tanpa bisa mewujudkan pikiran itu. Sementara mereka, sampah, bisa mewujudkan keinginan mereka dengan setiap tidakan yang dilakukan manusia. Layaknya dapat dikatakan bahwa mereka sudah memiliki setiap diri mereka sendiri. Sedangkan manusia hanya memiliki sampah dari dirinya.

Bahkan pikiran yang seharusnya menjadi kelebihan dan kebanggan manusia, sekarang, menjadi sampah. Pikiran sampah. Tak pernah terdengar, tercampakkan yang pasti, kegemilangan dari kecerdasan pikiran. Semua hanya mampu menciptakan sampah baru.

Kuberanikan diriku menghadap pada jutaan sampah. Dalam keadaan sedang diskusi dan menyiapkan strategi. Dengan sedikit risih yang muncul. Kulihat di jajaran sampah pemandangan yang tak lulus sensor. Tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Tak juga kaget dengan kedatanganku.

Leleran cairan hasil hubungan mereka pun tercecer tak tertampung. Cairan yang seharusnya berada dalam rahim. Menjadi calon orok. Kupahami itu karena aku tahu kalau mereka hanya memiliki kelamin tanpa rahim. Sungguh pemandangan yang luar biasa biadabnya menurut orang-orang suci.

“Hai sampah! Jangan kau terlalu berani pada manusia. Manusia juga punya rencana menghancurkan kalian,” ucapku, “bukan hanya menyerahkan kalian pada bakteri saja, tapi lebih dari itu kalian tidak akan bisa berkembang biak karena akan kuciptakan sendiri kemasan atau benda yang bisa dipakai lagi dan tidak akan dibuang.”

“Bagaimana kau akan melakukan?” jawab salah satu sampah yang hampir tidak berbentuk, yang tadi bercakap dengan botol sampah, “kami tahu itu akan hanya ada dalam pikiranmu. Atau paling tidak, jika terwujud hanya akan ada padamu saja. Kami akan tetap berkembang biak melalui pikiran dari manusia lainnya bukan kau tentunya.”

“Kau akan kubakar!”

“Dengan apa kau akan membakarku? Kalau kau membakarku tentu dengan mudah aku menjadi sampah baru. Sampah udara. Dengan mudah aku dapat berkembang biak. Membuat sampah baru lagi. Sampah manusia.”

“Bagaimana caranya? Kau hanya sampah dan bagaimana kau bisa menjadikan manusia sebagai sampah. Bukankah sampah tetap menjadi sampah dan manusialah yang menghasilkanmu.”

“Aku hidup. Ya, karena aku hidup sekarang. Dengan bentukku sekarang, kusengat penciuman manusia. Dan kalau kau bakar aku, aku dengan mudah dapat masuk ke paru-paru manusia, aliran darah, jantung, otak, bahkan setiap lubuk hati manusia. Manusia akan lumpuh, tak punya perasaan lagi. Yang akan menjadi sampah kami berupa tubuh yang sudah ditinggalkan rohnya. Atau tubuh yang sudah ditinggalkan otak dan pemikiran tentang kami.”

Tumpukan-tumpukan sampah berloncatan di hadapanku. Memperlihatkan diri kalau mereka hidup. Sempat aku terheran. Bagaimana mereka hidup? Sementara mereka hanya barang mati tak berharga. Bentuk mereka pun tak pantas dikatakan sebagai makhluk hidup. Siapa yang memberi mereka nyawa? Atau mereka hidup dari baterai atau semacamnya tapi tak kulihat itu pada diri mereka.

“Hai sampah,bagaimana kau hidup?” tanyaku.

“Aku hidup dari pikiran manusia, nyawa kami dari hasil pemikiran yang dituangkan pada diri kami.”

“Lantas, semangatmu?”

“Kami dapat semangat juga dari pemikiran manusia. Selain dari perasaan senasib kami, sesama sampah, bertemu dengan saudara-saudara yang lain di tempat manusia mempertemukan kami.”

Semakin terperangah aku dibuatnya. Bagaimana mungkin sampah mempunyai perasaan. Punya semangat juang. Sementara manusia saja kadang-kadang tidak mempunyai perasaan. Tidak punya semangat juang untuk membasmi sampah-sampah ini.

Aku merasa semakin terpojok dengan sampah-sampah ini. Tak heran kalau mereka sudah bisa membentuk gunung. Planet dan satelitnya. Lantas bagaimana jika mereka menyerangku? Apa yang bisa kulakukan? Untuk lari pun tak mungkin. Karena setiap memandang hanya kutemukan sampah. Tanah yang kuinjak layaknya berubah menjadi lautan sampah.

“Ehmmm…,Tuan Sampah, bagaimana kalau manusia dan sampah saling berdamai? Hidup berdampingan, saling membantu, dan bertenggang rasa.”

“Tidak bisa. Manusia sudah memperlakukan kami tidak sewajarnya.”

“Maksud, Tuan?”

“Kau lihat sendiri, kami dibuang ke angkasa luar setelah bumi tak mampu lagi menampungnya. Untungnya kami bisa membentuk jajaran planet. Jadi kami bisa hidup. Enak saja mau damai! Kami akan menumpas habis manusia, mengusirnya dari bumi.”

“Ke mana Tuan akan mengirim kami?”

“Jelas ke angkasa luar. Sama seperti mereka mengirim saudara-saudara kami. Biar merasakan betapa tidak enaknya hidup di luar orbit.”

Gundukan-gundukan sampah mulai berdiri. Mengelilingiku. Nyalang mata mereka penuh emosi. Kepalan tangan mereka memaksaku memperbesar rasa takutku yang ada.

Aku mulai berpikir kalau mereka ada dan hidup seperti saat ini. Atau keinginan mereka untuk menyingkirkan manusia itu benar adanya. Barisan mereka yang kuat semata-mata disebabkan kelalaian kami. Menganggap remeh sampah. Aku teringat ketika koloni mereka tak begiu banyak. Mereka tak punya kekuatan. Tapi tata ruang tempat tinggal kami memberi peluang mereka berkembang pesat. Kebiasaan kami, membuang mereka sembarangan, sering dimanfaatkan mereka.

“Eh…, begini,” tubuhku mulai bergetar, “Tuan Sampah bagaimana kalau Tuan kami pergunakan lagi.”

“Manusia? Menggunakan sampah? Untuk apa? Dan mana mungkin? Kami tahu kebiadaban manusia. Penginkaran-pengingkaran yang mereka lakukan. Bahkan sesama manusia. Menciptakan lingkungan tanpa kami katanya. Mana buktinya? Semuanya hanya omong kosong. Apalagi janjimu seorang diri. Bagaimana kami bisa percaya?”

“Lantas mau Tuan apa?”

“Manusia harus menjadi budak kami!”

“Mana mungkin Tuan. Kami sebenarnya yang diciptakan Tuhan untuk lebih berakal. Bukan sampah. Itu tak mungkin terjadi karena derajat kami sebenarnya lebih tinggi dari sampah.”

Gundukan-gundukan sampah mulai menghantamku. Memegang erat tubuhku. Bahkan ada yang sempat masuk ke dalam tubuhku melalui rongga hidung, mulut, telinga, anus. Aku mersakan otakku diremas sampai pecah. Darahku pun mulai muncrat keluar. Jantungku mereka keluarkan. Bahkan seluruh isi perut sampai terburai keluar. Hatiku pun mereka sayat-sayat menjadi potongan kecil-kecil. Sampai kudapati diriku sudah menjadi sampah.

Gresik, 17 April 2006

Sabtu, 28 Mei 2011

Menulislah dengan Profesional

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH, pada Kamis kedua, bulan Mei 2011, laman Mata Kata kembali hadir dengan menampilkan sejumlah puisi yang ditulis oleh penyair Riyadhus Shalihin (Bandung), Kiki Padmowiryanto (Bandung), dan Budi Muhammad (Bandung). Ketiga penyair yang tampil kali ini menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam mengolah pengalaman puitiknya.

Sejumlah puisi yang ditulis oleh Riyadhus Shalihin, diakui atau tidak, terasa segar, menarik untuk diapresiasi dan direnungkan makna yang dikandungnya. Larik-larik puisinya kerap membawa ingatan kita pada suasana-suasana puitik tertentu, yang ada kalanya terasa surealistik. Hal ini menunjukkan, bahwa Riyadhus bukan orang baru dalam menulis puisi. Dilihat dari caranya ia menulis, tampak punya jam terbang yang cukup lumayan.

Sementara itu, Kiki dan Budi tampil dengan cara yang lain, walau apa yang diungkapnya itu terasa sederhana, Namun demikian, tentu saja masih ada nilai yang bisa dipetik. Paling tidak, apa yang diungkap oleh Kiki dan Budi bukan ditulis dari ruang batin yang kosong. Ia pasti berangkat dari sebuah pengalaman, baik secara fisik maupun metafisik.

Sekalipun menulis puisi merupakan dunia rekaan, sebagaimana dikatakan Prof. Dr, A. Teeuw pengamat sastra Indonesia asal Belanda, yang banyak jasanya memperkenalkan sastra Indonesia di Belanda sana, pada kenyataannya menulis puisi bukan dimaksudkan untuk sekadar main-main. Menulis puisi, harus ada tujuan. Setidaknya ia harus turut serta mencerahkan batin pembacanya pada sebuah pengalaman tertentu.

Puisi sebagai dunia rekaan, ia tentu tidak ditulis begitu saja, Ia pasti bersangkutan dengan logika, dan daya intelektual para penyairnya. Berkaitan dengan itu, menulis puisi pada sisi yang lain tentu tidak sekali jadi, dan apa yang disebut revisi pada titik-titik tertentu selain akan mematangkan sebuah puisi, juga berfungsi untuk menyiangi puisi dari pilihan diksi yang tidak tepat, dan sebagainya. Adakalanya ketika rima diperhitungkan, ia ditulis dalam tahap revisi. Apa sebab? Karena pada tahap pertema, biasanya penyair lebih menyerahkan dirinya pada gelombang puitik yang menuntun dirinya menulis puisi hingga larik akhir selesai dituliskan.

Ada yang menarik dikatakan penyair Acep Zamzam Noor dalam percakapannya dengan penulis, jika menulis puisi hanya untuk main-main, apalagi bila main-mainnya itu tidak bermutu, maka sebaiknya tidak mengerjakan apa-apa. Karena hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Lantas kenapa menulis puisi harus serius? Karena menulis puisi bukan hanya urusan hati semata-mata, melain juga urusan otak dengan berbagai variasinya. Karena itu menulis dengan professional. (Soni Farid Maulana/"PRLM")***
***

Sajak-sajak Riyadhus Shalihin
Selusur Akasia

Di sini jejakmu kembali menggenang
Air matamu deras berbulir, merangkum lengkung senja
Yang menaungi kesedihanku, pencarianku.

Dan di setiap halaman tak berpenghuni
Selalu helai musim semi yang menghantarkanku terlelap
Sementara masih saja kita memetik keheningan, bersandar
pada hari – hari yang teramat sendu
Di balik temaram aku yakin kau telah berpulang pada rindu.

Biarkan hutan yang akan menyerukan namamu, biarkan selusur akasia, remah luluh daun cemara dan juga gelak limbung burung gereja, berkhidmat pada dirimu,pada kehilanganku atas wangi rerumputan, rayuan dan sela sela rambutmu yang tulus.
seperti ketika hujan pertama kali membasahi bumi, kemudian mengering menjadi sepi.

pada akhirnya aku ingin menuntun diri ku sendiri,
kecemasanku yang berlebihan pada kenangan – kenangan kita
sementara senja tak lagi menunggu iringan burung yang berpulang
dan saat kau tak ingat lagi, pada harum secangkir teh
pada bebunyian serangga menjelang malam yang
selalu membuat kau tertidur pulas.

April 2011



Pada Hutan Cibodas

1/
Selalu ada yang terlambat terkatakan.
Selalu ada yang membawaku pada memoar itu.

Apabila dedaunan telah meranggas
Hujan menyulam kata – kata
Maka kutahu di dalam gugusannya kan kutemukan wajahmu.

Selalu dingin ini yang menyelusup rerimbunan
Pada patung – patung kusam berlumut
Kita bersandar, mengatur hari
Menjejaki embun yang berselimut.

Masihkah kau sesendu dahulu?

Sulur hutan yang kita lewati
Perlahan menghilangkan keramaian
Aku mulai senang sendiri.

Bayangmu memudar
Perlahan hilang di antara genangan hujan.

2/
Ujung cemara itu mengingatkanku
Bahwa diantara bayangnya kita pernah menyusuri
jalan setapak yang tak pernah berujung ,
serat mahoni melumat rinci keheningan, saat kita saling terlelap
terpekur manja di antara rintik – rintik senja

Pohon – pohon yang tirus
Dan desah merayu ranting ranting
Perlahan menjadi senyum yang menggairahkan.

sore ini kau tampak begitu kemayu
harum nafasmu menjadi begitu kultus
mengumbar syahwat bermusim, dalam wangi dan birahi.

Aku sungguh ingin mengecup keningmu
Di antara celah celah pepohonan.

3/
Jemarimu lemah dan begitu ramping, kelak aku ingin pulang
Pada lembap benalu dan inang – inangnya.

Muara pada kasihmu mengendapkan amuk menggelegak
Dan sekali lagi aku menimbunmu dengan rayuan.

Berkelindan lembut ku susuri ujung ujung tubuhmu
Selusur lehermu adalah bebukitan sepi, ku eram dan ku lumat
Melalui tubuhmu kunikmati erangan hutan
Mengilhami jeritan angin.

Anak – anak burung menanti ibunda
Petang berayun, dan mustahil akan ku genggam lagi.
samar – samar gerimis pun berderai
Kau hanya membisu.

4/
Masihkah kau berhias dengan adanya, sebab aku selalu rindu
mencumbu pada halus guratmu yang sederhana.

Luas matamu yang membentang, mengingatkanku
pada padang edelweiss
Di musim semi, pangrango yang sunyi.

Di dahimu hinggap luruhan resah, berkecambah
dengan ribuan ciuman
Bersama rasa hangat antara unggun juga dawai malam,
Kita pun menekuni semesta kota di kejauhan.

Cahaya rumah berumbul satu persatu,
Bagai lampion yang berkelindan bermunculan
Kau pun memelukku erat.

Suatu hari kau akan menepi pada sebuah pengembaraan
dimana aku telah menantimu, kita pun berkemas
Berlabuh di ujung lembayung.

5/
Berduyun sepi menggulung hutan, bagai gondola.
Di tepi segara, dedaunan menguning
Suluh suluh bersuara, dan dunia sesaat terpejam
Berarak kalimat – kalimatmu terasa menjadi tanggung

Mengapa tak segera kita beralih ke tepian
Danau dan perahunya tertambat di haluan
Mari kita seberangi kemuning senja.

Melalui rumah – rumah tak berpenghuni
Hari ini ingin ku jemput hatimu.

Menamai mu, mengamini setiap dayuh yang mengantarkanku
Kembali padamu. Bagai induk semang di hulu
Aku akan terus menangisi hutan ini, sebab dengan adanya
sembilu ini.

Aku yakin kau akan menyahut
Kau akan menyambutku.

2011

Riyadhus Shalihin Lahir dan dibesarkan di Kota Bandung, pada tanggal 10 Desember 1989. Sempat kuliah di Jurusan Jurnalistik, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Bandung. Kini Mahasiswa Seni Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Alumnus Pondok Pesantren Islamic Centre Muhammadiyah, di kaki gunung Hutan Cibodas, Bogor. Bergiat di Forum Pemahaman Nilai – Nilai Islam, STSI Bandung.
***

Sajak-sajak Kiki Padmowiryanto
Sunset

tatkala hari telah memuncak pada belas kasih Illahi
curahan anugrah-Nya menaungi pesisir,
Pura di tebing-tebing karang, gua air suci,
dan sahaja nadi-nadi keikhlasanmu

sementara di tepi keluasan lautan hatimu
kuterpana mencemburui alam nirwana,
menawar kenangan, agar lebih lama lagi
kaupamerkan lukisan pergantian waktu

dari senja ke malam
sebelum lazuardi redup perlahan,
sebelum matahari ditelan ombak
di batas cakrawala.

Tanah Lot,

13 Maret 2009.



Anjing Gamang

anjing gamang
merintih sendiri
melolongi bulan yang sembunyi
di balik kelam malam

anjing gamang
memendam gejolak rindu
liurnya menetes tawar
hidungnya mengendus
birahi betina

betina!betina!

mengapa kau balut kesepian ini

dengan diam?
mengapa cinta tak berpihak
kepadaku?
saat bayanganmu melintas

di antara deretan harapan

caraka asmara.

- kau gantungkan peluang yang
tak teryakinkan,
membuatku cemas dan ragu

melepasmu atau mencarimu?

di mana dunia tengah menanti
cerita cinta yang belum kau tuntaskan…

betina!betina!

kulacak selalu isi hatim
mengejar obsesi
andai aku anjing Kintamani
atau anjing gembala Jerman?
atau mungkin seperti yang kau mau

Bandung,

8 September 2009.

Kiki Padmowiryanto lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain. Kini bekerja di BNI Syariah Bandung dan tinggal di Bandung.
***

Sajak-sajak Budi Muhammad
Aceh, 26 Desember 2004 (4)

pandangan merapat
seakan tentara
dalam upacara

“gaung tangis seorang ibu”

kulit manusia abuabu
konon yang terhitung 200 ribu melayang

saat itu
kota tempat berlabuh perahu
pantai jadi terminal

“maafkan aku ibu
ini adalah kehendakNya”

gumam gempa
diamini air
juga angin

28 Desember

Budi Muhammad lahir dan tinggal di Bandung.***

KELINDAN TRAGEDI DAN EKSOTISME

Maman S. Mahayana *

Hanna Fransisca, Konde Penyair Han (Jakarta: Katakita, 2010), 141 halaman.

Kwee Tek Hoay, awal tahun 1900-an. Perintis sastra Indonesia ini berhasil membangun tradisi berdiskusi di kalangan penulis peranakan Tionghoa. Ia juga kerap menghidupkan pantun dan syair dalam pesta para nyonya Tionghoa. Pada zamannya, sastrawan peranakan Tionghoa—sebagaimana dicatat Claudine Salmon—berhasil menyebarkan karya-karyanya ke seantero negeri ini. Sesungguhnya, dari situlah langkah perjalanan sastra Indonesia dalam tradisi cetak, dimulai!

Memamah Hikmah dari ‘Kolecer’

Judul Buku : Kolecer & Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal
Editor : Saut Poltak Tambunan
Penerbit : Selaras Pena Kencana
Cetakan I : Juni 2010
Tebal : 224 halaman
Peresensi : S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/

KOLECER atau baling-baling, sering juga disebut kitiran, mainan anak-anak yang terbuat dari daun kelapa muda atau bisa juga dari bambu yang akan berputar jika ditiup angin. Semasa kecil, saya dan teman-teman sering berlari bersama mencari angin supaya kolecer dapat berputar dengan kencang. Semakin kencang putaran kolecer, semakin rianglah hati kami.

Begitu juga yang dirasakan Neng Tin dalam cerpen Kolecer yang ditulis Nenden Lilis A. Neng Tin, tokoh penutur, menceritakan kehidupan Bi Nanah yang berputar seperti kolecer.

Bi Nanah adalah murid dari ayah Neng Tin. Karena kesibukan orang tua Neng Tin, di masa kecilnya, Bi Nanahlah yang mengasuhnya. Setiap pagi Neng Tin dibawa ke rumah Aki dan Nini (kakek dan nenek Bi Nanah), di mana Bi Nanah tinggal. Sore harinya ia dipulangkan ke rumah orang tuanya. Di tempat itulah Neng Tin kecil tahu bagaimana Bi Nanah dengan tekun merawat keperluan Aki dan Nininya yang sudah payah.

Bi Nanah juga yang mengurus kebun dan harta benda Aki dan Nini karena semua anaknya telah menjadi orang sukses di kota. Mereka tak sempat lagi merawat Aki dan Nini. Meskipun Aki sangat menginginkan Bi Nanah sekolah tinggi dan sukses seperti paman dan bibinya di kota, Bi Nanah memilih merawat Aki dan Nini. Dia kasihan dengan kondisi kakek dan neneknya itu jika harus mengurus kebun dan sawahnya, mengurus diri sendiri pun sudah susah.

Sejak kelas I SD, ibu Bi Nanah meninggal dunia, sedang ayahnya kabur dengan perempuan lain. Ibunya yang malang itu sebelumnya sakit-sakitan karena tak tahan setelah suaminya membawa istri baru di kampungnya. Sepeninggal sang ibu, Bi Nanah tinggal dengan Aki dan Nini. Keduanya sangat menyayangi Bi Nanah. Sejak kecil hingga Bi Nanah beranjak remaja, Aki selalu membuatkan kolecer yang sangat disukai Bi Nanah.

Neng Tin sangat menikmati suara kolecer itu. Sampai dia dewasa pun masih terngiang-ngiang suaranya, juga seluruh kenangan bersama Bi Nanah dan Aki-Nininya. Neng Tin tak menyangka, kolecer itu bukan sekadar mainan anak-anak, melainkan juga tamsil hidup. Setelah lama berpisah dengan Bi Nanah, dalam pertemuan yang mengharukan, di mana Bi Nanah telah tua, Neng Tin tersadar kalau hidup Bi Nanah seperti kolecer, mainan kesukaannya.

Bi Nanah akhirnya mengalami nasib serupa dengan ibunya, sakit karena perlakuan laki-laki yang menikahinya karena menginginkan harta, hingga ajal menjemput Bi Nanah. Laki-laki itu menyangka Bi Nanah akan mendapatkan warisan dari Aki dan Nini karena Bi Nanahlah yang tekun merawatnya.

Ternyata anak-anak Aki dan Nini tak memberikan apa pun pada Bi Nanah sepeninggal Aki dan Nini, karena Bi Nanah hanya cucu. Maka laki-laki itu kecewa dan berselingkuh dengan banyak perempuan lain. Bi Nanah sakit-sakitan hingga ajal menjemputnya.

Kolecer adalah salah satu dari kumpulan cerpen yang berjudul Kolecer & Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal. Kumpulan cerpen ini berangkat dari beragam cerita dan tragedi anak manusia berdasar kearifan lokal di daerah masing-masing, membuat kita seperti bertamasya ke khazanah budaya Nusantara.

Buku ini memuat 20 cerpen dari 11 penulis yang sudah cukup mempunyai nama, seperti Benny Arnas yang menulis dua cerpen dalam buku ini. Cerpen Anak Ibu yang Kembali sebagai cerpen pembuka cukup membuat pembaca terkesima. Cerpen ini mengisahkan kesunyian perempuan tua yang mempunyai lima anak perempuan dan telah dibawa suami masing-masing. Mereka jauh dari orang tuanya yang sebatang kara, tak bisa merawat, atau sekadar menengok sang ibu.

Sang ibu terkenang dengan almarhum suaminya yang begitu menginginkan anak laki-laki. Di hari tuanya, dia baru menyadari kenapa suaminya sangat menginginkan anak laki-laki. Karena anak perempuan akan dibawa pergi, sedangkan anak laki-laki akan membawa istrinya dan diharapkan dapat menemani hari tua mereka.

Apa pun kisah yang disajikan penulis, kearifan lokal, baik itu tradisi, pandangan hidup, adat istiadat, maupun dongeng rakyat, yang diceritakan ulang menjadi latar belakang hampir pada seluruh cerpen. Membaca kumcer ini, kita akan mencecap bening nilai lokal lengkap dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, seperti cerpen Pastu yang ditulis Oka Rusmini, yang kental dengan nilai-nilai Hindu-Bali yang meyakini karma.

Sementara itu, Khrisna Pabichara dalam tiga cerpennya, Laduka, Membunuh Parakang dan Selaras, menjadikan budaya Sulawesi Selatan sebagai latar budaya sekaligus landasan menatah cerita. Baminantu yang diracik Sastri Yunizarti Bakri mengisahkan pertentangan adat istiadat Minangkabau-Jawa antara ibu dan anak yang mamahami adat secara berbeda. Kisah lain yang membicarakan adat yakni Antara Bali dan Balige, yang ditulis Cesillia Ces. Cerpen ini mengisahkan sepasang kekasih yang berbeda suku dan adat istiadat, memilih melepaskan diri dari “warisan” norma leluhurnya atas nama cinta.

Kisah yang tak kalah seru ditulis Gunawan Maryanto tentang Sarpakenaka. Dalam cerpen ini, penulis mampu menghadirkan masa lalu ke masa kini, tradisi dan teknologi, dengan menghadirkan sejarah kelam G30S PKI, yang membuat pembaca terbetot untuk menandaskan cerita. Selain cerpenis di atas, ada cerpen Hanna Fransisca yang menulis Hari Raya Hantu.

Lalu, ada Noena dengan Sri Sumini, dengan cerita berlatar belakang Hong Kong, yang mengisahkan TKI. Selain itu, ada cerpen Sutan Iwan Sukri Munaf, dan Saut Poltak Tambunan. Menelusuri karya mereka, memperkaya pengetahuan kita tentang kearifan yang ada di bumi Indonesia.

S.W. Teofani, cerpenis

Ruang Batin yang Tumbuh dari Mata

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

Malam ini –setelah purwokerto diguyur hujan deras, dingin dan saya ditemani kopi serta lagu Clapton yang bertajuk Pilgrim— aku benar-benar menikmati membaca puisi Hanna Fransisca yang bertajuk “Tumbuh dari Matanya”. Bait pertama puisi itu, diawali baris-baris yang berkata begini:

Perempuan di kaca mobil,
membuka jalan
hujan memanjang
hitam.

Baris-baris itu dibangun dari latar-latar material “kaca mobil, jalan, hujan yang memanjang”. Kaca mobil sebagai latar material berasosiasi dengan latar material lainnya yaitu jalan, dimana dua material ini berpusat pada penglihatan aku lirik yaitu perempuan. Suasana yang ditimbulkan dari dua latar material ini semula terkesan biasa saja, tetapi lalu menggetarkan ketika baris terusannya berkata: “hujan memanjang/ hitam”.

Hitam adalah warna yang pekat, dan semakin bertambah pekat dengan adanya bait kedua yang ternyata mengkisahkan suasana ruang batin khas dalam posisi “sunyi dan asing” dan makin menggenaskan sebab diakhiri dengan citarasa yang pahit yaitu “empedu”.

Ia menjadi simpanan
sunyi,
asing,
dan yang empedu.

Lalu, dari kepekatan yang ruang batin yang pahit itu, ternyata aku lirik mendedahkan suara batin yang bagiku cukup mengagetkan:

Andai tumbuh sayap
di punggungnya, izinkan ia
menjadi tuhan

Ruang batin yang terasa sebagai suara privatif, yang berusul dari semacam peristiwa kepahitan “jarak dan hujan yang tumbuh dari mata” yang pada ujungnya ternyata tak berbuah pelapukan. Malah sebaliknya, diolah menjadi oasis nurani dimana aku lirik ingin belajar membaca peristiwa yang dialaminya.

Ia ingin belajar
membaca, pada apa yang tertinggal
sebagai jarak, yang menjadikannya
hujan selalu tumbuh
dari matanya.

Sebagai pembaca, keinginan untuk belajar itulah yang aku kira menjadikan daya puisi seperti datang dari ruang batin yang menjadi merdeka. Dan disinilah aku berpendapat puncak estetika puisi berada, dimana puisi ditulis untuk optimisme yang perlu untuk senantiasa dijaga oleh manusia, masa lalu dipantulkan sebagai pelajaran berharga untuk difungsikan merangkai keesokan untuk menjadi kemungkinan kebahagiaan.

Tumbuh dari Matanya
Hanna Fransisca
Untuk semua sahabat

Perempuan di kaca mobil,
membuka jalan
hujan memanjang
hitam.

Ia menjadi simpanan
sunyi,
asing,
dan yang empedu.

Andai tumbuh sayap
di punggungnya, izinkan ia
menjadi tuhan.

Ia ingin belajar
membaca, pada apa yang tertinggal
sebagai jarak, yang menjadikannya
hujan selalu tumbuh
dari matanya.

Senja hari dalam perjalanan menuju Jakarta, 25 Agustus 2010

Menghormati Pengarang Negeri Sendiri

Damhuri Muhammad
Pikiran Rakyat,12 Des 2010

SEJUMLAH Perkutut Buat Bapak (2010) karya Gunawan Maryanto dan Buwun (2010) karya Mardi Luhung ternobat sebagai pemenang kembar anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010 untuk kategori puisi, selain Rahasia Selma (2010), kumpulan cerpen karya Linda Christanty, untuk kategori prosa. Dua buku sajak itu menyisihkan tiga nominator lain: Penyeret Babi (2010) karya Inggit Putria Marga, Tersebab Aku Melayu (2010) karya Taufik Ikram Jamil, dan Konde Penyair Han (2010) karya Hanna Fransisca. Sementara pemenang kategori prosa menyisihkan Kekasih Marionette (2009) karya Dewi Ria Utari, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2010) karya Agus Noor, 9 Dari Nadira (2010) karya Leila S Chudori, dan Klop (2010) karya Putu Wijaya.

Saya mengalami suatu peristiwa sederhana di akhir kerja penjurian yang telah berlangsung sejak Juli 2010. Meski sederhana, pengaruhnya masih terngiang hingga kini. Waktu itu, saya menghubungi salah seorang nominator kategori puisi via telefon, meminta soft copy biodata dan foto terkini untuk keperluan publikasi pada malam anugerah. Dengan nada bimbang sekaligus sinis, nominator itu mempertanyakan keseriusan kerja penjurian. Ia bilang, bukunya tipis, tetapi bisa masuk lima besar. Saya tidak menanggapi pertanyaan itu, sebab saya yakin bahwa yang bersangkutan tidak akan menyanggah bahwa kerja penjurian tidak mempertimbangkan tebal-tipis dan berat-ringan buku sastra yang sedang diseleksi. Namun, keragu-raguan semacam itu tampaknya bermuasal dari inferioritas kepenyairan dan keterpinggiran dunia puisi itu sendiri. Pesimisme serupa disinyalir pula oleh testimoni Sindu Putra (pemenang KLA 2009) yang mengacungkan jempol pada ketekunan dan kerja keras pihak penyelenggara KLA hingga dapat bertahan sampai tahun ke-10, tetapi ia masih mengeluhkan bahwa wajah kepenyairan Indonesia belum tergambar secara utuh. Sangat boleh jadi, banyak naskah puisi bermutu yang tersembunyi di rak dan laci, lantaran penyairnya tiada kunjung mendapatkan penerbit. Akibatnya, naskah-naskah itu tidak terjaring dalam kerja penjurian KLA.

Kecemasan Sindu dapat dimaklumi. Tengoklah berapa banyak penyair yang menenteng naskah puisi ke sana ke mari. Namun dengan alasan selling point dan segmentasi pembaca yang tidak menjanjikan, penerbit mentah-mentah menolaknya. Memang ada satu-dua penerbit major label yang tidak alergi dengan naskah puisi. Akan tetapi, mekanisme kuratorial dalam memutuskan kelayakan naskah sudah mengabaikan segala macam pertimbangan pasar dan semata-mata hanya untuk menghargai tradisi puisi. Oleh karena itu, setidaknya masih ada jatah satu buku puisi dalam setahun, yang bila ditakar dengan analisis pasar dipastikan tiada bakal balik modal. Peluang sempit inilah yang diperebutkan ratusan penyair di negeri yang konon sangat menggandrungi puisi ini.

Akhirnya, bila tetap menginginkan buku sajak, seorang penyair mesti menyodorkan estimasi biaya produksi buku pada sejumlah pihak–baik perorangan maupun lembaga–yang sudi membiayai penerbitannya. Bila tidak ada sponsor yang berkenan, penyair terpaksa merogoh kantong sendiri. Tengoklah daftar shortlist KLA 2010, khususnya kategori puisi, hampir semuanya terbit dengan siasat, kerja keras, dan militansi para penyair dalam memperjuangkan puisi-puisi mereka. Dalam pidato singkat pada malam anugerah KLA 2010, Gunawan Maryanto membenarkan bahwa bukunya diterbitkan secara POD (print on demand); dicetak terbatas, sesuai dengan pesanan. Inilah yang saya sebut dengan keterpinggiran buku puisi di dunia perbukuan kita, yang pada akhirnya menimbulkan kebimbangan, pesimisme, bahkan inferioritas penyair.

Oleh karena itu, keagungan puisi yang konon dapat melampaui pencapaian filsafat sebagaimana pembelaan filsuf eksistensialis Martin Heidegger (1889-1976) terhadap sajak-sajak penyair Jerman, Friedrich Holderin, atau gairah keberpihakan Octavia Paz (1914-1998) terhadap puisi yang pantas dipertahankan seperti mempertahankan kemerdekaan untuk mendedahkan pikiran, agaknya sukar terpetakan dalam khazanah perpuisian kita belakangan ini. Karya-karya para penyair Indonesia mutakhir tertimbun jauh di kedalaman tumpukan novel-novel best seller semacam Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, dan Negeri 5 Menara. Tersembunyi di rak-rak paling pojok yang jarang disambangi pembaca. Tergeletak penuh debu hingga akhirnya digudangkan.

Novelis, cerpenis, apalagi penyair, sedang mengalami ketidakmujuran yang sama. Kerja para sastrawan dalam segi-segi nonartistik sama kerasnya dengan pergelutan kreatif guna membuahkan karya-karya bermutu. Buku sastra jenis prosa pun tak luput dari persoalan serupa. Penerbit-penerbit komersial, akhir-akhir ini, lebih gandrung mengimpor novel dari luar negeri ketimbang menerbitkan novel karya pengarang negeri sendiri. Rasio antara novel terjemahan dan novel lokal saat ini sedemikian njomplang; 10 : 1. Artinya, penerbit-penerbit yang concern pada buku sastra, mencetak sepuluh novel asing, dan hanya satu novel lokal. Konon, untuk sekadar memperlihatkan penghargaan terhadap sastra Indonesia, meski sudah dipastikan bakal merugi. Oleh karena itu, tengoklah cerpenis yang belakangan ini begitu gencar melakukan self-marketing lewat situs jejaring sosial Facebook. Sebutlah misalnya Benny Arnas yang baru saja melepas antologi cerpen bertajuk “Bulan Celurit Api” (2010). Awal Oktober 2010 bukunya turun-cetak, tetapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direct selling di dunia maya. Hasilnya terbilang spektakuler untuk ukuran buku sastra, seratus eksemplar telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimantan, Yogyakarta, Padang, Medan. Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit Api, bakal cetak ulang, padahal launching-nya belum diselenggarakan. Kerja serupa juga dilakukan oleh Bamby Cahyadi untuk bukunya Tangan untuk Utik (2009), dan Khrisna Pabichara untuk kumpulan cerpen Mengawini Ibu (2010). Mungkin fenomena ini patut disambut sebagai kabar baik bagi sastra Indonesia, tetapi stamina para pengarang kita tentu bakal terus terkuras untuk hal-ihwal yang nonartistik. Para pengarang yang sekaligus juga pedagang.

Oleh karena itu, dalam konteks inilah, peran Khatulistiwa Literary Award dapat ditandai. Ia ditegakkan di atas sebuah iktikad untuk menghargai, bukan saja kedalaman eksplorasi estetik dalam sebuah karya sastra, tetapi yang jauh lebih penting adalah menghargai pilihan hidup sebagai pengarang, jalan kepengarangan yang terjal dan berliku, sebelum membuahkan karya besar. Dengan nilai penghargaan yang terbilang memadai, KLA dapat memperkuat posisi tawar para pengarang untuk terus bertahan dan bersetia menempuh jalan kepengarangan, dan tidak tergoda untuk berganti haluan lantaran apresiasi yang setengah hati…**

Damhuri Muhammad, cerpenis, Koordinator Tim Juri KLA 2010
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2010/12/menghormati-pengarang-negeri-sendiri.html

Pesantren Al-Amien Prenduan, Penyair Han, dan Etnis Tionghoa dalam Bingkai Karya

Moh. Ghufron Cholid
http://www.kompasiana.com/www.pelangitanahjauhari.com

Senin, 21 Maret 2011 merupakan hari yang istimewa penuh dengan anugerah. Hari ini etnis Tionghoa menjadi tamu pondok pesantren Al-Amien.

Di tengah-tengah robongan ada sosok yang sangat familiar di kalangan masyarakat utamanya pencinta dunia tulis menulis, yang namanya mulai banyak dikenal masyarakat dengan karyanya berjudul Konde Penyair Han (Hanna Fransisca).

Setelah shalat maghrib rombongan tiba di pesantren dan mendapatkan sambutan kekeluargaan berbingkai pengertian dari keluarga besar pesantren Al-Amien.

Kemudian mengikuti sesi pengarahan yang dipimpin oleh Hamzar Arsa M.Pd, para rombongan dengan sangat antusias mendengarkan dan mengikuti acara pengarahan perkenalan pesantren, lalu di lanjutkan dengan acara ramah tamah, yakni merasakan hidangan yang telah disediakan oleh Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren.

Tak hanya itu, para peserta yang hadir dimanjakan dengan berwisata mengelilingi komplek pesantren dengan memakai mobil yang telah disediakan panitia dan mobil pribadi yang dibawa rombongan.

Auditorium Putra menjadi saksi mata zaman yang sangat pesona, karena di sinilah diadakan rangkaian acara yang dibingkai dalam sambutan dari ketua etnis Tionghoa yang diwakili oleh Hanna Fransisca dan sambutan dari Majlis Kiai Al-Amien yang diwakili oleh KH. Maktum Jauhari selaku Wakil Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan.

Hanna Fransisca melukiskan kegembiraan etnis Tionghoa yang sangat bahagia karena telah disambut dengan semangat kekeluargaan, dimanjakan dengan wisata pesantren sekitar komplek, diperkenalkan dengan sikap pesantren Al-Amien yang selalu ramah kepada seluruh tamu yang hadir tanpa memandang status sosial dan status agama.

Hanna Fransisca juga menyampaikan bantuan dana untuk pendidikan yang diberikan oleh ketua rombongan etnis Tionghoa sementara KH. Maktum Jauhari menyambut segala sambutan Hanna Fransisca dengan santun dan penuh ketegasan bahwa semua bantuan yang diberikan takkan pernah masuk dalam kantong pribadi. Tak hanya itu, untuk menyakinkan KH. Maktum Jauhari,MA menyatakan bahwa seluruh penghuni Al-Amien mulai dari Majlis Kiai hingga seluruh tukang yang ada dalam lingkungan pondok bisa dipercaya.

Akhirnya tepakan demi tepukan tangan memecahkan keheningan ruangan, semua merasakan gairah persahabatan yang anggun, tanpa ada perbedaaan agama, yang ada hanyalah pengertian. Yang ada hanyalah semangat persahabatan dan semangat untuk terus maju memebrikan yang terbaik dalam hidup.

Rangkaian demi rangkaian acara telah usai digelar. Saling tukar cindera mata pun telah dilaksanakan. Kini tibala pada acara puncak penampilan-penampilan, penampilan pertama diisi oleh Penyair Han.

Hanna Fransisca tampil di depan seluruh peserta silaturrahmi dengan membacakan salah satu puisi yang ada dalam buku Konde Penyair Han. Pembacaan yang memukau membuat seluruh peserta terhibur dan larut dalam ketakjuban. Usai Hanna membacakan puisi, tibalah Zainullah santri Kelas V TMI Al-Amien yang sekaligus menjabat sebagai presiden pesantren dari kalangan santri membacakan puisi Mbak Hanna. Rizal salah seorang santri asal Banjarmasin ikut memeriahkan acara dengan membacakan puisi Mbak Hanna dengan penuh penghayatan.

Penampilan tersebut rasanya kurang meriah jika seluruh peserta yang hadir, belum mendengarkan salah satu Guru Senior Pondok Pesantren Al-Amien membacakan puisi Mbak Hanna dalam tiga bahasa.

Akhirnya KH. Ja’far Shodiq,MM tampil dengan membaca puisi tiga bahasa, ketakjuban demi ketakjuban dilukiskan dalam tepukan tangan para peserta yang hadir. Tak hanya itu Hanna Fransisca sebagai seorang penyair tentulah merasa sangat terharu karena apresiasi yang diberikan keluarga besar Al-Amien Prenduan terhadap Konde Penyair Han.

Sungguh malam anugerah telah bertabur rahmah dan barokah. Semua terhibur dan semua tak menyadari bahwa waktu terus berlari/ membawa kemesraan cumbu/kaki semakin tak bisa melangkah/namun sejarah harus dilanjutkan dengan gairah/Lalu/Abjad-abjad kenangan diabadikan dalam foto bersama.

Tandatangan demi tanda tangan Hanna Fransisca mengisi lembaran-lembaran masa penggemarnya. Hanna sangat santun memenuhi permintaan seluruh penggemarnya yang ada dalam pesantren.

Setelah semua acara usai dilaksanakan akhirnya semua etnis Tionghoa bersiap-siap satu persatu menaiki bus, Hanna Fransisca ikut naik bus tersebut melanjutkan perjalanan, sementara saya dan seluruh keluarga besar Al-Amien juga ikut melepas kepergian rombongan untuk melanjutkan perjalanan.

Malam anugerah
Ruh-ruh hadir penuh gairah
Perlahan
Dinding rahmah
Lantai barokah
Jendela hikmah
Saling menjadi mata sejarah
Kini
Ruh-ruh telah pergi
Namun kenangan abadi dalam taman hati

Akhrinya hanya bait-bait puisi itu yang bisa saya berikan sebagai penutup melukis kebahagiaan hati, lantaran Penyair Han beserta etnis Tionghoa telah berkenan berkunjung ke pondok Al-Amien Prenduan, suatu tempat yang banyak mengenalkan saya pada bait-bait hikmah dan banyak mengajarkan kepada saya tentang manfaat keistiqomahan dalam mengabadikan sejarah dalam tulisan.

Terimakasih Hanna Fransisca sahabatku, terimakasih seluruh etnis Tionghoa atas silaturrahmi ini, selamat jalan, selamat menjalani hidup dan menerjemahkan kehidupan.

Kamar Hati, 21 Maret 2011

Jumat, 27 Mei 2011

Gokma

Hasan Al Banna
http://suaramerdeka.com/

ANAK-ANAK tangga berderak. Langkahnya menyerah pada dakian ketiga. Tinggal dua tatih lagi, tapi ia harus menata engah napas. Menyibak urai rambut yang kusut. Ya, tatapan yang nanar musti dibeningkan lagi. Sebab, pintu belakang rumah panggung di hadapannya, sekonyong-konyong oleng, memunculkan bayangan yang kacau. Ia lantas meraba bundar perut dengan putaran tapak tangan. Perutnya terasa kian padat dan berat. Sesekali menyesakkan dada, kadang kali mendesak-desak jauh ke bawah pusar. Sambil mengatur alur napas, perempuan itu menyabit belukar peluh —yang tumbuh di dahi dan leher— dengan lengkung jemarinya.

Kini Gokma mulai merasa tenang. Tapi, matahari yang tak pernah tertatih, menegur kelengahannya. Maka ia pun bersegera menyiangi daun ubi. Lekas-lekas pula ia menyurukkan kekayu kering ke jantung tungku, lantas menyalakannya. Tak lama lagi Daulat pulang memundak linggis dan sekop tua. Tentu, Daulat juga bakal memapah rasa letih dan lapar. Lantaran itulah, ia tadi memetik beberapa tangkai daun ubi muda di pekarangan belakang. Seikat sayuran yang segar sekaligus mendebarkan. Belasan hari belakangan ini, Gokma kerap memetik daun ubi yang tumbuh sembarang di belakang rumah. Namun, di mana tadi ia menaruh daun ubi yang telah disianginya itu?

Gokma memang pelupa. Tapi ia tak pernah lupa bagaimana cara merayakan selera suaminya.

Daulat gemar menyantap gulai daun ubi tumbuk. Apalagi dalam keadaan letih atau tatkala seleranya lagi sulit disetir. Segandeng mata Daulat selalu berpijar kalau sedang berhadap-hadap dengan lauk tersebut. Dengan atau tanpa sambal kacang-teri, suaminya itu bakal makan dengan mulut berdecap-decap. Daulat tak peduli meski Gokma kerap menggurauinya, ”Enak kali-lah Abang rasa te ni horbo itu, ya?” Memang, Gokma telanjur menamai gulai tersebut dengan sebutan te ni horbo karena menyerupa setumpuk kotoran kerbau. Hijau tua, dan kacau. Gokma sendiri tak suka. Namun, bukan berarti ia enggan menyiapkan sekaligus menyajikannya untuk Daulat.

Apa yang tak Gokma lakukan untuk Daulat. Ia ingin Daulat melupakan penyakit yang makin menciutkan tubuhnya. Benar, hati bengkak bukan penyakit jinak. Tapi paling tidak, dengan mengurangi beban pikiran Daulat, tentu penyakit tak terlalu leluasa bekerja. Sebenarnya, Gokma ingin melerai Daulat bekerja sebagai penambang liar batu pasir. Tebing-tebing batu yang terjal, bengal dan mencemaskan itu terlalu berat bagi Daulat. Mulai dari merontokan pundak tebing dengan peralatan seadanya sampai memipihkannya. Belum lagi harus mengangkut berkarung-karung serpihan batu ke bak penampungan. Daulat dan beberapa penambang yang lain harus menaklukkan jalan menurun, curam dan tajam. Dari lokasi tambang ke bak penampungan berjarak hampir satu kilo. Tak jarang, Daulat harus naik turun sampai dua puluh kali. Entahlah, itu pekerjaan yang terlampau mengkhawatirkan, terlebih-lebih karena penyakit Daulat.

Tapi, ya, melarang Daulat bekerja serupa saja seperti menuai beliung serapah dari pihak keluarga suaminya. Berarti pula, Gokma akan makin sering ke rumah mertua. Sekitar dua bulan lalu, Daulat tergeletak di tempat tidur. Rasa perih yang luar biasa di ulu hati menyandera tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, usia kandungan Gokma masuk bulan keenam. Tubuhnya lemah pula. Turun ke sawah sebagai buruh upahan Gokma tak sanggup. Kalau untuk lauk, bisalah ia padakan tanam-tanaman yang tumbuh di sekitar rumah. Tapi beras? Tak jarang Gokma harus memintanya ke rumah mertua. Bagaimana lagi. Simpanan tak punya. Untuk membiayai pengobatan Daulat —meski cuma berobat kampung, ia harus utang kian kemari.

Nah, jangankan menjemput beras ke rumah mertua, bertandang saja pun sudah sebuah petaka. Kata-kata pedas hilir-mudik di telinganya. Apalagi bou —mertua perempuan Gokma, bakal mengait-ngaitkan nasib Daulat dengan kutukan: Inilah akibat kawin semarga! Ia memang semarga dengan Daulat. Tapi menurut Gokma, aturan adat itu tidak cocok lagi ditunaikan di zaman sekarang. Bukankah itu berlaku dulu, tatkala orang semarga yang tinggal sekampung, masih memiliki simpul temali darah yang erat? Tentu sepasang insan yang masih bertalian darah dan semarga tabu untuk menikah.

Tapi ia datang dari kampung yang jauh. Ia menyandang marga yang urutan silsilahnya tak menentu lagi. Ayah Gokma bahkan menikahi seorang perempuan Jawa, yaitu ibu Gokma. Maka dari itu ia tak ragu menyambut pinangan, meski ditentang keras keluarga Daulat. Ia merasa tidak sedang menyabung nasib. Kalaupun perjalanan perkawinannya dengan Daulat tak sekilau impian, bagi Gokma tak singung-menyinggung dengan kutukan. Tidak bahagialah, dirundung musibahlah, dikepung kesulitan, mendatangkan bala penyakit, atau bahkan berujung pada kematian tragis. Itu urusan Tuhan, sungut Gokma.

Ya, termasuk penyakit yang mendera Daulat, menurut Gokma turun dari Tuhan, bukan kuasa kutukan. Lagi pula, sebelum menikah pun Daulat sudah menanggung penyakit tersebut. Gokma tak menyesal, dan tak akan pernah menyesal. Kalaupun ada penyesalan, karena tak bisa membantu Daulat menggalah nafkah. Pekerjaan berat tentu kian menggirangkan penyakit Daulat. Tapi hidup harus memilih. Ketimbang sering menahankan kelebat caci-maki keluarga Daulat, Gokma memilih suaminya tetap pergi ke bahu bukit. Ia tinggal banyak berdoa: Tuhan, kuasa Engkau yang menurunkan penyakit, kuasa Engkau pula yang mengangkatnya.

Sejatinya, Daulat acap melerai Gokma pergi ke rumah Ibunya. Meski beberapa kali pula Gokma mengabaikannya.

”Tak usah lagi kau pergi ke sana!”

”Terpaksa, Bang,” jawab Gokma.

”Makanya jangan dipaksa.”

”Ah, sudahlah, Bang.”

”Kalau begitu, jangan kau mengeluh. Inilah, itulah. Kau tahankanlah sendiri,” Daulat mendadak meletuskan kata-kata ketus.

”Kalau Abang mau kita mati kelaparan, tak apalah, aku tak ‘kan ke rumah bou lagi,” Gokma menangkis, tak kalah sengit.

Tapi tak kuat ia menolak janin tangis.

”Bah, kasar kali kau ngomong, Gokma!”

”Abang kira omongan Abang tadi tak kasar? Aku terpaksa lakukan ini karena kondisi kita. Untuk kesehatan Abang juga,” Suara Gokma bergetar, ”Meski pedas telingaku karena sindiran bou, aku tahankan. Tapi kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan kepada Abang?” Gokma terdesak menghadang isak. Adapun Daulat, kesulitan menyeret udara ke dadanya. Hening.

”Aku sehat-sehat saja, Gokma. Biarkan aku pergi ke bukit. Pikirkan saja kandunganmu. Jangan lupa kau makan. Banyak-banyak istirahat,” Daulat memilih merundukkan amarahnya. Gokma menggigit bibir. Daulat benar, ia memang sering lupa makan, acap pula lupa istirahat.

Iyalah, Gokma makin pelupa sekarang! Namun ia tak bakal lupa cara meracik lauk daun ubi tumbuk terbaik bagi suaminya.

Dengan sigap Gokma mendongakkan lesung kayu yang telungkup di pojok dapur, sekalian meraih alu. Penyedap lain sudah disiapkannya dari tadi: bawang merah, cabai, segenggam rimbang, serta kincung merah jambuósudah dicuci bersih, dan siap dicincang mata alu di rahang lesung.

Sungguh, ada kenikmatan tersendiri ketika ayun alu perlahan berdegap ke jantung lesung. Sehujam demi sehujam, menjelma bunyi-bunyi benturan yang terpendam. Seperti debam jantung Gokma menunggu kepulangan Daulat. Sesekali, tumpuk daun ubi luput tertumbuk, melahirkan suara berdetuk-berdentang. Suara kepala kayu beradu dengan perut kayu. Tapi mengapa suaminya belum juga mengetuk pintu? Terkadang rimbang sebesar pucuk kelingking, atau bawang yang linang terpental-pental dari liang lesung. Sesekali pula, kepal-kepal daun ubi turut terjungkal. Adakah di luar sana Daulat sedang tersengal?

Namun Gokma terus melanjutkan pekerjaannya. Sambil menumbuk daun ubi, Gokma mengaduk-aduk saripati kelapa tua yang dijerang di belanga. Diaduk agar tidak pecah santan. Hendaknya, seperti nasihat Daulat, ketika santan sudah menggelegak, daun ubi juga sudah siap diangkut ke belanga penjerangan. Daun ubi yang sudah ditumbuk tidak boleh lama-lama duduk di pangkuan lesung, karena rasa pahit perlahan-lahan akan menggerogotinya.

Mmh, Gokma tiba-tiba dirangkul malu. Daulat memang lebih mahir memasak daun ubi tumbuk ketimbang dirinya. Pada masa mula perkawinan, Daulat begitu sabar membunuh kegamangan Gokma dalam meracik lauk daun ubi tumbuk. Kadang, Daulat turut membantu, bahkan pernah memaksakan diri menumbuk daun ubi, padahal penyakit sedang mencengkeram kekuatan tubuhnya.

Ah, Gokma kerap ditodong tangis setiap pulang ke peristiwa itu. Pun seperti ia sering disayat kepedihan air mata terkenang sindiran bou atas ketakmahirannya memasak lauk kegemaran Daulat. Ia sering mencoba maklum, karena lauk daun ubi tumbuk adalah makanan turun-temurun orang Selatan di tanah Tapanuli. Tapi Gokma merasa beling sindiran bou terlampau runcing.

”Hei, pindahkan ke belanga sesegera mungkin!” gema suara Daulat memantul ke telinganya.

Gokma tersentak. Ia memaling ke sekeliling. Ei, begitu jauh ia terseret ke lembah lamunan. Maka, Gokma pun berupaya kembali ke bukit kesadaran. Ia tak mau lalai memindahkan jabang santapan ke atas belanga, selekas mungkin. Gokma pun memastikan hasil tumbukannya: apakah daun ubi sudah sebenar lumat, sudah menyatu dengan pecahan bawang, rimbang, dan cabai yang menyembulkan biji-bijiannya? Pun sudah seraga dengan kincung yang telah terberai serat-seratnya?

Tapi, pernah —bahkan tak sekali dua kali terjadi, santan di pangkuan belanga menguap nyaris tak tersisa. Saat itu, ia sibuk menimang-nimang wangi daun ubi sehabis ditumbuk. Gokma pun lupa, bahwa menumbuk dan menjerang-mengaduk santan harus ditunaikan seapi-selegak.

Dasar, Gokma pelupa! Namun, kali ini —tepatnya beberapa hari belakangan, ia tak bakal lupa menderetkan sajian yang sempurna untuk Daulat.

Ya, belasan hari terakhir, Gokma senantiasa menyuguhkan hidangan daun ubi tumbuk ke hadapan Daulat. Mungkin, ini adalah wujud syukurnya kepada Tuhan. Entah Daulat sudah sepenuhnya sembuh atau belum. Yang pasti, tubuh Daulat kelihatan lebih berdaging, lebih bersih. Rona muka suaminya berseri. Memang, Daulat tidak banyak berbicara kepadanya. Tapi, senyum dan cahaya mata suaminya begitu melegakan Gokma. Adakah karena tak berapa lama lagi anak pertama mereka akan lahir?

Mmh, mengembang kelopak hati Gokma menikmati saat-saat daun ubi tumbuk mentah diceburkan ke geriak santan. Hidungnya mekar merengkuh aroma yang khas. Ia sering mengibaratkan aromanya seperti uap tanah basah usai dicangkul, atau batang leher padi yang tertebas sabit.

Namun, menemani Daulat menyantap makan malam, jauh lebih membahagiakan dirinya. Ia sengaja tak mengusik Daulat dengan keluhan-keluhannya: perutnya sering sakit, pinggang tegang, dan dadanya sesak. Gokma tak mau suaminya berpikir keras, lantas sakit lagi. Ia biarkan Daulat menebus lapar setelah seharian bekerja. Meski sesekali Gokma memegangi perut, senyum tak surut dari bibirnya. Lantas, setiap kali menyaksikan Daulat tambah-tambah, ia mengalirkan bisikan kepada kandungannya, ”Lihat, kuat sekali Ayahmu makan. Kau harus tiru Ayahmu, biar simbur magodang, sehat dan gemuk.”

Gokma terkesima! Mulut suaminya bergelimang nasi. Pada terjal leher Daulat, seperti ada anak neraca yang sibuk menimbang kelezatan. Maka tak ada alasan bagi Gokma untuk tak menyaksikan Daulat menyelesaikan suapan terakhir. Pun tatkala sendawa Daulat susul-menyusul, Gokma terpukau!

”Kalau laki-laki, kau musti rajin bantu Ayahmu bekerja. Nah, kalau perempuan, kau harus bantu Ibu masak daun ubi tumbuk,” petik batin Gokma sambil memberesi piring kotor ke dapur. Inilah puncak kegembiraan Gokma beberapa malam ini: mendapati piring bekas Daulat makan, bersih dan licin. Tak ada sisa nasi, tak ada ampas daun ubi tumbuk. ”Lahap kali makanmu, suamiku,” bisik Gokma berkali-kali, tergeli-geli. Meski ketika kembali ke ruang tengah, ia sering kecewa lantaran tak menemukan suaminya.

Kekenyangan tak pernah mampu menghadang Daulat untuk bangkit ke luar rumah. Memang, selepas makan, Daulat sering ke luar rumah. Entah membeli rokok, atau sekadar duduk di kedai kopi. Namun ia tak pernah lupa pamit. Nian, belakangan ini, Gokma kerap lupa, pamit ke mana suaminya..?

Ah, pelupa betul Gokma. Kini makin parah malah. Dari mana jalannya ia bisa lupa soal sesusut jenazah —dengan perut pecah— yang terbujur di rumahnya belasan hari silam?
Gokma, Gokma...

Medan, 2009

Sembahyang Makan Malam

Hanna Fransisca
http://suaramerdeka.com/

Ayam jantan yang dikebiri, yang oleh kodrat manusia diganti nama menjadi jam kai, kini terbaring mati. Tubuhnya gemuk. Barangkali dulu ia adalah calon petarung sejati, dengan taji runcing setajam pisau. Tapi atas nama doa tulus yang kelak diucapkan pada malam imlek, pisau taji itu ditelikung berbulan-bulan. Lalu berakhirlah nasibnya sampai di sini: pada malam imlek saat jasad jam kai terbaring di dasar mangkuk tembaga, --setelah direbus dengan berbagai aroma bumbu.

''Tuhanku yang adil, kenapa hidup terasa lama sekali?'' begitulah ia, lelaki karatan itu berbisik di depan jasad harum jam kai aroma bumbu. Dan melihat mata ayam kebiri itu seperti melihat nasibnya sendiri. Di luar bunyi petasan jauh berdentum dan berderai. Suara langkah-langkah berkebat di jalan, orang-orang yang bergegas menuju vihara, dan sesekali celetukan gong xi... gong xi... menguar di udara. Atau anak-anak berlarian. Atau tambur dari arak-arakan barongsai. Atau barangkali ada juga yang buru-buru menghindar hujan lantaran menganggap hujan bukan berkah, --raungan truk lewat, anak-anak muda bersenang dengan arak setelah sembahyang, suara angin berdesis. Kota yang penuh berkah! Mengalirlah doa. Menguaplah ribuan dupa.

Akan tetapi yang paling jelas dari semua berkah dan doa itu: ia kini merasa semakin tua dan karatan. Duduk di meja makan bundar, merasa hidup telah terlewati. Di bawah lampion, di seberang altar dengan kertas-kertas doa dan persembahan di depan foto leluhur, di bawah aroma hio yang ia bakar barusan. Dua piring kosong, dengan dua pasang sumpit tertata rapi. Satu piring kosong untuk dirinya, dan satu piring kosong untuk istrinya yang entah di mana.

Dikepung sunyi dan beragam menu mewah yang tak setiap orang bisa. Bayangkanlah, dulu ia adalah lelaki perkasa, tapi jangankan jam kai yang subur dan mahal, bahkan telur ia tak selalu sanggup membeli. Anak gadisnya- anak semata wayang--tumbuh cantik, dan selalu ia marah pada para pemuda yang selalu melirik kecantikan anak gadisnya dengan berahi. Ia katakan dengan tegas, di depan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki: ''Berkahi anakku dengan jodoh lelaki yang kaya!'' Lalu istrinya (yang dulu cantik dan kemudian semakin buruk lantaran mulai belajar memaki), menambahkan kata: ''Dan biarkan ia dipilih lelaki kaya dari Taiwan.''

***

IA kini duduk di meja makan bundar sebagai lelaki tua yang karatan. Matanya berserpih bening menatap dua piring kosong yang tertata rapi dengan sepasang sumpit di samping.

Sebuah mangkuk sup teronggok sunyi dengan sendok bebek menghadap langit-langit rumah, seperti memanjatkan doa: ''Tuhan, ada aroma kebaikan apakah pada orang tua yang tengah dikepung makanan ini?'' Bertahun ia membayangkan anak gadisnya agar lekas tumbuh dewasa. Ia iri pada kebahagiaan keluarga yang memiliki menantu. Menantu yang kelak menghormati martabat leluhur, yang setiap malam imlek akan bertandang ke rumah mertua dengan membawa seekor jam kai dan sepasang kaki babi. Adakah makanan yang lebih mewah dari itu?

Bagi doa orang miskin, jam kai dan kaki babi adalah surga.
Tentu saja, doa orang miskin yang memiliki gadis paling cantik di kota, dengan begitu mudah dikabulkan Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki. Lalu bidadari kecilnya, malaikat yang tumbuh dinaungi kecantikan dan kelembutan Dewi Kwam Im, yang seringkali naik di punggungnya sambil menghitung-hitung panu; tiba-tiba menjelma dewasa. Dilamar lelaki gemuk dengan perut buncit menyimpan sejarah kekayaan.

Para tetangga, kerabat, dan saudara-saudara berdatangan, memuji-muji jodoh itu sebagai: ''Mukjizat dari doa-doa para leluhur.'' Menantu baru yang dipuji sebagai mukjizat dari doa para leluhur, meninggalkan kaki babi, uang-uang buat membeli daging (dan kelak mengirimnya pada setiap malam imlek, -- selama bertahun- tahun), lalu pergi membawa bidadari cantiknya menuju Taiwan. Tak pernah pulang, berkabar pulang, atau pun menyebut kata ''pulang'' dalam surat- suratnya. Ketika ia mulai rindu setengah putus asa lalu berdoa di hadapan Dewa Bumi, ia mengatakan begini: ''Istriku dan aku telah menukar anak gadisku dengan kaki babi. Apakah yang harus aku lakukan untuk menebusnya, duhai Dewa Bumi?'' Istrinya, yang belakangan mulai gemuk lantaran kiriman- kiriman rutin setiap bulan (dan mulai sombong dengan gelanggelang dari menantu, lalu belajar sedikit demi sedikit untuk mulai memaki), mendengar doa itu. Lalu memutuskan nasibnya sendiri: pergi menyusul anak gadisnya ke Taiwan.

Tahun berganti tahun. Dan atas pertimbangan firasat yang makin tumpul dan dungu, ia selalu melengkapi sajian meja makannya dengan ikan malas. Ikan malas (entah atas kodrat apa dengan nama ikan malas) yang dimasak tim ala Hongkong, untuk doa-doa 'meminta lebih' pada malam g imlek. 'Xin Nian Kuai Le! Nian-nian you yu...' begitulah kalimat doa diucapkan dengan menggeleng-gelengkan kepala saat tiba kata ''yu'' berkali-kali. ''Yu'' berarti ikan dan ''yu'' yang ke dua berarti lebih, menjadi mantra wajib. Maka bergeleng-gelenglah ia, setiap tahun, bergeleng-geleng dengan cepat seperti pemabuk yang tidak percaya mendapati dirinya tiba-tiba kaya dengan memenangkan lotre. Semakin pedih dan rindu kepada anak dan istrinya, semakin cepat kepalanya bergeleng ke kiri kanan sambil melafalkan kata ''yu, yu'' dengan penuh putus asa.

Doa dan mantra lewat ikan malas untuk meminta lebih. Lebih untuk apa?
Pada kelaziman yang wajar, kata ''lebih'' adalah menunjuk pada rezeki, tapi ia ingin membaliknya menjadi lebih pada nasib! Sebab ia sudah lebih, dan bertahun menebus lebih dengan kerinduan yang pahit. Lihatlah ia yang lebih, dengan kepungan sembahyang makan malam di meja: sembilan macam menu yang terhidang di depan, dan tidak mungkin dihabiskan sendirian.

Sembilan, adalah juga angka keramat yang dipercaya membawa keabadian. Tapi benarkah ia ingin abadi? Benarkah ia ingin abadi dengan kemewahan seperti sekarang ini? Setiap bulan menantu lelakinya selalu memberi lebih. Tapi setiap bulan itu pula, anak gadisnya selalu terbayang tengah melempari wajahnya dengan kaki babi.

***

Ia yang perkasa, istrinya yang muda, anak gadis yang lincah dan jelita, menunggu angpao dari majikan untuk pakaian dan sepatu baru. Dengan angpao yang tidak seberapa, ia membeli tiga helai pakaian murah, tiga pasang sandal jepit, dan mendayung sepeda angin menuju warung makan. Dengan sepiring mie panjang untuk doa panjang umur, lalu tiga butir telur rebus untuk membayangkan aroma ayam, mereka singgah dan berlinangan khusuk di bawah kebahagiaan atap kelenteng kecil. Tanpa nyala lilin, tanpa minyak, tanpa jubah Pak Kung, tanpa membakar 'uang sembahyang emas' dan 'uang sembahyang perak'. Betapa Dewa Bumi tiba-tiba menurunkan kebahagiaan malam yang tak pernah bisa terlupakan. Betapa Dewa Pemberi Rezeki telah memaafkan doa-doa yang telah diucapkan: ''Wahai Engkau, Dewa Pemberi Rezeki, maafkan keluarga kami tidak dapat bersujud dihadapan-Mu dengan 'mengirimkan' Engkau uang sembahyang, membakarkan dupa wangi, menuangkan minyak, dan menyalakan lilin.
Sebab mana mungkin kami menyediakan semuanya, sedangkan Engkau tak pernah memberinya?'

Nyala lilin untuk terang jalan hidup. Tapi lilin di hati, adakah ia akan mati? Dengan aroma dupa sepanjang kota, lampion-lampion yang menyala dari setiap beranda, gelak tawa dan sapaan gong xi... gong xi.... , suara tambur yang bersahut-sahut lamat dan jauh, dari rumah-rumah terang yang menyala, dari kelenteng-kelenteng yang dilewati dengan sukacita. Sepeda angin dikayuh, sepeda angin menuju rumah malam, menuju sembahyang makan malam.
'Makanlah Siau Ling, mie panjang supaya kelak engkau berumur panjang,' ia berdoa untuk anaknya . ''Makanlah Xie Ling, mie panjang supaya umur kita dipanjangkan, dan kita bisa tetap bersama,'' ia berdoa untuk dirinya dan istrinya.
''Kita makan telur ini untuk kesejahteraan, dan kelak hidup yang lebih.'' Hidup yang lebih baik. Ia kini bisa membakar uang sembahyang sebanyak yang ia inginkan. Hidup yang lebih baik.
Ia bisa berdoa di hadapan sembilan menu untuk menyenangkan para Dewa pada malam imlek. Hidup yang lebih baik?! Ia ingin istri dan anaknya kembali berkumpul. Ia ingin waktu kembali diputar ke masa lalu. Ia ingin mati saat ini. Ia ingin berteriak: ''Persetan kalian, semua orang di kota ini, yang telah membujuk para ibu untuk menyerahkan anak- anak gadisnya, pada lelaki-lelaki dari Taiwan!''

***

Chai Shen dao! Cai Shen dao! Cai Shen dao wo de jia men kou! Lirik syair lagu yang meneriakkan bahwa Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki telah datang! Dewa Rezeki tiba di depan rumahmu! Alunan lagu itu begitu manis di telinga. Kekosongan makin terasa di antara kerlap-kerlip lampu, kehampaan seperti lampion di depan rumahnya yang doyong ke kiri dan doyong ke kanan. Udara berubah sangat dingin.
Bunyi petasan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di dadanya seperti balon udara yang terbakar.

Tidak ada siapa-siapa di meja makan, kecuali hidangan mewah dan dirinya yang memandang dengan sepi. Ia tidak meneruskan makan malamnya, --begitulah yang memang selalu ia lakukan bertahun-tahun. Ia akan menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, kemudian duduk di beranda rumah. Matanya akan terus memandang, ke jalan raya, ke kejauhan, ke batas pandang sejauh ia memandang.

Ia selalu berharap ada dua perempuan berjalan ke arahnya, barangkali dua perempuan itu turun dari langit, memeluknya erat dan mengucapkan, ''gong xi... gong xi...''

Singkawang, Februari 2010

============
Hanna Fransisca, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat 1979. Ia menulis puisi, prosa, dan tulisan motivasi di andaluarbiasa.com. Puisi-puisinya dimuat di Kompas, Tempo, Jurnal Perempuan. Cerpennya dimuat di Malang Post dan sejumlah majalah sosial.

Hati adalah Lubuk Merah, Membaca “Biografi” Hanna Fransisca

Benny Arnas
Riau Pos, 2 Jan 2011

“Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi” (DSBASN), sajak kedua dari buku puisi Hanna Fransisca yang bertajuk Kode Penyair Han (Kata-Kita, 2010), dibagi dalam empat bagian. Pembagian dalam sajak yang diberi sub judul “:biografi Han” tersebut tampaknya dibuat dengan pertimbangan yang matang. Bila biografi adalah catatan runut, maka DSBASN adalah cerita yang teratur. Memang, pembagian tersebut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perjalanan dalam kerangka waktu, setting, dan konflik tertentu sebagaimana plot dalam cerpen, atau bab dalam novel. Hal itu lebih sebagai sekuen mini yang padat. Ungkapkan kegetiran dengan sumir. Hanna tak meminta pembaca mengikuti teori Tuebingen (1986) yang menyatakan bahwa pembaca harus memahami pengarang jauh lebih baik dibanding pengarang memahami karyanya sendiri. Hanna membiarkan pembaca menikmati kisahnya. Hanna tengah berkomunikasi tanpa mempersilakan dialog muncul.1 Hanna tengah bermonolog. Dan pembaca adalah para penonton yang diperangkap oleh (tuturan) perjalanan hidupnya.

Lubuk Biru

Maaf. Mulut adalah lubuk biru/tempat rimbun anggur dan lembut kabut./ada gerimis kecil pagi hari. Ada matahari/dan tujuh warna pelangi./Ada wangi gadis sehabis mandi.

Begitulah Hanna membuka DSBASN. “Maaf” diletakkan sebagai diksi pertama. Hanna paham benar bahwa biografi adalah catatan perjalanan hidup yang (sejatinya) bersifat pribadi. Lazimnya, memang (seolah) hanya orang-orang (atau yang merasa) terpandang, terhormat, berjasa pada masyarakat, terkenal, dll, saja yang biografinya layak ditulis dan atau dimaklumatkan kepada banyak orang. Hanna membuka kisah hidup dengan sebuah harapan sekaligus permintaan pemakluman. Harapan semoga biografinya berfaedah, dan meminta orang-orang memaklumi (sekaligus memaafkan) bila ternyata tak ada gunanya sama sekali. Dan Hanna tak sekadar berbasa-basi dengan “maaf” tersebut. Ia menuliskan “maaf” sebanyak 8 (delapan) kali dalam sajaknya yang cukup panjang tersebut. Hal ini lebih dilihat sebagai sebuah ketakziman dibanding keberlebihan. Di sini Hanna hendak melepaskan sajaknya dari aroma koran dan festival. Ia tampil sebagai penyair yang tukang cerita, yang membuat orang-orang hikmat mendengarkannya.2

“Mulut adalah lubuk biru.” Tiga kali Hanna menyematkan metafor itu dalam DSBASN. Di sini, Hanna tidak mencipta metafor sebagai Metaphorical Twist and Turn (MTaT); metafor dicipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapat dihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja (Ignas Kleden, 2004). Hanna tidak mencipta metafor sebagaimana Gunawan Muhammad menggunakan kata “sayup-sayup” dalam sajaknya “Lagu Pekerja Malam”: Lagu pekerja malam/ Di sayup-sayup embun/ antara dinamo menderam/ Pantun demi pantun.

Melalui “Mulut adalah lubuk biru”, Hanna bukan hanya tak mengindahkan MtaT namun juga mematahkan dalil filsafat Cartesian tentang manusia “saya berpikir maka saya ada”. Hanna menyatakan bahwa cerita muramnya bukan hanya karena keberadaannya sebagai manusia (entah sebagai wanita, entah sebagai seorang Tioghoa, entah sebagai orang yang pernah jatuh dalam kemiskinan), namun lebih dari itu, “saya mengalami maka saya ada”.

Hanna hendak menyatakan bahwa DSBASN adalah dirinya yang dikisahkan dalam tutur. Di sini Hanna sudah mengunci sajaknya. Ia menempatkan sajak bukan sebagai teks. Kisah hidup (biografi) ia tuturkan (dengan mulut), bukan ia tuliskan (sebagai teks). Maka, kalimat itu bagai menjadi gerbang yang bila dibuka akan tampaklah apa-apa yang ada di baliknya. Cerita-cerita pilu yang begitu tersuruk, tersuruk di lubuk. Lubuk biru. Sumber kegetiran. Kegetiran yang mendalam.

Namun begitu, dengan semua kegetirannya, Hanna tidak menyajikan sajaknya sebagai hidangan dengan rasa cengeng belaka. Ia juga menyalakan semangat pantang kalah. Ia memang sempat linglung menjalani hidup karena menenggak arak yang memabukkan dari “tempat serimbun anggur” sembari berjalan dalam “lembut kabut”. Namun itu tak berlangsung lama, karena “ada gerimis di pagi hari” yang serta merta menyegarkan dirinya sekaligus mengusir kabut keraguan. Hanna segera tersadar bahwa hidup tak monokrom. Hidup “ada(lah) tujuh warna pelagi”. Warna-warna itu adalah bebunga yang mekar. Lalu Hanna petik untuk dijadikan sabun kehidupan. Ia ingin sedikit mendongak di tengah keramaian. Agar orang-orang tak memandang sebelah mata terhadapnya, agar orang-orang membisikkan: “Ada wangi gadis sehabis mandi” dengan manis (ataukah sinis?) di belakangnya. Sampai di sini, Hanna seolah hendak meneriakkan bahwa kata-kata yang digunakan dalam sajaknya sepenuhnya bersifat arbitrer (Jonathan Culler, 1984). Tidak ada hubungan “anggur” dan rasanya dengan wujud buah anggur, dan sebagainya.

Tanpa bermaksud menyalip pembacaan, bait pembuka DSBASN adalah batang dari biografi Han yang hendak diceritakan. Kegetiran hidup! Memang, pada bait kedua di bagian pertama DSBASN, Hanna sempat menyinggung seseorang yang bernama “Aliong, Aliung, Along….” yang ia kiaskan sebagai “hantu lelaki yang menggigil lantaran istri/ yang mati.”, namun, Hanna tak memberikan informasi lebih dalam selain bahwa lelaki itu bukanlah pribumi. Hanna tak ingin membuka semua kisah tentang ’lelaki-nya’ itu pada bagian pembuka (atau Hanna tak ingin kehilangan fokus ’penceritaan’?).

Diskriminasi Tionghoa

“Di sudut bibirmu ada sebutir nasi/ Bukan tempatmu di sini”. Demikian ujar (hinaan) seorang pribumi tulen yang kala itu menjadi guru SMP-nya di baris terakhir bagian kedua sajaknya. Hanna bukan hendak menumpahkan semua kekesalannya sebagai seorang Tionghoa, namun ia sekadar menyampaikan apa-apa yang pernah ia terima. Dan bila dalam sajak (yang singkat dibanding cerpen/novel) ia ceritakan itu, tidakkah artinya perlakuan (hinaan/diskriminasi) itu begitu membekas dalam perjalanan hidupnya? Menyesakkan, membuat sebak, akhirnya (pernah) membuatnya jatuh dalam keputusasaan yang mendalam, ke dalam lubuk biru, seperti dalam larik “Sejak itu ia buang mimpi/ terbang memungut bintang./ Sejak itu ia selalu melihat: Ada sebutir debu/ terjungkal di sudut jurang.”

Karena keterpurukan itu pula, Hanna sempat ragu apakah benar tempat ia lahir dan hidup kini adalah tanah airnya. “Sebab hanya orang jatuh cinta bisa lancar bicara/laut, guguran daun hutan Kalimantan, ombak Natuna, ….” Tentu bagaimana ia akan menganggap pulau-pulau itu sebagai tanah airnya “Sedang ia tak pernah bisa sebut nama sendiri.”

Dan di sinilah kepandaian Hanna mengisahkan biografinya dengan sangat ritmis. Dengan wajar (walaupun sejatinya sebuah lompatan) Hanna memainkan dinamika. Bila tadi (sepanjang bagian kedua sajak) ia bercerita dengan mimik muram, mata sayu dan agak merah, atau bahkan sambil bersimpuh; maka, menjelang akhir bagian ini, Hanna tiba-tiba bercerita dengan semringah, mata yang berbinar, dan serta-merta berdiri! Hanna memang masih mengatakan betapa keinginan begitu susah digapai, betapa harapannya terus kerontang walaupun jumlah kaumnya (Tionghoa) makin banyak: “betapa rabun matahari di tebing mimpi./ Rambutmu tumbuh hitam sesubur hutan/ sepanjang musim penghujan, pipimu putih/ hamparan pasir-pasir kemarau/ di pulau-pulau sunyi. Bila DSBASN adalah lagu, maka Hanna meliukkan irama dengan sangat halus di bagian “Ada gerimis di pagi hari./ Ada matahari dan tujuh warna pelangi.” Bagaimana Hanna dapat dengan tiba-tiba melupakan kesedihan? Semua disebabkan si “lelaki”, itu jawabannya!

Tentang Kekasih

Hanna baru menceritakan si “lelaki” yang kemudian diketahui sebagai kekasihnya (atau kini telah menjadi suaminya?) di bagian ketiga dari DSBASN. Di sinilah Hanna memainkan dinamika bahasa bergerak di antara sifatnya yang taat makna (meaning-governed) dan sifatnya yang mengubah menciptakan makna (meaning changing).3 Kata “kekasih” dalam bagian ketiga sajak ini lebih tampil secara semantik, memiliki hubungan di antara bahasa, khususnya kata, dan apa yang ditunjuk oleh kata itu.4 Dan tak alang kepalang, demi memberikan (menunjukkan) tekanan pada kata (kekasih) yang ditunjuk tersebut, tak sedikit pun dari 25 baris sajak pada bagian ketiga, tersisa untuk catatan hidup Hanna yang lain. Semua tentang sang kekasih. Tampaknya sang kekasih sangatlah berjasa dalam hidupnya. Hal ini dapatlah dimaklumi ketika dengan sangat manis (nyaris tanpa metafora yang njelimet) Hanna menceritakan betapa sang kekasih sangat berjasa membuatnya makin bergelora menjalani hidup, seperti pada bagian: “Kekasih sejati datang sekali, noni, menculikmu/ di petang siang. Memcumbu wangi hari-hari,/ mengajak selingkuh dalam nikmat setubuh/ pertama kali. Setubuh? Pertama kali? Alangkah nikmatnya? Tentulah pada sesiapa yang telah memberikan kebaikan tak terhingga, kita akan sangat menghormatinya, mendengarkan kata-katanya, bukan? Nah, begitu pun Hanna. Bahkan sang kekasih pula yang menyadarkan, bahwa Hanna adalah bagian bangsa ini, bukan hanya pelengkap kepadatan kependuduk, namun orang yang dapat dibanggakan. “Kelahiranmu di bumi pertiwi/ membikin wajah negeri cantik sekali.”

Hanna sangat terbius oleh kata-kata sang kekasih. Hanna sangat mencintai negeri. Hingga, segala upaya rayuan dari lelaki lain, tak digubrisnya. Bahkan dengan semua kehebatan lelaki lain yang berjanji membawanya ke semua benua, Hanna bergeming. “Kita akan kawin/ bikin perahu dan penuhi koin, seberangkan kunci-kunci/ melintas lautan, ke mana saja ke semua benua:/ itulah tanah air kita. Hanna tak takluk. Ya, cukuplah baginya bujuk-rayu itu. Hanna bukannya tak hendak menyimpan ’rasa’. Selain karena ia kadung mencintai tanah kelahirannya, ia juga muak pada semua janji-janji, kata-kata manis dari mulut. Karena baginya “Mulut adalah lubuk biru.”

Ambiguitas Hanna

Bagian keempat DSBASN, lebih tampak sebagai epilog. Dan Hanna memilih menutup biografinya dengan ambigu. Serupa ending terbuka dalam sebuah prosa.

Ambiguitas itu pertamakali muncul secara harfiah dalam metafora “Kekasih memberi cahaya, suami meminta nyawa.” Hanna memaparkan bagaimana kehidupan kaumnya (Tionghoa) kini. Bagai memakan buah simalakama. Mereka harus kaya agar mempunyai harga diri, namun yang terjadi justru dibenci. Mereka tak ingin jadi miskin dengan tujuan agar tak merasa orang asing. Namun yang terjadi justru itulah yang (seolah-olah) diharapkan pribumi. Ambiguitas yang kedua muncul ketika Hanna menabrakkan “Di kuburan kita janji ketemu” di baris ketiga bagian sajak yang keempat, dengan “Di kuburan kita telah ketemu.” di baris ketigabelas (terakhir) sekaligus menutup DSBASN.5 Sepasang ungkapan tersebut lebih menggambarkan bentuk kegamangan, kegetiran tak selesai, dan pesimisme. Bagaimana Hanna dan kekasih, sang penyemangat (atau sang suami), dapat membuat janji bertemu dalam sebuah penderitaan, di kuburan? Sejak kapan cinta-mati dijadikan pelarian kaum keturunan? Sejak kapan kaum keturunan (hanya) pasrah pada keadaan?

Hanna sebenarnya tengah gamang dengan biografinya. Ia tak terang menceritakannya. Bukan, bukan karena sajak adalah karya sastra yang pendek hingga sangat terbatas untuk mengisahkan kehidupan (seorang) anak manusia. Bukan pula karena DSBASN disajikan bukan sebagai teks. Bukan karena ia hendak mengaburkan kegetiran perjalanan hidupnya. Bukan karena ia tak ingin tampak terlalu sentimental pada sang kekasih (suaminya?). Bukan karena ia takut isu “kaum Tionghoa” merembet pada hal-hal politis. Dan tentu saja, bukan karena ia ingin bersajak (bercerita) dengan aman-aman saja (untuk apa biografi ini disajakkan bila ingin aman-aman saja?!). Bukan! Hanna hanya ingin bilang bahwa ia tak menjual airmata —yang ia keruk dari lubuk biru— dalam biografinya. Ia bahkan membelinya. Lalu ia bagikan, agar orang-orang mengambil pelajaran darinya. Tentang mencintai kekasih, tentang nasionalisme, tentang tak lelah memberi.

Maka, bila ditanyakan kepada Hanna tentang hidupnya kini, saya yakin takkan ada kata “Maaf” sebagaimana dalam ’sajak-biografi’ yang termaktub dalam buku setebal 141 halaman tersebut. Saya pikir Hanna akan memulai ceritanya dengan kalimat “Hati adalah lubuk merah”; sumber kebahagiaan yang sudah ditempa oleh perjalanan hidup yang haru-biru.
Di masa lalu.***

Catatan:

1. Puisi pun bentuk komunikasi. Adanya monolog adalah salah satunya. (Luxemburg, Bal, dan Wetsteijn, 1989: 74)
2. Diadaptasi dari Pengantar Redaksi rumahlebah; ruang puisi 02 (Frame Publishing, 2009)
3. Paul Ricourer berbicara tentang sintaksis dan sifatnya yang “rule-governed” dan “rule-changing“. Konsep tersebut diterapkan di sini untuk semantik. Lebih lengkap lihat paul Ricourer, The Rule of Metaphor (London: Routledge & Kegan Paul, 1978) hal. 110-111.
4. Diadaptasi dari naskah “Puisi, Penyair, dan Intelektual Publik; Untuk Goenawan Muhammad 60 Tahun” (Pidato Ignas Kleden dalam Rangka 60 Tahun Gunawan Muhammad)
5. Perbandingan ini dipinjam dari penyair Amerika, Gregory Corso, dalam karangannya yang terdapat dalam Howard Nemerov, hal. 220. (Chicago, 1967).

Benny Arnas, lahir di Lubuklinggau. Puisi-prosaiknya Perempuan yang Dihamili oleh Angin menjadi salah satu pemenang Krakatau Award 2009. Buku kumpulan cerpen pertamanya Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010). Tinggal dan berkarya di Lubuklinggau (Sumatera Selatan)

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/hati-adalah-lubuk-merah-membaca.html

Rabu, 25 Mei 2011

Siti Maryam Award

Salman Rusydie Anwar
http://sastra-indonesia.com/

Di suatu malam yang lengang dan bergerimis, saya mengisi kejenuhan dengan menonton televisi bersama istri. Saya tidak tahu apa nama acaranya. Maklum, sejak beberapa bulan ini saya berusaha untuk tidak terlalu berketergantungan pada kotak ajaib itu. Selain tidak menemukan acara yang benar-benar mendidik dan mendewasakan, saya juga merasa kerap dikecewakan oleh televisi karena hampir 90% acaranya hanyalah main-main. Saya bukan anti tv. Tapi sekadar tidak merasa terlalu butuh kepadanya.

Di dalam acara yang saya saksikan malam itu, tampak ada seorang perempuan artis yang sedang menjadi bintang tamu. Menurut host acara itu, perempuan tersebut baru saja melahirkan. Dan memang kelihatan kalau ia baru melahirkan. Badannya melar layaknya perempuan yang memang habis melahirkan.

Tetapi yang membuat saya tercenung adalah ketika istri saya mengatakan bahwa perempuan itu ternyata melahirkan tanpa jelas diketahui siapa ayahnya. Astaghfirullah. Saya mencoba menahan diri untuk tidak mengutuk, membenci dan meremehkannya walaupun godaan itu teramat besarnya di dalam hati. Lebih jelasnya, saya niatkan kata-kata istighfar itu untuk memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang sekiranya menimpa saya seandainya saya terlanjur mengutuk perempuan itu. Selebihnya, saya juga memohonkan ampunan atas perempuan itu kepada-Nya karena siapa tahu artis tersebut sedang khilaf. Entahlah.

Dengan nada berkelakar, saya katakan kepada istri bahwa artis tersebut barangkali ingin menjadi “Siti Maryam” kontemporer yang bisa hamil tanpa harus ada suaminya. Mungkin ia ingin menguji dan membuktikan kembali kekuasaan Allah bahwa Dia benar-benar berkuasa untuk membuat seseorang hamil tanpa perantara suami sekalipun.

Namun tak penting benar kelakar itu ditanggapi. Satu hal yang pasti. Saya melihat betapa si artis yang hamil tanpa suami itu kelihatan benar-benar menikmati kelahiran anaknya yang tanpa ayah. Senyumnya terus mengembang menanggapi berbagai gojekan dan pertanyaan si host acara. Jangankan penyesalan, niat untuk menyesal sepertinya tak pernah terbersit di dalam hatinya. Dia terlihat sumringah seperti perempuan pada umumnya yang habis melahirkan namun jelas siapa suaminya.

“Bagaimana sampeyan menanggapi masalah itu?” tanya istri saya tiba-tiba.
Saya tergeragap. Bukan karena saya tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaannya. Tetapi apa perlunya saya menanggapi masalah kehamilan dan kelahiran si artis itu. Dia bukan saudara dan famili saya. Juga bukan sahabat saya. Sekalipun dia artis, dia juga bukan idola saya dan saya tak pernah merasa menyaksikan aktingnya di depan mata kepala saya sendiri. Secara sosiologis, saya merasa tidak punya tanggung jawab apa-apa terhadap semua perbuatannya. Silahkan dia mau hamil lagi dan lagi tanpa ada suami, silahkan. Bahkan silahkan saja dia mau berganti kelamin dan kemudian menghamili perempuan lain sesama artis, juga silahkan.

Artinya, saya tidak punya koneksi apa-apa dengan dia. Meskipun saya dibayar untuk menjadi idola yang ditugaskan mengelu-elukan dirinya sebagaimana yang terlihat pada penonton yang hadir di acara itu, insya Allah saya tidak akan mau. Dalam hidup ini, saya sudah memiliki idola yang setiap waktu selalu saya rindui paras wajahnya. Bahkan tiap detik saya usahakan untuk menyebut-nyebut namanya:

Ya ayyuhalmusytaaquuna ilaa ru’yati jamaalihii, shalluuu ‘alaihi wa sallimuu tasliima
Engkau yang menyimpan kerinduan untuk bertatapan wajah dengan keindahan beliau, bershalawatlah kepadanya.

Itulah idola saya dalam hidup ini. Jadi, mohon maaf, seandainya dia datang sendiri ke rumah saya dan menawarkan banyak uang dan fasilitas agar saya bersedia menjadi idola yang harus terus memujinya meski dia hamil tanpa suami, insya Allah saya akan terima uangnya dan saya berikan semua kepada beberapa anak asuh saya yang sekarang sedang mati-matian belajar menata bagaimana hidup yang benar. Selebihnya, akan saya lupakan dia.

Tetapi sesama hamba Allah, serta demi kemantapan sikap dan ilmu, saya juga merasa perlu memberi tanggapan atas pertanyaan istri saya itu. Pertama-tama yang saya kemukakan kepada istri saya adalah, kita harus segera mendoakan si artis agar ia cepat-cepat menyadari kekeliruannya. Dengan tegas saya katakan bahwa ia jelas-jelas bukan Siti Maryam dan tidak mungkin Allah mengulang mukjizatnya kepada beliau.

Bahkan Siti Maryam saja gusar, bercucuran air mata dan mengisolasi diri ketika ia diberi tahu bahwa Allah akan menganugerahkan seorang anak yang kelak akan menjadi manusia mulia, seorang Nabi, “Bagaimana mungkin saya bisa hamil, padahal saya tidak bersuami,” demikian kegusaran Siti Maryam. Lha, tapi si artis ini malah sebaliknya. Ia malah mengumbar-umbar senyumnya di depan kamera. Ia jumpa pers segala, mengabarkan bahwa ia telah melahirkan anak. Anak tanpa ayah.
Hmmm….

Kemudian yang kedua, kalau Allah menimpakan dosa berat kepada si artis karena ia telah hamil tanpa suami hingga sekaligus ia melahirkan anak tanpa ayah, maka sejatinya menurut saya, dosa itu juga berlaku bagi penonton yang hadir dalam acara itu. Sebab mereka datang dan dibayar untuk menyaksikan, menyoraki dengan penuh kegembiraan dan mengelu-elukan dengan penuh kekaguman hingga substansi kesalahan dan dosa si artis menjadi lumer dan samar-samar. Bahkan tak terlihat sama sekali, tergilas oleh nuansa hiburannya. Tetapi kita berdoa, agar mereka tidak menyangka bahwa yang dilakukan si artis adalah tindakan yang benar hanya karena mereka dibayar dan masuk tv. Ya, ampun, kata Popeye.

Di luar hujan bertambah deras. Saya tak lagi fokus pada acara televisi. Tetapi pada diskusi soal si artis. Namun belum selesai saya mengurai-nguraikan pendapat, istri saya malah memberi informasi tambahan bahwa si artis yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami itu mendapatkan penghargaan dari salah satu lembaga, entah LSM atau apa.

“Penghargaan. Penghargaan karena apa?” saya terlonjak.
“Penghargaan karena dia tidak menggugurkan kandungannya meski itu hasil hubungan dengan orang yang bukan suaminya.”

Wah…wah, kelucuan macam apa lagi ini. Orang yang melahirkan anak tanpa jelas siapa suami atau ayah dari anak tersebut malah mendapatkan penghargaan. Sementara ada seorang istri yang melahirkan anak tetapi kemudian ditinggal oleh suaminya sehingga dia harus banting tulang peras keringat sendiri untuk membiayai anaknya, kok malah “aman-aman” saja dari penghargaan, kok malah tidak menjadi bintang tamu acara televisi, kok malah tidak dikagumi para penonton.

“Coba saya banyak uang,” kata saya pada istri, “Saya pasti akan membuat acara penganugerahan “Siti Maryam Award” kepada artis-artis Indonesia yang hamil dan melahirkan anak tanpa suami. Akan saya kemas agar acara penganugerahan itu bergengsi, mendapatkan banyak sponsor, bahkan kalau perlu harus mendapatkan restu langsung dari Allah, para nabi dan para malaikat.”

“Kenapa begitu?” tanya istri
“Ya, biar makin banyak lagi artis-artis yang bersedia dibuahi rahimnya oleh laki-laki yang itu jelas-jelas bukan suaminya. Acara itu pasti akan menghasilkan banyak keuntungan. Sebab semua rakyat Indonesia pasti menyukai dan tertarik karenanya. Soalnya mereka kan artis. Mereka mau hamil dua puluh tiga kali tanpa suami pun, masyarakat tetap akan mengidolakannya, penasaran ingin tahu kabarnya dan syukur-syukur mereka mau mengikuti perilakunya.”

Di luar, hujan sudah reda. Meninggalkan suasana dingin yang memungkinkan bagi saya berdua untuk lekas-lekas masuk kamar tidur dan melakukan sebuah upaya regenerasi sejarah.
Hmm…

Kebumen, Jum’at 19 Maret 2010.

Ibu yang Anaknya Diculik Itu

Seno Gumira Ajidarma
http://cetak.kompas.com/

Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.

Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.

”Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. ’Orang hilang diculik kok tidak mendapat simpati,’ kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. ’Saya selalu teringat Satria, Ibu, saya tidak bisa’,” katanya.

”Tapi inilah soal yang pernah kubicarakan sama Si Saras. ’Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,’ kataku, ’tapi cinta adalah soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…’ Ah, Saras, memang rasanya ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria, seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…”

Ibu sudah sampai ke kursi tempatnya duduk tadi, dan duduk lagi di situ. Ibu terdiam, melihat ke kursi tempat Bapak biasanya duduk. Lantas melihat ke sekeliling.

”Bapak… Kursi itu, meja itu, lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali… Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya…

”Jadi dalam setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah pergi. ’Satria sudah mati,’ katanya!”

Ia menggigit bibir, berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis.

”Tidak! Aku tidak mau percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku, bahwa kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.”

Ibu memandang ke arah kursi Bapak.

”Pak, Bapak, kenapa kamu hancurkan semua harapanku? ’Kita harus menerima kenyataan,’ katamu. Nanti dulu, Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.”

Perempuan dengan rambut kelabu itu tampak kuat kembali.

”Bapak sendiri yang bilang, ada teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka. Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya, foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, ’Kami tahu siapa saja keluarga Saudara.’

”Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan monyet-monyet! Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman Satria itu tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing maksudnya? Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?”

Saat Ibu menghela nafas, ruangan itu bagaikan mendadak sunyi.

”Sudah sepuluh tahun. Satria sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.”

Dipandangnya kursi Bapak lagi. Sebuah kursi kayu dengan bantalan jalinan rotan. Jalinan yang sudah lepas dan ujungnya menceruat di sana-sini.

”Apa Bapak ketemu sama Satria di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak dan Satria tertawa-tawa di atas sana melihat aku membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk kalian berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian saja. Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi apa salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian berdua selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti itu?”

Sejenak Ibu terdiam, hanya untuk menyambungnya dengan suara bergetar.

”Kadang-kadang aku bermimpi tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga terkenang-kenang kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati. Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi.

Jiwa terasa memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang…”

Lantas nada ucapannya berubah sama sekali, seperti Ibu berada di dunia yang lain.

”…. jauh, jauh, ke langit, mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah, meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan saat membakar dunia…”

Ibu mendadak berhenti bicara, berbisik tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya.

”Ah! Ya ampun! Jauhkan aku dari dendam!”

Namun ia segera melepaskan tangannya.

”Tapi…. bagaimana mungkin aku merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum juga hilang atas perilaku kurangajar semacam itu.”

Nada bicaranya menjadi dingin.

”Menculik anak orang dan membunuhnya. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?”

Hanya Ibu sendiri di ruangan itu, tetapi Ibu bagaikan merasa banyak orang menontonnya, meski semakin disadarinya betapa ia sungguh-sungguh sendiri.

”Bapak… aku yakin dia ada di sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang meninggalkan dunia yang fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya? Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari memang hilang begitu saja? Ya, begitu saja… Bahkan orang mati saja masih bisa kita lihat jenazahnya!”

Seperti masih ada yang disebutnya Bapak di kursi itu, tempat seolah-olah ada seseorang diajaknya bicara.

”Pak, Bapak, apakah Bapak melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa cerita dia kepada Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?”

Namun Ibu segera menoleh ke arah lain.

”Ah! Bapak! Dia sudah tahu semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih dulu kalau ingin tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi. Dulu aku bisa bertanya jawab dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri….

”Tapi apa iya aku sendiri? Apa iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak orang yang juga kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan takperlu berlalu itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?”

Terdengar dentang jam tua. Tidak jelas jam berapa, tetapi malam bagaikan lebih malam dari malam. Ibu masih berbicara sendiri, dan hanya didengarnya sendiri.

”Bapak, kadang aku seperti melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton televisi, memberi komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu, pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…

”Sebetulnya memang tidak pernah Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai setahun lamanya, sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu malam entah karena apa.

”Sudah sepuluh tahun, banyak yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah.”

Di luar rumah, tukang bakmi tek-tek yang dulu-dulu juga, tukang bakmi langganan Satria, lewat. Ibu tampak mengenali, tapi tidak memanggilnya.

”Bagiku Satria masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada. Memang lain sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya pekerjaan ngibulin orang. ’Ya enggaklah kalau ngibul,’ kataku, ’apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?’. Biasanya Bapak ya cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada saja yang dia omongin itu.

”Aku sendiri rasanya juga sudah mulai pelupa sekarang. Susah rasanya mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun. Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana…”

Ibu tersenyum geli sendiri.

”Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, ’Seperti apa Satria kalau masih hidup sekarang?’, atau ’Sedang apa ya Satria di sana?’, atau kadang-kadang keluar amarahnya: ’Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata, sembunyi-sembunyi pula!’

Wajah Ibu kini tampak sendu sekali. Bahkan tokek untuk sementara tidak berani berbunyi.

”Bapak, kenapa kamu tidak pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria? Pasti Satria menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana dia diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi.

”Kenapa kamu tidak sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu seperti biasanya.

”Memang kamu selalu muncul dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari betapa kenyataan begitu buruk.

”Duduklah di situ dan ceritakan semuanya tentang Satria.

”Ceritakanlah semua rahasia….”

Ibu masih berbicara, kini seperti kepada seseorang yang tidak kelihatan.

”Kursi itu tetap kosong. Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong. Apakah semua ini hanya akan menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui isinya?

”Rahasia sejarah. Rahasia kehidupan.

”Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu.

”Ini suatu aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….

Telepon genggam Ibu berdering. Ibu seperti tersadar dari mimpi. Ibu beranjak mengambil telepon genggam.

”Pasti ibunya Saras lagi,” gumamnya.

Tapi rupanya bukan.

”Eh, malah Si Saras.”

Ibu mengangkat telepon genggamnya di telinga.

”Ya, hallo… “

Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Saras, telepon genggam itu terloncat dari tangan Ibu yang terkejut, seolah tiba-tiba telepon genggam itu menyetrum.

”Gila!” Ibu berujar kepada tokek di langit-langit yang tidak tahu menahu.

”Para pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!”

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar