Senin, 21 Maret 2011

Belajar dari Ketragisan Bandung Bandawasa

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

Kemegahan candi Prambanan di perbatasan Yogyakarta Timur masih menyisakan kemegahan dan misteri. Di tempat itu juga menyimpan kronik sejarah yang dapat dijadikan bahan ajar untuk kita, manusia Indonesia. Prambanan sebagai simbolisme perjuangan melawan kesewenangan kekuasaan yang didorong keserakahan nafsu dan ambisi manusia. Juga mengenai peliknya perjuangan cinta yang disertai hujan air mata yang menderas darah dan berakhir dengan penghianatan. Lalu apa yang musti kita pelajari dari sana?“Ya sejarah, Kang! Berkisar tentang bagaimana kentalnya feodalisme manusia Jawa.” Ucap Dhimas Gathuk yang langsung menerobos ketika saya belum sempat menjelaskan apa pun.

Sejarah? Memang demikian, mengenai sejarah manusia Jawa yang secara khusus mengenai pergolakan sosial politik kerajaan Jawa. Ketika kita menyatakan, “kerajaan feodalnya Jawa” justru memberikan kesan negatif. Pun, sebelum pembicaraan ini dimulai. Tentu saja, kesan negatif untuk manusia Jawa dan feodalisme itu sendiri. Akantetapi, dalam kesempatan ini marilah kita berpikir subjektive untuk tanpa menghakimi, dengan berusaha melihat manusia dan feodalisme sebagai suatu kesatuan. Keberadaan manusia dan feodalisme sebenarnya memiliki nilai positif, meskipun orang-orang Bolshevik terus bersikukuh kalau kehidupan manusia tanpa feodalisme adalah kehidupan yang lebih baik. Suatu impian, bahwa negara digerakkan oleh kekuatan dan kekuasaan rakyat. Toh, dalam struktur pemerintahannya pun, akan tetap menghasilkan feodalisme.

Inti dari sistem feodal tidak hanya mengacu pada tuan tanah, maupun penggolongan manusia borjouis dan proletar. Lebih jauh dari itu semua, feodalisme memiliki hakekat mengenai kepemimpinan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam negara demokrasi, kapital sampai dengan komunis, sistem feodal masyarakat akan terus ada. Pandangan ini karena meninjau dari segi esensi mengenai feodalisme itu sendiri yang berupa: nilai kepemimpinan. Manusia yang hidup berkelompok, harus ada, salah seorang dari anggota manusia yang maju sebagai pemimpin. Perlu dijadikan bahan perbincangan kali ini adalah bersangkutan dengan nilai kepemimpinan; kepemimpinan yang seperti apa? Mestikah seorang agamawan muncul sebagai pemimpin?

Menurut saya, percuma juga ada kepemimpinan jikalau berbagai penindasan – yang secara langsung maupun tidak langsung, dan ketidak-adilan terus ada untuk menyiksa manusia yang ada di dalam kelompok masyarakat tersebut.

Pasti, orang yang memimpin adalah orang yang memiliki kekuasaan, sebab salah satu pendorong terlaksananya suatu kepemimpinan adalah aspek kekuasaan. Manusia yang memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, jika tidak memiliki kekuasaan tidak bisa menjalankan kepemimpinan yang dimiliki.

“Tapi bisa memimpin dengan memberikan contoh, menjadi teladan dengan memimpin dirinya sendiri!” sahut Kangmas Gathak yang kelihatannya sudah mulai gerah.

Itu idealnya, dan terkadang tidak menjadi alternatif dalam dunia perpolitikan suatu negara yang membutuhkan adanya kekuasaan dan pengakuan. Kepemimpinan sebagai kekuasaan, yang mana memiliki sifat melindungi, menjadi pengayom manusia yang dipimpin, melindungi kehormatannya sendiri sebagai pemimpin, menegakkan keadilan, dan serta mewujudkan kehidupan yang selamat.

Prabu Damar Maya sebagai simbolisme kepemimpinan dan kekuasaan kerajaan Pengging. Ketika kerajaan mendapati suatu ancaman dari Prabu Baka yang ambisius akan kekuasaan, Prabu Damar Maya bertindak. Damar Maya dengan sekuat tenaga melindungi wilayah kerajaannya, yang secara tidak langsung sebagai proses perlindungan terhadap seluruh rakyat yang ada di wilayah itu. Perlu kita ingat, kalau kerajaan Pengging adalah kerajaan ideal, yang mana kehidupan rakyatnya dijalankan dengan penuh keadilan, makmur, tentram dan sentosa. Wilayah Pengging sendiri adalah wilayah yang subur, kekayaan berlimpah ruah yang akhirnya menjelma sebagai godaan yang terus merayu Prabu Baka untuk menguasai.

Hal yang sungguh lumrah, sikap yang dimunculkan oleh Prabu Baka. Karena, meskipun Prabu berwujud Raksasa tetap memiliki sifat alamiah manusia, tidak pernah puas walau sudah memiliki satu kerajaan. Dalam kisah ini, Prabu Baka hadir sebagai simbol dari kejahatan, pemerintahan yang korup dan sewenang-wenang, tidak mampu menjalankan sistem kekuasaan untuk melindungi rakyat Baka. Karena kepemimpinan yang lemah dari kekuasaan Baka, rakyat pun tidak terlindungi bahkan dari diri Prabu itu sendiri.

“Itu artinya, pemimpin seperti Prabu Baka itu orang lemah. Sikapnya itu tidak mencerminkan kekuasaan yang dimiliki.” Ungkap Kangmas Gathak sambil merokok.

“Heh? Mosok seorang Prabu tidak memiliki kekuasaan, Kang?” sahut adik kami, Dhimas Gathuk.

“Kekuasaan itu melindungi yang dikuasai. Melindungi dari berbagai ancaman yang dapat membuat rakyat – atau yang dikuasai, itu menderita. Melindungi sekuat tenaga dan upaya, bahkan melindungi dari diri sendiri. Berani untuk mengorbankan kepentingannya sendiri demi keberlangsungan kebahagiaan orang-orang yang dikuasai. Itu, baru namanya kekuasaan.” Kangmas Gathak menjelaskan.

Dalam konteks ini, memang benar apa yang sudah dijabarkan Kangmas Gathak, hakekat dari kekuasaan adalah perlindungan dan kepemimpinan. Memimpin yang juga berarti melindungi, sebab nasib seluruh manusia yang ada di bawah kekuasaannya bergantung dari bagaimana pemimpin itu menjalankan fungsinya. Jikalau ada pemimpin yang tidak melindungi, sama halnya kita dipaksa untuk masuk ke dalam api. Kepemimpinan yang tidak melindungi sama halnya dengan pembinasahan, pembantaian dan itu bukan esensi dari kepemimpinan dan kekuasaan.

Manusia yang tidak mampu melawan dirinya sendiri dapat dipandang sebagai sebagai manusia lemah, sebab tidak mampu menguasai (memimpin) dirinya sendiri. Lantas, bagaimana bisa diandalkan untuk memimpin orang banyak?

Prabu Damar Maya beraktivitas dalam rangka menjalankan sistem kepemimpinannya, bertindak menghalau invansi Prabu Baka. Bersebab itu, Prabu Damar Maya mengutus anaknya sendiri, Bandung Bandawasa untuk berperang. Maju dan mempertaruhkan nyawa demi keselamatan rakyat Pengging dari kekuasaan Prabu Baka yang merusak. Sebab, dalam cerita ini digambarkan mengenai hasil dari kekuasaan yang merusak yang disimbolkan melalui kerajaan Baka. Diceritakan, rakyat Baka mengalami kesengsaraan karena dipaksa mengikuti nafsu rajanya ketika berambisi menaklukkan Pengging.

Dari fenomena ini dapat kita lihat bagaimana peran Prabu Baka yang tidak mampu menjadi pemimpin, toh walau memiliki kekuasaan. Dan ketika ada seorang pemimpin yang hidup enak, berlimpah, bahagia, bahkan menjadi tambah gemuk, namun kondisi rakyatnya kembang kempis, sehari makan lalu sehari tidak makan, maka pemimpin seperti ini bukanlah seorang pemimpin. Dia adalah Prabu Baka yang menitis dalam diri pemimpin.

“Walau pemimpin itu mendapatkan wahyu keprabon?” sahut Dhimas Gathuk dengan cepat.

Seperti itu.

“Walau sudah terbukti dua kali mendapat wahyu keprabon?” sahut Dhimas Gathuk yang berusaha mempolitisir perbincangan untuk menunjuk hidung panjang seorang pemimpin yang pernah operasi tahi lalat.

“Hahaha…” Kangmas Gathak tertawa saja.

Meskipun Tuhan Semesta Alam telah menunjuk seseorang itu menjadi pemimpin, tidak lantas seorang Prabu berhak untuk menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang. Membiarkan rakyat yang dititipkan Tuhan Semesta Alam untuk jatuh di dalam penderitaan sama halnya dengan menghina kemudian menantang pemilik rakyat itu, yang juga pemilik kekuasaan yang sebenarnya: Tuhan. Perlu kita memahami, bahwa kepemimpinan yang dititipkan Tuhan Semesta Alam adalah kepemimpinan yang berhati nurani, bukan bernafsu naluri. Ibaratnya, meskipun seorang Prabu harus mati, hal yang terpenting adalah keselamatan rakyatnya.

“Ah, si Bandawasa memang menang dalam peperangan, tapi dia juga kalah.”

Itulah permasalahan mengenai kekuasaan!

Bandung Bandawasa memang sudah memenangkan peperangan, pun akhirnya dengan sendirinya mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan atas wilayah dan kerjaan Baka yang sudah berada di bawah kakinya. Sampai akhirnya, Bandung Bandawasa menemukan perempuan cantik, langsing dan cantik bernama Rara Jonggrang. Melalui pertemuan ini, Bandung Bandawasa merasa mendapatkan giliran untuk menguasai kekuasaan, yang secara tidak langsung menempati posisi Prabu Baka yang sudah dikalahkan.

Lagi-lagi, manusia yang berkuasa berusaha memanfaatkan kekuasaan itu untuk memenuhi hasrat diri yang termanifestasikan ke dalam simbol, yaitu Rara Jonggrang itu sendiri. Saya membaca bahwa keberadaan Rara Jonggrang merupakan pengejawantahan dari hasrat manusia. Yang mana selalu menginginkan hal yang indah, menyenangkan, dan tentu saja nikmat. Aspek ini merujuk pada keinginan akan kesenangan duniawi, yang mana kecantikan Jonggrang memancar dari tubuh (duniawi) yang ditangkap oleh pandangan (baca: ranjau hawa nafsu) Bandung Bandawasa.

Bandung Bandawasa berhadapan dengan keinginannya sendiri, untuk menikahi (baca juga: menikmati) kecantikan Jonggrang yang menggiurkan dan menggairahkan. Untuk mencapai hasrat itu, Bandung Bandawasa dihadapkan pada dua syarat yang harus terpenuhi dalam rangka mendapatkan kenikmatan duniawi. Pertama, mengenai pembuatan Sumur Jalatunda yang mana dapat dipahami sebagai lubang gelap dari keinginan (nafsu) manusia yang menjebak. Seperti ketika Bandawasa memasuki sumur Jalatunda, langsung dikubur oleh Patih Gupolo atas perintah Jonggrong. Bandawasa sadar bahwa dirinya telah dipermainkan namun masih saja terbujuk hawa nafsu untuk membuat seribu candi, sebagai persyaratan yang kedua. Seribu candi yang diinginkan Jonggrang dapat kita maknai sebagai seribu keinginan manusia.

“Kenapa Jonggrang harus curang yang jutru membuat seribu candi tidak selesai?” Kangmas Gathak dan Dhimas Gathuk bersepakat menanyakan hal yang sama.

Inilah, penghianatan dari bujuk rayu keinginan (nafsu) manusia. Bandawasa hanya bisa menyelesaikan 999 buah candi, karena keinginan manusia tidak pernah selesai sehingga Jonggrang menyiasati agar tidak genap seribu. Kalau misalkan saja sudah genap seribu candi, berarti keinginan manusia telah selesai, namun sifat dari keinginan manusia itu sendiri tidak pernah selesai sampai mati, sehingga sikap Jonggrang dapat kita pahami. Keadaan ini nampaknya disadari Bandung Bandawasa yang menyelesaikan keinginannya dengan merubah Rara Jonggrang menjadi candi yang keseribu. Artinya kesenangan (hawa nafsu) harus dibunuh untuk mencapai kekuasaan yang sebenarnya, karena sebelum keinginan manusia itu mati, tidak akan mencapai kekuasaan yang sebenarnya, bersebab diri manusia itu sendiri masih dibawah kekuasaan hawa nafsu (keinginan).

“Nah, itulah yang dipesankan Nabi, bahwa memerangi hawa-nafsu, diri manusia sendiri adalah perang terbesar setiap manusia.” Sahut Kangmas Gathak dalam senyuman bangga.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Kamis Pon, 11 Maret 2011

KETAKLAZIMAN PRINGADI ABDI SURYA

Judul : Dongeng Afrizal
Penulis : Pringadi Abdi Surya
Tebal : 166 halaman
Edisi : cetakan I, 2011
Penerbit : Kayla Pustaka _ Jakarta
Peresensi : Lina Kelana
http://sastra-indonesia.com/

Kesan pertama setelah tuntas membaca Dongeng Afrizal, pikiran saya langsusng tertuju pada sang penulis, bahwa Pring (Panggilang Pringadi Abdi Surya) sedang tak waras, atau memang sudah tak waras lagi. Dan Pring harus bertanggung jawab manakala ada beberapa orang yang merasa pusing atau bahkan gila setelah membaca bukunya. Bagaimana tidak? Keliarannya benar-benar “tak beradab”.

Dari Surat ke Delapan hingga Senja terakhir di Dunia, saya mendapati kedalamanan dan ketakwarasan itu sudah “direncanakan” atau “terencanakan” di alam bawah sadarnya : sebelum atau pada saat ia menulis. Bukan hal yang tak mungkin ini membuat krenyit di kening pembaca. Beberapa kali kita diajaknya berlari, terpeleset, berjinjit, tersungkur, mundur menata kuda-kuda, dan kadang meloncat-loncat dalam imaji. Jadi tak salah jika saya bilang “Pring memang tak waras”.

Pada Surat ke Delapan, Pring menghadirkan konflik “kecil” dalam hubungan suami istri. Suatu kesalahpahaman yang tak dikomunikasikan, ternyata berpengaruh menimbulkan prasangka-prasangka “sepihak” yang menimbulkan masalah-maslah lain(baru) untuk selanjutnya.

Kisah seorang Alina hampir mendominasi cerita dalam buku ini. Kisah klasik Romeo dan Juliet yang diramu dalam berbagai versi dan“menu” , De Ja Vu yang tak bisa lepas dari kisah hidup anak manusia.

Resital Kupu-Kupu, Setan di Kepala Ibu, Djibril dan Aku, Maconda Melankolia, dan Fiksimaksi : Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, sebagai ketakwajaran yang disuguhkan dengan “kengerian dunia lain”. Alam Ketuhanan yang dibuntal dengan gaya “ekstrim” ini bisa menyesatkan banyak kaum.

Keseluruhan cerita dalam realita, atau realita dalam certia di Dongeng Afrizal ini sangat kental dengan “penjelajahan” batin dan filsafat. Tak kalah seru dalam epilognya yang menampilkan beberapa rumus matematika, yang, oleh sebagian pembaca mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan. Mungkin juga demikian menurut sang penulis. Tetapi tahukah? Ruang-ruang yang coba ditampilkan, rumus-rumus matematika yang kaku dan baku, juga filsafat dan Ketuhanan, tak bisa dilepaskan dalam kehidupan seorang individu. Di sadari atau tidak semua hal di alam ini, bahkan ilmu pengetahuan adalah filsafat (Perbincangan bersama Khrisna dan Sholahuddin di suatu sore di beranda rumah). Dan itu memang benar. Filsafat yang dianggap sebagai kegilaan menuju kemurtadan kepada Tuhan tak lain dan tak bukan adalah perjalanan batin manusia mengenal Tuhannya. Bukankah untuk mengenal Tuhan lebih dari sekedar syari’at–(syariat + hakekat)–dibutuhkan suatu ketiadaan diri, ketiadaan identitas dan keinginan, serta segala yang lekat pada ke”diri”an seseorang? Dan kita semua tahu, itu hanya dimiliki oleh orang yang sudah mengalami “gila”. Gila(menghilangkan diri) terhadap diri sendiri dan gila (mabuk kepayang)untuk senantiasa menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang di hati dan “diri” kita. Dan ingatkah? Bagaimana kisah kegilaan Kusrau terhadap Syirin, Qais dan Layla juga serentetan kisah cinta lainnya. Secara harfiah memang, baik Kusrau maupun Qais tergila-gila dengan Syirin dan Layla, demikian juga sebaliknya. Tetapi lebih dari itu, mereka “mengagungkan” dan telah “gila” akan makna sebuah”cinta”. Bagaimana perjuangan, kenikmatan, dan efek yang diberikan cinta, tentang arti kerelaan, ketakberdayaan, pengorbanan, perjuangan, keikhlasan, juga macam nilai moral lainnya. Dan penggemblengan atas semua itu tak lain merujuk pada sifat-sifat mulia, yang tak lain dan tak bukan adalah manifestasi dari sifat-sifat yang 99 (Asmaul Husna) itu.

lalu apa hubungannya dengan kelimabelas cerita dalam Dongengnya Pringadi?
Tauhid dimaknai sebagai (mem)percaya(i) bahwa Allah itu satu/Esa.

Ketauhidan adalah kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap keesaan Allah s.w.t. Sesuatu yang dimiliki setelah selampauan peristiwa-peristiwa yang dialami disertai dengan pembuktian-pembuktian (sengaja atau tidak) yang didukung oleh kebenaran-kebenaran empiris, logika, juga dalil-dalil (aqli dan naqli).

Tak berlebihan jika ini ditarik pada karya milik Pringadi—khususnya terlihat pada epilognya—yang nyleneh itu. Ilmu matematika adalah ilmu yang berhubungan dengan logika. Dan logika perlu, bahkan harus dimiliki dan gunakan di dalam hidup dan kehidupan. Logika yang meliputi : categoriae (mengenai pengertian-pengertian), de interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), analitica priora (tentang selogisme), analitica parteriora (mengenai pembuktian), topika (mengenai berdebat), dan de sophisticis elenchic (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Lepas dari beberapa pengertian yang ada dan bisa disistematikakan : logika naturalis,ilmiah, tradisioanl, modern, formal, deduktif, induktif, dansebagainya, logika sangat diperlukan untuk memahami dan menyakini sesuatu hal lewat penginderaan (lahir ataupun batin). Dan jika sampai pada ranah ini, kita menyebutnya sebagai keimanan. Keimanan terhadap Tuhan, benda, peristiwa, atau apapun (tergantung bagaimana diri pribadi menerjemahkannya).

Tauhid + logika, artinya berpikir tentang Tuhan, ketuhanan, dan segala macam yang meliputi dan berkenaan dengan Tuhan dan keTuhanan. Dari pengamatan sungai, langit, tumbuhan, manusia, hewan, dansebagainya yang ada di langit dan bumi sebagai pengejawantahan ciptaan/kekuasaan Allah s.w.t.

Pemikiran tentang Tuhan, sebagaimana konsekuensi logis ajaran tauhid, merupakan salah satu dari banyak tema yang paling sentral dalam tradisi filsafat (ketauhidaan-Agama) Islam. Baik Aristotelian, Neoplatonisme, Paripatetisme, maupun Illuminasionisme.1)

Ketidakwarasan dan “kemurtadan” Pring yang sedemikian kompllit dituturkan dalam gaya bahasa kuat. Bahasa kepenyairan yang digunakannya meledakkan segenap kegilaan yang bisa menyesatkan umat.

Ket : 1) Analisi Matematikan Terhadap Filsafat Islam. (Abd Azis, UIN Press 2006)
Ketuhanan + rasa + imaji + ke“binal”an = Dongeng(nya) Pringadi

Maka berhati-hatilah.
Haha….

Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F Rahardi

Hamsad Rangkuti*
Kompas, 24 Agus 2008

DALAM acara Temu Sastra, Masyarakat Sastra Asia Tenggara di Palangkaraya, yang tidak dihadiri F Rahardi, saya menganjurkan—dan ini memang tugas saya karena saya diundang untuk itu—agar para pengarang muda tidak menghabiskan perhatian dan waktunya untuk main akrobat dengan kata-kata karena ada kecenderungan pada kaum muda—seperti saya waktu muda—untuk cenderung berakrobat dengan kata-kata (Kompas, 15/7). F Rahardi kemudian menulis tanggapan di media ini berdasarkan potongan ucapan saya yang dia ramu dengan imajinasinya sendiri. Tanggapan jenis itu pernah juga dia tulis mengenai pernyataan saya bahwa ”Sastra = kebohongan”. Nada kedua tulisannya sama, yaitu nada seorang penilik sekolah atau pertanian dengan fatwa-fatwa tegas: ”ini salah, itu kurang bagus, begini, begitu” kepada para guru atau petani yang keringat dan darahnya menjadi satu dengan pendidikan dan tanah pertanian. Sebagaimana guru dan petani Indonesia yang sopan dan rendah hati (boleh juga rendah diri) di hadapan pejabat penilik, saya pun hanya manggut-manggut takzim. Itu saya lakukan pada tindakan F Rahardi untuk ”meluruskan” saya (ini istilah Rahardi sendiri). Kini sang penilik itu dengan lantang menulis lagi di koran ini untuk kembali ”meluruskan saya”. Tapi, karena ini era reformasi dan para petani atau guru tidak selalu harus takzim pada teguran mereka yang gemar menjadi penilik, saya kemukakan beberapa jawaban. Jawaban ini sama sekali bukan tindakan untuk ”meluruskan”: F Rahardi, karena berbeda dengan Rahardi yang dengan gaya penilik berfatwa saya ”jelas salah” dan jenis-jenis itu, saya tidak begitu yakin apakah saya salah atau benar dan Rahardi salah atau benar. Toh, pembaca lebih cerdas dari yang sering kita duga.

Pengarang muda (atau tua) memang tidak sepatutnya main akrobat kata-kata. Entahlah kalau pengarang itu memang mau jadi politikus yang ahli dan gemar akrobat kata-kata. F Rahardi mengatakan bahwa tren penulisan prosa dewasa ini cenderung mengutamakan style. Lepas dari benar tidaknya ucapan dia, para pengarang sejati tidak ada urusannya dengan tren. Apakah Marguez ikut-ikutan tren? Kalau Chairil Anwar ikut-ikutan tren yang ada waktu itu, saya kira sastra Indonesia tidak akan mencatat nama Chairil Anwar sebagai sastrawan hebat. Kalau Rendra juga ikut-ikutan tren tahun 50-an, buat apa kita semua membaca dan menghargai Rendra. Salah satu saran saya buat pengarang muda, juga buat pengarang tua seperti F Rahardi kalau dia masih mengarang, jadilah diri sendiri dan jangan ikut-ikutan tren.

Tren mengutamakan style tentu tidak ada hubungannya dengan akrobat kata-kata. Lagi pula F Rahardi hanya menyederhanakan saja waktu mengatakan bahwa tren dunia mengutamakan style. Dunia atau bukan, pengarang sejati tidak mengutamakan style karena style adalah hasil pergulatan pengarang sejati dengan hidup. Novel Jelinek dan novel-novel Orhan Pamuk adalah novel-novel hebat dan tidak ada pada mereka aksi genit akrobat kata-kata dan mengutamakan style. Begitu juga dengan Naipaul. Semua novel ini sudah beredar terjemahannya dalam bahasa Indonesia, jadi gampang dicari. Mungkin saya salah contoh karena mereka memang bukan pengikut tren alias kurang trendy.

Ada pernyataan menarik lain dari F Rahardi, yaitu ”Pada perkembangan lebih lanjut, terutama pada prosa yang ditujukan semata-mata sebagai hiburan, plot menjadi hal utama. Tokoh diciptakan demi kelancaran plot. Itulah yang terjadi pada ”sastra sinetron kita”. F Rahardi yang menyebut-nyebut Iwan Simatupang tentu ingat esai terkenal Iwan yang berjudul ”Mencari Tokoh bagi Roman” dan pentingnya tokoh bagi sastrawan. Justru soal tokoh inilah yang paling gawat pada sinetron-sinetron kita. Semua tokoh dalam sinetron tidak ada yang kuat dan mengesankan maka plotnya pun membosankan. Sinetron kita mungkin style-nya ikut tren, tapi tokoh-tokohnya payah sampai-sampai hal dasar tokoh pun tidak jelas (latar belakang, pekerjaan, etnik, pendidikan, hobi, dsb) sampai sinetron berakhir.

Mengenai fatwa Rahardi bahwa saya di Palangkaraya itu, seyogianya cukup bercerita bagaimana proses kreatifnya berlangsung, tentu saya terima dengan takzim. Tentu dia berfatwa begitu karena saya bukan orang sekolahan dan hanya otodidak. Lain kali kalau ada undangan untuk cerita proses kreatif, saya akan cerita proses kreatif. Saya tahu diri hanya akan bicara proses kreatif saja. Di luar itu pasti salah. Dan kalau ada undangan dari sana-sini untuk membicarakan urusan di luar proses kreatif, saya akan menolak dan menyarankan panitia untuk menghubungi F Rahardi saja. Karena, meskipun F Rahardi sama seperti saya sama sekali bukan orang sekolahan (saya hanya sampai SMP), dia jauh lebih pandai daripada saya, lebih canggih, lebih teoretis, dan lebih trendy.

Yang paling membuat saya kagum dan takjub dalam tulisan Rahardi adalah pernyataannya bahwa saya cemburu kepada sastrawan muda, khususnya Triyanto dan Afrizal. ”Cerpen Triyanto dan esai Afrizal Malna, inilah, dugaan saya, (saya = F Rahardi) yang membuat Hamsad melontarkan ‘Akrobat Kata-kata‘ itu.” Untuk urusan ini, mohon janganlah F Rahardi suka menduga-duga. Afrizal dan Triyanto menulis bukan baru kemarin sore. Sewaktu saya masih menjadi Pemimpin Redaksi Horison, saya berkali-kali memuat tulisan mereka, jadi mengapa saya harus cemburu dan mengapa baru sekarang saya buka suara! Kalau F Rahardi menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal Malna hanya akrobat kata-kata, itu sepenuhnya urusan dia dan tak perlu membawa-bawa saya. Kalau F Rahardi menganggap Afrizal dan Triyanto pengarang muda, lantas siapa pengarang tua selain dia dan saya? Atau Rahardi juga masih mau mengaku muda?

Apakah Rhoma Irama kebakaran jenggot karena cemburu kepada Inul atau karena memang ada yang membakar jenggotnya, itu urusan dia dan saya juga tidak tahu apa penyebabnya karena tidak bertanya. Apakah F Rahardi kebakaran jenggot (saya bohong—istilah F Rahardi berimajinasi—karena Rahardi tidak punya jenggot) pada pernyataan saya karena cemburu kepada saya yang cuma bakat alam, atau karena mencari simpati alias cari muka Triyanto yang sekarang menjadi pengurus Pena Emas, itu tak mau saya bahas. Buat apa bergunjing kalau kita bisa berkarya. Tapi, mengatakan saya jealous alias cemburu kepada Afrizal Malna atau Triyanto? Please dong ach (pakai bahasa Inggris juga dong). Pertama, saya tidak pernah menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal akrobat kata-kata (ini sepenuhnya anggapan Rahardi); kedua, karena anggapan itu anggapan pribadi F Rahardi, maka kecemburuan juga boleh jadi kecemburuan pribadi Rahardi yang seolah-olah mau ditimpakan kepada saya.

Apakah kekuatan novel Ayu Utami tentu masih bisa diperdebatkan. Apakah kekuatannya ada pada style (seperti kata Rahardi), pada bagian Prabumulih (seperti kata saya), pada politik propaganda terpadu (seperti kata Katrin Bandel), atau pada urusan seksnya (seperti dibicarakan banyak orang). Saya kira pembahasan masalah ini urusan orang sekolahan atau urusan F Rahardi meski dia bukan orang sekolahan.

Saya berpendapat dan saya yakini bahwa sastra yang baik bukanlah akrobat kata-kata. Boleh saja F Rahardi punya pendapat berbeda. Adapun akrobat atau cari perhatian tentu tergantung dari konteksnya dan tergantung dari kualitasnya. Ketika ada acara gamelan atau konser musik klasik, dan orang-orang sedang menikmatinya, bisa saja F Rahardi mencoba datang dengan kelompok drumband melagukan mars lalu melintas di sana. Kadang-kadang kita bisa saja berakrobat dengan kata-kata seperti dilakukan F Rahardi dalam tulisannya menjelaskan ini dan itu. Sebatas akrobat kata-kata mungkin belum terlihat. Tapi, coba dipraktikkan dan ha ha ha setelah itu mari kita bicarakan lagi hasilnya.

Terakhir, dan ini penting, adalah soal kebohongan dalam sastra. Saya pernah mengemukakan bahwa ”sastra = kebohongan”. F Rahardi sebagaimana dia katakan pernah ”meluruskan” (sumpah, kata ”meluruskan” ini dari Rahardi sendiri lho). Maka, ketika penerbit meminta saya memasukkan tulisan Rahardi di buku saya, saya setuju saja agar semua orang bisa membaca tindakan ”meluruskan” itu yang tentu saja tidak ada gunanya. Saya sampai sekarang tetap beranggapan bahwa ”sastra = kebohongan”, dan semua orang saya kira paham maksudnya. Betulkah saya harus menjelaskan kepada Rahardi bahwa kata kebohongan di sana adalah kiasan, perumpamaan, dan sebagainya. Sebagai bukan orang sekolahan yang tak paham teori-teori, saya menyebutkan bahwa sastra = kebohongan.

Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan, sastra adalah fiksi alias kebohongan. Tentu saja kalau saya katakan kebohongan, maka tidak ada kaitannya dengan kebohongan para petinggi atau politisi yang gemar korupsi serta menebar janji palsu. Apakah Sukri benar-benar membawa pisau belati seperti yang digambarkan dalam cerpen saya ”Sukri Membawa Pisau Belati” sama sekali tidak penting. Apakah Garin tua dalam ”Robohnya Surau Kami” AA Navis benar-benar ada dan benar-benar membunuh dirinya gara-gara kata-kata Ajo Sidi, sama sekali tidak penting. Sastra bagi saya adalah sebuah kebohongan kreatif, kebohongan yang indah untuk mengajak pembaca melihat kenyataan dengan lebih baik lagi. Putu Wijaya pernah mengatakan bahwa karya-karyanya adalah sebuah Teror dan F Rahardi menulis Pidato Akhir Tahun Seorang Germo. Bagi saya kedua ungkapan itu bukan fakta. Sebagai seorang sastrawan, saya mengaku dengan jujur bahwa ”sastra = kebohongan” dan saya tidak perlu tersipu atau pura-pura alim untuk membuat macam-macam argumentasi moral yang baik-baik untuk menutupinya atau sekadar ”meluruskannya”. Itu sebabnya, saya tidak pernah menganggap F Rahardi seorang germo karena toh karya sastra = kebohongan. Entah kalau Rahardi sendiri menganggap bahwa dia tidak berbohong dan dirinya memang benar-benar germo.

Sudah ah, saya mau kembali berbohong, eh menulis karya sastra, kebohongan yang indah.

*) Cerpenis, Pemenang Khatulistiwa Award, Penghargaan Khusus Kompas 2001, Mantan Pemred Horison.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/wacana-akrobat-kata-kata-kebohongan-dan.html

Menggagas Esensi Sastra

Mohammad Takdir Ilahi*
Seputar Indonesia, 10 August 2008

PERBINCANGAN seputar sastra menjadi topik yang menarik untuk dieksposisikan ke permukaan. Sastra dalam lingkungan masyarakat sudah dikenal dan meluas. Bahkan, di pondok pesantren pun sastra menjadi bagian yang tak terpisahkan dan inheren dalam kehidupan santri.

Secara substansial, sastra adalah hasil karya dan karsa manusia yang dimulai dari inspirasi jiwa dan imajinasi yang tinggi. Dari sinilah akan terbentuk sebuah karya sastra yang fenomenal dan menakjubkan. Karya sastra dalam proses pembentukannya lebih menitikberatkan pada satu perspektif yang indah dengan melalui khayalan dan imajinasi.

Artinya, sastra tidak sampai kepada logika berpikir secara realistis, tetapi lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat fatamorgana dan halusinasi. Dalam membentuk karya sastra,dibutuhkan adanya internalisasi dalam membayangkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan pancaindra.Artinya, kita lebih banyak terjun ke alam bebas, mengobservasi dan melakukan intervelasi dalam menemukan makna hidup yang sebenarnya.

Referensi aspek-aspek karya dalam sastra merupakan inklinasi unsur formal yang kemudian dikonfigurasikan melalui legitimasi naratif dengan eksposisi sistem wacana dan citra bahasa sehingga seolah-olah menjiwai totalitas hasil karya sastra.Sastra bisa masuk pada pemahaman interdisipliner dan tidak hanya sastra belaka. Tetapi, lebih kepada aspek sosialteoritis, psikologi, sejarah, dan juga kebudayaan.

Karena itu,sastra sangat penting dikonfigurasikan dan dikonstruksikan secara imajinatif,tetapi kerangka imajinatif tidak lepas dari kerangka empirisnya.Dalam hal ini,karya sastra tidak semata-mata memiliki relevansi pada gejala individual, tetapi juga melalui gejala sosial.

Karya sastra memang bukan merupakan keseluruhan objektivitas kehidupan. Ia adalah bentuk karya yang mengedepankan aspek imajinatif dari pada aspek objektif.Bahkan,Plato, seorang Filsuf Yunani,dalam bukunya Ion dan Republika melukiskan mekanisme antara seni dan sastra semata-mata merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide.Jadi, karya sastra tidak lebih dari tiruan secara hierarkis yang berada di bawah kenyataan (realitas).

Perkembangan Sastra

Dalam kehidupan masyarakat,sastra telah menjadi bagian integral dan esensial dalam memanifestasi kehidupan. Manifestasi itu kemudian dijadikan barometer untuk mengonsiskan sastra sebagai wujud dan realisasi memajukan sastra Indonesia.

Perkembangan sastra di sini telah mampu menunjukkan taringnya dan membuktikan ketenarannya sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Melihat realitas perkembangan sastra yang sudah sangat meluas di kalangan masyarakat, saya kira perlu ada intensifikasi sastra ke arah yang lebih progresif.Hal ini untuk menjadikan sastra sebagai kultur masyarakat Indonesia secara integral. Upaya untuk mengonsiskan sastra dalam kehidupan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan.

Salah satunya dengan banyak mengadakan seminar-seminar kesusastraan dan kebudayaan. Dengan seminar itu diharapkan banyak orang yang tertarik untuk menekuni bidang sastra, terutama bagi kawula muda yang talentanya masih perlu diasah secara total. Sastra pada hakikatnya merupakan hasil kerja keras manusia dalam menemukan ekspirensi yang lebih komprehensif.

Dengan karya sastra, manusia akan mampu mengembangkan kreativitasnya secara total sehingga hasil karya sastra kita bisa lebih produktif dan imajinatif. Sastra sering juga dipahami melalui dominasi metode dan teori strukturalisme semiotik dengan berbagai implikasinya. Hasil yang dikonstruksikan dari karya sastra sangat mengagumkan karena penuh dengan berbagai keindahan.

Terlepas dari penggunaan metode dan teori semiotik yang sangat utuh di atas, ada asumsi yang mengatakan bahwa sastra memiliki ciri khas yang pada akhirnya menjadi landasan menarik.Salah satu hal yang menjadi ciri khas itu adalah linguistik strukturalisme. Culler (1976: 21) berasumsi bahwa strukturalisme dengan landasan linguistik akan tetap relevan apabila digunakan untuk mengeksposisikan gejala-gejala yang bersifat sosiokultural. Aspek-aspek sosiokultural tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari terbentuknya karya sastra.

Esensi Sastra: Antara Kreatif dengan Imajinatif

Pada dasarnya, sastra akan membuat kita termotivasi untuk membangun imajinasi dan inspirasi. Dalam dunia sastra, kita mengenal dua kerangka yang terkait dengan polarisasi fungsi penulis dengan para pembaca, khususnya dalam pemahaman karya menurut kerangka yang ada.

Menurut saya, dunia sastra tidak hanya identik dengan dunia “gila”. Yang lebih substansial adalah bagaimana kita bisa menghasilkan karya fenomenal bagi para pembaca.Karya fenomenal tersebut nantinya akan menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin menekuni bidang sastra. Untuk menghasilkan karya tersebut, seseorang harus memiliki kemampuan kreativitas dan imajinasi yang lebih mendalam.Keduanya merupakan landasan dalam menghasilkan karya sastra.

Dalam karya sastra, kita dituntut untuk menge k s p o s i s i k a n bahasa melalui tulisan yang indah. R e – lasi penulis dengan hasil karyanya (bahasa yang digunakan) pada akhirnya dapat menentukan sejauh mana kualitas imajinatif karya sastra kita. Maka, tak mengherankan ketika Roger Fowler, (1977: 80) mengungkapkan bahwa bahasa berfungsi untuk membatasi kemungkinan interpretasi teks bagi para pembaca. Bahasa bukanlah milik individu, melainkan untuk masyarakat.

Karena itu, dimensi imajinasi dalam karya sastra merupakan unsur yang paling esensial dalam struktur karya sastra. Sebaliknya, dalam karya sastra, yang harus dihindari adalah sesuatu yang bersifat ilmiah. (*)

*) Pemerhati Masalah Agama dan Budaya, bergiat di Annuqayah Institute Yogyakarta.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/esai-menggagas-esensi-sastra.html

Minggu, 20 Maret 2011

Epidemi Para Pencari Kematian

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Segalanya ada dalam diri kita. Juga kematian. Tapi bukan mati karena meyakini pandangan yang belum teruji. Karena aku tak percaya bila tiap-tiap perjuangan membutuhkan pengorbanan dan meniscayakan kematian. Untuk apakah kita berkorban ketika tak mesti ada pengorbanan? Untuk apa kematian itu? Mengubah nilai perjuangan? Bahwa pengorbanan nyawa demi membela keadilan dan harkat martabat kemanusian? Bahwa itu sikap luhur dan mulia yang mesti diwariskan pada anak cucu para calon pejuang?

Puan, aku punya pengalaman yang menyedihkan. Dalam sebuah majelis yang sedang mempersiapkan aksi turun ke jalan, terjadi perdebatan sengit mengenai keharusan pengorbanan dalam perjuangan. Bahkan di antara kami ada yang bilang: saya siap menjadi korban pertama dalam demonstrasi nanti. Yang lain bertanya: apakah pengorbanan saya akan didengar dan punya dampak bagi perjuangan, sementara saya bukanlah tokoh publik? Teman satu lagi bilang: kalau kamu tetap paksakan untuk memasang badanmu, itu konyol. Satu lagi langsung mengusulkan agar yang sudah menyandang titel tokoh pejuang yang dicalonkan korban. Si tokoh langsung menimpal: saya khawatir aparat tak berani menyentuh saya karena pasti media akan heboh. Betul, kata yang lain menimpal.

Kisah di atas bisa terjadi dalam lembaga mana saja; lembaga agama atau lembaga yang ngurus soal hak asasi manusia. Alhasil, yang namanya pengorbanan menjadi kenyataan tak terelakkan. Dan ini kian ditegaskan dalam semboyan: setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Bahkan seorang penulis pernah bilang: setiap perjuangan punya martirnya sendiri.

Saya merinding mendengar kata-kata gagah itu. Hidup harus diakhiri untuk sebuah nilai dan mutu perjuangan, seolah-olah prinsip tersebut sudah teruji kebenarannya. Fakta memang sering memperlihatkan korban dan martir dalam perjuangan, namun bukan berarti bahwa tesis nilai perjuangan dengan pengorbanan itu sudah menjadi ketetapan ilahi yang kebenarannya tak bisa diganggu gugat. Saya bisa menyela dengan tanya: bukankah alasan itu hanya sebuah dalih yang menjadi dalil? Sebuah waham menjadi paham? Suatu kekeliruan yang menjadi tak terhormat adalah kekeliruan yang memiliki satu lagi kharisma yang meninabobokkan. Membius.

Kharisma pembius jauh lebih berbahaya dari seorang pemberontak nilai yang mapan yang karenanya ia mati untuk dirinya sendiri. Lebih berguna bilamana ajaran seseorang datang dari akibat ia sendiri terbakar, tapi tidak sebagaimana pemimpin laron yang mengajak laron-laron lain untuk menutungkan dirinya. Kharismatik pembius memang tak ubahnya laron yang buta oleh cahaya yang berbahaya hingga pikiran waras dan nalurinya rabun oleh kefanatikan.

Seorang Pramoedya Ananta Toer—yang separuh hidupnya menjadi manusia bubu—justru bersikap menghargai hidup ketimbang menampilkan pribadi kharismatik, yang mengingatkan kita bahwa kebenaran belum pernah bergandengan tangan dengan mereka yang fanatik, yang hanya bisa menyalak disaat dunia seharusnya menuntut diam dengan refleksi.

Orang-orang yang menyerahkan segenap jiwa dan raganya demi mengubah realitas sosial-politik yang membelenggu rakyat tak lebih sebagai pemuja pesona dan aura dan karena itu ia menjadi musuh bagi hidup yang mesti dijalani. Mereka adalah para pemuja massa dan pasar dan siang. Pemuja yang menyihir jutaan orang untuk mengorbankan nyawa demi hal serupa tanpa ia sendiri sadari. Tanpa ia sendiri bertanggungjawab. Dan inferensitas ini telah menjadi hambatan terbesar terhadap semangat pencarian kewaspadaan.

Ketololan sejarah perang dunia pertama dan kedua justru terletak pada penampilan terhormat kepada lawan-lawan mereka dalam menganugerahkan kepada mereka ketakjuban terhadap sahid. Sikap lebih menghargai fanatik feodalistik ketimbang kewaspadaan dan kerendahan hati ialah sejenis dengan alienasi diri. Tak menghargai ikhtiar dan anugerah dari Tuhan. Memperkosa martabat sendiri, dan di atas semuanya: patologi yang berbahaya. Sebuah epileptik untuk membikin kagum massa rakyat yang besar, lebih mengedepankan nafsu ketimbang akal sehat, mencibir nalar dan intuisi untuk merayakan gerakan atau demi menjunjung karnaval siang yang kemeriahan. Inilah musuh kebenaran yang paling berbahaya ketimbang sebuah dusta karena sikap tidak ingin melihat sesuatu yang ia melihatnya, ingin tidak mensyukuri dimana seharusnya ia mensyukuri. Dengan kata lain: sebuah kias sahidiah, analogi para idealis kesiangan, silogisme militeristik yang gemar berperang.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang sebaliknya? Mereka yang memuja malam, bertafakur dalam diam dan menjunjung puisi liris yang mencekam, gelisah, resah, yang berjalan di keremangan, sunyi senyap, sepi, di saat seharusnya mereka terjun ke dalam siang dan jalan raya, sama saja. Dengan wajah yang terbalik, orang-orang inilah yang meliriskan epidemi para pencari kematian tapi tak mati-mati seperti Nietzsche dan Chairil: dua pemuja malam yang mewariskan kharisma pembius kepada banyak orang.

Aku mencintai siang untuk mencintai malam. Jiwaku terlalu lunak dan halus untuk sekadar mencintai malam. Maka kususuri siang yang terang, jalan-jalan yang gemuruh suara demonstran. Aku terjun ke tengah pasar, ke tempat-tempat pesta dan kubiarkan diriku bergolak diterpa jeritan dan histeria massa. Aku tak pernah tahu nikmatnya malam, o, tanpamu siang yang meradang menghantam jiwaku.

Kujelajahi bentuk dan ruang hingga kedalaman, yang di mata orang-orang pemuja malam dan kebebasan tak pantas dirayakan. Aku menjalani, melintasi satu demi satu kerumunan orang-orang, karena aku tak pernah bisa merasakan kebebasan yang meluap-luap tanpa sakitnya berbenturan dengan batas, jarak dan tali peranti yang mengekang. Kehendakku yang melimpah-ruah kini tak pernah kusadari tanpa keterbatasan dan belenggumu, o ruang, o bentuk, o kedalaman.

Aku gembira karena penaku menari-nari di tengah pasar, di antara sesaknya transaksi. Fantasiku terbang melayang hingga tak lagi kusadari bahwa aku tengah dikerumuni massa yang menuntut keadilan dan pembebasan. Wahai, kalian pemuja malam dan bayang-bayang, apakah kalian tidakj merasakan keterbatasan ruang antara? Kalian hanya bernyanyi sunyi tapi tak pernah seperti nyanyi sunyi seorang bisu yang justru berkumandang nyalang di saat siang, memilih dicabik-cabik suara bising anak-anak muda.

Wahai, kalian yang memilih berjalan di hutan dan lautan, ini aku datang, sang pengelana siang membawakan yang pahit kau dapatkan, lebih gersang dari kau rasakan, lebih lebur dan hancur dari hembusan angin malam. Kalian yang hidup dalam perbatasan, dalam keresahan, kecemasan dan keterkejutan. Kalian para penyair telah lama terperangkap dalam angan-angan yang membuai menghayutkan. Tanpa kalian sendiri sadari, diri kalian hanya boneka mainan yang senantiasa dikendalikan oleh hasrat ingin seperti al-Hallaj, Nietzsche, dan Chairil, oleh para penari jagat, penari tambang, dan binatang jalang. Tataplah wajah-wajah para penari siang ini, masuklah ke dalam rengkuhan terang, kalian akan merasakan nikmat yang kudapatkan. Siang dan malam teori dan aksi inilah ironi si kembar siam. Keduanya sama sebagai kharisma pembius dan epidemi para pencari kematian.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Jumat, 18 Maret 2011

Hikayat Prapanca

Dwicipta
http://suaramerdeka.com/

BILA suatu saat anak cucuku bertanya kenapa aku menuliskan kakawin ini, adakah mereka tahu jika telah kusuling dendam kesumatku menjadi puji-pujian memabukkan dalam kakawin ini?”

Dadanya berdegup kencang menyaksikan hasil karyanya selama ini. Udara pegunungan sore hari terasa semilir. Mestinya bisa mendamaikan kekisruhan dalam dirinya. Sayang, ia diliput bayang-bayang kelam masa lalu. Pertanyaannya lesap begitu saja pada angin semilir yang tak juga mendamaikan hatinya, pada keping demi keping penghinaan seperti yang ia terima pada sidang para pujangga di depan Baginda beberapa tahun lalu, peristiwa pahit yang kini tetap saja bagai tiada berjarak dan terus meluapkan amarah. Di tiap keping penghinaan itu seolah terdedah rabu, memanaskan darah dan mendesirkan hati. Kulit mukanya terasa terus menerus terkelupas bila membayangkannya.

“Demi tujuh turunanku kelak, aku, yang oleh mereka disebut Prapanca, tak akan melupakan ucapan mereka di depan Baginda Raja. Hanya aku seorang yang memamah dendam ini, selamanya,” ikrarnya ketika ia meninggalkan istana.

Sungguh menggelikan bila dipikir-pikir sekarang. Ia putar kedua biji mata tuanya menikmati alam pegunungan. Ia biarkan cantrik-nya, seorang remaja tanggung yang menemani di kaki gunung ini, pergi entah ke mana. Tak biasanya ia membiarkan cantrik polos itu bermain-main tiada guna. Bila telah selesai melakukan berbagai pekerjaan, ia meminta pada remaja tanggung itu membaca kitab-kitab kuno di dalam ruangan belajarnya atau menyalin tulisannya ke kain sutera. Ah, kenapa ia harus memaksakan sesuatu hal yang belum tentu bisa diterima oleh orang seusianya? Dunia anak kecil seperti cantriknya itu adalah ladang dan teman-teman sebaya, bukan pekerjaan serius seperti yang ia lakukan saat ini. Aih, betapa waktu membuatnya makin tak menyadari segala hal, Semakin uzur ia merasa makin takut kehilangan segala hal sementara pada saat bersamaan ia telah banyak kehilangan berbagai hal tersebut. Sungguh menjengkelkan.

Berpuluh tahun ia telah bersusah payah mengikuti setiap anjangsana baginda Hayam Wuruk ke wilayah-wilayah bawahan, bahkan sampai ke mancanegara. Tiada kurang ia menjelaskan pada Sang Putra Langit betapa seluruh negeri telah makmur di bawah dulinya, betapa rakyat tenang dan berwajah sumringah selalu, tiada peperangan atau pencurian. Gemah ripah loh jinawi. Ia haturkan tembang-tembang terbaik yang mampu ia ciptakan, tentang air hujan yang menjadi tirai mutiara, atau matahari yang laksana cahaya gaib raja dan tunduk pada titah paduka. Tapi apa kata mereka semua dalam persidangan para pujangga itu.

“Tampaksara, Tampaksara, kau tak bisa membuat kakawin! Kau tetap lelaki kasar dari desa. Yang meluncur dari mulutmu hanya lagu-lagu pujian rakyat jelata. Tak layak dihaturkan kepada duli paduka,” seru Mpu Dwipayana.

Nada suaranya menggelegar bagai petir, meresap ke liang telinganya seperti amukan Dewa Agni.

“Kau mau mencari muka di depan Baginda? Ah, mengimpi! Kau bukan dari kelas brahmana. Tiada sedikit pun kau mewarisi kesaktian dan mantra dari jalinan kata-kata seperti kami. Kau hanya cantrik gagal Resi Sedapati, brahmana gunung yang hanya tahu bertapa itu,” ujar Wikana.

Ketika ia berani mencuri pandang ke arah sang Baginda, ia mengunci mulut, menatap lurus padanya tanpa menghakimi ataupun membela. Dewa Batara, duka apa yang harus kutanggungkan ini? Di hadapan para pujangga, hanya Resi Jagat Maya yang bisa mendinginkan suasana, dan menatap lembut padanya yang telah menjadi kambing congek.

“Sudahlah. Tampaksara, sekarang pergilah ke pertapaan gurumu, dan mawas diri di sana agar kau bisa memahami laku raja dan dunia, memahami dunia seluruh kaum,” katanya.

Kini getir di mulutnya terasa makin keras oleh warna-warna kelam dan jingga langit.

“Jagad Dewa Batara, Penguasa Alam Raya, bumi Jawa tiada lagi memiliki penghargaan layak pada para kawula yang mengabdi dan memberikan sembah bakti pada Sang Raja. Setelah Sang Airlangga wafat, siapa lagi yang mampu menghidupkan pandangan bahwa semua manusia setara? Prabu Hayam Wuruk kuharapkan mewarisi kebesaran Sang Airlangga. Namun apa mau dikata? Ia dikelilingi oleh para pujangga dan kaum brahmana, golongan yang memiliki keagungan pejal dengan menistakan kaum di bawahnya. Betapa diri ini tersiksa!”

“Kau pantas mendapat sebutan baru, wahai Pertapa Gunung. Prapanca, ya, kaulah Prapanca. Tahukah engkau arti Prapanca? Cakapnya lucu, pipinya sembab, matanya ngeliyap dan gelaknya terbahak-bahak. Kau terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru atau menjadi panutan. Sifatmu adalah bodoh, tak menurut ajaran tutur, dan pantasnya dipukul berulang-ulang,” sebut Mpu Dwipayana.

Sembari berbicara, ia menirukan segala mimik wajahnya seperti badut, membuat seluruh hadirin di istana tertawa-tawa seperti melihat sebuah pementasan para pelawak.

Ibu, kutuk apa yang kau timpakan padaku? Bukankah ketika aku berada dalam kandunganmu, Sang Hyang Jagat telah mewariskan dalam diriku cahaya keagungan yang terpancar ketika kau mengandungku, cahaya yang berpendar-pendar ketika kau hendak tidur. Ibu, apakah kau telah timpakan kutuk padaku sebab telah meninggalkanmu tanpa pulang, tak menyembah kaki sucimu dan menyambangi abu sucimu. Oh, betapa swargaloka di bawah telapak kakimu itu telah menistakan aku.

Ia menyentuh seloka terakhir yang dituliskan. Semuanya ada sembilan puluh empat seloka. Dari tiap seloka, seolah darah mengalir dari tubuhnya, membuka kembali luka-luka yang berusaha ia kubur dalam ketenangan yoga, namun juga luka yang tak pernah bisa terobati. Air menderas dari kedua kelopak matanya, menghilir di wajah perempuan bermata mutiara yang terbayang di pelupuk matanya. Berpuluh-puluh tahun sudah ia melupakan di mana kuburnya. Panggilan pulang lewat mimpi demi mimpi hanya singgah sebentar dalam pertimbangannya. Ia terlalu suka bertualang, menghamba pada kekosongan, takhta yang tak memberi apa-apa padanya selain penghinaan.

Sekali dalam hidupnya, pernah ia menemani Mpu Winada yang tinggal di kaki Gunung Mahameru. Betapa ia baru memahami palapa yang ditakutkan oleh Winada. Lelaki itu tiada silau oleh gemerlap kuasa, tak lekang oleh goda dunia dan selalu bertekun dalam tapa. Sepuluh musim tinggal bersamanya, ia tahu bagaimana lelaki itu membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina, tak mendebat atau meremehkan orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan diri dari dari kesukaan pada sesuatu benda maupun kewibawaan, tiada mau mencacat.

Kini, apa yang ditulis, mengapa kulit mukanya terasa terbakar? Ia diliput dendam, dan menghina diri sendiri karena dendam pada semua dan segala?

“Jagad Dewa Batara, setelah kutuliskan kakawin ini, apalagikah yang bisa kulakukan untuk membersihkan diri dari segala cacat dunia? Ibu, Mpu Winada, ampunkan ketamakanku dalam memuaskan dendam,” ia terus merintih dalam selimut senja.

Mulutnya makin getir. Ia tiada terdorong sedikit pun atas suatu perasaan cinta bakti kepada Baginda dalam menuliskan kisah perjalanan Sang Raja. Lagipula, untuk apa menghamba pada raja tanpa alasan? Ia membuat puja sastra ini dengan berkorban rasa, dan walaupun bersiap akan kembali ditertawakan, lebih dikarenakan oleh balas dendam. Jauh pada masa kecil, ia telah mendengar dari mulut ibunya tali tak putus yang telah menghanguskan dan meluluh-lantakkan bumi Jawa.

“Tiada lain, Nak, karena tali dendam mengikat kita semua, terutama orang-orang di lingkar kuasa dan kata. Tiada hari bagi mereka tanpa memikirkan bagaimana mengagulkan diri di hadapan orang, sembari mematikan orang lain. Tiada mereka menggunakan pedang atau tombak kecuali atas nama darah keluarga dan kemegahan kuasa. Manusia alangkah menyakitkannya hidup dalam temali dendam semacam itu.”

“Apakah tali itu menakutkan dan menyesatkan kita semua?” ia bertanya dengan bola mata membeliak karena tak mampu menjangkau apa yang dikatakan perempuan bermata mutiara itu.

“Aku bertahan hidup karena dibiayai oleh dendam, Nak. Semenjak ayahmu tiada, kau mesti tahu bagaimana aku dihinakan oleh kerabat dan sanak saudara. Kau tahu muka-muka mereka. Ingatlah, manusia semakin cantik, ia semakin licik. Manusia semakin tampan, ia semakin kejam tiada tandingan. Makin berkuasa, makin lihai ia menindas kita. Dalam satu masa hidupku, aku bersumpah atas nama Hyang Widhi supaya bisa meruntuhkan mereka. Namun seiring waktu, aku tahu perasaan semacam itu hanya merusak batin kita,” katanya.

Alangkah benarnya. Ia ragu untuk apakah semua daya upayanya selama ini. Apakah untuk membungkam mulut Dwipayana, Mpu Agung istana yang telah merendahkan swarga loka di bawah nafsu-nafsu serakahnya?

Ia telah melarikan diri dari lingkar kemunafikan, lari oleh nasib badan terhinakan. Kemewahan istana telah membuatnya canggung dari rakyat jelata. Hatinya gundah selama bertahun-tahun karena ketidaksenangan tinggal di dusun terpencil, berhadapan dengan kata-kata kasar dan kepolosan bagai telanjang. Tiada jarang ia nelangsa, rugi tiada mendengar ujar manis…

“Ujar manis, betapa itu juga membelenggu. Aku telah menjadi buta, tuli, tak mampu memancarkan sinar memancar dalam kesedihan seperti Mpu Winada.”

Ia teringat ajaran sang Mahamuni. Sampai sekarang tidak pernah ia resapkan ajaran sang Mahamuni akan kerendahan diri dan pengabian pada yang kecil dalam hidupnya.

“Berharap kasih sayang yang tak kunjung datang akan membuat kau cepat layu, mati sebelum sempat memiliki keturunan.”

Duh, Gusti, Jagad Dewa Batara, kenapa semua pemahaman ini baru datang setelah aku menyelesaikan kakawin ini? Ingin rasanya membakar semua kemunafikan yang telah ia tulia itu. Ia melirik pada kakawin itu dan melihat pupuh terakhir, pupuh ke sembilan puluh empat.

Kelam senja menebalkan warna jingga terakhir, membuarkan aroma kematian yang sangit di lubang hidungnya. Gegap gempita istana dan sampur di sepanjang perjalanan membahana di telinganya. Wajah-wajah angkara yang semula begitu amat dibenci sekaligus dirindukannya. Tiba-tiba ia tertawa-tawa.

?Winada, Ibu, dan sang Mahamuni, aku ini disebut Prapanca oleh para pembesar istana! Akulah memang Prapanca itu, manusia yang terus munafik, penggubah kakawin demi tujuan memuja diri sendiri! Jika tiada kutambahkan sedikit lagi pada kakawin ini dengan membubuhkan siapa aku, akan terkutuklah aku selama-lamanya. Swargaloka tiada mau menerimaku. Demi Jagad Dewa Bathara, akan kuberanikan diri membubuhkan jati diriku. Akan kuberitahukan kepada anak cucuku kelak siapa sebenarnya aku ini!? katanya pada diri sendiri, setengah berteriak di depan pondoknya.

Ia membawa masuk kakawin yang terkumpul dalam bilah-bilah bambu itu dan mulai menyalakan api, mempersiapkan alat tulisnya. Tangannya bergerak-gerak tanpa berhenti, menambahkan empat pupuh tanpa membutuhkan waktu lama.

Hari telah sempurna malam ketika ia meletakkan alat tulis terakhirnya. Baru disadari tenaganya telah luruh semua dalam karya yang telah ia dedahkan selama mengasingkan diri. Ia tak merindukan lagi gegap gempita istana, seloka-seloka yang diperdengarkan di depan baginda, gegap gempita para kawula di sepanjang anjangsana, atau perubahan musim yang tak boleh ia luputkan demi kebahagiaan pembesar kerajaan.

Angin meniup dingin. Cantriknya, seorang anak lelaki muda belia dengan raut muka cemas, masuk dan berniat membasuh kakinya. Ia merebut tempayan air dan membasuh kakinya sendiri.

“Kau dan aku sama. Kita bukan siapa-siapa. Mulai besok bantulah aku menyalin ini ke dalam daun-daun lontar atau kain sutera simpananku yang dihaiahkan seorang saudagar China. Sedapat-dapatnya tidak ada kesalahan. Ambil makanan dan kita makan bersama,” katanya dengan nada lembut.

Anak lelaki yang beranjak dewasa itu ternganga oleh sikapnya, dan hanya mengikuti perintahnya dengan gerakan tubuh tanpa roh. Malam turun di kaki gunung itu, dingin dan senyap. Keduanya bersiap makan malam, dalam satu piring. Lelaki tua itu kini merasa api panas dalam dadanya menyurut, perlahan-lahan bagai api kecil, berlenggak-lenggok tertiup angin keras.

Yogyakarta, 11 Februari 2006

Rabu, 16 Maret 2011

Hidup Matinya Sastra Indonesia di Tangan Redaktur

Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id/

MATINYA kritik sastra, yang pasti disebabkan oleh tidak adanya karya sastra yang layak untuk dijadikan pembicaraan kritik sastra.

Memang, banyak faktor lain sebagai penyebabnya, antara lain (1) minat baca sastra dari masyarakat yang rendah, (3) persepsi yang salah bahwa karya sastra hanyalah produk khayalan, klangenan, dan karenanya tidak layak sebagai bagian dari sumber untuk keilmuan interdisipliner. Tidak seperti halnya di negara-negara yang sudah pesat perkembangan keilmuannya, yang memposisikan karya sastra sebagai bagian dari inspirasi keilmuan interdisipliner.

Memang, kita melihat realitas, setiap Minggu berbagai koran menyediakan rubrik sastra, berisi cerpen, puisi, dan sketsa pemikiran tentang seni secara umum, sekalipun tidak untuk kritik sastra. Ini merupakan fakta bahwa penerimaan masyarakat pembaca terhadap karya sastra yang tiap Minggu dimuat di media massa, khususnya pembaca yang memiliki daya kritis, masih memposisikannya seperti fungsi kertas koran: setelah dibaca headline-nya, lalu menjadi kertas bungkus.

Apakah salah sikap penerimaan masyarakat terhadap karya sastra koran seperti itu? Sebagai produksen yang baik, tentu tidak akan gampangan menyalahkan bahwa konsumennya adalah bodoh semua, sebab tidak mau mengonsumsi produknya. Kenyataan bahwa masyarakat tidak melakukan respons terhadap karya sastra, tidak berarti masyarakat itu bodoh atau belum melek sastra. Hal itu benar jika kita melihat dari sudut pandang sastrawan.

Tetapi, dari sudut pandang masyarakat, bagaimana? Karya sastra merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap realitas sosialnya, karenanya bentuk kebudayaan, pikiran zaman secara po atau kontra terefleksi di dalamnya. Karenanya pula, bentuk dan pikiran di dalam karya sastra semestinya dapat direpresentasikan keterkaitannya dengan kebudayaan yang mengkonstruksinya, atau sebagai refleksi bagi kebudayaan secara luas. Jika sekarang ada fenomena, masyarakat mencuekkan karya sastra (juga di koran), itu artinya karya sastra yang ditulis tersebut tidak mampu sebagai bagian dari perkembangan produk budaya yang tengah terjadi di dalam masyarakatnya. Karenanya, karya sastra yang demikian tidak diapresiasi oleh masyarakatnya, juga tidak menjadi perhatian kritikus sastra.
Mengapa karya sastra yang ditulis sastrawan tidak mendapat sambutan kritik?

Tahapan kritik itu berangkat dari apresiasi (apresiation) secara umum, kemudian oleh pembaca ahli berdasarkan wawasan keilmuan tertentu dilakukan penilaian-penilaian (values), di situlah kritikus melakukan penghakiman (judgment) tentang baik-buruknya karya sastra tersebut berdasarkan argumentasi yang kuat. Jadi, bukan penilaian yang bersifat samar-samar (impresif), subjektif, dan tanpa argumentasi yang memadai. Jika demikian, idealnya karya sastra yang memiliki mutu, secara bentuk ia berdiri di antara konvensi agar masih dapat dirunut jejak pemaknaannya oleh pembaca, sekaligus memiliki inovasi agar segar dan tidak dicap sebagai pembebek karya sastra sebelumnya. Bila ada sesuatu yang baru, masyarakat pastilah memberi perhatian, mungkin dicaci seperti fenomena Inul Daratista, atau langsung dipuji, atau dicaci dulu kemudian dipuji. Secara isi juga demikian, sepanjang sejarah karya sastra yang baik selalu menawarkan sudut pandang yang berbeda dari karya sastra sebelumnya.

Persoalannya, jika karya sastra tidak direspons oleh masyarakat pembaca umum apalagi pembaca ahli, berarti memang karya sastra yang dimuat di koran tiap Minggu itu tidak ada sesuatu yang baru, alias biasa-biasa saja. Bahkan, banyak karya sastra yang sekadar bertarget asal dimuat dan mendapat honor, dengan melakukan reproduksi bentuk dan isi dari kecenderungan karya sastra yang sering dimuat di suatu koran. Memang, puisi tetap ditulis, tetapi dengan cara menulis ”puisi yang baik dan benar”, demikian pula ”cerpen yang baku”, juga ”novel yang sesuai dengan kaidah-kaidah”. Segala itu serba lewat begitu saja senyampang dengan datangnya koran besok pagi, koran yang kemarin tidak dibaca lagi, sebab memang tidak ada sesuatu yang baru yang ditawarkan di dalamnya. Sementara itu, masyarakat dan pers hanya akan memperhitungkan hal yang baru, yang luar biasa, dan hal itu tidak dapat disalahkan sebab sebagai tandingan hal yang rutin keseharian, yang biasa.

Namun demikian, kita tidak perlu pesimis, alasan regenerasi sastrawan dan karya sastranya memang tetap perlu, dalam hal ini peran koran amatlah menentukan bagi proses ”menjadi” perkembangan sastra. Namun pula, koran perlu memerankan fungsi kritik dengan memilih karya sastra yang benar-benar mempertimbangkan aspek kesastraan, juga aspek inovasinya. Tanpa pertimbangan itu, koran tidak akan memperoleh keuntungan apapun, sebab dibukanya rubrik sastra hanya menambah biaya cetak saja, jika pertimbangan eksistensial tidak diperhitungkan.

Tidak masalah dengan memunculkan karya dari sastrawan yang baru muncul, asal mutu sastra tetap menjadi pertimbangan utama. Sebab jika tidak demikian, justru koran turut mempurukkan matinya dialektika antara munculnya karya sastra yang cerdas, mencerdaskan masyarakat pembaca, yang melahirkan kritik sastra yang cerdas pula. Bahkan, memunculkan secara berselang-seling nama lama dan nama baru dengan karya sastranya menjadi penting sebagai perbandingan perkembangan sastra, sekali lagi tetap mengutamakan tolok ukur mutu sastra. Dilihat dari ini saja, betapa besar peran kritik sastra yang diperankan redaktur sastra untuk menyeleksi karya sastra yang bermutu.

Sesungguhnya, antara karya sastra yang baik dan kritik sastra yang bermutu, seperti antara telur dan ayam. Karya sastra yang baik akan mendorong munculnya kritik sastra yang cerdas. Demikian pula, kritik sastra yang cerdas itu pun kemudian merangsang lahirnya karya sastra yang berbobot. Tiadanya karya sastra yang bermutu, tidak berarti kritik sastra turut macet. Sebab kerja kritik sastra tatkala memberi penilaian berarti ada yang dibandingkan dengan tolok ukur karya sastra yang telah ada. Dengan begitu semestinya kritik sastra tetap ditulis berdasarkan perbandingan dengan karya sastra yang ada sebelumnya yang dipandang memiliki mutu sastra. Dari itu, memberi rangsangan akan munculnya karya sastra yang bermutu di kemudian hari.

Tetapi, apa kritik sastra kini juga turut tidak bermutu? Di luar lingkup akademik sastra memang demikianlah halnya. Di samping persilangan lontaran pemikiran seni secara teoritik, semestinya koran menyadari perlunya perdebatan wacana yang berangkat dari karya sastra. Mengapa objek kesusastraan tersebut justru tidak pernah disentuh? Sekalipun koran bukanlah satu-satunya faktor penentu perkembangan sastra, namun koran memang mempunyai potensi besar memerankan hal tersebut.

Jadi, jika dirunut urutannya, perjalanan sastra di koran sebagai berikut. Taksonomi kesusastraan ialah antara karya sastra dan kritik sastra. Kritik sastra dapat melahirkan teori sastra, dan menyumbangkan perannya kepada sejarah sastra untuk melakukan kualifikasi-kualifikasi. Dan kritik sastra itu hasil dari studi terhadap karya sastra. Sementara itu karya sastra di Indonesia penyebarannya yang terpenting melalui koran (dan majalah) sekalipun kemudian dijadikan buku. Sedangkan karya sastra di koran dan majalah, kemunculan pertamanya ditentukan oleh redaktur sastra dalam penyeleksian. Dengan begitu maju-mundurnya kesusastraan berada di tangan redaktur sastra.

Jadi: ”Redaktur Sastra yang terhormat. Jika kerinduan terhadap munculnya karya sastra yang bermutu, gelisahnya terhadap stagnasi kritik sastra, dan merasa tidak sehatnya ekologi sastra, maka Andalah sesungguhnya yang paling bertanggung jawab tentang hal-hal tersebut!’
Terima kasih.

Harga Mahal Untuk Sebuah Kesungguhan

Salman Rusydie Anwar
http://airbeningkehidupan.blogspot.com/

Beberapa tempo waktu yang lalu, seorang kawan memberitahu saya tentang adanya pemilihan lurah di sebuah tempat. Tetapi dia tidak hanya berhenti pada sebatas pemberitahuan itu, melainkan juga mengajak saya untuk memberikan suara terhadap siapa kira-kira orang yang akan saya dukung pada pemilihan tersebut.

“Saya ini dari sebuah lembaga survei independen yang akan menjamin kerahasiaan suara dukungan Anda,” katanya dalam sebuah ponsel genggam, “Jadi, santai saja, Bro. Semuanya aman dan terjamin,” lanjutnya meyakinkan.

Saya kemudian buru-buru mengonfirmasi kawan yang lain untuk menanyakan siapa saja orang yang ikut dalam kompetisi pemilihan lurah itu. Dan setelah mendapatkan jawaban, saya langsung melakukan identifikasi terhadap kontestan yang ternyata jumlahnya hanya dua orang itu.

Dalam hati saya berjanji, bahwa dalam melakukan identifikasi itu saya akan mempraktekkan ilmu katuranggan, yaitu metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan dan menggambarkan pola-pola watak dari kedua kontestan tersebut. Sebenarnya saya tidak yakin akan bisa mempraktekkan ilmu ini dengan benar sebagaimana para begawan masa lalu. Namun saya tetap ngotot untuk melakukannya.

Dan akhirnya, di tengah-tengah kesibukan melakukan identifikasi semacam itu, saya kemudian teringat dengan dua pujangga dan begawan besar dari abad lalu yang berbeda, yaitu Syekh Ali Syamsu Zen dan Ronggowarsito. Meski masa hidup kedua manusia besar nusantara ini berlainan waktu, tetapi pandangan keduanya terhadap masalah kepemimpinan nampaknya tidak jauh berbeda. Keduanya membuat parameter khusus bahwa siapa saja yang hendak diangkat menjadi pemimpin, maka faktor pertama yang harus diperhatikan adalah adanya kualitas Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu bagi para calon pemimpin tersebut.

Setelah mengingat semuanya saya juga mencoba mengingat-ngingat lagi dua kontestan yang hendak maju menjadi lurah itu. Saya menjadikan kenangan kebersamaan saya bersama keduanya beberapa tahun yang lalu sebagai jalan untuk mengenali lebih dalam watak keduanya dan mencoba menemukan apakah pada diri mereka berdua terdapat kualitas Satrio atau tidak.

Kualitas Satrio tidak lain adalah bahwa seorang pemimpin haruslah cakap, ulet, memiliki naluri sebagai seorang pejuang, profesional, menguasai masalah serta mampu mencarikan solusi atas persoalan yang ada. Tentang kualitas ini, saya yakin bahwa dua kawan saya yang menjadi kontestan untuk menduduki kursi lurah itu sudah memilikinya. Mereka adalah kaum terpelajar dan juga intelektual dimana karya-karya mereka (sebagai salah satu bukti keintelektualannya) sudah banyak menghiasi media massa. Saya lega. Ilmu katuranggan saya nampaknya berhasil dipraktekkan.

Tapi memegang kualitas Satrio saja tidak cukup karena sebenarnya masih ada kualitas yang lebih tinggi dari kualitas itu. Yakni kualitas Pinandhito. Kualitas ini mencerminkan bahwa seorang pemimpin harus tidak terpesona dengan kedudukan, harta dan popularitas, konsep serta filosofi hidupnya matang-mendalam, memiliki wisdom, mampu bersikap arif dan adil dalam menjalani kehidupan yang nyata, berkadar pemimpin rohani atau menurut istilah intelektual mereka adalah spiritually grounded.

Tentang kualitas yang satu ini tentu saya tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk berbicara lebih jauh. Yang berhak untuk mengetahui apakah pada kedua calon lurah itu terdapat kualitas Pinandhito atau tidak adalah diri mereka sendiri. Terutama mereka harus jujur apakah selama ini dalam dirinya terdapat keterpesonaan pada kedudukan, harta dan popularitas atau tidak sama sekali.

Tetapi saya berani mengatakan bahwa mungkin saja dua kontestan lurah itu tidak akan terpesona pada harta, kedudukan dan popularitas yang ada dalam jabatan lurah yang ditawarkan kepada mereka. Bagaimana mungkin mereka akan berpikir ke arah sana, lha wong mereka tidak akan digaji kok. Mereka hanya diminta untuk mengurus suatu komunitas “masyarakat” dengan ilmu, pengorbanan dan perjuangan mereka tanpa ada imbalan apa-apa. Keterpesonaan itu barangkali akan muncul jika mereka ditawari untuk menduduki posisi yang lebih bergengsi dari sekadar lurah.
“Coba saja nanti kita tanya pada keduanya,” pikir saya.

Saya pun beranjak pada identifikasi berikutnya bahwa kualitas Satrio Pinandhito masih belum lengkap tanpa kualitas lainnya, yaitu kualitas Sinisihan Wahyu. Prinsip kualitas ini sangatlah berat karena harus ada kejelasan apakah para kontestan yang “bertarung” dan para pemilih yang hendak memberikan suaranya sudah sesuai dengan kehendak Yang Di Atas. Artinya, dalam pemilihan itu harus tampak indikator bahwa Tuhan ikut berperan aktif dalam jalannya pemilihan. Sayang saya tidak bisa mengikuti pemilihan itu sehingga saya tidak tahu apakah kualitas ini berlangsung atau tidak dalam pemilihan itu.

“Lalu kenapa harus ada kualitas Sinisihan Wahyu. Kenapa harus ada indikator bahwa Tuhan harus dilibatkan dalam pemilihan itu?” terdengar hati saya bertanya-tanya.

Saya berpikir dan berusaha menemukan alasannya hingga kemudian saya temukan jawabannya. Jika Tuhan berperan aktif dalam jalannya suatu pemilihan dan bahkan Ia juga turut berbuat dengan cara diarahkannya pikiran serta tenaga para pemilih untuk memilih satu dari kedua kontestan, maka hasil pilihan itu kemungkinan besar pasti benar dan mutlak tidak bisa dikalahkan.

“Apa benar begitu sih?” saya tiba-tiba dihinggapi keraguan atas alasan dan jawaban dari pertanyaan saya sendiri.

Tetapi puji Tuhan! Saya akhirnya ingat sesuatu. Tiga hari sebelum pemilihan itu berlangsung, salah satu kontestan lurah ber SMS-an dengan saya. Dia bertanya dalam SMS-nya kepada saya setelah ngobrol panjang lebar sebelumnya seputar dirinya yang dicalonkan menjadi lurah
“Bagaimana mengetahui bahwa Tuhan berkehendak atas diri saya dalam pencalonan untuk menjadi lurah?” tanyanya waktu itu. Dan saya hanya menjawab begini:

“Sederhananya dapat diketahui melalui ketentuan dan keputusan orang lain atas diri kita. Prinsipnya, sebagaimana dalam ushul fiqh adalah Maa roaahul muslimiina hasanan, fahuwa ‘indallahi hasanun.”

Tetapi apakah hasil pemilihan lurah ini memang benar-benar sesuai dengan kehendak Tuhan, itu akan bisa dilihat dari kesungguhan lurah terpilih dalam berjuang dan juga dari kejujuran sikap para pemilihnya untuk tidak berkhianat. Kenapa demikian? Sebab biasanya warga di daerah situ hanya senang memilih lurah dengan beradu alasan-alasan ilmiah. Tetapi setelah lurahnya terpilih, mereka enggan mematuhi peraturan yang dibuat si lurah dan bahkan menentangnya. Padahal, mereka sendiri yang memilihnya. Ini kan pengkhianatan namanya!

Pesantren Hasyim Asy’arie

Sastra Indonesia, Satu Abad yang Sia-sia

Ribut Wijoto
Radar Surabaya (3/10/2010)

Bagaimanakah kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan? Pertanyaan ini penting dan mendesak untuk dijawab. Jawaban dapat berguna untuk menentukan visi dan dasar kreativitas kesusastraan saat ini.

Ke depan, secara alamiah, bahasa Indonesia akan terpinggirkan. Sastrawan Indonesia tidak akan lagi menulis dalam bahasa Indonesia. Sastrawan akan memilih menulis dalam bahasa Inggris. Mengapa? Beberapa gejala dapat diketengahkan.

Pada keluarga kelas menengah ke atas, saat ini, orang tua lebih suka mendidik anaknya untuk berbicara bahasa Inggris. Dalam kehidupan kesehariannya, orang tua membiasakan anaknya berbincang-bincang bukan dengan bahasa Indonesia tetapi dengan bahasa Inggris. Dalam bidang pendidikan formal pun, orang tua memilih memasukkan anaknya ke sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Lihat saja, dalam dua tahun terakhir, orang tua rela mengeluarkan biaya lebih besar demi memasukkan anaknya ke sekolah berstandar internasional.

Apa pengaruhnya? Jelas sekali, anak menjadi lebih pandai berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Tidak hanya pandai, anak terkondisikan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama. Sebagai bahasa ibu. Tidak hanya saat mengungkapkan pendapat, dalam bermimpi pun, anak akan berbicara dan berpikir dalam bahasa Inggris. Jika sudah begini, ke depan, tidak bisa diharapkan mereka akan mampu dan mau menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda terjadi dalam keluarga kelas menengah ke bawah. Keluarga etnis Jawa misalnya. Orang tua membiasakan anaknya berbicara dalam bahasa Indonesia. Bukan dalam bahasa Jawa. Alasannya sederhana, agar anak bisa lebih maju dibanding orang tuanya. Biasanya, orang tua berbicara sesama mereka masih dalam bahasa campuran, Jawa-Indonesia. Namun kepada anaknya, orang tua selalu menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda ini lambat laun akan berubah. Tidak hanya keluarga kelas menengah ke atas yang membiasakan anaknya berbicara bahasa Inggris dalam keseharian. Keluarga kelas menengah ke bawah pun akan tergerak untuk melakukan pilihan yang sama. Mengapa? Soalnya, keluarga kelas yang lebih bawah secara psikologis menganggap cara hidup kelas di atasnya sebagai lebih maju. Artinya, pilihan keluarga kelas menengah ke atas bakal menjadi tren. Menjadi sesuatu keharusan.

Secara alamiah, dalam 25 tahun ke depan, ketika anak-anak ini telah remaja bahkan dewasa, kesusastraan Indonesia tidak lagi ditulis dalam bahasa Indonesia. Kesusastraan akan ditulis dalam bahasa Inggris. Sastrawan yang masih menulis dalam bahasa Indonesai dapat digolongkan “memelihara” atau “mempertahankan” budaya bangsa. Tentu saja jumlahnya minoritas dibanding sastrawan yang menulis dalam bahasa Inggris. Sama seperti kondisi sekarang, beberapa sastrawan masih menulis dalam bahasa daerah. Semisal Jawa, Bali, atau Sunda. Jumlah mereka tidak banyak di antara melubernya sastra berbahasa Indonesia. Ke depan, sastrawan berbahasa Indonesai –tidak kurang tidak lebih- nasibnya akan sama. Marjinal.

Perpindahan bahasa dalam sastra tentu sebuah gejala yang sangat serius. Sebab bahasa adalah kendaraan sekaligus ruh dari sastra itu sendiri. Pengaruhnya bisa sangat gawat. Bisa mengarah ke positif bisa pula negatif. Oleh karenanya, pengaruh-pengaruh tersebut harus segera diantisipasi. Setidak-tidaknya pengaruhnya dikenali. Terutama pengaruh buruknya.

Yang paling menakutkan, ke depan, karya sastra berbahasa Indonesia hanya akan mendiami rak-rak museum. Sama seperti karya sastra para pujangga Jawa. Kehilangan pembacanya, penulisnya, dan kehilangan aktualitasnya.

Lihat saja, sejarah sastra Indonesia sekarang. Apakah sastra Indonesia dipahami sebagai kelanjutan dari sastra Jawa (tradisional). Tidak. Sastra Indonesia memiliki keterputusan fundamen dari sastra lama. Sastra Indonesia sekarang dipahami sebagai sastra modern hasil adopsi dari sastra dunia (Barat). Maka muncul bentuk puisi, cerpen, novel, maupun naskah drama. Kesemuanya bukanlah pencanggihan atau hasil pengembangan dari sastra Jawa. Kesemuanya muncul secara alamiah sebagai respon dari perkembangan zaman.

Begitu pula dengan sikap sastra Indonesai terhadap sastra Melayu. Walaupun bahasa Indonesia berasal dari Melayu, sastra Indonesia bukan berasal dari pencanggihan sastra Melayu. Pengaruh sastra Melayu, bisa jadi, cukup berhenti pada karya puisi Amir Hamzah. Sejak Chairil Anwar hingga Mardi Luhung, sastra Indonesia lebih suka mengembara ke khazanah sastra dunia daripada keelokan sastra Melayu. Chairil pun secara terus terang mengatakan, “kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”.

Tampaknya, 25 tahun ke depan, sastrawan Indonesia mungkin masih membaca karya sastra berbahasa Indonesia. Tapi dengan satu syarat. Karya sastra tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Sastrawan Indonesia sudah tergagap-gagap memahami karya sastra berbahasa Indonesia. Soalnya dalam keseharian, sastrawan dan masyarakatnya telah berpindah ke bahasa Inggris. Bahkan, bisa jadi, karya sastra berbahasa Indonesia hanya dianggap sebagai bagian dari kekelaman masa lalu. Ketika para sastrawan beserta masyarakatnya dinilai belum melebur ke dalam kebudayaan dunia (universal). Ketika sastrawan dianggap masih terjebak dalam hal ihwal nasionalisme. Bahasa Indonesia, bisa jadi, akan “diolok-olok” sebagai “belum beradab”.

Bila kondisi ini terjadi, sejarah sastra Indonesia bakal mengalami dua kali keterputusan. Pertama, keterputusan dari sastra tradisional (sastra berbahasa daerah). Kedua, keterputusan dari sastra nasional (sastra berbahasa Indonesia). Akibatnya, sastra Indonesia akan kembali muda. Dalam artian, sastra yang tradisinya baru tercipta tidak lebih dari 25 tahun.

Ada lagi pengaruh yang lebih mengerikan. Kinerja dan hasil keringat para sastrawan sejak Marah Rusli hingga Binhad Nurohmat akan menjadi sia-sia. Sebatas disikapi sebagai masa lalu yang kelam. Begitu pula dengan kecermelangan puisi Sapardi Djoko Damono, keliaran puisi Gunawan Mohamad, kebinalan puisi Acep Zamzam Noor, apalagi lirisitas puisi Amir Hamzah. Kesemuanya akan sia-sia. Kesemuanya tidak dianggap sebagai bagian dari kesusastraan 25 tahun ke depan, yakni kesusastraan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris.

Sastra berbahasa Indonesia kelihatannya hanya berusia satu abad. Dimulai sekitar tahun 1920-an dan berakhir sekitar tahun 2020-an. Inilah kondisi satu abad sastra Indonesia yang sia-sia.

Tidak semua memang akan sia-sia. Beberapa karya sastra berbahasa Indonesia masih mampu bertahan dari gilasan zaman. Karya sastra tahan zaman ini mungkin akan diwakili oleh prosa Pramoedya Ananta Toer. Mengapa? Karena karya Pramoedya memiliki struktur yang kuat (kompleks). Alurnya, penokohannya, latarnya, maupun tema-tema yang diunggahkan. Bahkan dalam cerpen pun, Pram membuat struktur prosa yang utuh. Memang yang disebut cerpen dalam karya Pram, sangat berbeda dengan cerpen yang marak berkembang saat ini, yakni cerpen koran. Cerpen Pram bisa sampai 30 atau 40 halaman. Padahal tren cerpen di koran, maksimal hanya 8 halaman. Maka, cerpen koran buru-buru menghentikan cerita ketika penokohan belum terbentuk. Cerpen selesai ketika cerita belum sempat membangun plot. Nasib cerpen-cerpen koran ini, tampaknya ke depan, dianggap sebagai pemblajaran anak kecil semata.

Ada satu parodi yang menggoda untuk diketengahkan. Dalam sastra Jawa, ada dikenal istilah “pujangga terakhir”, yakni Ronggowarsito. Lantas, siapakah yang layak menyandang gelar “pujangga terakhir” sastra Indonesia. Bisa jadi, jawabannya adalah Afrizal Malna. Pertimbangannya, Afrizal sematalah yang terakhir melakukan perubahan radikal terhadap kesusastraan berbahasa Indonesia. Afrizal mampu menciptakan tradisi puisi yang secara kasat mata terbedakan dengan tradisi puisi sezamannya. Sebuah penciptaan tradisi puisi seperti yang dilakukan Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bahri.

Oleh sebab sudah diketahui, 25 tahun ke depan, sastra bakal ditulis dalam bahasa Inggris dan kondisi itu membuat keterputusan dengan sejarah sastra, muncul satu pertanyaan responsif yang perlu dibahas. Bagaimana mengantisipasi perubahan besar tersebut?

Pertama, perubahan ke arah sastra berbahasa Inggris tidak bisa dihindari. Penyebabnya, pelan tapi pasti, masyarakat Indonesia akan beralih dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

Kedua, sastrawan sekarang harus mulai belajar menulis dalam bahasa Inggris. Artinya, sekalian saja kondisi 25 tahun ke depan tersebut dihadirkan saat ini. Sastrawan tidak menulis untuk tahun sekarang. Tetapi, sastrawan menulis untuk zaman di masa depan. Toh, di Indonesia, media massa yang menerima karya sastra berbahasa Inggris sudah ada. Atau kalau memang percaya diri, karya berbahasa Inggris tersebut dikirimkan ke media massa di luar negeri.

Negara tetangga kita pun, Malaysia dan Singapura, keduanya telah memulai tradisi penulisan sastra berbahasa Inggris. Daripada semakin terlambat, tradisi sastra berbahasa Inggris harus dimulai dari sekarang.

Ketiga, harus ada usaha yang getol untuk menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini tidak bisa ditunda karena senyampang para sastrawannya masih hidup. Senyampang masyarakatnya masih terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Jika sampai terlambat, jumlah orang yang ahli bahasa Indonesia keburu langka. Padahal jumlah karya sastra yang harus diterjemahkan begitu bejibun. Bayangkan saja, tiap minggu puluhan koran menayangkan puisi atau prosa baru. Tiap minggu, selalu terbit buku kumpulan puisi baru. Bila ditotal, dalam satu abad usia sastra Indonesia, karya yang diproduksi bisa sampai ratusan juta judul.

Perubahan kondisi kesusastraan Indonesia 25 tahun ke depan tentu saja tidak hanya dalam tataran bahasa. Beragam faktor lain turut memberi pengaruh. Semisal perubahan struktur masyarakat, pemikiran filsafat, temuan-temuan teknologi, perkembangan sastra di Barat. Kesemuanya perlu mendapat porsi untuk menentukan sikap menghadapi masa depan sastra Indonesia.

_______, Studio Teater Gapus, 2010

Di Manakah “Kedalaman” Novel Nubuat(?)

Marhalim Zaini*
http://www.riaupos.com/

Dari berbagai pengalaman bacaan saya yang serupa itu, maka kini saya sedang berhadapan dengan novel Nubuat karya Gde Agung Lontar. Novel yang mengisahkan tentang perjalanan/petualangan seorang tokoh lelaki muda bernama Awang, dari kampung halamannya (yang oleh pengarang cukup dinamai dengan Parit 0 (?) sampai Parit 40, menuju ke tempat-tempat yang kelak membawa tokoh ini mencapai keinginannya untuk menjadi hulubalang istana. Keinginan ini pun sesungguhnya bukanlah sebuah obsesi yang kuat dari si Awang. Sebab di balik itu tujuan utamanya merantau adalah untuk menghindar dijodohkan dengan perempuan sekampungnya yang tinggal di Parit 19 bernama Zahara, anak Leman Tonjang, sahabat lama ayahnya Awang. Kenapa menghindar? Tak ada gambaran yang kuat untuk dapat menjawabnya dengan lebih “ideologis.” Alasan Awang, karena si Zahara itu, adalah Budak Bingal. Apa itu Budak Bingal? Tak pula dapat kita temukan detil deskripsi yang membuat Zahara dipanggil oleh Awang dengan sebutan demikian, sehingga penolakan/penghindaran Awang menjadi sangat beralasan. Setahu saya, kata “bingal” sendiri adalah khas milik orang Melayu, yang dapat diartikan sebagai “tak mau mendengar nasehat orang” atau “keras kepala” dan sejenisnya. Namun, tak ada deskripsi peristiwa yang dapat jadi referensi pembaca untuk ikut membenarkan si Awang. Lalu, seolah tanpa ada konflik/perdebatan yang lebih luas dan tajam, akhirnya Mak (Ibunya Awang) dengan agak berat hati mengizinkan Awang pergi merantau.

Proses perjalanan Awang menyinggahi satu daerah ke daerah yang lain hingga mendapatkan gelar parjurit laskar hulubalang raja inilah yang nampak menjadi fokus cerita dalam novel Nubuat ini. Mulai dari kota Bandarnibung, lalu ke kota pelabuhan bernama Nemopolis, kemudian kota persinggahan dan dikenal dengan kota para pujangga Wadi Awaliyah, menuju ke kota besar di tengah padang pasir bernama Oasis Nikmah, dan terakhir ke kota indah Metrozamrud tempat di mana Yang Mulia Sultan Maulana bertahta. Lalu, bagaimana dengan kata “nubuat” yang menjadi judul dari novel ini? Bagaimana keterkaitannya dengan kota-kota itu? Siapakah pemilik nubuat tersebut?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “nubuat” berarti wahyu yang diturunkan kepada nabi (untuk disampaikan kepada manusia), atau boleh juga berarti ramalan. Saya kira, dalam konteks novel ini, agaknya arti yang kedua lebih tepat. Dan pengarang sendiri, juga sempat menderetkan kata “dinubuatkan” dengan kata “dinujumkan/ditakwilkan/diramalkan” (hal. 238). Nubuat yang tertera dalam novel ini lebih berbentuk semacam syair, yang terdiri dari empat bait yang mewakili empat nubuat. Karena “nubuat” ini dapat dikatakan sebagai intisari dari sejumlah peristiwa dalam novel ini, ada baiknya saya kutipkan secara lengkap. Nubuat pertama: “Pada purnama merah jelaga/Kayu-kayu bersilang membara/Pada sebuah kota peniaga/Dari sebuah ladang kopra.” Nubuat kedua: “Pada purnama pagi cemerlang/Angin dan air saling bersilang/Pada sebuah kota yang terang/Membuang segala belang berbilang.” Nubuat ketiga: “Pada purnama gelap sudah/Batu dan pasir bertikai-sungsang/Pada sebuah kota bermadah/Hilang tiang hilang sagang.” Nubuat keempat: “Pada purnama ketiga belas/Berkatalah sang pujangga di depan tahta/Tentang hati yang sungsang penuh bara/Khianat tiada terkira-kira!/Sayang Laksamana, bersiap merayakan kekalahannya/Pada sebilah pedang bertanjak emas.”

Empat nubuat ini kemudian dinamakan sebagai Nubuat Temberang. Karena yang menulis nubuat ini adalah seseorang yang bernama Temberang. Tokoh ini sempat menyebut nama lengkapnya ketika berkenalan dengan pemimpin serombongan kafilah dengan Temberang bin Tembung. Seorang tokoh yang kemudian bersahabat dengan si Awang, selama hampir sebagian besar masa perjalanan. Awang bertemu dengan Temberang ketika berada di Wadi Awaliyah. Yang dengan banyak serba kebetulan, Awang dan Temberang terus bersama melakukan perjalanan hingga sampai ke kota Metrozamrud. Nah, Nubuat Temberang ini setiap baitnya seolah menjadi semacam ramalan nasib yang akan menimpa negeri yang disinggahi oleh Temberang. Misalnya, negeri Bandarnibung yang terletak di atas rawa-rawa hampir musnah terbakar, kota Nemopolis dilanda Tsunami (meski penulis sendiri tak menyebutnya begittu), kota Wadi Awaliyah terbenam di bawah timbunan batu dan pasir, dan kuil-kuil zagaru di kota Wadi Hidayah banyak bertumbangan. Demikianlah, sosok Temberang kemudian menjadi sosok yang sangat dicari-cari oleh orang-orang yang negerinya telah porak-poranda oleh nubuat. Mereka marah dan menuduh bahwa Temberang adalah pembawa malapetaka.

Selain itu, dalam perjalanan menuju Oasis Nikmah, Temberang dan Awang yang juga bersama serombongan pedagang dari Bandarnibung yang kebetulan bertemu, sempat tertawan oleh sekawanan penyamun. Episode ini juga adalah awal pertemuan dan (langsung jatuh hati) Awang pada seorang perempuan bercadar bernama Hara. Mereka semua dibebaskan setelah serombongan orang dari Metrozamrud yang dipimpin oleh seorang bernama Talon. Tersebab rombongan ini dulu pernah mengalahkan penyamun, dengan melumpuhkan pemimpinnya, maka kini merekalah yang memimpin, dan berupaya membawa para penyamun ke jalan yang benar. Talon, adalah sosok protagonis yang kelak ikut menyelamatkan Sultan dari rongrongan makar yang dilakukan oleh Durona, seorang panglima hulubalang. Keberadaan Temberang dan Awang di kerajaan saat terjadinya proses makar itu, rupanya turut membantu melumpuhkan kelompok Durona. Dan Awang, pada sebuah kesempatan (yang nampaknya banyak serba kebetulan) dapat menikamkan pedang ke tubuh Drona di saat ia sedang lengah. Peristiwa inilah yang membuat Awang dianugerahi sebagai kepala prajurit penggawa istana. Lalu, Awang pun pulang kampung menemui Mak-nya, dan berakhir dengan happy-ending, dapat kawin dengan Hara, yang ternyata adalah Zahara, perempuan yang dulu sempat dijodohkan dengannya.

“Novel Antah-berantah”
Jika cara baca saya terhadap novel ini merujuk kepada apa yang telah saya paparkan di awal tulisan ini tentang keinginan saya untuk mendapatkan “realitas autentik” sekaligus hendak menyelami makna tekstual, dan makna referensial/kontekstual, maka saya akan berhadapan dengan lanskap-lanskap “realitas” yang serba kabur. Upaya saya berkali-kali membuka “pintu-pintu” peristiwa untuk dapat masuk ke dalam makna/nilai yang lebih luas yang terkandung dalam novel ini, dan menjejak ke sebuah akar kebudayaan tertentu, saya selalu tak berhasil. Maka di sini, saya hendak menunjukkan beberapa soal, yang menurut saya, menjadi sebab ketidakberhasilan saya itu.

Pertama, soal ke mana akar sosial-kultural dalam novel Nubuat ini hendak dirujuk, sehingga saya/kita dapat menemukan “realitas autentik” itu? Awalnya, saya hampir percaya bahwa novel ini menempatkan “Melayu” sebagai sebuah rujukan dasar untuk memberi sentuhan “lokal” (bahkan mungkin tawaran estetika) dengan berbagai problematikanya. Awalnya, saya juga hampir percaya dengan salah satu komentar di belakang kulit sampul novel ini yang menyatakan bahwa, “…ingin mengenal lebih dalam budaya Melayu yang menyimpan nilai-nilai “cerdik cendekia”…..” Namun, setelah membaca novel ini, saya justru merasakan Melayu sebagai sebuah entitas kebudayaan, pun peradaban besar, menjadi tak terjangkau nilai-nilainya, menjadi rumpang gagasan-gagasannya, bahkan sangat lemah akurasi empiriknya. Yang menjadi sebab terbesar sehingga hal ini terjadi, saya kira adalah bahwa pengarang tidak menghadirkan deskripsi referensial yang memadai (apalagi detil) tentang sebuah realitas yang dipaparkan. Tidak tampak demikian meyakinkan pembaca, bahwa persoalan yang diusung pengarang adalah persoalan dengan latar belakang dari sebuah kebudayaan yang dikenalkan secara komprehensif. Maka, fakta ini secara tak langsung juga, menampik pernyataan dari salah satu komentar yang lain, yang juga tertera di belakang sampul novel ini, berbunyi, “…jika detil yang diinginkan, novel ini akan memberikannya.”

Hemat saya, simbol ke-Melayu-an dalam novel Nubuat sesungguhnya demikian banyak bertebaran. Namun simbol-simbol itu seolah hadir sebagai “dirinya sendiri” yang tidak berdaya untuk membangun jaringan/relasi secara proporsional dengan peristiwa, sehingga ia lebih terkesan sebagai asesoris yang tak menunjukkan eksistensi nilainya yang penting. Simbol Melayu “Tanjak” misalnya, yang dibawa/dipakai tokoh Awang merantau tidak kemudian menjelaskan identitas.(bersambung)

*) Adalah sastrawan dan pengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau. Bersama beberapa teman mengelola Sekolah Menulis Paragraf di bawah Yayasan Paragraf. Tinggal di Pekanbaru.

Selasa, 08 Maret 2011

Menikmati Puisi Dunia Maya

Hamberan Syahbana
http://lina-kelana.blogspot.com/

Membaca sebuah puisi berarti kita menyelami sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang dituangkannya dalam: tatanan bunyi, baris, bait, suasana perasaan dan imaji/gambaran pengalaman, baik imaji visual [penglihatan], auditif [pendengaran], maupun imaji taktil [rasa/cecap]. Yang di dalamnya terkandung pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada khalayak.

Ibarat membangun sebuah rumah, maka bahan matrial pada sebuah puisi adalah diksi [pemilihan kata], rima [persamaan bunyi], Ritme [irama] yang biasa ditandai dengan adanya pengulangan kata frase bahkan kalimat, selanjutnya ada imaji [gambaran pengalaman] dan majas [gaya bahasa], bunyi, judul, tema dan amanat. Kesemuanya itu biasa disebut dengan “unsur intrinsik”

Di luar itu semua ada juga matrial lain yaitu: aspek historis, psikologis, filosofis, ekonomis, politis dan religis. Yang ini biasa disebut dengan “unsur ekstrinsik”

Kedua unsur pembangun tsb dapat menambah dan meningkatkan nilai estetika sebuah puisi, sehingga puisi itu akan lebih berasa. Tetapi bukan berarti harus menggunakan semua unsur itu. Lagi pula, umumnya orang menulis puisi hanya mengungkapkan perasaan yang ada di hati lewat puisi, tanpa mempertimbangkan teori-teori tsb.

***
Dalam catatan Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 2 ini, tulisan ini bertujuan berbagi rasa dalam menikmati sebuah puisi. Dan saya memposisikan diri sebagai penyuka dan nikmat puisi, bukan sebagai kritikus. Sehingga fokus dalam tulisan ini adalah sebuah upaya mengungkapkan sejauh mana puisi ini dapat dinikmati.
Adapun puisi yang akan kita bicarakan ada 2 buah puisi, yaitu:

1. “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried dari kota Kandangan Kalimantan Selatan.
2. “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Kota Babat Jawa Timur.
Marilah kita cermati puisi yang pertama, yaitu “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried berikut di bawah ini:

PUISI NGILU
Muhammad Faried

Suaramu mengalir daun-daun basah
Akal pikiranku di atas bumi gerimis

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Tipografi puisi ini sudah pas. Tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Sehingga mudah dibaca dinikmati dihayati dan sekaligus direnungkan. Membaca sepintas lalu puisi ini tidak menggunakan rima atau persajakan. Padahal rima itu mempunya kekuatan dalam meningkatkan rasa nuansa sebuah puisi. Di dalam puisi ini juga tidak ada pengulangan kata, frase, atau kalimat. Padahal pengulangan-pengulangan tsb. bisa menimbulkan irama atau yang biasa disebut ritme. Puisi tanpa ritme/irama akan terasa hambar, tidak ada pesona, dan tentu tidak dapat menggugah dan memukau audiens.

Tetapi, aneh? Setelah kubaca kucermati ternyata aku jadi terkesan. Aku merasa ada pesona di dalam puisi ini. Aku jadi terharu tergugah dan terpukau karenanya. Ternyata di dalam pusi ini ada rima tersembunyi, tidak nampak tapi terasa Kenapa?
Di dalam puisi ini ada rima yang tidak sempurna yaitu bunyi vocal [a] pada kata [basah], [Duhai], [rahasia], [menelaah], [manusia], [tercipta], [basah] dan kata [benak]. Satu-satunya bait yang mempunyai rima adalah bait ke 2 yaitu pada kata [rahasia] di ujung baris ke 4 bersajak dengan kata [manusia] di ujung baris ke 6 sama-sama berakhir dengan bunyi [sia]. Aku jadi ingat waktu di SMA, persajakan pada bait ke 2 ini dikenal dengan pola persajakan abcb.

Memahami “Puisi Ngilu” karya Muhammad Faried di atas, kita juga harus memahami arti dan makna kata-kata yang digunakannya. Baik arti secara tersurat maupun tersirat, secara denotatif maupun secara konotatif.

Puisi ini harus dipahami melalui proses perenungan. Karena memang puisi ini adalah puisi renungan. Kata [ngilu] secara denotatif berarti nyeri khusus untuk gigi dan tulang. Hal ini penting juga dicermati. Gigi adalah bagian terdepan dari alat pencernaan. Sedangkan tulang adalah organ tubuh yang menyebabkan tubuh bisa tegak. Bayangkan kalau gigi terasa ngilu. Tidak hanya kesulitan memotong mengerat dan mengunyah makanan, tetapi juga keseluruhan tubuh merasa sakit. Demikian pula jika tulang terasa ngilu, semua aktivitas bisa macet total.

Tetapi di dalam puisi ini sedikitpun Muhammad Farief tidak sedang membicarakan ngilu gigi dan tulang. Berarti ada “ngilu” yang lain yang sangat mengusik pikirannya. Sehingga puisi ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan.

Puisi ini diawali dengan kata [Suaramu]. Secara denotatif kata [suara] berarti ucapan seseorang, selanjutnya bisa berarti seruan, himbawan, suruhan, ajakan, permintaan, perintah, keputusan, yang ditujukan kepada orang perorangan, kelompok, golongan, bahkan keseluruhan manusia lainnya. Sedangkan kata [mu] adalah orang yang bersuara itu sendiri.

Selanjutnya ada kata [mengalir] dan [daun-daun basah]. Kata [suaramu] berfungsi sebagai subyek atau pokok kalimat, kata [mengalir] adalah predikat, dan obyeknya adalah [daun-daun basah]. Kata [daun-daun] bisa berarti bagian atau kumpulan orang dari suatu komunitas. Sedangkan kata [mengalir] sendiri adalah kata kerja sifatnya yang alamiyah, tenang, angun, lembut, tidak arogan. Yang dicermati oleh Muhammad Faried di kala [bumi] sedang [gerimis].

Kata [bumi] bisa berarti dirinya sendiri, bisa juga keluarga kerabat, atau lingkungan sekitar. Lebih luas lagi bisa diartikan Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan sifat ambiguitas sebuah puisi. Maksudnya kata-kata dalam puisi bersifat makna ganda, karenanya bisa dimaknai dengan berbagai makna.

Sedangkan kata [gerimis] dikaitkan dengan konteks kata [ngilu] bisa berarti sedang menangis, sedang bersedih. Lalu: Siapa yang menangis? Siapa yang bersedih? Mengapa ia menangis? Mengapa ia bersedih? Jawabnya ada pada bait-bait berikutnya.

Duhai …
Mimpi manakah yang membuka peta rahasia
untuk menelaah
perih riwayat manusia?

Bait ini adalah sebuah kalimat yang disusun menggunakan majas erotesis/ kalimat tanya. Kalimat ini seutuhnya berbunyi: “Duhai, mimpi manakah yang membuka peta rahasia untuk menelaah perih riwayat manusia?” Kata-kata kunci dalam kalimat ini “ [mimpi manakah], [peta rahasia], [perih riwayat manusia] dengan kata-kata penunjang makna: [Duhai] dan [menelaah].

Kata [mimpi] biasanya dimaknai dengan keinginan, harapan, obsesi. Kata [peta rahasia] bisa bermakna lokasi atau kawasan yang perlu diungkapkan. Terutama dalam konteks [perih riwayat manusia]. Bait ini merupakan sebuah pertanyaan tentang berita-berita penderitaan sedang melanda di negeri ini.

Selanjutnya diringi dengan bait berikutnya:

Sedangkan kenangan tercipta
dari musim basah
dan ngilu kabut
mengapung di benak

Bait ini juga adalah sebuah kalimat yang berbunyi: “Sedangkan kenangan tercipta dari musim basah dan ngilu kabut mengapung di benak.” Kata-kata kunci dalam kalimat ini adalah: [kenangan tercipta], [musim basah], [ngilu kabut], [benak]. Dengan kata-kata penunjang makna: [sedangkan] dan [mengapung].

Secara sederhana kalimat ini berbicara tentang [kenangan] atau kesan duka yang timbul dari atau pada [musim basah] dan [ngilu kabut]. Kata [basah] mengingatkan kita pada air, air mengingatkan kita pada hujan, hujan mengingatkan kita pada banjir dan tanah longsor. Sedangkan kata [kabut] mengingatkan kita pada asap. Asap yang berasal dari dapur rumah tangga dan lingkungan sekitar, kendaraan bermotor, pembakaran hutan yang mengakibatkan kabut dan pencermaran lingkungan di mana-mana, sekaligus menambah masalah pemanasan global. Permasalahan itulah yang menimbulkan [ngilu] [mengapung di benak] yang membuat pusing kepala dibuatnya.

Pada skala kecil puisi ini dapat dimaknai sebagai ungkapan perasaan Muhammad Faried terhadap lingkungan sekitar. Boleh jadi itu dirinya sendiri, atau lingkungan keluarga dan kerabatnya. Lingkungan RT RW tempat di mana hidupnya terganggu. Yang kesemuanya kait berkait menjadi satu, membuat diri dan jiwanya merintih merasa ngilu.

Pada skala besar puisi ini dapat dimaknai sebagai rintihan Indonesia. Khususnya kata [Suaramu] bisa dimaknai sebagai peringatan berupa fakta: banjir, tanah longsor, gempa bumi dan bencana-bencana akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang tidak bertanggng jawab. Selain itu ada fakta lain berupa musibah demi musibah yang melanda seakan tiada henti, kemudian ada issue globle warning. Yang kesemuanya itu membuat [bumi gerimis] bumi menangis disebabkan semua perstiwa-peristiwa tsb..

***
Berikutnya marilah kita lanjutkan dengan mencermati puisi kedua, yakni puisi yang berjudul: “Demi Masa” karya Lina Kelana dari Tanah Babat Jawa Timur.
Demi Masa
Lina Kelana
Demi
masa

bumi yang menggelinding
laksana gundu yang mengejar bayang
menampik sentuhan centil sang jari mungil

Demi
masa
aku mengambil cahya mentari
ku selipkan di lipatan siangku,
malamku,
di antaraku

Demi
masa
ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Demi
masa
masa berdemi
: berdharma

Demi masa

Membaca judul puisi karya Lina Kelana ini, kesan pertama yang tertangkap adalah: bahwa puisi ini berbicara tentang waktu. Selanjutnya berturut-turut kita ingat: [1] ayat dalam surah Al Ashri: bahwa sesungguhmya manusia itu dalam merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, [2] kata-kata bijak orang-orang barat: The time is money, waktu adalah uang, dan [3] kata-kata bijak dalam bahasa Arab: Al waktu kasysyaif, waktu itu laksana pedang. Kesemuanya itu menggambarkan bahwa betapa pentingnya sang waktu. Dan tidak seorangpun diantara kita yang tidak terkait dengan waktu. Seperti yang terlihat dalam puisi ini bahwa sang waktu itu juga telah mengusik jiwa, pikiran dan perasaan Lina Kelana. Sehingga Lina Kelana mengganggap perlu mengungkapkannya dalam sebuah puisi.

Puisi Lina Kelana ini dibangun dan diperkaya dengan diksi atau pemilihan kata-kata berkias, penuh pesona, enak dibaca, enak didengar, memiliki nilai keindahan, mempunyai makna ambiguitas yang luas. Di samping itu puisi ini juga diperkuat dengan rima yang tertata rapi. Lihatlah pada bait berikut ini.

baris ke 3 – bumi [yang] menggelinding – [ng]
baris ke 4 – laksana gundu [yang] mengejar bayang – [ng]
baris ke 5 – menampik sentuhan centil [sang] jari mungil

Pada bait diatas terdapat kata [yang] pada baris ke 3 dan baris ke 4, dan kata [sang] pada baris ke 5 yang membentuk rima tengah. Dan pada akhir baris ke 3 ada kata [menggelinding] dan di baris ke 4 ada kata [bayang] kedua kata tsb membentuk rima tidak sempurna yang tandai dengan bunyi sengau [ng]. Pengulangan bunyi sengau [ng] tsb menghasilkan ritme atau irama yang mengalun indah menaik dan menurun. Irama ini akan terasa dengan jelas bila bait ini dibacakan dengan intonasi, penekanan kata, dan tempo.

Bait di atas, di samping dibangun dengan diksi atau pemilihan kata yang memukau, juga diperkuat dengan penggunaan majas simile: “bumi yang menggelinding [laksana] gundu yang mengejar bayang” yang di dalam majas ini juga ada majas personifikasi: gundu yang [mengejar] bayang.

Secara denotatif yang dimaksud dengan [bumi] disini memang benar-benar bumi, yang menggelinding laksana gundu yang mengejar bayang. Maksudnya bumi yang berputar pada porosnya pada pergantian siang dan malam. Yang menampik sentuhan centil sang jari mungil. Pemilihan kata dan penggunaan majas simile “laksana gundu yang mengejar bayang” membuat bait ini jadi sangat menarik untuk dicermati.

Pada skala kecil [bumi yang menggelinding] bisa bermakna diri pribadi Lina sendiri [laksana gundu yang mengejar bayang]. Kata [bayang] bisa berarti suatu keinginan. Keinginan itu bisa berarti orang yang dicintanya, atau sesuatu yang dicita-citakannya, sekurang-kurangnya sesuatu yang diangan-angankannya. Sayangnya ia hanya mengejar bayang tanpa mempertimbangkan [sentuhan centil sang jari mungil]. Bayang yang dikejarnya hanya bisa dilihat tetapi tidak bisa diraba apalagi ditangkap.

Pada skala besar [bumi yang menggelinding] bisa berarti suatu kehidupan yang terus berjalan, atau kehidupan bangsa yang berjuang mengejar keberhasilan semu. Menampik sentuhan centil sang jari mungil, maksudnya: tanpa mempertimbangkan usul dan saran dan pendapat serta suara-suara dari orang-orang lain yang fianggap kecil.

Kesan pertama yang tertangkap pada bait ini adalah suatu “kesia-siaan.” Mana mungkin gundu itu dapat mengejar bayangannya sendiri? Karena bayang itu semakin dikejar semakin menjauh. Karena bayang itu adalah sesuatu yang hanya dapat dilihat, tidak dapat dipegang. Kita boleh saja berjuang mengejar kehidupan yang lebih layak, tetapi tentunya harus lebih bijaksana dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang. Bukan malah sebaliknya menampik sentuhan centil sang jari mungil. Sekecil apapun saran dan arahan dari orang lain dapat dijadikan bahan pertimbangan yang berguna.

Berikutnya mari kita cermati rima pada bait berikut ini:

baris ke 6 – Demi
baris ke 7 – masa
baris ke 8 – aku mengambil cahaya mentari
baris ke 9 – ku selipkan di lipatan siangku,
baris ke 10 – malamku,
baris ke 11 – di antaraku

Pada bait di atas jelas terlihat ada rima pengulangan bunyi pada kata [siangku] di baris ke 9, kata [malamku] di baris ke 10, dan kata [antaraku] di baris ke 11 yang semuanya berakhir dengan bunyi [ku]. Dan pada kata [demi] di baris ke 6 dan kata [mentari] di baris ke 7 terdapat rima tidak sempurna yaitu persajakan bunyi [mi] dan [ri]. Pada baris ke 9 terdapat majas pengulangan bunyi vocal [i]. Secara teknis bait ini menjadi lebih berasa dengan adanya irama yang dihasilkan dari pengulangan-pengulangan bunyi tsb.

Bait ini dibangun dan diperkuat dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: [mengambil cahaya mentari], [ku selipkan di lipatan siangku], [malamku], dan [diantaraku]. Kata [cahaya mentari] bisa berarti suatu harapan atau keinginan. Harapan di sini bisa berarti apa saja, tergantung dari sisi mana dan sudut pandang siapa yang mengharapkannya. Mengambil cahaya mentari bisa berarti mewujudkan harapan atau keinginan menjadi kenyataan. Yang diselipkan atau ditaruh disimpan di lipatan siang, lipatan malam, dan diantara aku dan lipatan-lipatan tsb. Kata di[selipkan di lipatan] mengingatkan kita pada kebiasaan menyimpan uang, surat rahasia, surat berharga, perhiasan dll di lipatan pakaian dalam lemari.

Pesan yang dapat kita tangkap pada bait ini adalah: sebuah peringatan agar kita harus dapat menggunakan waktu untuk mewujudkan harapan, keinginan, dan sesuatu yang kita cita-citakan.
Selanjutnya marilah kita cermati bait berikutnya:

baris ke 12 – Demi
baris ke 13 – masa
baris ke 14 – ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh
baris ke 15 – terasa sungguh digerogoti kuman jaman

Pada bait ini nampaknya Lina Kelana tidak menggunaan rima di akhir baris dan tidak juga di awal baris. Tetapi ia bermain dengan rima yang tersembunyi di dalam kalimat yang biasa disebut asonansi dan aliterasi. Lihatlah pada baris ke 14: “ku hitung rakitan tulang belulang yang semakin merapuh” terdapat rima asonansi persajakan bunyi vocal [u] pada kata [ku], [hitung], [tulang belulang], [merapuh]. Sedangkan pada kata [hitung], kata [rakitan], dan kata [semakin] ada persajakan bunyi vokal [i]. dan pada kata [hitung], [tulang], [belulang], dan kata [yang] ada persajakan bunyi sengau [ng]. Bukan itu saja di sini juga ada rima aliterasi bunyi konsonan [t] pada kata [hitung], kata [rakitan], kata [tulang]. Dan pada baris ke 15 ada aliterasi bunyi [t] pada kata [terasa] dan [digerogoti], serta pengulangan bunyi [man] pada kata [kuman] dan [jaman]. Sehingga pengulangan bunyi itu menjadi ritme atau irama yang memperkuat bait ini.

Bait ini dibangun dan diperkuat kembali dengan pengulangan kata [demi masa], dan juga dibagun dengan diksi ungkapan kata berkias yang memukau: pada baris ke 14 ada kata [rakitan tulang belulang] dan [semakin merapuh], pada baris ke 15 ada frase [terasa sungguh] dan [digerogoti kuman jaman].

Pada skala kecil kata [rakitan tulang belulang] itu benar-benar susunan tulang atau kerangka tubuh manusia yang [semakin merapuh] karena [digerogoti] oleh [kuman jaman]. Hal ini sesuai dengan kondisi seiring dengan usia yang semakin menua. Pada skala lain ini bisa dikiaskan dengan kehidupan. Kehidupan tsb bisa berarti kehidupan penulisnya sendiri. Atau sesuatu yang lain yang menarik dan perlu diungkapkan dalam sebuah puisi. Kesan yang tertangkap dalam bait ini adalah: sebuah pesan moral yang mengingatkan kita bahwa seiring dengan berlalunya waktu, sesuatu yang dulunya tegar, kuat, kini sudah mulai rapuh, sudah mulai uzur, sudah sepuh, yang pada gilirannya nanti pasti akan berakhir.

Selanjutnya marilah pula kita cermati bait terakhir berikut ni.
baris ke 16 – Demi
baris ke 17 – masa
baris ke 18 – masa berdemi
baris ke 19 -: berdharma
baris ke 20 – Demi masa

Puisi ini diakhiri dengan rima konvensional dengan pola abab. Pada baris ke 16 kata [Demi] bersajak dengan kata [berdemi] di baris ke 18, sama-sama diakhiri dengan bunyi [mi]. Dan pada kata [masa] di baris ke 17 ada rima tidak sempurna bersajak dengan kata [berdharma] di baris ke 19, keduanya sama-sama diakhiri dengan bunyi vocal [a].

Pada bait ini bukan hanya ada rima atau persajakan, tetapi juga ada ritme atau irama yang kuat terasa alunannya. Irama itu terjadi karena ada pengulangan bunyi sengau [m] yang berulang-ulang di setiap kata pada bait tsb.

Akhirnya Lina Kelana mengakhiri puisi ini dengan permainan diksi [demi], [masa], dan [dharma] dengan pesan moral yang jelas yaitu: gunakanlah waktu demi waktu yang ada dengan hal-hal yang berguna [berdharma], baik bagi diri kita sendiri maupun bagi sesame, dan lebih luas lagi bagi Indonsia tercinta.

Banjarmasin, 28 Mei 2010

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar