Kamis, 23 Desember 2010

Memahami Gaya dan Keindahan Bahasa

Judul Buku : Stilistika;
Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya
Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2009
Tebal : xi + 480 halaman
Harga : Rp 51.000,-
Peresensi : Supriyadi*)
http://oase.kompas.com/

Bahasa merupakan media, alat, atau sarana untuk komunikasi manusia yang satu dengan yang lainnya. Dengan bahasa, umat manusia bisa saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, tersampaikanlah pesan dari orang ke satu kepada orang yang lain, bahkan orang yang lain pun bisa membalas pesan tersebut kepada orang ke satu (pengirim pesan). Hal itu karena bahasa yang digunakan mampu diiterpretasi dan dipahami oleh kedua belah pihak, yakni pengirim pesan dan penerima pesan.

Pada dasarnya, semua makhluk hidup (manusia, binatang, dan tumbuhuan) itu berbahasa. Akan tetapi, hanya manusia yang dihukumi mempunyai bahasa karena hanya manusia yang memiliki akal pikiran untuk belajar dan mempelajari sesuatu, termasuk bahasa. Meski demikian, binatang juga mempunyai bahasa untuk bisa berkomunikasi dengan binatang lain, bahkan dengan manusia, entah itu menggunakan isyarat atau bahasa tubuh yang sekiranya bisa dipahami.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan identitas suatu kelompok. Suatu kelompok bisa teridentifikasi dari mana asalnya dengan tutur bahasa yang digunakan, gaya berbahasa, dan khas pengguna bahasa. Orang Indonesia akan diketahui bahwa ia berasal dari Indonesia jika ia menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan logat bahasa Indonesia. Orang Jawa, Sunda, Batak, dan yang lainnya juga dapat diketahui dari bahasa yang digunakan karena dari masing-masing bahasa tersebut memiliki entitas dan cirri khas yang berbeda-beda sehingga dapat diklarifikasi. Berkaitan dengan hal itu, bahasa juga bisa digunakan dalam budaya bahasa oleh masing-masing kelompok.

Dalam kajiannya, bahasa juga bisa melahirkan karya sastra yang indah. Terlepas dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa bisa menjadi sebuah karya sastra yang indah jika disusun dengan diksi (pilihan kata) yang bagus dan sarat akan makna yang mendalam. Dalam hal ini, masing-masing bahasa dengan setiap periodisasinya memilki khas keindahannya. Karya sastra yang lahir dari rahim bahasa itu antara lain; puisi, sajak, cerita pendek, dan lain-lain.
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya yang berjudul Stilistika; Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya dengan lugas memaparkan pembahasan gaya bahasa Indonesia dalam kajian bahasa sastra dan budaya. Gaya bahasa (style),adalah cara-cara khas bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehigga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Dengan demikian ini, gaya bahasa beragam menurut adat dan budaya berbahasa masing-masing daerah.

Stilistika, yakni ilmu tentang gaya bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari gaya-gaya bahasa. Sebenarnya, penggunaan dari gaya dan ilmu gaya itu secara luas meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, bagaimana segala sesuatu dilakukan, dinyatakan, dan diungkapakan. Secara sempit, gaya dan atau ilmu gaya digunakan pada kajian bahasa dan sastra, khususnya adalah puisi.

Gaya bahasa adalah cara tertentu, dengan tujuan tertentu. Meskipun demikian, gaya tidak bebas sama sekali. Gaya lahir secara bersistem, sebagai tata sastra. Memang benar ada kebebasan penyair, tetapi gaya tetap berada dalam aturan, sebagai puitika sastra (hal. 386).

Dalam pembicaraan puisi, adalah termasuk sastra. Dalam sastra secara substantif, terkandung gaya (style) dan keindahan (esthetic). Antara stilistika dan estetika, sebenarnya saling melengkapi keberadaannya. Seluruh aspek keindahan dalam karya sastra terkandung dan dibicarakan melalui medium, yaitu unsur-unsur gaya bahasanya. Stilistika menampilkan keindahan, sementara keidahan melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa. Stilistika lahir dari rahim retorika, sementara estetika dari filsafat. Keberbedaan asal itulah yang menjadikan saling melengkapi antara keduanya.

Indonesia, telah melahirkan berbagai karya santra. Chairil anwar dengan Aku-nya membangun gaya tersendiri dalam karakter berpuisinya. Putu Wijaya hingga Zawawi Imran juga telah membangun gaya dan karakternya dalam berbahasa dan mengolah bahasa menjadi karya sastra puisi. Dengan demikian, masing-masing penyair memiliki khas yang berbeda-beda.

Begitu pun secara periodik, puitika atau karya sastra di Indonesia pun relatif berubah dari masa ke masa. Periodisasi tersebut terbagi dalam beberapa masa, yakni angkatan balai pustaka (‘20-an), pujannga baru (’30-an), angkatan ’45, angkatan ’60 hingga angkatan ’70 dengan ciri sastra populer dan sastra perempuan. Kemudian periode sastra angkatan 2000-an dengan ciri postmodernisme.

Karakter yang dibangun pada masing-masing angkatan memiliki ciri tersendiri dalam melahirkan puitika karya sastra. Terlebih lagi periode sastra angkatan 2000-an seperti sekarang ini, keragaman berpuisi telah lebih mengenalkan heterogenitas gaya dan keindahan.

Buku yang berjudul Stilistika; Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya layak dijadikan referensi oleh siapa saja yang ingin mendalami stilistika sebagai analisis bahasa dan sastra yang terkait dengan budaya. Khususnya pada sastrawan dan ahli bahasa, buku ini sangat membantu dalam kajian-kajian bahasa dan sastra. Bahkan masyarakat sebagai penikmat karya sastra dan pengguna bahasa, akan diajak oleh penulis untuk menyelami stilistika dari sejarahnya hingga kemunculannya di Indonesia, serta kaitannya dengan estetika.

Bahasa merupakan alat kounikasi. Akan tetapi, selain itu, fungsi bahasa juga bisa berupa karya sastra yang menggunakan keindahan kata yang memikat. Indonesia mempunyai bahasa Indonesia yang mana bahasa tersebut telah meahirkan karya-karya yang indah.

*) Peresensi adalah Pustakawan dan Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta.

Sejarah yang Dibebaskan

Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX
Penyusun:E. Ulrich Kratz
Penyunting:Pax Benedanto
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000
Peresensi :Radhar Panca Dahana
http://majalah.tempointeraktif.com/

Hal yang paling menarik dari buku ini tentu bukan tebalnya yang lebih dari 1.000 halaman, atau ketekunan penyusunnya yang telah lebih dari tiga dekade menggumuli sastra Indonesia dan sastra Melayu pada umumnya, tetapi pada keberanian sang penyusun menampilkan 97 artikel pilihan (tepatnya 98, jika ditambah artikel pengantar dari penyusunnya sendiri) dari tahun 1928 hingga 1997, atas nama “Sejarah Sastra Indonesia”. Keberanian ini setidaknya terlihat pada absennya penjelasan dari penyusunnya tentang arti “sejarah”. Inilah sebuah istilah yang ternyata begitu menimbulkan polemik dan penuh risiko jebakan menyesatkan, bahkan untuk mereka yang kita sebut sejarawan.

Dalam sastra, kata “sejarah” banyak dibincangkan dengan tekanan (yang terus direproduksi hingga hari ini) pada soal asal-muasal “sastra Indonesia”, dominasi politik pada historiografi sastra, peran sastrawan, atau soal periodisasi.

Sementara itu, dalam pengantarnya, yang justru menjadi salah satu artikel paling menarik dalam “menggugat” apa yang kita sebut “sastra Indonesia”, Kratz mendasari pemilihannya pada artikel-artikel “yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (xvi). Ini adalah sebuah pilihan yang luas dan terbuka, yang bagi penyusunnya tak memiliki ambisi menyodorkan “sejarah alternatif”, tapi jelas menawarkan arti sejarah pergulatan intelektual para pelakunya.

Betapapun upaya Kratz membuka arti sejarah sastra, tampaknya ia belum berhasil meloloskan diri dari asumsi dasar kita tentang “sejarah sastra”, yang justru paling digugat. Pilihan dua artikel pertamanya, misalnya Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia dan Sumpah Indonesia Raya, menyodorkan pertimbangan bahwa sastra Indonesia tumbuh dan diawali oleh peristiwa dan pemahaman politik. Begitu pun pilihan artikel ketiga, tentang Peranan Balai Pustaka, yang dijelaskan Nur St. Iskandar berawal dari Politik Etis dan kebijakan bahasa pemerintahan kolonial yang sangat ketat, memberi pemahaman betapa perkembangan sastra Indonesia berikutnya dipengaruhi dan ditentukan oleh politisasi acuan dan standar-standar artisitik.

Pemahaman ini secara tak langsung menjelaskan kerisauan utama sang penyusun akan begitu bakunya “kayu ukur nilai sastra”, juga tentang klise-klise seputar hubungan seni dan masyarakat, serta posisi sastra sebagai pemersatu kebudayaan nasional. Bahkan, sejak awalnya, semua soal sastra (di) Indonesia, dalam setiap mainstream-nya, secara taken for granted berada dalam lingkaran diskursus politik.

Hal inilah yang menciptakan alasan kedua bagi keberanian Kratz menempatkan sejarah sastra dalam diskursus intelektual yang sejak mula sejarahnya disesaki oleh praduga-praduga dialektis antara modernisme dan tradisionalisme, Barat dan Timur, subordinat dan superordinat, atau pusat dan daerah. Karenanya, sejarah semacam ini tak kan mampu meloloskan diri dari elitisme intelektual dalam setiap dimensinya. Sebagai risiko, kecenderungan-kecenderungan dan ekspresi-ekspresi literer non-Melayu dan yang minor atau “picisan” menjadi luput dalam diskursus semacam ini.

Kita mengetahui benar, beberapa pengarang dan kritikus keturunan Tionghoa atau Indo (secara genetis atau kultural), macam Lie Kim Hok, Breton de Nijs, atau Tjalie Robinson, membuat catatan-catatan cukup penting dalam riwayat sastra di kepulauan ini. Catatan penting itu juga terlihat pada esai dan pembelaan para pengarang picisan atau sastra pop, dari Matu Mona hingga Motingge Busye, dari D. Sudraji hingga Marianne Katoppo. Belum lagi menghitung esai-esai para pengarang berbahasa etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan lainnya, yang riwayatnya membujur jauh melewati batas sejarah politik dan nasionalisme bahasa Melayu.

Hal ketiga yang kita puji atas keberanian Kratz menyusun Sejarah Sastra Indonesia Abad XX adalah luputnya esai-esai pendek Chairil Anwar, Dami N. Toda, Remy Silado, atau beberapa esai berharga di antara kemeriahan sastra tahun 1980 dan 1990-an, yang tak dapat diwakili hanya oleh—sekali lagi—masalah klasik yang politis dari “pernyataan” Mochtar Lubis, Asrul Sani, dan Putu Wijaya yang membahas Pramudya dan hadiah Magsaysay.

Dalam upaya memandang sejarah sastra Indonesia dari diskursus intelektualnya, ia tetap tak terbebaskan dari penjara praduga politik. Artinya, sejarah itu, kalaupun ia harus disusun, mendesak untuk dibebaskan pada segala kemungkinan literer yang pernah ada. Tentu saja itu tidak dilakukan melalui pilihan-pilihan subyektif dalam sebuah buku yang begitu tebal dan dokumentatif.

Teks Klasik Dan Pembentukan Budaya Daerah

Agus Sulton
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

/1/
Penyebutan istilah ”klasik” pada teks-teks sastra atau teks sumber sejarah hakikatnya lebih berkenaan dengan masalah waktu. Apabila dilihat dari sifat pengungkapannya, dapat dikatakan bahwa kebanyakan isinya mengacu kepada sifat religius, histories, didaktis, dan belletri. Ini berarti bahwa penetapan periodisasi bagi periode sastra klasik tidak dapat dipastikan secara pasti, seperti apa yang terjadi dalam sastra Indonesia, mungkin karena penciptaan manuskrip tidak dapat diketahui secara pasti. Dalam hal ini, sastra klasik konsep awalnya lebih mengarah untuk mempengarui suatu kelompok masyarakat agar mengikuti pada kelompok tertentu, atas dasar menyampaikan ajaran-ajaran yang akhirnya dapat mendogmatisasi kemudian menjalankannya secara taqlid, sehingga bagi literator atau pencipta dari kalangan bukan abdi dalem keraton jarang mencantumkan nama pengarang atau tahun penciptaan teks itu sendiri.

Teks klasik yang tulis tangan ini dipandang sebagai hasil budaya masa lampau yang dinamakan dengan manuskrip. Teks manuskrip merupakan suatu keutuhan dan di dalamnya banyak menyimpan pesan atau ajaran tertentu. Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan culture society dan dengan bentuk kesenian lainnya. Dilihat dari makna yang dikandugnya, wacana yang berupa teks klasik itu mengemban fungsi tertentu, yaitu pembentukan pola pikir, nilai kejujuran, nilai kedisiplinan, nilai cinta kasih sesamanya, atau bahkan norma-norma lain, yang bisa diaktualisasi (relevan) bila diterapkan dalam kehidupan pada masa sekarang. Seperti apa yang terdapat dalam teks Syair Kanjeng Nabi (As. Ar. 12) dan Aji Saka Versi Islam (As. Ar. 7), dalam teks manuskrip tersebut banyak mengajarkan mengenai cara bersikap dan bertingkah laku yang baik, serta digambarkan pula mengenai sikap dan tingkah laku yang semestinya tidak kita dilakukan.

/2/
Menggali dan menemukan kembali sumber-sumber budaya masa lampau dengan memperhitungkan kearifan lokal (daerah) merupakan bagian dari upaya membangun identitas bangsa sebagai landasan bagi pembentukan jatidiri bangsa, karena kearifan ini merupakan akar suatu bangsa dalam pembentukan karakter dan akhirnya memunculkan suatu yang kreatif dan intensif.

Dalam perspektif historis, proses semacam itu tidak lepas dari ketergantungan daya dukung masyarakat sebagai agen pewaris sekaligus pengembang kultural yang seharusnya mampu bersikap plural akan dunia hiperrealitas, tetapi ada semacam imperatis yang mendesak untuk diaktualisasikan dari berbagai sudut pandang bukannya penjinakan sosial budaya atau sejenis tumbal modernitas.

Persoalan minat lagi-lagi menjadi suatu kendala tersendiri, mengingat karagu-raguan atau bahkan melestarikan suatu budaya lokal seringkali kurang bisa diuntungkan secara meterial atau rasa gensi yang begitu tinggi, Prof. Sayuti menyebutnya sebagai isu kemanusiaan yang bersifat sentral. Hal tersebut akan menjadi lebih jelas takkala peneliti dari luar negeri saat ini banyak bergentayangan memburu dan menggali berlian yang terkandung di dalam manuskrip (teks klasik). Kita (masyarakat Indonesia) sudah merasa kesakitan terhadap perampasan dan pembakaran manuskrip-manuskrip daerah yang dilakukan oleh pihak Kolonial akan pelegitimasian seseorang yang haus kekuasaan, akhirnya berakibat pada teror mental generasi berikutnya yang lebih memandang sikap apatis terhadap manuskrip. Kondisi seperti ini—diperparah lagi dengan sikap masyarakat kita saat ini yang selalu bersabar menunggu pihak asing untuk menggali sumber budaya lokal dan akhirnya menentukan arah gerak sejarah Indonesia atau daerah.

Dari situasi yang seperti itu, seharusnya kita bisa jadikan sebagai kristalisasi dan rasa nasionalisme, bukan sekedar obrolan ”warung kopi” oleh para mahasiswa atau dosen yang berkecimpung di ranah budaya atau filologi. Karena dengan cara demikian kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang pada abad lalu, atau semacam penghubung terhadap orang pendahulu kita, salah satunya berupa manuskrip.

/3/
Tidak ada salahnya kita belajar dari sejarah masa lampau, dari sini kita dapat memperoleh berbagai macam informasi baik mengenai sejarah babad atau sejenisnya. Misalnya, kita dapat mengisahkan tentang pembakaran buku keagamaan dan kesejarahan atas perintah Sultan Demak sesudah Majapahit jatuh—sumber ini juga diperoleh dari manuskrip, yaitu dalam salah satu episode manuskrip Babad Kediri.

Manuskrip di sini diperankan sebagai sumber dari budaya itu sendiri, penggalian internalisasi terhadap nilai-nilai yang terbentuk bertahun-tahun yang membentuk budaya, hal ini akan tergerogoti oleh nilai-nilai luar apabila tidak dibarengi dengan komitmen yang kuat. Karena budaya merupakan suatu cara pandang akan dunia dan realitas yang dijalani saat ini atau sebagai word of view bagi pembentukan jiwa seseorang.

Dasar budaya suatu masyarakat itulah yang akhirnya membuka kemungkinan bagi demokrasi pluralisme secara Nasional. Manuskrip atau sumber budaya lainnya— menjadikan kristalisasi akan hal ini. Apabila kristalisasi ini benar-benar dipahami, maka akan memberikan poin untuk menuju pintu gerbang sebagai masyarakat yang bangga terhadap budaya daerah. Bukan suatu yang harus terbelakang dan rasa hormat yang dibuat-buat atas segala sesuatu yang modern, Robson menyebutnya sebagai masyarakat yang mempunyai rasa rendah diri budaya, padahal membentuk kebudaya nasional tidak lepas dari puncak-puncak budaya daerah.

Namun, kita petut berbangga diri dengan kondisi globalisasi yang semakin seragam ini, saudara Fahrudin Nasrullah mampu memberikan sumbangan dengan mengungkap sejarah ludruk Jombang—yang selama ini dianggap sebagai poros produk Jombang. Posisi harmoni seperti ini akhirnya mampu memberikan suatu ”roh pembangunan” dengan mengkristalisasi kearifan-kearifan lokal—yang selanjutnya budaya daerah tersebut memiliki aspek definitif, yaitu budi dan daya. Budi merupakan bagian dari sistem nilai dan estetika yang terwujud dalam perilaku. Sementara daya merupakan keberdayaan buah tangan dari pemahaman hidup seseorang.

Sudah saatnya bagi pihak yang sadar akan perstasi masa lampau—untuk segera melakukan gerakan atau semacam reaksi penggalian dan melestarikan budaya daerah. Dalam hal ini, Departeman Pendidikan Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dewan Kesenian, atau sanggar-sanggar budaya yang mempunyai orientasi signifikan untuk meningkatkan kinerja dan kerjasamanya.

Dengan demikian, ajaran ”wulung”, ”niti”, atau ”tutur” dan beberapa kesenian daerah atau sumber budaya (teks klasik) lainnya tetap menjadi sesuatu yang dikenal dan diaplikasikan oleh generasi sekarang. Semangat ini akhirnya memberi penyimakan yang cermat akan peninggalan-peninggalan masa lampau yang tetap relevan untuk dijadikan suatu cerminan (kristalisasi), walaupun dengan kemasan yang agak berbeda, tetapi tetap berpegang pada aspek budaya daerah dan mampu mempertahankan diri dari sirkulasi alamiah.

Pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group)

Mari Menulis Fiksi Islami

Aliansyah
http://www.banjarmasinpost.co.id/

DALAM setiap periodisasi perkembangan kesusastraan Indonesia selalu diwarnai dengan kehadiran fiksi islami. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fansuri, Buya Hamka, Danarto, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Mustafa W Hasyim, Abidah El Khaliqi, dan seterusnya. Pilihan mereka untuk mengusung nilai-nilai islami tentu didasari niat menjadikan karya fiksi sebagai sarana dakwah.

Sayangnya, jumlah penulis di jalur ini kalah banyak dibanding mereka yang berhaluan agak ‘kiri’. Akibatnya, dunia perfiksian di Tanah Air justru didominasi oleh cerita-cerita mistik, tahayul, kekerasan, serta kisah percintaan yang kadang menyerempet pada seks bebas. Bahkan, beberapa waktu lalu sempat mencuat istilah ‘sastrawangi’ atau ‘sastra lendir’ yang gencar mengeksploitasi seputar masalah syahwat. Ironisnya, gerakan yang dipelopori Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu tersebut berhasil menjadi tren dan mendapat tempat di hati masyarakat.

Maraknya karya-karya fiksi yang seolah mempopulerkan dan merayakan dekadensi moral, tak pelak berimbas pada prilaku khalayak pembaca. Contoh kecil, karena remaja sering direcoki dengan berbagai kisah percintaan, akhirnya pacaran dianggap sebagai kebanggaan.

Kondisi memprihatinkan ini cukup lama berlangsung. Untunglah, pada pertengahan 1990-an muncul komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) yang diprakarsai Helvy Tiana Rosa. Anggotanya mencapai ribuan orang yang tersebar hampir di semua provinsi, bahkan kini sudah memiliki cabang di luar negeri. Mereka gencar mempublikasikan karya-karya fiksi yang sarat dengan semangat (ghirah) dan pesan-pesan islami. Penulis-penulis potensial pun bermunculan, seperti Asma Nadia, Afifah Afra, Sinta Yudisia, Melvy Yendra, Sakti Wibowo, Biru Laut, dll.

Pada era tersebut boleh dikatakan sebagai masa keemasannya fiksi islami. Novel-novel dan kumpulan cerpen islami berlabel FLP rata-rata mengalami booming, laris-manis di pasaran. Melihat tingginya animo masyarakat pada fiksi islami, beberapa penerbit kemudian mengajak FLP untuk bekerjasama. Toko-toko buku pun dipenuhi dengan karya-karya fiksi islami.

Pengaruhnya bukan hanya dirasakan FLP, mereka yang di luar komunitas ini juga tak mau ketinggalan; berangsur turut meramaikan fiksi islami.

Di Kalsel sendiri lumayan banyak lahir para penulis fiksi islami, terutama yang mempublikasikan di Serambi UmmaH. Sebutlah misalnya, Mia Endriza, Rismiyana, Ratih Ayuningrum, Reda Arie Yanti, Yurida Salamah, Aliman Syahrani, Randu Alamsyah, Nailiya Nikmah JFK, dan lain-lain.

Beberapa kalangan memprediksi sebentar lagi masa kejayaan fiksi islami bakalan berakhir. Namun, dugaan itu bisa saja meleset. Semua tergantung pada tingkat penerimaan masyarakat. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan populasi demikian, seharusnya daya serap pasar untuk fiksi islami selalu terbuka lebar.

Tinggal sejauhmana kesungguhan penulis-penulis Muslim untuk melahirkan karya-karya yang bermutu tinggi. Sebab, pada akhirnya kualitas juga yang akan menentukan.

Menggugah Kesadaran

Dalam proses kreatif pengarang senantiasa dihadapkan pada banyak pilihan. Di satu sisi kadang mencuat hasrat untuk mengekspolitasi imajinasi sebebas-bebasnya, sementara di sisi lain sebagai makhluk sosial ia juga punya tanggungjawab moral. Dua kekuatan ini sering mengalami tarik-ulur dalam diri pengarang. Pilihan mana yang diambil akan menentukan aliran yang dianutnya.

Sebagaimana kita ketahui bersama, karya fiksi tidak semata menyuguhkan hiburan, juga dapat diselipi nilai-nilai atau ideologi tertentu. Dengan demikian, ia bisa menjadi alat perjuangan.

Seseorang belum layak dikatakan sebagai Muslim sejati jika sehari saja dia tidak memikirkan untuk kemajuan Islam. Maka, selayaknya pengarang Muslim berusaha menyebarkan syiar Islam lewat goresan penanya. Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak mungkin berharap dari penganut agama lain.

Menulis fiksi islami tidak jauh beda dengan karya sastra pada umumnya. Ada unsur tokoh cerita, dialog, konflik, setting, plus mengandung muatan dakwah.

Menggarap fiksi islami tidak harus berlatarbelakang dunia pesantren, atau dalam setiap percakapan menggunakan istilah berbau kearab-araban seperti ukhti, ikhwan, ummi, abi, dan sejenisnya. Sebab, Islam itu bersifat universal. Begitu pula bila hendak menyampaikan misi dakwah dalam sebuah karya fiksi, tidak mutlak mengutip ayat-ayat suci, apalagi terkesan menggurui. Pengarang tak perlu terjebak pada hal-hal formalistik, yang terpenting adalah substansinya.

Agar fiksi islami bisa diterima oleh banyak kalangan, justru pengarang dituntut lebih fleksibel. Ia mesti jeli melihat ceruk-ceruk pasar yang belum tersentuh. Sebagaimana dilakukan Fahri Ariza yang memadukan antara cerita misteri dengan muatan dakwah.

Artinya, siapapun yang telah terbiasa menulis fiksi, dia pun tidak akan kesulitan menggarap tema yang bernuansa islami — asalkan ada niat untuk itu.

Ingat, barangsiapa meninggikan agama Allah, niscaya derajatnya akan ditinggikan pula. Setiap orang punya potensi dan peluang memberikan sumbangsihnya bagi kemajuan Islam.

Dengan menulis fiksi islami, diharapkan pengarang turut andil mencerahkan dan menggugah kesadaran umat. Jika ini diniatkan dari awal, insya Allah si bersangkutan tak hanya memperoleh keberkahan di dunia, juga mendapatkan pahala di akhirat.

Pertemuan Dua Presiden Penyair

Salyaputra
http://cetak.kompas.com/

PERTEMUAN Sutardji Calzoum Bachri dan Umbu Landu Paranggi boleh jadi hal yang lumrah saja. Namun, mengingat peran dan mitos mereka selama ini sebagai tokoh perpuisian Indonesia, tak pelak perjumpaan dua sahabat lama ini mengandung sekian kemungkinan arti dan juga tafsir tersendiri: sebuah kilas balik sekaligus refleksi akan kehidupan susastra Indonesia di masa depan.

Dalam tahapan sejarah sastra Indonesia, keduanya terbilang angkatan 1970-an, yang tumbuh senyampang kemelut dan tragedi sosial politik tahun 1965. Apabila Chairil Anwar dan rekan-rekan seniman segenerasinya, melalui ”Surat Gelanggang”, memaklumatkan sebagai ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia serta menegaskan diri sebagai ”binatang jalang” yang meradang dan menerjang (individualis), Sutardji-Umbu bersama sejawatnya malahan menggaungkan kehendak untuk ”kembali ke akar”. Ini sesungguhnya tidak semata pertarungan keyakinan antargenerasi, tetapi mencerminkan pula apa yang disebut oleh para ahli sejarah sebagai ”jiwa zaman”.

Pertemuan Sutardji dan Umbu di sela-sela perhelatan Ubud Writers and Readers Festival 2010 di Bali, bukanlah sesuatu yang direncanakan atau bagian dari agenda festival itu. Di hadapan para seniman Indonesia dari generasi yang lebih kini, mereka saling menunjukkan secara spontan kehangatan persahabatan, yang sudah lebih dari 40 tahun tak bersua. Yang seketika mengemuka adalah sisi-sisi pribadi, sentuhan manusiawi penuh keharuan. Mitos yang selama ini membayang-bayangi eksistensi mereka di dunia sastra, dan membuat keduanya tampak ”angker” dan berjarak dari keseharian, di mana masing-masing menyandang sebutan yang serupa, Sutardji ”Presiden Penyair Indonesia” dan Umbu ”Presiden Malioboro”, seketika cair. Umbu yang dikenal sebagai sosok yang serba ”konon”, misterius, sulit ditemui, dan jarang hadir di ruang publik, kali ini tampil ekspresif, terbuka, dan spontan. Sedangkan Sutardji, yang hingga belakangan ini terus terpublikasi sebagai sosok nyentrik, heboh, dan fenomenal, memperlihatkan bagian dirinya yang sehari-hari.

Mitos

Jadi jelaslah, di balik selubung mitos selama ini, kita mungkin saja luput merunut bahwa mereka sesungguhnya mengalami sekian tahapan pergulatan sebelum mengukuhkan eksistensinya sebagaimana yang terbaca di khalayak sekarang ini. Keduanya memang terbilang tokoh berpengaruh, dan kini sama-sama menjelang usia 70-tahun. Namun, latar sosial budaya serta cara masing-masing merespons pilihan hidupnya telah menempatkan keduanya sebagai pribadi dengan kecenderungan yang boleh dikata bertolak belakang.

Adapun Sutardji, mencermati tahapan kreatifnya, tumbuh sebagai penyair yang ekstrovert, di mana publik tersihir oleh tampilannya di atas panggung yang dramatik dan nyeleneh, berikut karyanya yang penuh kejutan serta menyimpang dari mainstream perpuisian. Sedangkan Umbu sebaliknya. Ia diingat orang sebagai sosok yang introvert, lebih mengemuka selaku motivator, menghindar dari publikasi, bahkan hingga kini belum memiliki antologi puisi tunggal. Apabila Sutardji layaknya seorang single figther yang menonjol secara individual, Umbu lebih memilih di luar ring, hidup bersahaja dalam semangat komunal. Keduanya boleh dikata berbeda latar. Sutardji dilahirkan 24 Juni 1943 di Rengat, Riau, bagian barat Indonesia, sedangkan Umbu dilahirkan di wilayah timur, tepatnya Sumba, mungkin sekitar 10 Agustus 1943.

Melalui pencapaian karyanya, sosok Sutardji hadir dan memengaruhi kehidupan perpuisian generasi berikutnya. Sementara Umbu meneguhkan figurnya sebagai motivator dan apresiator melalui komunitas-komunitas yang turut didirikannya, di Yogyakarta dan di Bali, di mana penyair-penyair binaannya mewarnai perjalanan susastra nasional, serta secara tidak langsung menciptakan mitos tersendiri perihal ”kebohemianan” hidupnya. Dedikasi dan seluruh tahapan perjalanan mereka bermuara pada satu hal yang sama, yakni menjadikan kepenyairan sebagai jalan hidup dan puisi sebagai pilihan ekspresi yang hakiki.

Dengan ciri pribadi yang bertolak-belakang itu, baik Sutardji maupun Umbu telah memberikan sumbangsih yang besar pada apa yang harus diraih di masa depan. Keduanya telah menunjukkan kepada kita bahwa puisi bukanlah sebuah dunia di mana pelakunya asyik masyuk dengan diri sendiri. Sutardji, tercermin pada tahapan dan periodisasi karya-karyanya, tidak hanya menciptakan puisi yang bernada personal, tetapi juga menegaskan kepedulian sosial, semisal sajak Tanah Air Mata. Sedangkan Umbu, meskipun kehidupan pribadinya terbilang tertutup dan penyendiri, tetapi melalui kegiatan-kegiatan apresiasi yang konsisten ke sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas telah turut menumbuhkan kegairahan bersastra di kalangan generasi muda.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa baik Sutardji maupun Umbu adalah produk dari suatu zaman yang tentunya berbeda dengan era sekarang ini. Apabila angkatan 1970 menyatakan kembali ke akar serta memiliki romantikanya tersendiri dengan kehidupan yang diwarnai kebohemianan, situasi kini dan juga masa depan tentulah memerlukan suatu bentuk ekspresi dan jalan kreatif yang lain. Apa mau dikata, 10 tahun belakangan ini, kemajuan teknologi audiovisual dan informasi telah memaksa kita untuk mempertanyakan ulang nilai-nilai baku dan mendasar yang sekian waktu telah diyakini sebagai kebenaran atau acuan. Dalam kenyataan yang paling banal, serbuan bahasa iklan serta tampilan visual di aneka media telah meminta para kreator di bidang seni apa pun untuk mengolah ragam bahasa estetiknya secara lebih kontekstual serta tak kehilangan kedalaman renungan serta kandungan nilai-nilai yang esensial.

Memang, semangat tiap zaman memerlukan respons kreatif yang berlainan. Namun, tentu saja, generasi penyair terkini dan mendatang dapat memetik pelajaran dari apa yang telah didedikasikan Umbu dan Sutardji pada kehidupan puisi. Guna menjawab percepatan perubahan yang terjadi serta banjir informasi yang serentak mengepung kita dari segala lini, seseorang sepatutnya mengolah diri dengan intens sebagaimana telah ditunjukkan seorang Sutardji. Dengan kata lain, seorang kreator era kini hendaknya adalah seorang yang memiliki disiplin pribadi yang tinggi.

Di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan sosial kini yang dipenuhi oleh seruan pluralisme dan multikultur, serta diwarnai suatu perubahan iklim yang bersifat global, meniscayakan pentingnya membangun komunitas-komunitas kreatif. Dalam naungan kesadaran seperti itulah, para kreator seni mencipta dan mempersembahkan karyanya untuk panggilan yang lebih jauh dari sekadar ekspresi tentang keindahan. Era komunitas ini, jelaslah menuntut setiap pribadi yang terlibat di dalamnya untuk memiliki suatu disiplin organisasi yang terjaga.

Dengan demikian, selaras dengan jiwa zaman kini, kehidupan susastra yang kreatif produktif memerlukan sosok-sosok kreator yang kuasa mempertautkan antara disiplin pribadi dan disiplin organisasi, antara kehidupan keseharian yang soliter dan kenyataan sosial yang menuntut sikap diri yang solider. Mungkin di masa mendatang yang kita perlukan adalah bagaimana mengolah mitos, bukan sekadar peneguh legitimasi, melainkan suatu capaian ekspresi yang mencerahkan dan membebaskan kita dari selubung sensasi, guna meraih yang esensi.

Salyaputra, penyair

Pledoi Puisi, Memori Sunyi

Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/

bukan, bukan ciuman
yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi paling sunyi

Demikian bunyi lirik dari puisi Teguh Trianton yang berjudul “Pledoi Puisi”, terkumpul dalam Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 6 bertajuk Pledoi Puisi (diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah. 2009).

Saya mengasumsikan, kutipan lirik di atas adalah inti dari beberapa tema puisi yang terhimpun di Pledoi Puisi, khususnya puisi yang ditulis oleh beberapa penyair dari wilayah eks Karesidenan Banyumas yang disebut-sebut oleh Haryono Soekiran (kurator untuk antologi ini) sebagai penyair terkini Banyumas.

Pada mulanya adalah sunyi

Menikmati Pledoi Puisi, saya seakan diajak untuk menghikmati sunyi. Sunyi yang dihadirkan oleh penyair memang nyaris tak seragam, terkadang menjadi pangkal terkadang pula ujung dari sebuah kejadian: Entah itu berupa perpisahan, pertemuan atau ketidakpastian. Masing-masing sunyi memiliki asal usul tersendiri: Dari alam, hati, maupun puisi.

Seperti puisi pendek Teguh Trianton misalnya, “Meditasi Tepi Laut”, sunyi timbul di antara hingar-bingar pantai dan debur ombak. Menjadi ujung dari sebuah narasi tentang sepi.:

“di kelam hari/ di tepi laut/ aku tak menemukan apapun/ selain ombak pecah/ yang gaduh/ membuatku/ merasa / paling/ sepi.”

Lalu, apakah puisi dihadirkan guna memecah sunyi? Dari membaca puisi dalam antologi Pledoi Puisi, saya tahu bahwa terkadang puisi tidak ditujukan serupa itu. Sebab, puisi pun direaksi oleh penyair sebagai sunyi. Hal itu, nampak jelas dalam bait-bait berikut:

Teguh Trianton, “Pledoi Puisi”: “bukan, bukan kecupan/ yang selalu tertinggal di dada usai bercinta/ lantaran kau kian berjelaga setelah luka padam//…bukan, bukan ciuman/ yang tersisa di tubuhmu/ tapi puisi paling sunyi.”

Dalam puisi itu, meminjam istilah Sigmund Freud, puisi menjadi displacement: objek pemindahan dari sebuah energi yang sebenarnya ingin diarahkan oleh penyair pada suatu objek asal. Tetapi, objek asal tak mudah untuk dipahami sehingga penyair memerlukan puisi sebagai pengganti untuk pembelaan atas kegagalan. Puisi, lalu meruang bersama sunyi dan seakan dipercaya dapat menjelaskan sesuatu yang tak terungkapkan. Hal serupa, juga nampak dalam bait-bait puisi berikut:

Yosi M Giri, “Semesta Kata-kata”: “Kesederhanaan kata mengalir dari tubuhmu/ menjadi banjir bagi wajahmu di cermin/ dan puisi selalu lahir dari sepi yang menjelaskan kentongan/ degub jantung dan kau pun dengar, bukan?”

Hal yang sedikit berbeda, tampak pada puisi pendek Restu Kurniawan, “Ziarah Subuh”, dimana puisi di antara sunyi tak lagi difungsikan sebagai media pemindah yang dapat membantu pertahanan ego penyair untuk menghindari kecemasan. Puisi mengalami destruksi sehingga tak lagi dicitrakan sebagai keindahan.

“aku ingin menemukanmu/ sebelum engkau terlebih dahulu menemukanku/ di sebelah sajadah sebelum subuh/ berbentuk bangkai puisi.”

Namun, walau puisi telah berbentuk bangkai, ia tak ingin dihindari. Sebab puisi diyakini sebagai sebuah hal yang memuat penjelasan, sehingga aku lirik pun ingin menemukannya dan sunyi sebelum subuh dirasa tepat untuk pencarian itu. Sunyi pun menjadi semacam pintu untuk sebuah pertemuan. Pada bait-bait puisi berikut, hal serupa juga dapat kita rasakan:

Isni Ekowati, “Aku Malu”: Aku malu/ Titipkan sesal ini pada alam alam yang ada/ Ruang hampa telah lama membatu/ Menjerumus pada duka-duka.

Sunyi mempertemukan aku lirik pada rasa bersalah di suatu masa. Sehingga sunyi menimbulkan fiksasi: keterpakuan pada masa yang telah lewat yang bisa menimbulkan kecemasan, sehingga aku lirik berkata “adakah jiwa sanggup menahan pedih” dan aku lirik hanya dapat kembali menjadi semacam bocah kanak “bersembunyi di balik resah, tiada berhenti berkaca-kaca”.

Dalam Pledoi Puisi, sunyi adalah memori, sebuah tanggapan awal yang berkelindan bersama keberbagaian perasaan dimana puisi lalu dijadikan semacam pembelaan untuk mengaburkan kecemasan dan kegagalan. Dalam Pledoi Puisi, memori tentang sunyi mencapai puncaknya pada puisi Arif Hidayat “Menyukai Keheningan”, sebab sunyi menjadi pangkal sekaligus ujung, hamburan nuansa eros (daya untuk hidup) sekaligus thanatos (daya kematian) menjadikan sunyi terdampar di posisi yang “antara”.

…menyukai kesunyian/ hanya pesan yang kerap tumbuh/ di antara kulit memuai/ sampai akhirnya/ yang ada menjadi “ada”/ dan buah merambah ke tanah// tapi tidak, burung-burung/ seakan angan yang terus terbang/ melepaskan benang-benang/ ke tengah gumpalan awan/ seketika dan mendadak mendung// sementara keheningan masih berdiam/ berada di tepi jendela/ mengenang, merenung dan menghitung/ hari yang entah berakhir.

Daya ucap & daya pikat

Pada mulanya adalah sunyi, itulah sesuatu yang diujarkan oleh beberapa penyair dalam antologi Pledoi Puisi. Tapi, membicarakan penyair dan puisi, tentu pula membicarakan bagaimana sesuatu itu diujarkan: Perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat.

Apa yang saya maksud sebagai daya pikat adalah metaforarisasi: Mekanisme pembubuhan sejumlah fungsi, makna, dan pesan pada sebuah materi. Dimana materi itu, dieksplorasi oleh penyair untuk dialihkan fungsinya. Dan yang saya anggap paling berhasil melakukan itu, adalah puisi berikut:

Arif Hidayat, “Aku Pohon Purba”: …kini aku tak punya bau tubuhmu/ tak punya kata-kata apalagi puisi untukmu/ hanya lumut-lumut keramat/ menghantui tidur panjangku/ dan seluruh bangunan kota akan melupakanku/…dalam kulitku/ layaknya pestisida yang merong-rong usiaku/ karena memang aku pohon purba yang buta.

Pada puisi itu, secara pribadi saya menemukan kejutan yang menyentak yang sangup menggedor pikiran saya untuk memasuki bentangan ruang tafsir agar saya memulai lagi interpretasi tentang sunyi dalam puisi. “Lumut-lumut keramat”, “kulitku layaknya pestisida”, “pohon purba yang buta” adalah perambahan pengucapan yang saya rasa unik, sebab fungsi asal materi dibubuhi fungsi baru sehingga penyair menjadi semacam pemancar yang mengirim pesan segar.

“Penyair Banyumas terkini”

Demikianlah pembacaan sederhana saya atas antologi Pledoi Puisi yang menghimpun beberapa karya penyair dari eks Karisidenan Banyumas. Sebagai catatan tambahan: Selain para penyair yang terhimpun dalam antologi Pledoi Puisi, tentu masih banyak penyair dari Banyumas yang karyanya patut untuk diamati.

Sebab, mereka mendapatkan publikasi yang cukup besar di berbagai media massa, terbitan alternatif maupun antologi puisi, semisal: W Choerul Cahyadi, Sigit Emwe, IH. Antassalam, Ryan Rachman, Heru Kurniawan, Alfiyan Harf dan Abdulloh Amir.

Suatu hari nanti, puisi sendiri yang akan membuktikan identitas kepenyairan mereka. Sebab pada akhirnya, puisi yang akan berbicara bagaimana sesungguhnya kualitas kepenyairan mereka, sekaligus menyeleksi dimana mereka harus ditempatkan dalam sejarah sastra suatu bangsa. *****

Catatan: Pledoi Puisi, Memori Sunyi disiar pertama kali oleh Buletin Sastra Littera, -Taman Budaya Jawa Tengah –TBJT- Edisi Mei-Juni 2009). Kemudian disiar ulang oleh Catatan dari Beranda, http://berandaperadaban.blogspot.com/
Facebook: 22 Agustus 2009.

Sabtu, 18 Desember 2010

Lidi Segala Kata, Sajak Herry Lamongan

Zawawi Se
http://sastra-indonesia.com/

Mungkin adalah benar bila sebuah pendapat menyatakan bahwa ketika kita menyakiti seseorang itu ibarat menancapkan sebuah paku pada sebuah kayu. Bila berkali-kali kita menyakiti seseorang berarti hal itu seperti berkali-kali pula kita menancapkan paku-paku itu pada sebuah kayu.

Sedangkan ketika permohona maaf kita lontarkan atas kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, mungkin hal itu ibarat kita mencabut paku-paku yang telah kita tancapkan tersebut dari sebuah kayu.

Memang benar dengan permohonan maaf seolah-olah kita telah mencabut paku-paku tersebut dari kayu, kita telah mencoba menghilangkan rasa sakit akibat perbuatan kita pada seseorang.

Namun demikian bila kita perhatikan, benarkan kita telah menghilangkan rasa sakit secara keseluruhan dengan mencabut paku-paku itu, melalui permintaan maaf tersebut.. Bila kita perhatikan lebih teliti ternyata bekas paku-paku yang telah kita tancapkan pada diri seseorang itu menyisakan lubang-lubang. Lubang-lubang luka atas perbuatan kita.

Mungkin demikian makna sajak karya Herry Lamongan yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata dengan judul yang sama yang dimuat dalam Majalah Sastra Indupati Tahun IX/2009 No. 1 yang diterbitkan oleh Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA).

Jadi problem (lindu) apakah yang paling menyedihkan diantara guncangan-guncangan yang ada yang mengisi hari-hari kita pada saat perjumpaan maupun saat perpisahan diantara jalinan hubungan antar manusia dalam koridor toleransi?

Kenapa problema-problema (lindu) itu bisa terjadi? Apakah karena diri pribadi kita yang tidak tahan atas guncangan-guncangan itu (terlalu gelap beranda dada) ataukah memang karena aksi yang kita terima memang terasa begitu menyakitkan?

Mengawali sajaknya dengan kalimat tanya seolah-olah Penyair ingin menyajikan permasalahan yang sering kita hadapi dalam perjalanan hidup yang harus berinteraksi dengan manusia-manusia lain sebagai makhluk social.

lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian

mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan

Penyair membuat lindu sebagai metafora bagi problema-problema yang dihadapi manusia sebagai hasil interaksi antar manusia: lempeng sana dengan lempeng sini / dalam bumi pengertian

Atas problema-problema yang datang kepada kita itu semestinya memang kita tak perlu menyesalinya sebab problema-problema hidup, kata-kata yang menyakitkan seperti yang disimbolkan dengan lidi segala kata itu dalam perjalanan hidup akan selau kita temui:

tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati

Kita akan seringkali menemui hal itu sebagai sebuah kewajaran dalam hidup yang berinteraksi dengan manusia lain dengan latar belakang kepentingan yang berbeda-beda: sebab lidi segala kata / sudah jauh / berulang-ulang / menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.

Bilamanapun ada sesal, ada tangis atas problema-problema itu benak kita terkadang lebih bijak dalam mengambil keputusan. Sebagaimana filosofi orang-orang tua dulu yang sering menyatakan untuk “diunggahno ya diuduno” (dipikir-pikir / ditimbang-timbang / dipasrahkan) bila ada problema-problema kehidupan yang menerpa kita.

dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri

Problema-problema atas hasil interaksi dengan manusia lain itu adalah sebuah kewajaran atau sunatullah: supaya kembali kepada makna / betapa kita tak sendiri

Tapi entah mengapa meskipun telah mengemukakan alasan-alasan yang seharusnya membuat tak berduka atas problema-problema itu, sang penyair masih bersikukuh untuk merasa dalam kekal duka. Meskipun lindu itu telah berlalu kekal tetap membasah, kekal duka yang tak kunjung kering meski beribu kali dibasuh.

tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah

kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya

Mengapa kekal duka tak kunjung kering? Mungkinkah karena terlalu gelap beranda pada dada? Mungkinkah karena pekat siap pada setiap pesta?

Inilah sajak selengkapnya karya Herry Lamongan, salah satu penyair senior lamongan yang giat membina para pengrajin syair pemula di Lamongan melalui Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) yang pada tanggal 6 Desember 2009 kemarin genap berusia 10 Tahun.

Sajak Herry Lamongan
Lidi Segala Kata

lindu apakah paling airmata
lalulalang ia di jalan jumpa
hiilrmudik ia di jalan pisah
gelincir waktu
lempeng sana dengan lempeng sini
dalam bumi pengertian

mungkin petang siap pesta amat pekat
atau terlalu gelap beranda dada
maka subuh dipijarkan
gempa diwujudkan

tak perlu sibuk menyesal
sebab lidi segala kata
sudah jauh
berulang-ulang
menyentuh ibukota terdalam wilayah hati.

dan lelayung tangis
dari gugur atap dari puing dinding
usai gempa
hanya kabar pilu yang dikandaskan
atas benak
supaya kembali kepada makna
betapa kita tak sendiri

tapi lindu
sampai ia berlalu
mengapa kekal membasah

kekal duka
tak kunjung kering
meski beribu kali
tanganku pulang membasuhnya

madedadi, Nov 2009

Peringatan 10 Tahun Kebangkitan Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) bertempat di Gedung Serba Guna Kecamatan Sukodadi, Lamongan berlangsung meriah.

Beberapa acara dilaksanakan mulai minggu siang sampai minggu malam pada 6 Desember 2009. Beberapa agenda diantaranya adalah pembacaan puisi, pementasan teater, dan bazaar buku murah, serta peluncuran Majalah Sastra Indupati. Majalah yang sudah pernah terbit beberapa kali sebelumnya, namun sempat terhenti penerbitannya.

Sangat disayangkan momen tersebut tidak digunakan untuk membedah karya sastra atau apresiasi sastra dan berdiskusi permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala bagi terwujudnya kemajuan sastra dan teater di Lamongan. Padahal dalam momen tersebut telah berkumpul orang-orang yang terlibat dalam sastra setidaknya menyukai sastra.

Namun demikian saya hanya ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun Ke-10 untuk KOSTELA, dan selamat pula atas keberhasilan KOSTELA sehingga mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai komunitas aktif dalam berkegiatan sastra. Semoga tetap semangat dalam memprakarsai kemajuan dan kebangkitan sastra dan teater di Lamongan.

Gresik, 9 Desember 2009
http://dunia-awie.blogspot.com/

Rabu, 01 Desember 2010

Pengantar PuJa: Wanita Yang Kencing Di Semak :)

(Kumpulan Esay & Puisi H.U. Mardiluhung, terbitan PUstaka puJAngga, Cetakan ke II, 2006)
Nurel Javissyarqi *
http://sastra-indonesia.com/

Ketika realitas masuk dalam angan ke depan (harapan), lalu terjadilah pergumulan, lantas kabut mitos menyempurnakan gagasan awal, saat bergerak maju terlahirlah puisi. Puisi, salah satu cabang ilmu pengetahuan, sebab ia memiliki logika, meski tersendiri. Ia lebih sempurna daripada ilmu lain, lantaran di kedalamannya bersimpan logika rasa, itulah sebagian jalan terciptanya puisi, meski juga bisa berbalik arah.

Penciptaan puisi dalam masa-masa lembut yang terlahir kadang seolah spontan, tetapi semua berangkat dari angan lalu, panalaran lampau yang kemarin belum menemui juntrung. Ketika pena terangkat, aliran asosiasi pencarian dulu mendapati muara kejelasan, walau awalnya kadang belum menjelaskan keseluruhan. Tapi sedikit-banyak telah mewakili kehadiran gelisah tempo lama. Waktu-waktu lembut termaksudkan ialah masa-masa pelan jalannya menjelajahi pepadang rumput tanpa merusaknya, umpama bayu pelahan mengelus kemungkinan menjadi dekat, dan kita merasai keakraban teramat sangat.

Ketika telah akrab realitas lain (yang tak dalam peredaran nalar umum), kita diajak ke dunia hening, wilayah tanpa batas, yang asalnya dari batas-batas kebebasan manusia. Atau, ternyata kebebasan berekspresi terbentur patokan-patokan nasib, dan penyair membuka kemungkinan bagi penyembuh, namun bukan obat meringankan sakit lantas kambuh oleh kaplet hayalan, tapi jamu terminum sungguh yang di ujungnya tertancap keyakinan. Inilah yang menentukan gerak logika hati menterjemah tanda menjelma pelajaran, demi langkah ke muka lebih gemilang.

Para seniman dianugerahkan jiwa-jiwa berlimpah, cara ekspresikan jiwanya bisa melewati apa saja; cat, kata, pahatan, tarian, &lsb. Para seniman-lah yang ulet lagi tekun mengembangkan jiwa merdeka demi menemukan hari ini untuk temuan di hari selanjutnya. Jiwanya senantiasa dahaga akan masa kelahirannya di setiap pagi pun senja. Para penyair memekarkan jiwa tersebut melewati guratan kata atas mata pena setajam malam, sebening ombak lautan. Hanya berjiwa seni-lah, pemampu mendengar sapaan angin bisikan gerimis, lelambaian perkenalanan dedaunan tepian jalan, juga bebatuan ia telah mengenalnya di atas kelembutan menterjemah bersalam akrab sesama ciptaan Yang Kuasa. Tranformasi dari getaran bahasa alam itulah yang diambil bagi jalan ia tempuh, agar tetap ingat waspada perubahan serta tingkah-pakolahnya.

Malam itu di dermaga kota Gersik, penyair Mardi Luhung, Raudal Tanjung Banua beserta Nur Wahida Idris. Saya di tempat itu juga, mata-mata memandangi kapal-kapal bertengger di pelabuhan lama, tak ada cerecah camar, waktu itu begitu larut memalam, perjalanan masa mengendap di cela-cela perbincangan, dari BBM sampai keringat pekerja kuli, dari puisi hingga posisi kaki, dari bau khas ikan pada amis darah. Seakan angan lama timbul, hantu muncul dari tengah-tengah laut kesadaran, atau bayangan cagak (tiang) lampu dermaga bersandar di dinding layar. Entah suasana tertangkap itu (kelak) puisi…, yang jelas kami teguk penuh akrab, semacam teknik kedekatan asap rokok mengepul, dan sebuah kepastian ternyata kenangan.

Malam berkah, bintang merangkai realitas harum dalam hidung mulut percakapan mengendap, kami saling belajar bagaimana kerja esok hari, ketika langit sudah bukan milik siapa-siapa, atau suatu kali akan menyusurinya kembali, jalan-jalan lalu nampak jauh dan menjelma sejengkal rindu dalam ciuman guyub berpadu, meski kabel-kabel bergelantungan itu diantarkan angin diam dalam kesendirian kamar masing-masing. Pastinya, kata demi kata, kalimah demi makna lain, sewaktu nilai lampau tak lagi mengganggu, kesadaran bertumpu keyakinan sendiri-sendiri, meski entah kapan balik bertemu, tetapi kangen tersimpan sudah, ketika binaran mata meretaskan airmata setia.

Karya-karya Mardi Luhung telah berdiri kokoh sendiri. Saya hanya sekilas menggambarkan kebertemuan itu, menyentuh sentak membangunkan lelapisan kabut tengah malam. Diriku teringat pohon-pohon Jati ditinggal pergi musim hujan, kerontangnya bersimpan ketegasan, ketegaran, seakan tak berharap lahirnya kata “menanti.” Dan pastilah musim berganti busana kesegaran, tak kecuali cita-cita yang selalu diemban para insan; ayunan langkah kaki terkantuk, rupa kapal dirayu ombak terlena tak bertujuan, tapi pagi senantiasa memberi kabar mengembangkan bunga Jati (“Opo,” sebutan kembang Jati, kalau ditulis ke dalam bahasa Nusantara, menjadi “apa”). Bunga yang mengembalikan pertanyaan tanpa nama atau tak ingin disebut, malu atas sanjungan (Kembang Jati Jengene: Opo).

Demikian mungkin yang ditawarkan penyair atas gambaran memakai kacamatanya, memandangi dengan sudut lain, ia tak perbincangkan normatif sebab telah ada, tak menyampaikan ateis, tersebab tuhan ateis. Seperti dua cermin berhadap di antara satu sosok, ketika mata melihat kebersamaan; kesadaran menjadi berbagi, padahal tidak sama sekali.

*) Pengelana.
Sabtu Pon, 1 April 2006, Lamongan.

Sastra Melayu Tionghoa Mencari Pengakuan

KESUSASTRAAN Melayu-Tionghoa adalah tonggak sejarah yang terlupakan di Nusantara.

Satriani
http://www.ujungpandangekspres.com/

Selama nyaris seabad (1870-1960) dihasilkan tidak kurang dari 3.005 karya sastra dengan melibatkan 806 penulis yang jauh melampaui jumlah karya dan penulis dalam sastra Indonesia Modern. Karya sastra Melayu-Tionghoa merupakan refleksi kritis terhadap dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Neerlandica (masa keemasan penjajahan Belanda-Red) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa sebagai warna “Indo” dari Indonesia tergambar dalam karya-karya tersebut.

Keberadaan Tionghoa yang tidak seragam, ada yang berorientasi ke negeri leluhur, berpihak pada Indonesia, atau memuja kolonialisme Belanda, terekam dalam rangkaian karya tersebut. Otomatis ini menggambarkan pluralitas dalam komunitas Tionghoa yang di mata masyarakat banyak sering disamaratakan dengan stereotype tertentu.

Ibnu Wahyudi seorang kritikus sastra dalam diskusi panel “Ide Pembauran Etnis Tionghoa Dalam Masyarakat Pribumi” yang mengacu pada karya Kwee Tik Hoay di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI) mengatakan, marjinalisasi terhadap sastra Melayu-Tionghoa sangat bersifat politis.

Penggunaan bahasa Melayu rendah yang merupakan bahasa pasar dijadikan dalih karya sastra ini tidak dianggap sebagai kesusastraan Indonesia. Sementara karya sastra Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggi dianggap sebagai bagian kebudayaan bangsa.

“Kebijakan politik berusaha menekankan sebuah karya sastra yang layak diakui disusun dalam bahasa yang baik dan benar. Ini sangat mengada-ada.

Pengingkaran terhadap sastra Melayu-Tionghoa disebabkan hal mendasar, yakni semata karena keberadaan penulisnya yang notabene etnis Cina sehingga tidak diakui sebagai bagian Indonesia. Alasan penggunaan Melayu pasar dalam sastra Melayu-Tionghoa juga tidak masuk akal,” kata Ibnu.

Untuk itu perlu reposisi terhadap pengertian sastra Indonesia modern. Apa yang dimaksud sebagai Indonesia harus dipertegas. Jika Indonesia modern muncul setelah Sumpah Pemuda, atau sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, tentu Angkatan Balai Pustaka tidak menjadi bagian khazanah sastra Indonesia.

Pengakuan atas eksistensi sastra Melayu- Tionghoa, menurut Ketua Paguyuban Indonesia Tionghoa (INTI) Edie Lembong, adalah bagian upaya pembauran. Pembauran yang benar adalah proses asimilasi secara wajar dan alamiah sebagai bagian dari Indonesia yang plural.

Edie yang juga menjadi panelis dalam diskusi bersama Ibnu Wahyudi menambahkan, pengertian pembauran yang dijalankan Orde Baru dengan gerakan asimilasi yang dipaksakan di permukaan adalah sebuah ethnic cleansing yang sangat tidak manusiawi. Sesungguhnya, Indonesia modern adalah sebuah tempat pemupukan hubungan lintas budaya secara intens.

“Semangat sejati dari interaksi Tionghoa dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah penghapusan diskriminasi terhadap pihak mana pun seraya mengikis habis kesenjangan sosial dengan membina serta memahami nilai-nilai budaya ekonomi dari pihak yang sukses di sektor swasta,” ujar Edie Lembong.

Dalam proses itu, sastra Melayu-Tionghoa memberi makna yang mendalam. Karya sastra Melayu-Tionghoa sebetulnya memiliki kelebihan dengan corak bahasa Mandarin atau dialeknya yang memiliki pemahaman lebih dalam terhadap deskripsi suasana, bau wewangian, dan rasa, seperti tergambar dalam karya Kwee Tik Hoay.

Kedalaman makna dalam deskripsi keindahan alam adalah salah satu contoh kelebihan sastra Melayu-Tionghoa. Itu merupakan kelebihan yang dimiliki pengarang berlatar budaya Tionghoa yang menjadi masukan berharga dalam sastra Nusantara.

Karya sastra Melayu-Tionghoa juga penting untuk diterima masyarakat karena makna mendalam yang dimilikinya. Karya klasik ala Kwee Tik Hoay banyak berpesan tentang ketaatan perempuan, kembali pada nilai keluarga, dan terutama menghapus kecurigaan antarkelompok dan persoalan agama. Ini sangat sesuai dengan konteks Indonesia yang sedang kita jalani.

Edie Lembong menambahkan, sebuah pembauran alamiah akan mendorong kehadiran trust society atau rasa saling percaya di antara masyarakat. Ini merupakan modal yang penting untuk membangun Indonesia sebagai sebuah proses tiada henti menjadi sebuah bangsa.

Perempuan Menulis Puisi

David Krisna Alka
http://www.sinarharapan.co.id/

Perempuan penyair Indonesia dilihat dari segi kuantitas dan kualitas sangat sedikit dibandingkan dengan laki-laki penyair. Beberapa perempuan penyair seperti Toety Heraty, St. Nuraini, S. Rukiah dan Isma Sawitri, karya-karya mereka kini sudak tak pernah terlihat lagi. Apa masalahnya? Padahal kekuatan rasa perempuan lebih tinggi dan mendalam dari laki-laki, jika mulanya kekuatan puisi adalah rasa sebelum kata.

Kompleksitas rasa pada perempuan memiliki daya menggugah yang cukup kuat untuk menulis puisi. Perasaan pada perempuan begitu dalam. Oleh karena itu potensi perempuan menulis puisi kemungkinan dapat melebihi laki-laki. Perempuan mengubah kekuatan perasaannya membentuk aksara di atas kertas, membuat kata menjadi bermakna, menjadikan imajinasi penuh rasa, dan menangkap realitas dengan perasaan yang dalam menjadi puisi yang terurai dan berkembang.

Biasanya, perempuan menulis keluh-kesahnya dalam sebuah diary. Keluh kesah pribadi, sosial, dan kegelisahan akan kehidupan. Secara sengaja maupun tak sengaja perempuan mengonstruksi realitas dan pengalamannya menjadi kata-kata puitis. Puisi bukan hanya keluh-kesah yang melepaskannya cukup melalui kata-kata yang indah. Puisi seharusnya memiliki pengetahuan kelir belakang kemasyarakatan dan kesejarahan (HB.Yassin, 1993). Akan tetapi, kekuatan perempuan pada kelembutannya dapat menggetarkan bahkan menanamkan makna kedamaian dalam sajak-sajaknya.

Selama ini perempuan sering menjadi objek (penderita) bagi laki-laki penyair bukan sebagai subjek (pengarang). Jarang sekali penyair (laki-laki) tak menuangkan perihal perempuan dalam kumpulan puisi-puisinya. Seluk-beluk perempuan menjadi penghibur, penyedap rasa, dan pendukung makna bagi laki-laki penyair. Pengarang dan teks (puisi) sulit untuk dilepaskan dalam menciptakan puisi. Imajinasi dan inspirasi dari segala yang ada pada perempuan dapat membuat teks puisi menjadi romantis, platonis dan sulit terkadang pesimisitis. Menafikan peran pengarang laki-laki dalam teks puisi yang objeknya perempuan tak dapat dipungkiri. Karena dalam puisi yang menceritakan tentang seseorang (perempuan) hakikatnya mencoba untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada dalam dirinya sendiri. Lantas apakah perempuan selalu akan menjadi objek dari laki-laki penyair?

Feminisme

Wacana feminisme dan gender telah merambat hampir semua bidang; politik, ekonom, sosial, budaya dan sebagainya. Persoalan peran perempuan mulai banyak diperdebatkan sejak munculnya gerakan feminisme pada pertengahan tahun 60-an. Feminisme pada dasarnya muncul sebagai gerakan dengan tujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki. Hak-hak dalam segala bidang kehidupan. Feminisme ini kemudian melahirkan apa yang disebut ”gender”, sebuah diskursus yang membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin (Said Ramadhan, 2004). Berakitan dengan itu, permasalahan mengenai peran perempuan penyair dalam hal itu memang agak rumit tetapi menarik untuk dikaji.

Isu tentang peran perempuan yang muncul dewasa ini, terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia berkaitan dengan feminisme dan gender. Dalam menciptakan puisi, perempuan penyair tidak perlu bersusah payah untuk mempersoalkan dikotomi peran perempuan mengenai hak dan kewajibannya di sektor domestik (rumah tangga) atau di sektor publik (berkarier) dengan laki-laki. Tetapi yang lebih penting adalah berkarya dalam menemukan makna dan mencari nilai artistik pada puisi, misalnya mengungkap persoalan feminisme dan gender.

Memang tidak hanya berupa puisi ruang aktualisasi perempuan untuk menorehkan keluh-kesahnya dalam bidang sastra. Menulis cerita pendek dan novel merupakan keluh-kesah yang laris pada pengarang perempuan saat ini. Apresiasi sastra berupa novel dan cerita pendek menjadi marketable bagi pengarang perempuan. Berbeda dengan puisi, belum memasar seperti cerpen dan novel, jika tak mau dibilang tidak. Persoalannya terletak pada berani tidaknya perempuan, meminjam istilah Sapardi Djoko Darmono – memamerkan perasaannya pada khalayak ramai—baik antologi puisi sendiri maupun antologi puisi bersama.

Selain itu, para perempuan penyair belum memiliki ikon perempuan penyair yang patut dibanggakan. Mereka selalu merujuk pada Rendra, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri dan penyair besar laki-laki lainnya. Sejatinya, perempuan bebas menentukan ke mana arah kekuatan puisi-puisinya dan menampilkan sebuah kekhasan puitik yang dapat merebut perhatian khalayak penyair dan peminat sastra. Lebih dari itu, harapan untuk menemukan ikon perempuan penyair di Indonesia kemungkinan dapat terwujud.

Penyair Muda

Sekarang ini beberapa perempuan penyair mulai menjajaki potensi kepenyairan dengan tampilnya penyair muda yang perempuan. Beberapa nama perempuan penyair yang telah cukup mencuat akhir-akhir ini seperti: Dorothea Rosa Herliany, Oka Rusmini, Ulfatin Ch, dan Abidah El Khalieky. Karya-karya mereka telah mendapat perhatian dari beberapa penyair besar Indonesia walaupun semuanya laki-laki. Tetapi secara umum, karya-karya perempuan penyair belum memenuhi kuantitas dan kualitas yang lebih jika dibandingkan dengan laki-laki penyair.

Namun, eksperimentasi estetik perempuan melalui karya sastra seperti puisi memang tak mudah lepas dari laki-laki. Menurut Agus S. Sarjono (Panorama Nusantara, 1997), dalam hal ini menyebutkan bahwa semua eksperimentasi estetik telah dilakukan oleh generasi 60-an dan kian matang pada generasi 70-an yang menghasilkan sastrawan-sastrawan (laki-laki) yang mantap secara literer, seperti Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Darmono, dan Abdul Hadi WM. Semua latar belakang inilah yang kemudian menjadi latar bagi kelahiran generasi 80-an dan generasi 90-an dalam sastra Indonesia. Agus S. Sarjono memang tidak menyebutkan masalah tentang laki-laki penyair dan perempuan penyair. Tetapi, pada kenyataannya dari angkatan 60-an sampai 90-an laki-laki penyair mendominasi khazanah kesusastraan Indonesia.

Oleh karena itu, demi mengembangkan budaya menulis puisi pada perempuan, hendaknya sarana aktualisasi dan ruang gagasannya tidak lagi ”dihantui” oleh kebesaran laki-laki penyair. Bukan lagi saatnya laki-laki menciptakan ”dewa-dewa” dan perempuan menyembahnya. Tetapi perempuan lebih memacu diri untuk mencari alternatif bagi perkembangan diri, perkembangan puisi, dan perkembangan kesusastraan Indonesia pada umumnya. Perempuan menulis puisi tak harus selalu bergantung pada laki-laki penyair. Dan, tak ada salahnya jika kita berharap kepada perempuan untuk menulis puisi.***

Penulis adalah Penyair, Ketua Program Sastra Al-Maun Poetry Society, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Sekretaris Eksekutif CMM.

Demokratisasi Sastra Pasca-Kongres KSI

Dad Murniah *
http://www.infoanda.com/Republika

Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 2008 di Kudus Jawa Tengah selama tiga hari (19-21 Januari 2008) baru saja usai. Penyair dan redaktur sastra Republika, Ahmadun Yosi Herfanda, terpilih sebagai Ketua KSI yang baru. Para peserta, dari berbagai penjuru Tanah Air, telah kembali ke kota masing-masing, kembali ke ‘ruang sunyi’ dunia penciptaan mereka sendiri yang penuh tantangan kreativitas.

Tentu, banyak hal bisa didapatkan dari kongres itu. Kongres telah menjadi ajang silaturahmi, saling tukar informasi, menambah jaringan dan teman di kalangan sastrawan seluruh Indonesia. Tetapi, selain hal-hal itu, rekomendasi Kongres KSI yang dibacakan ‘ibu penyair’ Diah Hadaning cukup menarik untuk dicermati.

Butir pertama dari rekomendasi itu, misalnya. Dalam butir ini diingatkan mengenai pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme, misalnya kemandiriaan dan kenusantaraan dalam karya, sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Dalam kaitan ini, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme.

Kita tahu, sastra Indonesia modern terlahir bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia. Jatuh bangunnya sastra Indonesia modern tidak terlepas dari dialektika sejarah terbangunnya nasionalisme itu sendiri. Tetapi harus kita ingat, bahwa tafsir atas nasionalisme tentu tidak terlepas dari dominasi kekuasaan suatu rezim politik sebagai bagian dari praktik politik hegemoni. Karena itu, tak mengherankan jika perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia seakan-akan tidak bisa terlepas dari rezimisasi kekuasaan politik.

Pluralisme

Butir lain dari rekomendasi Kongres KSI, antara lain menyebutkan bagaimana kebenaran hanya diklaim sebagai milik satu kelompok, satu golongan, satu suku, atau satu agama tertentu dan pihak lain seperti dipaksa menerima kebenaran versi mereka. Kebinekaan atau keberagaman laksana kehilangan pijakannya.

Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi.

Tapi, hal itu bukan berarti bahwa komunitas sastra tidak boleh mengidentifikasi diri secara spesifik, unik, atau khusus. Yang pokok, identitas yang spesifik dan unik tersebut tetap hidup dalam semangat inklusifisme. Semangat inklusifisme itulah yang diharapkan dapat menjadi tali penghubung atau jembatan yang mampu mengharmoniskan hubungan antarkomunitas sastra.

Memang banyak yang lupa, bahwa konsep pluralisme, inklusivisme, dan toleransi merupakan landasan dasar terhadap penghormatan hak-hak asasi manusia sebagai kerangka acuan konsep demokrasi. Konsep demokrasi yang paling kental terlihat dari prinsip-prinsipnya, yaitu musyawarah (perundingan), musawa (kesetaraan), dan syura (konsultasi dalam artian luas). Bukankah hampir tak seorang pun cendekiawan dewasa ini menolak ide demokrasi?

Gagasan civil society yang lebih dikenal dengan istilah masyarakat madani merupakan diskursus besar dalam menggulirkan wacana untuk mewujudkan kehidupan demokratis di negara kita. Tentu pemikiran ini tak lepas dari penelaahan secara objektif terhadap sisi sisi khas sosial budaya dan historis dari masyarakat kita.

Artinya, proses demokratisasi itu sendiri sangat erat hubungannya dengan pertanyaan terhadap pandangan masyarakat kita dalam memahami nilai-nilai demokrasi yang ada. Dan nilai-nilai itu sendiri merupakan faktor penting dalam gerakan implementasian dalam mencapai kehidupan demokratis secara langsung. Sebab ide demokrasi merupakan paradigma berfikir yang hanya memiliki kekuatan makna dalam nilai praktiknya, dan bukan merupakan teori belaka. Ini berarti, ia merupakan tantangan bagi para sastrawan untuk membuktikan dalam karya-karyanya.

Menarik juga butir rekomendasi yang menyebutkan tentang sejarah kesusastraan Indonesia. Sejarah kesusastraan Indonesia sepantasnya disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusastraan di negeri ini. Terhadap fenomena sejarah sastra mulai dari masa pasca1908, hingga tahun-tahun terakhir (sastra kontemporer) agar para pengamat dan sejarawan dari berbagai kalangan tak terpengaruh sejarah dominan yang memengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia.

Untuk itu, misalnya, kita terutama pemerintah dapat membentuk semacam dewan sejarah kesusastraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusastraan Indonesia yang benar-benar mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia. Secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, kita terutama pemerintah harus lebih dulu menyusun strategi kebudayaan (nasional) Indonesia.

Memang, selama ini periodisasi sastra Indonesia selama ini telah dipetakan sangat beragam oleh ahli sastra Indonesia. Baik oleh HB Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, A Teeuw, maupun Ajip Rosidi. Periodisasi sastra Indonesia yang dibikin mereka memang layak dipertanyakan. Karena, banyak karya sastra berbahasa Melayu yang ditulis oleh orang-orang peranakan Cina di Indonesia, tetapi tidak pernah diperhitungkan oleh para ahli sastra dalam pembicaraan mengenai periodisasi sastra Indonesia.

Pemetaan periodisasi sastra Indonesia secara reduktif itu disebabkan oleh konstruksi kesejajaran atau analogi antara sejarah sastra dengan sejarah politik, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat sastra Indonesia kehilangan kepekaan terhadap operasi kekuasaan kolonial yang terus berlangsung bahkan sampai pada masa yang jauh sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sebagai misal, penulisan dan diskusi mengenai sejarah sastra Indonesia sampai tahun 1970-an terpusat hanya pada karya-karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Poejangga Baroe, karya sastra yang disebut sebagai “sastra serius” dan sejenisnya. Padahal, sebagaimana yang kemudian mulai terbuka sejak 1980-an, di luar Balai Pustaka terdapat banyak penerbit, termasuk surat kabar, yang menerbitkan karya sastra yang sesungguhnya bisa dikategorikan ke dalam karya sastra Indonesia juga.

Akhirnya, setelah Kongres KSI 2008 yang hiruk pikuk itu, lalu apa? Setelah itu memang sebaiknya para sastrawan kembali ke dunia penciptaan yang sunyi namun penuh tantangan kreativitas itu.

*) Peneliti pada Pusat Bahasa Depdiknas

RUANG TUNGGU

Abdullah Khusairi
http://kendaripos.co.id/

Selangkah lagi cita-citaku untuk melanjutkan kuliah S-2 tercapai. Beasiswa dari Laiden itu jawaban pasti dari gelora di dada selama ini. Semua seperti sudah di depan mata. Tak lagi aku perlu berangan-angan dari waktu ke waktu seperti Pungguk yang terus merindukan bulan.

’’Mak, aku dapat beasiswa kuliah S-2 dan mungkin juga S-3 di Belanda.’’ Aku kirim pesan pendek ke handphone adikku, Rai, di Sawahlunto. Aku yakin akan disampaikannya kepada emak.

’’Selamat. Semoga sukses selalu,’’ begitu balasan pesan pendek itu datang. Ya, aku bahagia mendengar jawabannya. Walau sebenarnya aku ingin jawaban yang lebih; boleh atau tidak aku pergi kuliah di negeri kincir angin itu. Ah, biasanya Rai sedang tak di rumah.
***

Jika saja ayah masih hidup, pastilah ia amat bangga mendengar berita kesuksesan ini. Dan, tentu akan mengizinkan dengan senang hati. Karena ayah sadar betul tentang pentingnya pendidikan untuk anak-anaknya. Ia pernah menyatakan, biarlah ayah dan ibu bekerja keras, yang penting kami anak-anaknya selalu belajar dengan rajin. Tapi, ayah tak ada lagi, telah pergi ke kampung orang mati. Hidup di sana bersama dengan yang lain. Sebuah perkampungan yang sepi.

Dan, aku juga ingin jawaban; emak begitu mengizinkan dan akan selalu mendoakan untuk kesuksesanku. Tapi emak, mungkinkah ia mengizinkan?
***

Kepastian aku akan berangkat dua bulan lagi datang dari Pak Yulizal Yunus, dekan Fakultas Ilmu Budaya tempat aku mengajar.

’’Saudari Fiani, kau harapan dari fakultas ini untuk antropologi dan politik.’’ Begitu komentar Pak Yuyu, demikian kami se-fakultas memanggilnya. Setelah memberikan ucapan selamat dan menandatangani seluruh rekomendasi, Pak Yuyu juga mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu untukku. Aku menolak, tetapi ia memaksa agar aku menerimanya. Apa boleh buat, aku harus menerimanya dengan malu-malu mengucapkan terima kasih. Lalu aku berlalu dari ruangannya.

Sebenarnya, beasiswa dari perguruan tinggi dari negeri Belanda itu cukup banyak. Hanya saja, selain persaingan yang ketat, memang kemampuan berbahasa asing dan wawasan keilmuan haruslah melebihi di atas rata-rata.

Aku memang termasuk perempuan yang berambisi untuk mendapatkan beasiswa. Selain rajin membuka situs internet khusus mencari informasi beasiswa, aku juga punya kenalan di beberapa institusi di Belanda. Seperti Bang Suryadi, yang rajin mengirim kabar lewat email kepadaku. Dia staf pengajar di mana aku nanti akan melanjutkan kuliah. Dia sudah belasan tahun tinggal di sana.

’’Pokoknya jangan kuatir untuk hidup di sini. Semuanya menarik untuk dipelajari dan dicermati.’’ Begitu salah satu tulisan Bang Suryadi kepadaku. Ia juga mengucapkan selamat atas keberhasilanku menjadi mahasiswa di Universitas Leiden.

Rasa cawan di tepi bibir. Aku tak tahan lagi ingin segera berangkat. Tetapi masih terlalu lama. Satu bulan lagi. Dan, setidaknya aku harus pulang untuk pamit kepada keluarga dan kaum kerabat di kampung halaman. Sebuah kampung kecil di lintasan Sumatera, bernama Silungkang. Sebuah kampung yang pada masa pergerakan melawan Belanda menjadi pusat peperangan. Sebelum ada pergerakan kemerdekaan, pada dekade 1880, kampungku itu adalah pusat pemerintahan Belanda. Begitulah yang aku tahu tentang kampung halamanku. Dan, kakek dari kakekku menurut cerita, punya peran penting dalam pemerintahan Belanda. Walau akhirnya membelot dan menjadi pemasok karaben (jenis senjata api) pada waktu itu. Sayangnya, tak ada arsip tertulis tentang ini. Kata orang, arsip terlengkap di dunia itu ada di museum Belanda, aku berminat untuk mencarinya nanti.

Waktu aku kecil pernah melihat benda itu dipegang oleh paman, setelah itu raib entah ke mana. Karena rumah tua kaum kami roboh dan didirikan rumah baru di atasnya. Rumah itu, adalah rumah pamanku.
***

Aku berniat untuk pulang, minta izin berangkat ke negeri impian para sejarawan itu. Setidaknya, aku harus berada di rumah, dua atau tiga hari di rumah. Tetapi, susahnya, jadwal menjelang berangkat amat padat. Dua minggu lagi akan masuk jadwal ujian semester untuk mahasiswa yang aku ajarkan. Tentu aku harus menyiapkan materi ujian, lalu memeriksa hasil ujian dan memberi nilai kepada mereka.

Sedangkan pada masa libur tenang aku harus ke Bukittinggi, jadi pembicara seminar Sejarah Boekittinggi Masa Belanda yang digelar sebuah universitas swasta di sana. Sementara itu, persiapan paspor dan segala macam surat-menyurat, mulai dari rektor, departemen dan kedutaan belum semua selesai. Sungguh, kini aku dihadapkan setumpuk tugas penting.

Soal tugas yang setumpuk itu, aku tidak pernah mengeluh. Sebab, aku justru kadang-kadang bingung kalau hanya melakukan pekerjaan rutin. Hanya saja, menyelip jadwal untuk pulang kampung memang selalu susah. Apalagi ia jarang menjadi prioritas. Aku memang malas pulang kalau tidak penting sekali. Bukan apa-apa, di kampungku, aku tak lagi punya teman sebaya. Kalau pulang, paling-paling bertemu ibu lalu bercerita panjang lebar. Itupun kalau dihitung hanya membutuhkan beberapa jam saja. Tak heran, bila aku pulang ke Silungkang, aku sering suntuk sendiri. Lebih-lebih Rafi sudah jarang di rumah. Ia sudah punya usaha yang makin maju. Pulang ke rumah kalau waktu makan tiba saja. Itupun kalau ibu memasak masakan kesukaannya. Oleh karenanya, bagiku, pulang hanyalah sesuatu yang tak penting pada hari-hari biasa. Kecuali kalau Lebaran atau libur panjang.
***

Waktu terus bergerak. Hari keberangkatan itu rasanya amat dekat. Sebagian tugas dan surat-menyurat sudah beres. Kini, aku banyak menyiapkan wawasan tentang Kebelandaan. Selain membaca bahan-bahan yang sudah lama aku kumpulkan, aku juga mencari informasi terbaru yang sedang dibicarakan di Belanda. Mulai dari Ruud Gullit hingga Kluiver dan Ronaldo. Ya, bintang lapangan hijau itu menyita perhatianku.

Kadang-kadang aku ini lucu, sepak bola Belanda juga jadi perhatian. Tapi, aku pikir ini tidak salah, toh kini begitu banyak perempuan gila bola ketika olehraga satu ini masuk ranah industri dan selebritas. Lihat saja, para bintang lapangan hijau itu juga banyak digandrungi perempuan. Tak salah memang, mereka juga layak jadi bintang di luar lapangan. Poster di kamarku pun seorang bintang Christian ’’Bobo’’ Vieri.

Agaknya, aku benar-benar telah jatuh hati dengan negeri itu. Apakah itu ada sangkut-paut dengan kampung halamanku yang pernah menjadi tempat hidup orang-orang Belanda yang bertugas di sana? Atau apa ada hubungan dengan batu bara di Sawahlunto, yang ditemui oleh orang Belanda paro abad ke-19 itu? Ah, aku makin jauh saja berkhayal sejak menerima kepastian lulus tes beasiswa itu. Semua hal tentang Belanda dalam kepalaku rasanya belum cukup mampu untuk menyambut kehadiranku di sana nanti.

Aku tak mau terjadi hal-hal yang memalukan. Aku benar-benar takut itu terjadi. Aku pernah membaca bagaimana pengalaman pertama orang-orang Indonesia ketika belajar di negeri seribu museum itu. Mulai dari tata transportasi sampai berbelanja. Mulai dari pengetahuan soal musim sampai persiapan yang harus dipenuhi untuk menghadapinya. Semua aku pelajari dengan seksama. Tak ada kata-kata untuk menyerah untuk itu. Itulah cara dan tekadku sejak kecil.

’’Kenapa orang Belanda itu maju dan cerdas? Karena tekun belajar. Kenapa mereka sampai menemukan batu bara di Sawahlunto? Karena mereka orang-orang pintar,’’ begitu nasehat ayah yang masih terngiang.

Begitulah cara ayah mengajar aku dulu. Ayah amat keras kalau soal pendidikan. Ia orang yang sadar akan kemajuan karena pendidikan. Diam-diam aku bersyukur punya ayah yang keras mengajar aku dulu. Walau dulu terasa pahit, ternyata sekarang manis rasanya. Coba saja kalau ayah tidak begitu, mungkin aku tak bisa menjadi staf pengajar seperti sekarang. Pastilah aku hanya menjadi ibu rumah tangga yang tua sebelum waktunya.

Ayah terus mendorong semangat belajarku. Sehingga aku selalu juara di kelas. Mendapat hadiah di akhir menerima raport. Sayang, ayah terlalu cepat pergi karena sakit yang dideritanya. Kalau saja ayah masih ada, aku sudah jadi staf pengajar, tentu aku mampu membawanya ke rumah sakit yang lebih canggih. Inilah sesal yang kadang-kadang melintas di benakku. Sesal yang tak berguna lagi. Basi.
***

Benar. Aku tak dapat pulang ke Silungkang. Selain hanya terpatri pada niat, aku memang tak sedikit pun membuat usaha agar bisa meluangkan waktu untuk bisa pulang hanya sebentar saja. Kini aku telah di ruang tunggu, menunggu keberangkatan. Transit di Changi Internasional Airport Singapura dan langsung ke Belanda. Aku senang membaca berulang-ulang sebuah nama Fiani Nuraini, Ms, tertera di tiket pesawat. Nama yang indah pemberian ayah.

’’Kata emak, kakak anak perempuan. Umur kakak sudah berkepala tiga. Emak ingin kakak menikah dulu.’’

Aku lemas seketika setelah membaca pesan pendek dari Rai. Bersamaan dengan itu, panggilan dari operator penerbangan agar penumpang menaiki pesawat telah terdengar.

Aku, ruang tunggu, langit biru, dan orang-orang yang berlalu, seperti memaksaku untuk tetap termangu. Diam di antara dua pilihan pahit. Ke mana harus berguru ketika terhenti di simpang ragu? Deru mesin pesawat terasa menghantam dadaku. Tenggorokanku kering, pandanganku nanar. (*)

Minangkabau International Airport, Juni 2007

Sebastio

Sudirman HN
http://www.sinarharapan.co.id/

Namanya Sebastio. Sebastio Gomez. Kulitnya legam, matanya sering kali kelam. Ia datang dari sebuah negeri kecil dan gersang di selatan. Suaranya kerap bergetar ketika bercerita tentang masa lalunya. Jemarinya kurus, wajahnya tirus.

Ia sekali lagi meraih kretek yang aku letakkan di atas meja di sebuah kafe yang lengang pada sebuah senja yang murung. Kusodorkan korek api yang menyala dan ia menyedotnya kuat-kuat. Asapnya berkesiur ditiup angin samudera Pasifik di kota yang asing ini. Kami cukup lama saling berdiam diri. Meresapi suara angin, cericit burung yang beranjak ke sarang dan percakapan tergesa orang-orang yang usai bekerja seharian, yang seperti kami singgah di sini sekedar membunuh waktu dan kebosanan sebelum pulang ke rumah.

Juni 2002, Brisbane mulai disergap musim dingin. Desau angin agak kencang menyisakan gigil bagi kami, dua orang anak muda yang terbiasa dengan matahari tropika. Langit mendung. Kami berhadap-hadapan, masing-masing dengan segelas espresso yang kental dan pahit. Ia menyeruputnya dengan segumpal rasa kecewa. ”Tak seharum aroma kopi Timor. Kopi yang kupetik, kujemur dan kuolah dengan tanganku sendiri,” tandasnya dengan mata menerawang jauh.

”Musim dingin seperti ini selalu membuatku semakin rindu kampung halaman,” masih juga ia meneruskan keluh-kesahnya. Mati-matian aku berusaha membayangkan kampung halamannya di Los Palos sana. Mungkin sebuah kampung kusam dengan anak-anak kecil bertelanjang dada berlarian memburu capung di padang-padang yang gersang. Anak-anak bermata bening bermain perang-perangan. Mungkin tidak menyadari betapa perang sesungguhnya baru saja berlalu di negerinya. Betapa perang telah mencekam negeri mereka bahkan jauh sebelum mereka lahir.

”Kamu terlalu sentimental. Apalah arti musim dingin di Brisbane ini. Tak seberapa dingin sebenarnya. Melbourne dan Hobart jauh lebih dingin.” Aku menghiburnya dengan nada kurang meyakinkan. Aku tiba-tiba merasa heran, ke mana gerangan ketangguhan anak muda legam ini. Bukankah dulu ia pejuang bawah tanah Timor yang teruji menghadapi segala macam penderitaan dan kesusahan. Inilah dia anak muda yang ikut melompati pagar kedutaan besar sebuah negeri adidaya ketika seorang jenderal tua pemimpin di negeriku sedang jumawa menjamu tamu-tamunya yang berdatangan dari segenap penjuru angin. Tamu-tamu yang datang dengan burung-burung besi raksasa yang mendengung sekedar untuk menyimak kisah-kisah hebat berlumur bualan dari sang orang tua. Inilah dia anak muda yang pernah menggemparkan buana dan mempercepat terteranya sebuah negara baru di peta dunia itu.

Aksi lompat pagar anak muda dan kawan-kawannya itu tentu saja membuat orang tua renta itu sangat berang, dan ia harus mendekam sembilan bulan dalam bui karenanya. Ah, kini aksi lompat pagar itu bahkan telah menjadi legenda di negerinya, memesona anak-anak kecil yang berlarian di lorong-lorong kota Dili dan di kampung-kampung pulau kecil itu.

Lalu kami dipertemukan nasib di benua ini. Mungkin pula dipertemukan sebuah kebetulan belaka. Sebagai mantan pejuang bawah tanah ia termasuk barisan pertama anak muda Timor yang melampiaskan kegembiraannya setelah jajak pendapat yang menjadi tapal batas masa lalu dan masa depan di negerinya. Sejak dulu ia memang sangat yakin jajak pendapat itu cepat atau lambat akan terwujud dan pasti dimenangkan negerinya. Namun setahun setelah jajak pendapat itu ia menjadi lebih sadar bahwa kemerdekaan bukan obat yang bisa serta merta menyembuhkan segenap luka negerinya. Ia pun menjadi barisan pertama anak-anak muda yang kecewa terhadap elite-elite dari kalangan tua di negerinya yang begitu cepat kembali saling bertikai. Maka ketika ada tawaran beasiswa melanjutkan kuliah di benua kering ini, ia segera menyambarnya. Ia mengambil kuliah jurnalisme, membayangkan dirinya suatu hari nanti menjadi seorang pemimpin redaksi harian ternama di negerinya.

”Jurnalisme senantiasa membuat darah dan adrenalinku menggelegak” ujarnya berapi-api.
”Jurnalisme pun bisa membuatmu muak,” kalimat itu aku tahan di tenggorokan. Tak sampai hati merusak semangatnya. Sebagai anak muda yang nyaris putus asa melihat pertikaian, kerakusan dan nasib buruk yang tak henti-henti menderai negeriku, aku rasanya tidak punya hak memberangus mimpi-mimpinya. Apalagi dulu orang-orang tua dari negeriku sempat pula menularkan nasib buruk dan kerakusan ke negerinya.

Maka aku kenang kembali perkenalan kami dalam sebuah aksi damai menentang perang di depan balai kota, pada sebuah senja yang kelabu. Ia menyapaku dengan nada keras setelah menghirup aroma kretek yang kuhisap.

”Rokok kretek. Rokok yang sering diisap tentara-tentara yang dulu membakari kampungku,” katanya setengah berteriak di tengah keriuhan orang-orang yang memadati lapangan. Tanpa basa-basi ia pun meminta sebatang yang lantas ia isap dengan mata menyipit penuh kenikmatan. Seperti mengejek kepenatanku mencari rokok kretek di kota asing ini dan menebusnya dengan harga mahal. Asapnya ia hembuskan ke mukaku, lalu kami pun terbahak dan ikut menyoraki seorang perempuan orator berambut pirang yang tengah mengutip kalimat-kalimat Gandhi. ”Ah, di zaman seperti ini, di manakah sukma Gandhi?”, keluhku diam-diam.

Sering aku merasa iri melihat semangat dan energinya yang terus meluap-luap. Usia yang lebih muda jelas bukan alasan. Ia baru saja berulang tahun yang kedua puluh enam, sedangkan aku akan menginjak usia ketiga puluh akhir tahun ini. Tetapi mengapa mimpi-mimpiku nyaris telah menguap rasanya? Lalu apa yang kukerjakan di benua asing ini?

Art residency? Apa pula gerangan? Hidup dari belas kasihan penduduk negeri ini? Penduduk yang nenek-moyangnya datang dengan perahu dan bedil di tangan mengusiri pribumi yang berabad hidup di padang berburu binatang-binatang melata dan beranak pinak tanpa rasa cemas? Apalah arti lukisan bagi para pribumi yang senantiasa menggambari tubuhnya dengan tanah liat, yang tak pernah kenal dengan peta dunia itu? Lalu sebagai pelukis yang dibiayai berbulan-bulan hidup di benua ini, apa yang telah kulakukan?

Melukis seadanya. Menyimak orang-orang yang terus berbicara tentang lukisan, tentang dewi kesenian sepanjang hari. Memelototi berita-berita tentang pertikaian tak henti-henti di negeriku lewat layar komputer yang memerihkan mata. Tidak sabaran menunggu akhir pekan, untuk sekedar berpesta di pub-pub yang dipenuhi orang-orang yang tak henti-hentinya memaki dan bergegas ke kamar mandi dan muntah di kloset.

”Tapi apalah pula bedanya dengan Sebastio? Ia pun seperti aku, hidup dari belas kasihan?”, aku berusaha menghibur diri. Bedanya hanya ia masih memiliki mimpi. Dan aku nyaris tak….

Ah, tanah air, tak bisakah kita hidup tanpa mencintaimu. Aku tiba-tiba teringat sepenggal sajak itu. Sajak seorang kawan lama yang kini entah di mana. Masihkah ia memiliki mimpi? Mimpi-mimpi apa gerangan? Bukankah ia telah kawin dengan seorang gadis manis dan konon telah pula memiliki seorang putri yang mungil?

Lalu Sebastio? Sebastio Gomez. Bukankah sebentar lagi ia akan pulang ke negerinya, dengan segenap mimpi dan harapannya. Bukankah ia begitu gelisah menanti-nanti hari kepulangannya? Bukankah ia akan disambut kawan-kawannya, juga bocah-bocah yang mengaguminya? Ia pasti akan melahirkan dan membesarkan surat kabarnya, seperti membesarkan bayinya yang pertama.

Lalu aku si pelukis yang tak sanggup lagi bermimpi ini, justru sedang tergoda melamar menjadi permanent resident di benua ini? Mencoba melarikan diri dari kesumpekan, kesusahan hidup dan kesia-siaan negeriku? Negeri yang setiap saat memaksaku melukis dengan warna-warna kelam itu.

Lalu Sebastio, ah Sebastio! Tuluskah kau mengajakku ke negerimu?. ”Negeri di mana impian sedang dilayarkan,” katamu.. Dan katamu lagi kau akan sanggup bertarung hingga berdarah-darah dengan penyamun-penyamun yang setiap saat mengintai dan siap membajak mimpi-mimpimu itu.

Sebastio, mengapa pula kau selalu yakin bahwa aku pun tak akan betah di benua ini? Apakah lantaran kita sama-sama anak-anak muda yang dibesarkan angin, laut, gunung dan matahari tropika? Ah Sebastio, mestinya kamu mengajari aku kembali bermimpi?

Dan Sebastio pun kemudian terbang dengan burung besi raksasa pulang ke negerinya. Di kafe bandara seusai melepasnya, aku masih termangu memandangi gelas espressonya yang hanya ia teguk sekali. Bayangan sepasang matanya yang menyala-nyala penuh mimpi membuatku begitu kesepian.

Januari, 2002

Ara

Wa Ode Wulan Ratna
http://kendaripos.co.id/

Hampir selama tiga tahun, semua perempuan cantik yang ia lihat di televisi adalah Ara. Sebelumnya, masa-masa sebelum bertemu gadis itu adalah saat-saat tersulitnya. Ia pulang ke Kendari tanpa pernah menyelesaikan akhir kuliahnya saat orang tuanya tewas dalam kecelakaan mobil dan menyisakan dokumen-dokumen warisan kepada pengacaranya. Harta peninggalan keluarganya pun jatuh ke tangannya. Sebuah rumah besar di Kemaraya dan perkebunan cokelat di Puwatu.

Itu adalah masa-masa sepinya sebagai anak tunggal yang jauh dari keramaian, pergaulan yang diinginkannya, juga perempuan-perempuan kota. Waktunya habis di perkebunan. Ia pulang pergi ke kebun itu untuk mengawasi setiap pekerja. Mengomando mereka untuk memetik cokelat yang telah matang, membantu menjemur biji-biji cokelat, menimbang dan menghitung karung-karung cokelat yang telah jadi, mengecek buku pemasukan, dan membayar upah para buruh.

Awalnya, meski kegiatan itu terasa menjemukan dan memang bukan keinginannya mendadak menjadi kaya dengan menjadi kepala kebun, ia masihlah seorang mahasiswa yang senantiasa disiplin mematuhi jadwal. Ia juga masih bergaya layaknya orang kota yang rapi dan gengsi. Ia sering mencukur kumisnya tiga hari sekali. Mandi dua kali sehari, dan sedapat mungkin menghindari matahari yang mengelamkan warna kulitnya. Ia masih ingin terlihat terpelajar sebagaimana kota agung itu mengajarinya bersolek. Dengan deodoran dan parfum laki-laki ia menjadi segar dan lebih percaya diri. Ia memakai minyak rambut hingga membuat rambutnya licin dan klimis. Ia pun menjaga otot-ototnya agar tetap kencang tanpa membuat urat-uratnya keluar.

Namun nampaknya ia memang tak akan kembali lagi ke kota besar itu dan meneruskan kuliahnya. Ia merasa seperti babi peliharaan yang manja. Kerapiannya tidak pernah membuatnya nampak berwibawa di depan buruh-buruhnya, bahkan beberapa penjaga kebunnya. Ia mendengar sendiri suaranya kurang lantang sehingga seperti hilang ditiup angin saat memerintah ini itu kepada pekerjanya. Mungkin, buruh-buruh itu menganggapnya memang seperti babi yang manja.

“Tak pernah terpikirkan olehku tinggal di kampung bersama nyamuk-nyamuk hutan.” Katanya di meja makan kepada pembantunya yang sedang menyiapkan makan malam. “Duduk di situ! Campurkan sinongginya dengan air ikan itu dan telan bersama-sama denganku!” Malam itu, di atas meja makan ia makan malam dengan pembantunya.

Setelah kejadian itu ia pun melupakan mimpinya hidup di kota, mendapat kekasih seorang terpelajar yang cantik dan kaya, atau mungkin pemain sinetron atau bintang iklan sabun mandi yang memiliki kulit putih dan lencir. Ia juga mulai mengabaikan jadwal-jadwalnya juga kebiasaannya membaca buku menjelang tidur. Suatu upaya yang dulu ia biasakan sebagai syarat menjadi orang terpelajar.

Ia mulai menerima lingkungannya, kampungnya, dengan segala bentuk kekerasan yang ia punya. Ia belajar dari orang-orang bajo yang dulu ia temui di masa kecilnya. Orang-orang teluk itu mengangkut barang-barang berat ke kapal-kapal pada dermaga yang mengapung sampai malam. Suara mereka keras, lantang menantang deru gelombang dan menghancurkan karang. Kulit mereka matang tersengat matahari. Keringat mereka rata melumeri seluruh tubuh mereka dan membuat ketiak mereka senantiasa basah dan berbau asam. Ada bau amis yang melekat pada rambut mereka yang kasar dan kumis serta jenggot mereka yang panjang tak beraturan. Mereka membiarkan otot mereka menonjol dengan urat-urat tebal keluar. Dan mata mereka yang selalu menyipit karena sengatan matahari membuat pandangan mereka seperti menyelidik.

Ia pun menjadi jarang bercukur dan kadang tidak mandi. Ia ingin mendapatkan warna kulit yang ia inginkan untuk membuatnya menjadi garang, juga bau ketiak dan matahari yang membuat tubuhnya asam. Ia membuang semua peralatan kerapiannya, doedoran, parfum, minyak rambut, dan pelembab kulit. Ia menjadi lebih banyak merokok. Menghabiskan waktu liburannya di beranda rumah sambil membaca koran, mengamati ayam-ayam yang dilepaskan, atau memanggil tetangga untuk bermain catur dengannya.

Di perkebunannya ia menjadi lebih banyak marah-marah dan mengancam menurunkan gaji para buruhnya. Tak jarang ia melakukan sendiri pekerjaan kasar dengan bertelanjang dada untuk memberikan contoh kerja yang tidak lambat. Ia pun menjadi lebih sering memaki dan memukul buruh perempuan yang tidak becus memilih cokelat atau yang datang terlambat. Ia juga mengangkat beberapa orang sebagai kepala penjaga di malam hari untuk mengawasi kebun cokelatnya dari para pencuri atau babi hutan. Sebenarnya ia melakukan itu semua tentu agar ia tidak terlalu sering ke kebun itu dan menghabiskan seluruh umurnya di sana.

“Sekarang dia sudah seperti babi betulan.” Ia cuma cekikikan mencuri dengar perkataan seorang pekerja laki-lakinya di gudang penyimpanan.

Sebenarnya ia merasa telah kehilangan warna hidupnya. Dulu memang ia sering melihat Ayahnya bekerja sekasar itu juga tetapi orang tua itu menyukainya. Kini di dalam rumah ia hanya menghabiskan waktu menonton televisi sambil menyalakan kipas angin besar-besar. Kadang mimpinya kembali melayang-layang saat sebuah stasiun televisi menampilkan perempuan-perempuan kota dengan tubuh sintal dan molek. Ia menjadi terinspirasi untuk menjual kebun dan rumahnya untuk kembali ke kota padat itu dan memperistri satu atau dua di antara sekian perempuan cantik yang pernah tampil di televisi. Tapi pikiran itu hanya selintas. Ia pun telah lama menyudahi membuang pulsa telepon rumahnya untuk mengobrol panjang-panjang dengan teman-teman perempuannya.

Entah di rumah atau di kebun, ia tetap marah-marah dan sering memaki-maki tanpa alasan yang jelas. Ia minum terlalu banyak kopi, bergadang berhari-hari, dan terus terjaga sampai pagi dengan mata merah dan lingkar hitam di pelupuknya. Insomnia telah menodai matanya seperti jelaga.

Pada suatu pagi yang sejuk ia terbangun tiba-tiba dan menyadari ia masih terduduk di beranda rumahnya dengan masih dirubung nyamuk kebun. Ia memperhatikan ayam-ayam itu sudah berkeok-keok dengan anak-anaknya. Fantasinya mulai tidak karuan. Paha ayam betina itu dilihatnya sama sekali tidak cocok untuk dimakan dalam keadaan matang. Tak karuan ia berlari mengambil kunci mobil pick upnya dan membawa dirinya dalam guncangan yang berat menuju pantai Kendari. Dan ketika melihat laut, tanpa berpikir lagi ia pun menyemplungkan dirinya di sana dan memuntahkan segala imajinasi dan penderitaannya yang telah membatu dalam air asin itu. Ia kembali ke rumah dengan memaki-maki sambil menendang-nendangi pintu mobilnya karena sulit tertutup. Ia merasa begitu konyol dan telah lengkap menjadi hewan liar.

Ia membuang dahak dan berteriak, “Ambilkan aku kopi! Cepat!” pembantu itu keluar cepat-cepat dengan segelas kopi panas. Ia menjadi merasa cukup tenang hanya dengan melihat kopi itu mengantarkan aroma sedapnya lewat kepulannya yang mengambang di udara.

“Jangan pergi dulu. Temani aku.” Katanya perlahan dan mulai menyeruput kopinya. Ia memandangi pembantunya. Pahanya yang besar dan perutnya yang lebar. Sepasang dadanya bergelantungan terlalu jatuh karena telah banyak yang disusuinya. Kaki dan lengannya kecil, suatu hal yang semestinya tidak proporsional. Ia mendehem dan memperhatikan rahang di wajah perempuan itu. Pipinya dulu pernah montok, ia dapat menafsirkan itu dan memang masih mengenangnya. Tapi ternyata mungkin ia memang telah menjadi gila. Ia masih lebih bernafsu melihat paha ayam betina pagi tadi dibanding perempuan tua seperti pembantunya.

“Coba katakan, aku kenapa?” katanya dengan nada sedikit rendah sambil memperhatikan jalan yang tidak rata di luar pagar rumahnya.

“Tidak tahu, Pak.” Katanya pelan. Ia telah mengenal pembantunya sejak lama. Ia tahu perempuan itu tidak seperti pembantu kebanyakan yang memendam rasa takut dan gemetarnya kepada tuan rumahnya.

“Anggap saja aku anakmu. Aku dulu pernah kecil dan kau biarkan bergelendot seperti anak kambing di antara dadamu itu. Cepat bilang saja apa yang kau lihat tentang aku.” Katanya mendesis tapi darahnya tidak tersirat dan tidak mendidih. Begitulah cara ia menghargai pembantunya yang dulu juga mengasuhnya.

“Anak kesepian.”
“Lalu?”
“Jadi stres. Perlu jalan-jalan dan berpikir.”

“Berpikir?” ia merasakan pikirannya goyang. Selalu goyang seperti pohon-pohon di pinggir laut itu. Gamang dan berbayang-bayang bila ditiup angin. “Sudah.” Katanya, seakan-akan dirinya sudah mulai tenang.

“Ke mana?”
“Laut.”
“Laut selalu menenangkan. Cobalah pergi ke Batu Gong sering-sering. Di sana tidak seramai di pantai Kendari,” Ia mendehem. “Lagi pula lebih dekat dengan kebun.” Ia mendehem lagi.
“Aku mau mati terima kenyataan ini. Di sini aku cepat tua dan susah mimpi basah. Coba carikan aku perempuan.”
“Apa?”
“Buat istri. Tapi yang seperti kau waktu masih muda.”
“Apa?”

“Ya, cari yang tidak terlalu manja. Kulitnya putih mulus, cantik. Rambut hitam panjang. Bisa bercanda dan sedikit membual. Keibuan. E…, apa lagi? Ya, yang menggairahkanku. Dengan dada penuh berputing seperti anggur. Sempurna seperti punyamu dulu.” Ia masih memerhatikan jalan sambil menghisap rokoknya. Pembantunya hanya berdiri dan mendengar celotehannya. Diam-diam ia rasai sesuatu yang hangat dan asin jatuh dari matanya dan menyelinap masuk ke dalam bibirnya.
***

Namanya Ara. Ia menjumpai perempuan itu beberapa saat setelah matahari menenggelamkan diri. Saat kabut sore sebentar lagi oranye dan pohon-pohon sepanjang pantai mulai memberikan bayang-bayang kebiruan pada lubang hidung perempuan itu. Dan ia kadung jatuh cinta pada lubang hidung perempuan itu. Siapa pun mungkin tak akan pernah melupakan lubang hidung perempuan itu.

Perempuan itu berumur sembilan belas tahun kala itu dan sedang jatuh cinta. Ia tak yakin bahwa perempuan seperti itu akan datang lagi seumur hidupnya. Matanya besar dengan rambut sebahu. Rambut yang berwana kuning seperti rambut yang terkena matahari. Kulitnya cokelat seperti warna cokelat-cokelatnya yang setengah kering dan memerah dalam jemuran matahari. Perempuan itu berbau seperti matahari.

Ara berdiri dengan kaki telanjang di atas pasir pantai yang hitam keperakan. Roknya setengah basah dan tampak padu dengan sepasang kaki kecilnya yang seperti bambu muda. Pinggangnya seperti lingkar cemara yang ramping dan kokoh dengan sepasang dadanya yang kecil dan menyempil keluar, mengingatkannya pada dada putri-putri duyung dalam dongeng-dongeng itu yang kecil subur dan berwarna keemasan dan terselip di antara helaian rambut mereka yang amis.

Bertemu dengan Ara, membuatnya yakin kalau pembantunya memang benar-benar berguna.
“Mengapa?”
“Aku sudah bilang cintaku ditolak.” Ara terus memandangi cakrawala. Tapi wajahnya jauh bersemu merah dan nampak berseri.
“Bodoh benar ada laki-laki yang menolak cintamu.” Ara memincingkan mata. Perempuan itu menjarah wajahnya dengan pandangan geli lalu tertawa.
“Bukan masalah uang. Kalau hanya untuk hidup senang aku sudah sangat lebih dari senang. Ini masalah umur.”
“Kau masih muda.”
“Aku takut jadi perawan tua.”
“Maksudmu?”
“Aku bukan seperti perempuan di televisi itu yang cantik-cantik dan menawarkan produk-produk kecantikan. Sebab aku tahu kecantikan saja tidak pernah cukup untuk perempuan manapun.”
“Ara, aku tidak mengerti.”
“Kau pasti laki-laki penggombal.”
“Tidak. Kau memang cantik.”

“Patokan cantikmu itu umum, seperti perempuan-perempuan di televisi.” Ara melihat karang-karang yang bisa berbunyi itu. Sekali lagi perempuan itu berjalan ke laut dan membiarkan roknya basah. “Bagaimana kalau kita bunyikan karang itu agar terdengar seperti ‘gong’, ‘gong’.” Ara menirukan suara batu yang bisa menghantarkan bunyi itu dengan mulut yang dimoyong-monyongkan. Dari jauh perempuan itu terlihat seperti menggonggong. Ia menggelengkan kepala tetapi Ara sudah keburu lari ke batu yang paling besar. Ia terpaksa mengejarnya.

“Bagaimana menurutmu?” Ara membunyikannya dengan mengetuknya keras-keras dengan batu. Suaranya terdengar seperti gemuruh benturan dari dasar laut. Begitu dalam dan tidak terlalu keras. Ia pun turut memukul dengan lebih keras di sisi paling keras hingga suara ‘gong’ itu terdengar lebih jelas dan bersih.

“Kata pembantuku di rumah, laut adalah tempat yang menenangkan dan aku harus lebih sering ke sini.”
“Bagus. Jumpai aku di sini saja setiap hari.”
“Setiap hari?”
“Ya. Setiap hari.”
“Apa kekasihmu tidak marah?”
“Aku sudah bilang, cintaku ditolak.”
“Mengapa?”
“Kau tanya lagi. Ia tidak suka melihat darah perawan.”

“Apa?” perempuan itu tidak menyahut. “Begitulah pikiran laki-laki.” Ia melihat pada mata perempuan itu dan tak menemukan pantulan laut yang menenangkan kecuali guratan-guratan kecemasan yang kemudian membuat wajah perempuan itu tegang.

Semenjak itu hampir setiap hari ia datang ke pantai itu. Kadang termenung sendiri, kadang bila Ara datang, mendengarkan keluh-kesah perempuan itu seputar hidupnya atau cerita-cerita tentang kekasihnya.
***

Malam yang hitam turun ke bumi ketika bulan hampir tinggi dan tak ada lagi penerang selain lampu-lampu jalan, mereka pulang dengan mobil pick upnya. Ia berbelok ke lorong Konggoasa. Jalannya kasar karena belum diaspal sehingga mereka terguncang-guncang dalam mobil. Ia memberhentikan dan mematikan lampu mobilnya ketika sampai di sebuah rumah kecil yang dibangunnya di pinggir perkebunannya. Bangunannya tak bertingkat, terbuat dari bata putih yang disemen dan hanya dikapur. Berbeda dengan gudang penyimpanan dan kantornya.

Lampu luar rumah itu menyala. Dan dari jendela terlihat temaram lampu di dalamnya. Bau asap pembakaran daun kering masih meruap dan masih tersisa gemeratak bara yang terdengar merdu entah di mana. Malam pekat selalu membuat manusia benar-benar buta untuk mengimla, bahkan untuk menduga. Ia mengetuk pintu seperti tergesa-gesa dan berteriak keras kepada penjaganya. Ia memberi sekotak rokok kepada kedua penjaga kebunnya itu dan menyuruh mereka pergi berjaga-jaga di luar sampai subuh berubah menjadi cahaya.

Dilihatnya Ara menggosok-gosokkan tangannya dan merasakan hidung perempuan itu mengendus-endus seperti kucing. Embun masih jauh menggantung di atas kepala dan laut telah menjadi jauh. Perempuan itu kedinginan sebab roknya basah. Ia mengunci pintu dari dalam dan menyuruh Ara membersihkan telapak kakinya yang dekil karena masih penuh dengan gumpalan pasir yang kehitaman.

“Terima kasih.” Kata perempuan itu ketika ia mendapatkan tehnya. Mereka pun terlibat pembicaraan yang aneh dan mulai romantis. Lama-kelamaan perempuan itu menjadi kemalu-maluan dan mulai mengantuk. Pembicaraan pun menjadi begitu lirih, seperti bisik-bisik hingga mereka dapat mendengar suara-suara malam yang penuh misteri di antara pepohonan yang mengepung rumah itu.

“Ada apa di luar sana?”
“Hanya lolongan anjing, babi hutan, sunyi yang terusik dan mimpi-mimpi.”
“Kasihan sekali malam.”
“Kasihan sekali kau.” Ara diam. Perempuan itu jadi ingat rumahnya, laut yang dalam. Ia jadi mulai merasa ragu. “Apa yang kau takutkan?”

“Kekasihku.”
“Ia tak akan lagi berani menolakmu setelah ini.” Sedikit demi sedikit lubang hidung perempuan itu merekah.

Di meja makan Ara terjungkal bersama kursinya dengan bunyi yang berat tapi pelan. Ia mendapatkan air matanya luruh dan ceceran darah di lantai. Perempuan itu nampak tak mengerti. Hidungnya hanya mengendus-endus mengusir bau amis yang begitu asing. Di sampingnya, ia memperhatikan perempuan itu kebingungan.

“Kau tidak apa-apa?” perempuan itu menggeleng. Ia membopong perempuan itu ke sofa.
“Terima kasih, aku tidur di sini saja.” Suara perempuan itu terdengar seperti gumam. Seperti suara dari dasar laut.

“Aku suka lubang hidungmu, Ara. Caramu mengendus-endus tidak seperti hewan apa pun, atau siapapun.” Kemudian ia memperhatikan sarang laba-laba yang begitu rumit di atas langit-langit sampai perempuan itu memejamkan mata.

Beberapa hari setelah itu. Tak ada seorang pun yang tahu ke mana Ara pergi. Orang bilang ia lenyap begitu saja di sebuah senja. Orang lain bilang ia menenggelamkan dirinya ke laut bersama matahari. Semua orang selalu mengidentikan Ara dengan laut dan matahari. Dan mungkin ia sendiri menduga perempuan yang memiliki lubang hidung indah itu telah menjelma batu gong dengan suara yang merdu atau putri duyung berdada emas. Ia hanya tak habis pikir, darah itu membebani hidupnya hingga bagaimana pun perempuan itu menghilang, itu sungguh tidak masuk akal.

Ia pun menjadi tidak mengerti, setelah sepeninggalan gadis itu tahun-tahun berganti dengan cepat secepat musim hujan yang jatuh lebih lurus di atas kepalanya. Ia mengenang pertemuan pertamanya dengan Ara. Dan hampir selama tiga tahun, semua perempuan cantik yang ia lihat di televisi adalah Ara.

Bahkan hingga kini, ketika istrinya tengah hamil kedua dengan umur kandungan tujuh bulan, perempuan berkulit putih, berambut hitam, dan tubuh berisi di depannya itu terlihat seperti Ara.

Gading rawan, 13 September 2008

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar