Selasa, 16 November 2010

INTRIK PENYAIR DAN KARYANYA

(Ini hasil perasaan saja, andai saya seorang penyair. Dan jika benar istilah perasaan itu, awal daripada ilmu pengetahuan).

Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.”

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=648


Apa yang kalian impikan pada tinggi kepenyairan? (Goethe).
Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali.

Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung di kubur dalam keranda kata-kata.

Saya tidak hendak menghakimi. Ini realitas keindahan terbatas di muka bumi, sebuah musim bunga terhilangkan lewat gugurnya dedaunan atas musim berubah. Matahari yang kita nikmati, menciptakan hayalan, yang keinginannya terus bertambah dari dorongan naluri, dari kedalaman maksud jiwa.

Tapi siapa yang sanggup memetik kecantikan langitan? Mereguk kemolekan dasar imaji, demi ditampilkan ke muka kesadaran? Apalagi melewati nalar-nalar umum puisi? Hanya terbatas orang dan menjadi bunga bagkai, jikalau konstruksi yang mengitari teknik tidak sampai membuai, jika benar-benar ilham tampak murni.

Maka keindahan, mau tidak mau kudu rela terpenggal di tengah jalan. Jika tidak ingin langut tanpa tragedi. Ada saatnya kayungyung menemui juntrung, masa-masa persetubuhan jiwa ke dalam kebakuaan tertentu. Yang ada sisi-sisi menggorok, kalau berharap lebih nikmat, terus berkurang dari keinginan bertambah. Sebab kesadaran dalam puisi sangatlah terbatas, taklah mungkin melalui pandang sambillalu.

Puisi tidak jauh lahirnya mitos, demi kemunculan aliran filsafat. Dan kejiwaan para penemu, menyuplai faham-faham psikologi. Di sini, puisi tentu berbeda jauh pengertian dari ayat-ayat suci yang dibawa malaikat Jibril kepada para nabi dari Yang Asih. Namun ada saja yang menyebut semacam wahyu, padahal bisa pula dari beberapa angan terdahulu, yang belum sampai ke puncak keyakinan.

Atau puisi terlahir dari sela-sela kenangan silam dan kini menemui muara. Jika telah tertancap sebilah pedang pena. Garis-garis pada kertas bermuatan renungan. Yang tampak di permukaan, kadang berserak tanpa harmoni yang jelas. Ini sama pengertiannya tidak memahami situasi diri, di sekitar nasib yang terus melayarkan sampan usia kemenjadian.

Keindahan puncak, di mana keuniversalan dunia mengakui. Mereka terperangah kecantikan pucuk Himalaya, ketampanan Candi Borobudur, atau kesejukan lembah bunga. Keindahan itu masuk dalam bayang-bayang ingatan atau terekam. Lalu kata-kata penceritaannya menjadi rumusan, sebagai logika daripada paras keelokan tersebut.

Demikian ngeri rasa tercengang, pun peperangan serta bencana alam. Membekas dalam diri sebagai timbangan menilai langgam-langgam hayat, dari getaran rasa yang termiliki. Oleh sebab itu, para penyair merawat perasaannya. Guna sampai pada getaran puncak daripada keindahan.

Ada penyair yang mengumpulkan puing-puing nama benda. Ada pula yang melukis deretan peristiwa lama, atau jangkauan hayal ke muka. Pun bunyi-bunyian alam, deburan ombak, jeritan, tangis, suara serangga. Kesatuan itu terkumpul, dan masuk terekam dalam ingatan. Para insan menimbang suara-suara itu dengan rasa, kata-kata dengan rasa, hitungan dengan perasaan. Sebelum dunia logika menawarkan dirinya, sebagai jembatan utama suatu karya.

Penilaian itu, takdir yang terus mengikuti jaman, bersama kerepotannya. Juga suasana kekosongan, termasuk jalan menuju penilaian lain. Seperangkat kebertemuan menjelma takdir lain atas pandangan tertentu, yang merasuk bergetar pada jiwa-jiwa penyaksi.

Puisi, sering luput dari tangkapan jika mengambilnya tidak dengan kesamaan. Peneriman, persetujuan, pun penolakan, mampu memberi jawaban. Tentunya atas ketepatan masa yang dituliskan takdir pertemuan, seperti kalimat “Manusia berhendak, tuhan yang menentukan.” Begitulah yang terjadi atas terkumpulnya kata-kata.

Berangkat dari endapan masa-masa yang tidak terkira atas terjadinya. Meski hal lain sangat mendukung, sebagaimana rindu, cemburu atau kasih damai pada lubuk sanubari. Ada saatnya ketergebuhan itu berhenti oleh lelah yang belum waktunya tiba. Atas jegalan masa-masa yang tidak mendukung kehadirannya sebagai hasil kerja. Dan keikhlasan melahirkan kembali, serupa gelombang laut ke pantai. Penerimaan karang atas buih busa yang menggenangkan masa menenggelamkan kesaksian. Juga serasa surut dan susut penilaian tubuh alamiah, saat-saat lelah istirah.

Puisi ialah himpunan kata-kata yang sangat berbeda jauh kalau menilik sisi tercetuskan gagasan. Jikalau ditimbang melewati masa pelaksanaannya. Ada endapan lama, mimpi lampau yang mengunduh tepat-waktu, serupa harapan yang tersampaikan. Kangen terjawab kelahiran tanpa operasi, atau rindu bertemu realitas cakrawala. Langit biru, awan menyisir, jalan-jalan dilalui, sungguh menapak.

Adapun penggarapan puisi yang berolah lama, sebab ketat daya saringnya. Meski tidak bisa dihakimi, tercetus lama belum tentu baik, atau sebaliknya. Sebab kerja yang sungguh, belum tentu diterima dengan kesungguhan. Terkadang keisengan di mata jiwa lain, malah menimbulkan takdir sesungguhnya. Inilah salahsatu problem, yang senantiasa mengintrik jiwa.

Semua perkumpulan ragu dan sungguh, terjawab sudah kesetiaan pelaku. Merawat cita-cita, sejak kanak sampai tidur tidak enak, tidak tersangka kantuk memberat. Ketenangan terjaga, kelebihan kehati-hatian, diet mencerna timbangan, bisa memberi solusi, tidak terjungkal jika ada saat-saat tidak nyaman. Duduk menyendiri atau kebersamaan ganjil. Dan keakraban mendesak maju, menghadirkan waktu ketaktepatan menjadi kejelasan. Lantas isyarat segera terungkap, atas kerja serius menyungguhi ruh.

Ben Okri pernah berkata; “Dunia tempat si penyair hidup tidak harus selalu puitis. Di tangannya, dunia ini sungguh menantang. Hanya dengan semangat penciptaan dan pencarianlah, dunia yang keras terubah menjadi nyanyian dan metafor baru.” Yang nantinya akan menghasilkan apa yang dikatakan, Paul Eluerd; “Seorang penyair adalah orang yang mampu mengilhami lebih banyak daripada orang yang diilhaminya.”

Maka sepatutnya sering mendengungkan rasa bersyukur, menghirup denyutan semesta, ingatan serta masa lalu, dalam genggaman kuasa-Nya. Fikiran bisa mempatenkan prodak, namun hatilah yang menentukan langgeng atau lepas sasaran. Olehnya, seorang penyair dituntut mencintai hal-hal yang tidak mengenak. Jikalau berharap perolehan lebih, sebab bukan di sekitar saja yang berguna.

Ternyata, yang selama ini tidak terkirakan, esok meminta jatah direnungkan dan lebih. Ini dinamakan jalan-jalan kepastian yang tidak terpetik jauh dibenak. Suatu rana yang dikembangkan kalbu-kalbu pencipta situasi di dalam kondisi kejiwaannya. Di tempat lain, Oktavio Paz berujar; “Pengaruh tersebut juga merupakan sebuah penciptaan, bukannya imitasi, melainkan okulasi yang menghasilkan sebuah tanaman baru, lebih kuat dan majemuk dibanding induk aslinya.”

Tetapi bukan berarti saya menganjurkan memejamkan mata, dalam menentukan jalan-jalan itu akan sampai atau mentok pada dataran ketakmampuan. Melewati jalan kedua bisa merasakan, memejamkan mata, dan memandang realitas berkesungguhan kerja. Dengan keduanya, malam dan siang, senja dan fajar selalu mengembang dalam jiwa. Kita rawat kestabilan kondisi, hawa saat-saat datangnya sembuh. Tidak berlebih atau sehat yang melenakan unsur-unsur lain.

Tao Teh Ching pernah berucap; “Karena tidak memiliki kehendak pribadi, maka ia bisa menyempurnakan pribadinya.” Namun bukan berarti lantas takut terjebak kedirian, lalu melemparkan kalimat puisi seperti melesatkan panah tanpa sasaran. Kondisilah yang mengharuskan Arjuna maju ke medan tempur. Dari kumpulan masa keharusan, bukan menunggu diterjemahkan sebagai situasi.

Setelah membaca perjalanan, terketahui bagaimana sampai di sini atau belum, kita tahu jawabannya. Itulah keseimbangan pandang yang selalu menjaga diri, agar tidak dalam kegilaan atau konstruksi yang merecoki kefahaman lembut puisi. Maka, merawat kasih sayang berimbang, bukanlah menyulitkan, jika melatih keinginan serta keadaan diri. Kesulitannya terasa, jika memasuki rayuan di jalan-jalan lena, atau keterlaluan culas memandang sebelah mata. Namun tentunya menyadari, kanan dan kiri bukanlah jalan sesungguhnya, tetapi pinggiran yang bisa mempelesetkan ke jurang.

Ketika terjatuh, sulit memulai kembali. Maka rawatlah kesetiaan, agar bertemu keseimbangan tanpa cemburu berlebih. Dan kepercayaan atau pun perubahan, atas genggaman-Nya, penilaian-penilaian terus berputar pada poros-Nya. Ia penggenggam ingatan manusia, pencuri harta kelupaan, atas keterbatasan kefahaman menerka, di dalam menyinaui hayat.

Rasa bersyukur menghantarkan kepada pembaca, bagi tercinta merindu temuan. Pun kuasa pemahaman ada pada pembaca. Runtut atau bejatnya kalimat atas konstruksi sulaman, kemenjadian yang jadi-jadian, pun yang kelewat serius. Tetaplah yang memenangkan permainan, pemahaman membaca dinding-dinding kata dari tampakan tubuh puisi.

Apalagi susunan yang dimasukkan perlambang, perlu digali lebih, bercangkul berbeda dengan kebaikan pemahaman. Tidak luput dari polarisasi yang dibangun penulis, atau pembaca perlu mengundang nalar penulis, demi diperbandingkan sejauh mana kerangka yang terbangun itu atas realitas sejarahnya.

Saya tidak banyak menerangkan makna yang terkandung dalam bidang kalimat. Dengan itu, kefahaman bisa meliar, memperoleh dari sekadar penggalan pengertian. Apa yang terhidang bukanlah rambu-rambu. Dari pembacalah aturan dimulai, sedang yang tertawarkan, sekadar cerminan kemungkinan lain. Andai ada kesamaan yang muncul, tentu kegelisahannya serupa meresapi keberadaan hayat. Menjadi pejalan kaki sunyi bukan membaca kalimat, tetapi meresapinya tanpa suara. Yang masuk ke telinga bathin, unsur lain yang terterka, semisal hendak mempersunting nyanyian bathin sendiri.

Ruang berbicara kepada saya dan waktu menyediakan nafas-nafas kata dalam setiap perjamuan. Saya tidak hendak menyapa panjang lebar. Kita bisa dimana tempat dengan keseiramaan, jika menjangkau penerimaan sebagai getaran rasa. Dan rindu pertemuan sinyal itu, kefahaman yang runtut di kuncup setia, cungkup keabadian atau nilai universal jiwa-jiwa. Harapannya, apa yang terhaturkan dapat menembusi pemahaman, meski tidak dalam satu lingkaran meja. Walau kadar penciumannya berbeda, pun kecenderungan lidah tidak serupa. Namun masih ada keyakinan, kesamaan itu tentunya ada, seperti iman akan hari depan yang lebih gemilang.

Di saat-saat memahami, terketahui sisi-sisi kosong segera terisi. Lembar-lembar ketebalan lelapisan pengalaman, bukan dari membaca saja, melewati ingatan kenangan, perjuangan menempuh hayat bertambah makna. Pandangan bukanlah semata kudu digurui, sebelum kepada maksudnya. Atau mengandaikan gugusan pengertian akan sampai kepadanya, kostruksi itu seluruhnya milik pembaca.

Bisa dibilang, ini sekadar pemancing jawab bagi pendapat. Sebab masing-masing memiliki, meski orang lain seolah mengerti lebih. Kecerdasan pencipta, tidak berarti mengerti psikologi pembaca secara keseluruhan, tetapi sekadar pengantar ada sisi-sisi kesamaan yang kudu dipertajam. Atau dihindari untuk pengolahan lebih mantab dengan kepribadian mandiri, sebagai bentuk-bentuk puisi yang kuat.

Wilayah penyair itu kata, seperti kita memandangi warna dunia. Tanpa membawa rentetan pengalaman, seolah yang terbaca itu sia-sia. Olehnya, sambungan pengalaman dari sesama ialah suatu usaha kebertemuan muara. Walau sudut pandangnya berlainan, meski mata air serta alirannya ke tempat yang tidak sama. Yang kita miliki hanyalah milik kita, meski telah ditulis mereka. Tetapi kita tidak akan memiliki apa-apa, jikalau tidak mendapatkan gesekan sesama. Sebab keraguan, kecemasan, juga keyakinan, merupakan tahap yang harus menemui kejelasan hakiki.

Cahaya terang itu tidak akan diketemukan, kalau sekadar membaca diri sendiri. Bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia bergantung yang lain. Pun khusyuknya merenungkan makna hayati, toh perlu angin sapaan, yang tampil sebagai sarana dialog, yang nantinya membuahkan berkah. Atau nilai tambah yang berupa harapan kemerdekaan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Usia suatu karya itu kemurahan kefahaman, kesehatannya menjadi melodi dan gairah. Sedangkan nada-nada naik-turunnya mengikuti gerakan takdir nyawa-nyawa pertemuan. Maka pantaslah puisi itu pecahan waktu yang pernah terlaksana. Juga bisa berasal dari pecahan masalah, yang menghadirkan kemangfaatan hayat di dalam penghayatan.

Apa yang terkupas di atas, bukan menyeluruh menyoal puisi dan penyairnya. Saya menggunakan beragam kacamata, agar masuk ke segenap keilmuan yang lain. Olehnya, terimalah kekenesannya sebagai bumbu, agar yang terhidang di benak, semakin sampai kekentalannya. Sebab buah permainan, bukan berapakali bertanding. Tetapi berapa baik mencetak gol cantik, meski sangat sederhana, atau primitif sekalipun. Maka kedatangannya, menyisir seberapa jauh lekukan fenomena, agar lebih terangsang dari sekadar wacana.

Perlu juga memecahkan tanggul-tanggul realita, demi menemukan relitas baru, sebab penampakan itu belum tentu sampai. Sebab kehakikian itu pada kompenen rasa yang terasai, seperti menemukan pahit atau manisnya. Camus sempat menuliskan, bahwa; “Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakan itu. Namun bobot itu tidak pernah dapat melumpuhkan kebutuhan soliter seniman.”

Yang selalu dahaga waktu, tidak puas baju kebesaran, jiwanya dituntut curiga kepada pakaian gembel yang menarik belas kasihan. Maka kesepakatan tercapai, bisa menerima segala hal dengan kesatuan tujuan. Sebagai pembaca, demi memperoleh wawasan lebih, serta rasan-rasan diri, agar yang masuk dan keluar, selalu pada bingkai kemungkinan. Yakni alat timbangan hidup, karena ramainya pembeli di pasar kebudayaan, daripada sastra pada lintasan keilmuan lain.

Puisi, dalam bentuknya yang baku, telah mengangkangi dunia hingga berabad-abad, sampai kita seolah tak berani keluar dari sarangnya, meski telah banyak mengeluarkan teknik baru, strategi anyar. Tetapi ketakutan tidak dianggap puisi khususnya, masih hadir di benak para penyair. Ini perbudakan sungguh ganas, lagi memalukan. Betapa jauhnya penyair lari dari dirinya, bayang-bayang itu tetap ia bawa. Sungguh menggelitik, apalagi terjadi pada titik kulminasi peradaban sekarang. Padahal bayang-bayang itu seharusnya sudah tidak tampak.

Saya membongkar identitas tersebut, agar tahu sejauh mana anatomi puisi dari tubuh penyair. Lebih jauh Albert Camus, meyakinkan; “Jika seni berkeras untuk menjadi suatu kemewahan, ia juga akan menjadi suatu kebohongan.” Kemewahan, tidak jauh dari tatanan; modernitas, primitif, posmo, motif ukiran, batik, pahat dan sejenisnya. Seharusnya, hasil cipta yang dimotori kata-kata, lebih jauh keluar dari pakem tersebut. Jika tidak ingin terperangkap dalam lingkaran yang disebut dinamai.

Namun mungkinkah kereta api bisa berjalan di luar relnya? Di sisi lain, tragedi itu perlu, pengorbanan wajib, dan bencana alam itu ada. Ini yang dinamakan kereta api yang keluar dari relnya. Kejadian ini seperti keberangkatan tukang bikin kue. Yang berani menginovasi prodaknya dengan tidak takut kalau-kalau tidak disebut kue. Inilah yang menghadirkan karya tandingan, bukan sekadar mengikut sejarah.

Maka persiapan perlu, ancang-ancang harus, kuda-kuda diadakan sebelum menempelkan tapal di kaki kuda. Dan keberanian mencipta, dari kilatan cahaya inspirasi itu akan terasa lebih, tidak sekadar kedalaman bahasa. Kita sering dan sudah lama dikelabuhi bentuk-bentuk baru, yang senyatanya itu-itu saja. Keseluruhan tulisan ini mungkin salahsatu jawaban, bahwa Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.” Karena ada yang mengatakan itu puisi, barulah sebagai jawaban di masa sekarang. Padahal di sana, telah terjadi tragedi matinya suatu “puisi.”

Sekali lagi, “bunuh diri itu perlu,” kalau ingin mengetahui sejauh mana keberanian dinilai bobrok, atau tidak berguna di depan publik setelah kematian. Saat itu tidak ada pembela sama sekali, kalau bukan kedirian karya tersebut yang mandiri tanpa pamrih. Tidakkah keperawanan jiwa lebih dicari? Dan bukankah karya-karya yang seronok, yang mudah dikunyah, tidak lagi mengundang “penasaran?”

Karya sastra memungkinkan menggali kerahasian dirinya, untuk selalu mereka mencari, kedalaman murni mataair hayati. Sebab itu, pandangan subyek kita senantiasa hadir, kalau eksis di mana saja. “Kamu bisa tidak menyukai saya, tetapi pengaruhku takkan terbantah,” itulah perumpamaan sikap Nietzsche. Kesadaran itu sejenis anak yang kecil bermain. Apakah orang tua percaya? ia mendapati begitu banyak temuan? Ketika anak muda bekerja. Apa orang tua yakin seratus persen, bahwa ia bakal sukses besar? Ketika orang gagal membanting tulang. Apakah mereka percaya, bahwa ia lebih sukses daripada pemerhati yang sesaat?

Buah kemenangan tidak luput dari jerih payah keyakinan serta kesungguhan bekerja, meski ruang-waktunya mereka bantah. Sudah cukup cemooh sebagai penggerak yang menghadirnya seolah tiba-tiba. Namun tidakkah ketika insan menempa kesangsian dirinya dengan berulang, akan menemukan keniscayaan? Kebulatan seluruh antara ragu dan kenyataan. Keadaannya bersatu, dalam integritas dirinya sebagai tempaan -kematangan.

Saat nalar dan perasaan bertambah, menciptakan formula keseimbangan jiwa. Maka pemungkiran, pengundatan dan kesangsian terhilangkan bunyinya. Terhadap itu semua, penjelajahan kedirian menjadi kilatan-kilatan kesadaran. Yang menampar setiap muka, memecut sapi pongah untuk menggaru sawah, menyuburkan tanah dengan langkah-langkah. Inilah jalan yang bernama kemakmuran jiwa.

Pada prolog; Faust-nya Goethe, ada larikan berbunyi begini; “Hati yang teguh menjadi tampak jauh, dan apa yang hilang bagiku menjadi nyata.” Kalau memaknai dua potong kalimat itu, seakan tidak bertemu dalam satu bidang yang sama menuju kesepakatan berjumpa. Tetapi, jika menelisik ke dalam inti tubuh permasalahannya.

Apa yang terhidang, “hati yang teguh menjadi nampak jauh.” Ialah bukan keputusasaan yang terus dihentikan langkahnya. Namun usaha sejauh-jauhnya mendekati realitas kerja demi mendapati temuan, yang mulanya tiada manfaat keculi lelah. Ini semacam kunjungan kasih kepada tercinta. Dan apa yang tersampaikan di tengah jalan, merupakan perolehan yang berharga, untuk waktu serta tempat yang berbeda.

Ketika “apa yang hilang bagiku menjadi nyata,” merupakan bulir-bulir intan, tambang emas kenangan yang hadir dalam kebakuan bentuk membatu, menstupa. Sebab bagaimana pun awalnya pengalaman dari keraguan, diakhirnya tentu kepastian. Bertemunya manfaat di saat-saat tepat, atas tabungan memori silam, bacaan yang lalu atau peyelidikan masa lampau.

Lalu hadirlah capaian Plato dalam bukunya yang bertitel Republik; “Genggamlah kebenaran sebagai satu kesatuan, dan dalam cara yang benar, maka engkau tidak akan menemui kesulitan memahami berbagai ucapan sebelumnya, dan semuanya tidak lagi tampak aneh bagimu.”

Dari sini, kita dikehendaki melahap hidangan itu bukan menurut ukuran kelembekan lambung masing-masing. Tetapi bagaimana berbagi dengan yang lain, agar bisa merasakan bersama, meski kadar resapannya berbeda, setidaknya gula tetap manis. Untuk sampai tahap ini, harus sadar kata-kata Machiavelli, bahwa; “Kemampuan insan dikenalikan lewat dua cara, pertama kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kedua ialah kemampuan mengorganisasikan hukum.”

Kalau tubuh ibarat negara, maka kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kemampuan menyelidiki hal-hal yang kita sanggup mengangkatnya. Sehingga apa yang tampil bukan suatu hasil kegagapan, namun telah terpendam sejak lama dalam keakraban kerja. Jikalau tampil dalam suatu karya, kilatan itu tersampaikan bukan potret semata, tetapi gambaran dari ahli tukang foto yang professional, yang menyentuh ketajaman detail. Ini dibawah kendali daripada kemampuan mengorganisasikan hukum.

Hukum disini, aturan-aturan di dalam diri yang tersepakati sebagai kacamata standar terhadap suatu karya. Sehingga tanggup jawab itu ada, dan perlu adanya lelatihan keras, sampai hasilnya melewati persyaratan secara ketat. Tidak asal seruduk aman lantas bablas, maka pertimbangan estetik, etika, nada suara, nafas kata, gaya bahasa atau tampilan bentuk muka. Serta yang teridam menjadi kebenaran yang tampil dengan pertimbangan paripurna. Tidak menggencet sisi-sisi lain atau melakukan pembunuhan terhadap gagasan kecil, meski itu seolah-olah perlu.

Apa yang tersampaikan di atas, seperti tarian dramitisasi pemikiran menyoal judul, tetapi bukan sewarna permainan dadu yang dilakukan Kurawa dan Puntadewa. Yang demi hak milik negara atau di sini gagasan, dan demi kecantikannya Dewi Drupadi. Menuju penaklukan kerajaan Amarta, masuk wilayah Astina. Tetapi, “bila cinta dan penalaran saling berpelukan, akan terciptalah sebuah dunia baru,” Iqbal.

Ini yang terharapkan, bukan berasal dari emosional sesaat ego, namun perasaan yang berkendara kesadaran, kepada ruang yang dibangun. Temuan dunia baru, tidak berdasarkan agresi, integrasi atas ancaman. Tetapi kesadaran membangun kebaikan bersama. Bukan meninggikan identitas kepenyairan dengan mengesampingkan yang lain.

Pada puncaknya, pemaknaan dihasilkan renung kemanusiaan. Yang terus berjalin demi pemahaman lebih bening, bukan gelembung air yang pecah kala tersentuh. Ibaratkan karya terbaik itu pandangan elang laut, yang sanggup menembus gerakan ikan dari jarak cukup jauh. Buah intuisi, daya sugesti yang telah terlatih.

Atau gerak penciptaan itu dari kumpulan getaran, sinyal yang menyambung kabel saat hendak mencipta dari beberapa kemungkinan lalu. Selihai menangkap bola, setelah mengamati ke mana titik sasaran, seperti ungkapan Nietzsche, “Perasaan mula-mula tidak memiliki obyek yang didefinisikan dengan jelas. Obyek itu dibentuk belakangan. Atmosfir suasana hati musikal tertentu mendahului, dan ide puitis datang sesudahnya.”

Mungkin itulah insting penjaga gawang jaman. Tentunya tidak mau kecolongan, lalai merekam sedapatnya, saat terjadi perasaan bertemu. Sebab itu, pengulangan bukanlah sesuatu yang muspro, jika memiliki tekanan titik temu yang dimaksud. Bukan sekadar perpanjangan tangan atau rantai kapal yang nganggur tidak terpakai oleh usang.

Maka jadilah pemain yang tidak bosan-bosannya berlatih, meski belum tahu kapan bertanding. Sudahkah permainan dimulai? Ini demi menjaga daya gairah. Tidak semuanya berasal dari gerakan luar, tetapi membongkar kesatuan diri untuk menjadi momentum yang diterjemah. Sebagai pelaku yang tidak terbatas masa-masa, usia juga bidang kajian.

Cobalah simak apa yang dikatakan Sartre, saat mengantari bukunya Franth Fanon; “Selagi dia menunggu kemenangan nyata, atau bahkan tidak mengharapkan sama sekali, dia meletihkan musuh-musuhnya sampai mereka muak terhadapnya.” Perasaan muak itu muka lain dari kebosaan, putusasa, kepengecutan, juga hal-hal yang menandakan lemahnya mental. Yang bukan dihasilkan dari gairah murni memperbaikan kualitas diri.

Tapi tampakan manisan semata, gagah-gagahan di podium, bursa karya agar dibilang mentereng. Sungguh ini lepas satu-persatu, tidak terasa dilucuti, terbius daya rayu tepuk tanda. Sedangkan bermain tanpa beban itu, anak kecil yang lupa kalau punggungnya tersengat matahari, saat layang-layangnya merasai grafitasi, serta hembusan bayu nurani. Bocah itu penuh daya pikat, tanpa meninggalkan fikiran-fikiran nakal.
—–

13 Maret 2006, Senin Wage.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Kaisar yang Tidak Pernah Berkepala Besar

Santy Novaria
http://sosbud.kompasiana.com/

Saat itu, saya masih tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Batam yang di komandoi mbak Nurul F. Huda. Siapa yang tidak kenal sosok Ibu yang ramah ini..??? Kalau anda ‘predator’ buku, pasti tau, setidaknya pernah mendengar namanya. Kami (FLP) kedatangan tamu Agung waktu itu. Ya, saya katakan Tamu Agung karena, mbak Nurul saja sampai terkaget – kaget melihatnya, menurut curhatannya sendiri.

Dia datang hanya memakai celana jeans belel yang sedikit usang, jika dibandingkan dengan kualitas Jeans yang saya pakai. Bajunya hanya kaos Oblong berkerah, kalau tidak salah berwarna biru, bertopi pet, dan bersendal jepit. Ya, hanya sendal jepit. Saya yang berpakaian sangat bagus, langsung menciut seketika. Bisa – bisanya saya lebih necis dari Beliau. Kemana harga diri saya…???

Sebenarnya, ini bisa jadi pertemuan kedua saya saat itu. Ditahun 1998, saat itu saya masih SD kalau tidak salah, dia dan beberapa Sastrawan lainnya juga pernah menyambangi Kota saya dalam memperkenalkan budaya Sastra dengan tajuk ” Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab ” Cuma, karena tidak ada perwakilan dari sekolah Dasar, maka tidak jadilah saya bertemu.

Saya masih ingat sekali saat dia bertanya langsung pada Audiens, kebetulan saya yang pertama sekali diajak bicara. Kuping saya langsung memanas karena merasa tersanjung, serasa saya terbang. bagaimana tidak, saya diajak bicara dan berseloroh oleh seorang Sastrawan Dunia. Masih saya simpan buku yang ditanda tangani langsung oleh Beliau, langsung. .!!! Tanda tangannya simpel saja, namun mencerminkan ilmu yang dalam di kepalanya. Di bawah tanda tangannya dia menyertakan juga alamat e-mailnya, nomor telepon pribadinya, dan sedikit motivasi, yang akhirnya menjadi Jimat buat saya. Kalimat itu, “ Coba Kalahkan Saya “. Kalimat tantangan keras dari beliau, langsung buat saya.

Dialah Sastrawan muda Indonesia yang mengantongi banyak sekali prestasi. Mampu menulis lebih dari 1000 cerpen dalam kurun waktu setahun diawal penitian karirnya sebagai penulis. Hebat..!! Bagaimana tidak, dia mulai menetapkan pilihan sebagai penulis justru disaat usianya 35 tahun. Beliau, yang dulunya hanya seorang Tukang Becak dan hidup dipinggirang Kali Code, dengan semangat menulisnya membuat saya tersindir sekali. Dia, disela – sela menarik becak dan sudah berumur bisa sesemangat itu dalam menulis, dengan mesin tik zaman baheula pinjaman dari teman pula. Saya, apa kekurangan saya..??? Umur jauh relatif muda dibanding Beliau, sehari – hari hanya disibukkan dengan sekolah, fasilitas sudah Oke. Tapi, semangat saya yang kerdilnya minta Ampun..

Beliau, saat masih Tukang Becak saja, mampu mementahkan Umar Kayam doktor Fakultas Sastra UGM ternama, Seno Gumira yang kampiun cerpen, Agus Noor, pakar metaphor dari Yogya dan yang selevel. Ia mengalahkan mereka dalam seleksi kumpulan cerpen terbaik Kompas tahun 90-an. Cerpennya menjadi juara 1 dan otomatis menjadi judul buku antologi tersebut.

Beliau yang sering ‘Pelesiran’ ke Luar Negeri (terutama Eropa) dan pernah tour ke 12 negara Eropa, Amerika dan Asia dengan sponsor luar negeri, selama lima tahun menjelajah Nusantara untuk memperkenalkan Sastra. Bagaimana mungkin bisa disebut biasa..???

Beliaulah sosok ‘orang besar’ yang hanya ingin disebut ‘biasa’. Beliaulah, dengan penampilannya yang sederhana. Gaya bicaranya, demikian juga cara komunikasinya. Hilang segala jarak, sungkan, perasaan lebih kecil dan apa pun yang membuat kita mesti mendongak ke atas padanya. Tidak ada. Dia tahu, hanya dengan itulah orang ‘kecil’ seperti kami akan lebih terbuka dan lebih antusias menimba ilmu padanya. Terbukti, saat mengisi acara FLP, semua antusias dan tanpa sungkan menyerbu dia. Padahal, Kami semua baru saja berjumpa.

Seorang Kaisar yang tidak ingin disebut sebagai Orang Besar.
Seorang Super Star. Namun, bersikap layaknya orang yang belum tersohor.
Berilmu tinggi layaknya Profesor, Doktor. Tetapi jauh sekali dari Kepala Besar.
Orang besar yang sesungguhnya, tidak membuat orang lain berjarak. Dekat. Tanpa sekat.

Dialah, Joni Ariadinata.

Mengemas Cerita Rakyat Jadi Buku

Burhanuddin Bella
http://www.infoanda.com/Republika

Seorang menteri bersama kelompok kecil menghadap raja. `’Ampun beribu ampun, Baginda. Kami datang tanpa diundang,” sang menteri bersimpuh.
`’Katakan, apa maksud kedatangan kalian,” tanya raja.
`’Kedatangan kami kemari memohon Baginda untuk memilih satu di antara dua pilihan.”
`’Pilihan apa?” raja makin tak sabar.
`’Mana yang disukai Baginda, telur yang sebutir atau telur banyak. Jika Baginda menyukai telur yang sebutir, hamba bersama segenap rakyat akan mengungsi untuk menghindarkan diri dari kejangkitan penyakit kulit yang diderita Sang Putri.”

Baginda dengan tegas menjawab, lebih memilih telur yang banyak. Sang Putri pun akhirnya diasingkan. Bersama rombongan kecil, mereka menuju ke daerah lain, hingga akhirnya terdampar di sebuah tempat tak berpenghuni di tepi sungai. Di tempat itulah mereka bermukim. Berkat jilatan kerbau liar, penyakit kulit yang diderita Sang Putri sembuh. Putri pun tampak cantik, kulitnya halus.

Dari kerajaan yang lain, seorang Putra Mahkota memimpin perburuan di hutan. Tersesat di belantara, rombongan ini akhirnya menemukan pemukiman Sang Putri. Keduanya jatuh hati, diam-diam saling mencintai. Singkat kisah, Putra Mahkota mempersunting Sang Putri dan melangsungkan pernikahan dalam sebuah perkawinan agung.

Begitulah sebuah cerita yang berkembang di Sulawesi Selatan. Sang Putri anak Raja Luwu, sedangkan Putra Mahkota adalah anak Raja Arumpone. Perjalanan hidup mempersatukan keduanya dalam sebuah tali perkawinan sehingga dikaruniai tiga putra, masing-masing bergelar Petta Kanjeng.

Kisah dalam buku lain diangkat dari cerita rakyat yang berkembang di Sulawesi Utara. Di situ digambarkan pengembaraan seorang wanita cantik yang meninggalkan desanya agar bisa menyambung hidup. Desa tempat tinggalnya tidak lagi menjanjikan harapan setelah masuknya bangsa pendatang yang merampas tanah milik penduduk. Lantaran tak bisa bercocok tanam, penduduk mederita kekurangan pangan.

Wanita itu lalu mengikuti petunjuk yang diperoleh dari mimpinya dengan mengarungi lautan. Sampai akhirnya terdampar di sebuah daratan, dia diselamatkan oleh penduduk kampung itu. Dia menjadi penghuni pulau tersebut.

Sekali tempo, ia mencari puing-puing bekas perahunya yang hancur akibat terpaan badai saat tiba di daratan itu. Dia lalu mendekati sebuah perahu yang kelihatannya baru diperbaiki. Kepada orang-orang yang ada di situ, dia mengisahkan pengalamannya terdampar di pulau ini.

`’Oh, kalau begitu, ini perahu kamu yang rusak dulu. Puing-puing perahu yang rusak kami perbaiki,” seorang menjelaskan.
`’Saya harus bayar dengan apa, Pak?”
`’Tidak perlu ditebus, kami ikhlas kalau akan kamu ambil. Ambillah.”

Perahu didorong ke laut, wanita itu masuk ke dalamnya. Berhari-hari terombang-ambing di laut sampai akhirnya menemukan daratan. Di daratan baru ini dia hidup berkebun. Di situ ia bertemu seorang lelaki yang akhirnya menjadi suaminya. Keduanya hidup rukun dan bahagia. Mereka dikaruniai 27 anak.

Kisah Sang Putri dan Putra Mahkota dan pengembaraan seorang wanita cantik tersebut adalah cerita rakyat yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam bentuk buku. Ini merupakan hasil karya peserta lomba inventarisasi cerita-cerita rakyat di daerah untuk siswa SD dan SMP.

Setiap tahun Pusat Bahasa Depdiknas menyelenggarakan berbagai jenis lomba dalam rangka Bulan Bahasa. Naskah-naskah yang masuk, dipilih untuk dicetak dalam bentuk buku. Lomba cerita rakyat tersebut salah satu di antaranya, diterbitkan sebagai Seri Bacaan Sastra Anak Nusantara.

Semula, menurut Kepala Subdit Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, Dra Dad Murniah, MHum, lomba cerita rakyat hanya untuk siswa SD dan SMP. Mulai tahun ini, katanya, lomba cerita rakyat yang berkembang di daerah diperluas. Tidak lagi hanya sebatas untuk siswa di dua jenjang pendidikan tersebut, tapi juga untuk umum.

Dalam kaitan Bulan Bahasa itu pula, Pusat Bahasa senantiasa menyelenggarakan berbagai jenis lomba penulisan. Misalnya, sayembara penulisan puisi remaja tingkat nasional, sayembara penulisan puisi bagi siswa SD tingkat nasional, dan sayembara penulisan naskah drama bagi remaja tingkat nasional.

Ini dimaksudkan untuk meningkatkan minat siswa dan remaja terhadap sastra. Selain itu, untuk meningkatkan daya cipta dan kreativitas siswa dan remaja terhadap sastra, di samping menumbuhkan sikap positif dan cinta sastra.

Seperti juga naskah cerita rakyat, naskah sayembara yang terpilih kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Biasanya, Pusat Bahasa juga kerap mengundang penulis yang sudah terkenal untuk menyertakan karya-karyanya dalam penerbitan buku.

Buku-buku yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, menurut Dad Murniah, dicetak sekitar seribu eksamplar. Buku-buku yang sudah diterbitkan kemudian dikirim ke perpustakaan-perpustakaan yang ada di daerah-daerah. `’Biasanya juga kita sediakan untuk souvenir dan hadiah,” tuturnya.

Bagaimana jika ada penerbit yang berminat mencetak ulang naskah hasil lomba? Pusat Bahasa, menurut Dad Murniah, tidak menutup pintu untuk itu. `’Silakan saja kalau ada yang berminat,” ucapnya.

Pertanyaan Untuk Maman S Mahayana Kritikus Sastra Indonesia

Maman S. Mahayana
Pewawancara: Dony P. Herwanto

Kembali ke Akar Tradisi

Di sini (Korea.red) sudah jam sembilan malam Don. Begitu jawab Maman S. Mahayana, Kritikus Sastra Indonesia ketika wartawan Jurnal Bogor, Dony P. Herwanto menyapanya lewat jaringan pertemanan Facebook (FB). Maman yang tercatat sebagai warga Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor itu, kini tinggal di Korea.

Para Perempuan Penulis Bersaing di Pasar

Ada yang Tawarkan Novel Karya Sendiri Door to Door
Endah Imawati
http://www.surya.co.id/

Setelah beberapa novelnya menjadi perbincangan komunitas sastra, Ayu Utami melempar novel terbaru, Manjali dan Cakrabirawa. Tak perlu berpeluh-peluh, kepopuleran nama Ayu Utami menjadi tiket untuk kelarisan novel-novelnya.

Novel Manjali dan Cakrabirawa bercerita tentang Marja, yang dititipkan berlibur oleh kekasihnya pada sahabat mereka, Parang Jati. Mereka menjelajahi pedesaan Jawa dan candi-candi. Perlahan, Marja jatuh cinta. Parang Jati membuka matanya akan rahasia yang terkubur di balik hutan: kisah cinta sedih dan hantu-hantu dalam sejarah negeri ini. Di antaranya, hantu Cakrabirawa.

Manjali dan Cakrabirawa terbitan Kepustakaan Populer Gramedia ini yang pertama dari Roman Misteri – Seri Bilangan Fu, serial yang berhubungan dengan Novel Bilangan Fu. Jika Bilangan Fu lebih filosofis, seri ini merupakan petualangan memecahkan teka-teki yang berhubungan dengan sejarah dan budaya Nusantara.

Ayu memiliki nama cukup tangguh yang membuat buku karyanya relatif lebih mudah dijual. Dalam waktu sepekan, Manjali dan Cakrabirawa ludes di Surabaya dan sekitarnya. Naga-naganya, buku ini akan meledak di pasaran.

“Surabaya mendapat kiriman 800 eksemplar, dan habis dalam seminggu. Buku itu langsung diserap komunitas sastra,” kata Ary dari Gramedia Pustaka Utama (GPU), Sabtu (7/8).

Para penikmat tulisan Ayu harus, bersabar karena buku yang baru diedarkan awal Juli ini menunggu dicetak ulang 5.000 eksemplar. Biasanya, untuk nama beken semacam ini penerbit berani mencetak hingga 10.000 eksemplar. Jatah cetak dari para penerbit untuk penulis baru biasanya 3.000 eksemplar.

Ayu beruntung, tanpa promosi besar-besaran pun bukunya langsung diserap pasar. Hal itu tidak berlaku bagi Lan Fang. Penulis dari Surabaya itu, enam bulan lalu, menerbitkan Novel Ciuman di Bawah Hujan. Posisi penjualan novel ini sekarang sekitar 800 buku. Lan Fang harus berkeringat mempromosikan novelnya.

“Saya harus door to door,” kata Lan Fang, saat ditemui, Jumat (6/8).

Istilah ini mengisyaratkan betapa sulitnya meyakinkan masyarakat untuk membaca karyanya. Lan Fang rutin mengadakan bedah buku dari kampus ke kampus dan pesantren serta komunitas. “Kadang-kadang setelah bedah buku, yang terjual hanya dua,” katanya, kemudian tertawa. “Tetapi tidak apa-apa. Saya menanam benih untuk jangka panjang supaya mereka tahu seperti apa novel Lan Fang,” imbuhnya.

Perilaku pasar tidak selalu membuat penulisnya lega. Lan Fang mengakui, namanya belum setenar Ayu Utami, sehingga dia harus bekerja keras agar bukunya diterima. “Saya telanjur mencintai dunia menulis. Kalau tidak menulis, rasanya ada yang kurang,” kata Lan Fang sambil menggigiti kuku jempol kanannya —kebiasaan jika topik pembicaraan menurunkan ledakan gayanya berbicara.

***

FAN Lang juga sadar pada dirinya tidak ada keartisan yang melekat seperti penulis Happy Salma. Sebagaimana diketahui, Happy Salma menjadi satu dari sekian selebriti yang menerbitkan buku. Pasar buku di Indonesia cukup rentan. Buku hanya akan teronggok jika tidak ada promosi. Happy menyadarinya. Karena itu, dia meluncurkan Hanya Salju dan Pisau Batu, yang ditulis bersama Pidi Baiq, Selasa (3/8) malam di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

“Ini pementasan adaptasi novel,” kata Happy tentang pentas teater yang disutradarainya.

Sejumlah orang hebat di bidangnya ikut terlibat, antara lain, Olga Lydia, Marcela Zalianty, Alexandra Gotardo, Ki Joko Bodo, dan Budi Ross.

Tahun 2006, Happy meluncurkan buku pertamanya, trilogi antologi cerpen Pulang. Meski awalnya tidak satu sekuel tidak laku, Pulang sedang dicetak ulang. Belajar dari Pulang, kali ini bersama penerbit Mizan, Happy memakai promosi berbeda yaitu pentas teater.

Promosi mandiri juga dilakukan penulis novel Agnes Jessica, yang telah menerbitkan 20 novel. Lewat blog, Agnes memamerkan karya-karyanya. Gayanya yang populer membuat bukunya mudah diterima. “Buku-buku Agnes di GPU cukup banyak. Penjualannya rata-rata 1.500 eksemplar,” kata Ary.

Angka 1.500 itu angka ‘normal’ bagi penjualan novel. Nah, dengan jumlah cetakan ribuan buku, berapa pendapatan penulis di Indonesia? Menurut Agnes, pendapatan biasanya berupa royalti 10 persen dari harga buku.

Jika buku dijual Rp 20.000, dicetak 3.000 eksemplar, setelah enam bulan laku 1.250 eksemplar, maka royaltinya 10 persen x Rp 20.000 x 1.250 eksemplar. Setelah dipotong pajak 15 persen, penulis mendapat Rp 2.125.000.

Penulis mendapatkan royalti enam bulan sekali. Jika teratur menghasilkan karya, semakin besar royaltinya. Tentu saja pasar harus diraih dengan promosi seperti Lan Fang yang ‘mengamen’ hingga ke Bandung.

HOLOCAUST RISING: DI TENGAH KRISIS TEATER DAN KANIBALISME

Sri Wintala Achmad
http://sanggargununggampingindonesia.blogspot.com/

Tidak terpungkiri bahwa Yogyakarta telah diasumsikan banyak orang sebagai salah satu kantong seni-budaya di Indonesia. Sehingga tidak musykil kalau EMHA Ainun Nadjib pernah menggagas bahwa Yogyakarta berpotensi menjadi ibukota kebudayan. Gagasan Cak Nun tersebut sangat beralasan. Karena berbagai genre kesenian yang merupakan produk budaya telah mengalami pertumbuh-kembangan secara dinamis di kota ini. Tidak hanya seni rupa, sastra, tari, dan seni teater yang bernuansa modern, melainkan yang bernuansa etnik lokal dan nusantara dapat tumbuh subur di Yogyakarta.

Terutama dalam kehidupan seni teater. Sejauh yang saya catat, kesenian teater (mother of arts) yang kini mengalami masa lesu tersebut pernah mengalami masa kegairahannya pada dekade 70-90an. Pada masa itu, banyak kelompok teater baik yang sanggar maupun akademis (sekolah dan kampus) mengalami pertumbuh-kembangan dinamis di kota Yogyakarta.

Dinamika pertumbuh-kembangan kelompok-kelompok teater yang sangat kompetitif di dalam berproses kreatif tersebut, sekadar menyebutkan nama antara lain: Teater Alam, Teater Sanggar Bambu, Teater Dinasti, Teater Starka, Teater Jeprik, Teater Gandrik, Teater Stemka, Teater Tikar, Teater Arena, Teater Aksara, Teater Pusaka, Teater Kita-kita dll. Sementara kelompok-kelompok teater akademis, semisal: Teater Gajah Mada (UGM), Teater Unstrat (IKIP Negeri/UNY), Teater ESKA (IAIN/UIN), Teater KSP (UST), Teater Padmanaba (SMAN 3 Yogyakarta), Teater SMERO (SMEAN 2 Yogyakarta) dll.

Meskipun kehidupan perteateran di Yogyakarta pada masa pasca 2000 cenderung mengalami degradasi kuantitaf, namun tidak berarti kota ini telah sepi dari kelompok teater yang masih konsisten meningkatkan kualitas kreatifnya. Bukankah kita masih sering menangkap getar kreativitas dari beberapa kelompok teater semisal: teater Gardanala, Teater Garasi, dan Saturday Acting Club (SAC)?
What’s SAC?

SAC (Saturday Acting Club) yang berdiri sejak 2002 merupakan kelompok kajian acting yang semula bernama Saturday Acting Class. Kelompok ini merupakan sekumpulan orang yang bergelut di wilayah keilmuan teater dan secara khusus berkonsentrasi pada kajian acting serta mengekplorasi segala gaya acting dari berbagai isme.

Disebabkan kebutuhan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk kajian, maka SAC memutuskan untuk mulai mengekspresikan hasil tersebut ke dalam wujud pementasan teater (2006). Disepakatilah kemudian bahwa SAC untuk mengganti kata class menjadi club. Kata Saturday diambil karena kegiatan regulernya menggunakan hari Sabtu sebagai waktu pertemuan.

Keanggotaan SAC sendiri terdiri dari civitas akademika Institut Seni Indonesia dan orang-orang dari luar institusi yang mempunyai perhatian sama terhadap disiplin ilmu teater. Sampai saat ini SAC mempunyai anggota tetap yang tidak kurang dari 15 personil.

Hal yang dibanggakan, kehadiran SAC di tengah kelesuan dunia perteateran Yogyakarta telah memresentasikan karya-karyanya di ruang apresiasi publik baik di lingkup lokal (Yogyakarta) dan pusat (Jakarta). Karya-karya yang pernah ditampilkan, antara lain: Children First (Kedai Kebun/Teater Arena ISI, 2007); Smole & Ice Cream, Le Guichet, Traller HP. Zero Matrix (Kedai Kebun, 2007); Lithuania, karya Rupert Brook (Gelanggang Teater Gajah Mada/Laboratorium Teater Garasi, 2008); Beringin Soekarno (Kampus USD, 2008); Bintang Tamu Parade Teater ‘Big Days Art’ CATASTROPHE (UNY, 2008); ‘Catastrophe’ dan ‘Zero Matrix’ (Auditorium Teater ISI Yogyakarta/Sanggar Baru TIM dan Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, 2008), dan Holocaust Rising yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 14-15 Oktober 2008.

Membaca Geliat Holocaust Rising

Siapakah manusia? Banyak orang menyebutkan, manusia sebagai hamba Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia terlahir di muka bumi telah dibekali akal budi. Namun realitasnya, banyak manusia cenderung menggunakan nafsu purbani (kebinatangan)-nya, hingga kehidupan yang beradab hanya menjadi mimpi kaum moralis. Hingga kehidupan tidak ubah arena pertikaian antar manusia berjiwa binatang yang menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan sesama.

Persepsi yang berpijak pada realitas sosial yang mulai memberhalakan spirit kanibalisme tersebut telah dilukiskan Rossa R. Rosadi (penulis scenario dan sekaligus sutradara) ke dalam pertunjukan teater komtemporer ‘Holocaust Rising’. Melalui pementasan teater yang cenderung mengeksplorasi unsur gerak (tari), posture, monolog ketimbang dialog, Rossa memresentasikan hasil amatan dan cerapan yang diendapkan terhadap fenomena sosial di depan publik (Taman Budaya Yogyakarta, 14-15 Oktober 2008).

Hal yang menarik di mata saya, Rossa tidak hanya melukiskan spirit kanibalisme dari sekelompok orang tolol yang lebih menggunakan power of physic ketimbang power of intelligence, melainkan pula dari sekelompok manusia cerdas yang memilih senyuman manis sebagai pisau lipat buat menikam lawan dari belakang. Pengertian lain, pengkhianaan cerdas telah dipilih oleh kaum kanibal modern (kapitalis) sebagai senjata mematikan.

Dari dimensi ide, Rossa layak diacungi jempol. Karena Rossa telah sanggup memresentasikan kritik sosialnya itu melalui bentuk pementasan teater yang tidak lazim. Namun dari sisi teknik permainan, masih banyak yang harus dibenahi. Terutama kelenturan komposisi, dinamika grafik permainan dan olah vokal dari sebagian pemain yang tidak jelas artikulasinya. Hingga audience yang tidak gamlang mendengar monolog dan dialog antar pemain niscaya gagal menangkap gagasan Rossa.

Meskipun demikian, seluruh anggota SAC layak mendapat penghargaan. Karena nama-nama pemain, semisal: Jamal Abdul Naser, Surie Inalia, Moh. Djunaedi Lubis, Ratna Aniswati, Nanik Endarti, Mariya Yulita Sari, Shanti, Intan Kumalasari, Wheni Black Out dll telah melakukan proses latihan yang sangat optimal. Totalitas latihan di dalam dunia teater memang penting.

Namun totalitas latihan yang tidak disertai dengan metode yang benar, serta pemanfaatan waktu yang efektif hanya akan menghabiskan energi para pemain pada saat pementasan. Hingga image yang muncul di benak audience, pementasan kurang berhasil!

Sekadar Catatan Penutup

Pementasan SAC di dalam pementasan teater ’Holocaust Rising’ yang mendapatkan dukungan TBY tersebut membuktikan bahwa kelompok teater belum punah di Yogyakarta. Meskipun saya tetap memrihatinkan, kuantitas kelompok teater di kota ini dapat dihitung dengan jari. Masalah ini seyogyanya mendapatkan perhatian dan tindakan konkret dari berbagai pihak guna menumbuh-kembangkan kembali atas kuantitas kelompok teater sebagaimana dekade 70-90an.

Selain itu, event pementasan SAC tersebut sanggup membenahi citra TBY sebagai penopang penumbuh-kembangan (kalau tidak mau disebut penyelamatan dari krisis) seni teater di Yogyakarta. Karena sebagai lembaga pemerintah, TBY tidak hanya memberikan fasilitas gedung sebagai tempat latihan dan pementasan, melainkan pula pendanaan. Sekalipun diakui, terealisasinya dan gaung pementasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai pihak yang terkadang tidak mau disebutkan namanya.

*) Pengelola www.gununggamping.multiply.com Tinggal di Sleman, Yogyakarta

RAJA ALI HAJI: BAPAK KESUSASTRAAN MELAYU

Maman S. Mahayana *

Kalau bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Klasik, maka kesusastraan Indonesia lahir karena dukungan sastra klasik yang tersebar di kepulauan Nusantara, seperti Bali, Jawa, Sunda, atau Melayu. Khusus dalam pembicaraan yang menyangkut kesusastraan Melayu Klasik, tentu saja Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tidak dapat dilewatkan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain Syair Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan, Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah.

Fenomena Sastra Indonesia Mutakhir: Komunitas dan Media

karya Nanang Suryadi
diposting oleh Meli Indie pada:
http://media.kompasiana.com/

Komunitas Sastra

Meneropong sastra Indonesia mutakhir, tidak cukup hanya berbicara perkembangan satu dua tahun terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena komunitas sastra, misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di jagad sastra Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia sudah mengidentifikasi berbagai komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia memberikan definisi komunitas sastra sebagai:

“kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum.” (Iwan Gunadi, 2006)

Dengan melihat definisi tersebut, jika kita tengok dari perjalanan sastra Indonesia baik yang tercatat maupun yang tidak sebenarnya komunitas-komunitas sastra ini sudah berkembang sejak dahulu, walupun mungkin tidak secara resmi menggunakan kata-kata “komunitas.” Menurut saya Pujangga Baru merupakan sebuah komunitas, walaupun nama Pujangga Baru adalah nama sebuah majalah sastra. Namun di situ antara redaksi, penulis dan pembacanya ada suatu keterikatan emosional, sehingga muncullah sebuttan angkatan “Pujangga Baru”. Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dkk berinteraksi dalam Gelanggang Seniman Merdeka, yang melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Pada 1950-1960-an, kita juga bisa menemui Lekra, Lesbumi, yang walaupun berpatron pada partai atau ormas, bisa kita sebut sebagai komunitas juga. Kelompok diskusi Wiratmo Soekito yang diikuti oleh Goenawan Mohamad dkk merupakan sebuah komunitas, yang pada akhirnya melahirkan Manifesto Kebudayaan. Dari beberapa contoh yang kebetulan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia itu, dapat dikatakan bahwa komunitas sastra apapun namanya sudah berkembang sejak dahulu.

Sebuah komunitas sastra, menurut saya, tidak harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Saya memandang bahwa jika ada lebih dari satu orang melakukan aktivitas rutin bersama dengan minat yang sama yaitu “sastra” maka dapat dikatakan itulah komunitas sastra. Walaupun Afrizal Malna pernah juga mendirikan komunitas yang anggotanya dia sendiri, yaitu “Komunitas Sepatu Biru.”

Aktivitas menulis karya sastra merupakan hal yang sangat individual. Pengakuan atas karya sastra pada umumnya merupakan pengakuan terhadap karya individu penulis. Sebuah cerpen, puisi atau novel jarang sekali dibuat oleh lebih dari satu orang (jarang, bukan berarti tidak ada). Maka dimana peran atau pengaruh komunitas dalam penulisan karya sastra, jika menulis adalah aktivitas individu?

Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling berbagi.

Komunitas-komunitas sastra yang ada memiliki ciri yang hampir sama, yaitu: komunitas itu akan terus hidup jika ada individu yang sukarela menggerakkan komunitasnya. Paling tidak ada satu sampai tiga orang yang memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas komunitas, maka komunitas itu akan berjalan.

Sekarang kita lihat fenomena apa yang membedakan komunitas sastra pada beberapa tahun terakhir dengan komunitas-komunitas sastra di tahun 90-an dan sebelumnya. Teknologi informasi membawa dampak perubahan terhadap pola interaksi di masyarakat. Pada akhir 90-an teknologi informasi berupa internet memberikan peluang kepada masayarakat luas untuk dapat berkumpul dalam suatu komunitas tanpa harus hadir secara fisik. Melalui jaringan internet, para peminat sastra membentuk komunitas yang melintasi batas geografis. Komunitas komunitas sastra di dunia maya mulai muncul sejak akhir tahun 90an melalui mailing list. Contoh komunitas sastra melalui mailing list yang berdiri di akhir 90an adalah: penyair@yahoogroups.com, puisikita@yahoogroups.com, gedongpuisi@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com, bumimanusia@yahoogroups.com musyawarah_burung@yahoogroups.com, dan banyak mailing list lain yang menyusul di tahun 2000an, seperti sastra_pembebasan@yahoogroups.com dan apresiasi_sastra@yahoogroups.com.

Media Sastra Mutakhir

Gerakan Sastra Internet yang diusung pada akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa mailing list komuntas maya di atas.

Perkembangan sastra di internet saaat sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com, duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, WordPress.com menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.

Dari sekian banyak situs jaringan sosial, yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240 karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter semakin sering update semakin disuka. Menulis karya di Facebook bisa panjang lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang, facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok? Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain

Karya-karya yang muncul di Twitter, Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan buku. Kecenderungan itu sudah banyak. Misalnya:12 tahun lalu, milist bumimanusia yang diasuh Eka Kurniawan dan Linda Christanti telah menerbitkan beberapa buku. Pada masa yang sama, rekan-rekan di milist penyair, puisikita, gedongpuisi yang tergabung dalam cybersastra -YMS membuat antologi puisi. Buku serial antologi puisi “Dian Sastro for Presiden” (3 jilid) juga merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir, peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan blog.

Draft awal tulisan ini dibuat langsung di facebook.com dan twitter.com. Mungkin hal yang sama pernah dilakukan oleh banyak penggiat facebook dan twitter. Mereka langsung menulis dan pada beberapa menit berikutnya dipublish. Kecenderungan yang sama dapat dilihat pada sekitar sepuluh tahun lalu pada saat mailing-mailing list marak dan ramai digunakan, para anggota mailing list langsung menulis di emailnya masing-masing untuk saling menanggapi tulisan rekan-rekannya, bisa berupa opini atau karya puisi. Berbalas puisi di mailing list sudah terjadi sepuluh tahun lalu. Berbalas puisi dan menuangkan opini di kolom komentar facebook dan blog merupakan kecenderungan terbaru. Contoh komentar dari seorang penggiat sastra di facebook (yang saya amati sangat produktif menulis di facebook.com), yaitu Dimas Arika Miharadja:

“Komunitas semacam facebook, jika tak berhati-hati bisa bikin mabuk. Kenapa? Setiap mempublish puisi, esai, atau apapun juga terkesan dihadapi (diresepsi, diapresiasi) secara meriah denga…n aneka puja-puji, minimal mengacungkan jempol tanpa kata-kata. Komunitas facebook harus dicermati antara ada dan tiada. Adanya komunitas itu baru berguna bila ada keseriusan dalam melakoni hidup dan kehidupan berkarya. Tiadanya komunitas di ruang maya ini bisa jadi disebabkan lantaran orang-orang yang berkerumun di situ tidak ada tali pengikatnya yang jelas (suka datang dan pergi tak kembali, suka-suka hati).

Apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Sabar, nanti dulu mas, masak terburu-buru. Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.

Melalui media maya ini juga mulai dapat diidentifikasi beberapa person yang bisaa memanfaatkan media ini sebagai sosialisasi-komunikasi-interaksi karya yang digubahnya. Lantaran karya sastra itu peronal atau individual sifatnya, aneka respon terhadap karya yang dipublish haruslah diiringi sikap berhati-hati. Puja-puji bisa memandegkan kreativitas, mabuk pujian, dn lepas kontrol. Sebaliknya, penyampaian kecaman atau asal kritik tanpa argumentasi yang jelas bisa jadi akan menghentikan produktivitas bagi yang tidk siap dan tidak tahan banting.

Intinya, Komunitas dan Media maya, keduanya sama-sama semu. Semua bergantung pada individu pelakunya?”

Inilah salah satu contoh, bagaimana interaksi di dunia maya dapat berlangsung cepat. Opini bisa dibalas opini dalam waktu singkat. Sedangkan media konvensional seperti koran cetak, majalah cetak, jurnal cetak (segala yanmg harus dicetak) membutuhkan waktu yang cukup lama, paling tidak sehari. Komentar dari Dimas Arika Mihardja ini hanya sekitar 5-10 menit sejak artikel saya publikasikan di facebook.

Usulan Pengembangan Komunitas dan Media

Sebagai penutup tulisan ini, saya mengusulkan beberapa hal untuk pengembangan komunitas dan media saat ini dan di masa mendatang. Tanpa menafikan keberadaan koran, majalah dan buku sebagai media sastra, saya mencoba mengusulkan pengembangan sastra melalui komunitas sastra di internet. Teknologi internet yang semakin terjangkau oleh semua kalangan memberikan peluang yang besar untuk semakin menggairahkan para penulis sastra untuk menulis. Penulis sastra dari generasi yang lahir tahun 70-an dan 90-an merupakan generasi-generasi yang sangat melek internet. Mereka bisa online internet sepanjang hari menggunakan handphonenya.

Berdasar pengalaman berinteraksi di berbagai jaringan komunitas sastra di internet selama ini saya menemukan banyak penulis pemula yang ingin belajar menulis di internet?. Para pemula ini mencari guru yang mau mengajari mereka menulis. Tapi para penulis “mapan” di dunia nyata susah untuk diminta ilmunya (pengalaman 10 tahun lalu, dan mungkin sekarang). Mungkin kesibukan para penulis “mapan” yang menyebabkan mereka susah untuk ditanya ini itu hal hal teknis tentang penulisan. Pengalaman waktu di cybersastra, ada suatu forum akhirnya para pemula ini saling membantai karya teman-temannya (tanpa guru!). Saya melihat pembantaian karya antar teman itu bisa menjadi gesekan kreatif yang mendorong menjadi lebih baik. Beberapa alumni forum cybersastra karya-karyanya sudah banyak tampil di pentas sastra Indonesia. Mungkin kalau saling membantai karya menjadi suatu yang mengerikan, bisa dicari format lain.

Tuntutan para sastrawan “mapan” 12 tahun lalu terhadap sastra di internet menurut saya terlalu cerewet. Mereka meminta karya sastra yang berbeda dengan karya sastra media koran, majalah dan buku. Mereka meminta untuk karya-karya yang selektif yang hadir di internet. Seperti karya yang muncul di koran dan majalah. Tapi tantangan itu harus diterima! Ada upaya rekan-rekan penggiat sastra di internet untuk memaksimalkan media yang ada, misalnya dengan mengotak atik HTML, script dll. tapi masih belum menemukan sesuatu yang benar-benar baru. Perkawinan berbagai media seperti video, audio, teks bisa menjadi arah pengembangan ke depan. Selain itu satu hal yang penting, yang mungkin jarang kita perhatikan, ketersediaan bahan bacaan dalam teks digital dari beberapa terbitan cetak sastra Indonesia masih sedikit ditemui. Saya mengimpikan suatu ketika kita memiliki perpustakaan maya (semacam PDS HB Jassin di dunia nyata) , juga database biografi dan karya-karya para penulis sastra di Indonesia, yang dapat diakses hanya menggunakan jaringan internet melalui handphone. Saya percaya, itu akan terjadi!

[Malang, 2010]
?
Profil penulis:
Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Staff pengajar FE Unibraw- Malang yang menyukai seni budaya ini berinteraksi kreatif dengan rekan-rekan yang memiliki minat pada seni, antara lain dalam: Yayasan Multimedia Sastra (YMS) serta di Cybersastra.net (sebagai redaktur puisi), Teater Kunci SMA Negeri Cilegon (sebagai pendiri dan ketua 1989-1990), Teater Ego FE Unibraw (sebagai salah seorang pendiri dan ketua 1992-1994), Unit Aktivitas Teater Mahasiswa Unibraw (sebagai ketua 1993-1994), HP3N (Himpunan Pengarang, Penulis, Penyair Nusantara), Forum Pekerja Seni Malang, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), LSMI (Lembaga Seni Mahasiswa Islam), Komunitas Belajar Sastra Malang (KBSM), Masyarakat Sastra Internet (MSI),. Puisi-puisinya dimuat berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Jurnal Puisi, Bahana (Brunei), Jurnal Perisa (Malaysia), Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Korantempo, Lampung Post, Jawa Pos, Harian Banten, Sijori Mandiri (Batam), Mimbar Umum (Medan), Majalah Menjemaat (Medan), Majalah Media Pembinaan, Majalah Indikator (FE Unibraw), Tabloid Mimbar (Unibraw), Buletin Kreatif (HP3N Malang), Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Mingguan Pelajar, Buletin Jendela Seni, Buletin Independent (HMI), serta disiarkan melalui Radio Jerman Deutsche Welle, situs cybersastra.net, bumimanusia.or.id dan detikplus.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002) sebagai kumpulan puisi pribadi. Sedangkan antologi puisi bersama rekan-rekan penyair, antara lain: Cermin Retak (Ego, 1993), Tanda (Ego- Indikator, 1995), Kebangkitan Nusantara I (HP3N, 1994), Kebangkitan Nusantara II (HP3N, 1995), Bangkit (HP3N, 1996), Getar (HP3N, 1995 ), Batu Beramal II (HP3N, 1995), Sempalan (FPSM, 1994), Pelataran (FPSM, 1995), Interupsi (1994), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002).. Email: nanangsuryadi@yahoo.com

Tambahan:
Nanang Suryadi adalah salah seorang penggerak sastra di dunia elektronik, sampai sekarang. Banyak karya-karyanya yang terlahir dari Facebook dan Twitter, dan dikumpulkan dalam situs: http://nanangsuryadi.web.id

Konser Gamelan Bali di Tanah Leo Tolstoy

Kadek Suartaya
http://www.balipost.com/

MUSIK asli Indonesia, gamelan, kini telah mendunia. Gamelan Bali belakangan telah dimainkan dengan asyik oleh bangsa Amerika. Beberapa bentuk gamelan Bali seperti Gong Kebyar, Gender Wayang hingga Jegog juga telah diakrabi oleh penekun musik dari Jepang. Dunia internasional mulai berkenalan dengan gamelan, sejak komponis Prancis Claude Debussy (1862-1918) menonton gamelan di Pameran Semesta yang digelar di Paris pada tahun 1889 untuk memperingati 100 tahun Revolusi Prancis. Masyarakat benua belahan Eropa semakin menaruh perhatian terhadap gamelan ketika kemudian pada tahun 1931, The International Colonial Ekxposition yang digelar di Prancis menampilkan pementasan gamelan dan tari dari Desa Peliatan, Gianyar, sebagai utusan pemerintah Belanda.

Kini, di benua Eropa, umumnya geliat gamelan Bali dapat dijumpai di belahan barat seperti Inggris, Jerman, dan Swiss, sedangkan di daratan Eropa Timur gamelan Bali hampir tak terdengar dentingnya. Namun sejak pecahnya Uni Soviet pada tahun 1995, gamelan mulai melantun seperti di Hungaria dan Cekoslowakia. Karena itu, kehadiran sekelompok pengerawit dari Pulau Dewata yang menggelar sebuah konser gamelan Bali di Rusia, 25 Agustus-2 Septerber lalu, menjadi peristiwa kebudayaan penting sebagai tonggak baru pengenalan gamelan Bali di kawasan itu.

Adalah peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Rusia yang mengantar hadirnya konser gamelan Bali di Republik Federasi Rusia itu. Atas kerja sama KBRI Moscow dan Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, 22 orang insan seni Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar diutus menampilkan kesenian Nusantara di tiga kota Rusia itu. Di tengah sajian puspa warna tari Nusantara itulah, tim kesenian ISI menampilkan konser gamelan yang di tengah masyarakat Bali lazim disebut pentas tabuh. Dua tabuh, Gambang Suling dan Kebyar Ding, menggetarkan dan memukau masyarakat penonton yang menyimaknya dengan sumeringah.

Tim kesenian ISI yang berkonser di Rusia ini selain didukung oleh para mahasiswa yang andal juga dikawal oleh para dosen yang dikenal sebagai penabuh dan komposer tangguh Bali. I Wayan Suweca, S.S.Kar., M.Mus., I Ketut Partha, S.S.Kar., M.Si., Ida Bagus Nyoman Mas, S.S.Kar., Ni Ketut Suryatini, S.S.Kar., M.Sn., dan I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn. adalah komposer gamelan Bali yang telah melanglang buana. Mereka memiliki reputasi sebagai pengajar gamelan Bali di mancanegara. Sementara di tengah masyarakat Bali, dalam PKB misalnya, para pengerawit ini adalah kreator yang telah banyak menelorkan karya tabuh yang gemilang.

Masyarakat Bali yang intim dengan seni tabuh pategak tentu cukup mengenal tabuh Gambang Suling dan Kebyar Ding. Gambang Suling adalah tabuh kreasi karya empu karawitan Bali I Wayan Beratha. Tabuh berdurasi sekitar 10 menit ini berungkap melodius, menstranformasikan gending Jawa, “Suara Suling”, yang menjadi sumber inspirasi tabuh ciptaan tahun 1963 ini, sedangkan Kebyar Ding adalah kreasi lawas zaman pra kemerdekaan, sekitar tahun 1930-an, karya I Made Regog, memiliki komposisi rumit, sarat dinamika, kaya ornamentasi dan dimainkan dalam tempo cepat.

Gambang Suling yang lembut dan Kebyar Ding yang lugas disimak seksama ketika disajikan di Rachmaninov Hall, Moscow Tchaikovsky Conservatory, merupakan sekolah musik klasik yang paling prestisius di Rusia. Tidak kurang dari 200 pengunjung memenuhi ruang konser yang terkenal ekslusif dan hanya berkapasitas 250 tempat duduk tersebut. Margaritha Karatygina, Kepala Departemen Hubungan Internasional Moscow Tchaikovsky Conservatory menyambut gembira konser gamelan Bali yang disajikan ISI Denpasar itu serta optimis bahwa pementasan tersebut akan mendorong minat mahasiswa musik Rusia untuk mendalami lebih jauh seni musik Timur, khusunya gamelan dari Indonesia.

Musik Timur, gamelan dari Indonesia, termasuk amat asing di Rusia. Senandung gamelan, Jawa dan Bali, hanya dapat dipergoki secara insidental di KBRI Moskow. Berbeda dengan keberadaan gamelan di negara maju lainnya seperti Eropa Barat, Amerika, dan Jepang, yang perkembangannya pesat, baik dipelajari dan dikaji secara formal di universitas-universitas maupun disuntuki sebagai kancah eksploratif estetik-musikal. Kini, Amerika adalah benua yang terbanyak memiliki gamelan. Di negeri itu, saat ini ada lebih dari 100 perangkat gamelan, baik gamelan Jawa, Bali, Sunda, maupun “gamelan baru” yang mereka ciptakan sendiri.

Sebelum menguak Perancis pada tahun 1931, sebenarnya gamelan Bali telah membuat penasaran seorang komposer kelahiran Kanada, Colin McPhee, yang pada tahun 1920 mendengarkan rekaman musik Bali untuk pertama kalinya yang dengan segara menambat hatinya. McPhee kemudian sangat tertarik mempelajari musik itu. Lewat penelitian bertahun-tahun, McPhee kemudian berhasil menerbitkan buku Music in Bali pada tahun 1966. Tersebutlah Mantle Hood yang kemudian dapat disebut sebagai orang yang sangat berjasa menyebarkan gamelan di Amerika. Pada tahun 1956, sepulang dari sebuah penelitian gamelan di Jawa, etnomusikolog ini membawa satu set lengkap gamelan Kebyar dari Bali. Di UCLA, dia melembagakan suatu yang kemudian disebut “kelompok studi pertunjukan” yaitu kelas dalam musik non-Barat yang merupakan campuran antara mempelajari cara bermain, diskusi dan pertunjukan musik.

Rusia sebagai negara federasi pecahan Uni Soviet(musuh utama Amerika saat era perang dingin),kini baru mulai berkenalan dengan gamelan. Kendati sedikit terlambat, sebagai rumpun bangsa-bangsa penyayang keindahan yang banyak melahirkan seniman kaliber dunia, masyarakatnya begitu peka dengan muatan keindahan budaya bangsa lain seperti tampak saat menyaksikan suguhan konser gamelan Bali di kota Tula, 200 km dari Moskow, pada tanggal 26 Agustus malam.

Sebanyak 750 penonton, di tempat kelahiran sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy itu, seakan histeris dan secara kompak memekikkan malejet…malejet (jempolan), ocen ichorosho (bagus sekali) berkali-kali seusai menyimak konser para seniman Bali. Rangkaian bunga diusung penonton ke atas panggung sebagai ungkapan suka cita mereka. Gamelan Bali mereka terima bak duta yang datang menembangkan kedamaian dan uluran persahabatan, memuliakan kemanusiaan dan mengagungkan peradaban, yang semangatnya sejajar dengan pemikiran dan moral perjuangan tanpa kekerasan Tolstoy.

Memaknai ''Multikultural'' Potensi Lokal

I Wayan Artika
http://www.balipost.co.id/

DI Indonesia, sampai saat ini, pluralitas (sebagai sebuah ancaman integrasi dan potensi) hanya dipahami berdasarkan terminologi politik. Hal itu menyebabkan terabaikannya pemahaman-pemahaman terhadap prurarlitas itu. Kesenian etnik sebagai salah satu item dalam pluralitas itu juga tidak diberi apresiasi yang baik. Apresiasi itu bersifat eksklusif, terbatas pada wilayah-wilayah budaya etnik pemiliknya.

Pada konteks ini pun apresiasinya cenderung mengalami kemunduran, ketika kesenian tersebut, dilihat dari kemasan teknologinya, mundur sekali. Hal itu kemudian dipertentangkan (secara reseptif) terhadap kesenian asing-lain. Pertentangan itu memojokkan sastra etnik ke masa silam, kuno, sehingga hal itu dijadikan alasan untuk meninggalkannya begitu saja. Terlepas dari pertentangan dan resepsi tersebut, kesenian etnik perlu diapresiasi silang. Sehingga melalui kesenian, generasi muda Indonesia memperoleh cara-cara yang mudah memasuki wilayah-wilayah ”asing” pluralitas atau multikultur itu. Di sini peran pendidikan sangat penting.

Pendidikan seni yanga ditemukan dalam kurikulum dikacaukan dengan keterampilan. Walaupun demikian, mata pelajaran seni bukan menjadi mata pelajaran utama (seperti bahasa asing, akuntansi, fisika, kimia, biologi, komputer, agama, dan matematik). Hal itu merupakan cerminan sikap dunia pendidikan Indonesia terhadap kesenian. Pendidikan seakan melupakan betapa pentingnya pembinaan apresiasi kesenian.

Anak didik, sebagai konsumen seni, dibiarkan berkembang secara alamiah. Pendidikan seni yang diterima oleh anak didik nyaris tidak ada. Dalam keadaan demikian mereka mengkonsumsi produk-produk seni yang telah dikemas dan dapat dibeli dengan murah dan dikonsumsi dengan mudah, yang didominasi oleh genre musik pop Bali dan karya sinematografi. Pada konteks ekonomi, industri-industri kesenian menempatkan anak didik selaku pangsa pasar potensial. Pendidikan apresiasi seni yang mereka kembangkan pun dalam rangka memperbesar volume pemasaran produk-produk seni yang dihasilkan.

Sekolah pada dasarnya perlu mengembangkan pendidikan apresiasi seni. Konsep muatan lokal dapat dimanfaatkan sebagai wadah pendidikan apresiasi seni. Sampai saat ini pendidikan apresiasi seni di sekolah belum ada. Kalaupun hal itu ada, masih tergolong kegiatan-kegiatan insidental atau sesaat dan tidak terprogram dalam pendidikan.

Sekolah tetap melihat hal itu tidak fungsional dan kurang penting. Di samping dimasukkan ke dalam muatan lokal, pendidikan kesenian biasanya dibawahi dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler (teater sekolah, sastra, musik). Dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler pun pendidikan kesenian belum dikembangkan secara maksimal. Hal itu lebih diarahkan sekadar sebagai tempat untuk menyalurkan hobi anak didik.

Pendidikan Indonesia masih punya persoalan klasik, yaitu terlampau banyaknya mata pelajaran. Hal ini menjadikan pendidikan tergesa-gesa. Target pendidikan Indonesia adalah jumlah lulusan. Jika dihadapkan kepada ide untuk memasukkan pendidikan apresiasi seni ke dalam kurikulum pendidikan, menjadi alasan penolakan yang dikemukakan oleh birokrat pendidikan.

Lembaga pendidikan formal kesenian yang setara dengan pengertian sekolah tergolong langka. Yang ditemukan, dan hal ini biasanya di kota-kota, hanyalah kursus-kursus musik, tari daerah dan melukis. Apresiasi atau penghargaan terhadap seni bermula dari pengertian-pengertian terhadap seni tersebut. Untuk memahami realitas-realitas multikultur itu, tidak dibutuhkan kemampuan melakoninya, tetapi di atas hal itu adalah pengetahuan-pengetahuan yang pada akhirnya tahu akan arti multikultur itu.

Di samping berupa materi teoretis, pendidikan apresiasi seni juga dapat memanfaatkan produk-produk seni yang telah ada (dalam film, dalam rekaman kaset, dan dalam video dokumenter). Seni etnik tenggelam di Bali dominasi seni kemasan (musik pop yang semakin diterima sebagai musik nasional yang tersimpan dalam kaset, VCD, program-program televisi, film-film asing, dan lain-lain).

Pendidikan kesenian berperan dalam pembinaan sikap menusantara (nasionalisme budaya) di kalangan anak didik dan hal ini bukan sebuah pandangan politik, tetapi jalan kebudayaan yang didasari oleh humaniora. Melalui mata pelajaran apresiasi kesenian anak didik Indonesia saling mengenal dan saling memahami atau saling mengerti dan hal itu terjadi sejak dini (pada usia sekolah, selama kurang lebih dua belas tahun). Tidak berlebihan pula jika pendidikan apresiasi seni didasari oleh pendekatan silang budayakah seni adalah salah satu unsur kebudayaan? Bahkan, kesalahpahaman oleh terjadi, yaitu dengan memaknai kebudayaan sebagai kesenian belaka.

*) I Wayan Artika, Staf Pengajar STKIP Singaraja

Membaca Prosa Tanpa Setitik Fiksi

Furqon Abdi
http://citizennews.suaramerdeka.com/

Membaca 17 laporan jurnalistik Linda Christanty dalam bukunya, Dari Jawa Menuju Atjeh, kita tidak akan merasa lelah, seperti layaknya membaca berita-berita dalam headline koran. Oleh Linda, peristiwa besar macam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibikin ‘ringan’. Ringan, dalam artian lebih enak dibaca, bukan kacangan.

Menganut aliran Jurnalisme Sastrawi, tidak berarti naskah harus dibumbui diksi yang dramatis dan melankolis. Linda paham benar itu. Ini sangat terlihat dalam kalimat yang dipakai Linda yang begitu lugas. Tak terekam sedikitpun kekemayuan yang kadang membiaskan batas antara fakta dan fiksi–hal yang diharamkan dalam laporan jurnalistik. Linda juga tak menampilkan metafor yang mendayu-dayu.

Lugas, tak berarti kaku. Justru, keringkasan itu membuat pembaca lebih mudah mengikuti cerita. Lebih mudah dicerna. Bahkan, tak perlu terlalu sering mengerutkan kening.

Dalam situs resmi Pantau–pengusung aliran Jurnalisme Sastrawi di Indonesia, disebutkan bahwa, Jurnalisme sastrawi adalah sebutan untuk genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, dengan ciri khusus; reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, mulai memperkenalkan genre ini pada 1960-an.

Wartawan-cum-sastrawan
Kemampuan Linda berolah kata tak terlepas dari profesinya, yang selain menjadi wartawan dan pemimpin sebuah kantor berita di Aceh, ia juga adalah seorang sastrawan. Dia memenangi Khatulistiwa Literary Award pada 2004 atas karyanya, kumpulan cerita pendek berjudul Kuda Terbang Mario Pinto.

Keluwesan seorang sastrawan, dipadukan dengan ketelitian wartawan yang harus selalu disiplin melakukan verifikasi, menghasilkan tulisan yang akurat sekaligus cair. Bila tak terlebih dahulu membaca pengantar buku itu, pembaca bisa mengira tulisan-tulisan di dalamnya fiksi, karena laporan berita ditulis dengan gaya prosa, yang bercerita, dengan detil suasana disajikan lengkap. Sarat data, namun tanpa catatan kaki.

Linda selalu punya cara menarik untuk memaparkan data. Dia, misalnya, menunjukkan kegagalan program Keluarga Berencana di Nias dengan banyaknya jemuran di depan rumah-rumah warga.

“Saya kira, program KB yang dicanangkan Orde Baru ke seantero Nusantara gagal total di Nias. Setidaknya bila dilihat dari jemuran pakaian di rumah-rumah penduduk. Coba Anda bangun pagi dan jalan-jalan ke desa-desa sekitar Gunung Sitoli. Jemuran pakaian berderet-deret di muka rumah. Jumlah baju yang dijemur lebih dari 30 potong, belum termasuk pakaian dalam” (halaman 146)

Kali lain, dia mengajak pembaca menebak-nebak. Tentu saja, bukan menebak tanpa dasar seperti memprediksikan kemana bajaj akan berbelok. Linda, menyajikan beberapa referensi dan membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri.

Dalam tulisannya yang berjudul Orang-orang Tiro, dia menyebutkan, “tahun lahir Hasan Tiro jadi perdebatan sejarawan dan peneliti karena banyak versi. Dalam buku karangannya, The Price of Freedom, Tiro mencantumkan tahun 1930 sebagai tahun lahirnya. Di paspor Swedia tertera tahun 1925 sebagai tahun lahirnya. Sementara dalam buku pertama yang ditulisnya, Demokrasi untuk Indonesia, Tiro menyebut tahun 1923. Ada pula yang mengatakan Tiro lahir tahun 1928.”

Dari Jawa Menuju Atjeh, adalah sekumpulan catatan penulisnya mengenai orang-orang di dua daerah yang berbeda, tak hanya dari segi geografis, tapi juga budaya, dan tentu saja, tingkat kesejahteraan warganya. Jawa, disini bukan menyebut suku, tapi lebih kepada rezim yang diciptakan Soeharto yang berusaha men-Jawa-kan Indonesia.

Linda, penulis asal Bangka yang kini berdiam di Banda Aceh, tak hanya menulis ‘orang-orang besar’ dari kedua tempat itu. Ia mengulas kisah Hasan Tiro, juga Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Thukul, namun tak mengabaikan kisah tragis Kebo, seorang pemulung yang mati dibakar di kawasan kumuh di belakang mal Taman Anggrek, Jakarta.

Ya, Linda adalah seorang pencerita. Tapi dia bukan pendongeng, yang menyusun cerita dari negeri antah berantah!

Judul: Dari Jawa Menuju Atjeh (Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam dan Gay)
Penulis: Linda Christanty
Terbit: Februari 2009
Tebal: 200 halaman + xiv
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Maha Karya Sastra di Bumi Majapahit

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

1. Buku Sastra Raksasa.
Ruang sastra, yang turut membentuk berlangsungnya kebudayaan pasti mengalami titik klimaks dan titik nisbi. Kapan sastra berkulminasi, ia akan mendominasi kadar warna kebudayaan pada suatu komunitas atau negara. Sebaliknya sastra pada titik nisbi cenderung termarginalkan kekuasaan dan hanya menjadi keranjang luapan keluh bagi pecintanya.

Sepanjang meruangnya sastra dalam sejarah keindonesiaan, kembang kempisnya kesusastraan juga dipengaruhi pertarungan antar sekterianisme sastra. Yang mana dalam perhelatan itu tiap sempalan (golongan) justru mengamalkan kilas balik nilai pluralisme kebangsaan.

Sumpah Pemuda yang mengikat ke satu bangsa, satu bahasa, resmi melibas spora lokalitas. Padahal, keindonesiaan itu sendiri terbentuk dari berbagai lokalitas. Dalam wacana ini, sang ‘ibu sastra’ sebagai inti lokalitas didurhakai dengan mengagungkan ‘sastra pasar’ yang menjual dagangan di lapak media yang berbasis komunal sekterianistik. Disinilah inti lokalitas sebagai akar kesusastraan pluralitas tercerabut. Akibatnya kiblat sastra kehilangan arah. Di satu sisi menJogjakan genre sastra, di sisi lain menJakartakan atau meMelayukan. Pluralitas yang semestinya ialah mempertgas identitas masing-masing, dan bukan menggeneralisasikan.

Sumpah Palapa Gajah Mada di bumi Majapahit seolah menyembul kembali dan sekaligus menjawab perpecahan antar sekte sastra kontemporer. Terbukti Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto tanggal 23 Oktober 2010 nekat melauncing antologi puisi dan cerpen dengan tajuk ‘Majapahit dalam Sastra’. Tentu bukan gejala megalomania paranoid pihak penyelenggara ke arah MURI buku sastra. Kita tau! Sejarah kesusastraan Indonesia sejak Zaman Balai Pustaka yang lahir 1908 hingga kini belum tercatat adanya kemonceran sejarah sastra. Apalagi era-sekarang, percetakan akan gulung modal jika menerbitkan buku sastra. Inilah kegilaan sastrawan bumi Majapahit yang menerbitkan 94 judul cerpen setebal 706 halaman dan 620 judul puisi setebal 825 halaman.

Siapa pun bisa berpendapat gebyah uyah perihal proyek penerbitan buku yang ketebalannya melibas Das Kapitalisnya Karl Mark. Namun sejarah akan mencatat lain jika melongok beberapa poin yang berkaitan dengan terciptanya buku antologi Majapahit dalam Sastra tersebut. Pertama: Alokasi dana untuk biro sastra di Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto hanya 2,5 juta / tahun. Sedang kekurangannya disokong dana pribadi pegiatnya termasuk DKJT senilai 1,5 juta. Bisa dibayangkan hiruk pikuk yang terjadi dalam sebuah proyek pengadaan buku yang bersandar’ati karep, bondo cupet’ini. Kedua: Awak kurator biro sastranya yang menyisir hingga 6 rem cetakan pengirim email dari seluruh pelosok nusantara. Ketiga: Bagaimana kerja team dalam merumuskan standarisasi pengkategorian karya yang dimuat. Poin ketiga inilah yang perlu dicuatkan sebagai alegori kerja sastra / kerja puitik ke tengah bergelimangnya kesusastraan Indonesia.

2. Sastra Perawan.
Awal pencetakan buku Antologi Puisi dan Cerpen Majapahit dalam Sastra ini mencapai total: 1531 lembar. Sedangkan agenda ini digagas rutin tiap tahun. Bisa dibayangkan proyek sastra raksasa tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Pekerja sastra yang terlibat akan dihadapkan pada persoalan teknis-adsministratif yang amat gigantik ketika menangani karya sastra senusantara.

Berbeda dengan buku cetakan Jurnal Cerpen atau Puisi Indonesia yang diterbitkan tiap tahun. Jurnal Indonesia, hanya memuat puluhan karya sastrawan yang dinilai kelas kakap saja. Sedang antologi Majapahit dalam Sastra ini memuat karya penulis dari pelosok ‘deso kluthuk’ sekalipun, yang dimungkinkan luput dari incaran kesusastraan pusat sebagai data base analisis. Dengan sendirinya, kehadiran karya senusantara akan mendominasi unsur lokal dalam membentuk pluralitas yang bukan sentralitas.

Dominasi lokal dalam buku ini efektif jika dijadikan kajian kesusastraan Indonesia dalam menganalisa perubahan gen sastra kontemporer. Sebab karya sastra lokalitas pelosok adalah sastra yang masih ‘perawan’ sebelum dijamahi kecimpung pandangan sastra media yang notabenenya terbentuk hanya segelintir editor.

Penampungan gen sastra perawan yang apalagi se-nusantara, yang apalagi dilakukan pegiat sastra di area bumi Majapahit (biro sastra setempat) merupakan pengulangan gelombang waktu momental Sumpah Palapa Gajah Mada: Dimana kekuatan ekonomi pertanian pedalaman dirubah menjadi kekuatan ekonomi maritim federal yang bukan maritim sentralistik. Demikian agaknya rumusan yang melandasi terbitnya buku ini. Yaitu keberaniannya menampung indikasi perubahan genologi sastra nusantara. Orientasi yang diterapkan adalah merubah kekuatan sastra lokal pedalaman menuju kekuatan sastra maritim federal. Berbeda dengan konsep pusat yang menggeneralisasikan potensi lokal menuju karakter sentral.

Contoh kongkrit pergerakan sastra berbasis maritim federal dalam Antologi Majapahit dalam Sastra ditandai barisan nama dari belahan nusantara yang antara lain: Naqiyyah Syam (Lampung Timur), Maryam Zakaria (Gorontalo), Lola Giovani (Payakumbuh), Gracia Asri (asal Jogja tinggal di Perancis), Bambang Kariyawan (Pekanbaru), Yuli Duryat (asal Pemalang tinggal di Hongkong) dll. Nama nama ini tidak ditemukan dalam barisan sastrawan Indonesia. Sebagai sastrawan, nilai karya mereka sulit dideteksi secara individu ataupun komunitas. Namun memahami kesusastraan Indonesia secara komperehensif, karya mereka pasti membentuk karakter entitas teks serta entitas ruang tersendiri. Buku tebal dengan 94 judul cerpen dan 602 judul puisi telah tercetak. Silahkan menandingi!

Kampung Halaman yang tak Kunjung Terumuskan

Raudal Tanjung Banua
http://www.kr.co.id/

DISADARI atau tidak, kampung-halaman telah menjadi ikon tersendiri dalam jagad sastra Indonesia. Tidak hanya sebatas ungkapan ekspresi sebuah karya, namun masuk lebih jauh lagi ke dalam wacana dan gerakan sastra kita, dari dulu hingga sekarang. Dulu misalnya, ada gerakan sastra kembali ke akar yang mengidealkan keragaman karya sastra lewat muatan atau warna lokal. Akar dan lokal, secara simbolik dan geografik merujuk kampung-halaman.

Ada pula diskusi panjang menyangkut sastra di antara bahasa nasional dan bahasa ibu, yang menghasilkan tesis “penyair sebagai Si Malin Kundang” (Goenawan Mohamad) dan “penyair sebagai manusia perbatasan” (Subagio Sastrowardoyo). Lalu, ada Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) yang memaknai ke-pedalaman-nya dari konteks kampung-halaman (daerah). Ada pula sastra eksil yang menjembatani “tanah buangan” dan “tanah asal”.

Yang menarik, dari sekian banyak diskusi, gerakan dan fenomena yang berbau kampung-halaman dalam sastra Indonesia, ternyata belum ada rumusan yang memuaskan tentang itu. GM misalnya, memang mencoba merumuskan kampung-halaman dari suatu asumsi lingual, yakni perihal penyair dengan bahasa ibu non-Melayu (khususnya Jawa) yang mesti “berkelahi” terus-menerus dengan bahasa Indonesia.

Asumsi ini ternyata gagal merumuskan duduk soal, terutama terlihat dekade terakhir ini, bagaimana penyair yang bahasa ibunya dekat dengan rumpun Melayu pun, mengalami kegagapan artikulasi tersendiri dalam mencapai orgasme estetik dan puitik. Ini tentu wajar, sama wajarnya dengan kegagapan artikulasi penyair yang berbahasa ibu lainnya. Karena yang disebut “lingua-franca” itu sesungguhnya tidaklah sepenuhnya merujuk sebagai “murni” bahasa Melayu. Ingatlah pengertian lingua-franca yang berarti bahasa ucap (tak) resmi di sepanjang Nusantara; yang saling lepas dan menyerap, saling lepas dan tangkap, dengan bahasa lainnya di sepanjang kepulauan lalu-lintas dunia ini.

Maka, yang paling konkret untuk melihat kenyataan ini adalah dari karya-karya sastra kita sendiri, sebagaimana Subagio Sastrowardoyo melakukannya dalam tesis “penyair Indonesia sebagai manusia perbatasan” yang relatif memuaskan. Upaya semacam ini jauh dari kepentingan “politis” dan “ideologis” dalam pengertian praktis, sebab tidak mempersoalkan bahasa dan ekspresi puitik dalam hubungan “bangsa dan negara” akan tetapi sebagai teks kreatif seorang kreator. Dalam konteks inilah menarik melihat puisi Marhalim Zaini, khususnya yang terangkum dalam antologi tunggalnya Segantang Bintang, Sepasang Bulan (Yayasan Pusaka Riau, 2003).

Berisi 73 sajak, SBSB merepresentasikan kampung-halaman dari kefasihannya bertutur-kata, membangun rima yang melodius, dan dengan itu “aroma tanah Melayu Riau” — tanah asal penyair– terhadirkan. Selain itu, berbagai kosa-kata bahasa Melayu-lama yang dihimpun dan dihidupkan kembali, menjadi representasi kampung-halaman seperti kayu api-api, terubuk, jembalang, mempelam, persik dan lain-lain. Sehingga menjadi “Roh waktu yang bangkit dari kuburan pulau-pulau” — meminjam selarik puisi Marhalim dalam “Igau Pulau Riau”. Hanya, di luar itu, Marhalim masih perlu secara harfiah menyebut nama-nama tempat tertentu di Riau seperti Batam atau Bengkalis, yang untunglah pukauannya tak kalah mengena: “//Selat Malaka memandangku serupa hantu/setelah dua belas tahun dendam malam/yang terbenam dalam kuburan kenangan//”

Sejumlah kosa-kata Melayu-Riau itu, masuk cukup leluasa ke dalam sajak Marhalim, sebagaimana lazimnya sajak-sajak yang bernafaskan kampung-halaman. Akan tetapi, berbeda dengan penyair asal Riau lainnya, bahkan mungkin dengan penyair daerah lain, kosa-kota itu tidak mengganggu pemaknaan (dari kepala yang beragam), sebab mampu menyatu dengan keseluruhan sajak. Simak misalnya kalimat: telingkah angin menampar-agar sebati seluruh ombak-Sakai yang disesai atau meningkahi kompang waktu. Bandingkanlah dengan sajak Taufik Ikram Jamil, misalnya dalam buku Tersebab Haku Melayu yang memang hanya dimengerti publik Melayu. Ini membuktikan makna “lingua-franca” yang sebenarnya — yang selama ini justru disalah-persepsi. Beruntunglah, sajak terbaru Taufik mulai mengadakan tawar-menawar dengan kenyataan itu.

Upaya Marhalim menghadirkan (atau merumuskan) kampung-halaman secara estetik dalam teks sajaknya, seperti membuat rujukan tempat, memasukkan kosa-kata bahasa ibu atau membangun irama, sebenarnya baru dapat disebut sebagai upaya “taktis”. Untuk masuk ke upaya “strategis”, saya kira ia harus melakukan lompatan yang lebih jauh lagi seperti menggandakan makna, membangun daya ungkap baru, di luar kemapanan berbahasa. Kita tahu, keterampilan berbahasa di kalangan penyair terkini sebenarnya tidak perlu dicemaskan benar, sebagaimana tampak pada Marhalim, akan tetapi sejauh mana hal tersebut tidak bersifat perayaan, inilah yang agak mencemaskan. Kemampuan berbahasa lebih menekankan kelincahan, bukan pada lain tingkatan semisal eksplorasi dan pemaknaan — itulah yang terjadi. Padahal, kita pun tahu, kemampuan berbahasa hanyalah syarat teknis kepenyairan!

Meski pada sejumlah sajak, Marhalim berhasil masuk pada tingkatan “strategis”, namun pada lebih banyak sajak lainnya ia masih terperangkap persoalan “taktis” dan “teknis”. Ini terlihat dari tak tertahannya hasrat untuk merengkuh sebanyak-banyaknya ungkapan, nama dan istilah (juga silsilah) “daerah” ke dalam sajak. Akibatnya ialah, bangunan sajak menjadi rapuh (kalau tidak runtuh), atau cenderung menjadi sketsa. Sebaliknya, bisa pula sangat sesak, sukar meninggalkan jejak kesan yang mendalam. Di sinilah perlu kembali ditimbang: kampung-halaman, sumber berkah atau sumber kutukan? Kalau tidak, kampung-halaman sebagai konsepsi estetis, sebagai solilokui penyair, tak akan kunjung terumuskan.

Ada baiknya kita sedikit berbanding dengan muatan kampung-halaman D Zawawi Imron, terutama pada sajak-sajak awalnya yang begitu intens menggumuli alam Madura. Realitas alam Madura diolah secara simbolik, sehingga maknanya lebih luas dan universal. Rantau dan pelayaran misalnya, tidak hanya bermakna harfiah, namun memiliki dimensi spiritual. Begitu pula daun siwalan, clurit, sapi karapan, pondok garam dan perahu cadik membentuk dimensi makna yang lebih luas, berdimensi dan kaya-raya. Bahasa ungkap yang sederhana simetris dengan kesederhanaan kampung-halamannya. Dan yang paling menarik adalah terciptanya sajak-sajak yang surealis di tengah realitas alam sehari-hari, sebagai antipoda terhadap kemapanan yang ada.

Ini sebuah tantangan menarik buat Marhalim. Sebab bukankah ungkapan “Segantang Bintang, Sepasang Bulan” setara dengan “Bantalku Ombak, Selimutku Angin” atau “Bulan Tertusuk Lalang”, juga “Berlayar di Pamor Badik” — yang menyiratkan kekayaan simbolik kampung-halaman?

Raudal Tanjung Banua, penikmat sastra, tinggal di Sewon, Bantul.

Saat Rombongan Seniman Masuk Kampung

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Sebuah kampung, komunitas sastra, dengan “kepala suku”-nya Gola Gong yang pernah dikenal dengan novel remaja Balada Si Roy, merupakan komunitas yang aktif dalam hal pustaka dan regenerasi penulis.

Pustakaloka Rumah Dunia (PRD) yang bermarkas di Serang Banten saat ini sedang mengagendakan jadwal kesenian rutin, khususnya kesusastraan. Agenda untuk mengundang para seniman sebagai pembicara merupakan langkah lain dari Gola Gong cs.

Dengan komandan Heri Hendrayana itu, beberapa sastrawan dari seluruh wilayah Nusantara diundang dalam tajuk “Ode Kampung (Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara)”, berlangsung 3-5 Februari mendatang.

Gola Gong, Ketua Umum PRD ini mengatakan, idiom kampung secara etimologis, dalam perspektif kita adalah kebersahajaan, kesederhanaan, keluguan. “Namun dalam perspektif lain, kampung juga bisa berarti kebodohan, ketertindasan, kemalasan. Apalagi ketika kampung diberi akhiran -an (maksudnya kampungan, maka: norak, ketinggalan zaman, adalah label yang sering ditempelkan di jidat kita),” ujarnya kepada SH baru-baru ini.

Hal lain yang tak dapat dihindarkan adalah idiom kota pun kerap dianggap cerdas, bebas, megah, sehingga tiap orang ingin menjadi warga kota. Kota, tempat bersarangnya mimpi-mimpi, mengadu nasib dan peruntungan.

Dalam Ode Kampung yang mengangkat tema besar “Sastrawan di Tengah Persoalan Kampungnya” memang bertujuan saling belajar dari realitas keberagaman berkesenian, terutama dalam prosa cerpen dan puisi.

Pada acara ini, para peserta yang akan menginap di rumah warga kampung Ciloang dan Komp. Hegar Alam, akan mendapatkan sajian mulai dari pembukaan dari Pak RT Hegar Alam, penyerahan Antologi Ode Kampung, pentas seni anak-anak Rumah Dunia (puisi dan teater).

Padat

Acara selama tiga hari itu akan diisi dengan berbagai tema diskusi, pemutaran film dokumenter dan pentas teater Rumah Dunia, Teater STIE La Tansa. Para pembicara yang akan diundang antara lain Gus tf Sakai, Toto ST Radik, Isbedy Stiawan ZS Acep Zam Zam Noor, Jamal D Rahman, Ahmadun Yossy Herfanda (konfirmasi), Ibnu Wahyudi (UI, Depok), Prof Yoyo Mulyono (Rektor Untirta, Serang), Saut Situmorang, Binhad Nurrohmat, dan Irfan Hidayatullah. Para sastrawan ini memang diundang dari berbagai tempat antara lain Lampung, Jakarta, Ciputat, Tasikmalaya, Cimahi, Sumedang, Rangkas, Jogja, Rancaekek, dan Tangerang.

Rumah Dunia untuk mendatang juga telah menyusun program Writing Camp, sekitar April hingga Agustus dan berlangsung sebulan sekali. Dengan acara yang diperuntukkan di wilayah Banten, semua peserta akan mondok di rumah-rumah warga di sekitar Rumah Dunia, acaranya juga semacam Bengkel Cerpen dan Bengkel Puisi.

Nama-nama sastrawan yang diminta kesediaannya menjadi montir pada acara Writing Camp antara lain Eka Budianta mengangkat tema “Puisi-puisi Lingkungan Hidup”, Hudan Hidayat dengan tema “Fiksi Gila”, Yanusa Nugroho dengan tema Puisi Audio Visual, atau Sitok Srengenge dengan tema “Monologku”.

Seni-Budaya di Antara Sejumlah Momen

Ahid Hidayat
http://kendaripos.co.id/

DUA bulan belakangan ini adalah bulan yang penuh momen bagi masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat Sulawesi Tenggara. Di bulan April, selain peringatan Hari Kartini 21 April yang secara resmi setiap tahun diperingati kaum hawa seantero Nusantara, seminggu kemudian adalah hari kematian Chairil Anwar 28 April yang biasa dikenang dengan beragam kegiatan sastra. Satu hari sebelum peringatan meninggalnya Chairil Anwar, masyarakat Sulawesi Tenggara merayakan hari jadi Provinsi ini – tahun ini menginjak usia ke-44.

Kemudian kita memulai hari baru di bulan Mei dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei. Bagi masyarakat Konawe Selatan, hari besar nasional ini menjadi kian terasa kebesarannya karena tepat di hari itu, Konawe Selatan resmi berdiri sebagai sebuah kabupaten baru, lepas mandiri dari Kabupaten Konawe sebagai kabupaten induknya. Seminggu kemudian, Kota Kendari merayakan hari jadinya yang ke-176. Tanggal 20 Mei tahun ini tepat pula 100 tahun kebangkitan nasional dan sehari kemudian, jika detik mundurnya Soeharto dianggap sebagai tonggak reformasi, maka tanggal 21 Mei tahun ini reformasi genap sepuluh tahun.

Sejumlah momen itu sejatinya membawa kita kepada momen-momen permenungan tentang berbagai hal-ihwal kehidupan pada umumnya, serta hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan momen itu pada khususnya. Pada momen peringatan Hari Kartini, kita bisa bertanya, misalnya, “Seberapa majukah perempuan bangsa kita, setelah Kartini memperjuangkannya lebih dari seratus tahun lalu?” Dalam konteks kelokalan, kita bisa membatasi cakupan pertanyaan tadi dengan mengajukan pertanyaan, “Seberapa majukah perempuan Sulawesi Tenggara saat ini?” Pada momen mengenang Chairil Anwar, pertanyaan yang muncul adalah, seberapa majukah dunia sastra Sulawesi Tenggara?

Demikian pula pada momen-momen lainnya. Setelah 44 tahun berdiri sebagai sebuah provinsi, sudahkah masyarakat Sulawesi Tenggara menjadi masyarakat sejahtera? Setelah 176 tahun berdiri, prestasi apakah yang patut dibanggakan oleh masyarakat Kota Kendari? Setelah 100 tahun lalu para pemuda bangsa kita berbuat untuk bangsa, kini kita sepatutnya merenungi tentang apa yang sudah dan harus kita lakukan dalam memelihara sebuah bangsa besar agar senantiasa “bangun(lah) jiwanya, bangun(lah) badannya” sebagaimana lirik lagu kebangsaan kita yang selalu dikumandangkan pada setiap upacara.

Membangun Jiwa Bangsa

Seni-budaya dapat dikatakan sebagai jiwa sebuah bangsa. Bangsa-bangsa yang kemudian kita kenal sebagai bangsa besar adalah bangsa-bangsa yang “besar” pula seni-budayanya. Kita sampai sekarang masih bisa mengenang kebesaran bangsa Yunani, sekadar satu contoh saja, karena bangsa itu memang menunjukkan jejak-jejak seni-budaya yang mengagumkan. Dari sanalah, antara lain, pemikiran filsafat dan seni budaya berkembang, termasuk pula olahraga.

Dalam konteks membangun jiwa bangsa inilah, maka sejumlah momen yang disebut di awal tulisan ini semestinya tidak berhenti sebagai sekadar upacara seremonial belaka. Diperlukan kesadaran dan kerja sungguh-sungguh dan tanpa pamrih dari berbagai elemen masyarakat, baik pemerintah, kalangan legislatif, para seniman, jajaran pers, serta masyarakat luas untuk bersama-sama memajukan seni-budaya di Sulawesi Tenggara.

Ada banyak alasan mengapa kita di Sulawesi Tenggara, lebih-lebih di Kendari sebagai ibukota provinsi ini, pada momen besar 100 tahun kebangkitan nasional dan momen-momen lainnya yang tak kurang besar pula, mesti bersama-sama secara nyata memberikan perhatian besar kepada pembangunan jiwa bangsa yakni seni-budaya. Alasan paling utama adalah, seni-budaya masih diposisikan sebagai “anak tiri”, kalau bukan “anak haram” pembangunan.

Faktanya, kita akui, dalam sepuluh tahun terakhir ini, pembangunan fisik Kota Kendari, sebagai wajah Sulawesi Tenggara, menunjukkan kemajuan amat pesat. Jalan-jalan membentang, menggelindingkan roda perekonomian warga. Pusat-pusat perdagangan dan ruko-ruko menjamur di sepanjang jalan kota ini. Kafe-kafe dan panti-panti pijat menawarkan hiburan di berbagai tempat. Stadion dan lapangan berbagai cabang olahraga juga sudah ada dengan fasilitas yang cukup lengkap pula. Namun, hingga saat ini provinsi yang terdiri atas beragam kelompok etnik yang memiliki khazanah budaya yang kaya ini belum juga memiliki gedung kesenian yang dengan jadwal tetap menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk menyalurkan kreativitas seni-budaya! Kesenian dan acara-acara budaya, walau dari satu sisi yaa… patut juga disyukuri, masih dilaksanakan sebatas “dalam rangka”.

Ini jauh berbeda dengan program pembinaan dan pengembangan bidang olahraga. Perhatian pemerintah terhadap bidang yang satu ini bukan main seriusnya, dengan dukunan dana yang tidak main-main pula. Lihatlah bagaimana penyelenggaraan Porda terakhir yang berlangsung di ibukota Kabupaten Muna itu. Berapa besar digelontorkan untuk membangun sejumlah fasilitas olahraga itu? Pasti bukan jumlah yang sedikit. Belum lagi Pekan Olahraga Nasional, dan lain-lain.

Perhatian besar terhadap olahraga tentu tidak lepas dari bagusnya manajemen organisasi dan pengelolaan kegiatan olahraga oleh induk-induk organisasi setiap cabang olahraga. Namun, kenyataan bahwa bidang seni-budaya belum mendapat perhatian sebesar perhatian pemerintah terhadap olahraga ini menyisakan sebuah ironi, karena baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, setidaknya ada satu badan atau dinas yang secara struktural mempunyai tugas dan kewajiban menyelenggarakan program pembinaan dan pengembangan seni-budaya.

Kalangan penggiat dan para birokrat di bidang seni-budaya, karena itu, semestinya mau becermin pada manajemen pembinaan olahraga yang cukup bagus itu. Komitmen pada kerja serta kerja sama menjadi kata kunci yang membuat olahraga dapat merebut perhatian berbagai pihak. Olahraga dikelola demi dan semata-mata demi kemajuan olahraga, bukan demi kepentingan yang lain-lain. Komitmen itulah yang membuat kalangan olahragawan bisa membuka diri bagi siapa pun yang punya niat dan kepedulian untuk memajukan olahraga. Sportivitas, sebuah prinsip dalam olah raga, dipegang teguh para pengelola program bidang keolahragaan. Sebagai contoh, siapa pun yang memimpin Koni tidak menjadi soal, sebab kalangan olahragawan percaya bahwa orang itu (akan) punya komitmen memajukan olah raga – sebuah hal yang kadang menjadi persoalan dalam dunia kesenian. Penataan ulang Dewan Kesenian Sulawesi Tenggara, yang di masa pemerintahan Ali Mazi agak kurang terdengar kiprahnya, sudah semestinya dilakukan.

Kreativitas Perlu Dukungan

Pada rubrik ini awal Februari lalu, penyair Syaifuddin Gani menulis “dunia mengakui bahwa Sulawesi Tenggara memiliki khazanah besar (sastra khususnya dan seni-budaya umumnya, yang) bernilai lokal dan universal”. Gani mencontohkan, betapa kesusastraan Buton, sastra lisan Tolaki, Muna, dan Moronene (sekadar menyebut beberapa nama) adalah aset besar seni-budaya Sulawesi Tenggara. Mengapa masyarakat dari berbagai kelompok etnik di masa lalu mampu melahirkan kreativitas tinggi di dunia seni-budaya? Tentu, antara lain, karena aktivitas seni-budaya mendapat perhatian besar baik dari masyarakat maupun pemerintah. Bagaimana tradisi pernaskahan Buton tidak maju kalau salah seorang sultannya adalah pujangga yang melahirkan ribuan larik kabhanti.

Membangun kesejahteraan masyarakat, yang menjadi program Gubernur Sulawesi Tenggara dalam lima tahun ke depan, tentunya tidak akan lengkap terwujud jika pembangunan kreativitas seni-budaya masyarakat tidak tercakup di dalamnya. Karena itu, bila selama ini Gubernur (yang menduduki kursi ketua Koni Provinsi telah banyak memberikan perhatian terhadap dunia olahraga di daerah ini sehingga bidang itu mampu membawa nama harum Sulawesi Tenggara di tingkat nasional (bahkan internasional), maka sudah saatnya Gubernur pun memberikan perhatian yang sama terhadap pengembangan kreativitas seni budaya Sulawesi Tenggara.

Tentang kreativitas seni-budaya Sulawesi Tenggara, tak perlu lagi dikatakan bahwa potensi di bidang ini amat menjanjikan. Tanpa perhatian yang selayaknya saja, masyarakat seni-budaya di Sulawesi Tenggara telah mampu bicara pada daerah lain bahwa seni-budaya di Sulawesi Tenggara tidak terlalu ketinggalan dari daerah lain. Beberapa buku karya penyair, cerpenis dan novelis Sulawesi Tenggara telah terbit, baik dalam jumlah terbatas seperti antologi puisi Syaifuddin Gani maupun dalam tiras besar seperti novel Krisni Dinamita dan dua kumpulan cerpen Muhammad Syahrial Ashaf. Teater Anawula Menggaa pernah diundang ke acara Hari Anak Nasional dan menjuarai Festival Teater Pelajar tingkat Nasional di Semarang. Beberapa grup musik muncul dan segera menarik perhatian khalayak.

Kreativitas masyarakat di bidang seni-budaya itu membutuhkan perhatian dan dukungan kita secara sungguh-sungguh. Tentu tidak perlu dikemukakan lagi bagaimana bentuk perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh itu. Sekadar contoh, lihatlah bagaimana pemerintah (pusat) menyelenggarakan acara peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Gelora Bung Karno yang memberikan kepercayaan untuk menampilkan kreativitas seni (tari, musik, dll.) kepada para seniman Indonesia sendiri! Sementara itu, dua tahun lalu, agar pembukaan MTQ di Sulawesi Tenggara tampil gemerlap, pemerintah provinsi ini tampaknya belum percaya sepenuhnya kepada seniman-seniman di daerah ini, dengan mendatangkan koreografer dari pusat (Jakarta) sana!

Perhatian dan dukungan serius pemda bisa mengantarkan sebuah rombongan pantun dari daerah ini meraih prestasi gemilang. Seperti ditulis Syaifuddin Gani, “Dunia tercengang ketika utusan Sulawesi Tenggara yang diwakili Kabupaten Wakatobi memainkan kabhanti dilengkapi instrumen gambus di Gedung Kesenian Jakarta, tahun silam. Penonton terpesona ketika mendengar puisi kabhanti dilantunkan yang memiliki kekuatan estetik dan puitik yang agung”. Bukan tidak mungkin pada suatu acara nasional di Jakarta, ikon Sulawesi bukan lagi diwakili oleh lagu “Angin Mamiri” atau poco-poco, tetapi oleh nyanyian dari sini dan tarian Lulo misalnya. Bila kita bersungguh-sungguh memajukan seni budaya kita, tentunya.

Saya sendiri memimpikan bahwa pada ulang tahun kesekian, Provinsi Sulawesi Tenggara atau Kota Kendari memiliki gedung kesenian yang ramai dengan berbagai pertunjukan dan diskusi seni, ada galeri lukisan yang menjadi pusat pertumbuhan seni rupa, terbitnya karya-karya sastra dan budaya yang setara dengan karya dari daerah lain, serta para pejabat dan masyarakat terdidik yang melek seni-budaya. Jejak langkah progresif Gubernur Ali Sadikin dalam membangun prasarana dan mengembangkan kehidupan seni budaya di Jakarta pada tahun 1960-an sungguh layak ditiru. Bukankah dulu di masa pemerintahan masih terpusat, salah satu alasan daerah-daerah meminta otonomi adalah, “agar kebudayaan daerah mendapat perhatian lebih layak”?

A Khoirul Anam A Qorib Hidayatullah A Rodhi Murtadho A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Aba Mardjani Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Ruskhan Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Muis Abdul Wachid BS Abdullah Khusairi Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Abu Salman Acep Iwan Saidi Achmad Farid Tuasikal Adek Alwi Adi Marsiela Adian Husaini Adib Muttaqin Asfar Adji Subela Afandi Sido Afriza Hanifa Afrizal Malna Ageng Wuri R. A. Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Bing Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Agus Wirawan Agusri Junaidi AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahm Soleh Ahmad Asyhar Ahmad Farid Yahya Ahmad Fuadi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Rofiq Ahmad Suhendra Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Aini Aviena Violeta Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Al Azhar Riau Al-Fairish Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Alfian Zainal Aliansyah Alimuddin Almania Rohmah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anata Siregar Andi Sutisno Andy Riza Hidayat Anies Baswedan Anindita S Thayf Anis Ceha Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Anton Kurnia Ari Hidayat Ari Kristianawati Arie MP Tamba Arief Junianto Aris Kurniawan Arti Bumi Intaran Arul Arista AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Ayu Purwaningsih Babe Derwan Bakdi Soemanto Balada Bale Aksara Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Dwi Mardana Bellanissa Zoditama Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiawan Dwi Santoso Bur Rasuanto Burhanuddin Bella Bustan Basir Maras Catatan Catullus CB. Ismulyadi Cerbung Cerita Rakyat Cerpen Chavchay Syaifullah Cikie Wahab Cunong Nunuk Suraja D Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Ari Murtono Dahlia Rasyad Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darman Djamaluddin Darman Moenir Dasman Djamaluddin David Krisna Alka Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Denny JA Denny Mizhar Desi Sommalia Gustina Dewi Anggraeni Dharma Setyawan Dian Hartati Didi Arsandi Dina Oktaviani Dipo Handoko Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Dodi Chandra Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dwicipta Edy A Effendi Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyzan Katan Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Eni Suryanti Eny Rose Eriyandi Budiman Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Erwin Setia Esai Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Faizah Sirajuddin Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fakhrunnas M.A. Jabbar Fanny Chotimah Fariz al-Nizar Fariz Alneizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fatimah Wahyu Sundari Fauzan Santa Fazabinal Alim Festival Sastra Gresik Fikri MS Fiksi Mini Fransisca Dewi Ria Utari Franz Kafka Fuad Anshori Furqon Abdi Fuska Sani Evani Gendhotwukir Gendut Riyanto Gerson Poyk Gita Pratama Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gregorio Lopez y’ Fuentes Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gus Noy H.H. Tokoro Hadi Napster Hamberan Syahbana Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Hang Kafrawi Hani Pudjiarti Hanna Fransisca Hardi Hamzah Hardjono WS Haris del Hakim Haris Priyatna Harris Maulana Hary B. Kori'un Hasan Al Banna Hasan Junus Hasbullah Said Hasnan Bachtiar HE. Benyamine Heidi Arbuckle Helmi Y Haska Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendri Nova Herdoni Syafriansyah Heri Kurniawan Heri Latief Heri Ruslan Herman RN Hermawan Aksan Hermien Y. Kleden Herry Lamongan Holy Adib Humaidiy AS Husni Anshori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Tingkat I Wayan Artika Ibnu Wahyudi Ida Farida Ignas Kleden Ilham Khoiri Imam Cahyono Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Tohari Indra Tranggono Indrian Koto Irwan Kelana Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Isma Swastiningrum Ismi Wahid Iwan Gardono Sujatmiko Iwan Gunadi Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iwank J.S. Badudu Janoary M Wibowo Javed Paul Syatha JILFest 2008 JJ. Kusni Jodhi Yudono Joko Novianto Bp Joko Pinurbo Jones Gultom Jual Buku Paket Hemat Jusuf AN Kadek Suartaya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Kedung Darma Romansha Kenedi Nurhan Khaerudin Kurniawan Khaerul Anwar Ki Sugito Ha Es Kirana Kejora Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswinarto La Ode Rabbani Lathifa Akmaliyah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Leon Agusta Lily Siti Multatuliana Lily Yulianti Farid Lina Kelana Liza Wahyuninto Lona Olavia Lugiena Dé M Fadjroel Rachman M Farid W Makkulau M Syakir M. Dawam Rahardjo M. Faizi M. Mustafied M. Raudah Jambak M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M.Th. Krishdiana Putri Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mangun Kuncoro Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Maryati Marzuzak SY Mashuri Maulana Syamsuri Media: Crayon on Paper Mega Vristian MG. Sungatno Misbahus Surur Mofik el-abrar Moh. Amir Sutaarga Moh. Ghufron Cholid Mohammad Hatta Mohammad Kh. Azad Mohammad Takdir Ilahi Much. Khoiri Muhamad Taslim Dalma Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammadun A.S Muhidin M Dahlan Mujtahid Mulyawan Karim Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N Teguh Prasetyo N. Mursidi Nadhi Kiara Zifen Nana Riskhi Susanti Nanang Suryadi Naskah Teater Nasrulloh Habibi Neva Tuhella Nietzsche Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Nova Christina Novelet Nunung Nurdiah Nur Wachid Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurman Hartono Nuryana Asmaudi Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Oky Sanjaya Oyos Saroso HN P Ari Subagyo Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Panji Satrio PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Pringgo HR Prosa Puisi Puji Santosa Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Satria Kusuma Putu Wijaya R Masri Sareb Putra R. Adhi Kusumaputra R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmi Hattani Raja Ali Haji Raju Febrian Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Dira J Rama Prabu Ramadhan KH Ramon Magsaysay Ramses Ohee Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ressa Novita Ressa Sagitariana Putri Ria Ristiana Dewi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Rida K Liamsi Rifka Sibarani Rilda A. Oe. Taneko Rilda A.Oe. Taneko Rimbun Natamarga Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Rukardi S Yoga S. Jai S. Takdir Alisyahbana S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Sajak Sajak Sebatang Lisong Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salman S. Yoga Salyaputra Samson Rambah Pasir Samsudin Adlawi Sanie B. Kuncoro Santy Novaria Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra Nusantara Satmoko Budi Santoso Satriani Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Shourisha Arashi Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siska Afriani Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Slamet Samsoerizal Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Solihin Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Stevani Elisabeth Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudarmoko Sudirman HN Suhadi Mukhan Suharsono Sukar Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suriani Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri Syaripudin Zuhri Syifa Aulia Syu’bah Asa T.A. Sakti Tammalele Tan Lioe Ie Tasyriq Hifzhillah Taufik Abdullah Taufik Effendi Aria Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Winarsho AS Tenas Effendy Tengsoe Tjahjono Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tias Tatanka Tito Sianipar Tjahjono EP Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Topik Mulyana Tosa Poetra Tri Harun Syafii TS Pinang Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Ballah Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Uniawati Universitas Indonesia Usman Arrumy Usman D.Ganggang Utada Kamaru UU Hamidy Viddy AD Daery W.S. Rendra Wa Ode Wulan Ratna Wahib Muthalib Wahyudi Akmaliah Muhammad Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weli Meinindartato Wicaksono Widodo DS Wina Karnie Wisran Hadi Wong Wing King Yan Maniani Yanti Mulatsih Yanuar Arifin Yasser Arafat Yaumu Roikha Yetti A. KA Yohanes Padmo Adi Nugroho Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Ms Yudhistira ANM Massardi Yulianna Yurnaldi Yusi A. Pareanom Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuyun Ifa Naliah Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zakki Amali Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimra Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar