Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=494
Pada buku “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” yang disusun Bernard Dorléans menyebutkan, di dalam catatannya Debussy menuliskan: “Jika anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, anda harus mengakui ialah musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling.”
Dan menurut profesor lajang sampai akhir hayatnya, Gertrudes Johan Resink (1911-1997), berkabar bahwa komponis Prancis, Claude Debussy memperkenalkan nada musik Jawa ke dalam komposisi musiknya. Ini tampak terdengar jelas atas karyanya yang bertitel “La cathédrale engloutie.” Di mana nada-nada gemelan menyusup ke rulung jiwa, sedari pantulan pekerti jiwa Jawa seraya.
Seringkali aku dengar gending-gending Jawa seperti menyaksikan lembah pesawahan di tanah Dwipa, bencah subur menandai jiwa lestari para pengolanya, meski harga pupuk tak sedap dirasa, oleh pemerintahan hanya mementingkan perutnya saja; gaji tinggi namun masih korupsi, kolusi dan sebangsatnya.
Aku simak petikan “La cathédrale engloutie” lewat youtube dengan perasaan merinding, digetarkan dadaku. Jantungku bak melepuh, terangkat sukmaku diterbangkan alunan komposisinya. Aku yang hendak menyelam, ternyata sudah tenggelam dalam, meringkuk di kedalamannya, merasuki pusaran henang-hening-henung suwong, terkubur lama di lumpur ketenangan.
Kembali kuterangkat semata air mengaliri hijaunya pesawahan lereng bukit, ondak-ondakan menandai tetingkatan kesabaran petani, tekun menandaskan kasih sayang bunda pertiwi. Pada pribadi tanggung menggadaikan pula menjual ladangnya demi pernik-pernik mewah yang hanya mengenyangkan mata telinga ragawi, terhisap puting keluguannya oleh penampakan gemerlap urbani.
Maka dengarlah musik bathinmu, meski terperoleh dari jauh. Adakah merasa kehilangan, ketika nada jiwamu tak lagi merdu? Kala keseharianmu diringkus intrik hara-huru? Berbaliklah, kembali fitri sedenyut air menyusup di sela-sela tanah liat menjamah tubuh. Kau akan terpancari kecantikan yang tak menarikmu membeli bedak pula gincu. Datanglah bersama suara Debussy.
J. Van Ackere pada buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie, berujar:
“Orang mengatakan Debussy menjadi pendahulu dari musik impressionisme. Seperti juga ismen lainnya, kata inipun sukar untuk menentukannya. Memang sudah pasti saja, bahwa bahasa dan teknik Debussy, ada persamaan dengan pelukis-pelukis impressionis. Ia memberikan kesan yang sambil lalu, dan impressif, ia lebih menyukai warna daripada garis, dan nuanse daripada warna, perasaan hanya samar-samar pun sedikit, pula sering diucapkan simbolis. Romantik penderitaan serta kekerasannya sudah dilupakan. Pakaian-pakaian lama telah ditinggalkan.”
Lelangkah kaki Debussy seakan berjalan di bencah sawah, musiknya mengajak istirah di bawah pohon menikmati semilir bayu tropis, menggantungkan bunga-bunga awan putih. Ada ketenangan damai tak hendak lenyapkan cerita, membuka lelembaran kemungkinan lewat hadirnya nuase indah:
Itu pekabutan pagi, gadis-gadis desa bangun dari tidurnya, para pejaka mempercayai nasib seruncing tombak di atas kesungguhan bekerja. Seusapan lembut bidadari cahaya mentari; sepyuran bintik berwarna pelangi, menembusi rindangnya daun-daun pepohonan turi, yang berjajar di pematang.
Dan di bawah pohon gempol membersihkan jemari tangan di sungai mengalir jernih, sebelum merasai nasi serta lauk-pauk kiriman dari desa purbawi, yang memakmurkan warisan para leluhur, moyang mengabdikan diri, demi anak-anak kehidupan meraup tirta sejati.
Achille-Claude Debussy lahir 22 Agustus 1862, meninggal 25 Maret 1918 ialah komponis berkebangsaan Perancis. Musiknya dianggap peralihan zaman romantik ke modern awal abad XX. Bersama Maurice Ravel, merupakan figur utama bidang musik impressionis, walaupun ia kurang menyukai pemberian nama aliran tersebut.
Ia yang diberkahi ketenangan alam, menebarkan benang-benang halus ditariknya kelembutan puitik, serupa bola-bola mata jelita menghujami kenangan insani, memandangi sorot tajamnya. Cahaya itu melesatnya pulung membuyar menerangi uwung-uwung rumah, menentramkan para penghuninya di malam-malam sunyi diruapi keyakinan. Doa-doa diterbangkan iman, memecahkan kebisuan melalui denting air ke batu-batu kepasrahan, adanya terpantul dari sana, gema keseriusan seluas cakrawala kalbu di pucuk gunung ketinggian kehidupan.
Musik Debussy mengungkapkan rahasia hayati diri, hati yang dipetik laksana untaian senar dengan getarannya menggugah keinginan, kepaduan nada para peri bermandian di sendang pancuran, membangkitkan pesona dari dalam. Bukanlah serupa yang ditandai Wagner pada percintaan maut, tetapi kehalusan budhi selepas membaca kekalutan hidup, yang tak pernah pudar membelenggu kaki-kaki manusiawi.
Getarannya menuntun jauh melebihi lorong-lorong romantik, keajaiban ialah bahasanya. Anak panah terapung di udara atas ketinggian drajat penciptaan mencapai sasaran kodrati. Atau pun gelembung udara di permukaan telaga, yang menggoda burung-burung meneguk nikmati canda dalam luapan guyub persahabatan di perkampungan, dan menurunkan nadanya ke dalam mimpi-mimpi.
Ialah kesamaran musiknya mempunyai bunyi-bunyian tak wujud, seharum kembang terpancar dari guratan lukisan kelas impressif, seolah arkeolog menjelajahi masa silam memasuki sunyi riuh penelitian. Ia mereguk batu-batu berbicara dalam kehati-hatian, seembun membunting di ujung daun masih enggan jatuhkan kecupan.
Serasa detik-detik akhir tak mau segera tamat, para pencari terus saja menemukan keheningan berbeda, kesepian ganjil menghantari tanya, dengan ucapan paling lembut yang lemas mencair. Debussy membukakan pepintu rahasia keharmonisan dunia, yang kerap dilupakan perubahan masa, nan ditindih tampakan terang di depan mata.
Musiknya mengajak pejamkan indra, meraba kalbu masing-masing, yang hakikatnya kesendirian itu seirama berjalin komposisi lain. Begitulah angin berbahasa, denyutan air berucap kata mesra pada bibir-bibir batu, lantas sejarah terlihat sebening keasliannya. Demikian nalar seimbangkan data berketepatan masa-masa, yang terkandung di dalamnya.
Lamongan- Lirboyo.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 16 Oktober 2010
KURANG PEDULINYA MASYARAKAT PADA NASKAH KUNO
Agus Sulton
http://www.sastra-indonesia.com/
Kepulauan nusantara sejak kurun waktu yang lampau memiliki banyak sejarah peradaban dan kebudayaan yang cukup berfariasi—yang terus mengalami perubahan sesuai dengan pola pikir masyarakat. Di antara peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa naskah kuno atau manuskrip. Orang awam menyebutnya sebagai buku kuno biasanya kondisi buku tersebut sudah kumel, warna kuning kecoklatan, bersifat anonim, dan banyak bagian lembaran sudah hilang atau sobek, walaupun ada juga yang kondisinya masih utuh.
Naskah kuno itu merupakan salah satu warisan budaya lelulur kita yang ditulis tangan di atas kertas (impor dari eropa), lontar, tumbukan kulit kayu (deluwang atau kertas jawa) kemudian orang yang ingin memiliki naskah tersebut dan mendalami isinya diperbanyak dengan cara menyalin secara pribadi.
Karya tulis nenek moyang kita itu—yang berupa naskah kuno diindikasikan banyak menyimpan berbagai puspa ragam isi, diantaranya; pengobatan herbal, perdukunan, cerita pada zamannya, hukum adat, tauhid, silsilah (keturunan raja, tariqat, keluarga), biatan tariqat, doa, syair, dan sebagainya. Naskah kuno tersebut, juga mengandung sebuah nilai-nilai yang dapat dipetik, berupa nilai moral, kepemimpinan, amar ma’ruf nahi mungkar atau dinrang pratidina, seharwan pasaman (sabar dan sareh), dan ajaran tasawuf. Di sisi lain manfaat lebih yang dapat ambil dari mempelajari naskah kuno, antara lain dapat menggali sumber-sumber dari masa lampau untuk menemukan kepribadian bangsa sendiri dalam arus perkembangan masyarakat pada saat ini. Dengan demikian, naskah kuno bisa dijadikan suatu jembatan bagi pemikiran masa lampau dengan pemikiran masa kini.
Siti Chamamah Soeratna, dalam Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya (2003) mengatakan, secara teoritis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Konsep tersebut jelas kedudukan naskah kuno lebih ada tingkatannya, bukan hal yang remeh dan akhirnya dibakar, tetapi kenyataan lapangan jauh berbeda terhadap nilai dan kegunaan suatu naskah.
Menurut hemat penulis selama study lapangan, naskah kuno yang ada di Jombang kondisinya sangat memperihatinkan, pada awal tahun 2010 penulis mencoba menelisik naskah Panji Asmoro di kecamatan Mojowarno, ternyata naskah tersebut sudah dibakar oleh pihak kedua (anak), beranggapan barang (naskah) wus elek, tidak berguna, dan tidak bisa membaca. Padahal tiga tahun yang lalu naskah itu masih ada, data tersebut penulis peroleh dari pihak pembakar naskah, alasan pemusnahan naskah karena pemilik naskah sudah meninggal dunia.
Kasus kedua, penulis ambil di kecamatan Ngoro Jombang sebuah naskah dari lontar tersimpan di dalam bumbung (bambu) diduga hilang diambil seseorang karena kurang pedulinya pihak pemilik naskah. Menurut pemiliknya, naskah itu dari Surakarta antara pemilik dengan pihak abdi dalem keraton Surakarta dalam silsilahnya masih ada ikatan saudara.
Kedua contoh tersebut merupakan sebuah dilema. Disatu sisi kita sebagai orang yang mencintai budaya bangsa Indonesia merasa kehilangan, di sisi lain karena lambannya kita dalam memberikan proses pencerahan kepada masyarakat akan manfaat lain dari naskah kuno itu sendiri.
Tragedi semacam itu tak berhenti sampai disini, kesedihan penulis datang dari para kolektor di Pare Kediri, sebuah naskah cerita berbentuk prosa (bunga rampai) beraksara jawa warisan dari Kanjeng Jombang kondisinya sudah berlubang dan sobek. Ada juga naskah bercerita Angling Darma (menggunakan tinta mas), Layang Ambiyo, tiga naskah bunga rampai (ilmu tauhid, pengobatan, doa nurbuat), dan beberapa naskah lain yang kondisinya kurang perawatan dari pihak pemilik.
Sebulan yang lalu penulis juga meneliti di kecamatan Ngoro Jombang dari kolektor naskah pribadi, menemukan naskah Aji Saka Versi Islam (pegon, 17 x 21 cm), dua naskah bunga rampai (pengobatan, doa, herbal, silsilah tariqat, tauhid, biatan tariqat, ilmu perdukunan), naskah tauhid, Al-Qu’an bertuliskan tangan. Kesemua naskah tersebut kondisinya kurang perawatan, berakibat lembar naskah bagian pojok kanan banyak yang sobek (antara 0,5 - 2 cm), berlubang, dan teks isi antar lembar tidak saling korelasi, diperkirakan lembar naskah banyak yang hilang.
Tidak hanya sampai di sini, penulis juga menemukan Syi’ir Nabi (pegon, 11 x 17,5 cm), dua naskah beraksara jawa kuno, dan beberapa kitab kuno berbahasa arab (terdapat cap watermark) tepatnya di kecamatan Bluluk Lamongan. Kesemua naskah tersebut kondisinya perlu segera mungkin mendapatkan perawatan khusus, karena sudah mulai terkena bubuk.
Sederetan kasus tersebut merupakan fenomena besar, sebenarnya banyak kasus lain yang belum terungkap tentang pernaskahan di masyarakat. Meski begitu, kita sebagai masyarakat yang sadar terhadap kondisi seperti itu segera bertindak untuk menyelamatkan naskah kuno dengan jalan digitalisasi dan deskripsi naskah. Setelah melakukan digitalisasi kemudian hasil jepretan foto di buka melalui program windows photo gellery (komputer) atau program lain dan di print out, maka akan menemukan hasil yang maksimal dari kerja digitalisasi. Foto copy bukanlah alternatif untuk konservasi (menyelamatkan) naskah, malah berakibat pada rusaknya naskah itu sendiri karena dapat merusak jilidan dan efek dari sinar foto copy akan mengurangi usia kertas dan ketajaman warna tinta. Sehingga ada sesuatu yang konyol dan cela apabila seorang filolog atau dosen—menyuruh mahasiswanya untuk memfoto copy naskah kuno yang berada di masyarakat. Alasan tidak berdasar kalau keterbatasan dari kamera digital itu sendiri untuk melakukan digitalisasi naskah, karena banyak petugas cetak foto yang menyediakan jasa penyewaan kamera dengan ongkos super murah.
Dapat dibayangkan, apabila naskah kuno tidak dirawat dengan cermat, maka berakibat pada hancur dan tidak bernilainya lagi sebagai sumber budaya. Menurut Edwar Djamaris (2002), naskah bukanlah perhiasan yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkan saja. Naskah itu baru berharga apabila masih dapat dibaca dan dipahami isinya.
Penulis berharap kepada pemilik naskah-naskah kuno (buku kuno) yang ada di masyarakat agar memperhatikan naskah koleksinya secara ekstra karena di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan kita sekarang. Selain itu kondisi pernaskahan kita sudah cukup memperihatinkan, disamping kondisi fisiknya sudah banyak yang rapuh, peminat yang mau menggeluti dan melestarikan sudah mulai berkurang.
Kita sudah sakit terhadap Malaysia dan Singapura gara-gara masalah pemburuan naskah-naskah yang ada di Riau dan sebagian pelosok nusantara. Mereka bergentayangan mencari naskah melayu klasik untuk digondol kenegaranya. Bila naskah yang dikehendaki tidak boleh dibeli, mereka memotretnya. Menurut Al-azhar (2007), naskah-naskah di pedalaman nusantara yang tidak boleh dibeli, mereka melakukan cara dengan proses digitalisasi, kemudian hasil pemotretan itu oleh pihak Malaysia dibuatkan situs tersendiri. Jika orang kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar.
Memang ini sebuah pelajaran bagi kita untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan dari berbagai aspek ilmu, karena apabila kita ingin maju dan tidak kehilangan stamina untuk hal-hal yang esensial, maka strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan.
*) Tinggal dan berkarya di Ngoro-Jombang
http://www.sastra-indonesia.com/
Kepulauan nusantara sejak kurun waktu yang lampau memiliki banyak sejarah peradaban dan kebudayaan yang cukup berfariasi—yang terus mengalami perubahan sesuai dengan pola pikir masyarakat. Di antara peninggalan-peninggalan itu antara lain berupa naskah kuno atau manuskrip. Orang awam menyebutnya sebagai buku kuno biasanya kondisi buku tersebut sudah kumel, warna kuning kecoklatan, bersifat anonim, dan banyak bagian lembaran sudah hilang atau sobek, walaupun ada juga yang kondisinya masih utuh.
Naskah kuno itu merupakan salah satu warisan budaya lelulur kita yang ditulis tangan di atas kertas (impor dari eropa), lontar, tumbukan kulit kayu (deluwang atau kertas jawa) kemudian orang yang ingin memiliki naskah tersebut dan mendalami isinya diperbanyak dengan cara menyalin secara pribadi.
Karya tulis nenek moyang kita itu—yang berupa naskah kuno diindikasikan banyak menyimpan berbagai puspa ragam isi, diantaranya; pengobatan herbal, perdukunan, cerita pada zamannya, hukum adat, tauhid, silsilah (keturunan raja, tariqat, keluarga), biatan tariqat, doa, syair, dan sebagainya. Naskah kuno tersebut, juga mengandung sebuah nilai-nilai yang dapat dipetik, berupa nilai moral, kepemimpinan, amar ma’ruf nahi mungkar atau dinrang pratidina, seharwan pasaman (sabar dan sareh), dan ajaran tasawuf. Di sisi lain manfaat lebih yang dapat ambil dari mempelajari naskah kuno, antara lain dapat menggali sumber-sumber dari masa lampau untuk menemukan kepribadian bangsa sendiri dalam arus perkembangan masyarakat pada saat ini. Dengan demikian, naskah kuno bisa dijadikan suatu jembatan bagi pemikiran masa lampau dengan pemikiran masa kini.
Siti Chamamah Soeratna, dalam Filologi Sebagai Pengungkap Orisionalitas dan Transformasi Produk Budaya (2003) mengatakan, secara teoritis, naskah klasik menyimpan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kandungan informasi yang dibawanya seperti sastra, sejarah, pengobatan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Konsep tersebut jelas kedudukan naskah kuno lebih ada tingkatannya, bukan hal yang remeh dan akhirnya dibakar, tetapi kenyataan lapangan jauh berbeda terhadap nilai dan kegunaan suatu naskah.
Menurut hemat penulis selama study lapangan, naskah kuno yang ada di Jombang kondisinya sangat memperihatinkan, pada awal tahun 2010 penulis mencoba menelisik naskah Panji Asmoro di kecamatan Mojowarno, ternyata naskah tersebut sudah dibakar oleh pihak kedua (anak), beranggapan barang (naskah) wus elek, tidak berguna, dan tidak bisa membaca. Padahal tiga tahun yang lalu naskah itu masih ada, data tersebut penulis peroleh dari pihak pembakar naskah, alasan pemusnahan naskah karena pemilik naskah sudah meninggal dunia.
Kasus kedua, penulis ambil di kecamatan Ngoro Jombang sebuah naskah dari lontar tersimpan di dalam bumbung (bambu) diduga hilang diambil seseorang karena kurang pedulinya pihak pemilik naskah. Menurut pemiliknya, naskah itu dari Surakarta antara pemilik dengan pihak abdi dalem keraton Surakarta dalam silsilahnya masih ada ikatan saudara.
Kedua contoh tersebut merupakan sebuah dilema. Disatu sisi kita sebagai orang yang mencintai budaya bangsa Indonesia merasa kehilangan, di sisi lain karena lambannya kita dalam memberikan proses pencerahan kepada masyarakat akan manfaat lain dari naskah kuno itu sendiri.
Tragedi semacam itu tak berhenti sampai disini, kesedihan penulis datang dari para kolektor di Pare Kediri, sebuah naskah cerita berbentuk prosa (bunga rampai) beraksara jawa warisan dari Kanjeng Jombang kondisinya sudah berlubang dan sobek. Ada juga naskah bercerita Angling Darma (menggunakan tinta mas), Layang Ambiyo, tiga naskah bunga rampai (ilmu tauhid, pengobatan, doa nurbuat), dan beberapa naskah lain yang kondisinya kurang perawatan dari pihak pemilik.
Sebulan yang lalu penulis juga meneliti di kecamatan Ngoro Jombang dari kolektor naskah pribadi, menemukan naskah Aji Saka Versi Islam (pegon, 17 x 21 cm), dua naskah bunga rampai (pengobatan, doa, herbal, silsilah tariqat, tauhid, biatan tariqat, ilmu perdukunan), naskah tauhid, Al-Qu’an bertuliskan tangan. Kesemua naskah tersebut kondisinya kurang perawatan, berakibat lembar naskah bagian pojok kanan banyak yang sobek (antara 0,5 - 2 cm), berlubang, dan teks isi antar lembar tidak saling korelasi, diperkirakan lembar naskah banyak yang hilang.
Tidak hanya sampai di sini, penulis juga menemukan Syi’ir Nabi (pegon, 11 x 17,5 cm), dua naskah beraksara jawa kuno, dan beberapa kitab kuno berbahasa arab (terdapat cap watermark) tepatnya di kecamatan Bluluk Lamongan. Kesemua naskah tersebut kondisinya perlu segera mungkin mendapatkan perawatan khusus, karena sudah mulai terkena bubuk.
Sederetan kasus tersebut merupakan fenomena besar, sebenarnya banyak kasus lain yang belum terungkap tentang pernaskahan di masyarakat. Meski begitu, kita sebagai masyarakat yang sadar terhadap kondisi seperti itu segera bertindak untuk menyelamatkan naskah kuno dengan jalan digitalisasi dan deskripsi naskah. Setelah melakukan digitalisasi kemudian hasil jepretan foto di buka melalui program windows photo gellery (komputer) atau program lain dan di print out, maka akan menemukan hasil yang maksimal dari kerja digitalisasi. Foto copy bukanlah alternatif untuk konservasi (menyelamatkan) naskah, malah berakibat pada rusaknya naskah itu sendiri karena dapat merusak jilidan dan efek dari sinar foto copy akan mengurangi usia kertas dan ketajaman warna tinta. Sehingga ada sesuatu yang konyol dan cela apabila seorang filolog atau dosen—menyuruh mahasiswanya untuk memfoto copy naskah kuno yang berada di masyarakat. Alasan tidak berdasar kalau keterbatasan dari kamera digital itu sendiri untuk melakukan digitalisasi naskah, karena banyak petugas cetak foto yang menyediakan jasa penyewaan kamera dengan ongkos super murah.
Dapat dibayangkan, apabila naskah kuno tidak dirawat dengan cermat, maka berakibat pada hancur dan tidak bernilainya lagi sebagai sumber budaya. Menurut Edwar Djamaris (2002), naskah bukanlah perhiasan yang bisa dibanggakan dengan mempertontonkan saja. Naskah itu baru berharga apabila masih dapat dibaca dan dipahami isinya.
Penulis berharap kepada pemilik naskah-naskah kuno (buku kuno) yang ada di masyarakat agar memperhatikan naskah koleksinya secara ekstra karena di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan kita sekarang. Selain itu kondisi pernaskahan kita sudah cukup memperihatinkan, disamping kondisi fisiknya sudah banyak yang rapuh, peminat yang mau menggeluti dan melestarikan sudah mulai berkurang.
Kita sudah sakit terhadap Malaysia dan Singapura gara-gara masalah pemburuan naskah-naskah yang ada di Riau dan sebagian pelosok nusantara. Mereka bergentayangan mencari naskah melayu klasik untuk digondol kenegaranya. Bila naskah yang dikehendaki tidak boleh dibeli, mereka memotretnya. Menurut Al-azhar (2007), naskah-naskah di pedalaman nusantara yang tidak boleh dibeli, mereka melakukan cara dengan proses digitalisasi, kemudian hasil pemotretan itu oleh pihak Malaysia dibuatkan situs tersendiri. Jika orang kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar.
Memang ini sebuah pelajaran bagi kita untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan dari berbagai aspek ilmu, karena apabila kita ingin maju dan tidak kehilangan stamina untuk hal-hal yang esensial, maka strategi kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia perlu dikedepankan.
*) Tinggal dan berkarya di Ngoro-Jombang
TRIPAMA, Sri Mangkunegara IV (bagian I)
Alih bahasa: Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
TRIPAMA
Sri Mangkunegara IV
1. Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sira anuladha
duk inguni caritane
andelira sang prabu
Sasrabahu ing Maespati
aran patih Suwanda
lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama.
2 Lire lelabuhan tri prakawis
guna bisa saniskareng karya
binudi dadya unggule
kaya sayektinipun
duk bantu prang Magadha nagri
amboyong putri dhomas
katur ratunipun
purune sampun tetela
aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri
Suwanda mati ngrana
3. Wonten malih tuladha prayogi
satriya gung nagri ing Ngalengka
Sang Kumbakarna arane
tur iku warna diyu
suprandene nggayuh utami
duk wiwit prang Ngalengka
dennya darbe atur
mring raka amrih raharja
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti
dene mungsuh wanara.
4. Kumbakarna kinen mangsah jurit
mring kang raka sira tan lenggana
nglungguhi kasatriyane
ing tekad tan asujud
amung cipta labuh nagari
tan noleh yayah rena
myang leluhuripun
wus mukti aneng Ngalengka
mangke arsa rinusuk ing bala kapi
punagi mati ngrana.
5. Wonten malih kinarya palupi
Suryaputra Narpati Ngawangga
lan Pandhawa tur kadange
len yayah tunggil ibu
suwita mring Sri Kurupati
aneng nagri Ngastina
kinarya gul-agul
manggala golonganing prang
Baratayudha ingadegken senapati
ngalaga ing Kurawa.
6. Den mungsuhken kadange pribadi
aprang tandhing lan sang Dananjaya
Sri Karna suka manahe
den nggonira pikantuk
marga dennya arsa males sih
mring sang Duryudana
marmanta kalangkung
dennya ngetok kasudiran
aprang rame Karna mati jinemparing
sembada wirotama.
7. Katri mangka sudarsaneng Jawi
pantes kang para prawira
amirita sakadare
ing lelabuhanipun
awya kongsi mbuwang palupi
manawa tibeng nistha
ina esthinipun
sanadyan tekading buta
tan prabeda ngudi panduming dumadi
marsudi ing kautaman.
(Sri Mangkunegara IV. 1995. Tripama. Semarang: Dahara Prize)
TIGA SURI TELADAN
Sri Mangkunegara IV
1. Seyogyanya, wahai para prajurit
apabila engkau dapat meneladani
konon pada zaman dahulu ceritanya
handalan utama sang prabu
Harjunasasrabahu di kerajaan Maespati
bernama Patih Suwanda
bakti dan pengabdiannya meliputi,
terangkum dalam tiga perkara, yaitu
berguna, berhasil, dan bersedia seperti yang telah diyakini
memenuhi kesanggupan kasatria utama.
2. Adapun yang dimaksud dengan tiga perkara pengabdian
berguna, artinya dapat menyelesaikan tugas dan kewajibannya
berusaha untuk dapat senantiasa unggul;
berhasil: maksudnya adalah
ketika membantu perang melawan kerajaan Magada,
berhasil memboyong putri sebanyak delapan ratus,
dipersembahkan kepada Sang Raja;
berserdia: telah terbukti nyata berani
berperang melawan Raja Raksasa dari Negeri Alengka,
Patih Suwanda gugur di medan laga.
3. Ada lagi teladan yang utama
ksatria agung dari negeri Alengka
bernama Sang Kumbakarna
walau dia berwujud seorang raksasa
namun dia berusaha mencapai keutamaan
sejak berkecamuknya perang di negeri Alengka
dia mengajukan saran
kepada kakandanya agar dapat selamat,
Dasamuka tidak terpengaruh atas saran adindanya
beliau tetap berperang melawan pasukan kera.
4. Kumbakarna ditugaskan maju berperang
atas perintah kakandanya itu dia tidak menolak
menetapi kesanggupan sebagai ksatria
walau dalam hati kecilnya tidak setuju,
hanya yang terpikir dalam benaknya tetap membela negara
dan teringat akan ayahanda dan ibundanya
serta segenap para leluhurnya
sudah hidup mulia dan luhur di negeri Alengka
sekarang akan dirusak oleh pasukan kera
dia bersumpah mati di medan laga.
5. Ada lagi yang lain teladan utama
Suryaputra raja negeri Awangga
dan dia masih saudara kandung Pandawa
lain ayahanda, tetap satu ibundanya
dia mengabdi kepada raja Sri Kurupati
di negeri Hastinapura
menjadi panglima perang
memimpin pasukan tempur dalam peperangan
ketika Baratayudha dia dijadikan senopati
bala pasukan perang Korawa.
6. Berhadapan dengan saudaranya sendiri
berperang tanding melawan Sang Dananjaya
Sri Karna sangat senang hatinya
oleh karena dia mendapatkan jalan
untuk dapat membalas budi baik
dari Sang Duryudana
tentu berusaha dengan sungguh-sungguh
mengerahkan segenap kesaktiannya
berperang ramai sekali, namun Karna gugur terpanah
sebagai ksatria yang gagah pemberani.
7. Ketiga tokoh itu menjadi teladan orang Jawa
sepantasnya diteladan bagi semua perwira tamtama
tentu inilah teladan sekadarnya
atas pengabdiannya kepada negara
jangan sampai engkau meninggalkan teladan itu
apabila tidak ingin jatuh dalam kehinaan,
hina dina yang sesungguhnya
walau niatnya sungguh suci,
tidak berbeda budinya bagi sesama,
berusahalah mencapai keutamaan hidup.
(Sri Mangkunegara IV. 1995. Tiga Perumpamaan. Semarang: Dahara Prize)
http://pujagita.blogspot.com/
TRIPAMA
Sri Mangkunegara IV
1. Yogyanira kang para prajurit
lamun bisa sira anuladha
duk inguni caritane
andelira sang prabu
Sasrabahu ing Maespati
aran patih Suwanda
lelabuhanipun
kang ginelung tri prakara
guna kaya purun ingkang den antepi
nuhoni trah utama.
2 Lire lelabuhan tri prakawis
guna bisa saniskareng karya
binudi dadya unggule
kaya sayektinipun
duk bantu prang Magadha nagri
amboyong putri dhomas
katur ratunipun
purune sampun tetela
aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri
Suwanda mati ngrana
3. Wonten malih tuladha prayogi
satriya gung nagri ing Ngalengka
Sang Kumbakarna arane
tur iku warna diyu
suprandene nggayuh utami
duk wiwit prang Ngalengka
dennya darbe atur
mring raka amrih raharja
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti
dene mungsuh wanara.
4. Kumbakarna kinen mangsah jurit
mring kang raka sira tan lenggana
nglungguhi kasatriyane
ing tekad tan asujud
amung cipta labuh nagari
tan noleh yayah rena
myang leluhuripun
wus mukti aneng Ngalengka
mangke arsa rinusuk ing bala kapi
punagi mati ngrana.
5. Wonten malih kinarya palupi
Suryaputra Narpati Ngawangga
lan Pandhawa tur kadange
len yayah tunggil ibu
suwita mring Sri Kurupati
aneng nagri Ngastina
kinarya gul-agul
manggala golonganing prang
Baratayudha ingadegken senapati
ngalaga ing Kurawa.
6. Den mungsuhken kadange pribadi
aprang tandhing lan sang Dananjaya
Sri Karna suka manahe
den nggonira pikantuk
marga dennya arsa males sih
mring sang Duryudana
marmanta kalangkung
dennya ngetok kasudiran
aprang rame Karna mati jinemparing
sembada wirotama.
7. Katri mangka sudarsaneng Jawi
pantes kang para prawira
amirita sakadare
ing lelabuhanipun
awya kongsi mbuwang palupi
manawa tibeng nistha
ina esthinipun
sanadyan tekading buta
tan prabeda ngudi panduming dumadi
marsudi ing kautaman.
(Sri Mangkunegara IV. 1995. Tripama. Semarang: Dahara Prize)
TIGA SURI TELADAN
Sri Mangkunegara IV
1. Seyogyanya, wahai para prajurit
apabila engkau dapat meneladani
konon pada zaman dahulu ceritanya
handalan utama sang prabu
Harjunasasrabahu di kerajaan Maespati
bernama Patih Suwanda
bakti dan pengabdiannya meliputi,
terangkum dalam tiga perkara, yaitu
berguna, berhasil, dan bersedia seperti yang telah diyakini
memenuhi kesanggupan kasatria utama.
2. Adapun yang dimaksud dengan tiga perkara pengabdian
berguna, artinya dapat menyelesaikan tugas dan kewajibannya
berusaha untuk dapat senantiasa unggul;
berhasil: maksudnya adalah
ketika membantu perang melawan kerajaan Magada,
berhasil memboyong putri sebanyak delapan ratus,
dipersembahkan kepada Sang Raja;
berserdia: telah terbukti nyata berani
berperang melawan Raja Raksasa dari Negeri Alengka,
Patih Suwanda gugur di medan laga.
3. Ada lagi teladan yang utama
ksatria agung dari negeri Alengka
bernama Sang Kumbakarna
walau dia berwujud seorang raksasa
namun dia berusaha mencapai keutamaan
sejak berkecamuknya perang di negeri Alengka
dia mengajukan saran
kepada kakandanya agar dapat selamat,
Dasamuka tidak terpengaruh atas saran adindanya
beliau tetap berperang melawan pasukan kera.
4. Kumbakarna ditugaskan maju berperang
atas perintah kakandanya itu dia tidak menolak
menetapi kesanggupan sebagai ksatria
walau dalam hati kecilnya tidak setuju,
hanya yang terpikir dalam benaknya tetap membela negara
dan teringat akan ayahanda dan ibundanya
serta segenap para leluhurnya
sudah hidup mulia dan luhur di negeri Alengka
sekarang akan dirusak oleh pasukan kera
dia bersumpah mati di medan laga.
5. Ada lagi yang lain teladan utama
Suryaputra raja negeri Awangga
dan dia masih saudara kandung Pandawa
lain ayahanda, tetap satu ibundanya
dia mengabdi kepada raja Sri Kurupati
di negeri Hastinapura
menjadi panglima perang
memimpin pasukan tempur dalam peperangan
ketika Baratayudha dia dijadikan senopati
bala pasukan perang Korawa.
6. Berhadapan dengan saudaranya sendiri
berperang tanding melawan Sang Dananjaya
Sri Karna sangat senang hatinya
oleh karena dia mendapatkan jalan
untuk dapat membalas budi baik
dari Sang Duryudana
tentu berusaha dengan sungguh-sungguh
mengerahkan segenap kesaktiannya
berperang ramai sekali, namun Karna gugur terpanah
sebagai ksatria yang gagah pemberani.
7. Ketiga tokoh itu menjadi teladan orang Jawa
sepantasnya diteladan bagi semua perwira tamtama
tentu inilah teladan sekadarnya
atas pengabdiannya kepada negara
jangan sampai engkau meninggalkan teladan itu
apabila tidak ingin jatuh dalam kehinaan,
hina dina yang sesungguhnya
walau niatnya sungguh suci,
tidak berbeda budinya bagi sesama,
berusahalah mencapai keutamaan hidup.
(Sri Mangkunegara IV. 1995. Tiga Perumpamaan. Semarang: Dahara Prize)
TELADAN KEUTAMAAN BAGI WIRA TAMTAMA (bagian II)
Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Tripama adalah salah satu karya sastra Jawa klasik karangan Sri Mangkunegara IV, raja di Pura Mangkunegaran (1809—1881), berbentuk puisi sebanyak tujuh bait. Kata tripama merupakan dua patah yang dirangkai menjadi satu kata, berasal dari kata tri dan pama, tri artinya tiga, dan pama artinya perumpamaan, tamsil, contoh, atau teladan. Berdasarkan perkiraan para ahli sastra, Tripama ditulis oleh Sri Mangkunegara IV seputar tahun 1860—1870. Tiga tokoh pewayangan yang ditampilkan sebagai teladan keutamaan bagi wira tamtama atau prajurit, yaitu Patih Suwanda dari negeri Mahespati, Raden Harya Kumbakarna dari negeri Alengka, dan Adipati Basukarna atau Suryaputra dari negeri Awangga.
Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan para wira tamtama adalah Patih Suwanda. Dia menjadi handalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni, Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, bernama Prabu Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas itu Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa pulang Dewi Citrawati dan putri domas, yakni putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.
Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir raksasa itu dari Taman Sriwedari.
Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana. Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi pengabdiannya kepada raja Mahespati.
Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara triwikrama (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama. Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati, Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya. Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya. Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana hanya berpura-pura mati.
Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam Tripama adalah tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara. Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini.
Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.
Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma, Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya, sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.
Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari. Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.
Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya. Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.
Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding. Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya, Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya. Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.
Pada bait terakhir, bait ketujuh dari Tripama, Sri Mangkunegara IV berusaha untuk menghimbau kepada para prajurit Mangkunegaran khususnya, kepada orang Jawa umumnya, dan kepada seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah, karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.***
http://pujagita.blogspot.com/
Tripama adalah salah satu karya sastra Jawa klasik karangan Sri Mangkunegara IV, raja di Pura Mangkunegaran (1809—1881), berbentuk puisi sebanyak tujuh bait. Kata tripama merupakan dua patah yang dirangkai menjadi satu kata, berasal dari kata tri dan pama, tri artinya tiga, dan pama artinya perumpamaan, tamsil, contoh, atau teladan. Berdasarkan perkiraan para ahli sastra, Tripama ditulis oleh Sri Mangkunegara IV seputar tahun 1860—1870. Tiga tokoh pewayangan yang ditampilkan sebagai teladan keutamaan bagi wira tamtama atau prajurit, yaitu Patih Suwanda dari negeri Mahespati, Raden Harya Kumbakarna dari negeri Alengka, dan Adipati Basukarna atau Suryaputra dari negeri Awangga.
Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan para wira tamtama adalah Patih Suwanda. Dia menjadi handalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni, Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, bernama Prabu Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas itu Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa pulang Dewi Citrawati dan putri domas, yakni putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.
Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir raksasa itu dari Taman Sriwedari.
Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana. Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi pengabdiannya kepada raja Mahespati.
Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara triwikrama (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama. Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati, Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya. Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya. Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana hanya berpura-pura mati.
Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam Tripama adalah tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara. Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini.
Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.
Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma, Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya, sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.
Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari. Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.
Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya. Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.
Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding. Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya, Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya. Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.
Pada bait terakhir, bait ketujuh dari Tripama, Sri Mangkunegara IV berusaha untuk menghimbau kepada para prajurit Mangkunegaran khususnya, kepada orang Jawa umumnya, dan kepada seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah, karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.***
SASTRA SEBAGAI PENDIDIKAN JIWA (bagian III)
Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Pendidikan jiwa sebagai hak asasi manusia yang mendasar merupakan alat pemberdaya kemampuan dan sebagai jalan utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal. Hal itu sesungguhnya merupakan langkah penting bagi pembangunan kualitas sebuah bangsa yang bermartabat dan berkarakter sehingga tidak tercerabut dari akar tradisi dan budayanya. Dengan cara seperti itu lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansinya dengan kepentingan negara dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan visi dan misinya yang berbasis kompetensi sehingga menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan umat manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan keterampilan hidup, akademik, seni yang dominan nilai estetikanya, pengembangan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat, sehat, cerdas, kompetitif, bermartabat, dan berakhlak mulia.
Salah satu konsep pendidikan jiwa melalui karya sastra dikemukakan oleh Sri Mangkunegara IV, sastrawan pujangga dan negarawanl bijak pada abad XIX, melalui beberapa karya yang ditulisnya, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama. Sri Mangkunegara IV adalah seorang pujangga istana dan sekaligus juga seorang raja di Jawa yang boleh dikatakan sebagai “sabda pandita ratu”, sabda pendeta raja, artinya ucapan atau kata-kata raja itu sekaligus berisi ajaran tentang hal-hal duniawi dan sekaligus hal-hal yang bersifat surgawi. Raja berhak mengatur tata kehidupan rakyatnya yang bersifat duniawi, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan di dunia seperti pendidikan, kemasyarakatan, keprajuritan, pertanian, hukum, dan perkawinan. Sementara itu, pendeta hanya berhak mengatur tata cara kehidupan yang bersifat rohani, religiusitas, atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah surgawi. Namun, apabila ada seorang pendeta dan sekaligus raja, maka dia berhak mengatur tata kehidupan masyarakat tentang masalah duniawi dan sekaligus surgawi. Hal inilah yang tercermin pada diri raja-raja Jawa, termasuk Sri Mangkunegara IV, sebagai seorang pandita ratu atau satria pinandita, ksatria sekaligus pendeta atau dengan idiom Islam yang digunakan sebagai kalifatullah sayidin panatagama.
Tiga buah karya Sri Mangkunegara IV, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama, sudah sangat terkenal dan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan tata ekosistem nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam khazanah sastra masyarakat Jawa, karya sastra ini termasuk kategori edipeni dan adiluhung yang ditulis dalam bentuk tembang atau puisi, selain dikenal teks-teks sastra yang bersifat naratif dengan bertumpu pada penceritaan seorang tokoh atau suatu kisah tertentu dalam bentuk babad atau gancaran, dikenal pula teks-teks puitik yang berisi didaktik dan moralistik atau etika. Teks-teks seperti inilah yang disebut dengan sastra piwulang atau sastra wejangan, yakni sebuah karya sastra yang berisi ajaran tentang pendidikan jiwa, tentang ilmu lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat. Ciri khas jenis sastra seperti ini diwarnai oleh diskripsi tentang tata tingkah laku pergaulan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, beragama, dan berbudaya.
Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama sebagai teks sastra piwulang atau sastra wejangan pun merupakan teks yang memberikan tuntunan ilmu keutamaan lahir dan batin, yakni ilmu pengetahuan yang berisi pendidikan jiwa untuk membangun kehidupan moral, budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat dengan teladan-teladan utama dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, baik dari dunia sejarah kehidupan manusia maupun tokoh dalam dunia pewayangan.
Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama karya Mangkunegara IV sebagai sastra piwulang telah menyapa pembacanya dengan cakupan yang luas, baik dari dimensi ruang maupun dimensi waktunya. Ruangnya pun tidak terbatas meliputi seluruh tanah Jawa, dan juga Nusantara, bahkan sampai ke negeri Suriname di Amerika Latin dan negeri Belanda di daratan Eropa. Waktunya pun membentang cukup panjang dari abad XIX, diperkirakan diciptakan semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV antara tahun 1853–1881, hingga abad XXI sekarang ini. Dalam perjalanan ruang dan waktu yang panjang itu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama telah mampu begitu dalam menyentuh alam estetika dan etika manusia Jawa. Keberadaannya pun telah lama diselamatkan oleh rasa cinta dan kehauasan masyarakat pemiliknya, yakni manusia Jawa, terhadap tuntunan ilmu keutamaan yang menjanjikan ajaran tentang hidup dan kehidupan untuk tingkah laku yang mulia, beradab, dan bermartabat.
Sesuai dengan namanya, judul buku menyiratkan keseluruhan isi, Wedhatama berisi ilmu pengetahuan atau ajaran keutamaan tentang perilaku kehidupan manusia di dunia. Atas dasar isinya inilah Wedhatama dikategorikan sebagai sastra piwulang atau sastra wejangan tentang etika atau moral hidup. Ir. Sri Muljono (1979:57) mengkategorikan Wedhatama sebagai sastra suluk atau sastra tasawuf, karena di dalam karya itu terdapat ajaran tentang kesempurnaan hidup, mirip dengan karya-karya para sufi, seperti adanya tataran sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Bahkan karya ini telah dibuat bahan disertasi oleh Mohammad Ardani dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah (1995) dengan judul: Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV: Sutdi Serat-Serat Piwulang (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).
Piwulang dalam Wedhatama memumpunkan ajaran tentang etika dan etiket hidup. Ajaran tentang etika, misalnya, seseorang harus berjiwa bersih, sepi ing pamrih, tidak sombong dan congkak, harus dapat tenggang rasa, suka memberi maaf kepada orang lain, rela, tawakal, sabar, jujur, dan menghormati pendapat orang lain. Sementara itu, ajaran tentang etiket, misalnya, seseorang harus dapat bersikap sopan, santun, pandai menyesuikan diri, mampu membaca pikiran orang lain agar tidak mengecewakan dalam setiap pertemuan.
Selain piwulang tentang etika dan etiket, Wedhatama juga berisi ajaran tentang kesempurnaan hidup melalui jalan melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cara melakukan kebaktian kepada Tuhan itu dapat melalui empat tataran sembah, yakni sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Ir. Sri Mulyono (1979:59) memadankan keempat sembah dalam Wedhatama itu sama atau mirif dengan ajaran yang terdapat dalam tasawuf tentang syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Wirawiyata adalah karya Mangkunegara IV yang penerbitan pertamanya bersamaan dengan Tripama, yaitu pada tahun 1927 oleh pihak Mangkunegaran sendiri. Setelah itu, Wirawiyata sering diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit swasta di Jawa, baik masih dalam bentuk aslinya menggunakan aksara Jawa maupun sudah ditranskripsi dalam bentuk tulisan Latin. Secara estetis Wirawiyata ditulis dalam bentuk tembang macapat yang terdiri atas 56 bait, terbagi dalam dua pupuh, yaitu (1) Sinom 42 bait, dan (2) Pangkur 14 bait. Karya tulis ini selesai pembuatannya pada hari Kamis, tanggal 1 Sakban, tahun Ehe, 1788 Jawa atau 1860 Masehi. Pembuatan Wirawiyata ini bertepatan dengan tiga tahun setelah beliau diresmikan sebagai Sri Mangkunegara IV.
Sesuai dengan judul naskah ini, Wirawiyata, kata wira artinya ‘seorang lelaki perwira’ atau ‘prajurit yang pemberani’, dan kata wiyata berarti ‘piwulang’ atau ‘ajaran’. Jadi, wirawiyata artinya ‘ajaran tentang keprajuritan’ atau ‘wejangan buat para prajurit’. Sri Mangkunegara IV ingin memiliki Korps Legioen Mangkoenegaran yang ada di bawah pimpinannya harus berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, dibuatlah ajaran tentang keprajuritan ini dalam bentuk tembang macapat yang dapat digunakan sebagai doktrin keprajuritan Mangkunegaran.
Terekspresikan dalam dua pupuh, Sinom dan Pangkur, doktrin ajaran keprajuritan itu menyangkut: janji prajurit yang harus dipegang teguh dan kedisiplinan sebagai prajurit yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, seorang prajurit harus memiliki rasa ketaatan kepada atasan, ketakwaan kepada Tuhan, ketidaksombongan, dan ketidaksewenangan dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit Mangkunegaran.
Seorang prajurit yang baik harus dapat menepati janji seperti yang diucapkan waktu pelantikan. Janji itu harus dipegang teguh selama dia menjadi prajurit untuk membela negara dan bangsa. Ingkar akan janji prajurit akan membawa malapetaka, baik bagi diri sendiri yang menderita lahir batin maupun bagi bangsa dan negara yang dapat menimbulkan rasa malu orang tua, kesengsaraan dan penderitaan bangsa dan negara.
Kedisiplinan seorang prajurit perlu dilakukan dengan tepat dan tegas. Seorang prajurit harus dapat mentaati peraturan yang ada, harus disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin dalam menjalankan tugas. Pelanggaran terhadap disiplin itu akan mengakibatkan jatuhnya sangsi terhadap prajurit, desersi, indisipliner, dan hukuman dari komandannya. Sebaliknya, apabila seorang prajurit dapat melaksanakan disiplin itu dengan baik, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak mbalela, seorang prajurit akan cepat naik pangkat, dan memperoleh penghargaan sesuai dengan jasanya dan pengorbannya.
Ketaatan seorang prajurit kepada atasan, komandan atau panglima, merupakan bakti yang harus dilaksanakan. Atasan prajurit, dalam hal ini komandan atau panglima perang mereka, merupakan koordinator pengendali stabilitas kesatuan dan persatuan prajurit, serta pemegang komando tugas operasional lapangan. Komandan atau panglima dalam hal keprajuritan adalah wakil raja sebagai panutan dan penuntun dalam melaksanakan tugas keprajuritan. Oleh karena itu, prajurit harus taat kepada atasan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Apabila mereka tidak taat kepada atasan, kesatuan prajurit mudah dipecah belah, mudah diadu domba, dan mudah hancur bercerai berai atau kocar-kacir.
Tidak sepantasnya dan tidak pada tempatnya apabila seorang prajurit memikirkan hal kematian dalam peperangan. Tugas prajurit untuk berperang harus diartikan sebagai tugas membela negara dan bangsa,semata menjalankan perintah raja. Raja dalam hal ini dianggap sebagai kalifatullah, wakil Tuhan di dunia, sehingga perintah atau titahnya harus diartikan sebagai perintah atau titah Tuhan. Hidup dan mati seseorang itu berdasarkan ketentuan Tuhan.
Sifat sombong atau takabur harus dihindari oleh seorang prajurit karena bertentangan dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan. Sombong atau takabur merupakan sifat yang tercela, tidak terpuji, dan dapat mencemarkan nama korps dan negara. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah apabila seorang prajurit harus dapat menghindari sifat sombong, takabur, congkak, dan berbangga diri apa pun pangkat yang dimilikinya.
Persoalan bunuh-membunuh dalam peperangan itu suatu perbuatan yang wajar dalam keprajuritan. Namun, sebagai seorang prajurit yang baik harus tahu diri kapan dan di mana ia harus membunuh musuhnya. Apabila seorang musuh itu telah menyerahkan diri, mengakui kesalahan dan kekalahannya, maka seorang prajurit tidak diperkenankan membunuh musuhnya yang telah menyerahkan diri. Musuh itu harus diperlakukan secara baik, tidak boleh disiksa, dan tidak boleh ditindak sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan.
Dalam pupuh Pangkur disebut tentang tata cara atau pedoman bagi seorang senapati atau panglima dalam memilih para prajurit yang baik. Seorang prajurit yang dipilih haruslah seorang pemuda, berasal dari keluarga yang bermental baik, pribumi atau penduduk asli, tidak cacat, badan sehat, tegap, dan kokoh, serta berbakat sebagai prajurit. Tentang perilakunya pun juga harus yang baik-baik dan tidak suka berfoya-foya, artinya hekmat dan bersahaja.
Demikian kurang lebih konsep pendidikan jiwa yang tertuang dalam beberapa karya Sri Mangkunegara IV yang dapat kita jadikan pedoman dalam mentunkan arah kebijaksanaan hidup.***
http://pujagita.blogspot.com/
Pendidikan jiwa sebagai hak asasi manusia yang mendasar merupakan alat pemberdaya kemampuan dan sebagai jalan utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal. Hal itu sesungguhnya merupakan langkah penting bagi pembangunan kualitas sebuah bangsa yang bermartabat dan berkarakter sehingga tidak tercerabut dari akar tradisi dan budayanya. Dengan cara seperti itu lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansinya dengan kepentingan negara dan karakteristik peserta didik serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan visi dan misinya yang berbasis kompetensi sehingga menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan umat manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan keterampilan hidup, akademik, seni yang dominan nilai estetikanya, pengembangan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat, sehat, cerdas, kompetitif, bermartabat, dan berakhlak mulia.
Salah satu konsep pendidikan jiwa melalui karya sastra dikemukakan oleh Sri Mangkunegara IV, sastrawan pujangga dan negarawanl bijak pada abad XIX, melalui beberapa karya yang ditulisnya, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama. Sri Mangkunegara IV adalah seorang pujangga istana dan sekaligus juga seorang raja di Jawa yang boleh dikatakan sebagai “sabda pandita ratu”, sabda pendeta raja, artinya ucapan atau kata-kata raja itu sekaligus berisi ajaran tentang hal-hal duniawi dan sekaligus hal-hal yang bersifat surgawi. Raja berhak mengatur tata kehidupan rakyatnya yang bersifat duniawi, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan di dunia seperti pendidikan, kemasyarakatan, keprajuritan, pertanian, hukum, dan perkawinan. Sementara itu, pendeta hanya berhak mengatur tata cara kehidupan yang bersifat rohani, religiusitas, atau hal-hal yang berhubungan dengan masalah surgawi. Namun, apabila ada seorang pendeta dan sekaligus raja, maka dia berhak mengatur tata kehidupan masyarakat tentang masalah duniawi dan sekaligus surgawi. Hal inilah yang tercermin pada diri raja-raja Jawa, termasuk Sri Mangkunegara IV, sebagai seorang pandita ratu atau satria pinandita, ksatria sekaligus pendeta atau dengan idiom Islam yang digunakan sebagai kalifatullah sayidin panatagama.
Tiga buah karya Sri Mangkunegara IV, yaitu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama, sudah sangat terkenal dan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan tata ekosistem nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam khazanah sastra masyarakat Jawa, karya sastra ini termasuk kategori edipeni dan adiluhung yang ditulis dalam bentuk tembang atau puisi, selain dikenal teks-teks sastra yang bersifat naratif dengan bertumpu pada penceritaan seorang tokoh atau suatu kisah tertentu dalam bentuk babad atau gancaran, dikenal pula teks-teks puitik yang berisi didaktik dan moralistik atau etika. Teks-teks seperti inilah yang disebut dengan sastra piwulang atau sastra wejangan, yakni sebuah karya sastra yang berisi ajaran tentang pendidikan jiwa, tentang ilmu lahir dan batin untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat. Ciri khas jenis sastra seperti ini diwarnai oleh diskripsi tentang tata tingkah laku pergaulan hidup sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara, beragama, dan berbudaya.
Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama sebagai teks sastra piwulang atau sastra wejangan pun merupakan teks yang memberikan tuntunan ilmu keutamaan lahir dan batin, yakni ilmu pengetahuan yang berisi pendidikan jiwa untuk membangun kehidupan moral, budi pekerti luhur, berakhlak mulia, dan kesempurnaan hidup di dunia hingga akhirat dengan teladan-teladan utama dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, baik dari dunia sejarah kehidupan manusia maupun tokoh dalam dunia pewayangan.
Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama karya Mangkunegara IV sebagai sastra piwulang telah menyapa pembacanya dengan cakupan yang luas, baik dari dimensi ruang maupun dimensi waktunya. Ruangnya pun tidak terbatas meliputi seluruh tanah Jawa, dan juga Nusantara, bahkan sampai ke negeri Suriname di Amerika Latin dan negeri Belanda di daratan Eropa. Waktunya pun membentang cukup panjang dari abad XIX, diperkirakan diciptakan semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV antara tahun 1853–1881, hingga abad XXI sekarang ini. Dalam perjalanan ruang dan waktu yang panjang itu Wedhatama, Wirawiyata, dan Tripama telah mampu begitu dalam menyentuh alam estetika dan etika manusia Jawa. Keberadaannya pun telah lama diselamatkan oleh rasa cinta dan kehauasan masyarakat pemiliknya, yakni manusia Jawa, terhadap tuntunan ilmu keutamaan yang menjanjikan ajaran tentang hidup dan kehidupan untuk tingkah laku yang mulia, beradab, dan bermartabat.
Sesuai dengan namanya, judul buku menyiratkan keseluruhan isi, Wedhatama berisi ilmu pengetahuan atau ajaran keutamaan tentang perilaku kehidupan manusia di dunia. Atas dasar isinya inilah Wedhatama dikategorikan sebagai sastra piwulang atau sastra wejangan tentang etika atau moral hidup. Ir. Sri Muljono (1979:57) mengkategorikan Wedhatama sebagai sastra suluk atau sastra tasawuf, karena di dalam karya itu terdapat ajaran tentang kesempurnaan hidup, mirip dengan karya-karya para sufi, seperti adanya tataran sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Bahkan karya ini telah dibuat bahan disertasi oleh Mohammad Ardani dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah (1995) dengan judul: Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV: Sutdi Serat-Serat Piwulang (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).
Piwulang dalam Wedhatama memumpunkan ajaran tentang etika dan etiket hidup. Ajaran tentang etika, misalnya, seseorang harus berjiwa bersih, sepi ing pamrih, tidak sombong dan congkak, harus dapat tenggang rasa, suka memberi maaf kepada orang lain, rela, tawakal, sabar, jujur, dan menghormati pendapat orang lain. Sementara itu, ajaran tentang etiket, misalnya, seseorang harus dapat bersikap sopan, santun, pandai menyesuikan diri, mampu membaca pikiran orang lain agar tidak mengecewakan dalam setiap pertemuan.
Selain piwulang tentang etika dan etiket, Wedhatama juga berisi ajaran tentang kesempurnaan hidup melalui jalan melakukan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cara melakukan kebaktian kepada Tuhan itu dapat melalui empat tataran sembah, yakni sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, dan sembah kalbu. Ir. Sri Mulyono (1979:59) memadankan keempat sembah dalam Wedhatama itu sama atau mirif dengan ajaran yang terdapat dalam tasawuf tentang syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Wirawiyata adalah karya Mangkunegara IV yang penerbitan pertamanya bersamaan dengan Tripama, yaitu pada tahun 1927 oleh pihak Mangkunegaran sendiri. Setelah itu, Wirawiyata sering diterbitkan ulang oleh penerbit-penerbit swasta di Jawa, baik masih dalam bentuk aslinya menggunakan aksara Jawa maupun sudah ditranskripsi dalam bentuk tulisan Latin. Secara estetis Wirawiyata ditulis dalam bentuk tembang macapat yang terdiri atas 56 bait, terbagi dalam dua pupuh, yaitu (1) Sinom 42 bait, dan (2) Pangkur 14 bait. Karya tulis ini selesai pembuatannya pada hari Kamis, tanggal 1 Sakban, tahun Ehe, 1788 Jawa atau 1860 Masehi. Pembuatan Wirawiyata ini bertepatan dengan tiga tahun setelah beliau diresmikan sebagai Sri Mangkunegara IV.
Sesuai dengan judul naskah ini, Wirawiyata, kata wira artinya ‘seorang lelaki perwira’ atau ‘prajurit yang pemberani’, dan kata wiyata berarti ‘piwulang’ atau ‘ajaran’. Jadi, wirawiyata artinya ‘ajaran tentang keprajuritan’ atau ‘wejangan buat para prajurit’. Sri Mangkunegara IV ingin memiliki Korps Legioen Mangkoenegaran yang ada di bawah pimpinannya harus berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, dibuatlah ajaran tentang keprajuritan ini dalam bentuk tembang macapat yang dapat digunakan sebagai doktrin keprajuritan Mangkunegaran.
Terekspresikan dalam dua pupuh, Sinom dan Pangkur, doktrin ajaran keprajuritan itu menyangkut: janji prajurit yang harus dipegang teguh dan kedisiplinan sebagai prajurit yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, seorang prajurit harus memiliki rasa ketaatan kepada atasan, ketakwaan kepada Tuhan, ketidaksombongan, dan ketidaksewenangan dalam melaksanakan tugas sebagai prajurit Mangkunegaran.
Seorang prajurit yang baik harus dapat menepati janji seperti yang diucapkan waktu pelantikan. Janji itu harus dipegang teguh selama dia menjadi prajurit untuk membela negara dan bangsa. Ingkar akan janji prajurit akan membawa malapetaka, baik bagi diri sendiri yang menderita lahir batin maupun bagi bangsa dan negara yang dapat menimbulkan rasa malu orang tua, kesengsaraan dan penderitaan bangsa dan negara.
Kedisiplinan seorang prajurit perlu dilakukan dengan tepat dan tegas. Seorang prajurit harus dapat mentaati peraturan yang ada, harus disiplin waktu, disiplin kerja, dan disiplin dalam menjalankan tugas. Pelanggaran terhadap disiplin itu akan mengakibatkan jatuhnya sangsi terhadap prajurit, desersi, indisipliner, dan hukuman dari komandannya. Sebaliknya, apabila seorang prajurit dapat melaksanakan disiplin itu dengan baik, menyelesaikan tugas tepat waktu, tidak mbalela, seorang prajurit akan cepat naik pangkat, dan memperoleh penghargaan sesuai dengan jasanya dan pengorbannya.
Ketaatan seorang prajurit kepada atasan, komandan atau panglima, merupakan bakti yang harus dilaksanakan. Atasan prajurit, dalam hal ini komandan atau panglima perang mereka, merupakan koordinator pengendali stabilitas kesatuan dan persatuan prajurit, serta pemegang komando tugas operasional lapangan. Komandan atau panglima dalam hal keprajuritan adalah wakil raja sebagai panutan dan penuntun dalam melaksanakan tugas keprajuritan. Oleh karena itu, prajurit harus taat kepada atasan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Apabila mereka tidak taat kepada atasan, kesatuan prajurit mudah dipecah belah, mudah diadu domba, dan mudah hancur bercerai berai atau kocar-kacir.
Tidak sepantasnya dan tidak pada tempatnya apabila seorang prajurit memikirkan hal kematian dalam peperangan. Tugas prajurit untuk berperang harus diartikan sebagai tugas membela negara dan bangsa,semata menjalankan perintah raja. Raja dalam hal ini dianggap sebagai kalifatullah, wakil Tuhan di dunia, sehingga perintah atau titahnya harus diartikan sebagai perintah atau titah Tuhan. Hidup dan mati seseorang itu berdasarkan ketentuan Tuhan.
Sifat sombong atau takabur harus dihindari oleh seorang prajurit karena bertentangan dengan sumpah atau janji yang telah diucapkan. Sombong atau takabur merupakan sifat yang tercela, tidak terpuji, dan dapat mencemarkan nama korps dan negara. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah apabila seorang prajurit harus dapat menghindari sifat sombong, takabur, congkak, dan berbangga diri apa pun pangkat yang dimilikinya.
Persoalan bunuh-membunuh dalam peperangan itu suatu perbuatan yang wajar dalam keprajuritan. Namun, sebagai seorang prajurit yang baik harus tahu diri kapan dan di mana ia harus membunuh musuhnya. Apabila seorang musuh itu telah menyerahkan diri, mengakui kesalahan dan kekalahannya, maka seorang prajurit tidak diperkenankan membunuh musuhnya yang telah menyerahkan diri. Musuh itu harus diperlakukan secara baik, tidak boleh disiksa, dan tidak boleh ditindak sewenang-wenang tanpa perikemanusiaan.
Dalam pupuh Pangkur disebut tentang tata cara atau pedoman bagi seorang senapati atau panglima dalam memilih para prajurit yang baik. Seorang prajurit yang dipilih haruslah seorang pemuda, berasal dari keluarga yang bermental baik, pribumi atau penduduk asli, tidak cacat, badan sehat, tegap, dan kokoh, serta berbakat sebagai prajurit. Tentang perilakunya pun juga harus yang baik-baik dan tidak suka berfoya-foya, artinya hekmat dan bersahaja.
Demikian kurang lebih konsep pendidikan jiwa yang tertuang dalam beberapa karya Sri Mangkunegara IV yang dapat kita jadikan pedoman dalam mentunkan arah kebijaksanaan hidup.***
SRI MANGKUNEGARA IV (1809—1881) (bagian IV habis)
: Sastawan Pujangga dan Negarawan Bijak
Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Sri Mangkunegara IV adalah sastrawan pujangga dan sekaligus seorang negarawan yang memperoleh gelar satriya pinandita atau sabda pandita ratu. Dia dilahirkan pada hari Ahad, 3 Maret 1809 di Surakarta dari pasangan Kanjeng Pangeran Adiwijaya I dengan Raden Ayu Sekeli, putri Sri Mangkunegara II. Sri Mangkunegara IV secara garis keturunan dari ibu adalah cucu Sri Mangkunegara II, sementara dari garis keturunan ayahandanya, beliau adalah buyut (cicit) dari Sri Susuhunan Pakubuwana III. Ketika baru lahir Sri Mangkunegara IV langsung diminta oleh kakeknya, Sri Mangkunegara II, untuk dijadikan putra angkatnya. Bayi yang masih kecil itu diserahkan ke salah satu selirnya, Ajeng Dayaningsih, lalu diberi nama R.M. Soedira. Di tangan selir raja Mangkunegara II inilah R.M. Soedira tumbuh sebagai anak yang sehat, cerdas, dan kompetitif.
Sehubungan pada waktu itu di Surakarta belum ada pendidikan formal yang modern seperti sekarang, R.M. Soedira hanya mendapatkan pendidikan privat, yaitu mendatangkan guru agama dan guru pelajaran umum di istana Mangkunegaran. Di dalam pendidikannya itu dia mendapatkan pengetahuan agama, mendapatkan pengetahuan membaca dan menulis, serta belajar bahasa asing (terutama Belanda dan Inggris) dari guru-guru privat yang didatangkan ke istana Mangkunegaran tersebut. Meskipun demikian, semangat belajar R.M. Soedira sangat tinggi, tidak malu bertanya kepada siapa pun, termasuk kepada orang-orang Belanda yang didatangkan ke istana Mangkunegaran seperti JFC Dr. Gericke dan CF Winter. Dari guru-guru itulah R.M. Soedira mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan Jawa sehingga dapat menulis sendiri karya sastra. Dalam berinteraksi dengan guru-guru Belanda tersebut akan terlihat pada karya-karya sastra yang ditulisnya.
Pada usia 15 tahun dia pernah mengikuti pendidikan kadet Legioen Mangkunegaran selama satu tahun. Setelah itu dia menjadi pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran untuk berperang membantu Kompeni Belanda melawan bala tentara Pangeran Dipanegara (1925—1830) di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Karena jasa dan keberaniannya membantu Kompeni Belanda pada waktu itu, pada tahun 1828, R.M. Soedira dinaikkan pangkatnya dari Letnan menjadi Kapten Infantri. Setelah kakaknya, R.M. Soebekti dipromosikan menjadi mayor, lalu R.M. Soedira pun ditugaskan sebagai komandan perang untuk mempertahankan benteng Gombong. Seusai perang Dipanegara, pada tahun 1831, R.M. Soedira kembali ke Surakarta dan mendapat berbagai penghargaan dari Kompeni Belanda atas jasa-jasanya membantu Kompeni dalam memerangi pemberontakan Pangeran Dipanegara.
R.M. Soedira kemudian mengabdi kepada pemerintahan Mangkunegaran. Pengabdian R.M. Soedira kepada Raja Mangkunegaran itu tidaklah sia-sia. R.M. Soedira kemudian dinikahkan dengan putri sulung Sri Mangkunegara III, yaitu Bendoro Raden Ajeng Doenoek. Pada tahun 1836 dia diangkat sebagai pangeran dengan gelar R.M. Gandakoesoema serta diangkat sebagai Patih Jero atau patih kedua kadipaten Mangkunegaran dengan pangkat militer sebagai Mayor Infantri, komandan prajurit Legioen Mangkunegaran. Setelah Sri Mangkunegara III mangkat (1853), oleh Residen Surakarta atas nama Guburnur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Pangeran Arya Gandakoesoema diangkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Praboe Prawadana IV, kemudian diberi pangkat militer dari Mayor menjadi Letnan Kolonel Komandan Legioen Mangkunegaran. Ketetapan untuk menjabat sebagai Kanjeng Gusti Prabu Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara IV diberikan pada waktu dia berusia 47 tahun berdasarkan Surat Keputusan pada tanggal 16 Agustus 1857. Meskipun demikian pemerintahan Sri Mangkunegara IV sudah efektif terhitung mulai 1853.
Semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853—1881) negara Mangkunegaran mengalami kemajuan dalam segala bidang, meliputi bidang pemerintahan, bidang kemiliteran, bidang sosial ekonomi, dan sosial budaya. Di bidang pemerintahan Sri Mangkunegara IV meneliti dan mempertegas kembali batas-batas daerah wilayah antara kekuasaan Mangkunegaran dengan hak milik Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Di bidang kemiliteran Sri Mangkunegara IV mewajibkan setiap kerabat Mangkunegaran yang telah dewasa, apabila hendak menjadi pegawai praja, mereka harus terlebih dahulu menjalani pendidikan militer sekurang-kurangnya enam bulan. Di bidang ekonomi Sri Mangkunegara IV menciptakan berbagai usaha komersial untuk menjadi sumber penghasilan negara, selain itu juga dapat membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat Mangunegaran. Usaha-usaha itu antara lain pendirian pabrik gula Tasikmadu di Colomadu, pabrik sisal di Mentotulakan, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik bata dan genting di Kemiri, perkebunan-perkebunan di lereng gunung Lawu sebelah barat, dan usaha kehutanan di Wonogiri. Di bidang sosial budaya Sri Mangkunegara IV merintis kerajinan ukiran kayu, perhiasan, funitur alat-alat rumah tangga, hingga menciptakan berbagai tari, gemelan, wayang kulit, topeng, lukisan, dan karya sastra. Atas kemajuan di berbagai bidang itulah Sri Mangkunegara IV memperoleh anugerah dan bintang penghargaan dari Kerajaan Austria, Jerman, dan Belanda. Kebesaran Mangkunegara IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa dapat dibaca melalui karya sastra yang dihasilkannya, seperti Wedhatama, Tripama, Wirawiyata, Manuhara, Nayakawara, Yogatama, Parimnita, Pralambang Lara Kenya, Langenswara, Sriyatna, Candrarini, Paliatma, Salokatama, dan Darmawasita.
Atas dasar pengalam sebagai pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran itulah kemudian Sri Mangkunegara IV menurunkan ilmu keprajuritannya dengan menciptakan Serat Tripama dan Serat Wirawiyata sebagai pembinaan terhadap para prajurit Mangkunegaran. Penciptaan Tripama dan Wirawiyata tersebut dilatarbelakangi pada perbedaan penafsiran tentang kedekatan Mangkunegaran dengan Pemerintah Hindia Belanda oleh para pangeran prajurit. Padahal, di Kasunanan Surakarta pada waktu seusai perang Pangeran Dipanegara banyak pejabat yang ditangkapi dan di buang ke darah lain, termasuk RT Sastranegara ayahanda Ranggawarsita dan Sinuhun Paku Buwana IV. Agar para pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran itu memiliki kerangka acuan pemikiran yang sama tentang hal keprajuritan, maka terciptalah Tripama dan Wirawiyata sebagai doktrin keprajuritan itu. Tripama ditulis dalam bentuk tembang macapat sebanyak 7 bait dalam satu pupuh dhandhanggula, dengan tiga tokoh wayang sebagai teladan: Sumantri, Kumbakrana, dan Basukarna. Sementara itu, Wirawiyata ditulis juga dalam bentuk tembang macapat sebanyak 56 bait dalam dua pupuh Sinom 42 bait dan Pangkur 14 bait. Karya-karya Sri Mangkunegara IV dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan Jawa dapat disebut sebagai karya sastra yang adiluhung dan edipeni.
Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853—1881), selama 28 tahun, negara Mangkunegaran tampil beda dengan penguasa sebelumnya. Perubahan mendasar terdapat pada bidang struktur organisasi birokrasi, kebijakan sebagai penguasa, penataan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan militer. Atas tampilan yang beda dengan penguasa pendahulunya inilah Sri Mangkunegara IV mampu mensejajarkan diri dan berdampingan dengan praja kejawaan besar yang ada pada waktu itu, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, dan Pura Pakualaman. Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV itu pulalah kehidupan sastra Mangkunegaran berjalan dengan baik, subur, dan semarak, serta penuh dengan gairah. Dari tangan raja kecil ini telah dihasilkan sebanyak 35 buah karya, yang dapat dikelompokkan menjadi: (1) Serat-serat Piwulang (Sastra ajaran), (2) Serat-serat Iber (Surat-surat Undangan), (3) Serat-serat Panembrama (Tembang-tembang penyambutan tamu), dan (4) Serat-serat Rerepen lan Manuhara (Pepatah, teka-teki, ungkapan cinta kasih, dan sebagainya). Sri Mangkunegara IV wafat pada tanggal 8 September 1881 dalam usia 72 tahun. Jasat beliau dimakamkan di Astana Giri Layu yang terletak di lereng gunung Lawu, kurang lebih 30 Km di sebelah timur kota Surakarta.
[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional (Peneliti, Arsiparis, Pustakawan) di lingkungan Pusat Bahasa.]
Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Sri Mangkunegara IV adalah sastrawan pujangga dan sekaligus seorang negarawan yang memperoleh gelar satriya pinandita atau sabda pandita ratu. Dia dilahirkan pada hari Ahad, 3 Maret 1809 di Surakarta dari pasangan Kanjeng Pangeran Adiwijaya I dengan Raden Ayu Sekeli, putri Sri Mangkunegara II. Sri Mangkunegara IV secara garis keturunan dari ibu adalah cucu Sri Mangkunegara II, sementara dari garis keturunan ayahandanya, beliau adalah buyut (cicit) dari Sri Susuhunan Pakubuwana III. Ketika baru lahir Sri Mangkunegara IV langsung diminta oleh kakeknya, Sri Mangkunegara II, untuk dijadikan putra angkatnya. Bayi yang masih kecil itu diserahkan ke salah satu selirnya, Ajeng Dayaningsih, lalu diberi nama R.M. Soedira. Di tangan selir raja Mangkunegara II inilah R.M. Soedira tumbuh sebagai anak yang sehat, cerdas, dan kompetitif.
Sehubungan pada waktu itu di Surakarta belum ada pendidikan formal yang modern seperti sekarang, R.M. Soedira hanya mendapatkan pendidikan privat, yaitu mendatangkan guru agama dan guru pelajaran umum di istana Mangkunegaran. Di dalam pendidikannya itu dia mendapatkan pengetahuan agama, mendapatkan pengetahuan membaca dan menulis, serta belajar bahasa asing (terutama Belanda dan Inggris) dari guru-guru privat yang didatangkan ke istana Mangkunegaran tersebut. Meskipun demikian, semangat belajar R.M. Soedira sangat tinggi, tidak malu bertanya kepada siapa pun, termasuk kepada orang-orang Belanda yang didatangkan ke istana Mangkunegaran seperti JFC Dr. Gericke dan CF Winter. Dari guru-guru itulah R.M. Soedira mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, dan kesusastraan Jawa sehingga dapat menulis sendiri karya sastra. Dalam berinteraksi dengan guru-guru Belanda tersebut akan terlihat pada karya-karya sastra yang ditulisnya.
Pada usia 15 tahun dia pernah mengikuti pendidikan kadet Legioen Mangkunegaran selama satu tahun. Setelah itu dia menjadi pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran untuk berperang membantu Kompeni Belanda melawan bala tentara Pangeran Dipanegara (1925—1830) di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Karena jasa dan keberaniannya membantu Kompeni Belanda pada waktu itu, pada tahun 1828, R.M. Soedira dinaikkan pangkatnya dari Letnan menjadi Kapten Infantri. Setelah kakaknya, R.M. Soebekti dipromosikan menjadi mayor, lalu R.M. Soedira pun ditugaskan sebagai komandan perang untuk mempertahankan benteng Gombong. Seusai perang Dipanegara, pada tahun 1831, R.M. Soedira kembali ke Surakarta dan mendapat berbagai penghargaan dari Kompeni Belanda atas jasa-jasanya membantu Kompeni dalam memerangi pemberontakan Pangeran Dipanegara.
R.M. Soedira kemudian mengabdi kepada pemerintahan Mangkunegaran. Pengabdian R.M. Soedira kepada Raja Mangkunegaran itu tidaklah sia-sia. R.M. Soedira kemudian dinikahkan dengan putri sulung Sri Mangkunegara III, yaitu Bendoro Raden Ajeng Doenoek. Pada tahun 1836 dia diangkat sebagai pangeran dengan gelar R.M. Gandakoesoema serta diangkat sebagai Patih Jero atau patih kedua kadipaten Mangkunegaran dengan pangkat militer sebagai Mayor Infantri, komandan prajurit Legioen Mangkunegaran. Setelah Sri Mangkunegara III mangkat (1853), oleh Residen Surakarta atas nama Guburnur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Pangeran Arya Gandakoesoema diangkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Praboe Prawadana IV, kemudian diberi pangkat militer dari Mayor menjadi Letnan Kolonel Komandan Legioen Mangkunegaran. Ketetapan untuk menjabat sebagai Kanjeng Gusti Prabu Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara IV diberikan pada waktu dia berusia 47 tahun berdasarkan Surat Keputusan pada tanggal 16 Agustus 1857. Meskipun demikian pemerintahan Sri Mangkunegara IV sudah efektif terhitung mulai 1853.
Semasa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853—1881) negara Mangkunegaran mengalami kemajuan dalam segala bidang, meliputi bidang pemerintahan, bidang kemiliteran, bidang sosial ekonomi, dan sosial budaya. Di bidang pemerintahan Sri Mangkunegara IV meneliti dan mempertegas kembali batas-batas daerah wilayah antara kekuasaan Mangkunegaran dengan hak milik Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Di bidang kemiliteran Sri Mangkunegara IV mewajibkan setiap kerabat Mangkunegaran yang telah dewasa, apabila hendak menjadi pegawai praja, mereka harus terlebih dahulu menjalani pendidikan militer sekurang-kurangnya enam bulan. Di bidang ekonomi Sri Mangkunegara IV menciptakan berbagai usaha komersial untuk menjadi sumber penghasilan negara, selain itu juga dapat membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat Mangunegaran. Usaha-usaha itu antara lain pendirian pabrik gula Tasikmadu di Colomadu, pabrik sisal di Mentotulakan, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik bata dan genting di Kemiri, perkebunan-perkebunan di lereng gunung Lawu sebelah barat, dan usaha kehutanan di Wonogiri. Di bidang sosial budaya Sri Mangkunegara IV merintis kerajinan ukiran kayu, perhiasan, funitur alat-alat rumah tangga, hingga menciptakan berbagai tari, gemelan, wayang kulit, topeng, lukisan, dan karya sastra. Atas kemajuan di berbagai bidang itulah Sri Mangkunegara IV memperoleh anugerah dan bintang penghargaan dari Kerajaan Austria, Jerman, dan Belanda. Kebesaran Mangkunegara IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa dapat dibaca melalui karya sastra yang dihasilkannya, seperti Wedhatama, Tripama, Wirawiyata, Manuhara, Nayakawara, Yogatama, Parimnita, Pralambang Lara Kenya, Langenswara, Sriyatna, Candrarini, Paliatma, Salokatama, dan Darmawasita.
Atas dasar pengalam sebagai pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran itulah kemudian Sri Mangkunegara IV menurunkan ilmu keprajuritannya dengan menciptakan Serat Tripama dan Serat Wirawiyata sebagai pembinaan terhadap para prajurit Mangkunegaran. Penciptaan Tripama dan Wirawiyata tersebut dilatarbelakangi pada perbedaan penafsiran tentang kedekatan Mangkunegaran dengan Pemerintah Hindia Belanda oleh para pangeran prajurit. Padahal, di Kasunanan Surakarta pada waktu seusai perang Pangeran Dipanegara banyak pejabat yang ditangkapi dan di buang ke darah lain, termasuk RT Sastranegara ayahanda Ranggawarsita dan Sinuhun Paku Buwana IV. Agar para pangeran prajurit Legioen Mangkunegaran itu memiliki kerangka acuan pemikiran yang sama tentang hal keprajuritan, maka terciptalah Tripama dan Wirawiyata sebagai doktrin keprajuritan itu. Tripama ditulis dalam bentuk tembang macapat sebanyak 7 bait dalam satu pupuh dhandhanggula, dengan tiga tokoh wayang sebagai teladan: Sumantri, Kumbakrana, dan Basukarna. Sementara itu, Wirawiyata ditulis juga dalam bentuk tembang macapat sebanyak 56 bait dalam dua pupuh Sinom 42 bait dan Pangkur 14 bait. Karya-karya Sri Mangkunegara IV dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan Jawa dapat disebut sebagai karya sastra yang adiluhung dan edipeni.
Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV (1853—1881), selama 28 tahun, negara Mangkunegaran tampil beda dengan penguasa sebelumnya. Perubahan mendasar terdapat pada bidang struktur organisasi birokrasi, kebijakan sebagai penguasa, penataan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan militer. Atas tampilan yang beda dengan penguasa pendahulunya inilah Sri Mangkunegara IV mampu mensejajarkan diri dan berdampingan dengan praja kejawaan besar yang ada pada waktu itu, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, dan Pura Pakualaman. Pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV itu pulalah kehidupan sastra Mangkunegaran berjalan dengan baik, subur, dan semarak, serta penuh dengan gairah. Dari tangan raja kecil ini telah dihasilkan sebanyak 35 buah karya, yang dapat dikelompokkan menjadi: (1) Serat-serat Piwulang (Sastra ajaran), (2) Serat-serat Iber (Surat-surat Undangan), (3) Serat-serat Panembrama (Tembang-tembang penyambutan tamu), dan (4) Serat-serat Rerepen lan Manuhara (Pepatah, teka-teki, ungkapan cinta kasih, dan sebagainya). Sri Mangkunegara IV wafat pada tanggal 8 September 1881 dalam usia 72 tahun. Jasat beliau dimakamkan di Astana Giri Layu yang terletak di lereng gunung Lawu, kurang lebih 30 Km di sebelah timur kota Surakarta.
[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006—2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional (Peneliti, Arsiparis, Pustakawan) di lingkungan Pusat Bahasa.]
Kado Ulang Tahun Buat Sang Penyair
Drs. Solihin
http://www.sumbawanews.com/
Saat tangis pertamamu mengusik sang waktu dikaki bukit Jelangu
Kuda-kuda liar meringkik-ringkik
Air lubuk gemericik manja dicumbui camar
Sementara bayu mendesah lirih diantara ketiak daun durian muda
Diatas pematang , serunai padi lantunkan syair-syair tentang kelahiran
Kini, seratus empat puluh musim telah kau lewati
Namun pipi keriputmu tak pernah resah menyapa waktu
Dihari yang ke-Duapuluh lima ribu dua ratus-mu ini
Semoga Rabb menggelarkan sajadah panjang untukmu ,sampai ke ujung waktu (ihin)
Dua hari menjelang keberangkatannya Ke Jakarta untuk menghadiri undangan dalam event penyair tingkat Dunia Jakarta Internasional Leterary Festival (JIL-Fest),usai kami menghadiri Musyawarah Seniman Sumbawa, aku bersama sahabatku (Zubair Bonto Bahari-Lombok Post) bertamu kerumahnya yang sederhana dan masih telanjang lantaran rumah yang pertama habis dilalap sijago merah beberapa waktu yang lalu hingga sebagian besar buah karyanya yang berharga habis terbakar inilah yang sangat mengiris-ngiris hatiku.
Meski ini baru kali pertama aku menjabat tangannya namun nyanyian jiwanya telah melekat erat didinding beranda kalbuku. H.Dinullah Rayes, seorang penyair dari dusun kecil (KalaBeso) dikaki bukit jelangu, lahir tujuh puluh tahun yang lalu kini namanya sudah melegenda sejajar dengan penyair-penyair nusantara seangkatannya seperti Taufiq Ismail, Sutardji Choulsum Bahri,Korrie Layun Lampan,D.Zawawi Imron,Diah Hadaning,Bambang Widiatmoko dan lain-lain.
Dengan decak kagum aku coba menyelami wajah sang legenda yang sudah mulai keriput dimakan usia,bagai cermin tempat aku berkaca,karakter merendah jauh dari tinggi hati,tutur kata yang halus menggambarkan warna jiwanya yang begitu matang, mungkin inilah hasil dari perenungannya yang panjang, mengutak-atik rasa nurani hingga terangkai menjadi pintalan-pintalan syair puisi yang sanggup menubruk-nubruk dinding hati.Dia adalah seorang Bapak dari sebuah generasi, meski bukan Nabi tapi pantas untuk kuteladani.
H. Dinullah Rayes memulai kariernya sebagai seorang penyair sejak tahun 1956 saat beliau menjadi Guru sekolah Dasar.Untuk mengasah kecerdasannya dalam menulis Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Setamat pendidikan Sekolah Guru selama 4 tahun beliau belajar secara otodidak. Bakat sastranya terus diasah dengan selfstudy sejak beliau masih disekolah Rakyat sambil berlangganan majalah-majalah yang bernafaskan Sastra seperti Mimbar Indonesia, Siasat/Ruang Gelanggang, Budaya Jaya dan lain-lain walaupun mendapatkannya secara eceran.
Saking rakusnya, karya pengarang caliber dunia seperti Shakespeare, Voltire, Lord Byron, Victor Hugo,HB. Yassin, Taslim Alim, Ali Audah, Omar Khayyam, Jalaluddin Rummi dan lain-lain tak pernah luput dari buruannya. Barangkali itulah yang banyak memperkaya wawasannya tentang kesusastraan.
Selepas menjadi Guru,beliau dialih tugaskan sebagai Kabin Kebudayaan Kabupaten Sumbawa di Sumbawa Besar dan pernah juga menjabat sebagai Kepala Seksi Kebudayaan Kandep DIKBUD kabupaten Sumbawa Hingga menjelang masa pensiunnya.
Aktivitas menulisnya mulai eksis sejak 1959 meliputi genre puisi, cerpen, esai,naskah drama, makalah kesenian dan kebudayaan. Tulisannyapun banyak tersebar dimedia masa Baik dalam mupun luar negeri seperti Dewan sastra Malaysia, Bahana Brunai Darussalam, Horison, Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhammadiyah, Minggu Pagi, Simponi, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forim, Tibun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara serta beberapa majalah puisi terbitan Mataram. Antologi Puisi Tunggalnya dan beberapa puisi-puisi lainnya terhimpun dalam antologi puisi karya penyair Indonesia lainnya.
Dari karya-karya kreatifnya itulah Dinullah Rayes ditempatkan sebagai salah satu penyair tanah air yang dicatat namanya dalam barisan satrawan Indonesia. Sehingga tak sedikit Undangan dan penghargaan yang diterimanya. Ia sering diundang diberbagai forum kongres kebudayaan, bahasa, atau kesenian baik sekala Nasional Maupun Internasional seperti memberikan sambutan mewakili sastrawan Indonesia pada pertemuan sastrawan tingkat ASEAN. Ia juga pernah bergabung dengan Taufiq Ismail dkk dimajalah Horison (penyair berbicara siswa bertanya). Pada Nopember 2000 memenuhi undangan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) untuk menghadiri Hari puisi Nasional XV dilangkawi Malaysia.
Atas Usulan DKJ sebagai seniman satrawan berprestasi pada tahun 1996, penyair yang dipercaya sebagai sekretaris Umum Lembaga Adat Tana Samawa ini menunaikan Ibadah Haji atas Rekomendasi Menteri Agama RI. Selain itu, Piagam, hadiah seni dan Lencana karya satya tingkat III dari menteri kebudayaan dan pariwisata bidang sastra dan Budaya, bahkan Mantan Ketua Umum Dewan Kesenian Sumbawa ini pernah diundang dalam Wisuda Gelar Kehormatan dari American University of Hawai. Sampai sekarangpun Beliau masih dipercaya oleh presiden melalui Ketua Dewan Kesenian Nasional sebagai kordinator Bidang imfomasi dan Komunikasi Dewan Kesenian Nasional Indonesia. Mengenang Sejarah perjalanan Karier Seorang Dinullah Rayes seakan tak pernah habis-habis meski baru kali ini aku bertemu, tiba-tiba aku tersentak dari Lamunan saat bibir tuanya yang mulai berkerut membacakan syair puisi DOA DALAM DO’A diatas mimbar acara pembukaan Musyawarah Seniman Sumbawa. Tak ada suara gemerisik, anginpun seakan mati, sepi dan hening.
Usai shalat malam / Aku mohon pada Tuhan Mahasegala / Setangkai bunga harum mewangi / Dia beri aku kaktus berduri / akupun mohon pula / binatang anggun jenaka / Dia sodorkan aku ulat berbulu gatal / aku protes,teramat kecewa tentang ketidakadilan-Nya / Dia senyum lewat kerdipan bintang-bintang / Dia tertawa lewat sinar matahari pagi / Kaktus berduri itu melahirkan bunga seindah pelangi / ulat berbulu itu jelma kupu-kupu seindah mata bayi / duh maafkan hamba Tuhan / Kau anugerahkan aku yang ku perlukan pada waktunya / kau tolak yang kuharapkan pada waktunya / itulah jalan pikiran- perasaan-Mu / pada insan ikhlas bila memohon / sarat pohon ampunan.
Puisi tersebut sangat kental dengan nuansa ketuhanan, pengembaraan jiwa, perenungan yang terdalam serta pemahaman tentang hakikat dari kudrat tuhan yang sangat kontradiksi dengan keinginan manusia,bagi seorang Dinullah Rayes yang sejak mulai bernafas dididik dalam lingkungan keluarga yang sangat religius tak mengherankan jika sentuhan –sentuhan tentang ketuhanan amat menggetarkan jiwa. Bagi penikmat Puisi seperti saya, bagai menjilat setetes embun ditengah padang yang kerontang lantaran dahaga, paparanya mampu sirami gejolak bathin akan kehidupan Dunia yang begini liar. Setangkai bunga harum mewangi / Dia beri aku kaktus berduri, tidak hanya sekedar bermain dengan symbol-symbol flora dan fauna tapi jauh mengandung rahasia-rahasia tentang kenikmatan dan kesulitan hidup seorang hamba diatas punggung dunia menjadi ujian yang dibaliknya tersimpan sejuta rahmat, seperti Ia berujar : Kaktus berduri itu melahirkan bunga seindah pelangi / ulat berbulu itu jelma kupu-kupu seindah mata bayi.
Dinullah Rayes tak lebih dari seorang Muslim yang telah berumur, sudah kenyang mengunyah manis pahitnya tingkah laku dunia sehingga dia amat bijak dan peka dengan sentuhan rahasia rahmat Tuhan. Baginya Anugerah yang diberikan Tuhan bukanlah limpahan rahmat tanpa batas melainkan apa yang Ia mohonkan kepada-Nya adalah sesuatu yang Ia perlukan, wajar kalau Tuhan menolak apa yang kita harapkan karena kita tidak memerlukan : duh maafkan hamba Tuhan / Kau anugerahkan aku yang ku perlukan pada waktunya / kau tolak yang kuharapkan pada waktunya / itulah jalan pikiran- perasaan-Mu.
Bagiku, Dinullah Rayes bukan lagi sekedar penyair atau satrawan yang pintar merangkai Aksara bahkan lebih dari itu, ketajaman mata hatinya yang disampaikan secara lugas meski hanya melalui untaian-untaian syair puisi namun rabaannya terasa sampai kerelung hati. Pantas kalau seorang sahabatku menjulukinya “ penyair Muballigh”. Barangkali inilah sisi yang paling disukai oleh penikmat puisi didaratan Malaysia dan Brunai sehingga tak salah apabila Dinullah Rayes amat populis di dua Negara melayu itu. Klimaks dari puisi ini, Dinullah Rayes berujar : pada insan ikhlas bila memohon / sarat pohon ampunan. Barangkali tidak banyak orang yang mengembara dalam pikiran bisa sampai pada pemahaman seperti ini. Baginya tak ada yang lebih tinggi derajatnya dalam beribadah kepada Tuhan kecuali karena Ihlas. Hal ini menandakan bahwa kematangan jiwa sang penyair sudah tiba pada limit umur yang teduh dan iman yang tidak lagi rapuh padahal Ia bukan seorang Ulama tulen hanya anak seorang kiai desa yang memahami islam dalam format yang sederhana namun Ia mampu mengembara dalam alam sufistik bag Jalaluddin Rummi ataupun adawiyah.
Pada bulan desember ini genap sudah 70 musim kemarau dan penghujan Ia lalui sejak nafas pertamanya Ia hirup saat pertama kali Ia menyapa Dunia ini dengan tangisannya. Meskipun ketika aku Tanya Ia tidak tahu hari kelahirannya secara pasti namun itu bukanlah hal yang penting.Bagiku Dinullah Rayes adalah penyair Besar dizaman ini apalagi Ia putra Samawa asli tapi Ia sudah mampu mengangkat nama Samawa ditataran penyair Nasional. Kelak Ia akan menjadi bagian dari sejarah Sastrawan dan penyair Indonesia.
Namun, sekali lagi yang mengiris-iris hatiku sebagian besar karya-karya monumentalnya yang sedianya akan menjadi warisan habis terbakar seharusnya Ia sudah mempunyai museum atau perpustakaan yang khusus menyimpan karya-karyanya. Barangkali saya ataupun kita semua orang-orang kerdil yang hanya mampu mengaguminya namun tidak menghargainya. Wahai Pemda Sumbawa ini bagianmu.
Drs. Solihin, Guru SMP Negeri 1 Utan
http://www.sumbawanews.com/
Saat tangis pertamamu mengusik sang waktu dikaki bukit Jelangu
Kuda-kuda liar meringkik-ringkik
Air lubuk gemericik manja dicumbui camar
Sementara bayu mendesah lirih diantara ketiak daun durian muda
Diatas pematang , serunai padi lantunkan syair-syair tentang kelahiran
Kini, seratus empat puluh musim telah kau lewati
Namun pipi keriputmu tak pernah resah menyapa waktu
Dihari yang ke-Duapuluh lima ribu dua ratus-mu ini
Semoga Rabb menggelarkan sajadah panjang untukmu ,sampai ke ujung waktu (ihin)
Dua hari menjelang keberangkatannya Ke Jakarta untuk menghadiri undangan dalam event penyair tingkat Dunia Jakarta Internasional Leterary Festival (JIL-Fest),usai kami menghadiri Musyawarah Seniman Sumbawa, aku bersama sahabatku (Zubair Bonto Bahari-Lombok Post) bertamu kerumahnya yang sederhana dan masih telanjang lantaran rumah yang pertama habis dilalap sijago merah beberapa waktu yang lalu hingga sebagian besar buah karyanya yang berharga habis terbakar inilah yang sangat mengiris-ngiris hatiku.
Meski ini baru kali pertama aku menjabat tangannya namun nyanyian jiwanya telah melekat erat didinding beranda kalbuku. H.Dinullah Rayes, seorang penyair dari dusun kecil (KalaBeso) dikaki bukit jelangu, lahir tujuh puluh tahun yang lalu kini namanya sudah melegenda sejajar dengan penyair-penyair nusantara seangkatannya seperti Taufiq Ismail, Sutardji Choulsum Bahri,Korrie Layun Lampan,D.Zawawi Imron,Diah Hadaning,Bambang Widiatmoko dan lain-lain.
Dengan decak kagum aku coba menyelami wajah sang legenda yang sudah mulai keriput dimakan usia,bagai cermin tempat aku berkaca,karakter merendah jauh dari tinggi hati,tutur kata yang halus menggambarkan warna jiwanya yang begitu matang, mungkin inilah hasil dari perenungannya yang panjang, mengutak-atik rasa nurani hingga terangkai menjadi pintalan-pintalan syair puisi yang sanggup menubruk-nubruk dinding hati.Dia adalah seorang Bapak dari sebuah generasi, meski bukan Nabi tapi pantas untuk kuteladani.
H. Dinullah Rayes memulai kariernya sebagai seorang penyair sejak tahun 1956 saat beliau menjadi Guru sekolah Dasar.Untuk mengasah kecerdasannya dalam menulis Beliau tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Setamat pendidikan Sekolah Guru selama 4 tahun beliau belajar secara otodidak. Bakat sastranya terus diasah dengan selfstudy sejak beliau masih disekolah Rakyat sambil berlangganan majalah-majalah yang bernafaskan Sastra seperti Mimbar Indonesia, Siasat/Ruang Gelanggang, Budaya Jaya dan lain-lain walaupun mendapatkannya secara eceran.
Saking rakusnya, karya pengarang caliber dunia seperti Shakespeare, Voltire, Lord Byron, Victor Hugo,HB. Yassin, Taslim Alim, Ali Audah, Omar Khayyam, Jalaluddin Rummi dan lain-lain tak pernah luput dari buruannya. Barangkali itulah yang banyak memperkaya wawasannya tentang kesusastraan.
Selepas menjadi Guru,beliau dialih tugaskan sebagai Kabin Kebudayaan Kabupaten Sumbawa di Sumbawa Besar dan pernah juga menjabat sebagai Kepala Seksi Kebudayaan Kandep DIKBUD kabupaten Sumbawa Hingga menjelang masa pensiunnya.
Aktivitas menulisnya mulai eksis sejak 1959 meliputi genre puisi, cerpen, esai,naskah drama, makalah kesenian dan kebudayaan. Tulisannyapun banyak tersebar dimedia masa Baik dalam mupun luar negeri seperti Dewan sastra Malaysia, Bahana Brunai Darussalam, Horison, Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhammadiyah, Minggu Pagi, Simponi, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forim, Tibun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara serta beberapa majalah puisi terbitan Mataram. Antologi Puisi Tunggalnya dan beberapa puisi-puisi lainnya terhimpun dalam antologi puisi karya penyair Indonesia lainnya.
Dari karya-karya kreatifnya itulah Dinullah Rayes ditempatkan sebagai salah satu penyair tanah air yang dicatat namanya dalam barisan satrawan Indonesia. Sehingga tak sedikit Undangan dan penghargaan yang diterimanya. Ia sering diundang diberbagai forum kongres kebudayaan, bahasa, atau kesenian baik sekala Nasional Maupun Internasional seperti memberikan sambutan mewakili sastrawan Indonesia pada pertemuan sastrawan tingkat ASEAN. Ia juga pernah bergabung dengan Taufiq Ismail dkk dimajalah Horison (penyair berbicara siswa bertanya). Pada Nopember 2000 memenuhi undangan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) untuk menghadiri Hari puisi Nasional XV dilangkawi Malaysia.
Atas Usulan DKJ sebagai seniman satrawan berprestasi pada tahun 1996, penyair yang dipercaya sebagai sekretaris Umum Lembaga Adat Tana Samawa ini menunaikan Ibadah Haji atas Rekomendasi Menteri Agama RI. Selain itu, Piagam, hadiah seni dan Lencana karya satya tingkat III dari menteri kebudayaan dan pariwisata bidang sastra dan Budaya, bahkan Mantan Ketua Umum Dewan Kesenian Sumbawa ini pernah diundang dalam Wisuda Gelar Kehormatan dari American University of Hawai. Sampai sekarangpun Beliau masih dipercaya oleh presiden melalui Ketua Dewan Kesenian Nasional sebagai kordinator Bidang imfomasi dan Komunikasi Dewan Kesenian Nasional Indonesia. Mengenang Sejarah perjalanan Karier Seorang Dinullah Rayes seakan tak pernah habis-habis meski baru kali ini aku bertemu, tiba-tiba aku tersentak dari Lamunan saat bibir tuanya yang mulai berkerut membacakan syair puisi DOA DALAM DO’A diatas mimbar acara pembukaan Musyawarah Seniman Sumbawa. Tak ada suara gemerisik, anginpun seakan mati, sepi dan hening.
Usai shalat malam / Aku mohon pada Tuhan Mahasegala / Setangkai bunga harum mewangi / Dia beri aku kaktus berduri / akupun mohon pula / binatang anggun jenaka / Dia sodorkan aku ulat berbulu gatal / aku protes,teramat kecewa tentang ketidakadilan-Nya / Dia senyum lewat kerdipan bintang-bintang / Dia tertawa lewat sinar matahari pagi / Kaktus berduri itu melahirkan bunga seindah pelangi / ulat berbulu itu jelma kupu-kupu seindah mata bayi / duh maafkan hamba Tuhan / Kau anugerahkan aku yang ku perlukan pada waktunya / kau tolak yang kuharapkan pada waktunya / itulah jalan pikiran- perasaan-Mu / pada insan ikhlas bila memohon / sarat pohon ampunan.
Puisi tersebut sangat kental dengan nuansa ketuhanan, pengembaraan jiwa, perenungan yang terdalam serta pemahaman tentang hakikat dari kudrat tuhan yang sangat kontradiksi dengan keinginan manusia,bagi seorang Dinullah Rayes yang sejak mulai bernafas dididik dalam lingkungan keluarga yang sangat religius tak mengherankan jika sentuhan –sentuhan tentang ketuhanan amat menggetarkan jiwa. Bagi penikmat Puisi seperti saya, bagai menjilat setetes embun ditengah padang yang kerontang lantaran dahaga, paparanya mampu sirami gejolak bathin akan kehidupan Dunia yang begini liar. Setangkai bunga harum mewangi / Dia beri aku kaktus berduri, tidak hanya sekedar bermain dengan symbol-symbol flora dan fauna tapi jauh mengandung rahasia-rahasia tentang kenikmatan dan kesulitan hidup seorang hamba diatas punggung dunia menjadi ujian yang dibaliknya tersimpan sejuta rahmat, seperti Ia berujar : Kaktus berduri itu melahirkan bunga seindah pelangi / ulat berbulu itu jelma kupu-kupu seindah mata bayi.
Dinullah Rayes tak lebih dari seorang Muslim yang telah berumur, sudah kenyang mengunyah manis pahitnya tingkah laku dunia sehingga dia amat bijak dan peka dengan sentuhan rahasia rahmat Tuhan. Baginya Anugerah yang diberikan Tuhan bukanlah limpahan rahmat tanpa batas melainkan apa yang Ia mohonkan kepada-Nya adalah sesuatu yang Ia perlukan, wajar kalau Tuhan menolak apa yang kita harapkan karena kita tidak memerlukan : duh maafkan hamba Tuhan / Kau anugerahkan aku yang ku perlukan pada waktunya / kau tolak yang kuharapkan pada waktunya / itulah jalan pikiran- perasaan-Mu.
Bagiku, Dinullah Rayes bukan lagi sekedar penyair atau satrawan yang pintar merangkai Aksara bahkan lebih dari itu, ketajaman mata hatinya yang disampaikan secara lugas meski hanya melalui untaian-untaian syair puisi namun rabaannya terasa sampai kerelung hati. Pantas kalau seorang sahabatku menjulukinya “ penyair Muballigh”. Barangkali inilah sisi yang paling disukai oleh penikmat puisi didaratan Malaysia dan Brunai sehingga tak salah apabila Dinullah Rayes amat populis di dua Negara melayu itu. Klimaks dari puisi ini, Dinullah Rayes berujar : pada insan ikhlas bila memohon / sarat pohon ampunan. Barangkali tidak banyak orang yang mengembara dalam pikiran bisa sampai pada pemahaman seperti ini. Baginya tak ada yang lebih tinggi derajatnya dalam beribadah kepada Tuhan kecuali karena Ihlas. Hal ini menandakan bahwa kematangan jiwa sang penyair sudah tiba pada limit umur yang teduh dan iman yang tidak lagi rapuh padahal Ia bukan seorang Ulama tulen hanya anak seorang kiai desa yang memahami islam dalam format yang sederhana namun Ia mampu mengembara dalam alam sufistik bag Jalaluddin Rummi ataupun adawiyah.
Pada bulan desember ini genap sudah 70 musim kemarau dan penghujan Ia lalui sejak nafas pertamanya Ia hirup saat pertama kali Ia menyapa Dunia ini dengan tangisannya. Meskipun ketika aku Tanya Ia tidak tahu hari kelahirannya secara pasti namun itu bukanlah hal yang penting.Bagiku Dinullah Rayes adalah penyair Besar dizaman ini apalagi Ia putra Samawa asli tapi Ia sudah mampu mengangkat nama Samawa ditataran penyair Nasional. Kelak Ia akan menjadi bagian dari sejarah Sastrawan dan penyair Indonesia.
Namun, sekali lagi yang mengiris-iris hatiku sebagian besar karya-karya monumentalnya yang sedianya akan menjadi warisan habis terbakar seharusnya Ia sudah mempunyai museum atau perpustakaan yang khusus menyimpan karya-karyanya. Barangkali saya ataupun kita semua orang-orang kerdil yang hanya mampu mengaguminya namun tidak menghargainya. Wahai Pemda Sumbawa ini bagianmu.
Drs. Solihin, Guru SMP Negeri 1 Utan
Global-Lokal Kebudayaan Indonesia
Asarpin *
http://www.lampungpost.com/
Munculnya serentetan diskusi dan perdebatan tentang globalitas dan lokalitas belakangan ini bisa dianggap sebagai gejala lanjutan—kalau bukan fenomen yang sama—dari perdebatan lama tentang timur dan barat yang sering dipenting-pentingkan itu. Tak terhitung banyaknya kegiatan ilmiah yang telah diadakan untuk membicarakan kedua tema ini.
Ratusan buku dan ribuan makalah telah dihasilkan.
Yang unik dari serentetan kegiatan ilmiah tentang global-lokal di Indonesia yang pernah saya ikuti atau minimal saya baca dari sejumlah bahan tertulis, ada kekhawatiran berlebihan terhadap munculnya semangat primordialisme-etnonasionalisme.
Gejala ini saya kira tak hanya terjadi di Indonesia. Berdasar pengamatan Rita Abrahamsen (2004), kebangkitan budaya lokal di sejumlah negara Asia-Afrika-dan Amerika Latin disebabkan oleh kampanye global itu sendiri.
Lokalitas ditempatkan sebagai isu strategis dalam kampanye dan agenda penting globalisasi. Yang lokal tidak terbunuh atau dibunuh, malah sengaja dibiarkan, dimanfaatkan, dipandang, disibak, diamati, tetapi potensi-potensi yang bakal menimbulkan resistensi perlahan dijinakkan lewat kemitraan swasta, good governance, otonomi daerah, dan sebagainya.
Piet Soeprijadi, mantan konsultan good governance untuk Indonesia, pernah bilang: good governance di Indonesia tidak diterapkan secara bulat seperti yang dijarkan dari Barat sehingga di Indonesia terdapat unsur lokalnya. Strategi pembangunan global menurut mereka seharusnya tidak menghambat budaya setempat, tapi justru menggali nilai-nilai lokal yang akan menopang keberlangsungan agenda tersebut. Bagi pradigma baru ini, perubahan tidak dapat dipaksakan dari luar—negara dalam hal ini termasuk berada di luar—melalui agensi pembangunan semata. Namun akan lebih efektif hanya jika konsepnya berakar kuat pada persoalan local genious.
Sepintas, saran-saran tersebut sangat menggoda dan menjanjikan perubahan yang lebih baik. Hasrat untuk membangun masyarakat dunia ketiga dengan memasukkan nilai-nilai lokal dan pribumi dalam semua wilayah (ekosob maupun sipol) akan diabsahkan oleh tidak hanya gerakan sayap “politik kanan”, bahkan oleh sayap “politik kiri” di masa sekarang ini.
Bahasa dan diksi yang mereka pilih memang bertujuan untuk memikat. Imaji bahasanya sangat kuat dan menyentuh, dan klaimnya untuk pemberdayaan masyarakat lokal, nilai-nilai lokal, kearifan lokal, tradisi setempat, telah meluncurkan energi, tetapi faktanya ia tak lebih dari khayalan kosong. Analisisnya mengenai agenda untuk “kembali kepada nilai lokal” terkesan melingkar-lingkar dan selalu kembali ke satu faktor tunggal, yakni neoliberalisasi ekonomi-politik.
Penggunaan istilah lokal dan pribumi dalam kertas putih good governance bisa dilihat sebagai ilustrasi “bujuk rayu pembangunan”. Pada saat sekarang ini, apa yang dinamakan tata kelola yang baik itu tak lebih dari mitos dan siasat global yang menggunakan baju lokal. Pengulangan terus-menerus mengenai kekhasan nilai-nilai lokal dan penghormatan pada tradisi dan kebudayan pribumi, telah merekomendasikan agenda ini sekadar locus classicus.
Lantas, bagaimana situasi kebudayaan Indonesia sendiri? Dinas Pariwisata ternyata punya andil besar mempolitisasi kebudayaan-kebudayaan lokal hingga sebagian budaya lokal dikenal luas, diminati, tapi sekaligus kehilangan basis perlawanannya ketika berhadapan dengan kuasa-global. Ketika sastra daerah telah jatuh dalam genggaman kusa-modal, sebagaimana lewat program-program pariwisata, sastra daerah tampak menjadi kerdil dan tak jarang jadi alat mengukuhkan identitas primordial yang sempit demi melanggengkan jabatan. Jika ini yang terjadi, pantaslah bila sebagian kalangan seniman dan budayawan mengambil jarak bahkan menjadi berhadap-hadapan dengan lembaga ini.
Sementara itu, Pusat Bahasa dan kantor bahasa propinsi mirip polisi linguistik yang menggunakan pendekatan senyum yang khas terhadap berbagai bahasa daerah. Ada kalangan yang terang-terangan menyalahkan lembaga ini sebagai biang kerok bagi pertumbuhan bahasa daerah, tapi ada yang membelanya dengan melempar kesalahan pada masyarakat pemakai bahasa daerah sendiri yang pantas disalahkan.
Jauh sebelum 1998, ajakan untuk kembali menggali semangat lokalitas sudah sering terdengar, terutama di kalangan pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi. Sementara di kalangan penggiat sastra hal ini nyaris mengalami titik jenuh karena isu macam ini telah nyaring terdengar sejak Polemik Kebudayaan 1930-an, munculnya ajakan agar sastrawan kembali ke desa tahun 1950-an, sampai perdebatan sastra kontekstual 1980-an dan lahirnya serentan diskusi seputar posmodernisme di awal 1990-an.
Tapi sejak 1998, semua kalangan seperti serentak terpanggil lagi untuk menyuarakan dan menggali kearifan lokal dengan berbagai macam istilah dan pendekatan. Kalau suatu organisasi atau ada yang mau mendirikan sebuah lembaga tapi tidak memasukkan kata ”kearifan lokal” sebagai salah satu agenda kerjanya, atau metode pendekatan yang digunakan, rasanya kurang keren dan bakal kena gugat. Apa yang lokal dianggap selalu arif, dan karena itu dianggap pula alternatif.
Di beberapa tempat muncul keinginan melakukan standardisasi—sekarang ada istilah konservasi yang sebetulnya istilah lama tapi ngetop kembali sejak didengungkannya isu pemanasan global. Bahasa daerah mesti distandarkan, dikonservasi. Padahal yang namanya budaya lokal tidak cuma itu, lagi pula hal itu tidak cocok distandarkan, sebab standardisasi tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif akan terancam jika distandarkan.
Di beberapa daerah di Indonesia terjadi proses penguatan identitas lokal seiring dengan proses pembusukan modernitas dan kekhawatiran berlebihan terhadap dampak globalisasi ekonomi. Sebagian pemerhati budaya mengkhawatirkan jika globalisasi akan menggerus budaya lokal, tapi sebagian lain justru berkata tidak.
Anthony Giddens termasuk salah seorang pemikir yang tidak sependapat dengan anggapan tentang hancurnya budaya lokal sebagai akibat dari globalisasi. Menurut Giddens, di mana-mana sekarang kebudayaan lokal dihidupkan lagi justru ketika sebagian besar negara sedang memasuki arus globalisasi.
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana sikap dan respon kaum cendekiawan terhadap soal global-lokal yang marak tersebut? Pernyataan Henri Chambert-Loir berikut mungkin menarik jadi bahan diskusi, kalau bukan sebuah gambaran dari sebuah jawaban kecil yang minta perhatian.
Loir bilang: Sudah barang tentu kiranya orang Nusantara kini perlu sekali mengenal berbagai tradisi, kalau ingin mengenal masa lalu mereka; perlu pula mereka mencari inspirasi di situ kalau ingin membentuk suatu daya ketahanan budaya untuk membendung arus globalisasi. Namun, sebenarnya minat terhadap tradisi-tradisi sangat tipis, kalau pun ada, disebabkan aneka ragam alasan, di antaranya hasrat kaum cendekiawan yang sudah seabad tak kunjung padam untuk berkiblat ke Barat sebagai simbol dan sumber modernitas.
Untuk menemukan satu lagi kemungkinan jawaban sementara, saya harus meminjam sejumlah gagasan Frantz Fanon dan George Junus Aditjondro lewat “tiga fase respons cendekiawan bangsa terjajah (atau bangsa yang pernah terjajah)” terhadap “politik kebudayaan” global dan nasional. Fase pertama, para cendekiawan menerima faham bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau bahwa kebudayaan mereka sama sekali tidak punya arti dibandingkan kebudayaan si Tuan Penjajah. Dilandasi sikap ini mereka berusaha mengambil alih kebudayaan bangsa penjajah secara total, asimilasi total (baca: asimilasi tak bersyarat).
Fase kedua, ada cendekiawan lokal yang mulai merasa terganggu atas nihilisasi kebudayaan (asli) mereka. Lantas mereka bereaksi secara bertolak-belakang dari fase pertama. Mereka berusaha menghargai kebudayaan mereka yang asli. Namun, karena mereka sudah lama tercerabut dari mahia mereka sendiri, mereka sudah tak bisa lagi menghayati kebudayaan mereka dari sudut nilai intrinsik kebudayaan itu.
Maka pilihannya mau tak mau adalah menggali sisa-sisa kebudayaan lama untuk diselamatkan dengan menggunakan barometer yang dipinjam tanpa disadari dari kebudayaan dominan. Sikap ini dengan dikritik Fanon melalui sindiran yang halus: tadinya kita berusaha meludahkan diri kita ke langit, tapi sekarang kita terpercik oleh air liur kita sendiri yang sedang jatuh kembali ke bumi.
Fase ketiga, fase perjuangan. Yaitu kaum cendekiawan berusaha menciptakan suatu kebudayaan tandingan, kebudayaan perlawanan.
*) Sastrawan Lampung
http://www.lampungpost.com/
Munculnya serentetan diskusi dan perdebatan tentang globalitas dan lokalitas belakangan ini bisa dianggap sebagai gejala lanjutan—kalau bukan fenomen yang sama—dari perdebatan lama tentang timur dan barat yang sering dipenting-pentingkan itu. Tak terhitung banyaknya kegiatan ilmiah yang telah diadakan untuk membicarakan kedua tema ini.
Ratusan buku dan ribuan makalah telah dihasilkan.
Yang unik dari serentetan kegiatan ilmiah tentang global-lokal di Indonesia yang pernah saya ikuti atau minimal saya baca dari sejumlah bahan tertulis, ada kekhawatiran berlebihan terhadap munculnya semangat primordialisme-etnonasionalisme.
Gejala ini saya kira tak hanya terjadi di Indonesia. Berdasar pengamatan Rita Abrahamsen (2004), kebangkitan budaya lokal di sejumlah negara Asia-Afrika-dan Amerika Latin disebabkan oleh kampanye global itu sendiri.
Lokalitas ditempatkan sebagai isu strategis dalam kampanye dan agenda penting globalisasi. Yang lokal tidak terbunuh atau dibunuh, malah sengaja dibiarkan, dimanfaatkan, dipandang, disibak, diamati, tetapi potensi-potensi yang bakal menimbulkan resistensi perlahan dijinakkan lewat kemitraan swasta, good governance, otonomi daerah, dan sebagainya.
Piet Soeprijadi, mantan konsultan good governance untuk Indonesia, pernah bilang: good governance di Indonesia tidak diterapkan secara bulat seperti yang dijarkan dari Barat sehingga di Indonesia terdapat unsur lokalnya. Strategi pembangunan global menurut mereka seharusnya tidak menghambat budaya setempat, tapi justru menggali nilai-nilai lokal yang akan menopang keberlangsungan agenda tersebut. Bagi pradigma baru ini, perubahan tidak dapat dipaksakan dari luar—negara dalam hal ini termasuk berada di luar—melalui agensi pembangunan semata. Namun akan lebih efektif hanya jika konsepnya berakar kuat pada persoalan local genious.
Sepintas, saran-saran tersebut sangat menggoda dan menjanjikan perubahan yang lebih baik. Hasrat untuk membangun masyarakat dunia ketiga dengan memasukkan nilai-nilai lokal dan pribumi dalam semua wilayah (ekosob maupun sipol) akan diabsahkan oleh tidak hanya gerakan sayap “politik kanan”, bahkan oleh sayap “politik kiri” di masa sekarang ini.
Bahasa dan diksi yang mereka pilih memang bertujuan untuk memikat. Imaji bahasanya sangat kuat dan menyentuh, dan klaimnya untuk pemberdayaan masyarakat lokal, nilai-nilai lokal, kearifan lokal, tradisi setempat, telah meluncurkan energi, tetapi faktanya ia tak lebih dari khayalan kosong. Analisisnya mengenai agenda untuk “kembali kepada nilai lokal” terkesan melingkar-lingkar dan selalu kembali ke satu faktor tunggal, yakni neoliberalisasi ekonomi-politik.
Penggunaan istilah lokal dan pribumi dalam kertas putih good governance bisa dilihat sebagai ilustrasi “bujuk rayu pembangunan”. Pada saat sekarang ini, apa yang dinamakan tata kelola yang baik itu tak lebih dari mitos dan siasat global yang menggunakan baju lokal. Pengulangan terus-menerus mengenai kekhasan nilai-nilai lokal dan penghormatan pada tradisi dan kebudayan pribumi, telah merekomendasikan agenda ini sekadar locus classicus.
Lantas, bagaimana situasi kebudayaan Indonesia sendiri? Dinas Pariwisata ternyata punya andil besar mempolitisasi kebudayaan-kebudayaan lokal hingga sebagian budaya lokal dikenal luas, diminati, tapi sekaligus kehilangan basis perlawanannya ketika berhadapan dengan kuasa-global. Ketika sastra daerah telah jatuh dalam genggaman kusa-modal, sebagaimana lewat program-program pariwisata, sastra daerah tampak menjadi kerdil dan tak jarang jadi alat mengukuhkan identitas primordial yang sempit demi melanggengkan jabatan. Jika ini yang terjadi, pantaslah bila sebagian kalangan seniman dan budayawan mengambil jarak bahkan menjadi berhadap-hadapan dengan lembaga ini.
Sementara itu, Pusat Bahasa dan kantor bahasa propinsi mirip polisi linguistik yang menggunakan pendekatan senyum yang khas terhadap berbagai bahasa daerah. Ada kalangan yang terang-terangan menyalahkan lembaga ini sebagai biang kerok bagi pertumbuhan bahasa daerah, tapi ada yang membelanya dengan melempar kesalahan pada masyarakat pemakai bahasa daerah sendiri yang pantas disalahkan.
Jauh sebelum 1998, ajakan untuk kembali menggali semangat lokalitas sudah sering terdengar, terutama di kalangan pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi. Sementara di kalangan penggiat sastra hal ini nyaris mengalami titik jenuh karena isu macam ini telah nyaring terdengar sejak Polemik Kebudayaan 1930-an, munculnya ajakan agar sastrawan kembali ke desa tahun 1950-an, sampai perdebatan sastra kontekstual 1980-an dan lahirnya serentan diskusi seputar posmodernisme di awal 1990-an.
Tapi sejak 1998, semua kalangan seperti serentak terpanggil lagi untuk menyuarakan dan menggali kearifan lokal dengan berbagai macam istilah dan pendekatan. Kalau suatu organisasi atau ada yang mau mendirikan sebuah lembaga tapi tidak memasukkan kata ”kearifan lokal” sebagai salah satu agenda kerjanya, atau metode pendekatan yang digunakan, rasanya kurang keren dan bakal kena gugat. Apa yang lokal dianggap selalu arif, dan karena itu dianggap pula alternatif.
Di beberapa tempat muncul keinginan melakukan standardisasi—sekarang ada istilah konservasi yang sebetulnya istilah lama tapi ngetop kembali sejak didengungkannya isu pemanasan global. Bahasa daerah mesti distandarkan, dikonservasi. Padahal yang namanya budaya lokal tidak cuma itu, lagi pula hal itu tidak cocok distandarkan, sebab standardisasi tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif akan terancam jika distandarkan.
Di beberapa daerah di Indonesia terjadi proses penguatan identitas lokal seiring dengan proses pembusukan modernitas dan kekhawatiran berlebihan terhadap dampak globalisasi ekonomi. Sebagian pemerhati budaya mengkhawatirkan jika globalisasi akan menggerus budaya lokal, tapi sebagian lain justru berkata tidak.
Anthony Giddens termasuk salah seorang pemikir yang tidak sependapat dengan anggapan tentang hancurnya budaya lokal sebagai akibat dari globalisasi. Menurut Giddens, di mana-mana sekarang kebudayaan lokal dihidupkan lagi justru ketika sebagian besar negara sedang memasuki arus globalisasi.
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana sikap dan respon kaum cendekiawan terhadap soal global-lokal yang marak tersebut? Pernyataan Henri Chambert-Loir berikut mungkin menarik jadi bahan diskusi, kalau bukan sebuah gambaran dari sebuah jawaban kecil yang minta perhatian.
Loir bilang: Sudah barang tentu kiranya orang Nusantara kini perlu sekali mengenal berbagai tradisi, kalau ingin mengenal masa lalu mereka; perlu pula mereka mencari inspirasi di situ kalau ingin membentuk suatu daya ketahanan budaya untuk membendung arus globalisasi. Namun, sebenarnya minat terhadap tradisi-tradisi sangat tipis, kalau pun ada, disebabkan aneka ragam alasan, di antaranya hasrat kaum cendekiawan yang sudah seabad tak kunjung padam untuk berkiblat ke Barat sebagai simbol dan sumber modernitas.
Untuk menemukan satu lagi kemungkinan jawaban sementara, saya harus meminjam sejumlah gagasan Frantz Fanon dan George Junus Aditjondro lewat “tiga fase respons cendekiawan bangsa terjajah (atau bangsa yang pernah terjajah)” terhadap “politik kebudayaan” global dan nasional. Fase pertama, para cendekiawan menerima faham bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau bahwa kebudayaan mereka sama sekali tidak punya arti dibandingkan kebudayaan si Tuan Penjajah. Dilandasi sikap ini mereka berusaha mengambil alih kebudayaan bangsa penjajah secara total, asimilasi total (baca: asimilasi tak bersyarat).
Fase kedua, ada cendekiawan lokal yang mulai merasa terganggu atas nihilisasi kebudayaan (asli) mereka. Lantas mereka bereaksi secara bertolak-belakang dari fase pertama. Mereka berusaha menghargai kebudayaan mereka yang asli. Namun, karena mereka sudah lama tercerabut dari mahia mereka sendiri, mereka sudah tak bisa lagi menghayati kebudayaan mereka dari sudut nilai intrinsik kebudayaan itu.
Maka pilihannya mau tak mau adalah menggali sisa-sisa kebudayaan lama untuk diselamatkan dengan menggunakan barometer yang dipinjam tanpa disadari dari kebudayaan dominan. Sikap ini dengan dikritik Fanon melalui sindiran yang halus: tadinya kita berusaha meludahkan diri kita ke langit, tapi sekarang kita terpercik oleh air liur kita sendiri yang sedang jatuh kembali ke bumi.
Fase ketiga, fase perjuangan. Yaitu kaum cendekiawan berusaha menciptakan suatu kebudayaan tandingan, kebudayaan perlawanan.
*) Sastrawan Lampung
Rabu, 13 Oktober 2010
Dibalik Jeruji
Elnisya Mahendra
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.
Kulipat mukena dan sajadahku setelah do’a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini. Kulirik Amel yang masih tidur di ranjang, dengkur lembutnya seirama dengan naik turun dadanya. Amel adalah gadis Batak teman satu apartemen, bahkan satu kamar denganku. Aku tak tega membangunkannya, semalam dia pulang larut dari tempat kerja paruh waktunya, yaitu sebuah coffe shop yang berjarak hanya 2OO meter dari apartemen yang kami sewa di Amstervees, sebuah kota yang tidak jauh dari Amsterdam di Holandia utara.
Keberadaanku disini bersama Amel dan dua teman lainya, karena kami sama-sama mendapatkan bea siswa di Universiteit Van Amsterdam. Sebuah Universitas yang aku idamkan sejak aku kuliah di fakultas hukum di UGM dulu. Kekagumanku pada pada Sutan Syahrir seorang sosialis yang menentang para kapitalis membuatku teropsesi untuk mengajukan bea siswa disini, dimana Sutan Syahrir pernah mengenyam pendidikan.
Tahun lalu kutinggalkan mas Ilham suamiku bersama Bella Ayudya anakku yang kini telah berumur 5 tahun. Alhamdulilah mas Ilham mendukung program master yang aku ambil, walau aku harus meninggalkan tugasku sebagai istri dan ibu buat Bella. Bahkan sanggup aku tinggalkan dalam waktu lama. Untung saja ada ibu yang mau membantu menjaga Bella.
Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Aku biarkan Amel tidur sepuasnya. Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Itu karena aku terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu. Apalagi aku sudah kangen dengan bidadari kecilku yang bermata bening, berbibir mungil. Ah… Bella mirip sekali mas Ilham, rambutnya juga sama mengombak seperti ayahnya.
Kuberjalan keluar kamar menuju dapur, perutku telah merindukan sesuatu untuk pengganjalnya. Kuseduh secangkir kopi instan dan ditemani 2 lembar roti plus keju. Aku lempar pandanganku ke luar jendela, dimana kehidupan di Amstervees sepagi ini sudah sedemikian sibuk. Simpang siur Metro Lijn dan Tram Lijn di depan apartemen. Ya…mungkin seperti juga simpang siurnya hatiku saat ini, selalu dalam tanda tanya.
Seminggu yang lalu ibu telepon dengan tangisnya ” Tanti, pulang dulu ya nduk, ibu kangen,” suara ibuku dari seberang sana. ” Ada apa bu, kok tidak biasanya ibu telpon sambil nangis gitu?” jawabku. Tapi tangis ibu semakin menjadi, ” Pokoknya kamu pulang dulu nduk, nanti kamu akan tau sendiri, dan bisa dirundingkan bagaimana baiknya,” lanjutnya. Aku tak bisa menolak lagi permintaan ibu. Lalu kucari celah kesibukan di kampus agar aku bisa minta izin cuti. Namun pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di otakku.
Amel keluar kamar dan duduk di seberang meja, ” Pagi Tanti, kamu jadi besuk pulang Tan?” tanya Amel begitu pantatnya menyentuh kursi. Aku hanya tersenyum mengangguk. ” Ada kabar apa sebenarnya dari kampung, kok mendadak gitu?” tanyanya sambil melangkah pergi. Aku masih termangu menatap keruwetan lalu lintas di bawah aparteman. Sepertinya aku harus segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur tubuh letihku, rencananya aku akan pergi ke Winkel Centrum, pusat perbelanjaan di Amstervees membeli oleh-oleh untuk Bella. Sudah tak ada waktu lagi, besuk aku harus pagi-pagi berangkat, jadwal penerbanganku jam 12 siang waktu setempat.
Diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51. Ini pertama kalinya aku pulang, sejak setahun lalu tinggal di Amstervees. Sampai di Airport langsung cek in di Malaysia Airlines. Sungguh begitu jengah rasanya meredam berbagai pertanyaan dalam hatiku. Aku memang selalu tak bisa dalam keadaan penasaran.
Kepenatan dalam pesawat, lebih dari 15 jam dari Amsterdam - Jakarta dan sempat transit di Kuala Lumpur, kini tertebus sudah. Aku menghirup kembali oksigen tanah airku, seperti sebuah oase yang kutemukan selama 1 tahun kucari di Holand walau di sana sejuk. Sampai di Jakarta pukul 8.1O pagi, perjalanan ini kulanjutkan ke Jogja setelah sebelumnya aku membeli tiket sebuah maskapi penerbangan. Waktu tempuh Jakarta- Jogja yang hanya setengah jam memungkinkan aku tak terlalu sore sampai rumah.
” Ah… Jogja masih seramah dulu,” gunamku ketika kujejakkan kaki keluar bandara. Dengan taxi aku menuju terminal, kupilih bus ber-AC yang akan membawaku ke Magelang tempat dimana aku dilahirkan. Yang jelas aku ingin segera menemui ibu, Bella dan mas Ilham. Kubayangkan Bella begitu lucunya, akan memelukku nanti. Tentu gadis kecilku akan gembira nanti saat aku keluarkan boneka Hello Kitty yang sempat kubeli kemarin di Winkel Centrum.
Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu. Entah pada kemana semua, tak kutemukan Bella, ibu dan mas Ilham. Tapi pintu rumah terbuka, mungkin Bella lagi keluar jalan dengan papanya. Aku memang tak memberitahu mereka bila aku akan pulang hari ini. Biar menjadi kejutan buat mereka bertiga. Kulongok kamar ibu, ” Ya Allah, ibu…!” jeritku. ” Apa yang terjadi bu, dimana Bella dan mas Ilham, kenapa mereka tak menunggui ibu disini? Kemana mereka, kemana bu?” pertanyaanku bertubi-tubi pada tubuh membujur di ranjang itu. Sementara wanita renta yang tak lain adalah ibuku itu menangis, berusaha memelukku. ” Ya Allah apa yang terjadi?” pertanyaanku selalu berulang ulang. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Bukankah seminggu yang lalu ibu telpon katanya baik-baik saja, juga mas Ilham 3 hari yang lalu mengabarkan juga semua dalam keaadan sehat, kenapa dia tak bilang kalau ibu sakit? Entah setan mana yang akirnya menyulut api kemarahanku.
Ketika hatiku telah mampu aku kendalikan dan ibu mampu meredam tangisnya, mulailah mengalir cerita yang membuatku seperti kejatuhan benda yang berton-ton beratnya. Membuat aku lunglai terlempar pada negeri asing nan tandus tanpa kehidupan. Ya Tuhan benarkah apa yang aku dengar? Aku tak bisa bersabar lagi, kusambar tas punggungku dan aku pamit pada ibu. ” Tanti, kau harus sabar nduk, hadapi dengan lapang. Ibu percaya engkau tak akan berbuat nekat, namun saran ibu, kendalikan emosimu. Banyak-banyak Istigfar, ibu yakin semua akan terselesaikan,” tutur ibu sambil air mata itu merembes kembali dari matanya yang tua. ” Doakan Tanti ya bu?” pamitku sambil kucium tangan ibu.
Dari sebuah alamat yang ibu berikan tadi, kutemukan rumah berpagar besi tak terkunci. Tanpa ijin pemiliknya aku masuk. ” Bunda, bundaku pulang,” teriak gadis kecil yang tak lain Bella anakku. Aku segera menyambut dengan bentangan tanganku untuk memeluknya. Aku dekap erat bidadari kecilku, aku ciumi wajah, kening, rambutnya, dan apa saja yang aku temui saat itu. Airmataku tumpah, aku tak tau apalagi yang akan aku ucapkan untuk keharuan ini.
Sore menjelang magrib telah membuat suasana ini lebih terdramatisir tak habis habisnya air mataku mengalir. Beberapa menit kemudian muncul dari pintu depan, sosok perempuan yang tak asing lagi buatku, dia Viona sahabat karibku, yang ternyata diam diam telah menjadi WIL mas Ilham. Dari cerita ibu, mereka menikah di bawah tangan 2 bulan lalu dan membeli rumah ini. Yang tak bisa aku maklumi kenapa harus membawa Bella ikut serta tinggal bersama mereka. ” Bunda, itu mama Viona, kita akan tinggal bersama nanti,” kata Bella polos. ” Selamat datang Tanti, kenapa tak memberi kabar lebih dulu? Aku dan mas Ilham bisa menjemputmu,” katanya Viona yang buatku adalah penghinaan. ” Gak perlu, aku datang hanya akan membawa Bella pergi, kau tak usah cerita apa apa, tak usah punya alasan apa apa untuk menguasai anakku, cukup kau kuasai Ilham saja. Aku iklas, ambilah semua kecuali Bella,” teriakku padanya, aku sudah benar benar marah.
Sepertinya aku tidak perlu berdebat dengan Viona, toh semuanya telah jelas. Aku sudah tidak ingin mempertahankan rumah tanggaku lagi dengan mas Ilham. Aku hanya ingin membawa pulang anakku. Kugendong segera Bella, aku ingin cepat cepat berlari dari rumah si jahanam itu. Namun Viona menghalangiku. ” Sorry Tanti, Bella adalah hakku, mas Ilham menyerahkannya padaku untukku jaga. Kau tak perlu susah susah menjaganya. Kejar saja karirmu Tan,” tutur Viona sambil senyum sinis. Kutampar wajah itu, wajah sahabatku yang manis namun kini menjijikkan. Namun Viona balik menamparku. Kuturunkan Bella dari gendonganku, bocah kecil itu tampak ketakutan di pojok. Sementara adu mulut antara aku dan Viona tak bisa kuhindari.
” Sampai mati kau tidak akan aku ijinkan membawa Bella pergi, dia anakku,” teriak Viona. Dia mulai membabi buta menjambak rambutku, mencakar lenganku, aku tidak kalah sadis saat dengan segenap kekuatanku kutendang perutnya yang katanya telah mengandung janin mas Ilham, aku tak peduli, aku sudah benar-benar sakit hati. Viona terhuyung, sepertinya dia kesakitan dengan tendanganku tadi, dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.
Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan ” Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?” panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai. Aku semakin panik, kucabut gunting itu, aku rasa Viona masih hidup. Dari depan pintu mas Ilham menjerit dan menamparku. ” Kau telah membunuhnya,” tuduhnya.
” Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya,” cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, ” Sumpah…! aku tak membunuhnya,” aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. ” Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah,” bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.
Tsuen-Wan, 27 Mei 2O1O.
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/
Tuhan, bila takdir-Mu telah engkau teteskan kepadaku, kekuatan apa yang bisa membuatku menolaknya? Tidak akan ada, kecuali kepasrahan yang teramat dalam dari mahkluk-Mu yang hanya sebutir pasir diantara laut dan pantai-Mu yang maha luas.
Kulipat mukena dan sajadahku setelah do’a kupanjatkan untuk orang-orang yang aku cintai diawal pagi ini. Kulirik Amel yang masih tidur di ranjang, dengkur lembutnya seirama dengan naik turun dadanya. Amel adalah gadis Batak teman satu apartemen, bahkan satu kamar denganku. Aku tak tega membangunkannya, semalam dia pulang larut dari tempat kerja paruh waktunya, yaitu sebuah coffe shop yang berjarak hanya 2OO meter dari apartemen yang kami sewa di Amstervees, sebuah kota yang tidak jauh dari Amsterdam di Holandia utara.
Keberadaanku disini bersama Amel dan dua teman lainya, karena kami sama-sama mendapatkan bea siswa di Universiteit Van Amsterdam. Sebuah Universitas yang aku idamkan sejak aku kuliah di fakultas hukum di UGM dulu. Kekagumanku pada pada Sutan Syahrir seorang sosialis yang menentang para kapitalis membuatku teropsesi untuk mengajukan bea siswa disini, dimana Sutan Syahrir pernah mengenyam pendidikan.
Tahun lalu kutinggalkan mas Ilham suamiku bersama Bella Ayudya anakku yang kini telah berumur 5 tahun. Alhamdulilah mas Ilham mendukung program master yang aku ambil, walau aku harus meninggalkan tugasku sebagai istri dan ibu buat Bella. Bahkan sanggup aku tinggalkan dalam waktu lama. Untung saja ada ibu yang mau membantu menjaga Bella.
Pagi masih menyisakan hawa sejuk walau summer sudah diambang pintu. Aku biarkan Amel tidur sepuasnya. Hari ini adalah hari libur kami, bahkan sampai dengan satu bulan mendatang aku telah mengajukan cuti kuliah. Itu karena aku terpaksa harus pulang ke Indonesia besuk, memenuhi permintaan ibu. Apalagi aku sudah kangen dengan bidadari kecilku yang bermata bening, berbibir mungil. Ah… Bella mirip sekali mas Ilham, rambutnya juga sama mengombak seperti ayahnya.
Kuberjalan keluar kamar menuju dapur, perutku telah merindukan sesuatu untuk pengganjalnya. Kuseduh secangkir kopi instan dan ditemani 2 lembar roti plus keju. Aku lempar pandanganku ke luar jendela, dimana kehidupan di Amstervees sepagi ini sudah sedemikian sibuk. Simpang siur Metro Lijn dan Tram Lijn di depan apartemen. Ya…mungkin seperti juga simpang siurnya hatiku saat ini, selalu dalam tanda tanya.
Seminggu yang lalu ibu telepon dengan tangisnya ” Tanti, pulang dulu ya nduk, ibu kangen,” suara ibuku dari seberang sana. ” Ada apa bu, kok tidak biasanya ibu telpon sambil nangis gitu?” jawabku. Tapi tangis ibu semakin menjadi, ” Pokoknya kamu pulang dulu nduk, nanti kamu akan tau sendiri, dan bisa dirundingkan bagaimana baiknya,” lanjutnya. Aku tak bisa menolak lagi permintaan ibu. Lalu kucari celah kesibukan di kampus agar aku bisa minta izin cuti. Namun pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di otakku.
Amel keluar kamar dan duduk di seberang meja, ” Pagi Tanti, kamu jadi besuk pulang Tan?” tanya Amel begitu pantatnya menyentuh kursi. Aku hanya tersenyum mengangguk. ” Ada kabar apa sebenarnya dari kampung, kok mendadak gitu?” tanyanya sambil melangkah pergi. Aku masih termangu menatap keruwetan lalu lintas di bawah aparteman. Sepertinya aku harus segera beranjak ke kamar mandi, mengguyur tubuh letihku, rencananya aku akan pergi ke Winkel Centrum, pusat perbelanjaan di Amstervees membeli oleh-oleh untuk Bella. Sudah tak ada waktu lagi, besuk aku harus pagi-pagi berangkat, jadwal penerbanganku jam 12 siang waktu setempat.
Diantara gundah dan bahagia kuberangkat pagi ini ke bandara Schiphol menggunakan Metro Lijn 51. Ini pertama kalinya aku pulang, sejak setahun lalu tinggal di Amstervees. Sampai di Airport langsung cek in di Malaysia Airlines. Sungguh begitu jengah rasanya meredam berbagai pertanyaan dalam hatiku. Aku memang selalu tak bisa dalam keadaan penasaran.
Kepenatan dalam pesawat, lebih dari 15 jam dari Amsterdam - Jakarta dan sempat transit di Kuala Lumpur, kini tertebus sudah. Aku menghirup kembali oksigen tanah airku, seperti sebuah oase yang kutemukan selama 1 tahun kucari di Holand walau di sana sejuk. Sampai di Jakarta pukul 8.1O pagi, perjalanan ini kulanjutkan ke Jogja setelah sebelumnya aku membeli tiket sebuah maskapi penerbangan. Waktu tempuh Jakarta- Jogja yang hanya setengah jam memungkinkan aku tak terlalu sore sampai rumah.
” Ah… Jogja masih seramah dulu,” gunamku ketika kujejakkan kaki keluar bandara. Dengan taxi aku menuju terminal, kupilih bus ber-AC yang akan membawaku ke Magelang tempat dimana aku dilahirkan. Yang jelas aku ingin segera menemui ibu, Bella dan mas Ilham. Kubayangkan Bella begitu lucunya, akan memelukku nanti. Tentu gadis kecilku akan gembira nanti saat aku keluarkan boneka Hello Kitty yang sempat kubeli kemarin di Winkel Centrum.
Suasana tampak lenggang saat kumasuki rumah berarsitektur joglo itu. Entah pada kemana semua, tak kutemukan Bella, ibu dan mas Ilham. Tapi pintu rumah terbuka, mungkin Bella lagi keluar jalan dengan papanya. Aku memang tak memberitahu mereka bila aku akan pulang hari ini. Biar menjadi kejutan buat mereka bertiga. Kulongok kamar ibu, ” Ya Allah, ibu…!” jeritku. ” Apa yang terjadi bu, dimana Bella dan mas Ilham, kenapa mereka tak menunggui ibu disini? Kemana mereka, kemana bu?” pertanyaanku bertubi-tubi pada tubuh membujur di ranjang itu. Sementara wanita renta yang tak lain adalah ibuku itu menangis, berusaha memelukku. ” Ya Allah apa yang terjadi?” pertanyaanku selalu berulang ulang. Aku hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Bukankah seminggu yang lalu ibu telpon katanya baik-baik saja, juga mas Ilham 3 hari yang lalu mengabarkan juga semua dalam keaadan sehat, kenapa dia tak bilang kalau ibu sakit? Entah setan mana yang akirnya menyulut api kemarahanku.
Ketika hatiku telah mampu aku kendalikan dan ibu mampu meredam tangisnya, mulailah mengalir cerita yang membuatku seperti kejatuhan benda yang berton-ton beratnya. Membuat aku lunglai terlempar pada negeri asing nan tandus tanpa kehidupan. Ya Tuhan benarkah apa yang aku dengar? Aku tak bisa bersabar lagi, kusambar tas punggungku dan aku pamit pada ibu. ” Tanti, kau harus sabar nduk, hadapi dengan lapang. Ibu percaya engkau tak akan berbuat nekat, namun saran ibu, kendalikan emosimu. Banyak-banyak Istigfar, ibu yakin semua akan terselesaikan,” tutur ibu sambil air mata itu merembes kembali dari matanya yang tua. ” Doakan Tanti ya bu?” pamitku sambil kucium tangan ibu.
Dari sebuah alamat yang ibu berikan tadi, kutemukan rumah berpagar besi tak terkunci. Tanpa ijin pemiliknya aku masuk. ” Bunda, bundaku pulang,” teriak gadis kecil yang tak lain Bella anakku. Aku segera menyambut dengan bentangan tanganku untuk memeluknya. Aku dekap erat bidadari kecilku, aku ciumi wajah, kening, rambutnya, dan apa saja yang aku temui saat itu. Airmataku tumpah, aku tak tau apalagi yang akan aku ucapkan untuk keharuan ini.
Sore menjelang magrib telah membuat suasana ini lebih terdramatisir tak habis habisnya air mataku mengalir. Beberapa menit kemudian muncul dari pintu depan, sosok perempuan yang tak asing lagi buatku, dia Viona sahabat karibku, yang ternyata diam diam telah menjadi WIL mas Ilham. Dari cerita ibu, mereka menikah di bawah tangan 2 bulan lalu dan membeli rumah ini. Yang tak bisa aku maklumi kenapa harus membawa Bella ikut serta tinggal bersama mereka. ” Bunda, itu mama Viona, kita akan tinggal bersama nanti,” kata Bella polos. ” Selamat datang Tanti, kenapa tak memberi kabar lebih dulu? Aku dan mas Ilham bisa menjemputmu,” katanya Viona yang buatku adalah penghinaan. ” Gak perlu, aku datang hanya akan membawa Bella pergi, kau tak usah cerita apa apa, tak usah punya alasan apa apa untuk menguasai anakku, cukup kau kuasai Ilham saja. Aku iklas, ambilah semua kecuali Bella,” teriakku padanya, aku sudah benar benar marah.
Sepertinya aku tidak perlu berdebat dengan Viona, toh semuanya telah jelas. Aku sudah tidak ingin mempertahankan rumah tanggaku lagi dengan mas Ilham. Aku hanya ingin membawa pulang anakku. Kugendong segera Bella, aku ingin cepat cepat berlari dari rumah si jahanam itu. Namun Viona menghalangiku. ” Sorry Tanti, Bella adalah hakku, mas Ilham menyerahkannya padaku untukku jaga. Kau tak perlu susah susah menjaganya. Kejar saja karirmu Tan,” tutur Viona sambil senyum sinis. Kutampar wajah itu, wajah sahabatku yang manis namun kini menjijikkan. Namun Viona balik menamparku. Kuturunkan Bella dari gendonganku, bocah kecil itu tampak ketakutan di pojok. Sementara adu mulut antara aku dan Viona tak bisa kuhindari.
” Sampai mati kau tidak akan aku ijinkan membawa Bella pergi, dia anakku,” teriak Viona. Dia mulai membabi buta menjambak rambutku, mencakar lenganku, aku tidak kalah sadis saat dengan segenap kekuatanku kutendang perutnya yang katanya telah mengandung janin mas Ilham, aku tak peduli, aku sudah benar-benar sakit hati. Viona terhuyung, sepertinya dia kesakitan dengan tendanganku tadi, dan entah dari mana datangnya dia telah menggenggam gunting. Ya Tuhan dia mau membunuhku, dia semakin kalap saja, aku-pun tak kalah. Dia coba menikamku, tapi semua luput dan dia terjatuh.
Seperti dalam arena pertandingan akulah pemenangnya, dia tak bergerak lagi. Apa yang sebenarnya dengan dia, kucoba dekati Viona yang jatuh tengkurap dilantai dan ” Ya Allah, Vio.. bangun, Vio kau tak apa apa kan?” panggilku panik. Gunting yang tadi dipegangnya menancap di jantungnya, darah melebar membasahi lantai. Aku semakin panik, kucabut gunting itu, aku rasa Viona masih hidup. Dari depan pintu mas Ilham menjerit dan menamparku. ” Kau telah membunuhnya,” tuduhnya.
” Aku telah membunuhnya, aku telah membunuhnya,” cercauku. Aku terduduk diatas tikar, gelap semuanya gelap, tak ada titik terang. Tak ada yang membelaku, ” Sumpah…! aku tak membunuhnya,” aku kembali histeris. Ya Allah, Kau maha segalanya. ” Apa artinya aku sekolah hukum, aku tak mampu membelaku sendiri, aku pasrah ya Allah,” bisikku lirih. Sementara dua petugas berseragam memandangku dari luar jeruji besi.
Tsuen-Wan, 27 Mei 2O1O.
Salam dari Amsterdam
Heri Latief
http://politik.kompasiana.com/
Seorang kawan menulis surat pada saya, apakah saya bisa cerita tentang kehidupan di Belanda. Mulanya saya bingung juga, apa yang saya mau ceritakan? Apakah boleh menulis tentang konflik antara kaum pendatang dan Inlander, komplit dengan bumbu agamanya?
Kawan saya bilang soal konflik agama tak perlu diceritakan, katanya dunia sudah muak dengan segala berita provokasi hasil konflik beragama. Saya jadi maklumlah, di Eropa yang lagi hot isunya adalah soal anti agama “import”, sedangkan jelas terlihat bahwa praktik pertentangan klas di dalam masyarakat maju masih tetap saja terjadi, walau pun secara ekonomi dan sosial Barat telah berhasil memakmurkan sebagian besar rakyatnya, tapi rupanya masih ada yang miskin alias tiarap ekonominya, sudah tentu kemiskinannya lain lagi sifatnya jika dibandingkan dengan situasi kemiskinan di negeri dunia ketiga seperti Indonesia, tidak adil membandingkannya. Kita tahu bahwa antrian minyak tanah tak akan terjadi di Barat yang cara memasaknya memakai kompor gas atau kompor listrik.
Di Belanda kasus “kemiskinan” simbolnya adalah pembagian sembako via pos-pos sosial, namanya Voedselbank, misalnya di daerah Amsterdam Zuidoost. Menurut statistiknya 83% dari para penerima bantuan ini terjerat urusan hutang berat, sehingga bantuan tsb sangat diperlukan. Maka bermunculanlah Voedselbank di seluruh negeri Belanda. Saya tadinya tidak percaya bahwa di negeri Belanda juga ada antrian bantuan sembako, tapi setelah publikasinya muncul di media, saya pun maklum, tampaknya musti ada perbedaan klas yang tajam dalam masyarakat di suatu negara industri, untuk menjaga agar supaya tetap ada balans antara sangkaya dan simiskin, semua tentunya demi keuntungan sistim Kapitalisme.
Belanda terkenal dengan watak klas pedagangnya, Kruideniermentaliteit, sehingga tidak heranlah licinnya roda ekonomi sejak jaman baheula tetap berjalan sampai saat ini sesuai dengan semangat jiwa VOC, jaman dulu mereka berlayar jauh dari Amsterdam ke kepulauwan Nusantara demi mencari rempah-rempah, dengan mendapat keuntungan gila-gilaan, sebesar 2500 persen! sekarang hanya dengan mengirimkan Unilever sudah bisa mengeruk keuntungan besar dari jauh tanpa musti mengeluarkan tembakan sebutir peluru…
Ruang hidup orang asing di Amsterdam sangat asyik dan penuh toleransi, ini mungkin karena Amsterdam terkenal sebagai kota kaum Sosialis, Liberal (pedagang) dan Seniman. Dalam dunia musik Belanda dikenal nama Andre Hazes (almarhum), seorang penyanyi rakyat, yang dicintai kawan dan lawan ini memang punya suara merdu, patungnya sang maestro ada di pasar Albert Cuyp, bergaya lagi nyanyi duduk di korsi bar. Asli Amsterdammer, bir dan Cafe sebagai gaya hidup.
Jangan lupa juga, ide kebebasan dalam arti kata kebebasan dalam memilih cara hidup sangat dihormati di negeri kincir angin ini, bahkan di depan gereja Westerkerk ada sebuah “Homo Monumen”, marmer berbentuk segitiga, contoh lainnya di depan gereja tua Oudekerk di Zeedijk ada kamar-kamar buat majang para pekerja sex. Di gereja tua ini pernah diadakan pameran lukisan dari pelukis Lekra, Basuki Resobowo.
Amsterdam pernah diberi judul: kota Sodom dan Gomorrah yang punya serikat pekerja pelacuran.Tak heranlah, jutaan orang setiap tahun mampir ke Amsterdam untuk sekedar buang tai macan, atau stoned di coffeshop. Vrijheid = Blijheid. Kebebasan = kebahagiaan, demikian kata orang sana.
Resiko dari kebebasan itu juga minta korban, misalnya terjadi pemukulan di jalanan terhadap kaum gay, pembakaran sekolah islam pada saat terjadinya pembunuhan terhadap sineas Theo van Gogh, pertentangan antar ras semakin keras seperti batu cadas. Di kalangan anak mudanya terjadi situasi “saling mengawasi”, siap sedia, karena pembauran itu di lapangan ternyata sangat sulit dilaksanakan, praktiknya adalah masih adanya cap orang asing sebagai warganegara klas kambing dan superioritas penduduk asli, padahal banyak orang asing yang sudah ikut dalam sistim secara seratus persen, misalnya ada yang jadi pejabat di departemen kehakiman, tapi tetap saja dianggap loyalitasnya ganda, sebab punya 2 kewarganegaraan. Ini juga perkara aneh, suatu kasus politik yang punya pejabat publik dengan 2 macam paspor.
Bingung kan? Itu bisa terjadi di Belanda. Sempat diributkan juga kasus tsb oleh partai ekstrim kanan, tapi tak mempengaruhi situasi yang ada, paspor ganda tak jadi soal selama bisa kerja optimal buat kepentingan Belanda. Pilihan pragmatis yang luar biasa sekali itu akibat dari persaingan dalam mencari dukungan politik, artinya kepentingan Belanda terhadap para pendatang sangat besar, para pendatang juga sebagai salah satu faktor pendukung kejayaan politik dan ekonomi Belanda di Eropa dan dunia.
Orang Belanda juga punya sifat sosial yang besar terhadap binatang, dibuktikan dengan adanya partai binatang, dan punya wakil di parlemen. Hati-hati jangan sembarangan nimpuk anjing atau nendang kucing di Belanda, bisa dilaporkan ke polisi dan kena denda. Jadi jangan marah-marah jika lagi santai jalan-jalan di trotoar kota Amsterdam lalu sepatu kita secara tak sengaja menginjak tai anjing. Sepertinya kita tak sah datang ke Belanda jika sepatu kita belum menginjak tai anjing di trotoar.
Perbedaan dasar orang kita dengan wong Londo itu bisa saja dilihat dari cara orang membersihkan dirinya setelah buang air besar, si Londo cukup dengan 5 lembar kertas cebok, si orang asing musti punya sebotol air buat cebok di dalam wc nya. Yang mana lebih ngirit, siapa yang hipokrit, yang mana lebih efisien dan keren? Jawabnya adalah suka-suka elo aja deh, yang penting bersih
Amsterdam, 4 Maret 2008
http://politik.kompasiana.com/
Seorang kawan menulis surat pada saya, apakah saya bisa cerita tentang kehidupan di Belanda. Mulanya saya bingung juga, apa yang saya mau ceritakan? Apakah boleh menulis tentang konflik antara kaum pendatang dan Inlander, komplit dengan bumbu agamanya?
Kawan saya bilang soal konflik agama tak perlu diceritakan, katanya dunia sudah muak dengan segala berita provokasi hasil konflik beragama. Saya jadi maklumlah, di Eropa yang lagi hot isunya adalah soal anti agama “import”, sedangkan jelas terlihat bahwa praktik pertentangan klas di dalam masyarakat maju masih tetap saja terjadi, walau pun secara ekonomi dan sosial Barat telah berhasil memakmurkan sebagian besar rakyatnya, tapi rupanya masih ada yang miskin alias tiarap ekonominya, sudah tentu kemiskinannya lain lagi sifatnya jika dibandingkan dengan situasi kemiskinan di negeri dunia ketiga seperti Indonesia, tidak adil membandingkannya. Kita tahu bahwa antrian minyak tanah tak akan terjadi di Barat yang cara memasaknya memakai kompor gas atau kompor listrik.
Di Belanda kasus “kemiskinan” simbolnya adalah pembagian sembako via pos-pos sosial, namanya Voedselbank, misalnya di daerah Amsterdam Zuidoost. Menurut statistiknya 83% dari para penerima bantuan ini terjerat urusan hutang berat, sehingga bantuan tsb sangat diperlukan. Maka bermunculanlah Voedselbank di seluruh negeri Belanda. Saya tadinya tidak percaya bahwa di negeri Belanda juga ada antrian bantuan sembako, tapi setelah publikasinya muncul di media, saya pun maklum, tampaknya musti ada perbedaan klas yang tajam dalam masyarakat di suatu negara industri, untuk menjaga agar supaya tetap ada balans antara sangkaya dan simiskin, semua tentunya demi keuntungan sistim Kapitalisme.
Belanda terkenal dengan watak klas pedagangnya, Kruideniermentaliteit, sehingga tidak heranlah licinnya roda ekonomi sejak jaman baheula tetap berjalan sampai saat ini sesuai dengan semangat jiwa VOC, jaman dulu mereka berlayar jauh dari Amsterdam ke kepulauwan Nusantara demi mencari rempah-rempah, dengan mendapat keuntungan gila-gilaan, sebesar 2500 persen! sekarang hanya dengan mengirimkan Unilever sudah bisa mengeruk keuntungan besar dari jauh tanpa musti mengeluarkan tembakan sebutir peluru…
Ruang hidup orang asing di Amsterdam sangat asyik dan penuh toleransi, ini mungkin karena Amsterdam terkenal sebagai kota kaum Sosialis, Liberal (pedagang) dan Seniman. Dalam dunia musik Belanda dikenal nama Andre Hazes (almarhum), seorang penyanyi rakyat, yang dicintai kawan dan lawan ini memang punya suara merdu, patungnya sang maestro ada di pasar Albert Cuyp, bergaya lagi nyanyi duduk di korsi bar. Asli Amsterdammer, bir dan Cafe sebagai gaya hidup.
Jangan lupa juga, ide kebebasan dalam arti kata kebebasan dalam memilih cara hidup sangat dihormati di negeri kincir angin ini, bahkan di depan gereja Westerkerk ada sebuah “Homo Monumen”, marmer berbentuk segitiga, contoh lainnya di depan gereja tua Oudekerk di Zeedijk ada kamar-kamar buat majang para pekerja sex. Di gereja tua ini pernah diadakan pameran lukisan dari pelukis Lekra, Basuki Resobowo.
Amsterdam pernah diberi judul: kota Sodom dan Gomorrah yang punya serikat pekerja pelacuran.Tak heranlah, jutaan orang setiap tahun mampir ke Amsterdam untuk sekedar buang tai macan, atau stoned di coffeshop. Vrijheid = Blijheid. Kebebasan = kebahagiaan, demikian kata orang sana.
Resiko dari kebebasan itu juga minta korban, misalnya terjadi pemukulan di jalanan terhadap kaum gay, pembakaran sekolah islam pada saat terjadinya pembunuhan terhadap sineas Theo van Gogh, pertentangan antar ras semakin keras seperti batu cadas. Di kalangan anak mudanya terjadi situasi “saling mengawasi”, siap sedia, karena pembauran itu di lapangan ternyata sangat sulit dilaksanakan, praktiknya adalah masih adanya cap orang asing sebagai warganegara klas kambing dan superioritas penduduk asli, padahal banyak orang asing yang sudah ikut dalam sistim secara seratus persen, misalnya ada yang jadi pejabat di departemen kehakiman, tapi tetap saja dianggap loyalitasnya ganda, sebab punya 2 kewarganegaraan. Ini juga perkara aneh, suatu kasus politik yang punya pejabat publik dengan 2 macam paspor.
Bingung kan? Itu bisa terjadi di Belanda. Sempat diributkan juga kasus tsb oleh partai ekstrim kanan, tapi tak mempengaruhi situasi yang ada, paspor ganda tak jadi soal selama bisa kerja optimal buat kepentingan Belanda. Pilihan pragmatis yang luar biasa sekali itu akibat dari persaingan dalam mencari dukungan politik, artinya kepentingan Belanda terhadap para pendatang sangat besar, para pendatang juga sebagai salah satu faktor pendukung kejayaan politik dan ekonomi Belanda di Eropa dan dunia.
Orang Belanda juga punya sifat sosial yang besar terhadap binatang, dibuktikan dengan adanya partai binatang, dan punya wakil di parlemen. Hati-hati jangan sembarangan nimpuk anjing atau nendang kucing di Belanda, bisa dilaporkan ke polisi dan kena denda. Jadi jangan marah-marah jika lagi santai jalan-jalan di trotoar kota Amsterdam lalu sepatu kita secara tak sengaja menginjak tai anjing. Sepertinya kita tak sah datang ke Belanda jika sepatu kita belum menginjak tai anjing di trotoar.
Perbedaan dasar orang kita dengan wong Londo itu bisa saja dilihat dari cara orang membersihkan dirinya setelah buang air besar, si Londo cukup dengan 5 lembar kertas cebok, si orang asing musti punya sebotol air buat cebok di dalam wc nya. Yang mana lebih ngirit, siapa yang hipokrit, yang mana lebih efisien dan keren? Jawabnya adalah suka-suka elo aja deh, yang penting bersih
Amsterdam, 4 Maret 2008
Menjadi “Indonesia” lewat Sastra Melayu Tionghoa
Wahyudi Akmaliah Muhammad
http://lomba.kompasiana.com/
Dalam pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah dahulu saya selalu diajarkan bahwa karya sastra yang termasuk dalam Balai Pustaka adalah genre sastra Indonesia modern, seperti Belenggu, Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan. Di luar karya sastra yang tidak tercantum dalam Balai Pustaka bukan bagian sastra Indonesia modern. Dengan kata lain, buku-buku sastra yang lain tidak patut dipelajari, karena bukan bagian dari detak sejarah sastra di Indonesia. Doktrin inilah yang membeku hingga sekarang. Lalu, kategori apa yang digunakan Balai Pustaka untuk menentukan bahwa sebuah karya termasuk sastra Indonesia modern? Prosedur apa yang diterapkan untuk menelisik ke-modern-an itu?
Sebenarnya, sastra Indonesia modern tidak terbatas dalam kategori yang ditentukan Balai Pustaka. Sejak tahun 1870-1966 kesusasteraan Indonesia yang ditulis oleh Tionghoa peranakan dengan bahasa “Melayu-Rendah” sudah berkembang. Claudine Salmon mencatat, jumlah penulis Tionghoa selama 100 tahun itu ada 806 orang dengan 2.757 karya sastra, baik asli ataupun terjemahan. Karya Anonim sebanyak 248 buah. Keseluruhan karya jenis sastra ini 3.005 buah. Karya-karya itu terdari dari 73 drama, 183 syair, 223 terjemahan karya-karya Barat, 759 terjemahan karya dalam bahasa Tionghoa dan 1.398 novel dan cerpen asli.
Sudah barang tentu, jumlah karya yang fantastis itu sangat menentukan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Tidak mungkin sebuah karya sastra muncul dan berdiri sendiri tanpa adanya faktor sosiologis yang memengaruhinya. Sebuah karya tidak muncul dalam ruang yang kosong. Selain karena hasil renungan dan refleksi atas realitas keseharian, sebuah karya selalu diilhami oleh buku-buku bacaan lainnya.
Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya, selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh Balai Pustaka.
Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal dengan Balai Pustaka (Ajib Rosidi: 1948).
Kehadiran Balai Pustaka yang disponsori pemerintah Hindia Belanda menjadi lembaga kontrol yang otoritatif kepada masyarakat dengan menentukan pilihan bacaan sastra yang “baik” dan “buruk”, rendah dan tinggi. Tujuannya ialah membendung sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selama ini diterapkan. Imbas dari kebijakan ini, Selain masyarakat kurang memiliki daya kritis saat membaca karya sastra yang ditentukan itu, tidak terdokumentasikan karya-karya sastra non Balai Pustaka yang merupakan bagian warisan sejarah perjalanan sastra nusantara (Aning Retnaningsih: 1983 ; A. Teeuw: 1942).
Praktis sejak Indonesia merdeka, hanya sedikit sarjana dan penulis yang memperhatikan perkembangan sastra Melayu Tionghoa yang dianggap bermutu rendah. Pramudya Ananta Toer salah seorang penulis yang sedikit itu. Pada tahun 1963, ia mengasuh rubrik lentera di harian Bintang Timur dan menuliskan sastra Melayu Tionghoa dalam kontek sastra pra Indonesia bersama dengan karya-karya lain yang ditulis dengan bahasa Melayu Rendah. Selain itu, awal tahun 1960-an ketika mengajar di Universitas Res Publica (Ureca) Jakarta, ia mendorong beberapa mahasiswanya untuk meneliti kesusastraan “Melayu Rendah” . Lalu muncullah beberapa skripsi sarjana muda sastra yang mengambil tema sastra Tionghoa peranakan. Meskipun kajian ini sedikit diketahui oleh publik.
Menurunnya minat untuk mengkaji sastra Melayu Tionghoa ini diperparah dengan lahirnya Orde baru dengan pelbagai kebijakan terhadap orang Tionghoa sejak tahun 1966. Selain menghilangkan karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, Orde Baru juga melucuti pelbagai hal yang berkaitan dengan simbol kechinaan. Mulai dari pelarangan sekolah, media massa, ormas, penggunaan bahasa Tionghoa hingga pemaksaan umat Konghucu untuk memeluk lima agama yang diakui rejim Orde Baru. Lewat kebijakan naturalisasi selama dua generasi ini membuat masyarakat Tionghoa menjadi berjarak dengan akar budaya nenek moyangnya.
Selain itu, rejim Orde Baru juga membentuk mitos-mitos terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, mitos determinisme ekonomi, di mana orang Tionghoa dibayangkan sebagai etnis yang secara esensialis memiliki kepiawaian dan keuletan perihal perdagangan. Kedua, mereka secara kultural memiliki tradisi yang berbeda dengan mayoritas etnis Indonesia kebanyakan. Seperti bahasa yang digunakan, adat istiadatnya, selalu ingin tinggal dengan sesama etnisnya, kulitnya lebih putih, dan etnis yang seragam; mitos keseragaman ini mengindikasikan adanya persamaan dan pluralitas pun menjadi kabur (Ariel Heryanto: 1998). Cara memandang orang Tionghoa sebagai liyan inilah yang kemudian di reproduksi masyarakat Indonesia dan juga diamini orang Tionghoa sendiri hingga kini.
Dus, Tionghoa bukanlah etnis yang baru di negeri ini, melainkan etnis yang sudah berurat akar sebelum Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari etnis nusantara di Indonesia yang juga turut membentuk kesusastraan Indonesia modern. Selain itu, lewat karya sastra yang dihasilkan telah menciptakan imajinasi kebangsaan mengenai apa itu “menjadi orang Indonesia”. Namun, faktor kepentingan dan kuasa politiklah yang membuat mereka dianggap berbeda dengan etnis-etnis yang lainnya.
http://lomba.kompasiana.com/
Dalam pelajaran bahasa Indonesia di bangku sekolah dahulu saya selalu diajarkan bahwa karya sastra yang termasuk dalam Balai Pustaka adalah genre sastra Indonesia modern, seperti Belenggu, Siti Nurbaya, dan Salah Asuhan. Di luar karya sastra yang tidak tercantum dalam Balai Pustaka bukan bagian sastra Indonesia modern. Dengan kata lain, buku-buku sastra yang lain tidak patut dipelajari, karena bukan bagian dari detak sejarah sastra di Indonesia. Doktrin inilah yang membeku hingga sekarang. Lalu, kategori apa yang digunakan Balai Pustaka untuk menentukan bahwa sebuah karya termasuk sastra Indonesia modern? Prosedur apa yang diterapkan untuk menelisik ke-modern-an itu?
Sebenarnya, sastra Indonesia modern tidak terbatas dalam kategori yang ditentukan Balai Pustaka. Sejak tahun 1870-1966 kesusasteraan Indonesia yang ditulis oleh Tionghoa peranakan dengan bahasa “Melayu-Rendah” sudah berkembang. Claudine Salmon mencatat, jumlah penulis Tionghoa selama 100 tahun itu ada 806 orang dengan 2.757 karya sastra, baik asli ataupun terjemahan. Karya Anonim sebanyak 248 buah. Keseluruhan karya jenis sastra ini 3.005 buah. Karya-karya itu terdari dari 73 drama, 183 syair, 223 terjemahan karya-karya Barat, 759 terjemahan karya dalam bahasa Tionghoa dan 1.398 novel dan cerpen asli.
Sudah barang tentu, jumlah karya yang fantastis itu sangat menentukan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia modern. Tidak mungkin sebuah karya sastra muncul dan berdiri sendiri tanpa adanya faktor sosiologis yang memengaruhinya. Sebuah karya tidak muncul dalam ruang yang kosong. Selain karena hasil renungan dan refleksi atas realitas keseharian, sebuah karya selalu diilhami oleh buku-buku bacaan lainnya.
Alasan sepele yang digunakan Balai Pustaka ketika itu adalah karena karya sastra peranakan Tionghoa itu lebih banyak berisi roman picisan. Maksudnya, selain berisi cerita percintaan dengan beragam bentuk dan isi, karya tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah yang tidak bisa dijadikan untuk perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia yang ketika itu menggunakan karya sastra Melayu Tinggi. Walaupun, banyak dari karya sastra Melayu-Tionghoa dari segi bahasa ataupun isi tidak kalah dengan karya sastra yang dianggap representatif oleh Balai Pustaka.
Namun, karena karya-karya tersebut lebih banyak menyoroti kondisi realitas kebusukkan yang terjadi di masyarakat akibat kolonialisasi, hal itu membuat khawatir pemerintah Hindia Belanda. Terlebih lagi, Cikal bakal Balai Pustaka adalah Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volklectuur) yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 untuk membendung atau menghadang bangkitnya kesadaran nasional yang pada tahun 1917 komisi ini berubah menjadi Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur). Dikenal dengan Balai Pustaka (Ajib Rosidi: 1948).
Kehadiran Balai Pustaka yang disponsori pemerintah Hindia Belanda menjadi lembaga kontrol yang otoritatif kepada masyarakat dengan menentukan pilihan bacaan sastra yang “baik” dan “buruk”, rendah dan tinggi. Tujuannya ialah membendung sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selama ini diterapkan. Imbas dari kebijakan ini, Selain masyarakat kurang memiliki daya kritis saat membaca karya sastra yang ditentukan itu, tidak terdokumentasikan karya-karya sastra non Balai Pustaka yang merupakan bagian warisan sejarah perjalanan sastra nusantara (Aning Retnaningsih: 1983 ; A. Teeuw: 1942).
Praktis sejak Indonesia merdeka, hanya sedikit sarjana dan penulis yang memperhatikan perkembangan sastra Melayu Tionghoa yang dianggap bermutu rendah. Pramudya Ananta Toer salah seorang penulis yang sedikit itu. Pada tahun 1963, ia mengasuh rubrik lentera di harian Bintang Timur dan menuliskan sastra Melayu Tionghoa dalam kontek sastra pra Indonesia bersama dengan karya-karya lain yang ditulis dengan bahasa Melayu Rendah. Selain itu, awal tahun 1960-an ketika mengajar di Universitas Res Publica (Ureca) Jakarta, ia mendorong beberapa mahasiswanya untuk meneliti kesusastraan “Melayu Rendah” . Lalu muncullah beberapa skripsi sarjana muda sastra yang mengambil tema sastra Tionghoa peranakan. Meskipun kajian ini sedikit diketahui oleh publik.
Menurunnya minat untuk mengkaji sastra Melayu Tionghoa ini diperparah dengan lahirnya Orde baru dengan pelbagai kebijakan terhadap orang Tionghoa sejak tahun 1966. Selain menghilangkan karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, Orde Baru juga melucuti pelbagai hal yang berkaitan dengan simbol kechinaan. Mulai dari pelarangan sekolah, media massa, ormas, penggunaan bahasa Tionghoa hingga pemaksaan umat Konghucu untuk memeluk lima agama yang diakui rejim Orde Baru. Lewat kebijakan naturalisasi selama dua generasi ini membuat masyarakat Tionghoa menjadi berjarak dengan akar budaya nenek moyangnya.
Selain itu, rejim Orde Baru juga membentuk mitos-mitos terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Pertama, mitos determinisme ekonomi, di mana orang Tionghoa dibayangkan sebagai etnis yang secara esensialis memiliki kepiawaian dan keuletan perihal perdagangan. Kedua, mereka secara kultural memiliki tradisi yang berbeda dengan mayoritas etnis Indonesia kebanyakan. Seperti bahasa yang digunakan, adat istiadatnya, selalu ingin tinggal dengan sesama etnisnya, kulitnya lebih putih, dan etnis yang seragam; mitos keseragaman ini mengindikasikan adanya persamaan dan pluralitas pun menjadi kabur (Ariel Heryanto: 1998). Cara memandang orang Tionghoa sebagai liyan inilah yang kemudian di reproduksi masyarakat Indonesia dan juga diamini orang Tionghoa sendiri hingga kini.
Dus, Tionghoa bukanlah etnis yang baru di negeri ini, melainkan etnis yang sudah berurat akar sebelum Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari etnis nusantara di Indonesia yang juga turut membentuk kesusastraan Indonesia modern. Selain itu, lewat karya sastra yang dihasilkan telah menciptakan imajinasi kebangsaan mengenai apa itu “menjadi orang Indonesia”. Namun, faktor kepentingan dan kuasa politiklah yang membuat mereka dianggap berbeda dengan etnis-etnis yang lainnya.
Lokasi Lepau Cerpen AA Navis
Adek Alwi
http://www.suarakarya-online.com/
Ada empat cerpen AA Navis berlokasi-cerita di lepau kopi atau warung. Yaitu, Politik Warung Kopi (PWK), Kisah Seorang Amir (KSA), Orang dari Luar Negeri (OdLN), Bertanya Kerbau pada Pedati (BKpP). PWK, KSA, OdLN, serta dua cerpen lain ditulis periode 1955-1960, dihimpun dalam Hujan Panas (Nusantara, Bukittinggi, 1964). Pada cetakan ke-2 (Djambatan, Jakarta, 1990), judul kumpulan ini berubah jadi Hujan Panas dan Kabut Musim, dan memuat 10 cerpen.
BKpP ditulis di Padang 14 Januari 1985, dimuat pertama kali dalam Horison No.11/ 1985, kemudian masuk dalam kumpulan Bianglala cetakan ke-2 (Grafikatama, Jakarta, 1990) yang berisi 10 cerpen. Kumpulan Bianglala sendiri pertama terbit pada 1963 (Nusantara), memuat lima cerpen. Bianglala versi cetakan ke-2 diterbitkan lagi oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2001 dengan judul Bertanya Kerbau pada Pedati, serta mengganti dua cerpen yang ada di dalamnya, namun jumlahnya tetap 10.
Perubahan judul dan isi dua kumpulan itu akan sedikit menyulitkan pengamat, namun tulisan ini tidak bicara soal itu, melainkan “meninjau” lokasi lepau kopi atau warung dalam empat tersebut (PWK, KSA, OdLN, dan BKpP). Sebab bila dicermati, terkesan bahwa lepau atau warung pada keempat cerpen itu mengacu ke model-lokasi serupa, yaitu lepau kopi/warung di kawasan tertentu di kota kelahiran pengarang.
Kesan itu muncul, karena: (1) gambaran lokasi lepau atau warung yang sama pada dua cerpen, serta ciri yang menguatkan dalam cerpen lain; (2) keterangan tempat “kampungku”, “kotaku”, “kota kelahiranku”, yang terdapat pada cerpen berbeda; dan (3) keterangan “kota kelahiranku” di salah satu cerpen juga disertai nama kota, yaitu Padang Panjang. Dan, akan dilihat pula nanti apa yang mendorong Navis memakai model-lokasi lepau itu.
Lokasi Lepau
Cerpen PWK bercerita tentang orang-orang yang mendiskusikan situasi politik tahun 1950-an sambil minum kopi di lepau, dibuka dengan: “Di warung Mak Lisut, di simpang tiga dekat rumahku di kampung, saban waktu bisa terjadi sidang politik yang menarik.” Lokasi lepau pada kalimat pembuka PWK ini bisa menjadi titik-tolak untuk menelusuri lokasi lepau cerpen lain, sehingga gambaran serupa lalu kita temui pada cerpen KSA. Umpamanya: “ia berkata di lepau kopi di simpang tiga kampungku”; “diperkenalkan dirinya dengan memasuki pergaulan lepau kopi di simpang tiga”; “sebelum ia pergi ke kantor, ia mampir dulu di lepau kopi simpang tiga”.
Nama pemilik lepau pada kedua cerpen ini juga mirip. “Lisut” pada PWK, dan dalam cerpen KSA: “Di lepau si Liput tak pernah ia membayar apa yang ia makan.”
Cerpen KSA bercerita mengenai pendatang “di kampungku”. Mulanya, Amir, si pendatang diterima warga dengan baik. Ia terkesan ramah, berpengetahuan, amtenar pula. Ia pun ditraktir, dan dijamu. Tapi kedoknya lalu terbuka satu-satu. Puncaknya, saat ia keliru sebagai imam dan tidak mau diluruskan. Rupanya, Amir cuma bermulut besar, mau enak sendiri, demi perutnya yang tidak pernah kenyang.
Dalam cerpen OdLN dan BKpP, memang tidak disebut lepau atau warung itu “di simpang tiga dekat rumahku di kampung”. Tapi dilukiskan cirinya, juga ciri lokasi luasannya (”kampungku”, “kotaku”, “kota kelahiranku”) dan nama “Padang Panjang”.
OdLN mengisahkan orang “kota kelahiranku” yang tidak pandai hidup, walau belajar di luar negeri. Padahal, tulis Navis membuka OdLN: “Padang Panjang adalah kota yang berbahagia. Aku di situ lahir. Hampir seperlima abad aku dihidupinya. Kota itu memang banyak memberi hidup.”
Walau banyak lapangan hidup, tetapi orang-orang “kota kelahiranku” dari luar negeri gagap, aneh-aneh kelakuannya. Ada yang “suka datang ke kedai di mana kami biasanya menghabiskan hari”. Sebab, “di kota kelahiranku” orang bisa “duduk-duduk atau bermain kartu di kedai-kedai kopi sambil mengutang segelas kopi, tanpa dapat masam muka dari si empunya kedai”. Tapi, walau “sesering itu kami ngobrol di kedai kopi, haram sekali ia membayar.”
Sedangkan BKpP adalah cerpen alegoris, tentang derita kerbau penarik pedati. “Aku”, dari depan “warung ayah” yang terletak “di tepi jalan raya di pendakian yang panjang”, selalu melihat iring-iringan pedati dari “pesisir”. Setelah “sehari semalam” di jalan, melalui “Lembah Anai”, konvoi itu sampai “di kotaku”, “berhenti beberapa saat di depan warung ayah”. Muatan pedati berat sehingga kerbau “terberak-berak”, “terkencing-kencing”. Tukang pedati tidak peduli derita kerbau. Syukur “kotaku kota penghujan”, jadi kotoran itu lenyap sendiri.
Lalu, suatu ketika, terjadi keanehan. “Aku” seperti mendengar kerbau bertanya pada pedati, pedati meneruskan pada muatan, dari muatan ke tukang pedati: “Wahai tukang pedati, kerbau bertanya, masih jauhkah pendakian ini?” Dan, “aku” marah saat tukang pedati berkata pada muatan: “Huss! Kau nyinyir amat. Kalau sedang di atas diam-diam sajalah. Kan bukan engkau yang payah?” “Aku” teriak menyuruh kerbau berontak. Kerbau “terlepas dari kungkungan”, pedati-pedati itu terbalik!
Dari “kode-kode” di atas, kini dapat disusun kalimat untuk memperjelas lokasi lepau kopi atau warung keempat cerpen itu. Yaitu: “di simpang tiga dekat rumahku di kampung, di tepi jalan raya di pendakian yang panjang, di kota kelahiranku Padang Panjang yang penghujan.”
Lokasi lepau semacam itu ada di kota Padang Panjang, yakni di kawasan yang disebut Lapau Panjang, di Silaiang, di tepi jalan yang mendaki pada pertigaan arah: pasar, Kampung Jawa, Lembah Anai/Padang. Dari rumah kelahiran dan masa kecil AA Navis di Kampung Jawa, lepau kopi Lapau Panjang sekitar puluhan meter saja.
Penggunaan Model
Pemakaian model untuk tokoh, atau lokasi-cerita, lazim pada penulisan sastra. Namun, apa yang mendorong Navis menggunakan model lepau kopi Lapau Panjang?
Beda dari Motinggo Busye yang dengan sadar memakai “temanku M Nizar” sebagai model Mat Kontan ketika menulis drama Malam Jahanam (Pelita, 1/7/1987), juga Pramoedya Ananta Toer yang (lewat) riset menjadikan Tirto Adhisoerjo model tokoh Minke untuk tetralogi Bumi Manusia, pada AA Navis pemakaian lepau Lapau Panjang lebih dipengaruhi unsur tak sadar. Lepau kopi atau warung di Lapau Panjang yang tentu diakrabi Navis waktu kecil/remaja, oleh suatu sebab, mungkin rindu, hadir begitu saja atau tanpa sengaja saat ia menulis keempat cerpen di atas.
Ada hal-hal menguatkan dugaan itu. Pertama, PWK, KSA, OdLN, ditulis pada 1955-1960. Navis saat itu tinggal di Bukittinggi dan Maninjau; perang saudara (PRRI) terjadi di Sumatera Barat. Hal itu menimbulkan rindu pada tanah lahir, apalagi zaman itu sulit bepergian (pakai surat jalan segala!). Dan khusus cerpen BKpP, rindu Navis adalah pada masa lalu, nostalgia. Cerpen ini ditulis saat usianya kian lanjut, 61.
Kedua, selama hidup (17 November 1924 - 22 Maret 2003) Navis tidak pernah merantau keluar Sumatera Barat. Jadi, mustahil ia tak kenal/melihat lepau dan warung lain, terlebih di Ranah Minang di mana lepau kopi di tiap pojok. Namun, lepau kopi di Lapau Panjang adalah “cinta pertama” Navis; sulit hilang, menghuni bawah sadar, dan juga kenang. ***
* ADEK ALWI, pengarang dan wartawan
http://www.suarakarya-online.com/
Ada empat cerpen AA Navis berlokasi-cerita di lepau kopi atau warung. Yaitu, Politik Warung Kopi (PWK), Kisah Seorang Amir (KSA), Orang dari Luar Negeri (OdLN), Bertanya Kerbau pada Pedati (BKpP). PWK, KSA, OdLN, serta dua cerpen lain ditulis periode 1955-1960, dihimpun dalam Hujan Panas (Nusantara, Bukittinggi, 1964). Pada cetakan ke-2 (Djambatan, Jakarta, 1990), judul kumpulan ini berubah jadi Hujan Panas dan Kabut Musim, dan memuat 10 cerpen.
BKpP ditulis di Padang 14 Januari 1985, dimuat pertama kali dalam Horison No.11/ 1985, kemudian masuk dalam kumpulan Bianglala cetakan ke-2 (Grafikatama, Jakarta, 1990) yang berisi 10 cerpen. Kumpulan Bianglala sendiri pertama terbit pada 1963 (Nusantara), memuat lima cerpen. Bianglala versi cetakan ke-2 diterbitkan lagi oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2001 dengan judul Bertanya Kerbau pada Pedati, serta mengganti dua cerpen yang ada di dalamnya, namun jumlahnya tetap 10.
Perubahan judul dan isi dua kumpulan itu akan sedikit menyulitkan pengamat, namun tulisan ini tidak bicara soal itu, melainkan “meninjau” lokasi lepau kopi atau warung dalam empat tersebut (PWK, KSA, OdLN, dan BKpP). Sebab bila dicermati, terkesan bahwa lepau atau warung pada keempat cerpen itu mengacu ke model-lokasi serupa, yaitu lepau kopi/warung di kawasan tertentu di kota kelahiran pengarang.
Kesan itu muncul, karena: (1) gambaran lokasi lepau atau warung yang sama pada dua cerpen, serta ciri yang menguatkan dalam cerpen lain; (2) keterangan tempat “kampungku”, “kotaku”, “kota kelahiranku”, yang terdapat pada cerpen berbeda; dan (3) keterangan “kota kelahiranku” di salah satu cerpen juga disertai nama kota, yaitu Padang Panjang. Dan, akan dilihat pula nanti apa yang mendorong Navis memakai model-lokasi lepau itu.
Lokasi Lepau
Cerpen PWK bercerita tentang orang-orang yang mendiskusikan situasi politik tahun 1950-an sambil minum kopi di lepau, dibuka dengan: “Di warung Mak Lisut, di simpang tiga dekat rumahku di kampung, saban waktu bisa terjadi sidang politik yang menarik.” Lokasi lepau pada kalimat pembuka PWK ini bisa menjadi titik-tolak untuk menelusuri lokasi lepau cerpen lain, sehingga gambaran serupa lalu kita temui pada cerpen KSA. Umpamanya: “ia berkata di lepau kopi di simpang tiga kampungku”; “diperkenalkan dirinya dengan memasuki pergaulan lepau kopi di simpang tiga”; “sebelum ia pergi ke kantor, ia mampir dulu di lepau kopi simpang tiga”.
Nama pemilik lepau pada kedua cerpen ini juga mirip. “Lisut” pada PWK, dan dalam cerpen KSA: “Di lepau si Liput tak pernah ia membayar apa yang ia makan.”
Cerpen KSA bercerita mengenai pendatang “di kampungku”. Mulanya, Amir, si pendatang diterima warga dengan baik. Ia terkesan ramah, berpengetahuan, amtenar pula. Ia pun ditraktir, dan dijamu. Tapi kedoknya lalu terbuka satu-satu. Puncaknya, saat ia keliru sebagai imam dan tidak mau diluruskan. Rupanya, Amir cuma bermulut besar, mau enak sendiri, demi perutnya yang tidak pernah kenyang.
Dalam cerpen OdLN dan BKpP, memang tidak disebut lepau atau warung itu “di simpang tiga dekat rumahku di kampung”. Tapi dilukiskan cirinya, juga ciri lokasi luasannya (”kampungku”, “kotaku”, “kota kelahiranku”) dan nama “Padang Panjang”.
OdLN mengisahkan orang “kota kelahiranku” yang tidak pandai hidup, walau belajar di luar negeri. Padahal, tulis Navis membuka OdLN: “Padang Panjang adalah kota yang berbahagia. Aku di situ lahir. Hampir seperlima abad aku dihidupinya. Kota itu memang banyak memberi hidup.”
Walau banyak lapangan hidup, tetapi orang-orang “kota kelahiranku” dari luar negeri gagap, aneh-aneh kelakuannya. Ada yang “suka datang ke kedai di mana kami biasanya menghabiskan hari”. Sebab, “di kota kelahiranku” orang bisa “duduk-duduk atau bermain kartu di kedai-kedai kopi sambil mengutang segelas kopi, tanpa dapat masam muka dari si empunya kedai”. Tapi, walau “sesering itu kami ngobrol di kedai kopi, haram sekali ia membayar.”
Sedangkan BKpP adalah cerpen alegoris, tentang derita kerbau penarik pedati. “Aku”, dari depan “warung ayah” yang terletak “di tepi jalan raya di pendakian yang panjang”, selalu melihat iring-iringan pedati dari “pesisir”. Setelah “sehari semalam” di jalan, melalui “Lembah Anai”, konvoi itu sampai “di kotaku”, “berhenti beberapa saat di depan warung ayah”. Muatan pedati berat sehingga kerbau “terberak-berak”, “terkencing-kencing”. Tukang pedati tidak peduli derita kerbau. Syukur “kotaku kota penghujan”, jadi kotoran itu lenyap sendiri.
Lalu, suatu ketika, terjadi keanehan. “Aku” seperti mendengar kerbau bertanya pada pedati, pedati meneruskan pada muatan, dari muatan ke tukang pedati: “Wahai tukang pedati, kerbau bertanya, masih jauhkah pendakian ini?” Dan, “aku” marah saat tukang pedati berkata pada muatan: “Huss! Kau nyinyir amat. Kalau sedang di atas diam-diam sajalah. Kan bukan engkau yang payah?” “Aku” teriak menyuruh kerbau berontak. Kerbau “terlepas dari kungkungan”, pedati-pedati itu terbalik!
Dari “kode-kode” di atas, kini dapat disusun kalimat untuk memperjelas lokasi lepau kopi atau warung keempat cerpen itu. Yaitu: “di simpang tiga dekat rumahku di kampung, di tepi jalan raya di pendakian yang panjang, di kota kelahiranku Padang Panjang yang penghujan.”
Lokasi lepau semacam itu ada di kota Padang Panjang, yakni di kawasan yang disebut Lapau Panjang, di Silaiang, di tepi jalan yang mendaki pada pertigaan arah: pasar, Kampung Jawa, Lembah Anai/Padang. Dari rumah kelahiran dan masa kecil AA Navis di Kampung Jawa, lepau kopi Lapau Panjang sekitar puluhan meter saja.
Penggunaan Model
Pemakaian model untuk tokoh, atau lokasi-cerita, lazim pada penulisan sastra. Namun, apa yang mendorong Navis menggunakan model lepau kopi Lapau Panjang?
Beda dari Motinggo Busye yang dengan sadar memakai “temanku M Nizar” sebagai model Mat Kontan ketika menulis drama Malam Jahanam (Pelita, 1/7/1987), juga Pramoedya Ananta Toer yang (lewat) riset menjadikan Tirto Adhisoerjo model tokoh Minke untuk tetralogi Bumi Manusia, pada AA Navis pemakaian lepau Lapau Panjang lebih dipengaruhi unsur tak sadar. Lepau kopi atau warung di Lapau Panjang yang tentu diakrabi Navis waktu kecil/remaja, oleh suatu sebab, mungkin rindu, hadir begitu saja atau tanpa sengaja saat ia menulis keempat cerpen di atas.
Ada hal-hal menguatkan dugaan itu. Pertama, PWK, KSA, OdLN, ditulis pada 1955-1960. Navis saat itu tinggal di Bukittinggi dan Maninjau; perang saudara (PRRI) terjadi di Sumatera Barat. Hal itu menimbulkan rindu pada tanah lahir, apalagi zaman itu sulit bepergian (pakai surat jalan segala!). Dan khusus cerpen BKpP, rindu Navis adalah pada masa lalu, nostalgia. Cerpen ini ditulis saat usianya kian lanjut, 61.
Kedua, selama hidup (17 November 1924 - 22 Maret 2003) Navis tidak pernah merantau keluar Sumatera Barat. Jadi, mustahil ia tak kenal/melihat lepau dan warung lain, terlebih di Ranah Minang di mana lepau kopi di tiap pojok. Namun, lepau kopi di Lapau Panjang adalah “cinta pertama” Navis; sulit hilang, menghuni bawah sadar, dan juga kenang. ***
* ADEK ALWI, pengarang dan wartawan
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar