Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/
BAGI adik-adik pencinta sastra yang rajin mengikuti perkembangan dunia perpuisian Indonesia, pasti pernah menemukan puisi yang sangat pendek dan puisi yang sangat panjang. Setelahnya, mungkin adik-adik merasa bingung. Apakah sebuah puisi yang hanya terdiri dari satu kata, bisa disebut sebagai puisi? Atau, puisi yang panjangnya minta ampun, yang menyerupai panjang sebuah cerpen, apakah bisa pula disebut puisi?
Satu contoh, puisi penyair ternama dari Riau, Sutardji Calzoum Bachri. Dia pernah menulis beberapa puisi yang terdiri dari satu atau dua suku kata. Misalnya puisi yang berjudul “Kalian” dan “Luka”. Puisi “Kalian” hanya berisi kata “pun.” Sementara puisi “Luka” hanya berisi kata, “Ha Ha”. Dua puisi sangat pendek ini, tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan pembaca. Setidak ada dua pertanyaan yang menonjol: apa maksud puisi ini, dan puisi jugakah namanya ini?
Soal “maksud” sebuah puisi, tentu tak perlu terlalu bersitegang leher mendiskusikannya, karena tiap pembaca mutlak punya cara membaca dan menafsir sendiri. Dan puisi lebih suka kalau diberi tafsir yang beragam oleh pembacanya. Lalu, bahwa Sutardji memasukkan dua puisi pendek di atas dalam sebuah buku antologi puisi tunggalnya, maka kemudian kita berani secara tegas mengatakan bahwa itu juga bernama puisi.
Pertanyaan berikutnya—yang juga kerap diajukan pada saya di sejumlah seminar dan workshop sastra—apakah tiap orang bisa dan berhak menulis puisi pendek semacam itu? Jawaban pertama, ya, bisa dan berhak. Karena dunia puisi adalah dunia seni, dunia kreativitas. Sifat dari kreativitas adalah tidak membatasi. Namun (ini jawaban kedua), tentu tidak tiap orang yang “mampu” mencipta puisi semacam itu dan diakui oleh publik. Kalau pun bisa, puisi yang diciptakan itu harus melalui sebuah “proses panjang” berjuang di dunia sastra. Artinya, pengakuan dari masyarakat pembaca sangat tergantung dari bagaimana seorang penyair mampu komitmen dengan dunianya tersebut.
Ada puisi pendek, ada pula puisi panjang. Belakangan, proses kreatif pe-nulisan puisi saya yang beberapa kali dimuat koran Kompas, mengarah kepada puisi panjang. Puisi-puisi saya itu terdiri dari minimal 5 halaman. Saya kira, karena saya memang berniat menulisnya sebagai puisi, dan bukan “prosa lirik” maka ia pun dapat digolongkan ke dalam jenis puisi. Puisi-puisi saya itu memang lebih banyak mengeksplorasi spirit sejarah Melayu sebagai tema maupun sebagai bentuk.
Nah, sekarang, terserah pada adik-adik. Mau nulis puisi pendek atau puisi panjang, atau puisi yang “standar.” Bebas. Hanya saja, kalau mau dikirim ke media, harus juga ditengok bagaimana kecenderungan dari media tersebut. Kalau memang ruangnya kecil, dengan format puisi “standar”, tentu untuk puisi yang terlalu panjang tidak dapat diakomodir. Untuk puisi pendek, saya kira, masih bisa masuk.
Satu hal lagi yang cukup penting adalah, apa pun bentuk puisi itu, kekuatannya tetap pada bagaimana keberhasilan kita mencipta puisi secara “seimbang.” Artinya, tidak hanya pada bentuknya yang panjang dan pendek, tapi juga kekuatan isinya. Kedalaman karyanya. Bobot diksi-diksinya. Kekayaan bahasa dan maknanya.
Untuk edisi kali ini, cerpen Muhammad Nazar Al-Bani, “Ke Manakah Kau, Rumaila” hadir menemui kita. Kisah cinta yang tak sampai. Dibalut dengan konflik-konflik yang sebenarnya cukup “ideologis.” Hanya saja, Nazar harus terus memperbaiki cara bertuturnya dalam tulisn. Dan tidak melihat persoalan hanya dengan hitam-putih, baik-buruk saja. Sehingga terkesan menggurui.
Puisi, ada “Hati yang Sepi” karya Satriani. Permainan imaji alam untuk menyampaikan gagasan dalam puisi memang kerap digunakan pernyair. Satriani juga begitu. Meski masih terasa belum konsisten membangun imaji itu, hingga masih terasa longgar. Puisi berikut, “Putri Kecil” karya Miftahul Husna. Lebih kuat dapat kita tangkap pesan di dalamnya, karena terasa seperti sebuah nasihat. Meski cukup kuat diksinya, terurai dengan cukup baik dalam bait-baitnya.
Puisi lain ada Nurhusni Kamil dengan “ Sajak Rindu.” Judul puisi ini tentu telah memberi arah pada pembaca untuk memulai sebuah tafsir. Puisi liris ini cukup baik menyimpan imaji, seperti tampak pada, “aku me-nyembunyikan bayangmu dalam sajakku.” Lalu, ada puisi “Ombak Tak Menerjang” karya Riang Musaroh. Sesungguhnya puisi ini berpotensi bagus jika tidak menghadirkan bait ketiga yang verbal itu. Diksi “sarjana telah bertengger di pundakmu” terasa klise.
Berikut puisi “Sebuah Harapan” karya Retno Mustika. Suasana dibangun dengan cukup baik dalam puisi ini. Simbol-simbol alam masuk sebagai penguat dari tema penantian si aku-lirik. Sementara puisi M. Iqbal Al-Raziq, adalah puisi sederhana yang ringan untuk dicerna yang ditulis oleh seorang siswa SMP. Saya kira, potensinya adalah pada imajinasi tentang “rumah” yang tak hanya tempat berlindung tapi juga tempat menaburkan benih-benih kasih sayang.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 28 September 2010
Senin, 27 September 2010
Merandai Kata, Musik, dan Rupa
Kurie Suditomo
http://majalah.tempointeraktif.com/
KOPER tua itu ditemukan di kamar ayahnya yang baru wafat. Di dalamnya ada selembar pasfoto. Kecil, buram, hanya menampakkan raut wajah perempuan muda, tapi kuyu. Ia kemudian memaksa membangun kontak dengan sepasang mata yang tampak di wajah itu. “Mata itu, mata Solo. Mata nenekku,” kata penyair Belanda Reggie Baay. Ada selembar surat di koper itu, yang mengutip nama sang nenek, singkat: Muinah, asal Solo-Jengkilung.
Kakek Reggie seorang Belanda totok. Semasa bertugas di Hindia Belanda, ia mengambil seorang perempuan muda menjadi gundiknya. Seorang anak lelaki lahir dari hubungan mereka. Kemudian kakeknya kembali ke Belanda. Si anak lelaki, berusia lima tahun, menurut hukum yang berlaku, dibawa serta. Surat itu adalah bukti penyerahan si anak dari ibunya kepada sang ayah. Tali kasih yang diputus, selama-lamanya.
Pasfoto dan surat itu menjadi inspirasi buku kumpulan cerpen De ogen van Solo (Mata Solo) karya Reggie, sang cucu, pada 2005. Isinya kisah-kisah migrasi dan ketercerabutan anak-anak Indo-Belanda yang dibawa paksa. Salah satunya dibacakan Reggie pada malam pertama Bienal Sastra Utan Kayu di Teater Salihara, Jakarta Selatan, 21 Oktober silam.
Perjumpaan hangat Reggie dan 30 sastrawan dalam dan luar negeri menerjemahkan tema Bienal kali ini, yakni merandai yang diartikan berpindah dari satu tempat ke tempat lain pada bidang setara. Tak berhenti dalam puisi, merandai dalam hal ini juga perpindahan dari disiplin seni yang berbeda, dari sastra, rupa, dan musik. Pada saat yang sama Bienal juga menggelar pameran seni rupa: lukisan, patung, dan instalasi yang berangkat dari puisi yang dibacakan.
Selama empat hari mereka silih berganti membawakan puisi dan cerpen dalam bahasa masing-masing: Belanda, Italia, Korea, dan Indonesia. Saat tampil, sebuah layar di belakang mereka menayangkan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Setelah membacakan puisi, para penyair berdiskusi. Sesungguhnya keempat diskusi itu menarik, meski singkat dan lamban karena pemandu harus bolak-balik menerjemahkan.
Reggie menikmati ketika, dalam bienal, sejarah versi Belandanya bersanding dengan sejarah kolonial versi penyair Tanah Air. Penyair Iksaka Banu menyuguhkan Mawar di Kanal Macan, tentang perselingkuhan di era kolonial yang dihukum cambuk dan gantung. Penyair A.S. Laksana menyodorkan Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut, berisi cerita tentang asal-muasal Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia. Penyair Indonesia dan penyair Belanda, menurut Reggie, berbagi banyak kesamaan. Reggie mengutip Sulak, panggilan akrab A.S. Laksana, yang menyebut “raksasa berwajah bayi”. “Itu metafor serupa yang pernah dipakai penyair Belanda, wajah merah, hidung merah,” dia tertawa.
Eksplorasi terhadap sejarah pribadi juga dilakukan yang lain. Seperti Dacia Maraini, feminis Italia yang membacakan cerpen The Ship for Kobe. Inilah kisah perjalanan keluarganya yang naik kapal ribuan kilometer dari Italia menuju Jepang, menghindari pemerintahan fasis Mussolini pada 1938. Dacia baru berusia satu tahun saat itu. Juga Bernice Chauly, penyair Malaysia yang satu dari tiga puisinya menyitir memoar yang tengah ia kerjakan. Bernice besar dalam keluarga yang plural, ibunya Tionghoa dan ayahnya Punjabi. Ia sendiri menulis dalam bahasa Melayu dan Inggris. “Kami penyair mengerti satu sama lain, kami bicara bahasa universal,” kata Bernice.
Dari Tanah Air, berderet nama penyair seperti Sapardi Djoko Damono, Triyanto Triwikromo, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Handry T.M., Gus tf Sakai, Yanusa Nugroho, dan Lily Yulianti Farid. Karya merekalah yang diberikan kepada perupa dan dimanifestasi dalam seni rupa. Wahyudin, kurator pameran, mengatakan para perupa sila memaknai puisi dengan bebas. Menyitir Sapardi, mereka boleh ikut dalam permainan atau melemparkannya saja.
Sapardi membacakan sajak Bayangkan Seandainya yang diambil dari buku puisinya yang terbaru, Kolam. Perupa Faisal Habibi telah menerjemahkannya dalam karya Hybridize: Table Mirror 2009. Tentu saja Wahyudin tidak mengkritik interpretasi Habibi. Namun ia menulis seperti cemas: “Bentuk ini semoga saja tidak membekukan gambar bergerak dalam benak dan menyurutkan kekuatan gaib kata-kata dalam puisinya itu.”
Penyair Australia, Jan Cornall, kagum terhadap Reggie yang disebutnya seperti tokoh Minke yang melangkah keluar dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Namun Jan dan penyair Korea, Moon Chung-hee, sama-sama menyebut nama penyair muda Makassar, M. Aan Mansyur, sebagai penyair muda potensial yang mereka sukai. Aan, 28 tahun, yang tampil dengan sweatshirt abu-abu bertulisan “Batman”, mengatakan ia mesti menulis dengan kata-kata yang jernih agar sang ibunda, yang tak lulus sekolah menengah, bisa paham. Seperti penutup pada sajak Pagi Ini:
Pagi ini aku memutuskan pura-pura jadi orang gila dan tidur di trotoar.
Aku biarkan kepalaku diinjak-injak pejalan kaki yang ringan bagai topi.
Aku biarkan kepalaku pecah bagai telur yang hendak dibuat jadi omelet. Aku biarkan peristiwa-peristiwa meleleh ke jalan dan melengket pada sol sepatu orang-orang. Aku terpingkal-pingkal agar sekalian bisa buang air.
l l l
Paruh kedua acara, pukul 9 hingga tengah malam, diisi dengan poetry slam. Terjemahannya, bantingan puisi: setiap orang yang ingin membacakan puisinya tinggal mendaftar dan berlaga, juri akan memilih yang terbaik. Dari ruang teater blackbox di lantai dasar, para pengunjung pun pindah ke atap. Di tempat terbuka seluas sekitar setengah lapangan bola itu seperangkat pengeras suara telah disiapkan. Pisang goreng, wedang ronde, dan tahu isi tersedia. Sebagian duduk di kursi, sebagian lain duduk di bangku batu yang mengelilingi area. Asap rokok mengepul ke langit mendung.
Ada empat band berbeda setiap malamnya. Mereka mengisi jeda antara pembacaan puisi dan musik yang berangkat dari karya penyair. Seperti band pada malam pertama, Tika and The Dissidents, yang menginterpretasi karya Iyut Fitra, penyair asal Payakumbuh. Setelah 5-6 penyair tampil, yang menang adalah seorang guru bahasa Italia di Istituto Italiano di Cultura, Jakarta. Qissera el Thirfiarani, 26 tahun, sang guru itu, tampil renyah dengan puisi Aldo Pallazeschi, La Fontana Malata. Meski tak bisa dimengerti, bunyi dan irama yang diucapkan Qissera terdengar lantang, segar, dengan sesekali berdesah. Qissera tertawa menanggapinya. “Itu tentang air mancur yang batuk-batuk, sakit,” katanya. Tiga malam berikutnya, mereka yang menang adalah para penyair muda yang sederhana tapi bersemangat.
Sebuah insiden kecil terjadi. Seorang penyair yang dipanggil namanya menyambar pengeras suara. Ia memegang pinggang celananya dan berguncang-guncang. “K***** adalah alat penyambung kehidupan!” teriaknya, tanpa teks. Ini masih disusul dengan celotehan lain yang serupa. Tak ada yang mencemooh, tapi tak ada pula yang bersorak. Seolah-olah mereka yang hadir mendadak jengah dan salah tingkah. Syukurlah, malam-malam berikutnya tak ada lagi yang begitu. “Cuma itu yang bisa dia tawarkan,” seorang penyair senior berbisik.
http://majalah.tempointeraktif.com/
KOPER tua itu ditemukan di kamar ayahnya yang baru wafat. Di dalamnya ada selembar pasfoto. Kecil, buram, hanya menampakkan raut wajah perempuan muda, tapi kuyu. Ia kemudian memaksa membangun kontak dengan sepasang mata yang tampak di wajah itu. “Mata itu, mata Solo. Mata nenekku,” kata penyair Belanda Reggie Baay. Ada selembar surat di koper itu, yang mengutip nama sang nenek, singkat: Muinah, asal Solo-Jengkilung.
Kakek Reggie seorang Belanda totok. Semasa bertugas di Hindia Belanda, ia mengambil seorang perempuan muda menjadi gundiknya. Seorang anak lelaki lahir dari hubungan mereka. Kemudian kakeknya kembali ke Belanda. Si anak lelaki, berusia lima tahun, menurut hukum yang berlaku, dibawa serta. Surat itu adalah bukti penyerahan si anak dari ibunya kepada sang ayah. Tali kasih yang diputus, selama-lamanya.
Pasfoto dan surat itu menjadi inspirasi buku kumpulan cerpen De ogen van Solo (Mata Solo) karya Reggie, sang cucu, pada 2005. Isinya kisah-kisah migrasi dan ketercerabutan anak-anak Indo-Belanda yang dibawa paksa. Salah satunya dibacakan Reggie pada malam pertama Bienal Sastra Utan Kayu di Teater Salihara, Jakarta Selatan, 21 Oktober silam.
Perjumpaan hangat Reggie dan 30 sastrawan dalam dan luar negeri menerjemahkan tema Bienal kali ini, yakni merandai yang diartikan berpindah dari satu tempat ke tempat lain pada bidang setara. Tak berhenti dalam puisi, merandai dalam hal ini juga perpindahan dari disiplin seni yang berbeda, dari sastra, rupa, dan musik. Pada saat yang sama Bienal juga menggelar pameran seni rupa: lukisan, patung, dan instalasi yang berangkat dari puisi yang dibacakan.
Selama empat hari mereka silih berganti membawakan puisi dan cerpen dalam bahasa masing-masing: Belanda, Italia, Korea, dan Indonesia. Saat tampil, sebuah layar di belakang mereka menayangkan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Setelah membacakan puisi, para penyair berdiskusi. Sesungguhnya keempat diskusi itu menarik, meski singkat dan lamban karena pemandu harus bolak-balik menerjemahkan.
Reggie menikmati ketika, dalam bienal, sejarah versi Belandanya bersanding dengan sejarah kolonial versi penyair Tanah Air. Penyair Iksaka Banu menyuguhkan Mawar di Kanal Macan, tentang perselingkuhan di era kolonial yang dihukum cambuk dan gantung. Penyair A.S. Laksana menyodorkan Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut, berisi cerita tentang asal-muasal Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun Batavia. Penyair Indonesia dan penyair Belanda, menurut Reggie, berbagi banyak kesamaan. Reggie mengutip Sulak, panggilan akrab A.S. Laksana, yang menyebut “raksasa berwajah bayi”. “Itu metafor serupa yang pernah dipakai penyair Belanda, wajah merah, hidung merah,” dia tertawa.
Eksplorasi terhadap sejarah pribadi juga dilakukan yang lain. Seperti Dacia Maraini, feminis Italia yang membacakan cerpen The Ship for Kobe. Inilah kisah perjalanan keluarganya yang naik kapal ribuan kilometer dari Italia menuju Jepang, menghindari pemerintahan fasis Mussolini pada 1938. Dacia baru berusia satu tahun saat itu. Juga Bernice Chauly, penyair Malaysia yang satu dari tiga puisinya menyitir memoar yang tengah ia kerjakan. Bernice besar dalam keluarga yang plural, ibunya Tionghoa dan ayahnya Punjabi. Ia sendiri menulis dalam bahasa Melayu dan Inggris. “Kami penyair mengerti satu sama lain, kami bicara bahasa universal,” kata Bernice.
Dari Tanah Air, berderet nama penyair seperti Sapardi Djoko Damono, Triyanto Triwikromo, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Handry T.M., Gus tf Sakai, Yanusa Nugroho, dan Lily Yulianti Farid. Karya merekalah yang diberikan kepada perupa dan dimanifestasi dalam seni rupa. Wahyudin, kurator pameran, mengatakan para perupa sila memaknai puisi dengan bebas. Menyitir Sapardi, mereka boleh ikut dalam permainan atau melemparkannya saja.
Sapardi membacakan sajak Bayangkan Seandainya yang diambil dari buku puisinya yang terbaru, Kolam. Perupa Faisal Habibi telah menerjemahkannya dalam karya Hybridize: Table Mirror 2009. Tentu saja Wahyudin tidak mengkritik interpretasi Habibi. Namun ia menulis seperti cemas: “Bentuk ini semoga saja tidak membekukan gambar bergerak dalam benak dan menyurutkan kekuatan gaib kata-kata dalam puisinya itu.”
Penyair Australia, Jan Cornall, kagum terhadap Reggie yang disebutnya seperti tokoh Minke yang melangkah keluar dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Namun Jan dan penyair Korea, Moon Chung-hee, sama-sama menyebut nama penyair muda Makassar, M. Aan Mansyur, sebagai penyair muda potensial yang mereka sukai. Aan, 28 tahun, yang tampil dengan sweatshirt abu-abu bertulisan “Batman”, mengatakan ia mesti menulis dengan kata-kata yang jernih agar sang ibunda, yang tak lulus sekolah menengah, bisa paham. Seperti penutup pada sajak Pagi Ini:
Pagi ini aku memutuskan pura-pura jadi orang gila dan tidur di trotoar.
Aku biarkan kepalaku diinjak-injak pejalan kaki yang ringan bagai topi.
Aku biarkan kepalaku pecah bagai telur yang hendak dibuat jadi omelet. Aku biarkan peristiwa-peristiwa meleleh ke jalan dan melengket pada sol sepatu orang-orang. Aku terpingkal-pingkal agar sekalian bisa buang air.
l l l
Paruh kedua acara, pukul 9 hingga tengah malam, diisi dengan poetry slam. Terjemahannya, bantingan puisi: setiap orang yang ingin membacakan puisinya tinggal mendaftar dan berlaga, juri akan memilih yang terbaik. Dari ruang teater blackbox di lantai dasar, para pengunjung pun pindah ke atap. Di tempat terbuka seluas sekitar setengah lapangan bola itu seperangkat pengeras suara telah disiapkan. Pisang goreng, wedang ronde, dan tahu isi tersedia. Sebagian duduk di kursi, sebagian lain duduk di bangku batu yang mengelilingi area. Asap rokok mengepul ke langit mendung.
Ada empat band berbeda setiap malamnya. Mereka mengisi jeda antara pembacaan puisi dan musik yang berangkat dari karya penyair. Seperti band pada malam pertama, Tika and The Dissidents, yang menginterpretasi karya Iyut Fitra, penyair asal Payakumbuh. Setelah 5-6 penyair tampil, yang menang adalah seorang guru bahasa Italia di Istituto Italiano di Cultura, Jakarta. Qissera el Thirfiarani, 26 tahun, sang guru itu, tampil renyah dengan puisi Aldo Pallazeschi, La Fontana Malata. Meski tak bisa dimengerti, bunyi dan irama yang diucapkan Qissera terdengar lantang, segar, dengan sesekali berdesah. Qissera tertawa menanggapinya. “Itu tentang air mancur yang batuk-batuk, sakit,” katanya. Tiga malam berikutnya, mereka yang menang adalah para penyair muda yang sederhana tapi bersemangat.
Sebuah insiden kecil terjadi. Seorang penyair yang dipanggil namanya menyambar pengeras suara. Ia memegang pinggang celananya dan berguncang-guncang. “K***** adalah alat penyambung kehidupan!” teriaknya, tanpa teks. Ini masih disusul dengan celotehan lain yang serupa. Tak ada yang mencemooh, tapi tak ada pula yang bersorak. Seolah-olah mereka yang hadir mendadak jengah dan salah tingkah. Syukurlah, malam-malam berikutnya tak ada lagi yang begitu. “Cuma itu yang bisa dia tawarkan,” seorang penyair senior berbisik.
Hasrat Sitor Terpenuhi di Bali
Nuryana Asmaudi
http://www.balipost.co.id/
Sastrawan Angkatan 45 Sitor Situmorang secara tak terduga Selasa (2/12) lalu tampil di hadapan publik sastra di Denpasar. Ia tampil membacakan sajak, berdialog, dan beramah-tamah dengan kalangan muda di Gallery Seputih milik Made Wianta di Jl. Pandu Tanjung Bungkak, Denpasar.
SASTRAWAN yang sudah lama menetap di Paris tersebut hadir di Bali bersama istrinya — Debora. Kedatangannya ke Bali itu kemudian dimanfaatkan untuk mengadakan pertemuan dengan para seniman serta peminat sastra di Bali. Penampilan Sitor di Gallery Seputih itu terbukti memang mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan seni di Bali.
Mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-1965), sebuah organisasi kesenian di bawah PNI, itu pun tampak sangat gembira bisa bertemu para seniman muda Bali. Sebuah kesempatan yang katanya memang sudah lama diimpikannya. Karenanya, Sitor — sastrawan yang pernah dipenjara oleh penguasa Orde Baru pasca- G-30-S/PKI — kemudian banyak bercerita dan dengan penuh semangat mengajak dialog seniman yang hadir malam itu.
Sitor mengaku datang ke Bali pertama kali tahun 1956. Pada saat itu ada Kongres Kebudayaan Nasional ke-2 yang diadakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Lalu kedatangannya yang ke-2 ke Bali pada 1962, pada saat Indonesia menjadi tuan rumah “Pertemuan atau Konferensi Kumpulan Pengarang-pengarang Asia-Afrika” yang dilangsungkan di Tanjung Sari, Sanur. Saat itu Sitor jadi ketua konferensi. Lalu, kedatangan saya yang ke-3 pada 1978, atas biaya dan dukungan Sutan Takdir Alisyahbana, selepas dia dipenjara selama delapan tahun oleh Orde Baru. “Setelah itu saya tak pernah lagi berkunjung ke Bali dan baru sekarang ini bisa datang lagi ke sini,” cerita Sitor.
Namun, kata Sitor, kedatangannya ke Bali yang paling berkesan adalah pada 1978. Saat dipenjara, dia berangan-angan, jika sudah bebas nanti yang pertama-tama ingin dikunjungi adalah Bali. Hal itu benar-benar bisa diwujudkan tepat setelah dia dibebaskan dari penjara, meskipun saat itu dia tak punya duit sama sekali. “Saya ditanggung Sutan Takdir, semuanya ditanggung dia. Saya diundang ke Toya Bungkah di Danau Batur tempat dia punya pesanggrahan sastra. Selama hampir sebulan saya tinggal di sana menikmati suasana sambil mengadakan penelitian. Saya perhatikan para turis yang sering kali datang ke sana. Saya bergaul dengan mereka,” cerita Sitor seraya menyebut, pengalamannya di Toya Bungkah itu ditulisnya menjadi buku “The Rites of The Bali Aga”.
Sitor malam itu membawa tiga buku karyanya yang kemudian diberikan sebagai kenang-kenangan kepada Made Wianta. Dua buku lainnya adalah “Kisah Surat Dari Legian” dan “Paris La Nuit”. “Buku kumpulan sajak saya yang pertama ‘Surat Kertas Hijau’ juga yang menerbitkan adalah Takdir, tokoh yang menjadi lawan politik saya pada saat itu. Itu kan aneh? Tapi ya begitulah sportivitas pertemanan kreatif kami pada masa itu. Seharusnya kan dia mencekal saya, tapi kok malah menerbitkan buku puisi saya, dan juga membiayai dan menanggung saya pergi-pulang dan selama saya di Bali saat itu,” kesan Sitor sambil tertawa.
Pertemuan antara Sitor dengan para seniman serta peminat sastra di Bali malam itu memang terkesan hangat. Sastrawan yang telah berusia 79 tahun itu sepertinya merasa mendapat gairah baru. Kesempatan itu pun dimanfaatkan untuk berdialog dan beramah-tamah lebih jauh. Termasuk mempertanyakan pada Sitor seputar peristiwa dan kondisi sastra khususnya di Bali pada masa 1950-an hingga 1960-an. Sayang, dalam dialog malam itu acap terjadi miskomunikasi. Mungkin karena faktor usia dan pendengaran Sitor yang sudah agak kurang peka dan ditambah lagi dengan adanya ”trauma” masa lalu Sitor. Sehingga, setiap pertanyaan yang diajukan ke Sitor ditanggapi dengan kesan seolah mengarah ke unsur politik. Ini membuat Sitor jadi “beringas”, seolah merasa sedang “diinteli” oleh generasi Orba. Padahal, beberapa seniman Bali benar-benar hanya menanyakan murni soal sastra dan tanpa bertendensi politik. Dalam kesempatan itu, Sitor sempat membacakan beberapa sajaknya antara lain “Lukisan Dalam Lukisan” dan “Untuk Pelukis Salim”. Beberapa sastrawan Bali pun membacakan sajaknya untuk Sitor.
***
Sitor Situmorang dilahirkan di Harianboho (Sumatera Utara) 2 Oktober 1924. Berpendidikan HIS (di Baliga dan Sibolga), MULO (Terutung), AMS (Jakarta) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai sinematografi di Universitas California AS (1956-57), pernah bermukin di beberapa kota seperti Singapura, Amsterdam, Leiden, Islamabad, Paris, dll. Ia pun pernah menjadi redaktur di beberapa media yang terbit di Sumatera dan Jawa. Juga aktif di berbagai organisasi kesenian dan pejabat pemerintahan. Juga pernah menjadi anggota MPRS dan dosen Akademi Teater Nasional (Jakarta). Sejumlah bukunya yang telah terbit antara lain “Pertempuran dan Salju di Paris” (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955/56. Kumpulan sajaknya “Peta Perjalanan” (1976) memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976/1977. Karya-karyanya yang lain adalah “Surat Kertas Hijau” (1954), “Jalan Mutiara” (1954), ”Dalam Sajak” (1955) ”Wajah Tak Bernama” (1956), ”Zaman Baru” (1962), ”Pangeran” (1963), ”Sastra Revolusioner” (1965), ”Dinding Waktu” (1976), ”Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba” (1981), ”Danau Toba” (1981), ”Angin Danau (1982), ”Bunga di Atas Batu” (1989), serta ”Rindu Kelana” (1994).
Pada usianya yang ke-80 Oktober tahun depan, juga akan terbit lima buku terbarunya di Jakarta. Meski karya-karyanya sudah begitu banyak dan usianya sudah uzur, Sitor mengaku masih tetap penuh semangat dan terus berkarya. ”Saya masih terus menulis sajak. Kalau dulu, pada usia 25-an karya-karya itu mengalir seperti banjir, sekarang setelah tua begini hanya menetes tapi terus dan tak mau henti,” aku Sitor.
Kepada para peminat sastra di Bali dan kalangan kampus, Sitor berpesan bahwa baca teori itu penting, tapi tak akan berarti tanpa pengalaman pribadi. ”Pengalaman pribadilah yang akan memperkaya dan memberi kematangan dalam berkarya,” tuturnya.
http://www.balipost.co.id/
Sastrawan Angkatan 45 Sitor Situmorang secara tak terduga Selasa (2/12) lalu tampil di hadapan publik sastra di Denpasar. Ia tampil membacakan sajak, berdialog, dan beramah-tamah dengan kalangan muda di Gallery Seputih milik Made Wianta di Jl. Pandu Tanjung Bungkak, Denpasar.
SASTRAWAN yang sudah lama menetap di Paris tersebut hadir di Bali bersama istrinya — Debora. Kedatangannya ke Bali itu kemudian dimanfaatkan untuk mengadakan pertemuan dengan para seniman serta peminat sastra di Bali. Penampilan Sitor di Gallery Seputih itu terbukti memang mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan seni di Bali.
Mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-1965), sebuah organisasi kesenian di bawah PNI, itu pun tampak sangat gembira bisa bertemu para seniman muda Bali. Sebuah kesempatan yang katanya memang sudah lama diimpikannya. Karenanya, Sitor — sastrawan yang pernah dipenjara oleh penguasa Orde Baru pasca- G-30-S/PKI — kemudian banyak bercerita dan dengan penuh semangat mengajak dialog seniman yang hadir malam itu.
Sitor mengaku datang ke Bali pertama kali tahun 1956. Pada saat itu ada Kongres Kebudayaan Nasional ke-2 yang diadakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Lalu kedatangannya yang ke-2 ke Bali pada 1962, pada saat Indonesia menjadi tuan rumah “Pertemuan atau Konferensi Kumpulan Pengarang-pengarang Asia-Afrika” yang dilangsungkan di Tanjung Sari, Sanur. Saat itu Sitor jadi ketua konferensi. Lalu, kedatangan saya yang ke-3 pada 1978, atas biaya dan dukungan Sutan Takdir Alisyahbana, selepas dia dipenjara selama delapan tahun oleh Orde Baru. “Setelah itu saya tak pernah lagi berkunjung ke Bali dan baru sekarang ini bisa datang lagi ke sini,” cerita Sitor.
Namun, kata Sitor, kedatangannya ke Bali yang paling berkesan adalah pada 1978. Saat dipenjara, dia berangan-angan, jika sudah bebas nanti yang pertama-tama ingin dikunjungi adalah Bali. Hal itu benar-benar bisa diwujudkan tepat setelah dia dibebaskan dari penjara, meskipun saat itu dia tak punya duit sama sekali. “Saya ditanggung Sutan Takdir, semuanya ditanggung dia. Saya diundang ke Toya Bungkah di Danau Batur tempat dia punya pesanggrahan sastra. Selama hampir sebulan saya tinggal di sana menikmati suasana sambil mengadakan penelitian. Saya perhatikan para turis yang sering kali datang ke sana. Saya bergaul dengan mereka,” cerita Sitor seraya menyebut, pengalamannya di Toya Bungkah itu ditulisnya menjadi buku “The Rites of The Bali Aga”.
Sitor malam itu membawa tiga buku karyanya yang kemudian diberikan sebagai kenang-kenangan kepada Made Wianta. Dua buku lainnya adalah “Kisah Surat Dari Legian” dan “Paris La Nuit”. “Buku kumpulan sajak saya yang pertama ‘Surat Kertas Hijau’ juga yang menerbitkan adalah Takdir, tokoh yang menjadi lawan politik saya pada saat itu. Itu kan aneh? Tapi ya begitulah sportivitas pertemanan kreatif kami pada masa itu. Seharusnya kan dia mencekal saya, tapi kok malah menerbitkan buku puisi saya, dan juga membiayai dan menanggung saya pergi-pulang dan selama saya di Bali saat itu,” kesan Sitor sambil tertawa.
Pertemuan antara Sitor dengan para seniman serta peminat sastra di Bali malam itu memang terkesan hangat. Sastrawan yang telah berusia 79 tahun itu sepertinya merasa mendapat gairah baru. Kesempatan itu pun dimanfaatkan untuk berdialog dan beramah-tamah lebih jauh. Termasuk mempertanyakan pada Sitor seputar peristiwa dan kondisi sastra khususnya di Bali pada masa 1950-an hingga 1960-an. Sayang, dalam dialog malam itu acap terjadi miskomunikasi. Mungkin karena faktor usia dan pendengaran Sitor yang sudah agak kurang peka dan ditambah lagi dengan adanya ”trauma” masa lalu Sitor. Sehingga, setiap pertanyaan yang diajukan ke Sitor ditanggapi dengan kesan seolah mengarah ke unsur politik. Ini membuat Sitor jadi “beringas”, seolah merasa sedang “diinteli” oleh generasi Orba. Padahal, beberapa seniman Bali benar-benar hanya menanyakan murni soal sastra dan tanpa bertendensi politik. Dalam kesempatan itu, Sitor sempat membacakan beberapa sajaknya antara lain “Lukisan Dalam Lukisan” dan “Untuk Pelukis Salim”. Beberapa sastrawan Bali pun membacakan sajaknya untuk Sitor.
***
Sitor Situmorang dilahirkan di Harianboho (Sumatera Utara) 2 Oktober 1924. Berpendidikan HIS (di Baliga dan Sibolga), MULO (Terutung), AMS (Jakarta) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai sinematografi di Universitas California AS (1956-57), pernah bermukin di beberapa kota seperti Singapura, Amsterdam, Leiden, Islamabad, Paris, dll. Ia pun pernah menjadi redaktur di beberapa media yang terbit di Sumatera dan Jawa. Juga aktif di berbagai organisasi kesenian dan pejabat pemerintahan. Juga pernah menjadi anggota MPRS dan dosen Akademi Teater Nasional (Jakarta). Sejumlah bukunya yang telah terbit antara lain “Pertempuran dan Salju di Paris” (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955/56. Kumpulan sajaknya “Peta Perjalanan” (1976) memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976/1977. Karya-karyanya yang lain adalah “Surat Kertas Hijau” (1954), “Jalan Mutiara” (1954), ”Dalam Sajak” (1955) ”Wajah Tak Bernama” (1956), ”Zaman Baru” (1962), ”Pangeran” (1963), ”Sastra Revolusioner” (1965), ”Dinding Waktu” (1976), ”Sitor Situmorang Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba” (1981), ”Danau Toba” (1981), ”Angin Danau (1982), ”Bunga di Atas Batu” (1989), serta ”Rindu Kelana” (1994).
Pada usianya yang ke-80 Oktober tahun depan, juga akan terbit lima buku terbarunya di Jakarta. Meski karya-karyanya sudah begitu banyak dan usianya sudah uzur, Sitor mengaku masih tetap penuh semangat dan terus berkarya. ”Saya masih terus menulis sajak. Kalau dulu, pada usia 25-an karya-karya itu mengalir seperti banjir, sekarang setelah tua begini hanya menetes tapi terus dan tak mau henti,” aku Sitor.
Kepada para peminat sastra di Bali dan kalangan kampus, Sitor berpesan bahwa baca teori itu penting, tapi tak akan berarti tanpa pengalaman pribadi. ”Pengalaman pribadilah yang akan memperkaya dan memberi kematangan dalam berkarya,” tuturnya.
Novel Biografi Sang Proklamator
Judul buku : Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan
Penulis : Dedi Ahimsa Riyadi
Penerbit : Penerbit Edelweiss, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : vii + 279 halaman
Peresensi : N. Mursidi
http://www.lampungpost.com/
SEORANG pengarang adalah seorang penutur kehidupan. Ia bisa menuturkan peristiwa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, bahkan peristiwa yang akan datang. Tetapi, tatkala seorang pengarang menulis peristiwa di masa lalu dengan bersandar fakta sejarah, dengan menuturkan kehidupan atau biografi tokoh ternama yang pernah menorehkan sejarah, setidaknya ia dihadapkan pada dua hal. Pertama, kebenaran faktual—dari catatan sejarah. Kedua, fiksionalisasi sejarah dalam bingkai estetika.
Dua hal itu, tak bisa disangkal, menjeburkan pengarang pada setumpuk data sejarah yang harus diolah dengan cermat, dan pada sisi yang lain menuntut pengarang mewartakan fakta yang pernah ada atau mungkin terjadi dengan perenungan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren dan kesadaran akan problem kemanusian dalam bingkai estetika. Kegagalan dalam menuturkan dua hal itu akan menjadikan biografi seorang tokoh penting dalam sejarah yang ditulis dalam bentuk novel (karya sastra) akan menjadi karya yang kering.
Dengan dua hal itu pengarang buku ini mengangkat biografi/kehidupan Mohammad Hatta, sang proklamator dalam bentuk novel. Dari awal, tujuan Dedi memang mulia: ingin menerabas kekakuan tulisan biografi seorang tokoh agar tidak terjebak dua hal. Pertama, tak jarang biografi tokoh dalam peta sejarah kerap ditulis secara ilmiah, sehingga tak dimungkiri kerap dibaca kalangan tertentu, seperti akademisi dan peminat sejarah. Kedua, biografi pun ditulis dengan acuan metodologi sejarah, sehingga menjadikan bahasanya kaku dan berat. Pengarang buku ini—
tak diingkari—ingin menerabas kekakuan itu dan berharap buku yang ditulis tentang Mohammad Hatta ini menjadi buku yang renyah dan menawan.
Setidaknya ada tiga hal penting yang direkam Dedi Ahimsa Riyadi tentang sosok Hatta dalam buku ini. Pertama, ia digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki pemikiran visioner. Hatta mencita-citakan kemerdekaan jauh-jauh hari dengan cara elegan dan mengedepankan akan pentingnya pendidikan, pengkarderan, dan kesadaran rakyat akan kemerdekaan.
Kedua, dia adalah seorang terpelajar yang mencintai buku. Kecintaan Hatta pada buku membuatnya tak mau berpisah dengan buku. Dia pun dikisahkan mengangkut enam belas peti bukunya ke pengasingan, waktu Belanda membuang Hatta.
Ketiga, Hatta dikenal sebagai seorang yang teguh memegang prinsip. Kecintaan Hatta pada Indonesia (juga pada rakyat Indonesia dan buku), menjadikan ia rela tak menikah hingga Indonesia merdeka. Semua orang pun tahu akan janji yang pernah diucapkan Hatta itu dan ternyata Hatta memenuhi janjinya itu. Ia menikah 3 bulan setelah Indonesia merdeka—18 November 1945, seminggu setelah pertempuran heroik di Surabaya. Hatta menikahi Rahmi Rachim, dan ia memberi hadiah kepada sang istri buku Alam Pemikiran Yunani.
Kecintaan Hatta pada Indonesia itulah yang menjadikan Mavin Rose menyebut Hatta dengan sebutan unik: muslim sejati karena Hatta beristri empat: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi Rachim. Dan Hatta memang sosok yang selalu dikenang sepanjang masa.
Keteladanan Hatta itulah yang ingin direkam Dedi Ahimsa Riyadi dalam buku Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan ini. Buku ini pun diberi titel sebuah novel biografi. Tetapi, titel sebuah novel biografi yang sedari awal ingin mengenal sosok Hatta dalam sekeping novel ini, justru meninggalkan jejak kontroversi karena tidak didukung laku bertutur pengarang yang berjalan seirama antara isi dan bentuk novel.
Kekeringan estetika fiksionalisasi dengan memanfaatkan data sejarah itulah justru menjadikan buku ini yang diberi titel sebuah novel biografi ini kering. Apalagi pengarang seperti pelit mengumbar dialog. Bahkan buku ini nyaris kering dialog. Padahal, dialog memiliki kekuatan bisa menguatkan tokoh cerita. Alhasil, buku ini pun mirip biografi.
Meskipun demikian, keinginan mulia pengarang mengangkat sosok Hatta dalam buku ini patut disambut gembira. Buku ini bisa menjadi telaga yang jernih bagi pemimpin bangsa, bahwa perjuangan Hatta untuk Indonesia layak dan patut ditiru. Sedang bagi generasi penerus bangsa, tidak bisa dimungkiri, buku ini meninggalkan jejak perjuangan Hatta yang patut dikenang sepanjang masa.
N. Mursidi, pembaca buku
Penulis : Dedi Ahimsa Riyadi
Penerbit : Penerbit Edelweiss, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : vii + 279 halaman
Peresensi : N. Mursidi
http://www.lampungpost.com/
SEORANG pengarang adalah seorang penutur kehidupan. Ia bisa menuturkan peristiwa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, bahkan peristiwa yang akan datang. Tetapi, tatkala seorang pengarang menulis peristiwa di masa lalu dengan bersandar fakta sejarah, dengan menuturkan kehidupan atau biografi tokoh ternama yang pernah menorehkan sejarah, setidaknya ia dihadapkan pada dua hal. Pertama, kebenaran faktual—dari catatan sejarah. Kedua, fiksionalisasi sejarah dalam bingkai estetika.
Dua hal itu, tak bisa disangkal, menjeburkan pengarang pada setumpuk data sejarah yang harus diolah dengan cermat, dan pada sisi yang lain menuntut pengarang mewartakan fakta yang pernah ada atau mungkin terjadi dengan perenungan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren dan kesadaran akan problem kemanusian dalam bingkai estetika. Kegagalan dalam menuturkan dua hal itu akan menjadikan biografi seorang tokoh penting dalam sejarah yang ditulis dalam bentuk novel (karya sastra) akan menjadi karya yang kering.
Dengan dua hal itu pengarang buku ini mengangkat biografi/kehidupan Mohammad Hatta, sang proklamator dalam bentuk novel. Dari awal, tujuan Dedi memang mulia: ingin menerabas kekakuan tulisan biografi seorang tokoh agar tidak terjebak dua hal. Pertama, tak jarang biografi tokoh dalam peta sejarah kerap ditulis secara ilmiah, sehingga tak dimungkiri kerap dibaca kalangan tertentu, seperti akademisi dan peminat sejarah. Kedua, biografi pun ditulis dengan acuan metodologi sejarah, sehingga menjadikan bahasanya kaku dan berat. Pengarang buku ini—
tak diingkari—ingin menerabas kekakuan itu dan berharap buku yang ditulis tentang Mohammad Hatta ini menjadi buku yang renyah dan menawan.
Setidaknya ada tiga hal penting yang direkam Dedi Ahimsa Riyadi tentang sosok Hatta dalam buku ini. Pertama, ia digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki pemikiran visioner. Hatta mencita-citakan kemerdekaan jauh-jauh hari dengan cara elegan dan mengedepankan akan pentingnya pendidikan, pengkarderan, dan kesadaran rakyat akan kemerdekaan.
Kedua, dia adalah seorang terpelajar yang mencintai buku. Kecintaan Hatta pada buku membuatnya tak mau berpisah dengan buku. Dia pun dikisahkan mengangkut enam belas peti bukunya ke pengasingan, waktu Belanda membuang Hatta.
Ketiga, Hatta dikenal sebagai seorang yang teguh memegang prinsip. Kecintaan Hatta pada Indonesia (juga pada rakyat Indonesia dan buku), menjadikan ia rela tak menikah hingga Indonesia merdeka. Semua orang pun tahu akan janji yang pernah diucapkan Hatta itu dan ternyata Hatta memenuhi janjinya itu. Ia menikah 3 bulan setelah Indonesia merdeka—18 November 1945, seminggu setelah pertempuran heroik di Surabaya. Hatta menikahi Rahmi Rachim, dan ia memberi hadiah kepada sang istri buku Alam Pemikiran Yunani.
Kecintaan Hatta pada Indonesia itulah yang menjadikan Mavin Rose menyebut Hatta dengan sebutan unik: muslim sejati karena Hatta beristri empat: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi Rachim. Dan Hatta memang sosok yang selalu dikenang sepanjang masa.
Keteladanan Hatta itulah yang ingin direkam Dedi Ahimsa Riyadi dalam buku Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan ini. Buku ini pun diberi titel sebuah novel biografi. Tetapi, titel sebuah novel biografi yang sedari awal ingin mengenal sosok Hatta dalam sekeping novel ini, justru meninggalkan jejak kontroversi karena tidak didukung laku bertutur pengarang yang berjalan seirama antara isi dan bentuk novel.
Kekeringan estetika fiksionalisasi dengan memanfaatkan data sejarah itulah justru menjadikan buku ini yang diberi titel sebuah novel biografi ini kering. Apalagi pengarang seperti pelit mengumbar dialog. Bahkan buku ini nyaris kering dialog. Padahal, dialog memiliki kekuatan bisa menguatkan tokoh cerita. Alhasil, buku ini pun mirip biografi.
Meskipun demikian, keinginan mulia pengarang mengangkat sosok Hatta dalam buku ini patut disambut gembira. Buku ini bisa menjadi telaga yang jernih bagi pemimpin bangsa, bahwa perjuangan Hatta untuk Indonesia layak dan patut ditiru. Sedang bagi generasi penerus bangsa, tidak bisa dimungkiri, buku ini meninggalkan jejak perjuangan Hatta yang patut dikenang sepanjang masa.
N. Mursidi, pembaca buku
Empat Merapal Sajak
Ismi Wahid
http://www.korantempo.com/
Empat penyair terkemuka Indonesia membacakan sajak ciptaan mereka dalam sebuah pentas puisi di Teater Salihara.
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya, mati di kayu salib tanpa celana. Dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawa celana yang dijahitnya sendiri. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga.
Begitulah penyair Joko Pinurbo melukiskan saat-saat naiknya Yesus ke surga. Ia menuangkan peristiwa religius itu dengan sangat manusiawi dalam sajaknya yang bertajuk Celana Ibu. “Agama bukan sesuatu yang angker. Agama itu nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari,” katanya.
Jokpin, begitu panggilan akrab sang penyair, sedang merayakan pesta puisi di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis malam pekan lalu. Jokpin tampil bersama tiga penyair terkemuka Indonesia lainnya–Remy Sylado, Acep Zamzam Noor, dan D. Zawawi Imron–dalam perhelatan Mendaras Puisi. Para penyair ini menyuguhkan karya mereka yang dekat dengan tradisi keagamaan di sekitar tempat mereka lahir dan tumbuh.
Boleh dibilang, pentas puisi malam itu cukup istimewa, karena pengarangnya sendiri yang membacakan karya-karyanya. Seperti diketahui, belakangan ini acara pembacaan puisi lebih kerap dibawakan oleh kalangan artis dan selebritas. Tak mengherankan jika ruang Teater Salihara penuh sesak dipadati oleh pendengar dan penikmat sastra. Sampai-sampai, banyak di antara yang hadir terpaksa berdiri atau duduk di undakan.
Celana Ibu, yang dibacakan Jokpin, mendapat sambutan sangat meriah. Tepuk tangan penonton yang bercampur gelak tawa terdengar riuh menyambut penampilan Jokpin. Artikulasi Jokpin yang sangat datar dengan logat Jawa yang begitu kental justru menimbulkan suasana berbeda. Terkesan nyeleneh dengan permainan logika yang unik.
Jokpin pernah mengenyam pendidikan calon pastor di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Karya-karyanya banyak menghadirkan suasana keagamaan yang dekat dengan wilayah domestik. Tak jarang ia juga menyuguhkan sebuah ironi dalam sajak-sajaknya.
Meski banyak karya Jokpin yang sudah dialihbahasakan, itu tidak berlaku untuk Celana Ibu. Masalahnya, idiom yang dipakai sebagai kata kunci tak lagi sesuai dengan ide cerita jika dialihbahasakan. Dalam prosesnya, Jokpin sering menemukan kata-kata kunci. Dari situlah ia kemudian membuat narasi untuk mendukung alur ceritanya.
Lain halnya dengan penyair serba bisa, Remy Sylado. Malam itu, Remy membawakan sajaknya yang berjudul Enam Puluh Lima Tahun yang Astaga. Penyair berambut keperakan ini masih saja menampilkan puisi mbeling-nya, sebuah label yang selama ini melekat pada karya-karyanya. Sajak-sajaknya penuh sindiran dan slenthingan pedas terhadap negeri yang, menurut Remy, sudah morat-marit.
Remy adalah pelopor puisi mbeling pada 1970-an. Puisinya sarat dengan pemberontakan terhadap kaidah estetika. Disertai empat penari yang membawa rebana sebagai alat musik, Remy membawakan karyanya dengan nuansa lain. “Kalau sudah di depan panggung, puisi menjadi sebuah pertunjukan,” katanya. Karya tersebut khusus dibuat Remy untuk acara ini.
Yang tak kalah menarik adalah penampilan Zawawi Imron. Ia tampil sangat ekspresif. Sesekali ia bercerita bebas tentang pengalamannya yang tak jarang mengundang tawa penonton. Zawawi pernah nyantri di Pesantren Lambicabbi, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Maka tak aneh jika puisinya sarat dengan religiositas Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya tak kehilangan unsur humor khas Zawawi. Kumpulan sajaknya, Bulan Tertusuk Ilalang, pernah mengilhami sutradara Garin Nugroho untuk membuat film dengan judul yang sama.
Dan malam itu, penyair romantis sepertinya cocok diberikan untuk Acep Zamzam Noor ketika ia membacakan karyanya yang berjudul Sepotong Senja. Tak hanya itu, Acep juga menyuguhkan kelincahannya memainkan tema-tema urban dan pesantren serta religius yang dibenturkan dengan sekularisme. Lalu, melalui Sajak Nakal-nya yang sangat pendek, Acep memperlihatkan kenakalan imajinasinya.
http://www.korantempo.com/
Empat penyair terkemuka Indonesia membacakan sajak ciptaan mereka dalam sebuah pentas puisi di Teater Salihara.
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya, mati di kayu salib tanpa celana. Dan hanya berbalutkan sobekan jubah yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang ke kubur anaknya itu, membawa celana yang dijahitnya sendiri. “Paskah?” tanya Maria. “Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira. Mengenakan celana buatan ibunya, Yesus naik ke surga.
Begitulah penyair Joko Pinurbo melukiskan saat-saat naiknya Yesus ke surga. Ia menuangkan peristiwa religius itu dengan sangat manusiawi dalam sajaknya yang bertajuk Celana Ibu. “Agama bukan sesuatu yang angker. Agama itu nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari,” katanya.
Jokpin, begitu panggilan akrab sang penyair, sedang merayakan pesta puisi di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis malam pekan lalu. Jokpin tampil bersama tiga penyair terkemuka Indonesia lainnya–Remy Sylado, Acep Zamzam Noor, dan D. Zawawi Imron–dalam perhelatan Mendaras Puisi. Para penyair ini menyuguhkan karya mereka yang dekat dengan tradisi keagamaan di sekitar tempat mereka lahir dan tumbuh.
Boleh dibilang, pentas puisi malam itu cukup istimewa, karena pengarangnya sendiri yang membacakan karya-karyanya. Seperti diketahui, belakangan ini acara pembacaan puisi lebih kerap dibawakan oleh kalangan artis dan selebritas. Tak mengherankan jika ruang Teater Salihara penuh sesak dipadati oleh pendengar dan penikmat sastra. Sampai-sampai, banyak di antara yang hadir terpaksa berdiri atau duduk di undakan.
Celana Ibu, yang dibacakan Jokpin, mendapat sambutan sangat meriah. Tepuk tangan penonton yang bercampur gelak tawa terdengar riuh menyambut penampilan Jokpin. Artikulasi Jokpin yang sangat datar dengan logat Jawa yang begitu kental justru menimbulkan suasana berbeda. Terkesan nyeleneh dengan permainan logika yang unik.
Jokpin pernah mengenyam pendidikan calon pastor di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Karya-karyanya banyak menghadirkan suasana keagamaan yang dekat dengan wilayah domestik. Tak jarang ia juga menyuguhkan sebuah ironi dalam sajak-sajaknya.
Meski banyak karya Jokpin yang sudah dialihbahasakan, itu tidak berlaku untuk Celana Ibu. Masalahnya, idiom yang dipakai sebagai kata kunci tak lagi sesuai dengan ide cerita jika dialihbahasakan. Dalam prosesnya, Jokpin sering menemukan kata-kata kunci. Dari situlah ia kemudian membuat narasi untuk mendukung alur ceritanya.
Lain halnya dengan penyair serba bisa, Remy Sylado. Malam itu, Remy membawakan sajaknya yang berjudul Enam Puluh Lima Tahun yang Astaga. Penyair berambut keperakan ini masih saja menampilkan puisi mbeling-nya, sebuah label yang selama ini melekat pada karya-karyanya. Sajak-sajaknya penuh sindiran dan slenthingan pedas terhadap negeri yang, menurut Remy, sudah morat-marit.
Remy adalah pelopor puisi mbeling pada 1970-an. Puisinya sarat dengan pemberontakan terhadap kaidah estetika. Disertai empat penari yang membawa rebana sebagai alat musik, Remy membawakan karyanya dengan nuansa lain. “Kalau sudah di depan panggung, puisi menjadi sebuah pertunjukan,” katanya. Karya tersebut khusus dibuat Remy untuk acara ini.
Yang tak kalah menarik adalah penampilan Zawawi Imron. Ia tampil sangat ekspresif. Sesekali ia bercerita bebas tentang pengalamannya yang tak jarang mengundang tawa penonton. Zawawi pernah nyantri di Pesantren Lambicabbi, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Maka tak aneh jika puisinya sarat dengan religiositas Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya tak kehilangan unsur humor khas Zawawi. Kumpulan sajaknya, Bulan Tertusuk Ilalang, pernah mengilhami sutradara Garin Nugroho untuk membuat film dengan judul yang sama.
Dan malam itu, penyair romantis sepertinya cocok diberikan untuk Acep Zamzam Noor ketika ia membacakan karyanya yang berjudul Sepotong Senja. Tak hanya itu, Acep juga menyuguhkan kelincahannya memainkan tema-tema urban dan pesantren serta religius yang dibenturkan dengan sekularisme. Lalu, melalui Sajak Nakal-nya yang sangat pendek, Acep memperlihatkan kenakalan imajinasinya.
Pesona Sastra dan Tradisi Berfikir Nahdliyin
Arus corak Realisme-Magis dalam Sastra Kontemporer
Sobih Adnan *
http://nahdliyin.net/
“ Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengambalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya kata adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. “
( Sutardji Calzaum Bachri. Bandung, 30 Maret 1973 )
Penggalan akhir Kredo Puisi : Sutardji Calzaum Bachri mencoba mengajak para penikmat sastra untuk sedikit bertamasya tentang puisi dari titik awal embrionya, tentang kelahiran puisi, pembebasan kata, dan yang paling menarik adalah tentang genetika kata-kata yang menurut Sutardji berasal dari mantera-mantera. Sutardji mencoba menawarkan paparan dan kesemangatan bahwa sesederhana apapun dari bentuk dan wujud kata pasti memiliki kekuatan lebih yang terkandung di dalamnya, yang tentunya lebih dari sekedar pengantar sebuah pengertian.
Penempatan serta penyuntikan pemaparan tentang kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kata seperti ini memang terkadang tidak terperhatikan. Penyair yang dalam kacamata awam hanya memiliki kegemaran mengeksploitasi kata untuk menciptakan sebuah karya ternyata memiliki konsep tersendiri tentang pengamatan karakter serta watak dari setiap kata yang dijajarkannya, jika tidak seperti ini, maka bagaimana jika kodrat dari kata tersebut hanya sebuah konjungsi, penghubung, atau kata yang harus didongkrak maupun mendongkrak kawan kata lainnya untuk menimbulkan sebuah pengertian?. Tidak juga sebatas itu, kadang kata-kata melalui komunitasnya yang naratif dapat menghadirkan sebuah keajaiban dan pemaknaan baru tentang ketidak-mungkinan, kadang bersifat mistik, tetapi tetap bergerak pada gambaran kenyataan bahkan dalam wacana keseharian. Ketika terkemas dalam wilayah sastra kotretan tersebut lazim disebut dengan realisme-magis atau magis-realis.
Kutipan secara sederhana tentang realisme magis di atas agak membawa kita pada tradisi konsep berfikir kaum nahdliyin. Kemasan sastra ini akan sangat mewakili dengan tema-tema penghormatan dan pembebasan manusia yang telah di miliki oleh Islam dan NU sebagai bagian di dalamnya. Konsep aliran realisme-magis akan mengemas narasi secara apik pesona karomah para ulama yang telah dipegang dalam sejarah ke-NU-an Indonesia.
Sekilas Tentang Pem”bidan”an Realisme-magis
Secara lunak realisme-magis didefinisikan sebagai gaya estetika atau mode di mana elemen magis ini dicampur ke dalam suasana realistis untuk mengakses pemahaman yang lebih dalam kenyataan. Unsur-unsur magis tersebut dijelaskan eperti kejadian normalyang disajikan secara langsung dan unembellished yang memungkinkan “real” dan “fantastis” untuk dapat diterima dalam aliran pemikiran yang sama. Telah banyak digunakan dalam kaitannya dengan sastra, seni, dan film.
Penggunaan istilah relisme-magis dimunculkan oleh krtikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di dalamnya. elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.
Dalam perjalanan seni, sampai tahun 1955 istilah relisme-magis tidak diperkenalkan, hingga kemudian kritikus sastra meminjam istilah ini untuk melihat karya sastrawan Amerika Latin seperti Marquez, Borges, dan Isabel Allende. Para kritikus sastra terkejut melihat karya-karya Marquez dan Borges yang pada dasarnya mirip karya realis, tetapi mengandung elemen-elemen magis yang intuitif. Para penulis ini melihat kenyataan sehari-hari sebagaimana kenyataan sehari-hari yang biasa terlihat dan sesuatu yang sangat luar biasa di balik kenyataan itu. Relisme-magis ini diterjemahkan dari Lo Real Maravilosso yang artinya Kenyataan yang Ajaib.
Ketika beribicara tentang kekhasan dan keunikan dari relisme-magis adalah tentang keunggulannya untuk mengajukan sebuah dunia magis, dunia penuh keajaiban yang tak bisa dicerna akal sehat yang mendahului pengalaman sehari-hari manusia namun manusia luput untuk melihatnya. Realisme-magis berusaha memunculkan hal magis itu atau melihat dalam kenyataan sehari-hari. Itu sebabnya, dalam karya-karya para sastrawan realisme-magis seperti Borges, Marquez, Okri, atau Allende kerap muncul peristiwa, tokoh, makhluk, lokasi, dan situasi yang ajaib dan magis. Semua keajaiban itu terjadi dalam kenyataan, bukan mistik yang mengingkari kenyataan.
Cuaca Relisme-magis dalam Kesusasteraan Indonesia
Di Indonesia kesan realisme-magis justru menguasai dalam gaya penulisan novel, Cerpen dan fiksi. Baru kemudian mengalir dan tergagas menjadi beberapa film dan sajak. Untuk novel situasi dan gaya realisme- magis sangat terasa dalam karya Eka Kurniawan dengan judul Cantik Itu Luka ( CIL ). Sejak terbitnya, yakni tahun 2002, banyak pembaca CIL memuntahkan kebingungannya. Dengan pembacaan yang tak terputus, di tengah senggalan tarikan nafas, mereka dibingungkan oleh teks di depannya : cerita silat, folklore, roman sejarah, atau kisah perjuangan. Realisme-magis mungkin sudah hadir berpuluh tahun sebelum terbitnya CIL, beriringan dengan angkatan 1970, namun garapan Eka Kurniawan ini berhasil mengambil identitas realisme-magis dengan lebih kuat.
Salah satu keunikan realisme-magis ditambahkan dengan kekhasan alur logis rasio barat, seperti dialog tokoh utama Dewi Ayu dan Kakeknya ketika ia tahu bahwa ibunya kabur di suatu pagi :
“ Mereka petualang-petualang sejati,” katanya pada Tad Stammler.
“Kau terlalu banyak buku cerita, Nak” kata kakeknya. “ mereka orang-orang religius” katanya lagi. “ di dalam kitab suci diceritakan seorang ibu membuang anaknya ke sungai Nil “/“itu berbeda.”/” ya, memang. Aku dibuang di depan pintu. “ ( Halaman 43 ).
Dari penggalan dialog tersebut apalagi ketika melihat pilar-pilar penyangga bangun tutur dan cerita CIL, ditambah pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang sudah pasti akan terbawa pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika selatan. Di mana deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas yang selama ini dilewatkan karena dianggap tidak rasional, tidak logis, dan supernatural, dan tidak bersambut gayung dengan hukum alam.
Dalam tubuh perfilman, darah realisme-magis hampir meresap penuh ke sebuah film yang berjudul Banyu Biru. Karena, beberapa hal yang tak masuk akal dalam film itu bisa ditafsirkan berasal dari dunia bawah sadar tokoh Banyu (Tora Sudiro). Misalnya ketika pemakalah (Butet Kertaredjasa) dan para peserta seniman tiba-tiba bernyanyi dan menari mengelilingi Banyu yang duduk sendirian di tengah-tengah mereka. Namun peluang ke-realisme magis-an film ini patah oleh pengalaman Banyu dalam film ini sebagai mimpi. Mungkin film ini lebih dengan kekhasan realis yang biasa saja.
Sedangkan untuk wilayah penulisan cerpen, realisme magis telah dibangun secara total oleh cerpenis Agus Noor dalam judul “ Dzikir Sebutir Peluru “ yang merupakan bagian dari antologi cerpen Kompas tahun 1995. Cerpen yang sangan membutuhkan kesiapan pembaca untuk memahami setting dan penokohan benda mati ini mampu menjadikan realisme-magis sebagai arwah utama penggerak ceritanya.
“ Kita adalah makhluk terdzolimi, aku tak mau menembus dada bocah-bocah mahasiswa itu, apalagi diisalah sasarkan “.. ujar Peluru 1. Dan banyak dialog-dialog lain yang terus mengalir dan merupakan kumpulan beberapa keajaiban yang masih terkurung dalam wajah real (nyata).
Realisme-magis dalam nadi puisi dan sajak
Tiba-tiba Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya, dari mawar, lalu melati, kemudian kenanga, lantas bunga matahari, lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet hijau dan oranye. Kembang-kembang itu ukurannya lebih besar ketimbang manusia, kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa.
…. ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak terbatas luas bagai cakrawala, mengapa harus ditangisi?
( Danarto, Kacapiring:2008 )
Danarto, mungkin adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang sering bermain-main dengan kerumitan realisme-magis. Dalam kumpulan puisi Kacapiring hampir setiap judul usungannya menggunakan pendekatan realisme-magis, walaupun tak bisa dipungkiri kadang beliau juga merefresh sajak-sajak berikutnya dengan aroma yang lain.
Realisme-magis dikhaskan oleh Danarto melalui naskah-naskah puisi religi yang bebas, real, namun memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang semakin menghantarkan dirinya sebagai penyair yang mengutamakan kecerdasan. Tilik saja pada bait puisi Berburu Ayat-Ayat Suci tahun 2005 :
Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka
Sapardi Djoko Damono mencoba menghadirkan unsur realisme magis dengan lebih detail, menancap, namun tetap menawarkan realitas yang kuat. Seperti yang telah beliau tulis dalam kumpulan sajak Perahu Kertas tahun 1982 :
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
Aliran sastra realisme-magis ini dapat mewakili corak pemikiran kaum nahdliyin tentang budaya pembebasan manusia dari keterkungkungan, penjagaan tradisi, dan penegasan terhadap berbagai geliat karomah para ulama dalam kemasan berupa sastra.
Walaupun realisme – magis masih terbilang asing dalam sastra Indonesia, namun suasana keajaiban tersebut semakin menguat dengan munculnya penyair-penyair muda yang mencoba menganut corak langka ini, sebut saja Nirwan Dewanto, Mashuri, dan masih banyak lagi yang tak lain adalah para pesastra dari generasi muda NU .
* Penulis adalah Ketua Umum ASJAP Institute Mahasiswa ISIF Cirebon dan Direktur Pesantren Baca- Cirebon. Sumber: http://nahdliyin.net/catatan/sobihadnan/2010/07/01/pesona-sastra-dan-tradisi-berfikir-nahdliyin/
Sobih Adnan *
http://nahdliyin.net/
“ Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengambalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya kata adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera. “
( Sutardji Calzaum Bachri. Bandung, 30 Maret 1973 )
Penggalan akhir Kredo Puisi : Sutardji Calzaum Bachri mencoba mengajak para penikmat sastra untuk sedikit bertamasya tentang puisi dari titik awal embrionya, tentang kelahiran puisi, pembebasan kata, dan yang paling menarik adalah tentang genetika kata-kata yang menurut Sutardji berasal dari mantera-mantera. Sutardji mencoba menawarkan paparan dan kesemangatan bahwa sesederhana apapun dari bentuk dan wujud kata pasti memiliki kekuatan lebih yang terkandung di dalamnya, yang tentunya lebih dari sekedar pengantar sebuah pengertian.
Penempatan serta penyuntikan pemaparan tentang kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kata seperti ini memang terkadang tidak terperhatikan. Penyair yang dalam kacamata awam hanya memiliki kegemaran mengeksploitasi kata untuk menciptakan sebuah karya ternyata memiliki konsep tersendiri tentang pengamatan karakter serta watak dari setiap kata yang dijajarkannya, jika tidak seperti ini, maka bagaimana jika kodrat dari kata tersebut hanya sebuah konjungsi, penghubung, atau kata yang harus didongkrak maupun mendongkrak kawan kata lainnya untuk menimbulkan sebuah pengertian?. Tidak juga sebatas itu, kadang kata-kata melalui komunitasnya yang naratif dapat menghadirkan sebuah keajaiban dan pemaknaan baru tentang ketidak-mungkinan, kadang bersifat mistik, tetapi tetap bergerak pada gambaran kenyataan bahkan dalam wacana keseharian. Ketika terkemas dalam wilayah sastra kotretan tersebut lazim disebut dengan realisme-magis atau magis-realis.
Kutipan secara sederhana tentang realisme magis di atas agak membawa kita pada tradisi konsep berfikir kaum nahdliyin. Kemasan sastra ini akan sangat mewakili dengan tema-tema penghormatan dan pembebasan manusia yang telah di miliki oleh Islam dan NU sebagai bagian di dalamnya. Konsep aliran realisme-magis akan mengemas narasi secara apik pesona karomah para ulama yang telah dipegang dalam sejarah ke-NU-an Indonesia.
Sekilas Tentang Pem”bidan”an Realisme-magis
Secara lunak realisme-magis didefinisikan sebagai gaya estetika atau mode di mana elemen magis ini dicampur ke dalam suasana realistis untuk mengakses pemahaman yang lebih dalam kenyataan. Unsur-unsur magis tersebut dijelaskan eperti kejadian normalyang disajikan secara langsung dan unembellished yang memungkinkan “real” dan “fantastis” untuk dapat diterima dalam aliran pemikiran yang sama. Telah banyak digunakan dalam kaitannya dengan sastra, seni, dan film.
Penggunaan istilah relisme-magis dimunculkan oleh krtikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di dalamnya. elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.
Dalam perjalanan seni, sampai tahun 1955 istilah relisme-magis tidak diperkenalkan, hingga kemudian kritikus sastra meminjam istilah ini untuk melihat karya sastrawan Amerika Latin seperti Marquez, Borges, dan Isabel Allende. Para kritikus sastra terkejut melihat karya-karya Marquez dan Borges yang pada dasarnya mirip karya realis, tetapi mengandung elemen-elemen magis yang intuitif. Para penulis ini melihat kenyataan sehari-hari sebagaimana kenyataan sehari-hari yang biasa terlihat dan sesuatu yang sangat luar biasa di balik kenyataan itu. Relisme-magis ini diterjemahkan dari Lo Real Maravilosso yang artinya Kenyataan yang Ajaib.
Ketika beribicara tentang kekhasan dan keunikan dari relisme-magis adalah tentang keunggulannya untuk mengajukan sebuah dunia magis, dunia penuh keajaiban yang tak bisa dicerna akal sehat yang mendahului pengalaman sehari-hari manusia namun manusia luput untuk melihatnya. Realisme-magis berusaha memunculkan hal magis itu atau melihat dalam kenyataan sehari-hari. Itu sebabnya, dalam karya-karya para sastrawan realisme-magis seperti Borges, Marquez, Okri, atau Allende kerap muncul peristiwa, tokoh, makhluk, lokasi, dan situasi yang ajaib dan magis. Semua keajaiban itu terjadi dalam kenyataan, bukan mistik yang mengingkari kenyataan.
Cuaca Relisme-magis dalam Kesusasteraan Indonesia
Di Indonesia kesan realisme-magis justru menguasai dalam gaya penulisan novel, Cerpen dan fiksi. Baru kemudian mengalir dan tergagas menjadi beberapa film dan sajak. Untuk novel situasi dan gaya realisme- magis sangat terasa dalam karya Eka Kurniawan dengan judul Cantik Itu Luka ( CIL ). Sejak terbitnya, yakni tahun 2002, banyak pembaca CIL memuntahkan kebingungannya. Dengan pembacaan yang tak terputus, di tengah senggalan tarikan nafas, mereka dibingungkan oleh teks di depannya : cerita silat, folklore, roman sejarah, atau kisah perjuangan. Realisme-magis mungkin sudah hadir berpuluh tahun sebelum terbitnya CIL, beriringan dengan angkatan 1970, namun garapan Eka Kurniawan ini berhasil mengambil identitas realisme-magis dengan lebih kuat.
Salah satu keunikan realisme-magis ditambahkan dengan kekhasan alur logis rasio barat, seperti dialog tokoh utama Dewi Ayu dan Kakeknya ketika ia tahu bahwa ibunya kabur di suatu pagi :
“ Mereka petualang-petualang sejati,” katanya pada Tad Stammler.
“Kau terlalu banyak buku cerita, Nak” kata kakeknya. “ mereka orang-orang religius” katanya lagi. “ di dalam kitab suci diceritakan seorang ibu membuang anaknya ke sungai Nil “/“itu berbeda.”/” ya, memang. Aku dibuang di depan pintu. “ ( Halaman 43 ).
Dari penggalan dialog tersebut apalagi ketika melihat pilar-pilar penyangga bangun tutur dan cerita CIL, ditambah pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang sudah pasti akan terbawa pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika selatan. Di mana deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas yang selama ini dilewatkan karena dianggap tidak rasional, tidak logis, dan supernatural, dan tidak bersambut gayung dengan hukum alam.
Dalam tubuh perfilman, darah realisme-magis hampir meresap penuh ke sebuah film yang berjudul Banyu Biru. Karena, beberapa hal yang tak masuk akal dalam film itu bisa ditafsirkan berasal dari dunia bawah sadar tokoh Banyu (Tora Sudiro). Misalnya ketika pemakalah (Butet Kertaredjasa) dan para peserta seniman tiba-tiba bernyanyi dan menari mengelilingi Banyu yang duduk sendirian di tengah-tengah mereka. Namun peluang ke-realisme magis-an film ini patah oleh pengalaman Banyu dalam film ini sebagai mimpi. Mungkin film ini lebih dengan kekhasan realis yang biasa saja.
Sedangkan untuk wilayah penulisan cerpen, realisme magis telah dibangun secara total oleh cerpenis Agus Noor dalam judul “ Dzikir Sebutir Peluru “ yang merupakan bagian dari antologi cerpen Kompas tahun 1995. Cerpen yang sangan membutuhkan kesiapan pembaca untuk memahami setting dan penokohan benda mati ini mampu menjadikan realisme-magis sebagai arwah utama penggerak ceritanya.
“ Kita adalah makhluk terdzolimi, aku tak mau menembus dada bocah-bocah mahasiswa itu, apalagi diisalah sasarkan “.. ujar Peluru 1. Dan banyak dialog-dialog lain yang terus mengalir dan merupakan kumpulan beberapa keajaiban yang masih terkurung dalam wajah real (nyata).
Realisme-magis dalam nadi puisi dan sajak
Tiba-tiba Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya, dari mawar, lalu melati, kemudian kenanga, lantas bunga matahari, lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet hijau dan oranye. Kembang-kembang itu ukurannya lebih besar ketimbang manusia, kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa.
…. ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak terbatas luas bagai cakrawala, mengapa harus ditangisi?
( Danarto, Kacapiring:2008 )
Danarto, mungkin adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang sering bermain-main dengan kerumitan realisme-magis. Dalam kumpulan puisi Kacapiring hampir setiap judul usungannya menggunakan pendekatan realisme-magis, walaupun tak bisa dipungkiri kadang beliau juga merefresh sajak-sajak berikutnya dengan aroma yang lain.
Realisme-magis dikhaskan oleh Danarto melalui naskah-naskah puisi religi yang bebas, real, namun memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang semakin menghantarkan dirinya sebagai penyair yang mengutamakan kecerdasan. Tilik saja pada bait puisi Berburu Ayat-Ayat Suci tahun 2005 :
Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka
Sapardi Djoko Damono mencoba menghadirkan unsur realisme magis dengan lebih detail, menancap, namun tetap menawarkan realitas yang kuat. Seperti yang telah beliau tulis dalam kumpulan sajak Perahu Kertas tahun 1982 :
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! ”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
Aliran sastra realisme-magis ini dapat mewakili corak pemikiran kaum nahdliyin tentang budaya pembebasan manusia dari keterkungkungan, penjagaan tradisi, dan penegasan terhadap berbagai geliat karomah para ulama dalam kemasan berupa sastra.
Walaupun realisme – magis masih terbilang asing dalam sastra Indonesia, namun suasana keajaiban tersebut semakin menguat dengan munculnya penyair-penyair muda yang mencoba menganut corak langka ini, sebut saja Nirwan Dewanto, Mashuri, dan masih banyak lagi yang tak lain adalah para pesastra dari generasi muda NU .
* Penulis adalah Ketua Umum ASJAP Institute Mahasiswa ISIF Cirebon dan Direktur Pesantren Baca- Cirebon. Sumber: http://nahdliyin.net/catatan/sobihadnan/2010/07/01/pesona-sastra-dan-tradisi-berfikir-nahdliyin/
Senin, 20 September 2010
ANGKATAN 70-AN: KEMBALI KE TRADISI
(Konsep Estetik Abdul Hadi WM tentang Angkatan 70-an)*
Maman S Mahayana*
http://mahayana-mahadewa.com/
Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat zamannya. Dari sejumlah penamaan tentang angkatan atau periodesasi itu,1 menurut hemat saya, hanya ada tiga angkatan yang melandasi penamaannya atas dasar semangat atau gerakan estetik, yaitu Pujangga Baru,2 Angkatan 45,3 dan sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, 4 yaitu Angkatan 70-an.5
Sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, seperti menghadapi kegelisahan yang sama tentang situasi kesusastraan—dan kebudayaan—pasca Tragedi 1965, yaitu adanya semangat kebebasan berekspresi. Semangat kebebasan berekspresi itu dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi, kesusastraan. Penolakan para seniman terhadap campur tangan politik dalam wilayah kesenian, telah menghilangkan tekanan-tekanan psikologis yang justru sangat penting bagi proses penciptaan karya seni, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan suratkabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan punya banyak pilihan untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media massa itu tanpa pretensi adanya faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison, majalah Sastra –yang kemudian menghentikan penerbitannya akibat kasus cerpen “Langit Makin Mendung”— dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, ikut menciptakan suasana bagi lahirnya karya-karya yang lebih berbobot, sekaligus memungkinkan lahirnya sastrawan-sastrawan baru, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta, telah ikut mendorong lahirnya semangat berkreasi dan keberanian untuk melakukan eksperimentasi, (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan dalam memandang tradisi budaya tempatan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.
Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi.6 Pada masa itu, berbagai karya eksperimental seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun 1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an. Jadi, kelompok ini dapat disebut sebagai sastrawan senior mengingat kiprah mereka yang memang sudah dimulai tahun-tahun sebelumnya. Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Husni Djamaludin, M. Fudoli Zaini, M. Poppy Hutagalung, Mahbub Djunaidi, Mohammad Diponegoro, Nasyah Djamin, N.H. Dini, Rachmat Djoko Pradopo, Rendra, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Titis Basino, Umar Kayam, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo.
Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Abrar Yusra, Arswendo Atmowiloto, Aspar Paturusi, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Darmanto Jatman, Diah Hadaning, Ediruslan PE Amanriza, Emha Ainun Nadjib, Frans Nadjira, Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Marianne Katoppo, Putu Arya Tirtawirya, Ragil Suwarna Pragolapati, Rayani Sriwidodo, Sanento Yuliman, Seno Gumira Ajidarma, Sides Sudyarto DS, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Toeti Herati Noerhadi, dan Wisran Hadi.
Ketiga, mereka yang menghasilkan karya dengan kecenderungan melakukan eksperimentasi. Di antaranya, ada yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an, ada pula yang kemunculannya pada tahun 1970-an itu. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranagara, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Akhudiat, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira ANM Massardi.
Dilihat dari kecenderungan karya-karya mereka, ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:
1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;
2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;
3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.7
Berdasarkan ketiga kecenderungan itu, Abdul Hadi menyebutkan karya-karya dari sejumlah sastrawan sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
Kecenderungan pertama, yang menyikapi tradisi dengan begitu kreatif untuk keperluan inovasi, dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C Noer, dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater tampak dalam karya Sardono W. Kusumo, Arifin C. Noer, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara. Mereka tidak berpretensi kedaerahan walaupun sadar mengambil unsur tradisi daerah.
Kecenderungan kedua dalam sastra dapat dilihat dalam karya-karya Nh. Dini, Umar Kayam, Ahmad Tohari,8 Darmanto Jt., Linus Suryadi A.G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardojo, dan lain-lain. … Kebanyakan dari mereka melihat tradisi sebagai produk sejarah yang bentuk-bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas budaya masyarakat tertentu yang mungkin tak dimiliki suku bangsa lain.
Kecenderungan ketiga, yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama tampak dalam karya-karya Danarto, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, juga Sutardji Calzoum Bachri (dalam tahap akhir perkembangan kepenyairannya).9
Bagi Abdul Hadi WM,10 munculnya “kesadaran baru” dan “wawasan estetik baru” itu menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dengan semangat dan wawasan estetik seperti yang terdapat pada karya-karya periode sebelumnya. Kecenderungan yang lain tampak dari kesadaran sastrawan tahun 1970-an itu yang mulai menolak realisme formal, dan mulai menerima improvisasi dan anti-rasionalisme. Danarto, bahkan menambahkan, selain anti-intelektualisme dan anti-rasionalisme, ada kecenderungan lain yang mencolok, yaitu adanya penjelajahan terhadap mistisisme dan tasawuf. Ciri lainnya, seperti dikatakan Dami N. Toda adalah anti-slogan. Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat. Jadi, ada kesadaran dan semangat yang sama yang tampak dari karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya. Atas dasar itulah, Abdul Hadi WM menamakan sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 dalam sastra Indonesia.11
Alasan utama yang menjadi pemikiran Abdul Hadi menyebut sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 didasari oleh adanya semacam gerakan sastra yang membawa ciri baru dan perbedaan yang mencolok dengan ciri gerakan sastra sebelumnya. “Jadi, pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya.”
Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,12 memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja. Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.
Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, dan Umar Kayam13 Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan. Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei 1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.14 Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya. Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi permainannya.
Selain itu, mengingat identitas tokoh sengaja dibuat tidak jelas, maka seorang pemain dimungkinkan dapat menjalankan peran lebih dari satu tokoh. Ciri khas lainnya menyangkut lepasnya keterikatan pada panggung. Dalam hal ini, naskah-naskah drama yang konvensional, lazimnya sangat terikat pada panggung. Artinya, naskah itu harus sangat mempertimbangkan tata letak panggung berikut properti lainnya. Jadi, jika dalam konvensi naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan segala propertinya harus serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Naskah drama itu ditulis dengan kesadaran bahwa pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja, di sembarang tempat. Jelas bahwa dramawan Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an itu, tidak hanya menyerap pengaruh drama kontemporer Barat, terutama drama-drama absurd, tetapi juga menyerap unsur drama tradisional yang banyak terdapat di Nusantara ini, seperti ketoprak (Jawa Timur), tanjidor dan lenong (Betawi). Demikian juga kostum pemain, tidak perlu sangat bergantung pada kostum tertentu. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama Bip-Bop, sebuah drama mini kata yang lebih mementingkan lakuan daripada dialog. Akibatnya, drama itu miskin sekali dialog, karena di sana yang dipentingkan adalah lakuan.15
Dalam bidang puisi, terjadi juga pemberontakan terhadap konvensi yang berlaku sebelumnya. Ikatan pada bait dan larik yang dalam puisi-puisi sebelumnya –terutama puisi zaman Pujangga Baru— sudah ditinggalkan Chairil Anwar, pada tahun 70-an itu tidak lagi dipersoalkan. Artinya, para penyair tidak merasa perlu memikirkan bait dan larik dalam puisinya itu. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa,16 ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Dalam hal ini, semakin tidak jelas batas tegas antara prosa dan puisi. Penyair boleh saja menuliskan puisinya seperti sebuah cerpen, jika si penyair hendak memanfaatkan narasi bagi kepentingan puisinya. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Abdul Hadi WM, Adji Darmadji Woko, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, D. Zawawi Imaron, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
Seperti posisi Chairil Anwar bagi Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, kedudukan Sutardji Calzoum Bachri bagi Angkatan 70, juga tidak terpisahkan. Ia menjadi ikon bagi gerakan sastra pada dekade itu. Pemberontakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya berhenti pada tataran bentuk –yang tak lagi mempersoalkan bait dan larik atau rima persajakan—tetapi juga makna. Abdul Hadi menyebutnya sebagai penyair avant-garde dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan.17 Penyair kelahiran Riau ini berhasil memanfaatkan mantera dari tradisi leluhurnya (Melayu) untuk kepentingan persajakannya yang tampak liar dan memukau. Di samping itu, renungannya yang mendalam tentang maut, kefanaan manusia, pencarian dan kerinduan pada Tuhan, memancarkan sebuah kesadaran transendental baru, yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kesadaran sufistik.18
Kredo atau pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, boleh dikatakan merupakan bentuk kesadaran itu dalam usahanya menawarkan pembaharuan. Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang bertarikh 30 Maret 1973 dan kemudian dimuat dalam majalah Horison (No. 12, Th. 9, Desember 1974) merupakan wujud pernyataan sikap atas pendirian kepenyairannya. Berikut ini dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….
Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”19
Jika Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan mantera dari kultur Melayu20 dan belakangan masuk pengaruh pemikiran tasawuf dalam karya-karyanya yang kemudian, Linus Suryadi AG (3 Maret 1951—30 Juli 1999) dan Darmanto Jatman menggunakan kultur Jawa sebagai unsur penting dalam mengungkapkan ekspresi puitiknya. Goenawan Mohamad lebih khusus lagi mengangkat simbol-simbol dunia pewayangan, sedangkan Sapardi Djoko Damono –terutama pada awal-awal kepenyairannya— cenderung berorientasi pada filsafat Jawa. Dari kultur lain, muncul pula Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), meski Abdul Hadi banyak pula menyerap pengaruh karya-karya agung para sastrawan sufi.
Dinamika yang terjadi dalam sastra Indonesia tahun 1970-an sebenarnya jauh lebih semarak. Selain bermunculan karya-karya yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan tradisi budaya leluhur (Batak, Cirebon, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau), tema-tema sufisme (tasawuf),21 dan keterasingan manusia modern, juga muncul beberapa gerakan yang ikut menyemarakkan kehidupan kesusastraan Indonesia tahun 70-an itu. Ada tiga hal yang menandai terjadinya kesemarakan itu dan terus berlanjut pada periode berikutnya.
Pertama, terbitnya sejumlah majalah hiburan, seperti Vista, Selecta, Varia, Aktuil, Top, Flamboyan, Violeta, yang kemudian disusul majalah-majalah wanita –Kartini Grup, di satu sisi melahirklan penulis-penulis baru, dan terutama para penulis wanita, dan di sisi lain, ikut menyebarkan popularitas sastra hiburan. Meskipun yang disebut terakhir –sastra hiburan—yang kemudian lebih sering disebut sastra populer, sudah berkembang sejak zaman sebelum Balai Pustaka,22 kemudian semarak kembali pada dasawarsa tahun 1950-an,23 pada tahun 1970-an itu keberadaannya cukup banyak mengundang reaksi berbagai kalangan.24 Beberapa novel Motinggo Boesje, Remy Sylado, menyusul Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Ashadi Siregar sampai ke novel yang ditulis para pengarang wanita, seperti Ike Soepomo, Marga T., Mira W. yang terbit tahun 1970-an itu adalah contoh novel populer.25 Dalam hal ini, seyogianya kita menempatkan posisi novel populer itu secara proporsional, sebab ada novel populer yang baik, ada pula yang buruk. Beberapa karya dari pengarang yang disebutkan itu, boleh dikatakan termasuk kategori novel populer yang baik. Bukankah novel-novel sastra yang serius juga ada yang masuk kategori baik, ada juga yang jelek?
Kedua, munculnya gerakan para penulis muda yang hendak memberontak pada kemapanan para penyair senior dan gugatan terhadap majalah Horison yang tidak dapat menampung karya-karya mereka.26 Penganjur utama gerakan ini adalah Remy Sylado (= 23761, nama pena Japie Tambayong) yang kebetulan menjadi pengasuh majalah Aktuil (1972—1978). Dalam majalah itulah, karya-karya mereka itu dimuat dan kemudian diberi label “Puisi Mbeling.” Salah satu ciri utama puisi mbeling adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa, dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. Di balik kelakar itu, ada sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu dalam perekonomian nasional.27
Ketiga, jika majalah Aktuil dan majalah Top menggugat kemapanan majalah Horison dan para penyair senior melalui rubrik “Puisi Mbeling” atau “Puisi Lugu” yang isinya terkesan berkelakar, maka hal yang sama juga dilakukan dalam sebuah forum yang disebut “Pengadilan Puisi”. Forum yang pada mulanya terkesan bermain-main itu diselenggarakan di Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974. Bagaimana mungkin sebuah puisi diadili dengan menampilkan Sanento Yuliman sebagai Hakim Ketua, Darmanto Jatman sebagai Hakim Anggota, Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, Taufiq Ismail sebagai Pembela dan sejumlah sastrawan Indonesia sebagai saksi-saksi? Saksi yang memberatkan antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto, Abdul Hadi WM, dan Pamusuk Eneste, sedangkan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji, dan Yudistira A.N. bertindak sebagai saksi yang meringankan. Sesungguhnya, di balik kesan main-main itu, di dalamnya ada semangat pemberontakan terhadap perpuisian Indonesia. Ada tiga instansi yang menjadi sasaran gugatannya, yaitu (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, (2) kritikus sastra: H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, (3) penyair mapan: Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohammad, dan (4) majalah sastra: Horison.
Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai Jaksa mengajukan empat tuntutan:
1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebagainya (dll) dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum. Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.28
Majelis Hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kirnanto. Adapun keputusan Majelis Hakim tersebut adalah berikut ini:
1. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
3. Para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit-nya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.29
“Pengadilan Puisi” sebagai sebuah peristiwa budaya tidaklah berpengaruh besar bagi proses penciptaan. Meskipun demikian, peristiwa itu tetap dapat dianggap penting mengingat ia mewakili semangat zamannya. Bagaimana para penyair muda masa itu merasa perlu melakukan perlawanan terhadap dominasi dan pengaruh penyair sebelumnya. Bagaimana pula mereka mengusung semangat perubahan. Dengan merujuk pada usaha pembaharuan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri, para penyair muda itu hendak menegaskan kembali keberadaan dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
Selang dua minggu setelah peristiwa itu, tepatnya 21 September 1974, di Jakarta diselenggarakan acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” dengan menampilkan para pembicara yang namanya disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Jawaban yang lebih menyerupai semacam pembelaan ini, tidak memberi pengaruh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.
Demikianlah, kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1970-an itu memperlihatkan sebuah perkembangan penting yang tidak sekadar heboh sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi oleh kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan. Dalam hal itulah, pemikiran Abdul Hadi WM laksana merepresentasikan gerakan estetik Angkatan 70-an itu. Gerakan estetik itu seperti memperoleh legitimasi manakala Abdul Hadi WM selama lebih dari satu dasawarsa (1979—1990) mengasuh rubrik Dialog, sebuah lembaran kebudayaan dalam suratkabar Berita Buana. Dalam konteks itu, Abdul Hadi tidak hanya bertindak sekadar sebagai pengasuh, melainkan redaktur yang mempunyai kesadaran visioner yang coba menawarkan sebuah model estetik dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.
* Makalah Seminar Tapak Budaya Paramadina: “Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” diselenggarakan Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, 9 Juni 2008.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dosen luar biasa Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
1 Beberapa pengamat sastra Indonesia kerap menyebutkan beberapa angkatan yang dianggap sebagai tonggak perjalanan kesusastraan Indonesia, yaitu (1) Angkatan Balai Pustaka –meski ada pula yang mengusulkan adanya angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pra-Balai Pustaka, (2) Angakatan Pujangga Baru, (3) Angkatan 45, (4) Angkatan ’66 –sebelum angkatan ini, Ajip Rosidi mengusulkan adanya Angkatan Terbaru untuk sastrawan yang berkiprah tahun 1950-an sampai awal 1960-an, (5) Angkatan 70-an, (6) Angkatan 80-an, dan (7) Angkatan 2000. Dari sejumlah penyebutan angkatan itu,
2 Semangat estetik Angkatan Pujangga Baru tampak jelas dalam esai-esai Sutan Takdir Alisjahbana tentang perbedaan pujangga lama dan pujangga baru yang termuat dalam majalah Pujangga Baru.
3 Konsep estetik Angkatan 45 dapat ditelusuri pada esai Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Rosihan Anwar, Aoh Karta Hadimadja, dan H.B. Jassin, H.B. Jassin, “Angkatan 45? Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189.
4 Penamaan Angkatan 66 sebagai sebuah gerakan sosial politik, muncul pertama kali dalam “Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru” yang berlangsung di Universitas Indonesia, 6—9 Mei 1966. Dalam kesusastraan Indonesia, nama Angkatan 66 mula pertama diangkat H.B. Jassin dalam artikelnya, “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” yang dimuat majalah Horison, No. 2, Th. I, Agustus 1966. Seperti juga penamaan Angkatan 45 yang memancing berbagai tanggapan dan kontroversi, penamaan Angkatan 66 yang ditawarkan Jassin, juga mengundang serangkaian tanggapan dan reaksi. H.B. Jassin melandasi dasar pemikirannya tentang penamaan Angkatan 66 dengan bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika gelombang aksi mahasiswa dan pelajar berhasil menumbangkan rezim yang telah banyak melakukan penyelewengan. Ramainya perdebatan tentang Angkatan 66 ini mendorong Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Diskusi Besar tentang Angkatan 66 di Taman Ismail Marzuki, 27 Agustus 1969. Terlibat dalam diskusi itu, antara lain, H.B. Jassin, Subagio Sastrowardojo, S. Effendi, dan Ajip Rosidi. Lukman Ali bertindak sebagai moderator membuat cacatan sejumlah pendapat tentang angkatan dalam sastra Indonesia, “Ikhtisar Pendapat tentang Masalah Angkatan dalam Kesusastraan Indonesia” dimuat Budaja Djaya, No. 35, Th. IV, 1971. Sebuah rangkuman berbagai pendapat tentang Angkatan, mulai Angkatan 45 sampai Angkatan 66. Tampak di sana, proklamasi Jassin tentang Angkatan 66 membuka peluang terjadinya kontroversi.
5 Beberapa nama yang secara serius coba merumuskan gerakan estetik Angkatan 70-an, dapat disebutkan di sini, antara lain, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Dami N. Toda.
6 Contoh kasus semaraknya kebebasan berkreasi pascatragedi 1965 dapat kita lihat pada mencuatnya nama Iwan Simatupang (18 Januari 1928—4 Agustus 1970) sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra Indonesia zaman Orde Baru. Ia bolehlah dianggap sebagai salah seorang pemicu lahirnya karya-karya eksperimental, terutama dalam penulisan prosa dan (mungkin juga) dalam penulisan naskah drama. Karya pertamanya, drama Bulan Bujur Sangkar terbit tahun 1960, sebuah drama yang selesai ditulisnya tahun 1957 di Eropa, nyaris tak mendapat tanggapan apa pun ketika itu. Setelah itu, terutama setelah kematian istrinya –Cornelia Astrid van Geem—, ia seperti tenggelam, meski sempat menikah lagi dengan Tanneke Burki, seorang balerina dari Bandung (1961) yang hanya bertahan sampai awal tahun 1964. Antara 1964—1966, Iwan sama sekali tidak mau terlibat dalam organisasi apapun yang sedang berseteru. Pada tahun 1966, dua drama Iwan Simatupang, yaitu RT Nol/RW Nol dan Petang di Taman, terbit. Kedua drama ini pun belum mendapat tanggapan yang cukup ramai. Karya Iwan Simatupang mulai mendapat tanggapan luas, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit novel Merahnya Merah (1968, selesai ditulis tahun 1961) dan terutama novel Ziarah (1969, novel Iwan pertama yang selesai ditulis tahun 1960, setelah kematian istrinya). Tampak di sini, tanggapan terhadap novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting dalam menyemarakkan kehidupan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan masyarakat pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik diusung sebagai panglima dan pengaruhnya memasuki hampir semua aspek kehidupan. Dengan demikian, terbitnya novel Iwan selepas tragedi tahun 1965, seperti memperoleh momentum yang tepat. Sejak itulah kemudian berlahiran karya-karya sejenis dari sastrawan lainnya yang memperlihatkan semangat eksperimentasi, sebagaimana yang telah dilakukan Iwan Simatupang. Betapa ramainya tanggapan pembaca terhadap karya-karya Iwan Simatupang, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang, yang mencapai lebih dari 300-an tulisan, baik yang berupa resensi, artikel, esai, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Studi mendalam tentang Iwan Simatupang dilakukan Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; buku ini berasal dari skripsi penulisnya tahun 1975 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, “Resepsi Novel-Novel Iwan Simatupang di Indonesia 1968—1988,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1989), Okke KS Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: Intermasa, 1991; buku ini berasal dari disertasi penulisnya tahun 1990 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, Inspirasi? Nonsens! (Magelang: Indonesia Tera, 1999). Lihat juga Surat-Surat Politik Iwan Simatupang, 1964—1966 (Jakarta: LP3ES, 1986), surat-surat Iwan Simatupang yang dikumpulkan dan diberi Kata Pengantar Frans M. Parera. Pembicaraan mengenai perjalanan sastra Indonesia kontemporer, hampir tidak pernah menafikan tempat dan peranan Iwan Simatupang sebagai tokoh pembaharu.
7 Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.
8 Ahmad Tohari baru muncul namanya dan mulai diperhitungkan keberadaannya dalam sastra Indonesia awal tahun 80-an. Tidak begitu jelas, mengapa Abdul Hadi memasukkan nama Ahmad Tohari ke dalam sastrawan Angkatan 70-an.
9Abdul Hadi WM, Kembali …, hlm. 6—7.
10 Abdul Hadi WM, “Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia,” Makalah dibawakan dalam Diskusi Sastra di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 September 1984, dimuat juga dalam E. Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, hlm. 789—806. Penamaan Angkatan 70 sebenarnya sudah banyak dilontarkan Abdul Hadi dan Dami N. Toda sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. Dalam artikel panjang “Kepenyairan di Indonesia tahun 70-an” yang dimuat bersambung di harian Berita Buana (14, 21, dan 28 Januari 1977), Abdul Hadi mengemukakan tokoh-tokoh persajakan utama 70-an seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman yang membawa kecenderungan baru, menggeser wawasan estetik lama dan mewarnai dunia persajakan sepanjang tahun 70-an.
11 Penamaan Angkatan 70 dalam sastra Indonesia ini tidak hanya diperkenalkan oleh Abdul Hadi WM, tetapi juga oleh Dami N. Toda sebagaimana diungkapkan dalam beberapa artikelnya, “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa,” Budaya Jaya, No. 12, Th. X, September 1977; “Tahap-Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia,” Budaya Jaya, No. 121 Th. XI, Juni 1978; “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir,” Horison, No. 8, Th. XVI, Agustus 1981. Lihat juga esai-esai Dami N. Toda dalam bukunya, Hamba-Hamba Kebudayaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto dalam wawancaranya dengan Abdul Hadi WM (Berita Buana, 14 Februari 1978) juga mengusung nama Angkatan 70 ketika keduanya melihat adanya kecenderungan baru yang terdapat dalam karya-karya yang terbit pada periode itu. Mengenai hal ini, Boen S. Oemarjati tidak secara tegas menyebut Angkatan 70, melainkan menyebutnya sebagai “periode”. Hal yang senada juga dilontarkan oleh Goenawan Mohamad yang menyebutnya sebagai “generasi sastrawan 1970-an”. Sementara itu, Korrie Layun Rampan, meskipun pandangan yang mendasarinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Abdul Hadi dan Dami N. Toda, ia menyebut sastrawan pada periode itu sebagai “Angkatan 80”. Penamaan yang dilakukan Korrie ini mungkin diilhami oleh penamaan Angkatan ‘80 (De Tachtiger Beweging) Belanda yang menyerap pengaruh romantisisme Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Korrie sendiri tidak memberi alasan, mengapa ia menyebutnya sebagai Angkatan 80, dan tidak Angkatan 70. Padahal, penyebutan Angkatan 80 yang dilontarkan Korrie dalam artikelnya “Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” (Suara Karya, 24 Agustus 1984), jelas lebih kemudian dibandingkan dengan penamaan Angkatan 70 yang diangkat Abdul Hadi, Dami N. Toda, Danarto, dan Sutardji Calzoum Bachri sejak pertengahan dasawarsa 70-an, terutama ketika Abdul Hadi mengasuh lembar kebudayaan “Dialog” di harian Berita Buana antara tahun 1979—1990.
12 Beberapa novel mereka dapat disebutkan di sini, antara lain: Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975); Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Lho (1982), Pol (1987), dan beberapa novel lainnya yang mencapai lebih dari 10 novel; Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (1976), Budi Darma, Olenka (1983).
13 Karya-karya mereka dapatlah disebutkan di sini, beberapa antaranya: Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’rifat (1982); Putu Wijaya, Bom (1978) Es (1980), dan Gres (1982), Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993), cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” memperoleh Hadiah Pertama Sayembara Majalah Sastra 1969; Fudoli Zaini, Lagu dari Jalanan (1982), Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985), Arafah (1985). Fudoli dua kali mendapat hadiah dari majalah Horison, yaitu untuk cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” (1966/1967), dan “Sisifus” (1977/1978; Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
14 Karya-karya mereka yang muncul pada periode itu dapatlah disebutkan beberapa di antaranya: Arifin C. Noer, Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Umang-Umang (1976), dan Sandek, Pemuda Pekerja (1979). Arifin sebenarnya sudah mulai berkarya sejak tahun 1963. Ia juga banyak menulis puisi. Drama-drama Arifin C. Noer, selain sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, juga dipentaskan di berbagai kota besar di Eropa, Amerika, dan Asia; Putu Wijaya, Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986); Putu Wijaya sebenarnya termasuk penulis produktif. Karyanya berupa kumpulan cerpen, novel, dan drama, lebih dari 40-an. Karya-karya Putu Wijaya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, Rusia, dan Arab. Ia juga kerap berkeliling dunia mementaskan karya-karyanya. Rendra, meskipun tak begitu banyak menulis naskah drama, ia dianggap sebagai salah tonggak penting dalam perjalanan teater Indonesia modern yang kemudian banyak mempengaruhi dramawan generasi berikutnya. Dua naskah drama yang dihasilkannya adalah Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) terpilih sebagai pemenang pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K Yogyakarta tahun 1954, dan Panembahan Reso (1988), sebuah drma kolosal yang memerlukan waktu sekitar enam jam pementasannya. Ia banyak menulis puisi dan menerjemahkan drama klasik Yunani. Tetapi dramanya, Bip-Bop –drama minikata atau “Teater Puisi” menurut Dami N. Toda—yang dipentaskan tahun 1968 di Balai Budaya dan kemudian di Taman Ismail Marzuki, dianggap sebagai salah satu pembaharuan di bidang teater di Indonesia. Demikian juga dramanya, Mastodon yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (13 Desember 1973) dianggap membawa kebaruan dalam perkembangan drama Indonesia kontemporer. Dalam konteks itulah posisi Rendra ditempatkan sebagai salah seorang tokoh penting pembaharu drama di Indonesia. Danarto, Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976); Ikranagara, kariernya dimulai dengan menjadi aktor di Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer. Ia kemudian mendirikan teater sendiri, bernama Teater (Siapa) Saja. Sejak itu, ia banyak mementaskan drama dari naskah yang ditulisnya sendiri, antara lain, Topeng (1972), Saat-Saat Drum band Mengerang-ngerang (1973). Dari 20-an naskah drama lainnya yang sudah dipentaskan tetapi belum diterbitkan, antara lain, Para Narator, Gusti, Agung, Rang Gni, Ssst!!!, Byurrr! Tok Tok Tok, Zaman Kalong. Seperti Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya, Ikranagara juga telah mementaskan karya-karyanya di berbagai kota di luar negeri, antara lain, di Manila, Singapura, Taipe, Kuala Lumpur, dan beberapa kota di Amerika. Sejumlah nama yang disebutkan di sini sekadar menegaskan adanya kecenderungan baru dalam drama di Indonesia tahun 1970-an itu. Nama-nama lain tentu masih berderet panjang. Sebut misalnya, Kuntowijoyo (18 September 1943—22 Februari 2005). Ia pada dekade 70-an itu sebenarnya menulis beberapa naskah drama, seperti Rumput-Rumput Danau Bento, Tidak Ada Cinta bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Topeng Kayu. Kecuali Topeng Kayu (2001), naskah-naskah lainnya belum diterbitkan dan masih berupa manuskrip. Bip-Bop dan Mastodon karya Rendra, misalnya, sejauh pengamatan masih tetap dalam bentuk manuskrip. Itulah yang terjadi pada banyak penulis drama di Indonesia. Naskah-naskah dramanya sekadar dipentaskan dan tidak dipublikasikan dalam bentuk terbitan buku.
15 Pembicaraan yang cukup mendalam mengenai drama kontemporer yang muncul tahun 1970-an dilakukan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” Seks, Sastra, Kita, Jakarta: Sinar Harapan, 1980, hlm. 91—148.
16Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, misalnya, merupakan contoh puisi naratif yang panjang (192 halaman). Linus Suryadi sendiri menyebutnya sebagai prosa lirik, prosa yang dibangun seperti puisi yang mengingatkan kita pada bentuk syair atau hikayat dalam sastra lama. Dalam karya ini, Linus juga begitu banyak menggunakan kosa-kata Jawa, sehingga diperlukan lampiran Daftar Kosa Kata Jawa—Indonesia setebal hampir 50 halaman (halaman 193—238). Banyak pula pembaca dan pengamat sastra Indonesia yang mempertanyakan tempat Pengakuan Pariyem dalam sastra Indonesia; apakah termasuk sastra Indonesia atau sastra Jawa. Penulisan puisi naratif, sebelumnya banyak dilakukan Ajip Rosidi (Jante Arkidam) dan Ramadhan KH (Priangan si Jelita). Belakangan, Sapardi Djoko Damono juga banyak memanfaatkan pola puisi naratif dalam hampir semua antologi puisinya, seperti dalam antologi DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), sampai ke antologi puisinya yang belakangan, seperti Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1999), Ayat-Ayat Api (2000) cenderung menggunakan bentuk narasi yang jernih dengan bahasa yang sederhana. Gaya seperti ini banyak mempengaruhi para penyair yang kemudian.
17 Abdul Hadi WM, “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm.36—46.
18 Istilah sastra sufi –sering juga dipakai istilah sastra sufistik—yang kemudian menjadi wacana perdebatan pada dekade tahun 1970-an itu, pertama kali dilontarkan Abdul Hadi WM dalam serangkaian artikelnya yang dimuat di lembar “Dialog” harian Berita Buana. Ia kemudian begitu gencar memperkenalkan –dan menerjemahkan— khazanah sastra sufi berikut pemikiran dan estetika para penyairnya. Antologi puisi Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) merupakan salah satu usaha Abdul Hadi dalam mengangkat karya-karya penyair sufi, baik para penyair yang berasal dari Asia Barat, maupun para penyair dari wilayah Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Bukhari Al-Jauhari, Yasadipuro I, Yasadipura II, Ronggowarsito sampai ke Amir Hamzah. Bukunya yang lain, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001) dan Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas (2004) adalah usaha serius Abdul Hadi dalam memperkenalkan sastra sufi. Belakangan, ia juga banyak memperkenalkan (dan menerjemahkan) khazanah sastra Timur, terutama Cina, Jepang, dan India. Sementara itu, istilah sastra sufistik digunakan juga Danarto, Nurcholis Madjid, Ali Audah, Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dalam kaitannya dengan pemikiran tasawuf dalam sastra. Dari sana lahir istilah-istilah sejenis, seperti sastra profetik, sastra transendental (diperkenalkan Kuntowijoyo dalam Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki), sastra dzikir (diperkenalkan Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan, “Sastra sebagai Amal Shaleh,” Horison, No. 6 Juni 1984 ), dan sastra Islam yang makna dan cakupannya lebih luas.
19 Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hlm. 13—14.
20 Hal yang sama kemudian juga dilakukan Ibrahim Sattah (1943—19 januari 1988) sebagaimana tampak dalam tiga antologi puisinya, Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai Ti (1981).
21 Pada dekade tahun 1970-an itu dan kemudian berlanjut pada dasawarsa berikutnya, wacana tentang sastra sufi tidak hanya semarak dalam perdebatan konsep-konsep, seperti istilah sastra sufi, sastra sufistik, sastra profetik, sastra dzikir, dan sastra transendental, tetapi juga muncul dalam banyak puisi, cerpen, novel, dan drama. Para penyair yang coba mengangkat tema-tema tasawuf, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Abdul Hadi WM, Apip Mustopa, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Ibrahim Sattah, Ikranagara, Kuntowijoyo, Leon Agusta, Sides Sudyarto DS, Slamet Sukirnanto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Taufiq Ismail. Tentu saja masih banyak nama yang tercecer yang sebenarnya pernah berkiprah pada periode itu.
22 Salah satu faktor yang mendorong didirikannya Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (1908) justru lantaran munculnya bacaan-bacaan hiburan yang diterbitkan pihak swasta. Setelah lembaga itu berganti nama menjadi Balai Pustaka (1917), pihak pemerintah kolonial Belanda menyebut bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka (swasta) sebagai “bacaan liar.” Mereka yang menerbitkan dan menjual buku-buku terbitan pihak swasta itu disebut sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Satu ungkapan yang jelas bermaksud memarginalkan karya-karya sastra terbitan pihak swasta.
23 Pada dasawarsa 1950-an, bacaan-bacaan hiburan terutama terbitan Medan, cukup banyak diminati masyarakat luas. Kemasannya yang sederhana, bentuknya yang kecil seperti buku saku (pocketbook), cetakan yang agak buruk, dan kertasnya yang berkualitas rendah, menjadikan buku-buku sejenis itu dijual dengan harga murah. Karena harganya yang murah itu, ia dipersamakan dengan nilai uang terkecil, yaitu picis. Oleh karena itulah, buku-buku sejenis itu –yang umumnya mengangkat tema-tema percintaan—disebut roman picisan. Satu bentuk penghinaan terhadap buku-buku sejenis itu. Pembicaraan yang cukup luas mengenai buku-buku hiburan sejenis itu ditulis R. Roolvink, “Roman Pitjisan,” Pokok dan Tokoh, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953.
24 Kebanyakan masyarakat memandang novel-novel sejenis itu secara apriori yang dikaitkan dengan masalah pornografi. Jika dicermati serius, novel-novel itu sesungguhnya tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam karya pornografi. Di dalam novel-novel itu, masalah seks sekadar bumbu. Itupun tak digambarkan secara vulgar. Jadi, pandangan masyarakat terhadap novel populer, terutama karya-karya Motinggo Boesje yang dikaitkan dengan pornografi dan menudingkan karya-karyanya sebagai novel porno, tidaklah seluruhnya benar.
25
Motinggo Boesje pada awal kepengarangannya banyak menulis karya sastra serius (drama, novel, dan cerpen). Memasuki tahun 1990-an, ia kembali menulis karya-karya serius. Bahkan novelnya, Sanu, Infinita Kembar (1985) –menurut pandangan H.B. Jassin dan Abdul Hadi WM—termasuk sebagai novel sufistik. Terlepas dari persoalan populer atau tidaknya novel-novel yang ditulisannya tahun 1970-an, sejauh pengamatan, Motinggo Boesje tercatat sebagai novelis Indonesia paling produktif. Sekitar 200-an novel telah dihasilkannya. Sejauh pengamatan, belum ada sastrawan Indonesia yang menghasilkan novel sebanyak Motinggo Boesje. Sementara itu, Remy Sylado, belakangan juga menulis novel-novel serius. Bahkan salah satu novelnya, Kerudung Merah Tirmizy (2002) terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Award. Eddy D. Iskandar dalam sastra Indonesia memang dikenal sebagai penulis sastra populer. Tetapi, dalam kesusastraan Sunda, ia termasuk sastrawan Sunda yang menghasilkan novel-novel yang bagus dalam bahasa Sunda.
26 Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 89—97. Periksa juga, Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, Magelang: Indonesia Tera, 2001.
27 Dua artikel yang dimuat Budaya Jaya, No. 93, IX, Februari 1976, yang ditulis H.B. Jassin, “Beberapa Penyair di Depan Forum” (hlm. 65—85) dan Saini K.M., “Penyair-Penyair Muda Jakarta,” (hlm. 86—98) memberi gambaran cukup baik mengenai puisi-puisi Mbeling atau puisi lugu yang dimuat majalah Aktuil dan majalah Top.
28 Slamet Kirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan Brengsek!” (Jawaban atas pengadilan puisi) dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Pengadilan Puisi, Jakarta: Gunung Agung, 1986.
29 Pamusuk Eneste (Ed.), Ibid.
Maman S Mahayana*
http://mahayana-mahadewa.com/
Dalam perjalanan sejarah kesusastraan Indonesia, kita mengenal adanya sejumlah penyebutan tentang penggolongan, periodesasi atau angkatan. Penyebutan itu tentu saja tidak serta-merta muncul begitu saja. Selalu ada usaha untuk merumuskan semangat yang melatarbelakanginya atau gerakan estetik yang mendasari karya-karya yang muncul sejalan dengan semangat zamannya. Dari sejumlah penamaan tentang angkatan atau periodesasi itu,1 menurut hemat saya, hanya ada tiga angkatan yang melandasi penamaannya atas dasar semangat atau gerakan estetik, yaitu Pujangga Baru,2 Angkatan 45,3 dan sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, 4 yaitu Angkatan 70-an.5
Sastrawan yang muncul pasca-Angkatan 66, seperti menghadapi kegelisahan yang sama tentang situasi kesusastraan—dan kebudayaan—pasca Tragedi 1965, yaitu adanya semangat kebebasan berekspresi. Semangat kebebasan berekspresi itu dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut: (1) pudarnya pengaruh politik dalam kesenian, dan lebih khusus lagi, kesusastraan. Penolakan para seniman terhadap campur tangan politik dalam wilayah kesenian, telah menghilangkan tekanan-tekanan psikologis yang justru sangat penting bagi proses penciptaan karya seni, (2) penerbitan kembali sejumlah majalah dan suratkabar yang independen dan menyediakan rubrik sastra, memungkinkan sastrawan punya banyak pilihan untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai media massa itu tanpa pretensi adanya faktor di luar sastra, (3) terbitnya majalah Horison, majalah Sastra –yang kemudian menghentikan penerbitannya akibat kasus cerpen “Langit Makin Mendung”— dan Budaya Jaya yang memberi tempat bagi karya-karya eksperimental, ikut menciptakan suasana bagi lahirnya karya-karya yang lebih berbobot, sekaligus memungkinkan lahirnya sastrawan-sastrawan baru, (4) berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DKI Jakarta, telah ikut mendorong lahirnya semangat berkreasi dan keberanian untuk melakukan eksperimentasi, (5) terjadinya pergeseran orientasi sastrawan dalam memandang tradisi budaya tempatan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi para sastrawan dalam melakukan eksplorasi estetiknya.
Sejak tahun 1968, dan terutama paroh pertama tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan berkreasi.6 Pada masa itu, berbagai karya eksperimental seperti memperoleh lahan yang subur dan momentum yang baik. Karya-karya eksperimental itu mencakupi semua ragam sastra (puisi, novel dan cerpen, dan drama). Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya. Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada dasawarsa tahun 1960-an, bahkan sudah sejak dasawarsa tahun 1950-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an. Jadi, kelompok ini dapat disebut sebagai sastrawan senior mengingat kiprah mereka yang memang sudah dimulai tahun-tahun sebelumnya. Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Gerson Poyk, Goenawan Mohamad, Hartojo Andangdjaja, Husni Djamaludin, M. Fudoli Zaini, M. Poppy Hutagalung, Mahbub Djunaidi, Mohammad Diponegoro, Nasyah Djamin, N.H. Dini, Rachmat Djoko Pradopo, Rendra, Saini KM, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Subagio Sastrowardojo, Taufiq Ismail, Titis Basino, Umar Kayam, Wildam Yatim, dan Wing Kardjo.
Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Abrar Yusra, Arswendo Atmowiloto, Aspar Paturusi, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Darmanto Jatman, Diah Hadaning, Ediruslan PE Amanriza, Emha Ainun Nadjib, Frans Nadjira, Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Marianne Katoppo, Putu Arya Tirtawirya, Ragil Suwarna Pragolapati, Rayani Sriwidodo, Sanento Yuliman, Seno Gumira Ajidarma, Sides Sudyarto DS, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Toeti Herati Noerhadi, dan Wisran Hadi.
Ketiga, mereka yang menghasilkan karya dengan kecenderungan melakukan eksperimentasi. Di antaranya, ada yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an, ada pula yang kemunculannya pada tahun 1970-an itu. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranagara, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Akhudiat, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira ANM Massardi.
Dilihat dari kecenderungan karya-karya mereka, ada semangat yang sama yang menjadi landasan dan wawasan estetiknya, yaitu semacam kerinduan untuk menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur. Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan:
1. Mereka yang mengambil unsur-unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan. Mereka melihat bahwa dalam tradisi terdapat unsur-unsur dan aspek-aspek yang relevan bagi pandangan hidup manusia mutakhir, khususnya irrasionalisme yang ternyata mendapat perhatian kaum eksistensialis dan penganut aliran sastra absurd;
2. Mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, Sunda dan lain-lain. Para penulis kecenderungan ini berkarya dengan maksud memberi corak khas kedaerahan terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia;
3. Mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk-bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.7
Berdasarkan ketiga kecenderungan itu, Abdul Hadi menyebutkan karya-karya dari sejumlah sastrawan sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut ini:
Kecenderungan pertama, yang menyikapi tradisi dengan begitu kreatif untuk keperluan inovasi, dapat dilihat pada karya-karya Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Arifin C Noer, dan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam seni tari dan teater tampak dalam karya Sardono W. Kusumo, Arifin C. Noer, W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Ikranagara. Mereka tidak berpretensi kedaerahan walaupun sadar mengambil unsur tradisi daerah.
Kecenderungan kedua dalam sastra dapat dilihat dalam karya-karya Nh. Dini, Umar Kayam, Ahmad Tohari,8 Darmanto Jt., Linus Suryadi A.G., Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardojo, dan lain-lain. … Kebanyakan dari mereka melihat tradisi sebagai produk sejarah yang bentuk-bentuknya sukar diubah dan merupakan ciri khas budaya masyarakat tertentu yang mungkin tak dimiliki suku bangsa lain.
Kecenderungan ketiga, yang menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama tampak dalam karya-karya Danarto, Abdul Hadi WM, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, juga Sutardji Calzoum Bachri (dalam tahap akhir perkembangan kepenyairannya).9
Bagi Abdul Hadi WM,10 munculnya “kesadaran baru” dan “wawasan estetik baru” itu menunjukkan adanya perbedaan yang tajam dengan semangat dan wawasan estetik seperti yang terdapat pada karya-karya periode sebelumnya. Kecenderungan yang lain tampak dari kesadaran sastrawan tahun 1970-an itu yang mulai menolak realisme formal, dan mulai menerima improvisasi dan anti-rasionalisme. Danarto, bahkan menambahkan, selain anti-intelektualisme dan anti-rasionalisme, ada kecenderungan lain yang mencolok, yaitu adanya penjelajahan terhadap mistisisme dan tasawuf. Ciri lainnya, seperti dikatakan Dami N. Toda adalah anti-slogan. Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat. Jadi, ada kesadaran dan semangat yang sama yang tampak dari karya-karya sastrawan tahun 1970-an itu berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya. Atas dasar itulah, Abdul Hadi WM menamakan sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 dalam sastra Indonesia.11
Alasan utama yang menjadi pemikiran Abdul Hadi menyebut sastrawan periode itu sebagai Angkatan 70 didasari oleh adanya semacam gerakan sastra yang membawa ciri baru dan perbedaan yang mencolok dengan ciri gerakan sastra sebelumnya. “Jadi, pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya.”
Ciri-ciri yang mencolok dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel yang dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, dan Budi Darma,12 memperlihatkan adanya kesamaan tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia modern dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting yang ditandai dengan penamaan Tokoh Kita (dalam novel-novel Iwan Simatupang) atau cukup disebutkan lelaki setengah baya, penjaga kuburan, buruh pabrik, walikota, pensiunan dan beberapa nama jabatan atau status sosial yang bisa berlaku untuk siapa saja. Latar tempat dan latar waktu juga tidak mengacu pada tempat dan waktu tertentu, sehingga dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur yang dalam novel konvensional selalu harus didasari pada rangkaian peristiwa yang mempunyai pertalian hubungan sebab-akibat (kausalitas), dalam novel-novel tahun 1970-an itu tidak lagi berlaku. Segala peristiwa bisa tumpang-tindih tak ada hubungan sebab-akibatnya (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan lakuan dan pikiran disajikan seketika secara serempak, seolah-olah peristiwa itu datang saling menyergap. Akibatnya, peristiwa itu seperti tidak jelas lagi juntrungannya. Model novel-novel yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai novel arus kesadaran (stream of conciousness), sebuah aliran dalam sastra (terutama prosa) yang menekankan cerita melalui pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar tokoh-tokohnya.
Untuk cerpen, dapatlah kiranya diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, dan Umar Kayam13 Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, hewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh lain. Kumpulan cerpen Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’Rifat (1982) memperlihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengangkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan. Begitulah, cerpen-cerpen Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaruan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita, tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer (10 Maret 1941—28 Mei 1995), Putu Wijaya, Rendra, Danarto, dan Ikranagara.14 Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, para pemain yang dalam konvensi drama sebelumnya harus tunduk dan setia pada teks naskah, kini para pemain itu dibolehkan melakukan improvisasi atau menyampaikan sesuatu di luar teks drama. Bahkan, ada pula naskah drama yang penulisannya bersamaan dengan proses latihan, sehingga begitu proses latihan selama beberapa minggu itu selesai, selesai pula penulisan naskahnya. Jadi, naskah diperlakukan hanya sebatas pegangan dasar, dan ketika pemain mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ekspresinya, pemain boleh melakukan improvisasi. Dengan begitu, pemain juga dituntut kreatif memanfaatkan momen-momen tertentu untuk mengekspresikan potensi permainannya.
Selain itu, mengingat identitas tokoh sengaja dibuat tidak jelas, maka seorang pemain dimungkinkan dapat menjalankan peran lebih dari satu tokoh. Ciri khas lainnya menyangkut lepasnya keterikatan pada panggung. Dalam hal ini, naskah-naskah drama yang konvensional, lazimnya sangat terikat pada panggung. Artinya, naskah itu harus sangat mempertimbangkan tata letak panggung berikut properti lainnya. Jadi, jika dalam konvensi naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan segala propertinya harus serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Naskah drama itu ditulis dengan kesadaran bahwa pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja, di sembarang tempat. Jelas bahwa dramawan Indonesia pada dasawarsa tahun 1970-an itu, tidak hanya menyerap pengaruh drama kontemporer Barat, terutama drama-drama absurd, tetapi juga menyerap unsur drama tradisional yang banyak terdapat di Nusantara ini, seperti ketoprak (Jawa Timur), tanjidor dan lenong (Betawi). Demikian juga kostum pemain, tidak perlu sangat bergantung pada kostum tertentu. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama Bip-Bop, sebuah drama mini kata yang lebih mementingkan lakuan daripada dialog. Akibatnya, drama itu miskin sekali dialog, karena di sana yang dipentingkan adalah lakuan.15
Dalam bidang puisi, terjadi juga pemberontakan terhadap konvensi yang berlaku sebelumnya. Ikatan pada bait dan larik yang dalam puisi-puisi sebelumnya –terutama puisi zaman Pujangga Baru— sudah ditinggalkan Chairil Anwar, pada tahun 70-an itu tidak lagi dipersoalkan. Artinya, para penyair tidak merasa perlu memikirkan bait dan larik dalam puisinya itu. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa,16 ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Dalam hal ini, semakin tidak jelas batas tegas antara prosa dan puisi. Penyair boleh saja menuliskan puisinya seperti sebuah cerpen, jika si penyair hendak memanfaatkan narasi bagi kepentingan puisinya. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk menggali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Abdul Hadi WM, Adji Darmadji Woko, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, D. Zawawi Imaron, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
Seperti posisi Chairil Anwar bagi Angkatan 45 dalam sastra Indonesia, kedudukan Sutardji Calzoum Bachri bagi Angkatan 70, juga tidak terpisahkan. Ia menjadi ikon bagi gerakan sastra pada dekade itu. Pemberontakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri tidak hanya berhenti pada tataran bentuk –yang tak lagi mempersoalkan bait dan larik atau rima persajakan—tetapi juga makna. Abdul Hadi menyebutnya sebagai penyair avant-garde dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan.17 Penyair kelahiran Riau ini berhasil memanfaatkan mantera dari tradisi leluhurnya (Melayu) untuk kepentingan persajakannya yang tampak liar dan memukau. Di samping itu, renungannya yang mendalam tentang maut, kefanaan manusia, pencarian dan kerinduan pada Tuhan, memancarkan sebuah kesadaran transendental baru, yang dikatakan Abdul Hadi sebagai kesadaran sufistik.18
Kredo atau pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, boleh dikatakan merupakan bentuk kesadaran itu dalam usahanya menawarkan pembaharuan. Kredo Sutardji Calzoum Bachri yang bertarikh 30 Maret 1973 dan kemudian dimuat dalam majalah Horison (No. 12, Th. 9, Desember 1974) merupakan wujud pernyataan sikap atas pendirian kepenyairannya. Berikut ini dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ….
Sebagai penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”19
Jika Sutardji Calzoum Bachri memanfaatkan mantera dari kultur Melayu20 dan belakangan masuk pengaruh pemikiran tasawuf dalam karya-karyanya yang kemudian, Linus Suryadi AG (3 Maret 1951—30 Juli 1999) dan Darmanto Jatman menggunakan kultur Jawa sebagai unsur penting dalam mengungkapkan ekspresi puitiknya. Goenawan Mohamad lebih khusus lagi mengangkat simbol-simbol dunia pewayangan, sedangkan Sapardi Djoko Damono –terutama pada awal-awal kepenyairannya— cenderung berorientasi pada filsafat Jawa. Dari kultur lain, muncul pula Abdul Hadi WM dan D. Zawawi Imron (Madura), meski Abdul Hadi banyak pula menyerap pengaruh karya-karya agung para sastrawan sufi.
Dinamika yang terjadi dalam sastra Indonesia tahun 1970-an sebenarnya jauh lebih semarak. Selain bermunculan karya-karya yang mengusung tema-tema yang berkaitan dengan tradisi budaya leluhur (Batak, Cirebon, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau), tema-tema sufisme (tasawuf),21 dan keterasingan manusia modern, juga muncul beberapa gerakan yang ikut menyemarakkan kehidupan kesusastraan Indonesia tahun 70-an itu. Ada tiga hal yang menandai terjadinya kesemarakan itu dan terus berlanjut pada periode berikutnya.
Pertama, terbitnya sejumlah majalah hiburan, seperti Vista, Selecta, Varia, Aktuil, Top, Flamboyan, Violeta, yang kemudian disusul majalah-majalah wanita –Kartini Grup, di satu sisi melahirklan penulis-penulis baru, dan terutama para penulis wanita, dan di sisi lain, ikut menyebarkan popularitas sastra hiburan. Meskipun yang disebut terakhir –sastra hiburan—yang kemudian lebih sering disebut sastra populer, sudah berkembang sejak zaman sebelum Balai Pustaka,22 kemudian semarak kembali pada dasawarsa tahun 1950-an,23 pada tahun 1970-an itu keberadaannya cukup banyak mengundang reaksi berbagai kalangan.24 Beberapa novel Motinggo Boesje, Remy Sylado, menyusul Abdullah Harahap, Eddy D. Iskandar, Teguh Esha, Ashadi Siregar sampai ke novel yang ditulis para pengarang wanita, seperti Ike Soepomo, Marga T., Mira W. yang terbit tahun 1970-an itu adalah contoh novel populer.25 Dalam hal ini, seyogianya kita menempatkan posisi novel populer itu secara proporsional, sebab ada novel populer yang baik, ada pula yang buruk. Beberapa karya dari pengarang yang disebutkan itu, boleh dikatakan termasuk kategori novel populer yang baik. Bukankah novel-novel sastra yang serius juga ada yang masuk kategori baik, ada juga yang jelek?
Kedua, munculnya gerakan para penulis muda yang hendak memberontak pada kemapanan para penyair senior dan gugatan terhadap majalah Horison yang tidak dapat menampung karya-karya mereka.26 Penganjur utama gerakan ini adalah Remy Sylado (= 23761, nama pena Japie Tambayong) yang kebetulan menjadi pengasuh majalah Aktuil (1972—1978). Dalam majalah itulah, karya-karya mereka itu dimuat dan kemudian diberi label “Puisi Mbeling.” Salah satu ciri utama puisi mbeling adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa, dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. Di balik kelakar itu, ada sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu dalam perekonomian nasional.27
Ketiga, jika majalah Aktuil dan majalah Top menggugat kemapanan majalah Horison dan para penyair senior melalui rubrik “Puisi Mbeling” atau “Puisi Lugu” yang isinya terkesan berkelakar, maka hal yang sama juga dilakukan dalam sebuah forum yang disebut “Pengadilan Puisi”. Forum yang pada mulanya terkesan bermain-main itu diselenggarakan di Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974. Bagaimana mungkin sebuah puisi diadili dengan menampilkan Sanento Yuliman sebagai Hakim Ketua, Darmanto Jatman sebagai Hakim Anggota, Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, Taufiq Ismail sebagai Pembela dan sejumlah sastrawan Indonesia sebagai saksi-saksi? Saksi yang memberatkan antara lain, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto, Abdul Hadi WM, dan Pamusuk Eneste, sedangkan Saini KM, Wing Kardjo, Adri Darmadji, dan Yudistira A.N. bertindak sebagai saksi yang meringankan. Sesungguhnya, di balik kesan main-main itu, di dalamnya ada semangat pemberontakan terhadap perpuisian Indonesia. Ada tiga instansi yang menjadi sasaran gugatannya, yaitu (1) sistem penilaian terhadap puisi Indonesia mutakhir, (2) kritikus sastra: H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, (3) penyair mapan: Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohammad, dan (4) majalah sastra: Horison.
Slamet Kirnanto yang bertindak sebagai Jaksa mengajukan empat tuntutan:
1. Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan.
3. Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebagainya (dll) dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horison dan Budaja Djaja harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum. Sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.28
Majelis Hakim yang diketuai Sanento Yuliman menolak semua tuntutan Slamet Kirnanto. Adapun keputusan Majelis Hakim tersebut adalah berikut ini:
1. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra, yang akan segera didirikan.
2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka, selama mereka tidak merasa malu. Bila dikehendaki sendiri, mereka boleh mengundurkan diri.
3. Para penyair mapan, established, masih diberi peluang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk ke dalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit-nya, hanya di belakang nama lama harus diembel-embeli kata “Baru”, sehingga menjadi Horison Baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.29
“Pengadilan Puisi” sebagai sebuah peristiwa budaya tidaklah berpengaruh besar bagi proses penciptaan. Meskipun demikian, peristiwa itu tetap dapat dianggap penting mengingat ia mewakili semangat zamannya. Bagaimana para penyair muda masa itu merasa perlu melakukan perlawanan terhadap dominasi dan pengaruh penyair sebelumnya. Bagaimana pula mereka mengusung semangat perubahan. Dengan merujuk pada usaha pembaharuan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri, para penyair muda itu hendak menegaskan kembali keberadaan dan kontribusi mereka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
Selang dua minggu setelah peristiwa itu, tepatnya 21 September 1974, di Jakarta diselenggarakan acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” dengan menampilkan para pembicara yang namanya disebut-sebut dalam Pengadilan Puisi, yaitu H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Jawaban yang lebih menyerupai semacam pembelaan ini, tidak memberi pengaruh penting bagi perkembangan sastra Indonesia.
Demikianlah, kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1970-an itu memperlihatkan sebuah perkembangan penting yang tidak sekadar heboh sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi oleh kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan. Dalam hal itulah, pemikiran Abdul Hadi WM laksana merepresentasikan gerakan estetik Angkatan 70-an itu. Gerakan estetik itu seperti memperoleh legitimasi manakala Abdul Hadi WM selama lebih dari satu dasawarsa (1979—1990) mengasuh rubrik Dialog, sebuah lembaran kebudayaan dalam suratkabar Berita Buana. Dalam konteks itu, Abdul Hadi tidak hanya bertindak sekadar sebagai pengasuh, melainkan redaktur yang mempunyai kesadaran visioner yang coba menawarkan sebuah model estetik dalam kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.
* Makalah Seminar Tapak Budaya Paramadina: “Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” diselenggarakan Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, 9 Juni 2008.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dosen luar biasa Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
1 Beberapa pengamat sastra Indonesia kerap menyebutkan beberapa angkatan yang dianggap sebagai tonggak perjalanan kesusastraan Indonesia, yaitu (1) Angkatan Balai Pustaka –meski ada pula yang mengusulkan adanya angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pra-Balai Pustaka, (2) Angakatan Pujangga Baru, (3) Angkatan 45, (4) Angkatan ’66 –sebelum angkatan ini, Ajip Rosidi mengusulkan adanya Angkatan Terbaru untuk sastrawan yang berkiprah tahun 1950-an sampai awal 1960-an, (5) Angkatan 70-an, (6) Angkatan 80-an, dan (7) Angkatan 2000. Dari sejumlah penyebutan angkatan itu,
2 Semangat estetik Angkatan Pujangga Baru tampak jelas dalam esai-esai Sutan Takdir Alisjahbana tentang perbedaan pujangga lama dan pujangga baru yang termuat dalam majalah Pujangga Baru.
3 Konsep estetik Angkatan 45 dapat ditelusuri pada esai Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Achdiat Karta Mihardja, Rosihan Anwar, Aoh Karta Hadimadja, dan H.B. Jassin, H.B. Jassin, “Angkatan 45? Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189.
4 Penamaan Angkatan 66 sebagai sebuah gerakan sosial politik, muncul pertama kali dalam “Simposium Kebangkitan Semangat ’66: Mendjeladjah Tracee Baru” yang berlangsung di Universitas Indonesia, 6—9 Mei 1966. Dalam kesusastraan Indonesia, nama Angkatan 66 mula pertama diangkat H.B. Jassin dalam artikelnya, “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” yang dimuat majalah Horison, No. 2, Th. I, Agustus 1966. Seperti juga penamaan Angkatan 45 yang memancing berbagai tanggapan dan kontroversi, penamaan Angkatan 66 yang ditawarkan Jassin, juga mengundang serangkaian tanggapan dan reaksi. H.B. Jassin melandasi dasar pemikirannya tentang penamaan Angkatan 66 dengan bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika gelombang aksi mahasiswa dan pelajar berhasil menumbangkan rezim yang telah banyak melakukan penyelewengan. Ramainya perdebatan tentang Angkatan 66 ini mendorong Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Diskusi Besar tentang Angkatan 66 di Taman Ismail Marzuki, 27 Agustus 1969. Terlibat dalam diskusi itu, antara lain, H.B. Jassin, Subagio Sastrowardojo, S. Effendi, dan Ajip Rosidi. Lukman Ali bertindak sebagai moderator membuat cacatan sejumlah pendapat tentang angkatan dalam sastra Indonesia, “Ikhtisar Pendapat tentang Masalah Angkatan dalam Kesusastraan Indonesia” dimuat Budaja Djaya, No. 35, Th. IV, 1971. Sebuah rangkuman berbagai pendapat tentang Angkatan, mulai Angkatan 45 sampai Angkatan 66. Tampak di sana, proklamasi Jassin tentang Angkatan 66 membuka peluang terjadinya kontroversi.
5 Beberapa nama yang secara serius coba merumuskan gerakan estetik Angkatan 70-an, dapat disebutkan di sini, antara lain, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Dami N. Toda.
6 Contoh kasus semaraknya kebebasan berkreasi pascatragedi 1965 dapat kita lihat pada mencuatnya nama Iwan Simatupang (18 Januari 1928—4 Agustus 1970) sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra Indonesia zaman Orde Baru. Ia bolehlah dianggap sebagai salah seorang pemicu lahirnya karya-karya eksperimental, terutama dalam penulisan prosa dan (mungkin juga) dalam penulisan naskah drama. Karya pertamanya, drama Bulan Bujur Sangkar terbit tahun 1960, sebuah drama yang selesai ditulisnya tahun 1957 di Eropa, nyaris tak mendapat tanggapan apa pun ketika itu. Setelah itu, terutama setelah kematian istrinya –Cornelia Astrid van Geem—, ia seperti tenggelam, meski sempat menikah lagi dengan Tanneke Burki, seorang balerina dari Bandung (1961) yang hanya bertahan sampai awal tahun 1964. Antara 1964—1966, Iwan sama sekali tidak mau terlibat dalam organisasi apapun yang sedang berseteru. Pada tahun 1966, dua drama Iwan Simatupang, yaitu RT Nol/RW Nol dan Petang di Taman, terbit. Kedua drama ini pun belum mendapat tanggapan yang cukup ramai. Karya Iwan Simatupang mulai mendapat tanggapan luas, bahkan memunculkan polemik, justru setelah terbit novel Merahnya Merah (1968, selesai ditulis tahun 1961) dan terutama novel Ziarah (1969, novel Iwan pertama yang selesai ditulis tahun 1960, setelah kematian istrinya). Tampak di sini, tanggapan terhadap novel Iwan Simatupang begitu semarak, bersifat polemis, dan penting dalam menyemarakkan kehidupan kritik sastra. Sangat mungkin tanggapan masyarakat pembaca akan berbeda jika novel itu terbit tahun 1960-an ketika politik diusung sebagai panglima dan pengaruhnya memasuki hampir semua aspek kehidupan. Dengan demikian, terbitnya novel Iwan selepas tragedi tahun 1965, seperti memperoleh momentum yang tepat. Sejak itulah kemudian berlahiran karya-karya sejenis dari sastrawan lainnya yang memperlihatkan semangat eksperimentasi, sebagaimana yang telah dilakukan Iwan Simatupang. Betapa ramainya tanggapan pembaca terhadap karya-karya Iwan Simatupang, dapat dilihat dari semua tulisan tentang Iwan Simatupang, yang mencapai lebih dari 300-an tulisan, baik yang berupa resensi, artikel, esai, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Studi mendalam tentang Iwan Simatupang dilakukan Dami N. Toda, Novel Baru Iwan Simatupang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; buku ini berasal dari skripsi penulisnya tahun 1975 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, “Resepsi Novel-Novel Iwan Simatupang di Indonesia 1968—1988,” (Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 1989), Okke KS Zaimar, Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang, (Jakarta: Intermasa, 1991; buku ini berasal dari disertasi penulisnya tahun 1990 di Fakultas Sastra Universitas Indonesia), Kurnia Jaya Raya, Inspirasi? Nonsens! (Magelang: Indonesia Tera, 1999). Lihat juga Surat-Surat Politik Iwan Simatupang, 1964—1966 (Jakarta: LP3ES, 1986), surat-surat Iwan Simatupang yang dikumpulkan dan diberi Kata Pengantar Frans M. Parera. Pembicaraan mengenai perjalanan sastra Indonesia kontemporer, hampir tidak pernah menafikan tempat dan peranan Iwan Simatupang sebagai tokoh pembaharu.
7 Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 6.
8 Ahmad Tohari baru muncul namanya dan mulai diperhitungkan keberadaannya dalam sastra Indonesia awal tahun 80-an. Tidak begitu jelas, mengapa Abdul Hadi memasukkan nama Ahmad Tohari ke dalam sastrawan Angkatan 70-an.
9Abdul Hadi WM, Kembali …, hlm. 6—7.
10 Abdul Hadi WM, “Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia,” Makalah dibawakan dalam Diskusi Sastra di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 September 1984, dimuat juga dalam E. Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000, hlm. 789—806. Penamaan Angkatan 70 sebenarnya sudah banyak dilontarkan Abdul Hadi dan Dami N. Toda sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. Dalam artikel panjang “Kepenyairan di Indonesia tahun 70-an” yang dimuat bersambung di harian Berita Buana (14, 21, dan 28 Januari 1977), Abdul Hadi mengemukakan tokoh-tokoh persajakan utama 70-an seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Darmanto Jatman yang membawa kecenderungan baru, menggeser wawasan estetik lama dan mewarnai dunia persajakan sepanjang tahun 70-an.
11 Penamaan Angkatan 70 dalam sastra Indonesia ini tidak hanya diperkenalkan oleh Abdul Hadi WM, tetapi juga oleh Dami N. Toda sebagaimana diungkapkan dalam beberapa artikelnya, “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa,” Budaya Jaya, No. 12, Th. X, September 1977; “Tahap-Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia,” Budaya Jaya, No. 121 Th. XI, Juni 1978; “Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir,” Horison, No. 8, Th. XVI, Agustus 1981. Lihat juga esai-esai Dami N. Toda dalam bukunya, Hamba-Hamba Kebudayaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto dalam wawancaranya dengan Abdul Hadi WM (Berita Buana, 14 Februari 1978) juga mengusung nama Angkatan 70 ketika keduanya melihat adanya kecenderungan baru yang terdapat dalam karya-karya yang terbit pada periode itu. Mengenai hal ini, Boen S. Oemarjati tidak secara tegas menyebut Angkatan 70, melainkan menyebutnya sebagai “periode”. Hal yang senada juga dilontarkan oleh Goenawan Mohamad yang menyebutnya sebagai “generasi sastrawan 1970-an”. Sementara itu, Korrie Layun Rampan, meskipun pandangan yang mendasarinya tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Abdul Hadi dan Dami N. Toda, ia menyebut sastrawan pada periode itu sebagai “Angkatan 80”. Penamaan yang dilakukan Korrie ini mungkin diilhami oleh penamaan Angkatan ‘80 (De Tachtiger Beweging) Belanda yang menyerap pengaruh romantisisme Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia. Korrie sendiri tidak memberi alasan, mengapa ia menyebutnya sebagai Angkatan 80, dan tidak Angkatan 70. Padahal, penyebutan Angkatan 80 yang dilontarkan Korrie dalam artikelnya “Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” (Suara Karya, 24 Agustus 1984), jelas lebih kemudian dibandingkan dengan penamaan Angkatan 70 yang diangkat Abdul Hadi, Dami N. Toda, Danarto, dan Sutardji Calzoum Bachri sejak pertengahan dasawarsa 70-an, terutama ketika Abdul Hadi mengasuh lembar kebudayaan “Dialog” di harian Berita Buana antara tahun 1979—1990.
12 Beberapa novel mereka dapat disebutkan di sini, antara lain: Iwan Simatupang, Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1972), dan Koong (1975); Putu Wijaya, Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1972), Pabrik (1976), Stasiun (1977), Keok (1978), Lho (1982), Pol (1987), dan beberapa novel lainnya yang mencapai lebih dari 10 novel; Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (1976), Budi Darma, Olenka (1983).
13 Karya-karya mereka dapatlah disebutkan di sini, beberapa antaranya: Danarto, Godlob (1976) dan Adam Ma’rifat (1982); Putu Wijaya, Bom (1978) Es (1980), dan Gres (1982), Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993), cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” memperoleh Hadiah Pertama Sayembara Majalah Sastra 1969; Fudoli Zaini, Lagu dari Jalanan (1982), Potret Manusia (1983), Kota Kelahiran (1985), Arafah (1985). Fudoli dua kali mendapat hadiah dari majalah Horison, yaitu untuk cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” (1966/1967), dan “Sisifus” (1977/1978; Umar Kayam, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972) dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
14 Karya-karya mereka yang muncul pada periode itu dapatlah disebutkan beberapa di antaranya: Arifin C. Noer, Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Umang-Umang (1976), dan Sandek, Pemuda Pekerja (1979). Arifin sebenarnya sudah mulai berkarya sejak tahun 1963. Ia juga banyak menulis puisi. Drama-drama Arifin C. Noer, selain sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, juga dipentaskan di berbagai kota besar di Eropa, Amerika, dan Asia; Putu Wijaya, Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986); Putu Wijaya sebenarnya termasuk penulis produktif. Karyanya berupa kumpulan cerpen, novel, dan drama, lebih dari 40-an. Karya-karya Putu Wijaya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, Rusia, dan Arab. Ia juga kerap berkeliling dunia mementaskan karya-karyanya. Rendra, meskipun tak begitu banyak menulis naskah drama, ia dianggap sebagai salah tonggak penting dalam perjalanan teater Indonesia modern yang kemudian banyak mempengaruhi dramawan generasi berikutnya. Dua naskah drama yang dihasilkannya adalah Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954) terpilih sebagai pemenang pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K Yogyakarta tahun 1954, dan Panembahan Reso (1988), sebuah drma kolosal yang memerlukan waktu sekitar enam jam pementasannya. Ia banyak menulis puisi dan menerjemahkan drama klasik Yunani. Tetapi dramanya, Bip-Bop –drama minikata atau “Teater Puisi” menurut Dami N. Toda—yang dipentaskan tahun 1968 di Balai Budaya dan kemudian di Taman Ismail Marzuki, dianggap sebagai salah satu pembaharuan di bidang teater di Indonesia. Demikian juga dramanya, Mastodon yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (13 Desember 1973) dianggap membawa kebaruan dalam perkembangan drama Indonesia kontemporer. Dalam konteks itulah posisi Rendra ditempatkan sebagai salah seorang tokoh penting pembaharu drama di Indonesia. Danarto, Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976); Ikranagara, kariernya dimulai dengan menjadi aktor di Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer. Ia kemudian mendirikan teater sendiri, bernama Teater (Siapa) Saja. Sejak itu, ia banyak mementaskan drama dari naskah yang ditulisnya sendiri, antara lain, Topeng (1972), Saat-Saat Drum band Mengerang-ngerang (1973). Dari 20-an naskah drama lainnya yang sudah dipentaskan tetapi belum diterbitkan, antara lain, Para Narator, Gusti, Agung, Rang Gni, Ssst!!!, Byurrr! Tok Tok Tok, Zaman Kalong. Seperti Rendra, Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya, Ikranagara juga telah mementaskan karya-karyanya di berbagai kota di luar negeri, antara lain, di Manila, Singapura, Taipe, Kuala Lumpur, dan beberapa kota di Amerika. Sejumlah nama yang disebutkan di sini sekadar menegaskan adanya kecenderungan baru dalam drama di Indonesia tahun 1970-an itu. Nama-nama lain tentu masih berderet panjang. Sebut misalnya, Kuntowijoyo (18 September 1943—22 Februari 2005). Ia pada dekade 70-an itu sebenarnya menulis beberapa naskah drama, seperti Rumput-Rumput Danau Bento, Tidak Ada Cinta bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Topeng Kayu. Kecuali Topeng Kayu (2001), naskah-naskah lainnya belum diterbitkan dan masih berupa manuskrip. Bip-Bop dan Mastodon karya Rendra, misalnya, sejauh pengamatan masih tetap dalam bentuk manuskrip. Itulah yang terjadi pada banyak penulis drama di Indonesia. Naskah-naskah dramanya sekadar dipentaskan dan tidak dipublikasikan dalam bentuk terbitan buku.
15 Pembicaraan yang cukup mendalam mengenai drama kontemporer yang muncul tahun 1970-an dilakukan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” Seks, Sastra, Kita, Jakarta: Sinar Harapan, 1980, hlm. 91—148.
16Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, misalnya, merupakan contoh puisi naratif yang panjang (192 halaman). Linus Suryadi sendiri menyebutnya sebagai prosa lirik, prosa yang dibangun seperti puisi yang mengingatkan kita pada bentuk syair atau hikayat dalam sastra lama. Dalam karya ini, Linus juga begitu banyak menggunakan kosa-kata Jawa, sehingga diperlukan lampiran Daftar Kosa Kata Jawa—Indonesia setebal hampir 50 halaman (halaman 193—238). Banyak pula pembaca dan pengamat sastra Indonesia yang mempertanyakan tempat Pengakuan Pariyem dalam sastra Indonesia; apakah termasuk sastra Indonesia atau sastra Jawa. Penulisan puisi naratif, sebelumnya banyak dilakukan Ajip Rosidi (Jante Arkidam) dan Ramadhan KH (Priangan si Jelita). Belakangan, Sapardi Djoko Damono juga banyak memanfaatkan pola puisi naratif dalam hampir semua antologi puisinya, seperti dalam antologi DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), sampai ke antologi puisinya yang belakangan, seperti Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1999), Ayat-Ayat Api (2000) cenderung menggunakan bentuk narasi yang jernih dengan bahasa yang sederhana. Gaya seperti ini banyak mempengaruhi para penyair yang kemudian.
17 Abdul Hadi WM, “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm.36—46.
18 Istilah sastra sufi –sering juga dipakai istilah sastra sufistik—yang kemudian menjadi wacana perdebatan pada dekade tahun 1970-an itu, pertama kali dilontarkan Abdul Hadi WM dalam serangkaian artikelnya yang dimuat di lembar “Dialog” harian Berita Buana. Ia kemudian begitu gencar memperkenalkan –dan menerjemahkan— khazanah sastra sufi berikut pemikiran dan estetika para penyairnya. Antologi puisi Sastra Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985) merupakan salah satu usaha Abdul Hadi dalam mengangkat karya-karya penyair sufi, baik para penyair yang berasal dari Asia Barat, maupun para penyair dari wilayah Nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Bukhari Al-Jauhari, Yasadipuro I, Yasadipura II, Ronggowarsito sampai ke Amir Hamzah. Bukunya yang lain, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001) dan Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas (2004) adalah usaha serius Abdul Hadi dalam memperkenalkan sastra sufi. Belakangan, ia juga banyak memperkenalkan (dan menerjemahkan) khazanah sastra Timur, terutama Cina, Jepang, dan India. Sementara itu, istilah sastra sufistik digunakan juga Danarto, Nurcholis Madjid, Ali Audah, Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dalam kaitannya dengan pemikiran tasawuf dalam sastra. Dari sana lahir istilah-istilah sejenis, seperti sastra profetik, sastra transendental (diperkenalkan Kuntowijoyo dalam Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki), sastra dzikir (diperkenalkan Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan, “Sastra sebagai Amal Shaleh,” Horison, No. 6 Juni 1984 ), dan sastra Islam yang makna dan cakupannya lebih luas.
19 Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hlm. 13—14.
20 Hal yang sama kemudian juga dilakukan Ibrahim Sattah (1943—19 januari 1988) sebagaimana tampak dalam tiga antologi puisinya, Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai Ti (1981).
21 Pada dekade tahun 1970-an itu dan kemudian berlanjut pada dasawarsa berikutnya, wacana tentang sastra sufi tidak hanya semarak dalam perdebatan konsep-konsep, seperti istilah sastra sufi, sastra sufistik, sastra profetik, sastra dzikir, dan sastra transendental, tetapi juga muncul dalam banyak puisi, cerpen, novel, dan drama. Para penyair yang coba mengangkat tema-tema tasawuf, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Abdul Hadi WM, Apip Mustopa, Budiman S. Hartoyo, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Ibrahim Sattah, Ikranagara, Kuntowijoyo, Leon Agusta, Sides Sudyarto DS, Slamet Sukirnanto, Sutardji Calzoum Bachri, dan Taufiq Ismail. Tentu saja masih banyak nama yang tercecer yang sebenarnya pernah berkiprah pada periode itu.
22 Salah satu faktor yang mendorong didirikannya Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (1908) justru lantaran munculnya bacaan-bacaan hiburan yang diterbitkan pihak swasta. Setelah lembaga itu berganti nama menjadi Balai Pustaka (1917), pihak pemerintah kolonial Belanda menyebut bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka (swasta) sebagai “bacaan liar.” Mereka yang menerbitkan dan menjual buku-buku terbitan pihak swasta itu disebut sebagai “saudagar kitab yang kurang suci hatinya.” Satu ungkapan yang jelas bermaksud memarginalkan karya-karya sastra terbitan pihak swasta.
23 Pada dasawarsa 1950-an, bacaan-bacaan hiburan terutama terbitan Medan, cukup banyak diminati masyarakat luas. Kemasannya yang sederhana, bentuknya yang kecil seperti buku saku (pocketbook), cetakan yang agak buruk, dan kertasnya yang berkualitas rendah, menjadikan buku-buku sejenis itu dijual dengan harga murah. Karena harganya yang murah itu, ia dipersamakan dengan nilai uang terkecil, yaitu picis. Oleh karena itulah, buku-buku sejenis itu –yang umumnya mengangkat tema-tema percintaan—disebut roman picisan. Satu bentuk penghinaan terhadap buku-buku sejenis itu. Pembicaraan yang cukup luas mengenai buku-buku hiburan sejenis itu ditulis R. Roolvink, “Roman Pitjisan,” Pokok dan Tokoh, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953.
24 Kebanyakan masyarakat memandang novel-novel sejenis itu secara apriori yang dikaitkan dengan masalah pornografi. Jika dicermati serius, novel-novel itu sesungguhnya tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam karya pornografi. Di dalam novel-novel itu, masalah seks sekadar bumbu. Itupun tak digambarkan secara vulgar. Jadi, pandangan masyarakat terhadap novel populer, terutama karya-karya Motinggo Boesje yang dikaitkan dengan pornografi dan menudingkan karya-karyanya sebagai novel porno, tidaklah seluruhnya benar.
25
Motinggo Boesje pada awal kepengarangannya banyak menulis karya sastra serius (drama, novel, dan cerpen). Memasuki tahun 1990-an, ia kembali menulis karya-karya serius. Bahkan novelnya, Sanu, Infinita Kembar (1985) –menurut pandangan H.B. Jassin dan Abdul Hadi WM—termasuk sebagai novel sufistik. Terlepas dari persoalan populer atau tidaknya novel-novel yang ditulisannya tahun 1970-an, sejauh pengamatan, Motinggo Boesje tercatat sebagai novelis Indonesia paling produktif. Sekitar 200-an novel telah dihasilkannya. Sejauh pengamatan, belum ada sastrawan Indonesia yang menghasilkan novel sebanyak Motinggo Boesje. Sementara itu, Remy Sylado, belakangan juga menulis novel-novel serius. Bahkan salah satu novelnya, Kerudung Merah Tirmizy (2002) terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Award. Eddy D. Iskandar dalam sastra Indonesia memang dikenal sebagai penulis sastra populer. Tetapi, dalam kesusastraan Sunda, ia termasuk sastrawan Sunda yang menghasilkan novel-novel yang bagus dalam bahasa Sunda.
26 Lihat Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 89—97. Periksa juga, Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, Magelang: Indonesia Tera, 2001.
27 Dua artikel yang dimuat Budaya Jaya, No. 93, IX, Februari 1976, yang ditulis H.B. Jassin, “Beberapa Penyair di Depan Forum” (hlm. 65—85) dan Saini K.M., “Penyair-Penyair Muda Jakarta,” (hlm. 86—98) memberi gambaran cukup baik mengenai puisi-puisi Mbeling atau puisi lugu yang dimuat majalah Aktuil dan majalah Top.
28 Slamet Kirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan Brengsek!” (Jawaban atas pengadilan puisi) dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Pengadilan Puisi, Jakarta: Gunung Agung, 1986.
29 Pamusuk Eneste (Ed.), Ibid.
“Saya Sudah Menulis 40 Buku”
In Memoriam Ramadhan KH
Susianna
http://www.suarakarya-online.com/
“Saya sudah menulis empat puluh buku”. Itulah pesan terakhir almarhum Ramadhan Karta Hadimadja kepada istrinya Salfrida Nasution yang bertugas sebagai Konsulat Jendral di Cape Town, Afrika Selatan. Ingat, jumlah itu belum termasuk buku-buku kumpulan puisinya. Terakhir almarhum menulis biografi Nazir, Dubes RI di Afsel. Sebenarnya masih ada empat buku dalam taraf penyelesaian Ramadhan KH, antara lain biografi mantan Gubernur DKI Tjokropranolo (alm).
Niat ini tidak kesampaian karena Tuhan telah memanggilnya pada 16 Maret 2006 persis di hari ulang tahun (HUT)-nya yang ke-79 pukul 08.45 waktu Cape Town atau pukul 13.45 WIB. Jenazah almarhum dibawa ke Jakarta, Sabtu (19/3) dan disemayamkan di rumah duka di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian, jenazah dilepas Wagub DKI Ir Fauzi Bowo untuk dimakamkan di Tanah Kusir, Jaksel setelah shalat Ashar. Hadir ikut memberikan penghormatan terakhir, antara lain Riantiarno dan istrinya Ratna R, Titie Said, Rosian Anwar, Ajip Rosidi, pengacara Adnan Buyung Nasution, dan pengusaha Mien R Uno.
Almarhum meninggalkan 2 anak masing-masing Gumilang Ramadhan dan dramer handal nasional Gilang Ramadhan serta 5 cucu dari pernikahan dengan istri pertamanya, almarhumah Pruistin Atmadjasaputra (Ines). Ines meninggal April 1990 dalam tugas sebagai Konsulat Jendral di Bonn, Jerman. Setelah hampir tiga tahun melajang, Ramadhan menikahi Salfrida Nasution yang juga teman sekantor almarhumah.
Meskipun dalam keadaan sakit, almarhum terus menulis dan melakukan koreksi tulisannya. Di samping itu, almarhum sempat menyelesaikan sebuah lukisan bertemakan “bulan”.
Almarhum memang memiliki hobi melukis dan pernah pameran bersama Otto Djaja serta Agus Djaja di Sukabumi, Jabar. Ia juga melukis potret istri pertamanya, Pruistin (Ines). Almarhum pernah aktif di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1970-an dan kemudian terpilih sebagai anggota Akademi Jakarta.
Biografi Soeharto
Ramadhan KH dikenal sebagai penulis serba bisa. Selain novel, roman, cerpen, dan puisi, ia juga aktif menulis biografi. Diawali dengan penulisan biografi istri Bung Karno, Inggit Garnasih bertajuk “Kuantar ke Gerbang” (1981), ia kemudian menulis biografi beberapa tokoh, antara lain mantan Presiden Soeharto dengan judul “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”. Biografi Soeharto ditulisnya ketika penguasa Orde Baru ini masih berkuasa.
Salah satu novelnya yang cukup menarik berjudul “Ladang Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara)”. Novel ini mengungkap fakta korupsi yang terjadi di tubuh Pertamina waktu di bawah pimpinan Ibnu Sutowo. Novel ini mulai dikerjakan tahun 1980, selesai tahun 1982 dan diterbitkan tahun 1990. Lamanya penulisan karena ia harus membaca referensi buku tentang korupsi, di samping meminta pertimbangan dari berbagai kalangan, seperti pejabat, pengusaha, wartawan dan seniman. Konon, pernah diisukan buku ini dilarang beredar.
Ide penulisan novel ini diilhami berita tentang penyelewengan atau korupsi yang dimuat di Harian “Indonesia Raya” (1970) di bawah Pemimpin Redaksi Mochtar Lubis (alm). Ramadhan KH yang waktu itu sebagai wartawan di kantor berita Antara tertarik menulis dalam bentuk fiksi. “(Saya) bukan saja menaruh perhatian. Tetapi, berita itu saya ikuti dan timbullah khayalan saya,” kata Ramadhan ketika ditemui SKM di rumahnya di Jalan Deplu Raya, Bintaro Jakarta Selatan tahun 1992. (SKM, Maret 1992).
Almarhum pernah menuturkan pengalamannya sebagai getting news bahwa membuat berita adalah modal yang sangat membantu untuk menjadi novelis. Karena, dengan membuat berita ia bisa melihat kenyataan yang ada. Untuk itulah, ia selalu menulis novel berdasarkan kenyataan yang dituangkan ke dalam bentuk fiksi. “Saya tak mampu menulis cerita khayalan yang bukan dari kenyataan,” ujar almarhum.
Pengalaman di bidang jurnalistik di berbagal surat kabar dan majalah sejak duduk di bangku SMA mengantarkan Ramadhan KH sebagai penulis cerpen, penerjemah karya-karya sastra, novel dan roman. Salah satu novelnya, “Royan Revolusi” bahkan memeroleh hadiah sayembara mengarang roman IKAPI-UNESCO (1967) dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Kemudian novel “Kemelut Hidup” (1976) memeroleh hadiah sayembara mengarang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang kemudian difilmkan oleh Asrul Sani (1977). Sementara kumpulan puisinya, antara lain “Priangan Si Jelita” juga memeroleh hadiah BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) sebagai kumpulan sajak terbaik (1957-1958).
Dalam perjalanan hidupnya, almarhum sering berpindah tempat di berbagai negara mengikuti istrinya yang berdinas sebagai diplomat. “Saya mengikuti nasihat Mochtar Lubis, jangan berpisah terlalu lama dengan keluarga.”
Selama berada di mancanegara, Ramadhan biasa memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menulis. Pasalnya, selama mengikuti istri berdinas, ada peraturan bahwa suami tidak boleh bekerja. Namun istri pertamanya, Ines justru aktif mendorong sang suami agar terus menulis. “Kalau ingin jadi pengarang, harus mengarang,” demikian nasihat Ines kepada Ramadhan KH. Ternyata hingga akhir hayat Ramadhan, pesan almarhumah istrinya tak pernah diingkari. Selamat jalan Pak Ramadhan!
Susianna
http://www.suarakarya-online.com/
“Saya sudah menulis empat puluh buku”. Itulah pesan terakhir almarhum Ramadhan Karta Hadimadja kepada istrinya Salfrida Nasution yang bertugas sebagai Konsulat Jendral di Cape Town, Afrika Selatan. Ingat, jumlah itu belum termasuk buku-buku kumpulan puisinya. Terakhir almarhum menulis biografi Nazir, Dubes RI di Afsel. Sebenarnya masih ada empat buku dalam taraf penyelesaian Ramadhan KH, antara lain biografi mantan Gubernur DKI Tjokropranolo (alm).
Niat ini tidak kesampaian karena Tuhan telah memanggilnya pada 16 Maret 2006 persis di hari ulang tahun (HUT)-nya yang ke-79 pukul 08.45 waktu Cape Town atau pukul 13.45 WIB. Jenazah almarhum dibawa ke Jakarta, Sabtu (19/3) dan disemayamkan di rumah duka di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian, jenazah dilepas Wagub DKI Ir Fauzi Bowo untuk dimakamkan di Tanah Kusir, Jaksel setelah shalat Ashar. Hadir ikut memberikan penghormatan terakhir, antara lain Riantiarno dan istrinya Ratna R, Titie Said, Rosian Anwar, Ajip Rosidi, pengacara Adnan Buyung Nasution, dan pengusaha Mien R Uno.
Almarhum meninggalkan 2 anak masing-masing Gumilang Ramadhan dan dramer handal nasional Gilang Ramadhan serta 5 cucu dari pernikahan dengan istri pertamanya, almarhumah Pruistin Atmadjasaputra (Ines). Ines meninggal April 1990 dalam tugas sebagai Konsulat Jendral di Bonn, Jerman. Setelah hampir tiga tahun melajang, Ramadhan menikahi Salfrida Nasution yang juga teman sekantor almarhumah.
Meskipun dalam keadaan sakit, almarhum terus menulis dan melakukan koreksi tulisannya. Di samping itu, almarhum sempat menyelesaikan sebuah lukisan bertemakan “bulan”.
Almarhum memang memiliki hobi melukis dan pernah pameran bersama Otto Djaja serta Agus Djaja di Sukabumi, Jabar. Ia juga melukis potret istri pertamanya, Pruistin (Ines). Almarhum pernah aktif di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1970-an dan kemudian terpilih sebagai anggota Akademi Jakarta.
Biografi Soeharto
Ramadhan KH dikenal sebagai penulis serba bisa. Selain novel, roman, cerpen, dan puisi, ia juga aktif menulis biografi. Diawali dengan penulisan biografi istri Bung Karno, Inggit Garnasih bertajuk “Kuantar ke Gerbang” (1981), ia kemudian menulis biografi beberapa tokoh, antara lain mantan Presiden Soeharto dengan judul “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya”. Biografi Soeharto ditulisnya ketika penguasa Orde Baru ini masih berkuasa.
Salah satu novelnya yang cukup menarik berjudul “Ladang Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara)”. Novel ini mengungkap fakta korupsi yang terjadi di tubuh Pertamina waktu di bawah pimpinan Ibnu Sutowo. Novel ini mulai dikerjakan tahun 1980, selesai tahun 1982 dan diterbitkan tahun 1990. Lamanya penulisan karena ia harus membaca referensi buku tentang korupsi, di samping meminta pertimbangan dari berbagai kalangan, seperti pejabat, pengusaha, wartawan dan seniman. Konon, pernah diisukan buku ini dilarang beredar.
Ide penulisan novel ini diilhami berita tentang penyelewengan atau korupsi yang dimuat di Harian “Indonesia Raya” (1970) di bawah Pemimpin Redaksi Mochtar Lubis (alm). Ramadhan KH yang waktu itu sebagai wartawan di kantor berita Antara tertarik menulis dalam bentuk fiksi. “(Saya) bukan saja menaruh perhatian. Tetapi, berita itu saya ikuti dan timbullah khayalan saya,” kata Ramadhan ketika ditemui SKM di rumahnya di Jalan Deplu Raya, Bintaro Jakarta Selatan tahun 1992. (SKM, Maret 1992).
Almarhum pernah menuturkan pengalamannya sebagai getting news bahwa membuat berita adalah modal yang sangat membantu untuk menjadi novelis. Karena, dengan membuat berita ia bisa melihat kenyataan yang ada. Untuk itulah, ia selalu menulis novel berdasarkan kenyataan yang dituangkan ke dalam bentuk fiksi. “Saya tak mampu menulis cerita khayalan yang bukan dari kenyataan,” ujar almarhum.
Pengalaman di bidang jurnalistik di berbagal surat kabar dan majalah sejak duduk di bangku SMA mengantarkan Ramadhan KH sebagai penulis cerpen, penerjemah karya-karya sastra, novel dan roman. Salah satu novelnya, “Royan Revolusi” bahkan memeroleh hadiah sayembara mengarang roman IKAPI-UNESCO (1967) dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Kemudian novel “Kemelut Hidup” (1976) memeroleh hadiah sayembara mengarang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang kemudian difilmkan oleh Asrul Sani (1977). Sementara kumpulan puisinya, antara lain “Priangan Si Jelita” juga memeroleh hadiah BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) sebagai kumpulan sajak terbaik (1957-1958).
Dalam perjalanan hidupnya, almarhum sering berpindah tempat di berbagai negara mengikuti istrinya yang berdinas sebagai diplomat. “Saya mengikuti nasihat Mochtar Lubis, jangan berpisah terlalu lama dengan keluarga.”
Selama berada di mancanegara, Ramadhan biasa memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menulis. Pasalnya, selama mengikuti istri berdinas, ada peraturan bahwa suami tidak boleh bekerja. Namun istri pertamanya, Ines justru aktif mendorong sang suami agar terus menulis. “Kalau ingin jadi pengarang, harus mengarang,” demikian nasihat Ines kepada Ramadhan KH. Ternyata hingga akhir hayat Ramadhan, pesan almarhumah istrinya tak pernah diingkari. Selamat jalan Pak Ramadhan!
Surat Bunga dari Ubud: Putu dan ”Sejarah yang Terserpih”
Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/
Persimpangan sejarah yang membuat generasi itu mampu membuat kisah lebih bermakna, energi yang memadai bila diangkat ke dalam karya. Demikian lontaran pendapat sastrawan Martin Aleida. Pendapat yang boleh diragukan oleh generasi masa kini. Kendati, pendapat Martin itu penting untuk dipertimbangkan saat membaca karya Putu Oka Sukanta.
Begitu pun sejarah tentang biografi di sebuah rezim di tengah prahara politik di Indonesia, hingga sekarang menjadi kemelut, menjadi kontroversi, bahkan mampu memperlambat dan memacetkan proses hukum yang sedang dijalankan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK): korban 1965 yang pembelaannya masih menimbulkan pro-kontra dari setiap lapisan politik masa kini.
Sejarah yang gamang, sejarah yang rawan.
Perasaan semacam itu tertangkap di buku Surat Bunga dari Ubud (Penerbit Koekoesan, 2008) yang diluncurkan di Goethe Institut Jl Sam Ratulangi 9-15 Jakarta, Jumat (7/11) malam, didukung oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Institut for Global Justice (IGJ), Penerbit Koekoesan, Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS), Meja Budaya dan Goethe Institut.
Ada fenomena yang berbeda antara teks cerpen dan puisi. Cerpen cenderung berupa dunia imaji yang rapi dan penuh siasat untuk melepaskan diri dari personalitas penulisnya. Di dalam puisi, terendus jejak biografi sekaligus perasaan si senimannya.
Karena itu, tak tepat bila membaca puisi penulis kelahiran Singaraja, Bali, 1939 yang pernah mendekam di penjara politik Salemba dan Tangerang sejak 1966 hingga 1976 ini, hanya diarahkan kepada fenomena diksi, tipologi dan tanda-tanda baca lainnya di dalam karya.
Di karya penyair yang sebelumnya pernah menulis kumpulan puisi Selat Bali (1982), Tembang Jalak Bali (1986), Salam (1986), Tembok-Matahari Berlin (1990) itu, terseliplah cinta personalnya tentang keluarga, ”rantai cinta” di masa lalu, genetik Bali seorang Putu Oka Sukanta, lengkap dengan spiritualitas ”manusia Pulau Dewata” di Nusantara.
Sepuluh tahun, tentu begitu mengerikannya, sebuah ruang terali sempit yang tanpa kebebasan fisik dan ketidakpastian masa depan – diganduli belenggu pemikiran dan belenggu karya di atas riwayat hidupnya.
Tak hanya itu, dalam kebebasan pun, hingga tahun 1998 bahkan sekarang, stigma itu terus berlangsung, mempermainkan riwayat tiap orang yang pernah terlibat dan terkalahkan oleh prahara sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan hukum di masa menyedihkan itu. Kendati bersalah pun, tak ada pengadilan dan hukum yang memadai untuk mengantarkan mereka dalam pesakitan panjangnya. Bahkan, khalayak awam seperti petani dan ”kalangan lugu”, harus ikut menderita dalam stigma prahara politik tahun 1960-an.
Ada sejarah yang berjalan di atas muka bumi, yang ikut mempermainkan seorang Putu Oka Sukanta. Tubuh yang menua, pengalaman hidup yang mendera, dunia yang terus berubah. Sama seperti menyaksikan sastrawan Sitor Situmorang, Martin Aleida, mendiang Pramoedya Ananta Toer atau seniman rupa Agustin Sibarani, mereka adalah “mata masa lalu” yang sempat melihat kekinian zaman yang terus bergerak. Aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) hingga aktivis Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) ikut dirobohkan dan dihancurkan dalam sejarah itu.
Seorang mantan tapol akhirnya memperhatikan dunia yang berubah wajah, dunia yang kini berada di tengah sistem industri liberal, pasar bebas. Negaranya kini masih menjadi negara berkembang yang mengklaim diri tekun dengan spiritualitas Asia – penuh dengan harmoni, namun sekaligus juga dimainkan oleh “spiritualitas” baru: televisi kabel, generasi MTV (music television, sebuah program televisi internasional), plus globalisasi yang membelit. Sekaligus juga krisis ekonomi dan rasa kebangsaan yang diserpih…
***
Amatlah unik bila dipasang asumsi bahwa penyair yang pernah tersisih dalam sejarah rezim tiran Orde Baru, umumnya tetap menggali kenangan dan rasa rindu dendam pada tanah air di dalam puisinya.
Tanah rantau tetap sulit menjadi tanah air pertama, tanah rantau kerap dijadikan tanah yang kedua. Mereka masih kerap membandingkan antara Amerika, Eropa dengan rasa kangen tanah air.
Itu dapat saja terjadi, baik pada sastrawan eksil, ataupun sastrawan yang mendapat ganjaran hukum beberapa tahun dari tiran Orde Baru dan sekeluar dari penjara baru dapat merasakan hawa kebebasan di paru-parunya.
Umumnya, mereka tetap menggali kenangan, rasa rindu dendam pada tanah air. Sekali pun hanya singgah atau bahkan menetap di negeri orang.
Putu Oka Sukanta memang bukan sastrawan eksil secara fisik – kendati dia ”eksil, pernah tersingkir dari sebuah sejarah biografi dan karya”. Putu kembali tinggal dan bekerja di negeri ini. Setelah mewarisi keahlian Dokter Lee, dia pun bekerja di bidang konsultasi akupunktur di rumah praktiknya yang terletak di sebuah gang kota Jakarta. ”Hidup saya justru dari sini, Bung,” ujarnya pada penulis, saat bertandang ke tempatnya berpraktik.
Putu, juga diundang ke beberapa negara di Asia, Eropa, Amerika dan Australia untuk mempresentasikan tulisannya. Di semua puisi yang ber-titimangsa (keterangan latar tempat dan waktu) negeri lain itu, Putu ternyata tak henti membandingkan dengan kecintaan dan kerinduan pada tanah airnya.
Bacalah puisi berjudul ”Stockholm”, dengan titimangsa pembuatan karya di Huddingen-Amsterdam, November 2000, Putu menggubah larik puisinya. Mantel tebal dengan bahasa Jawa di Huddingen Swedia mengingatkannya pada masa lalu di Pendopo Taman Siswa:
jelas ini bukan di pendopo taman siswa
orang-orangnya bermantel tebal berbahasa jawa
di sebuah gedung di huddingen swedia
tapak kaki di langit hujan bertanya
Juga pada puisinya yang lain, kali ini, melalui pikiran dan kenangan Putu, tanah leluhurnya pun tiba-tiba saja ”hinggap” di Ithaca. Antara Bali dan Amerika. Amboi, betapa jauhnya perbandingan dua alam berbeda benua disajikannya dalam santapan puitik!
pantai Bali di Ithaca
naik jukung bertiga
menggali sumur peradaban semesta
tak kan kering ditimba pengarang dunia
(”Pantai Bali Ithaca”, halaman 40)
***
Namun, manakah yang lebih kuat, perasaan yang terkait dunia sosial Putu, terutama dalam konteks kebangsaan, dibandingkan keterpesonaan si penyair dengan alam semesta termasuk matahari, Pulau Bali atau keindahan alam mancanegara?
Putu bisa memunculkan satir perjalanan berbangsa sekaligus pesona alam. Kendati saat melukiskan alam dalam sajak, kerinduannya sebagai manusia, sebagai manusia Bali yang religius, kepada Sang Pencipta di karyanya, Putu terasa lebih mampu mengendalikan olah bahasa ketimbang tema-tema puisinya yang bernuansa politis.
Untuk politik, terkadang Putu sangat verbal, puisinya bisa menjadi begitu ”terang”, sayangnya dalam terang, banyak sisi lain yang bisa terlupakan, entah segi bunyi ataupun permainan metafora. Putu berada di persimpangan itu, puisi yang simbolik, dengan bahasa verbal untuk menyiratkan keadaan. Demikianlah dia kini, berada di antara sejarah kekinian, dengan cara pandang ”mata masa lalu” yang masih dia miliki.
http://www.sinarharapan.co.id/
Persimpangan sejarah yang membuat generasi itu mampu membuat kisah lebih bermakna, energi yang memadai bila diangkat ke dalam karya. Demikian lontaran pendapat sastrawan Martin Aleida. Pendapat yang boleh diragukan oleh generasi masa kini. Kendati, pendapat Martin itu penting untuk dipertimbangkan saat membaca karya Putu Oka Sukanta.
Begitu pun sejarah tentang biografi di sebuah rezim di tengah prahara politik di Indonesia, hingga sekarang menjadi kemelut, menjadi kontroversi, bahkan mampu memperlambat dan memacetkan proses hukum yang sedang dijalankan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) maupun atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK): korban 1965 yang pembelaannya masih menimbulkan pro-kontra dari setiap lapisan politik masa kini.
Sejarah yang gamang, sejarah yang rawan.
Perasaan semacam itu tertangkap di buku Surat Bunga dari Ubud (Penerbit Koekoesan, 2008) yang diluncurkan di Goethe Institut Jl Sam Ratulangi 9-15 Jakarta, Jumat (7/11) malam, didukung oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Institut for Global Justice (IGJ), Penerbit Koekoesan, Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS), Meja Budaya dan Goethe Institut.
Ada fenomena yang berbeda antara teks cerpen dan puisi. Cerpen cenderung berupa dunia imaji yang rapi dan penuh siasat untuk melepaskan diri dari personalitas penulisnya. Di dalam puisi, terendus jejak biografi sekaligus perasaan si senimannya.
Karena itu, tak tepat bila membaca puisi penulis kelahiran Singaraja, Bali, 1939 yang pernah mendekam di penjara politik Salemba dan Tangerang sejak 1966 hingga 1976 ini, hanya diarahkan kepada fenomena diksi, tipologi dan tanda-tanda baca lainnya di dalam karya.
Di karya penyair yang sebelumnya pernah menulis kumpulan puisi Selat Bali (1982), Tembang Jalak Bali (1986), Salam (1986), Tembok-Matahari Berlin (1990) itu, terseliplah cinta personalnya tentang keluarga, ”rantai cinta” di masa lalu, genetik Bali seorang Putu Oka Sukanta, lengkap dengan spiritualitas ”manusia Pulau Dewata” di Nusantara.
Sepuluh tahun, tentu begitu mengerikannya, sebuah ruang terali sempit yang tanpa kebebasan fisik dan ketidakpastian masa depan – diganduli belenggu pemikiran dan belenggu karya di atas riwayat hidupnya.
Tak hanya itu, dalam kebebasan pun, hingga tahun 1998 bahkan sekarang, stigma itu terus berlangsung, mempermainkan riwayat tiap orang yang pernah terlibat dan terkalahkan oleh prahara sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan hukum di masa menyedihkan itu. Kendati bersalah pun, tak ada pengadilan dan hukum yang memadai untuk mengantarkan mereka dalam pesakitan panjangnya. Bahkan, khalayak awam seperti petani dan ”kalangan lugu”, harus ikut menderita dalam stigma prahara politik tahun 1960-an.
Ada sejarah yang berjalan di atas muka bumi, yang ikut mempermainkan seorang Putu Oka Sukanta. Tubuh yang menua, pengalaman hidup yang mendera, dunia yang terus berubah. Sama seperti menyaksikan sastrawan Sitor Situmorang, Martin Aleida, mendiang Pramoedya Ananta Toer atau seniman rupa Agustin Sibarani, mereka adalah “mata masa lalu” yang sempat melihat kekinian zaman yang terus bergerak. Aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) hingga aktivis Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) ikut dirobohkan dan dihancurkan dalam sejarah itu.
Seorang mantan tapol akhirnya memperhatikan dunia yang berubah wajah, dunia yang kini berada di tengah sistem industri liberal, pasar bebas. Negaranya kini masih menjadi negara berkembang yang mengklaim diri tekun dengan spiritualitas Asia – penuh dengan harmoni, namun sekaligus juga dimainkan oleh “spiritualitas” baru: televisi kabel, generasi MTV (music television, sebuah program televisi internasional), plus globalisasi yang membelit. Sekaligus juga krisis ekonomi dan rasa kebangsaan yang diserpih…
***
Amatlah unik bila dipasang asumsi bahwa penyair yang pernah tersisih dalam sejarah rezim tiran Orde Baru, umumnya tetap menggali kenangan dan rasa rindu dendam pada tanah air di dalam puisinya.
Tanah rantau tetap sulit menjadi tanah air pertama, tanah rantau kerap dijadikan tanah yang kedua. Mereka masih kerap membandingkan antara Amerika, Eropa dengan rasa kangen tanah air.
Itu dapat saja terjadi, baik pada sastrawan eksil, ataupun sastrawan yang mendapat ganjaran hukum beberapa tahun dari tiran Orde Baru dan sekeluar dari penjara baru dapat merasakan hawa kebebasan di paru-parunya.
Umumnya, mereka tetap menggali kenangan, rasa rindu dendam pada tanah air. Sekali pun hanya singgah atau bahkan menetap di negeri orang.
Putu Oka Sukanta memang bukan sastrawan eksil secara fisik – kendati dia ”eksil, pernah tersingkir dari sebuah sejarah biografi dan karya”. Putu kembali tinggal dan bekerja di negeri ini. Setelah mewarisi keahlian Dokter Lee, dia pun bekerja di bidang konsultasi akupunktur di rumah praktiknya yang terletak di sebuah gang kota Jakarta. ”Hidup saya justru dari sini, Bung,” ujarnya pada penulis, saat bertandang ke tempatnya berpraktik.
Putu, juga diundang ke beberapa negara di Asia, Eropa, Amerika dan Australia untuk mempresentasikan tulisannya. Di semua puisi yang ber-titimangsa (keterangan latar tempat dan waktu) negeri lain itu, Putu ternyata tak henti membandingkan dengan kecintaan dan kerinduan pada tanah airnya.
Bacalah puisi berjudul ”Stockholm”, dengan titimangsa pembuatan karya di Huddingen-Amsterdam, November 2000, Putu menggubah larik puisinya. Mantel tebal dengan bahasa Jawa di Huddingen Swedia mengingatkannya pada masa lalu di Pendopo Taman Siswa:
jelas ini bukan di pendopo taman siswa
orang-orangnya bermantel tebal berbahasa jawa
di sebuah gedung di huddingen swedia
tapak kaki di langit hujan bertanya
Juga pada puisinya yang lain, kali ini, melalui pikiran dan kenangan Putu, tanah leluhurnya pun tiba-tiba saja ”hinggap” di Ithaca. Antara Bali dan Amerika. Amboi, betapa jauhnya perbandingan dua alam berbeda benua disajikannya dalam santapan puitik!
pantai Bali di Ithaca
naik jukung bertiga
menggali sumur peradaban semesta
tak kan kering ditimba pengarang dunia
(”Pantai Bali Ithaca”, halaman 40)
***
Namun, manakah yang lebih kuat, perasaan yang terkait dunia sosial Putu, terutama dalam konteks kebangsaan, dibandingkan keterpesonaan si penyair dengan alam semesta termasuk matahari, Pulau Bali atau keindahan alam mancanegara?
Putu bisa memunculkan satir perjalanan berbangsa sekaligus pesona alam. Kendati saat melukiskan alam dalam sajak, kerinduannya sebagai manusia, sebagai manusia Bali yang religius, kepada Sang Pencipta di karyanya, Putu terasa lebih mampu mengendalikan olah bahasa ketimbang tema-tema puisinya yang bernuansa politis.
Untuk politik, terkadang Putu sangat verbal, puisinya bisa menjadi begitu ”terang”, sayangnya dalam terang, banyak sisi lain yang bisa terlupakan, entah segi bunyi ataupun permainan metafora. Putu berada di persimpangan itu, puisi yang simbolik, dengan bahasa verbal untuk menyiratkan keadaan. Demikianlah dia kini, berada di antara sejarah kekinian, dengan cara pandang ”mata masa lalu” yang masih dia miliki.
Perahu Rapuh Idrus Tintin
Agus Sri Danardana*
http://www.riaupos.com/
Bunyi pepatah: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya rupanya diyakini betul kebenarannya oleh Idrus Tintin. Sebagai sastrawan besar (setidaknya di Riau), ia tetap menghargai jasa-jasa para pendahulunya dengan membaca karya-karyanya.
Salah satu pendahulunya itu adalah Hamzah Fansuri. Ia tidak sekadar mengenal nama dan deretan judul karya “pahlawan”nya itu, tetapi betul-betul memahami dan bahkan mencoba menjadikannya sebagai barometer (ke)hidup(an). Hal itu dengan jelas tampak pada salah satu sajaknya, berjudul “Perahu”. Sajak itu oleh Idrus Tintin diberi catatan: Setelah Hamzah Fansuri di bawah judulnya. Catatan itu kemudian diberi penjelasan (berupa kutipan sebagian syair “Perahu” Hamzah Fansuri), seperti tampak dalam kutipan lengkapnya berikut ini.
PERAHU
Setelah Hamzah Fansuri*)
Perahuku kecil dan rapuh
Layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.
Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.
Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.
*) Sebagian dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri berbunyi:
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil dirimu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat juga kekal diammu.
Perteguh juga alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
Laut Sailan terlalu dalam
Di sanalah perahu rusak
dan karam
Sesungguhnya banyak
di sana penyelam
Jarang mendapat permata nilam
Wujud Allah nama perahunya
Ilmu Allah akan dayungnya
Iman Allah nama kemudinya
Yakin Allah nama pawangnya.
(dikutip dari kumpulan puisi Taufiq Ismail [Ed.]: Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi [2002: 138-139])
Dalam sajak itu tampak dengan jelas bahwa Idrus Tintin dengan sengaja menjadikan Hamzah Fansuri (melalui “Syair Perahu”) bukan hanya sebagai acuan, melainkan juga sebagai pembanding (intertekstualitas) sajaknya. Dua hal: pengacuan dan pembandingan itulah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.
“Syair Perahu”
“Syair Perahu” adalah salah satu syair Hamzah Fansuri yang sangat terkenal. Menurut Braginsky, sejarawan Nusantara asal Rusia, syair ini memiliki banyak versi dan terus berkembang setelah kematian Hamzah Fansuri. Namun, beberapa syair awalnya dipandang masih “asli” dan bahkan disinyalir menjadi cikal-bakal lahirnya pantun Melayu modern saat ini. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansurilah yang pertama kali menyampaikan ajaran-ajarannya melalui ruba’i, pantun empat baris bersajak a/a/a/a atau a/b/a/b, di Indonesia. Konon, pola pantun empat baris yang diperkenalkan Hamzah Fansuri inilah yang kemudian berkembang di Indonesia.
Di samping memiliki keistimewaan dalam cara penyampaian (melalui ruba’i), Hamzah Fansuri juga memiliki keistimewaan dalam mengemas kandungan isi ajaran tasawufnya. Ia tidak menyampaikannya secara vulgar, tetapi secara simbolis dan metaforis, seperti tampak pada “Syair Perahu”. Dalam syair itu, kehidupan ditamsilkan dengan sebuah perahu. Barangkali, berkat jasanya itu, Hamzah Fansuri (dan “Syair Perahu”) kini telah menjadi mitos yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Tidak terkecuali Idrus Tintin.
Sajak “Perahu”
Dilihat dari strukturnya, sajak “Perahu” karya Idrus Tintin ini sangat sederhana: hanya terdiri atas empat bait yang lariknya pendek-pendek serta kutipan empat bait dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri sebagai catatan kaki. Kutipan empat bait syair “Perahu” Hamzah Fansuri itu, di samping berguna sebagai referensi atau acuan, juga bermanfaat sebagai kerangka bandingan dalam intertekstual. Barangkali itulah sebabnya Idrus Tintin merasa perlu menambahkan keterangan di bawah judul sajaknya itu dengan kata-kata Setelah Hamzah Fansuri. Sebagai sebuah referensi, keterangan itu menunjukkan bahwa perahu yang diciptakan/dimilikinya itu lahir setelah perahu Hamzah Fansuri.
Sajak “Perahu” berkisah tentang pengakuan dan penyesalan si aku lirik (Idrus Tintin) atas keberadaan dirinya yang bebal dan nakal. Ibarat sebuah perahu, ia bahkan sama sekali tidak menyerupai perahu Hamzah Fansuri yang mampu mengarungi lautan makrifat.
Kisah perahu (buatan) aku lirik ini dimulai dengan pernyataan/pengakuan: Perahuku kecil dan rapuh/layarnya koyak dan dayungnya pendek. Setelah menjelaskan lebih rinci akan kerapuhan perahunya: tidak memiliki perabot yang lengkap, tidak kuat dan kokoh, bekalnya serba tanggung, dan semuanya serba tak handal, si aku lirik mengemukakan keinginannya. Ia berkeinginan memiliki perahu yang tangguh, seperti milik Hamzah Fansuri. Akhirnya, si aku lirik pun menyesal. Beginilah cerita penyesalan itu terjadi.
Sejak kecil sebenarnya aku lirik telah dipesan oleh ibunya untuk rajin belajar: membaca, mengaji, dan mendalami Alquran hingga katam. Namun, karena bebal, nakal, dan malas, aku lirik tidak dapat mengatamkannya, maqadam sekali pun. Oleh karena itu, si aku lirik selalu bimbang dan terus bertanya: Bagaimana hendak mengarungi lautan Sailan dan bagaimana hendak pergi menyelam mengambil permata nilam, jika baru sampai di Laut Bintan saja perahunya sudah mau karam?
Tamsil Perahu
Baik “Syair Perahu” (Hamzah Fansuri) maupun sajak “Perahu” (Idrus Tintin) sama-sama menamsilkan kehidupan dengan perahu. Dalam konteks ini, manusia diibaratkan sebuah perahu yang sedang (dan harus) mengarungi lautan kehidupan. Bedanya, perahu Hamzah Fansuri kokoh dan mampu mengarungi lautan, sedangkan perahu Idrus Tintin rapuh dan kandas.
Begitulah Idrus Tintin. Sajak “Perahu”-nya, bisa jadi, bukan hanya dimaksudkan sebagai potret dirinya yang rapuh dan kecil di depan kekokohan dan kebesaran Hamzah Fansuri, melainkan juga dimaksudkan sebagai pengingat masyarakat agar mau bangkit dari kerapuhan. Bagaimana caranya? Idrus Tintin menunjukkannya pada “Syair Perahu” Hamzah Fansuri, bukan pada sajaknya.***
*) Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau. Tinggal di Pekanbaru.
http://www.riaupos.com/
Bunyi pepatah: Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya rupanya diyakini betul kebenarannya oleh Idrus Tintin. Sebagai sastrawan besar (setidaknya di Riau), ia tetap menghargai jasa-jasa para pendahulunya dengan membaca karya-karyanya.
Salah satu pendahulunya itu adalah Hamzah Fansuri. Ia tidak sekadar mengenal nama dan deretan judul karya “pahlawan”nya itu, tetapi betul-betul memahami dan bahkan mencoba menjadikannya sebagai barometer (ke)hidup(an). Hal itu dengan jelas tampak pada salah satu sajaknya, berjudul “Perahu”. Sajak itu oleh Idrus Tintin diberi catatan: Setelah Hamzah Fansuri di bawah judulnya. Catatan itu kemudian diberi penjelasan (berupa kutipan sebagian syair “Perahu” Hamzah Fansuri), seperti tampak dalam kutipan lengkapnya berikut ini.
PERAHU
Setelah Hamzah Fansuri*)
Perahuku kecil dan rapuh
Layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.
Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.
Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.
*) Sebagian dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri berbunyi:
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil dirimu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat juga kekal diammu.
Perteguh juga alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
Laut Sailan terlalu dalam
Di sanalah perahu rusak
dan karam
Sesungguhnya banyak
di sana penyelam
Jarang mendapat permata nilam
Wujud Allah nama perahunya
Ilmu Allah akan dayungnya
Iman Allah nama kemudinya
Yakin Allah nama pawangnya.
(dikutip dari kumpulan puisi Taufiq Ismail [Ed.]: Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi [2002: 138-139])
Dalam sajak itu tampak dengan jelas bahwa Idrus Tintin dengan sengaja menjadikan Hamzah Fansuri (melalui “Syair Perahu”) bukan hanya sebagai acuan, melainkan juga sebagai pembanding (intertekstualitas) sajaknya. Dua hal: pengacuan dan pembandingan itulah yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.
“Syair Perahu”
“Syair Perahu” adalah salah satu syair Hamzah Fansuri yang sangat terkenal. Menurut Braginsky, sejarawan Nusantara asal Rusia, syair ini memiliki banyak versi dan terus berkembang setelah kematian Hamzah Fansuri. Namun, beberapa syair awalnya dipandang masih “asli” dan bahkan disinyalir menjadi cikal-bakal lahirnya pantun Melayu modern saat ini. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansurilah yang pertama kali menyampaikan ajaran-ajarannya melalui ruba’i, pantun empat baris bersajak a/a/a/a atau a/b/a/b, di Indonesia. Konon, pola pantun empat baris yang diperkenalkan Hamzah Fansuri inilah yang kemudian berkembang di Indonesia.
Di samping memiliki keistimewaan dalam cara penyampaian (melalui ruba’i), Hamzah Fansuri juga memiliki keistimewaan dalam mengemas kandungan isi ajaran tasawufnya. Ia tidak menyampaikannya secara vulgar, tetapi secara simbolis dan metaforis, seperti tampak pada “Syair Perahu”. Dalam syair itu, kehidupan ditamsilkan dengan sebuah perahu. Barangkali, berkat jasanya itu, Hamzah Fansuri (dan “Syair Perahu”) kini telah menjadi mitos yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Tidak terkecuali Idrus Tintin.
Sajak “Perahu”
Dilihat dari strukturnya, sajak “Perahu” karya Idrus Tintin ini sangat sederhana: hanya terdiri atas empat bait yang lariknya pendek-pendek serta kutipan empat bait dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri sebagai catatan kaki. Kutipan empat bait syair “Perahu” Hamzah Fansuri itu, di samping berguna sebagai referensi atau acuan, juga bermanfaat sebagai kerangka bandingan dalam intertekstual. Barangkali itulah sebabnya Idrus Tintin merasa perlu menambahkan keterangan di bawah judul sajaknya itu dengan kata-kata Setelah Hamzah Fansuri. Sebagai sebuah referensi, keterangan itu menunjukkan bahwa perahu yang diciptakan/dimilikinya itu lahir setelah perahu Hamzah Fansuri.
Sajak “Perahu” berkisah tentang pengakuan dan penyesalan si aku lirik (Idrus Tintin) atas keberadaan dirinya yang bebal dan nakal. Ibarat sebuah perahu, ia bahkan sama sekali tidak menyerupai perahu Hamzah Fansuri yang mampu mengarungi lautan makrifat.
Kisah perahu (buatan) aku lirik ini dimulai dengan pernyataan/pengakuan: Perahuku kecil dan rapuh/layarnya koyak dan dayungnya pendek. Setelah menjelaskan lebih rinci akan kerapuhan perahunya: tidak memiliki perabot yang lengkap, tidak kuat dan kokoh, bekalnya serba tanggung, dan semuanya serba tak handal, si aku lirik mengemukakan keinginannya. Ia berkeinginan memiliki perahu yang tangguh, seperti milik Hamzah Fansuri. Akhirnya, si aku lirik pun menyesal. Beginilah cerita penyesalan itu terjadi.
Sejak kecil sebenarnya aku lirik telah dipesan oleh ibunya untuk rajin belajar: membaca, mengaji, dan mendalami Alquran hingga katam. Namun, karena bebal, nakal, dan malas, aku lirik tidak dapat mengatamkannya, maqadam sekali pun. Oleh karena itu, si aku lirik selalu bimbang dan terus bertanya: Bagaimana hendak mengarungi lautan Sailan dan bagaimana hendak pergi menyelam mengambil permata nilam, jika baru sampai di Laut Bintan saja perahunya sudah mau karam?
Tamsil Perahu
Baik “Syair Perahu” (Hamzah Fansuri) maupun sajak “Perahu” (Idrus Tintin) sama-sama menamsilkan kehidupan dengan perahu. Dalam konteks ini, manusia diibaratkan sebuah perahu yang sedang (dan harus) mengarungi lautan kehidupan. Bedanya, perahu Hamzah Fansuri kokoh dan mampu mengarungi lautan, sedangkan perahu Idrus Tintin rapuh dan kandas.
Begitulah Idrus Tintin. Sajak “Perahu”-nya, bisa jadi, bukan hanya dimaksudkan sebagai potret dirinya yang rapuh dan kecil di depan kekokohan dan kebesaran Hamzah Fansuri, melainkan juga dimaksudkan sebagai pengingat masyarakat agar mau bangkit dari kerapuhan. Bagaimana caranya? Idrus Tintin menunjukkannya pada “Syair Perahu” Hamzah Fansuri, bukan pada sajaknya.***
*) Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau. Tinggal di Pekanbaru.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Khoirul Anam
A Qorib Hidayatullah
A Rodhi Murtadho
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Aba Mardjani
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar Ruskhan
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Muis
Abdul Wachid BS
Abdullah Khusairi
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Achmad Farid Tuasikal
Adek Alwi
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adib Muttaqin Asfar
Adji Subela
Afandi Sido
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Ageng Wuri R. A.
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Bing
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Agusri Junaidi
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahm Soleh
Ahmad Asyhar
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fuadi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Rofiq
Ahmad Suhendra
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Aini Aviena Violeta
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Al Azhar Riau
Al-Fairish
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Alfian Zainal
Aliansyah
Alimuddin
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anata Siregar
Andi Sutisno
Andy Riza Hidayat
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anis Faridatur Rofiah
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Anton Kurnia
Ari Hidayat
Ari Kristianawati
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Aris Kurniawan
Arti Bumi Intaran
Arul Arista
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Ayu Purwaningsih
Babe Derwan
Bakdi Soemanto
Balada
Bale Aksara
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Dwi Mardana
Bellanissa Zoditama
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiawan Dwi Santoso
Bur Rasuanto
Burhanuddin Bella
Bustan Basir Maras
Catatan
Catullus
CB. Ismulyadi
Cerbung
Cerita Rakyat
Cerpen
Chavchay Syaifullah
Cikie Wahab
Cunong Nunuk Suraja
D Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Ari Murtono
Dahlia Rasyad
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darman Djamaluddin
Darman Moenir
Dasman Djamaluddin
David Krisna Alka
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Denny JA
Denny Mizhar
Desi Sommalia Gustina
Dewi Anggraeni
Dharma Setyawan
Dian Hartati
Didi Arsandi
Dina Oktaviani
Dipo Handoko
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Dodi Chandra
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dwicipta
Edy A Effendi
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyzan Katan
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Eni Suryanti
Eny Rose
Eriyandi Budiman
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Erwin Setia
Esai
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Faizah Sirajuddin
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fakhrunnas M.A. Jabbar
Fanny Chotimah
Fariz al-Nizar
Fariz Alneizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzan Santa
Fazabinal Alim
Festival Sastra Gresik
Fikri MS
Fiksi Mini
Fransisca Dewi Ria Utari
Franz Kafka
Fuad Anshori
Furqon Abdi
Fuska Sani Evani
Gendhotwukir
Gendut Riyanto
Gerson Poyk
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gregorio Lopez y’ Fuentes
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gus Noy
H.H. Tokoro
Hadi Napster
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Hang Kafrawi
Hani Pudjiarti
Hanna Fransisca
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Harris Maulana
Hary B. Kori'un
Hasan Al Banna
Hasan Junus
Hasbullah Said
Hasnan Bachtiar
HE. Benyamine
Heidi Arbuckle
Helmi Y Haska
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendri Nova
Herdoni Syafriansyah
Heri Kurniawan
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman RN
Hermawan Aksan
Hermien Y. Kleden
Herry Lamongan
Holy Adib
Humaidiy AS
Husni Anshori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Tingkat
I Wayan Artika
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Tohari
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Isma Swastiningrum
Ismi Wahid
Iwan Gardono Sujatmiko
Iwan Gunadi
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iwank
J.S. Badudu
Janoary M Wibowo
Javed Paul Syatha
JILFest 2008
JJ. Kusni
Jodhi Yudono
Joko Novianto Bp
Joko Pinurbo
Jones Gultom
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf AN
Kadek Suartaya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Kedung Darma Romansha
Kenedi Nurhan
Khaerudin Kurniawan
Khaerul Anwar
Ki Sugito Ha Es
Kirana Kejora
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswinarto
La Ode Rabbani
Lathifa Akmaliyah
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Leon Agusta
Lily Siti Multatuliana
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lugiena Dé
M Fadjroel Rachman
M Farid W Makkulau
M Syakir
M. Dawam Rahardjo
M. Faizi
M. Mustafied
M. Raudah Jambak
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.Th. Krishdiana Putri
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mangun Kuncoro
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria D. Andriana
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Maryati
Marzuzak SY
Mashuri
Maulana Syamsuri
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
MG. Sungatno
Misbahus Surur
Mofik el-abrar
Moh. Amir Sutaarga
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Hatta
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Takdir Ilahi
Much. Khoiri
Muhamad Taslim Dalma
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammadun A.S
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mulyawan Karim
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
Nadhi Kiara Zifen
Nana Riskhi Susanti
Nanang Suryadi
Naskah Teater
Nasrulloh Habibi
Neva Tuhella
Nietzsche
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nova Christina
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Wachid
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurman Hartono
Nuryana Asmaudi
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Oky Sanjaya
Oyos Saroso HN
P Ari Subagyo
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Panji Satrio
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Satria Kusuma
Putu Wijaya
R Masri Sareb Putra
R. Adhi Kusumaputra
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmi Hattani
Raja Ali Haji
Raju Febrian
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Dira J
Rama Prabu
Ramadhan KH
Ramon Magsaysay
Ramses Ohee
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ressa Novita
Ressa Sagitariana Putri
Ria Ristiana Dewi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Rida K Liamsi
Rifka Sibarani
Rilda A. Oe. Taneko
Rilda A.Oe. Taneko
Rimbun Natamarga
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Takdir Alisyahbana
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Sajak
Sajak Sebatang Lisong
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salman S. Yoga
Salyaputra
Samson Rambah Pasir
Samsudin Adlawi
Sanie B. Kuncoro
Santy Novaria
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra Nusantara
Satmoko Budi Santoso
Satriani
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Shourisha Arashi
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siska Afriani
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Slamet Samsoerizal
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Solihin
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Stevani Elisabeth
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudarmoko
Sudirman HN
Suhadi Mukhan
Suharsono
Sukar
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suriani
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
Syaripudin Zuhri
Syifa Aulia
Syu’bah Asa
T.A. Sakti
Tammalele
Tan Lioe Ie
Tasyriq Hifzhillah
Taufik Abdullah
Taufik Effendi Aria
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Winarsho AS
Tenas Effendy
Tengsoe Tjahjono
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tias Tatanka
Tito Sianipar
Tjahjono EP
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Topik Mulyana
Tosa Poetra
Tri Harun Syafii
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi Ballah
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Uniawati
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
Usman D.Ganggang
Utada Kamaru
UU Hamidy
Viddy AD Daery
W.S. Rendra
Wa Ode Wulan Ratna
Wahib Muthalib
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weli Meinindartato
Wicaksono
Widodo DS
Wina Karnie
Wisran Hadi
Wong Wing King
Yan Maniani
Yanti Mulatsih
Yanuar Arifin
Yasser Arafat
Yaumu Roikha
Yetti A. KA
Yohanes Padmo Adi Nugroho
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Ms
Yudhistira ANM Massardi
Yulianna
Yurnaldi
Yusi A. Pareanom
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuyun Ifa Naliah
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zakki Amali
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zelfeni Wimra
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar